Anda di halaman 1dari 10

Pengaruh Keadilan, Sistem pajak terhadap Penggelapan Pajak

Oleh: Nur Indariani

A. Pengaruh Keadilan terhadap Penggelapan Pajak


Penggelapan pajak terarah kepada kegiatan tidak benar yang dikerjakan oleh wajib pajak
terhadap kewajibannya. Usaha wajib pajak dalam penggelapan pajak dapat dilakukan dengan cara
menurunkan, menghapuskan, memanipulasi secara ilegal terhadap utang pajak atau terlepas untuk
membayar pajak terutang (Rahayu, 2010). Wajib pajak melalaikan peraturan formal perpajakan,
meniru dokumen, atau memasukan data dengan tidak lengkap dan tidak benar. Beberapa faktor
seperti keadilan dan diskriminasi dapat mempengaruhi perilaku wajib pajak dalam melakukan
penggelapan pajak.
Di Indonesia, keadilan dianggap berkaitan dengan hak dan kewajiban wajib pajak, yang
memiliki tujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Mardiasmo (2009)
mengungkapkan bahwa mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil
yang harus selaras dengan tujuan hukum. Dalam hal ini, keadilan dilihat dalam kemampuan
masyarakat membayar pajak, apakah pemerintah sudah menerapkan pajak secara umum dan merata.
Keadilan pajak dapat mempengaruhi penggelapan pajak karena keadilan pajak dapat
mengubah perilaku masyarakat yang dapat membuat wajib pajak melakukan penggelapan pajak.
Semakin rendah keadilan pajak, maka tingkat kepatuhan akan semakin menurun, yang berarti
kecenderungan melakukan penggalapan pajak semakin tinggi. Temuan Sariani et al., (2016),
Tobing (2015), Kurniawati & Toly (2014) menunjukkan persepsi wajib pajak tentang penggelapan
pajak dipengaruhi oleh keadilan. Persepsi keadilan pajak berpengaruh terhadap penggelapan pajak.
Menurut Permatasari, (2013) pemungutan pajak harus bersifat final, adil dan merata, yaitu pajak
dikenakan kepada orang pribadi harus seimbang dengan kesanggupan dalam pembayaran pajak dan
sesuai dengan manfaat yang diterima. Peneliti Torgler B; Valey NT (2010) mengungkapkan bahwa
korupsi dan penggelapan pajak banyak dilakukan oleh perempuan.
Keadilan pajak dapat dilihat dari perilaku pemerintah terhadap masyarakat yang akan
mempengaruhi perilaku masyarakat dan dapat melakukan penggelapan pajak. Semakin rendah
tingkat keadilan, tindakan penggelapan pajak akan cenderung dilihat sebagai perilaku yang
cenderung benar, sedangkan semakin tinggi tingkat keadilan sehingga tindakan penggelapan pajak
dilihat sebagai perilaku yang tidak benar.
Berdasarkan teori keadilan dijelaskan pengaruh keadilan terhadap kepatuhan pajak. Teori
heuristik keadilan menjelaskan bahwa kesadaran individu akan adanya dilema sosial yang ada
didasari dengan lingkungan sosial dan hubungan sosial didalamnya. Dalam hal ini masyarakat
mengalami dilema apakah otoritas pajak dapat dipercaya atau tidak. Wajib pajak akan taat
membayar pajak jika memandang pihak yang berwenang (Otoritas Pajak) memberlakukan semua
individu dengan cara yang sama dan tidak memanfaatkan atau mengambil keuntungan dari pajak
yang telah dibayarkan. Keadilan pajak yang dirasakan oleh wajib pajak dapat menentukan tingkat
kepatuhan, dimana tingkat keadilan yang mampu memberikan kontribusi terhadap kepatuhan wajib
pajak adalah adanya keadilan berkaitan dengan peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku,
pelaksanaan peraturan tersebut oleh pihak fiskus, dan penggunaan uang hasil pajak itu sendiri.
Wajib pajak yang menganggap otoritas pajak sebagai yang tinggi dalam keadilan prosedural lebih
cenderung mempercayai otoritas, dan ini meningkatkan kepatuhan dan menurunkan penggelapan
pajak.
Teori keadilan adalah hal yang mendasari tindakan yang akan dilakukan oleh seseorang.
Apabila dikaitkan dengan teori tersebut seseorang akan termotivasi untuk adil jika mendapatkan

