I
HAQQ: REALITAS DAN KEBENARAN
Salah satu perbedaan mendasar di antara posisi kita
dengan filsafat dan sains modern, sehubungan dengan
masalah perumusan filsafat sains, berkisar pada pema-
haman makna realitas dan kebenaran, dan hubungan ke-
duanya dengan fkte. Pemahaman terhadap apa yang,
diacu oleh dua kata ini mempunyai pengaruh amatbesar
pada pemahaman makna ilmu dan proses epistemolo-
gis, pemahaman nilai-nilai, dan akhirnya pada pema-
haman akan hakikat manusia itu sendiri.
Kita menggunakan satu kata untuk mengartikan se-
kaligus realitas dan kebenaran secara umum. Fakta ini
sendiri memiliki arti penting dalam mengantar kita me-
mahami kebenaran, tidak hanya sebagai sifat dari suatu
pernyataan, kepercayaan, dan penilaian, tetapi juga se-
bagai sifat dari hakikat realitas. Kata haqq sekaligus ber-
arti realitas dan kebenaran, Lawannya adalah bathil,
yang artinya bukan-realitas atau kepalsuan. Hagq berarti
suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan,
keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas, dan kepantasan
47SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
(moral). Ia merupakan suatu keadaan, kualitas, atau sifat
yang dapat ditemukan dalam kebijakan, keadilan, ke-
tepatan, kebenaran, realitas, dan kepantasan. Ia meru-
pakan suatu keadaan keniscayaan, sesuatu yang tak ter-
hindarkan, wajib, hak yang mesti diberikan. Ia meru-
pakan keadaan eksistensi dan mencakup segalanya.
Ada kata lain, sidhq, yang berarti kebenaran atau ke-
jujuran, yang lawannya adalah kidzb, yang berarti keti-
dakjujuran atau kepalsuan. Namun, sidiq hanya me-
nunjuk kepada kebenaran yang berkaitan dengan per-
nyataan atau kata-kata yang diucapkan; sementara kata
hagg tidak hanya mengacu kepada pernyataan tetapi
juga tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta
hal-hal dan kejadian-kejadian dalam eksistensi. Hal-hal
dan kejadian-kejadian yang ditunjuk oleh hagq bukan
hanya berkaitan dengan kondisinya sekarang, tetapi
juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam
hubungannya dengan kondisi yang akan datang, haqq
artinya verifikasi, realisasi, dan aktualisasi. Sebenarnya,
hagq di sini dipahami sebagai mencakup realitas maupun
kebenaran yang berkaitan dengan keadaan eksistensi,
karena ia merupakan satu dari nama-nama Tuhan yang
menggambarkan-Nya sebagai eksistensi mutlak yang
merupakan realitas, dan bukan konsep, eksistensi.
Bagi kebanyakan orang, sifat eksistensi dan hubung-
annya dengan realitas yang terpisah-pisah, yang mem-
punyai kesamaan namun juga beragam, yang kita sebut
sebagai "sesuatu" (thitg, shay’), adalah bahwa eksistensi
merupakan konsep abstrak dan umum yang berlaku
bagi segala sesuatu, tanpa kecuali. Pikiran, ketika men-
jumpai realitas lahiriah yang kita sebut “sesuatu", per-
tama kali dapat mengabstraksikannya dari eksistensi,
dan kemudian menyebut hasil abstraksi itu sebagai
mempunyai eksistensi atau eksis. Dengan demikian,
pikiran menisbahkan kepada benda-benda tersebut apa
yang dianggapnya sebagai sifat eksistensi mereka.
48ISLAM DAN FILSAFAT SAINS.
Eksistensi dianggap sebagai sesuatu yang diberikan
kemudian, yang aksiden, dan melekat sebagai milik
setiap sesuatu, Dalam proses mental ini, konsep yang
abstrak, tunggal, dan umum itu menjadi beragam dan
secara rasional dibagi ke dalam bagian-bagian yang se-
suai dengan setiap "sesuatu" itu. Eksistensi segala sesua-
tu adalah bagian-bagian ini; dan bagian-bagian ini,
bersama-sama dengan konsep eksistensi yang bersifat
umum dan abstrak, berada di luar “esensi” sesuatu itu
dan hanya secara mental ditambahkan belakangan.
