Anda di halaman 1dari 10

Pemberian Konseling Pada Generasi Z

2 jam 10 menit

2 jam 10 menit

1 jam 19 menit

Latar Belakang

Perkembangan psikologis yang dialami anak pada usia  remaja merupakan masa alami dan bisa terjadi pada
anak remaja dimana saja. Pada usia ini, anak dan remaja tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat baik
secara fisik, kognitif, maupun sosial. Jika pada masa tersebut anak dan remaja tidak didampingi dengan baik,
akan menjadikan anak mengalamai masa krisis atau situasi sulit. Karena satu dan lain sebab, banyak dari mereka
yang mengalami kondisi sulit atau masalah psikosisial yang berakibat pada perilaku negatif seperti kurang
disiplin, motivasi belajar rendah, membolos, melanggar aturan, kekerasan, perundungan (bullying),
mengonsumsi narkoba dan masih banyak lagi.   Dalam situasi tersebut, dukungan teman sebaya, orang tua dan
masyarakat sangat dibutuhkan dalam menangani masa situasi sulit anak dan remaja. Agar semakin
bersinkronisasi, pemerintah juga turut serta mendukung melalui program Dukungan Psikologis Awal (DPA)
yang dikembangkan oleh Subdit Pendidikan Anak dan Remaja,  Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program ini membantu anak dan remaja mengatasi sejak dini
berbagai masalah atau kondisi sulit yang mereka hadapi. Program ini sejalan dengan salah satu agenda utama
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Beberapa nilai
karakter yang dikembangkan dalam DPA ini antara lain adalah kepedulian, empati, mandiri, gotong royong, dan
ketangguhan pada anak. .
Sumber: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4384

Perkembangan psikologis yang dialami pada usia remaja (kini generasi Z) merupakan

masa alami dan dapat terjadi dimana saja. Pada usia ini mereka tumbuh dan berkembang

dengan pesat baik secara fisik, kognitif, dan sosial. Jika pada masa ini mereka tidak

didampingi dengan baik, maka mereka akan mengalami masa krisis, situasi sulit hingga sakit

mental. American Psychological Association tahun 2018 menyebutkan generasi Z yang

berusia 15 sampai 21 tahun adalah kelompok manusia yang memiliki kesehatan mental
terburuk dibanding dengan generasi lainnya. Data lain juga menyebutkan, bunuh diri

merupakan penyebab kematian kedua dari kelompok umur 15-29 tahun.

Bagaimana tidak, penggunaan media sosial kini seakan mencipta gaya hidup ideal

yang sebenarnya tidak seindah kenyataan. Secara tidak langsung generasi Z dituntut untuk

menjadi pribadi yang sempurna demi mendapat kesan baik dan memenuhi ekspektasi sosial.

Dunia kini seolah sedang berkompetisi secara ketat. Bagi mereka menunjukkan kelemahan

diri adalah adalah mustahil. Siapa yang lemah dan salah dia yang kalah dan kemudian para

perundung siap menanti untuk mencaci, merendahkan dan melakukan komentar negatif

diberbagai medium.

Selain itu, keakraban generasi Z dengan teknologi bukan hanya implikasi dari

majunya zaman, tetapi juga mempengaruhi aspek sikap dan prilaku. Tidak sedikit dari

mereka yang candu akan internet, bermain game/judi online, berselancar di media sosial, dll.

Akibatnya mereka dengan mudah terpapar dan terpengaruh dari beberapa konten negatif

seperti, kekerasan, kekerasan seksual, dan berita hoaks. Kalimantan Timur sendiri kini

memiliki korban kekerasan seksual tertinggi se-Kalimantan dengan total 262 kasus per-2020

hingga bulan Agustus lalu dengan presentasi tertinggi pada remaja. Jika hal ini dibiarkan

kasus akan terus bertambah dan mereka yang baru terpapar tidak hanya akan terpapar tapi

juga bisa menjadi sebagai pelaku ata Jika tidak dibina dengan baik, mereka tidak hanya akan

terpapar. Kemungkinan terburuk, mereka bisa saja menjadi seorang pelaku dan korban

kejahatan dan kekerasan seksual pun semakin meningkat.

Penelitian perusahaan pelayanan kesehatan Cigna di Amerika Serikat menemukan

bahwa generasi ini merasa orang-orang didekatnya tidak benar-benar ada(69%), merasa malu

(69%), dan merasa tidak ada yang bisa memahami mereka seutuhnya (68%).
Rasa sendiri, kesepian, tidak ada yang menghargai merupakan trigger utama dari

keinginan bunuh diri. Seperti yang telah diketahui, beerapa bulan terakhir telah didapati

mahasiswa unmul bunuh diri dengan gantung diri. Tentunya hal ini tidak akan terjadi tanpa

ada rasa yang kuat. Kenapa orang bunuh diri. Kemungkinannya ada banyak yakni mereka

merasa tertekan, takut atau sulit mengungkapkan perasaannya dengan orang lain, malu akan

hasil yang belum sesuai dengan harapan orang yang dicintai, atau merasa tidak berharga dan

tidak ada yang menghargainya.