1
keadilan, karena orang tersebut akan merasa apa yang dikeluarkan sesuai dengan apa yang akan
diterimanya. Dengan begitu Wajib Pajak akan patuh jika mendapatkan keadilan.
Penggelapan pajak dianggap suatu hal yang etis dikarenakan oleh minimnya keadilan dalam
penggunaan uang yang bersumber dari pajak, korupsi oleh pemerintah, dan merasakan tidak
mendapat imbalan secara langsung atas pajak yang dibayarkan. Dalam peneltiannya mengenai skala
dimensionalitas mengenai penggelapan pajak menemukan bahwa variabel keadilan termasuk
sebagai salah satu faktornya.
Bagi Wajib Pajak perilaku yang adil dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan sangatlah
penting dikarenakan perilaku adil yang diterima oleh Wajib Pajak akan memotivasi Wajib Pajak itu
sendiri dalam rangka untuk memenuhi kewajibannya.
Apabila Wajib Pajak diperlakukan secara tidak adil misalnya dengan dikenakan tarif pajak
yang tinggi dan tidak sesuai dengan penghasilan yang diperoleh maka Wajib Pajak tersebut akan
cenderung melakukan tindakan penggelapan pajak. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
semakin rendah keadilan yang diterima oleh Wajib Pajak dalam hal pemenuhan kewajiban
perpajakannya maka Wajib Pajk akan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan
penggelapan pajak.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2013) dan Penelitian yang dilakukan Permatasari &
Laksito (2013) memiliki hasil keadilan berpengaruh negatif terhadap tindakan penggelapan pajak
yang artinya semakin tidak adilnya suatu sistem perpajakan yang berlaku maka kecendrungan
Wajib Pajak akan semakin tinggi. Pemungutan pajak harus dilakukan secara adil dan merata agar
Wajib Pajak memiliki motivasi untuk tetap memenuhi kewajiban perpajakannya, selain itu manfaat
yang diterima oleh Wajib Pajak melalui alokasi dana pajak juga harus dirasakan secara merata.
Pemungutan atas pajak dapat dikatakan adil bilamana sesuai dengan kemampuan
ekonomisnya. Dengan adanya keadilan dalam sistem perpajakan akan mempengaruhi persepsi
wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya. Wajib pajak akan merasa adil apabila kontribusi
yang mereka berikan sesuai dengan manfaat yang didapatkan (Sasmito 2017).
Keadilan pajak menjadi sangat penting dalam membuat WP agar patuh dalam perpajakan.
Mereka hanya menginginkan adanya keadilan yang dapat terjadi hanya setelah mereka merasakan
adanya keadilan itu sendiri. Teori atribusi mengatakan seorang individu akan bertindak jika
dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari internal atau eksternal individu tersebut. Kaitannya
dengan keadilan pajak dijelaskan pada teori atribusi eksternal, dimana dalam teori ini tindakan
individu disebabkan oleh faktor eksternalnya. Keadilan pajak dinilai dapat membuat pengaruh dari
cara pandang WP mengenai perbuatan menggelapkan pajak apabila tidak memperhatikan hak dan
kewajiban WP. Berdasarkan riset yang telah dilakukan sebelumnya oleh Merkusiwati et al (2017)
menyebutkan kesimpulan keadilan pajak mempunyai pengaruh yang negatif dari persepsi WPOP
tentang penggelapan pajak, serta sesuai juga oleh hasil Budiasih et.al (2016) yang menyebutkan
kesimpulan yang sama. Keadilan pajak berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak orang
pribadi mengenai etika penggelapan pajak. (Budiasih, 2016)
Menurut (Mardiasmo, 2016) keadilan perpajakan memiliki pengaruh negatif terhadap
penggelapan pajak. Keadilan perpajakan meliputi mengenakan pajak secara umum dan merata, serta
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Berdasarkan penjelasan di atas, maka
kesimpulannya adalah semakin tinggi tingkat keadilan maka perilaku penggelapan pajak akan
semakin rendah, sebaliknya jika tingkat keadilan semakin rendah maka perilaku penggelapan pajak
akan semakin tinggi.
Faktor paling utama yang menjadikan para wajib pajak lebih memilih tindakan penggelapan
pajak (tax evasion) dari pada penghindaran pajak (tax avoidance) adalah karena untuk melakukan
penghindaran pajak diperlukan wawasan dan pengetahuan yang luas serta berkompeten di
2
bidangnya dimana mereka mengetahui semua seluk beluk peraturan perundang-undangan tentang
perpajakan sehingga dapat menemukan celah yang dapat ditembus untuk mengurangi beban pajak
yang dibayarkan tanpa melanggar peraturan yang ada. Biasanya hal seperti ini hanya bisa dilakukan
oleh para penawar jasa konsultan pajak, sehingga dapat disimpulkan para wajib pajak lebih memilih
untuk melakukan penggelapan pajak karena lebih gampang dilakukan walaupun itu merupakan
tindakan yang melanggar undang-undang. (Ulfa,2015).
Adanya pemikiran tentang pentingnya keadilan perpajakan bagi seseorang termasuk dalam
pembayaran pajak juga tidak akan mempengaruhi sikap mereka dalam melakukan pembayaran
pajak. Hal ini dikarenakan wajib pajak merasa bahwa sistem perpajakan yang ada belum cukup baik
mengakomodir segala kepentingan wajib pajak. Kadang kala penggelapan pajak dianggap suatu hal
yang etis ataupun tidak etis tergantung bagaimana pemerintah mengelola dana yang bersumber dari
pajak negara, dimana wajib pajak menganggap bahwa perwujudan keadilan dalam perpajakan
belumlah maksimal. Dalam hal ini pemerintah harus mengantisipasi masalah yang sangat mendasar
yang selalu dijumpai dalam pemungutan dan pengalokasian dana pajak,yaitu bagaimanakah cara
mewujudkan keadilan pajak.
Prinsip keadilan perpajakan menurut (Siahaan, 2014) berdasarkan pada prinsip manfaat.
Prinsip ini mengemukakan bahwa suatu sistem perpajakan dapat dikatakan adil apabila kontribusi
yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperolehnya dari jasa-jasa
pemerintah. Jasa pemerintah ini berupa berbagai sarana yang disediakan oleh pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Prinsip yang kedua mengacu pada prinsip keadilan dalam