Menurut perspektif ini, eksistensi adalah sesuatu yang
sifamya murni konseptual, sedangkan esensi adalah
yang real; esensi adalah realitas yang terwujud di luar
pikiran. Tetapi, kita katakan lebih jauh bahwa di sam-
ping konsep eksistensi, ada kenyataan lain, yaitu realitas
eksistensi; dan melekatnya eksistensi sebagai suatu kon-
sep muri dalam pikiran merupakan salah satu akibat
dari realitas eksistensi ini. 1
Eksistensi sebagai realitas, berbeda dengan seba gai
konsep, bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Ia terus-
menerus terlibat dalam suatu gerakan ekspresi-diri on
tologis yang dinamis, yang mengungkapkan kemung-
kinan-kemungkinan terpendamnya yang tak terhingga,
secara bertahap, dari yang kurang pasti hingga yang
lebih pasti, sampai ia muncul pada tingkat bentuk yang
konkret, sedemikian hingga eksistensi-eksistensi par-
tikular yang kita anggap sebagai "sesuatu”, yang banyak
dan beragam, yang memiliki "esensi" individual yang
terpisah-pisah, tidak lain merupakan modus dan aspek-_
aspek dari realitas eksistensi itu. Dari perspektif ini, '
esensi sesuatu tidak lebih dari kenyataan yang ada dalam
konsep saja, sedangkan eksistensi sesuatu adalah real.
Sesungguhnya, esensi sejati sesuatu adalah eksistensi
sebagaimana yang diindividuasi ke dalam suatu bentuk
partikular. Realitas eksistensi inilah yang di atas telah
kita nyatakan sebagai Realitas atau Kebenaran (al-haqq)
yang melingkupi semuanya; dengan ini pula Tuhan,
49SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
yang bersifat mutlak dalam segala bentuk perwujudan,
disebut.
Karena filsafat dan sains modern telah mulai me-
nyadari bahwa hakikat dasar fenomena adalah proses,
maka nama-nama yang digunakan oleh para filosof dan
ilmuwan sehubungan dengan proses harus juga mencer-
minkan dinamisme yang tercakup dalam gagasan proses
itu sendiri. Mereka menggunakan nama-nama seperti
"kehidupan" (life), "denyut kehidupan" (vital impulse),
atau “energi’, yang mengisyaratkan gerakan, perubah-
an, dan proses menjadi, yang menciptakan peristiwa-
peristiwa dalam ruang dan waktu. Bahwa mereka me-
milih nama-nama itu untuk menggambarkan realitas
yang terwujud sebagai proses, menunjukkan bahwa
mereka memandang eksistensi, berbeda dengan kehi-
dupan, denyut kehidupan, atau energi, hanya sebagai
konsep; dan sebagai konsep semata, eksistensi hanyalah
sesuatu yang bersifat statis, yang jelas-jelas tidak
sepadan dengan proses. Karena itu, rumusan mereka
mengenai filsafat sains, bertentangan dengan pandang-
an mereka yang menyatakan bahwa realitas yang men-
dasari fenomena adalah proses, masih berputar-putar di
sekitar pandangan-dunia yang esensialistik. Ini adalah
suatu pandangan-dunia yang disibukkan oleh "benda-
benda” yang mempunyai "esensi" yang independen dan
menghidupi dirinya-sendiri, dan oleh hubungan-hu-
bungan dan konsep-konsep yang mengacu kepada
benda-benda itu, sehingga membuatnya menunjuk
kepada dirinya sendiri sebagai realitas tunggal, dan
‘-bukan kepada realitas lain yang melampauinya, baik
yang mencakup maupun yang tak mencakupnya.
Sementara itu, kita melihat bahwa eksistensi benar-
benar menggambarkan hakikat dasar fenomena sebagai
proses, karena eksistensi sajalah, baik yang dipahami
sebagai konsep ataupun realitas, yang merupakan ke-
nyataan paling dasar dan universal yang kita ketahui.