Masalah kesehatan mental bisa saja timbul akibat stres, kesepian, depresi, kecemasan,

masalah hubungan, kematian orang yang dicintai, pikiran untuk bunuh diri, kesedihan,

kecanduan, ADHD, menyakiti diri sendiri, berbagai gangguan mood, dan ketidakmampuan

belajar.

Sehat sering kali dipersepsikan dari segi fisik saja. Padahal sehat juga berarti tentang

kesehatan mental. Sayangnya, persoalan sehat mental masih dianggap kalah penting
dibandingkan dengan kesehatan fisik. Menurut UK Surgeon Journal, kesehatan mental adalah

keberhasilan kinerja fungsi mental yang dapat memicu manusia untuk menjadi pribadi

produktif, mudah beradaptasi terhadap lingkungan sosial, perubahan, dan mengatasi

kesulitan.

Layanan konseling di Holeesa Learning Center dapat membantu mengelola penyakit

mental setidaknya pada psychological first aid.

American Psychological Association tahun 2018 menyebutkan generasi Z yang

berusia 15 sampai 21 tahun adalah kelompok manusia yang memiliki kesehatan mental

terburuk dibanding dengan generasi lainnya.

Data lain juga menyebutkan, bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua dari

kelompok umur 15-29 tahun.

mereka yang beruMasa-masa ini merupakan waktu dimana akan ada banyak

perubahan dan penyesuaian baik secara psikologis, emosional, maupun finansial.

Selain perubahan hidup, teknologi juga turut berkontribusi terhadap kesehatan mental

generasi muda. Salah satunya adalah penggunaan media sosial. Media sosial seakan

menciptakan gaya hidup ideal yang sebenarnya tidak seindah kenyataan. Secara tidak

langsung generasi Z dituntut untuk menjadi pribadi yang perfeksionis, dimana mereka harus

selalu terlihat sempurna demi mendapat kesan baik dan memenuhi ekspektasi sosial. Dunia

kini seolah sedang berkompetisi secara ketat. Bagi mereka menunjukkan kelemahan diri

adalah aib. Siapa yang lemah dan salah dia yang kalah dan kemudian para perundung siap
menanti untuk mencaci, merendahkan dan melakukan komentar negatif diberbagai medium.

Siapa yang tidak stres jika begini? Jelas saja peningkatan angka bunuh diri semakin tahun

semakin meningkat.

Bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua dari kelompok umur 15-29 tahun

Keakraban generasi Z dengan teknologi bukan hanya implikasi dari majunya zaman,

tetapi juga mempengaruhi aspek sikap dan prilaku. Tidak sedikit dari mereka yang candu

akan internet, bermain game/judi online, berselancar di media sosial, dll. Bahkan mereka

dengan mudah terpapar konten negatif seperti, kekerasan, kekerasan seksual, dan berita hoax.

Jika tidak dibimbing atau ditangani dengan tepat, mereka tidak hanya akan terpapar, tetapi

mereka akan terinspirasi untuk melakukan hal buruk serupa.

Peningkatan angka bunuh diri, lapran kasus kekerasan dan pelecehan seksual, hingga

Menurut Toronto (2009), generasi Z memanfaatkan dunia virtual sebagai tempat

pelarian dari kehidupan nyata. Sayangnya hal ini malah menjadikan mereka connected to

disconnected yaitu mudah terhubung dengan teknologi namun tidak benar-benar merasakan

komunikasi nyata. Fenomena ini menjadikan generasi Z adalah generasi yang paling

kesepian di dunia ini.

BBarak (2008) menyatakan bahwa remaja yang berselancar di dunia maya menghadapi
sejumlah masalah serius atau bahaya terkait penggunaan internet yang mereka lakukan.
Sebagian remaja mengalami kecanduan internet (Shaw & Black, 2008), kecanduan game
online (Kuss & Griffith, 2012), terpapar oleh materi seksual (Mitchel, Finkelhor, & Wolak,
2003), kecanduan seks (Griffiths, 2004), terlibat perjudian online, atau terlibat dalam
tindakan cyberstalking. Beberapa remaja mengalami kekerasan, bujukan secara seksual, dan
jenis kejahatan yang lain ketika mereka berselancar di dunia maya. Salah satu tantangan yang
harus dihadapi remaja di internet tersebut adalah mereka rentan untuk menjadi pelaku atau
korban perundungan maya atau cyberbullying.
Generasi Z cenderung memandang dunia sebagai tempat yang tidak aman.

Meningkatnya angka bunuh diri, laporan kasus kekerasan dan pelecehan seksual, hingga

pemanasan global dan perbuahan iklim adalah beberapa faktor pemicu stres bagi generasi ini.

Penelitian perusahaan pelayanan kesehatan Cigna di Amerika Serikat menemukan

bahwa generasi ini merasa orang-orang didekatnya tidak benar-benar ada(69%), merasa malu

(69%), dan merasa tidak ada yang bisa memahami mereka seutuhnya (68%).