membayar pajak. Menurut prinsip ini, perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan pajak
tertentu, dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya.
Keadilan sistem perpajakan diterapkan harus adil sesuai dengan yang seharusnya. Menurut
Ardyaksa (2014) wajib pajak masih berasumsi bahwa pajak merupakan hal yang menjadi beban dan
dapat mengurangi pendapatan yang mereka terima. Variabel ini diukur dengan menggunakan
indikator yang dikembangkan Ardyaksa (2014), yang mana ada 12 item penyataan dan diukur
memakai skala likert.
Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek
(pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum
(unlawfully), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada
setiap sistem pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi.
Penggelapan pajak sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban
pajak dengan cara melanggar undang-undang. Melanggar undang-undang merupakan sesuatu yang
tidak seharusnya dilakukan. Dikarenakan melanggar undang-undang, penggelapan pajak ini
dilakukan dengan menggunakan cara yang tidak legal. Para wajib pajak sama sekali mengabaikan
ketentuan formal perpajakan yang menjadi kewajibannya, memalsukan dokumen, atau mengisi data
dengan tidak lengkap dan tidak benar. (Mardiasmo, 2016).
Penggelapan pajak mempunyai risiko terdekteksi yang inherent pula, serta mengundang
sanksi pidana badan dan denda. Tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk meminimalkan risiko
terdeteksi biasanya para pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan atau
mengaburkan asal-usul "hasil kejahatan" (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan
lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan
dari penggelapan pajak tersebut. Oleh sebab itulah tindak kejahatan di bidang perpajakan termasuk
salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang.
Penggelapan pajak merupakan tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh wajib pajak
mengenai kewajibannya dalam perpajakan. Penggelapan pajak oleh perusahaan dianggap tidak
beretika lebih didasarkan karena moral bukan karena budaya. Moral lebih mendasari manusia
merasa berdosa jika tidak membayar pajak sesuai dengan yang seharusnya.
3
Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, menggelembungkan biaya
perusahaan dengan membebankan biaya fiktif atau tidak nyata, transaksi ekspor fiktif, pemalsuan
dokumen keuangan perusahaan, tidak melaporkan sebagian penjualan, memperbesar biaya dengan
cara fiktif, memungut pajak tetapi tidak menyetor. Memungut pajak tetapi tidak menyetor
merupakan contoh dari kasus penggelapan yang marak terjadi. Contoh-contoh kasus penggelapan
pajak tersebut dapat merugikan banyak pihak yang akan membuat kelangsungan sebuah perusahaan
atau organisasi menjadi tidak lancar. Seharusnya orang yang melakukan penggelapan pajak berpikir
panjang dengan apa resiko yang akan ditimbulkan karena perbuatannya tersebut.
Akibat-akibat yang terjadi karena adanya penggelapan pajak terbagi dalam tiga bidang.
Ketiga bidang tersebut adalah bidang keuangan, bidang ekonomi, dan dalam bidang psikologi. Di
dalam bidang keuangan, penggelapan pajak dapat dikatakan sebagai pos kerugian bagi kas negara,
karena dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain
yang berhubungan dengan itu, seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi, dan lain-lain.
Di dalam bidang ekonomi, penggelapan pajak dapat mempengaruhi persaingan sehat diantara
para pengusaha yang termasuk dalam perekonomian tersebut. Para pengusaha biasa melakukan
pengelakan pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga, perusahaan yang
mengelakkan pajak memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pengusaha yang jujur.
Hal ini menyebabkan beberapa kemacetan pertumbuhan ekonomi yang ada atau perputaran roda
ekonomi. Jika mereka sudah terbiasa melakukan pengelakan pajak, mereka tidak akan
meningkatkan produktifitas mereka. Untuk memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan
melakukan pengelakan pajak secara terus menerus yang akan menjadi sebuah pola.
Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan untuk
selalu melanggar undang-undang. Jika wajib pajak menggelapkan pajak, maka wajib pajak
mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melanggar undang-undang
tidak diketahui oleh fiskus, maka dia akan senang karena tidak terkena sanksi dan menimbulkan
keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi
tidak hanya pada pelanggaran undang-undang pajak, tetapi juga undang-undang yang lainnya.
Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh negatif tetapi berpengaruh positif
antara keadilan terhadap penggelapan pajak. Hal ini membuktikan bahwa baik atau buruknya
keadilan perpajakan, tidak akan mempengaruhi secara negatif akan adanya penggelapan pajak. Hal
ini sejalan dengan penelitian (Ningsih & Pusposary, 2014) dan (Ayu & Hastuti, 2009), keadilan
tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap penggelapan pajak.
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata yaitu pajak dikenakan kepada orang
pribadi yang harus sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak (ability to pay) dan
sesuai dengan manfaat yang diterima. Jika Wajib Pajak mendapatkan keadilan yang
semestinya, maka perilaku penggelapan pajak akan berkurang, sehingga penggelapan pajak
tidak etis untuk dilakukan. Sebaliknya, jika Wajib Pajak mendapatkan keadilan yang minim
dan Wajib Pajak merasa dirugikan, maka bukan tidak mungkin penggelapan yang dilakukan
akan semakin tinggi dan beretika untuk dilakukan. Pada penelitian Wicaksono (2014) variable
keadilan pajak berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika
penggelapan pajak