Adalah benar bahwa eksistensi yang dipahami sebagai
50ISLAM DAN FILSAFAT SAINS
sebuah konsep bersifat statis dan tidak sepadan dengan
proses. Tetapi kita berpendapat bahwa eksistensi, selain
sebuah konsep, juga merupakan sebuah realitas: ia tidak
hanya bertempat dalam pikiran, tetapi juga suatu ke-
nyataan aktual dan real yang tidak bergantung pada
pikiran. Ja dinamis, aktif, kreatif, dan mengandung ke-
mungkinan-kemungkinan yang tak berhingga bagi eks-
presi-diri ontologisnya. la adalah suatu aspek dari
Tuhan yang muncul dari hakikat intrinsik nama-nama
dan sifat-sifat-Nya, dan dengan demikian merupakan
suatu kenyataan yang “sadar", yang bertindak sesuai
dengan cara bertindak yang biasa dilakukan Tuhan (sun-
nak Allah). i
Apa yang disehut "hukum alam” sesungguhnya ada-
lah cara bertindak yang biasa dilakukan oleh Tuhan;
dan, dalam pengertian demikian, “hukum-hukum" ini
tidak lagi dipandang kaku, karena kini mereka terbuka
terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tidak ber-
hingga. Karena itu, eksistensi merupakan bahan pem-
bentuk realitas yang terutama dan tertinggi. Sedangkan
kehidupan, denyut kehidupan, atau energi atau istilah-
istilah lain yang biasa digunakan oleh para filosof dan
ilmuwan untuk menggambarkan kenyataan fundamen-
tal tersebut, yang merupakan realitas yang mendasari
hakikat setiap sesuatu, semuanya bersifat sekunder ter-
hadap eksistensi karena mereka semuanya adalah sema-
cam sifat-sifat eksistensi.
Haqq sebagai Kebenaran
Ketika kita mengatakan bahwa haqq menunjuk ke-
pada yang real maupun yang benar, maksudnya adalah
bahwa hagq mempunyai sebuah aspek yang berkaitan
dengan yang real dan sebuah aspek yang berkaitan de-
ngan yang benar. Yang pertama mengacu kepada ta-
tanan eksistensi ontologis, dan yang kedua mengacu
kepada tatanan eksistensi logis. Haqq sebagai "yang real"
menunjuk kepada realitas eksistensi maupun modus
51SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
dan aspek-aspeknya yang kita pahami sebagai "kejadi-
an-kejadian" dan "proses". Haqq sebagai "yang benar"
menunjuk kepada penilaian yang berkesesuaian dengan
realitas lahiriah yang muncul menjadi "sesuatu” dari
kejadian-kejadian atau proses tersebut. Kesesuaian ini
melibatkan suatu korespondensi dan koherensi tertentu
antara tindakan penilaian intelektual dengan realitas la-
hiriah yang dipersepsi.
Seperti telah dikatakan sebelumnya dalam hubung-
annya dengan persepsi, realitas yang terdiri atas dunia
lahir tidak secara langsung, tanpa perantara, diberikan
dalam pengalaman, tetapi melalui abstraksinya yang
merupakan hasil kerja indera lahir dan indera batin
dalam beragam derajat, dan diuhah menjadi pengeta-
huan mengenai dunia lahir melalui konstruksi intelck-
tual, Pengetahuan konseptual kita, karena itu, ber-
kesesuaian dengan informasi yang disampaikan oleh
indera kepada kesadaran atau diri kita; dan konsepsi kita
tentang realitas lahiriah bersifat koheren dalam suatu
sistem hubungan konseptual yang telah tertanam dalam
dizi, dan mengantarkan kita pada pandangan kita me-
ngenai hakikat Realitas.
Kita berpandangan bahwa korespondensi dan kohe-
rensi yang merupakan hakikat dari kebenaran harus
memenuhi syarat kesesuaian dengan tuntutan kearifan
dan keadilan. Kearifan (hikmah) adalah ilmu yang diberi-
kan oleh Tuhan yang memungkinkan penerimanya
mengetahui tempat yang tepat, atau membuat penilaian
yang tepat mengenai tempat yang tepat dari sesuatu atau
suatu objek ilmu. Keadilan adalah kondisi di mana objek-
objek ilmu berada pada tempatnya yang tepat. Karena
itu, korespondensi dan koherensi harus berkesesuaian
dengan tempat yang tepat.