Rasa sendiri, kesepian, tidak ada yang menghargai merupakan trigger utama dari

keinginan bunuh diri. Seperti yang telah diketahui, beerapa bulan terakhir telah didapati

mahasiswa unmul bunuh diri dengan gantung diri. Tentunya hal ini tidak akan terjadi tanpa

ada rasa yang kuat. Kenapa orang bunuh diri. Kemungkinannya ada banyak yakni mereka

merasa tertekan, takut atau sulit mengungkapkan perasaannya dengan orang lain, malu akan

hasil yang belum sesuai dengan harapan orang yang dicintai, atau merasa tidak berharga dan

tidak ada yang menghargainya.

Salah satu cara menangani kesehatan mental, seorang individu bisa melakukan sesi

konseling. Konseling adalah layanan konsultasi dengan psikolog untuk mengatasi masalah

kehidupan yang mengganggu kehidupan sehari-hari dan membahayakan dirimu atau orang

lain dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan

karir berdasarkan norma-norma yang berlaku. Secara umum, konseling dilakukan dalam

mengembangkan potensi seorang individu agar dapat mencapai tujuan-tujuan

perkembangannya.

Konseling yang akan digunakan untuk remaja yang mengalami kesehatan mental

adalah peer konseling one-on-one, dimana proses konseling ini bertujuan untuk memberikan
dukungan, penguatan atau memberikan informasi, sehingga akan membuat kondisi yang

terdampingi menjadi lebih positif. Peer konseling akan menggunakan prinsip-prinsip dasar

konseling psikologis, yang nantinya pendamping akan lebih banyak memberi arahan dan

menggambarkan keadaan secara nyata pada yang terdampingi.

Meskipun memang penting bahwa anak-anak yang memiliki masalah terkait masa

remaja mereka menjalani konseling, namun konseling juga penting bagi setiap

remaja pada umumnya karena dapat membantu mereka lebih memahami

perubahan yang mereka alami dan mendapatkan bekal bagaimana cara menjalani

kehidupan masa remaja mereka

Holeesa disini hadir untuk mendengarkan dan merasakan. Setidaknya mereka yang

butuh pertolongan memiliki wadah untuk bercerita yang aman dan terpercaya. Holeesa juga

mengajak untuk dapat bersama melatih sikap mindful dan menerima diri. Selain itu mereka

yang pernah melalui masa-masa yang berat juga bisa ikut bergabung untuk saling berbagi

rasa. Sehingga mereka tidak lagi merasa sendiri, karena kita akan kuat karena saling

menguatkan.

Terhitung dari Januari hingga Agustus 2020, Kalimantan Timur menjadi peringkat

pertama dari seluruh Kalimantan dalam kasus kekerasan seksual dengan angka 262 kasus.

Data ini diperoleh dari aplikasi SIMFONI (Sistem Informasi Pencatatan dan Pelaporan Kasus

Kekerasan), yakni aplikasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak. Dalam data dijelaskan bahwa terdapat 60% korban terjadi pada usia remaja yakni 13-

17 tahun. Sayangnya, jumlah kasus maupun korban tertinggi tidak berasal dari lingkungan

asing, namun justru pada lingkungan rumah tangga.


Tujuan:

Mengurangi dampak negatif dari pengalaman traumatis • Menguatkan fungsi adaptif jangka
pendek & jangka panjang penyintas • Akselerasi proses pemulihan penyintas

Mencapai kualitas mental yang mumpuni sehingga bisa mandiri dan membangun keluarga

yang baik.

Segmen:

16-28 tahun

Isu

Mencapai Relasi

1. Fisik

- Menerima perubahan fisik dan menggunakan secara efektif

masalah:

- insecurity: bullying

2. Kesehatan Mental

- Mencapai kemandirian/independensi emosional

- Memiliki rasa tanggung jawab

- Motivasi belajar dan sukses

masalah:

- depresi

- LGBT

- toxic parents: superior/otoriter


- gak punya tujuan hidup

- belum mengenali diri sendiri

3. Spiritual

- menyiapkan pernikahan kehidupan keluarga

- Memaknai hidup

4. Sosial

- mencapai relasi baru dengan teman seusia

- menjalankan peran sosial menurut jenis kelamin

- penyesuaian norma lingkungan

masalah:

- fomo (fear of missing out)

- toxic friends

- partisipasi sosial

5. Skill

- Menyiapkan karir dan ekonomi

masalah:

- gak tau mau jadi apa

- merasa tidak memiliki bakat

Tujuan

1. Memfasilitasi individu untuk dapat mengatasi masalah kehidupan dibidang kesehatan

mental.
2. Mencapai kualitas mental yang mumpuni sehingga individu dapat memahami dan

meningkatkan kualitas diri.

3. Mengkader konselor baru sehingga konselornya banyak org yg tetolong banyak

Konsep Dasar Program Pendampingan

1.

Aktivitas Program Pendampingan

1. Memberikan konseling one on one atau peer group terkait problematika kesehatan

mental oleh seorang fasilitator (non psikolog).

2. Memberikan fasilitas pendampingan pada calon konselor sehingga menciptakan

konselor baru.

Sasaran

Program ini ditujukan bagi remaja dengan usia 16 – 23 tahun.

Anda mungkin juga menyukai