B. Pengaruh Sistem Pajak terhadap Penggelapan Pajak


Menurut Fatimah & Wardani (2017), sistem perpajakan merupakan suatu sistem pemungutan
pajak tentang tinggi atau rendahnya tarif pajak dan pertanggungjawaban iuran pajak yang
diperlukan untuk pembiayaan penyelenggaraan negara dan pembangunan. Pertanggung jawaban
4
yang dimaksud adalah iuran pajak tersebut digunakan untuk pengeluaran umum negara atau justru
dikorupsi oleh pemerintah maupun oleh para petugas pajak. Untuk mencapai tujuan pemungutan
pajak diperlukan asas-asas pemungutan pajak dalam pemilihan alternatif pemungutannya, sehingga
terdapat keselarasan pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu
pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan
oleh Adam Smith dalam buku An inquiri the Natureand Cause of the Wealth of Nations
menyatakan bahwa pemungutan pajak harusnya berdasarkan pada asas-asas berikut :
1) Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak yang dikenakan kepada orang pribadi
harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak wajib pajak (ability to pay) dan sesuai
dengan manfaat yang akan diterima. Adil yang dimaksud adalah bahwa setiap wajib pajak yang
menyetorkan uangnya untuk pengeluaran pemerintah setara dengan kepentingannya dan manfaat
yang didapat.
2) Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui dengan jelas dan
pasti berapakah besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
3) Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan situasi dimana wajib pajak
tidak merasa terbebani, melainkan sebagai tanggung jawab.
4) Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak
diharapkan dapat seminimal mungkin, demikian pula beban yang ditanggung wajib pajak. Sistem
perpajakan adalah suatu metode bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh wajib pajak
agar dapat mengalir ke kas negara.
Menurut Waluyo (Ed.10, 2011) dalam bukunya perpajakan Indonesia terdapat tiga sistem
pemungutan pajak, yaitu