' _Gagasan tentang tempat yang tepat atau benar men-
cakup keniscayaan segala sesuatu dalam tatanan pencip-
taan untuk berada dalam kondisi itu—yakni, menempati
ruangnya masing-masing dalam suatu tatanan tertentu,
52ISLAM DAN FILSAEAT SAINS
dalam hal prioritas dan posterioritas, maupunruang dan
posisi, dan tersusun menurut beragam tingkat dan dera-
jatnya. Secara ontologis, segala ciptaan telah diatur
sedemikian; tetapi manusia, karena kejahilannya akan
tatanan yang adil yang meliputi semua makhluk, mem-
buat perubahan dengan mengacaukan tempat-tempat
tersebut, sehingga terjadi ketidakadilan. Ketidakadilan
adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya yang
tepat. Ia adalah suatu keadaan tidak terpenuhinya atau
terlampauinya batas-batas tempat yang sebenarnya, se-
hingga kalau dilihat dalam hubungannya dengan ta-
fanan umium dari sesuatu, ketidakadilan adalah dis-
harmoni,
Sesungguhnya, makna “yang tepat" sendiri telah ter-
cakup dalam hagq, karena ia menunjuk kepada hak atau
milik sesuatu; ia merupakan bagian yang telah pastiatau
ditentukan yang cocok dengan susunan alamiah dan
esensialnya; ia merupakan sesuatu yang melekat dalam
dirinya sendiri, suatu sifat dasar, atau atribut esensial.
Maka, tempat seseorang, setiap sesuatu, dan suatu objek
ilmu tidak hanya mengacu kepada tempat atau ruang
Khusus yang ditempatinya; tetapi juga posisi alamiah,
posisi yang sesuai dengan alam, baik dalam dunia la-
hiriah ataupun dalam imajinasi dan dalam pikirannya.
Dengan demikian, kita tidak sependapat dengan pan-
dangan yang menyatakan bahwa ilmu hanya berkaitan
dengan fenomena; bahwa kebenaran hanyalah sifat dari
pernyataan atau kalimat pernyataan, atau sifat dari peni-
laian dan kepercayaan yang darinya pernyataan ditu-
runkan dan yang bergantung pada hubungan antara
kepercayaan atau penilaian tersebut dengan suatu fakta
tertentu; bahwa fakta bersifat netral dalam hubungan-
nya dengan kebenaran dan kepalsuan.
Kita memandang bahwa kebenaran juga merupakan
sifat dasar dari hakikat sesuatu sejauh yang sesuai de-
ngan tuntutan-tuntutan kearifan dan keadilan, yakni
tuntutan-tuntutan kondisi maujud (being) dalam tempat-
53SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
tempat mereka yang tepat dan benar. Dan ini tidak ber-
arti bahwa kebenaran hanyalah korespondensi antara
penilaian atau pernyataan dengan fakta, karena kalau
begitu fakta akan menjadi sama dengan kebenaran.
Meskipun suatu kalimat dapat benar karena ia mengacu
kepada fakta, keberadaan fakta semata-mata tidak ke-
mudian membuat fakta menjadi kebenaran. Kebenaran
bukanlah sekadar kesesuaian dengan fakta; karena fakta
dapat diciptakan oleh manusia dan karena itu dapat
berada di tempat yang tidak tepat, yang berarli fakta
dapat salah.
Bahwa fakta dapat diciptakan oleh manusia, mengu-
kuhkan benarnya penolakan kita terhadap pandangan
yang menyatakan bahwa fakta adalah netral dalam hu-
bungannya dengan kebenaran dan kepalsuan, karena
keberadaan fakta-fakta itu sendiri justru bergantung
pada nilai-nilai suatu pandangan-dunia tertentu, yang
dianut manusia yang menciptakan fakta-fakta tersebut.
Karenanya, dengan menyatakan bahwa kebenaran me-
nyangkut koherensi dan korespondensi, yang kita mak-
sudkan bukan hanya antara pemikiran, gagasan, atau
kepercayaan dengan fakta, kecuali jika fakta itu berada
pada tempatnya yang benar; yaitu, kecuali jika fakta itu
memiliki koherensi dalam suatu sistem kebenaran-kebe-
naran yang terpadu sebagaimana dipahami oleh diri.