a) Official assessment system


Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kekuasaan kepada pemerintah atau
aparat pajak untuk menentukan besar kecilnya pajak yang terutang. Terdapat ciri–ciri official
assessment system adalah sebagai berikut :
(1) Kekuasaan untuk menentukan besar kecilnya pajak terutang berada pada aparat pajak.
(2) Wajib pajak bersifat pasif
(3) Utang pajak terjadi setelah dikeluarkannya surat
(4) Ketetapan pajak oleh fiskus

b) Self assessment system


Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberikan kekuasaan, kepercayaan, tanggung
jawab kepada wajib pajak untuk menghitung menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang terutang.

c) Withholding system
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kekuasaan kepada pihak ketiga
(biasanya menggunakan jasa konsultan) untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak.
Sebuah sistem dikatakan baik jika dapat menyalurkan uang pajak WP kepada kas negara.
Teori atribusi eksternal dapat menjelaskan fenomena yang terjadi dalam sistem perpajakan.
Keterkaitannya sistem dinilai mampu membuat persepsi WP mengenai etika penggelapan pajak
dikarenakan persepsi WP dipengaruhi oleh kondisi dari luar individu seperti dengan melihat
pertanggungjawaban oleh pemerintah mengenai penggunaan uang pajak untuk pembangunan
5
negara tiap tahunnya. Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiasih et.al
(2016) mengatakan semakin baik sistem perpajakan yang diterapkan dapat menurunkan persepsi
WP tentang perbuatan penggelapan pajak, yang selaras dengan hasil Indriyani et al. (2016). Sistem
perpajakan berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak orang pribadi mengenai etika
penggelapan pajak. (Indriyani, 2016).
Dalam TPB (Fishbein & Ajzen, 1975) terdapat Persepsi pengendalian perilaku yang
didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap hambatan dalam melakukan suatu perilaku. TPB
memandang pengendalian/kontrol yang dimiliki seseorang terhadap perilakunya berada pada yang
cukup. Theory of Planned Behavior, apabila seseorang akan bertindak didasarkan pertimbangan
adanya faktor memfasilitasi atau menghambat perilaku. Jika dihubungkan dengan teori tersebut,
tersedianya fasilitas yang disediakan oleh pemerintah berupa sistem akan memudahkan Wajib Pajak
untuk melakukan kewajibannya. Dengan begitu, sistem perpajakan akan mendorong Wajib Pajak
untuk patuh sehingga penggelapan pajak akan menurun.
Sistem perpajakan merupakan suatu sistem pemungutan pajak dari suatu perwujudan
pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melakukan
kewajiban pembayaran pajaknya yang kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan
nasional (Silaen et al. , 2015).
Sistem perpajakan berkaitan dengan tarif pajak dan korupsi mungkin saja terjadi dalam sistem
apapun. Sikap tidak etis seseorang akan dikatakan wajar apabila standar perilaku buruk orang dalam
lingkungan tempat tinggalnya buruk dan sebaliknya. Jika sistem perpajakan suatu Negara baik
maka tindakan penggelapan pajak dipandang sebagai perilaku tidak etis dan sebaliknya. Sistem
perpajakan yang telah ada dan telah diterapkan selama ini menjadi acuan bagi Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Jika sistem perpajakan yang sudah ada dirasa sudah cukup
baik dan taat pada sistem perpajakan yang ada dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, tetapi
jika yang terjadi sebaliknya, Wajib Pajak merasa sistem perpajakan belum cukup baik maka Wajib
Pajak akan menurunkan tingkat kepatuhan atau menghindar dari kewajibannya dalam membayar
pajak (McGee & Djatej, 2011).
Peneliti berpendapat bahwa pengelolaan uang pajak yang dapat dipertanggungjawabkan,
petugas pajak yang kompeten dan tidak korupsi, dan juga prosedur perpajakan yang tidak berbelit-
belit akan membuat Wajib Pajak tidak akan mempunyai niat untuk menggelapkan pajak. Akan
tetapi jika pengelolaan uang pajak tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan petugas
pajak juga melakukan tindakan korupsi, dan prosedur perpajakan yang berbelit-belit, maka para
Wajib Pajak tidak akan mau untuk melaporkan kewajibannya dengan jujur, mereka akan cenderung
untuk melakukan tindakan penggelapan pajak.
Hasil penelitian Handayani & Friskianty (2014) menyatakan bahwa system perpajakan tidak
berpengaruh terhadap tindakan penggelapan pajak. Peneltian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh McGee & Djatej (2011) yang mengemukakan bahwa penggelapan pajak selalu tidak
etis untuk dilakukan. Nickerson et al. (2009), Suwandhi (2010), Suminarsasi & Supriyadi (2012)
dan Rahman (2013) juga menemukan bahwa sistem perpajakan berpengaruh terhadap penggelapan
pajak. McGee & Djatej (2011), Rahman (2013) dan Wicaksono (2014) menyatakan bahwa sistem
perpajakan berpengaruh negatif terhadap tindakan tax evasion, sedangkan Elmiza et al. (2013)
menyatakan bahwa sistem perpajakan tidak berpengaruh terhadap tindakan penggelapan pajak.
Sistem perpajakan merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang merupakan perwujudan
dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan penyelenggaraan negara
dan pembangunan nasional. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan
kegotongroyongan nasional melalui menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan
sendiri besarnya pajak terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi

6
perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami
oleh anggota masyarakat atau wajib pajak (Siahaan, 2010).
Sistem perpajakan di deskripsikan sebagai suatu sistem pemungutan pajak yang merupakan
perwujudan dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan penyelenggaraan negara
dan pembangunan nasional (Rahman, 2014). Wajib pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan
kegotongroyongan atau rasa kebersamaan nasional melalui menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang (self assessment), sehingga melalui
sistem ini administrasi perpajakan dapat dilaksanakan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah
dipahami oleh wajib pajak tersebut (Siahaan, 2014).
Sistem perpajakan merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang merupakan perwujudan
dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan penyelenggaraan negara
dan pembangunan nasional (Siahaan, 2014).
Sistem perpajakan adalah cara yang digunakan oleh pemerintah untuk memungut atau
menarik pajak dari rakyat dalam rangka membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintah
lainnya. Variabel sistem perpajakan sesuai dengan Theory of Planned Behavior (TPB) memiliki
variabel kontrol keperilakuan yang tidak terdapat pada Theory of Reasoned Action (TRA). Variabel
kontrol keperilakuan mengartikan bahwa tidak semua tindakan yang diambil oleh individu berada di
bawah kendali individu tersebut. Teori ini menyatakan bahwa setiap wajib pajak mempunyai
pandangan tersendiri mengenai sistem pajaknya. Jika sistem perpajakan di Indonesia berjalan
dengan baik, sehingga kecenderungan persepsi wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak
dianggap tidak beretika. Sebaliknya, jika sistem perpajakan belum berjalan dengan baik, sehingga
kecenderungan persepsi wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak akan beretika untuk
dilakukan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa sistem perpajakan
berpengaruh terhadap persepsi penggelapan pajak (Mukharoroh, 2014), selain itu juga terdapat
penelitian yang serupa yang mendukung pernyataan tersebut yaitu penelitian yang di lakukan oleh
Marlina (2018). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang dapat disusun adalah sebagai
berikut: Sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika
penggelapan pajak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suminarsasi (2011) dan Mukharoroh (2014)
menemukan bahwa sistem perpajakan berpengaruh terhadap etika penggelapan pajak (tax evasion).
Sistem perpajakan yang berjalan dengan baik akan meningkatkan etika bagi wajib pajak sehingga
penggelapan pajak akan berkurang. Sistem perpajakan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak
mengenai etika penggelapan pajak (tax evasion).
Sistem pemungutan pajak di Indonesia menggunakan self assesment system, prinsip keadilan
ini sangat diperlukan agar tidak menimbulkan perlawanan-perlawanan pajak seperti tax avoidance
maupun tax evasion.. Adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak kepada wajib
pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada
Majelis Pertimbangan Pajak.
Penerapan sistem perpajakan yang tidak adil akan mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib
pajak dalam pemenuhan kewajibannya. Sehingga dapat menimbulkan terjadinya tindakan tax
evasion. Keadilan sistem perpajakan memiliki pengaruh dengan persepsi wajib pajak terhadap
penggelapan pajak.
Menurut (McGee & Smith, 2006), sistem perpajakan dengan tarif pajak dan kemungkinan
korupsi dalam sistem apapun. Jadi gambaran mengenai sistem perpajakan yaitu mengenai tinggi
7
rendahnya tarif pajak dan kemanakah iuran pajak yang terkumpul, apakah benar-benar digunakan
untuk pengeluaran umum, ataukah justru di korupsi oleh pemerintah maupun oleh para petugas
pajak. Sedangkan Menurut Supriyadi dan (Suminarsasi & Supriyadi, 2011), sistem perpajakan
berpengaruh secara negatif terhadap penggelapan pajak. Hal ini berarti para wajib pajak
menganggap bahwa semakin bagus sistem perpajakannya maka perilaku penggelapan pajak
dianggap sebagai perilaku yang tidak etis. Akan tetapi apabila sistem perpajakannya semakin tidak
bagus, maka perilaku penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang cenderung etis. Sistem
perpajakan memiliki pengaruh negatif terhadap penggelapan pajak.
Jika sistem perpajakan di Indonesia berjalan dengan baik, sehingga kecenderungan wajib
pajak melakukan penggelapan pajak dianggap tidak beretika. Sebaliknya, jika sistem perpajakan
belum berjalan dengan baik, sehingga kecenderungan wajib pajak melakukan penggelapan
penggelapan pajak akan beretika untuk dilakukan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa,
sistem perpajakan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai penggelapan pajak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan (McGee & Smith, 2006), sistem perpajakan tidak
berpengaruh negatif terhadap penggelapan pajak. Perpajakan dengan tarif pajak terdapat
kemungkinan korupsi dalam sistem apapun. Seharusnya semakin baik, mudah dan terkendali
prosedur sistem perpajakan yang diterapkan, maka tindak penggelapan pajak dianggap suatu yang
tidak etis bahkan mampu meminimalisir perilaku tindak penggelapan pajak. Pengelolaan uang pajak
yang dapat dipertanggungjawabkan, petugas pajak yang kompeten dan tidak korupsi, dan juga
prosedur perpajakan yang tidak berbelit-belit akan membuat wajib pajak enggan untuk
menggelapkan pajak. Akan tetapi, apabila pengelolaan uang pajak tidak jelas, ditambah lagi petugas
pajaknya justru mengkorupsi uang pajak, maka wajib pajak enggan untuk melaporkan
kewajibannya dengan jujur, mereka akan cenderung untuk menggelapkan pajak. Dalam penelitian
ini sistem perpajakan apapun tidak menutup kemungkinan adanya penggelapan pajak.
Hasil Penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh negatif tetapi berpengaruh positif
antara sistem perpajakan terhadap penggelapan pajak. Hal ini membuktikan bahwa baik atau
buruknya sistem perpajakan yang ada tidak berpengaruh negatif terhadap penggelapan pajak.
Sistem perpajakan yang dianut oleh Indonesia adalah self assessment system, dimana
Wajib Pajak secara aktif dalam menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajaknya,
fiskus pajak hanya berperan mengawasi jalannya pembayaran pajak yang dilakukan oleh
Wajib Pajak. Apabila sistem yang ada dirasa sudah cukup baik dan sesuai dengan peranannya, maka
Wajib Pajak akan memberikan respon yang baik dan taat pada sistem yang ada dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, tetapi jika sebaliknya, yang terjadi karena Wajib Pajak
merasa sistem pajak yang ada belum cukup baik mengakomodir segala kepentinganya maka
Wajib Pajak akan menurunkan tingkat kepatuhannya atau menghindar dari kewajiban
perpajakannya. Pada penelitian Sabdariani (2019) variabel sistem perpajakan berpengaruh
positif terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak.