Tempat yang benar bagi manusia, misalnya, adalah
bahwa ia mesti dipandang sebagai makhluk ruhani dan
jasmani sekaligus; bahwa ia adalah makhluk hidup yang
memiliki fakultas batin yang mampumemahami makna
hal-hal universal; yang mempunyai kekuatan dan daya
untuk mengungkapkan kata-kata atau bentuk-bentuk
perlambang dalam pola yang bermakna. Ia adalah ruh,
diri, hati, dan akal yang mewujud dalam bentuk tubuh;
dan ruh, diri, hati, dan akal manusia merupakan suatu
realitas tunggal dan sama yang dinamai dengan banyak
nama, karena banyaknya modusnya dalam hubungan-
SaISLAM DAN FILSAFAT SAINS
nya dengan beragam tingkat eksistensi yang mencakup
wilayah jasmani dan ruhani.
Realitas dan kebenaran (haqq) manusia mencakup ke-
dua wilayah tersebut. Tetapi jika ia betul-betul terseku-
larisasi, jika ia dianggap sebagai sesuatu yang lahiriah
saja, yaitu hewan yang berbeda dengan hewan lain
hanya dalam derajatnya bukan dalam jenisnya, maka
manusia itu tidak dianggap berada di tempatnya yang
benar. Dan pernyataan-pernyataan sains yang berkaitan
dengan manusia, seperti yang muncul dari pernyataan-
pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan umum reka-
yasa genetika, misalnya, walaupun didukung oleh ‘
bukti-bukti empiris, tetap saja salah karena dibangun di
atas premis-premis yang didasarkan pada penafsiran
yang salah tentang hakikat manusia, yang pada giliran-
nya bergantung pada sistem yang salah, meskipun di-
anggap telah menggambarkan tatanan realitas yang
benar.
Haqgq sebagai Realitas
Sehubungan dengan arti haqq sebagai realitas, kata
yang tepat untuk menunjuk realitas adalah haqigah, yang
diturunkan dari kata haqq. Perbedaan antara haqq dan
hagigah adalah bahwa yang pertama mengacu kepada
kondisi, sistem atau tatanan ontologis yang diketahui
lewat intuisi; sementara yang terakhir mengacu kepada
struktur ontologis, kepada hakikat, wujud atau diri se-
suatu itu sendiri. Hagiqah atau realitas adalah penyebab
sesuatu itu menjadi ada sebagaimana adanya.
Kini, hagiqah yang menyebabkan sesuatu itu ada seba-
gaimana adanya mempunyai dua aspek. Pada satu sisi,
karena segala sesuatu yang ada mengambil bagian dari
realitas, berarti realitas adalah sesuatu yang dimiliki atau
berlaku bagi segala sesuatu. Sesuatu yang dimiliki atau
berlaku bagi segala sesuatu ini adalah eksistensi. Maka,
satu dari dua aspek yang menyebabkan sesuatu ada
55SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
sebagaimana adanya adalah "ke-ada-an'' (being-exsistent)
dari sesuatu itu. Aspek lainnya adalah "ke-beda-an" (si-
fat terbedakan)-nya (being-distinct) dari yang lain.
"Ke-ada-an" dimiliki oleh semua yang ada dalam be-
ragam tingkat eksistensi, dan walaupun eksistensi meru-
pakan bahan pembentuk realitas, sebenarnya yang
membuat sesuatu menjadi dirinya sendiri bukanlah apa
yang dimiliki atau berlaku bagi sesuatu itu (yakni, "ke-
ada-an"-nya), namun “ke-beda-an"-nya dari yang lain,
atau sesuatu yang membedakannya dari yang lain itulah
yang membuat sesuatu menjadi dirinya sendiri, karena
realitas terwujud atas dasar perbedaan. Dengan demi-
kian, hakikat pokok realitas adalah perbedaan.