Referensi:
Ardyaksa, T. K., & Kiswanto. (2014). Pengaruh Keadilan, Tarif Pajak, Ketepatan Pengalokasian,
Kecurangan, Teknologi Dan Informasi Perpajakan Terhadap Tax Evasion. Accounting
Analysis Journal, 3(4), 475–484.
Ayu, S. D., & Hastuti, R. (2009). Persepsi Wajib pajak : Dampak Pertentagan Diametral pada Tax
Evasion Wajib Pajak dama Aspek kemungkinan Terdereksinya Kecurangan, Keadilan,
Ketetapan Pengalokasian, Teknologi sistem Perpajakan dan Kecenderungan Personal. (Studi
Wajib Pajak Orang Pribadi). Kajian Akuntansi, 1(1), 1–12.
8
Danandjaja, J. (2013). Diskriminasi Terhadap Minoritas Masih Merupakan Masalah Aktual.
Yogyakarta.
Dewi, N. K. T. J., & Merkusiwati, N. K. L. A. (2017). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Persepsi
Wajib Pajak Mengenai Etika Atas Penggelapan Pajak (Tax Evasion). E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana, 18, 2534–2564
Fitriyanti, I., Fauzi, A., & Armeliza, D. (2017). Pengaruh Ketepatan Pengalokasian, Teknologi dan
Informasi Perpajakan, dan Diskriminasi Terhadap Penggelapan Pajak (Tax Evasion). Jurnal
Wahana Akuntansi, 12(1), 84–104.