Eksistensi (wujud, dari wupida, bentuk pasif dari wa-
jada) menunjuk kepada sesuatu yang ditemukan, diper-
sepsi, diketahui, diindera, dengan indera lahir dan batin,
atau akal, atau hati. Karena eksistensi sebagai realitas
merupakan bahan pencipta yang melahirkan sesuatu,
bentuk lain dari kata itu (jad) menunjuk kepada sesuatu
yang diadakan, diciptakan, dimulakan. Karena realitas
yang merupakan cksistensi meliputi segala sesuatu, ia
tercukupi oleh dirinya sendiri dalam keberlimpahan
abadinya, dan ini berarti tidak membutuhkan apa pun.
Hal ini ditunjuk oleh bentuk yang lain lagi (wajid).
Ketika dengan intuisi yang lebih tinggi orang mene-
mukan wujudnya suatu realitas, "penemuan" eksistensi
realitas ini disebut wijdan, yang sebelumnya telah di-
katakan mengacu kepada intuisi eksistensi. Jadi, ketika
di atas kita berbicara tentang aspek "ke-ada-an" dari
hagiqah, ia tidak boleh ditafsirkan sebagai menunjuk
kepada sesuatu yang ada hanya secara aktual atau saat
ini dalam dunia lahiriah; tetapi ia juga mengacu kepada
kategori eksistensi dalam kondisi dalam dari realitas
cksistensi yang secara terus-menerus membuka atau
mengungkapkan dirinya secara bertahap, hingga men-
jaci hal-hal yang tertampak, yang kita lihat.
56,ISLAM DAN FILSAFAT SAINS
Eksistensi berarti memiliki tempat dalam tatanan re-
alitas. Karena eksistensi, sebagai sesuatu yang universal,
yang terwujud secara khusus sebagai "ke-ada-an" dari
sesuatu, adalah satu dari dua aspek realitas, maka kata
"tempat", ketika kita mengatakan bahwa eksistensi ber-
arti memiliki tempat dalam tatanan realitas, mengacu
kepada aspek "ke-beda-an"-nya dari yang Jain. Tatanan
realitas, dalam pandangan kita dan dalam pengertian
yang telah dikemukakan di atas, tidak dapat dipersem-
pit hanya kepada dunia penampakan (phenomenal), atau
dunia empiris dalam wilayah indera dan pengalaman
inderawi.
Ketika kita mendefinisikan ilmu sebagai terdiri atas
satuan-satuan makna yang secara koheren terkait de-
nganlainnya hingga membentuk gagasan, konsepsi,dan
penilaian, dan kita mendefinisikan makna sebagai
pengenalan tempat segala sesuatu dalam suatu sistem
yang terjadi ketika hubungan antara sesuatu dengan
yang lainnya dalam sistem itu menjadi jelas dan ter-
pahami, maka kita memahami bahwa hubungan atau
jaringan hubungan seperti itulah yang menentukan
pengenalan kita terhadap tempat yang benar dari se-
suatu itu dalam sistem tersebut. Dengan "sistem", yang
kita maksudkan tentu saja bukan hanya sistem awal dan
parsial dalam suatu jaringan sistem-sistem yang saling
terkait, tetapi pada akhirnya juga sistem ontologis besar
secara keseluruhan.
Kita setuju bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan,
dan cara sampainya, indera dan fakultas yang menerima
dan menafsirkannya, jelas tidak sama. Karena semua
ilmu berasal dari Tuhan, dan ditafsirkan oleh diri de-
ngan fakultas jasmaniah dan ruhaniah, maka definisi
ilmu secara epistemologis, dengan acuan kepada Tuhan
sebagai sumber asalnya, adalah sampainya makna ke
dalam diri. Dengan acuan kepada diri sebagai penafsir
dan penerima aktifnya, ilmu adalah sampainya diri ke-
pada makna.
57SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Alam tabi’i, sebagaimana yang digambarkan Al-
Quran, tersusun dari bentuk-bentuk perlambang (ayat),
seperti kata-kata dalam sebuah buku. Sesungguhnya,
alam tabi‘i adalah bentuk lain dari wahyu Mahi yang
analog dengan Al-Quran senditi—perbedaannya adalah
bahwa buku besar alam yang terbuka ini adalah sesuatu
yang diciptakan; ia menghadirkan dirinya dalam ba-
nyak bentuk yang beragam yang mengambil bagian
dalam eksistensi simbolik berdasarkan artikulasi terus-
menerus oleh kata (firmam) kreatif Tuhan.