Indriyani, M., Nurlaela, S., & Wahyuningsih, E. M. (2016). Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan,
Diskriminasi dan Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak
Orang Pribadi Mengenai Perilaku Tax Evasion. Seminar Nasional IENACO, 818–825.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2019). Penerimaan Pajak Pada APBN 2015-2019.
Kurniawati, M., & Toly, A. A. (2014). Analisis Keadilan Pajak, Biaya Kepatuhan, Dan Tarif
Pajak Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Penggelapan Pajak Di Surabaya Barat. Tax
& Accounting Review, 4(2), 1–12.
Mardiasmo. (2009). Perpajakan Edisi Revisi 2009. Yogyakarta: Andi.
Mardiasmo. (2016). Perpajakan Edisi Terbaru 2016. C.V Andi Offset
McGee, R. W., & Smith, S. R. (2006). The Ethics of Tax Evasion: An Empirical Study of Utah
Opinion. Andreas School of Business Working Paper Series, Barry University, Miami Shores,
FL 33161 USA
McGee, R. W., Ho, S. S. M., & Li, A. Y. S. (2008). A Comparative Study on Perceived Ethics of
Tax Evasion. Tax Journal of Business Ethics, 77, 14–158.
Nickerson, I., Pleshko, L., & McGee, R. W. (2009). Presenting the dimensionality of an ethics scale
pertaining to tax evasion. Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 12(1), 1–14.
Ningsih, D. N., & Pusposary, D. (2014). Determinan Persepsi Mengenai Etika atas Penggelapan
Pajak (Tax Evasion) (Studi pada Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya).
Octavia, L., Desmiyawati, & Safitri, D. (2017). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggelapan
Pajak (Studi pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang Terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Tampan). JOM FEKKON, 4(1), 3616–3630.
Paramita, M., & Budiasih, I. (2016). Pengaruh Sistem Perpajakan, Keadilan, Dan Teknologi
Perpajakan Pada Persepsi Wajib Pajak Mengenai Penggelapan Pajak. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana, 17(2), 1030–1056.
Rahayu, Siti Kurnia. (2010). Perpajakan Indonesia Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rahman. (2014). Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Sariani, P., Wahyuni, M. A., & Sulindawati, N. L. G.E. (2016). Biaya Kepatuhan Terhadap
Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion).
Siahaan. (2014). Hukum Pajak Material. Yogyakarta: Graha Ilmu.

9
Sasmito, Galih Ginanjar. 2017. Pengaruh Tarif Pajak, Keadilan Sistem Perpajakan, Teknologi dan
Informasi Perpajakan Terhadap Penggelapan Pajak. Artikel Ilmiah, Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Perbanas:Surabaya.
Sulistywati, A. I., Lestari, D. I. T., & Tiandari, N. W. (2012). Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak,
Pelayanan Perpajakan Dan Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Kinerja Penerimaan Pajak
(Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Candisari). Jurnal Infestaso,
8(1), 81–96.
Suminarsasi, W., & Supriyadi. (2011). Terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan
pajak ( tax evasion ). Universitas Gajah Mada, 0–29.
Ulfa, A., Desmiyawati, D., & Lukman, A. (2015). Pengaruh Kemungkinan Terdeteksinya
Kecurangan, Teknologi Dan Informasi Perpajakan, Dan Kepercayaan Pada Otoritas
Pemerintah Terhadap Penggelapan Pajak (Studi Empiris Pada Orang Pribadi Yang Terdaftar
di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Senapelan Pekanbaru). JOM FEKKON, 2(2), 1–15.

10

Anda mungkin juga menyukai