Kini, suatu kata sebagaimana adanya adalah suatu
lambang, dan untuk mengetahuinya sebagaimana ada-
nya adalah mengetahui apa yang diacunya, apa yang
dilanibanghantya, apa uakoanya, Kalau kita inengang-
gap suatu kata seolah-olah memiliki realitasnya sendiri
yang indeperden, maka ia bukan lagi tanda atau lam-
bang karena keberadaanya adalah untuk menunjuk
kepada dirinya sendiri.! Demikian juga kajian atas alam,
1 Dalam Pennies terhadap bukunya, Islam, Secularism and
the Philosophy of the Future, penulis mengkritik sains
modem sebagai selalu berada dalam perjalanan menuju
kebenaran.namun tak pernah dan tak dapat mengapainya,
karena ia terlalu disibukkan oleh, bahkan telah tenggelam
dalam, dunia benda-benda: alam tabi‘i dianggap sebagai
realitas akhir, dan posisi benda-benda di dalamnya sebagai
lambang-lambang bagi dunia miakna yang ada di
belakangnya telah dilupakan. [ustrasi menarik yang
diberi va untuk memperjelas situasi ini adalah sebagai
berikut:
Misalkan kita sedang mengendarai mobil di suatu
malam yang gelap dan berhujan, menuju ke suata tempat
yang sudah pernah kita dengar tapi belum pernah kita
kunjungi, Lalu kita sampai di sebuah persimpangan jalan.
Di sana ada sebuah papan penunjuk, dengan banyak
cabang yang panjangnya berbeda-beda, yang menunjuk ke
arah tempat-tempat yang berbeda. Papan penunjuk dan
cabang-cabangnya ini berbentuk sangat sederhana dan
dicat putih, dan nama-nama tempat dan jaraknya tertulis
58ISLAM DAN FILSAFAT SAINS
atas apa saja, atas setiap objek ilmu di dunia ciptaan; jika
ungkapan "sebagaimana adanya" dipahami sebagai hal
yang dianggap merupakan realitas independen, secara
esensial ataupun eksistensial—seolah-olah ia merupa-
kan sesuatu yang berakhir pada dan menghidupi dirinya
sendiri—maka kajian seperti itu kehilangan tujuan se-
sungguhnya, dan pencarianilmu menjadi suatu penyim-
pangan dari kebenaran; karenanya ilmu seperti itu pasti
dapat dipertanyakan keabsahannya. Karena, sesuatu se-
bagaimana adanya (yaitu, hakikatnya) adalah berbeda
dari dirinya sendiri, dan sesuatu yang berbeda itulah
di situ dengan huruf-huruf cetak yang jelas dan bercat
hitam. Ketika mobil kita mendekati papan penunjuk itu
dan lampu meneranginya, segera kita mengenali cabang
yang menunjukkan arah tempat yang Kita tuju. Yang kita
Jakukan kemudian adalah segera meninggalkan tempat itu
tanpa ragu-ragu dan mengikuti jalan yang ditunjukkan
oleh penunjuk itu. Kita melakukan hal ini karena tanda
tersebut sudah jelas. Tapi kini andaikan papan penunjuk itu
terbuat dari marmar yang disepuh dengan sangat halus,
dan cabang- cabang yang menunjukkan arah itu diukir
menjadi bentuk yang amat menakjubkan, nama-nama
tempat dan jaraknya tertulis dengan emas mumi dan
dihiasi dengan jenis-jenis permata yang langka. Mungkin-
kah kita dapat dengan mudah, tanpa keraguan, me-
nemukan cabang yang menunjukkan arah tujuan kita; dan
akankah kita segera meninggalkan tempat itu untuk
menuju ke arah yang kita tuju? Jelas, apa yang paling
mungkin terjadi dalam situasi seperti ini adalah bahwa kita
akan menghentikan mobil, bahkan keluar tanpa mem-
pedulikan hujan, dengan sebuah lampu, untuk melihat
dengan lebih dekat barang yang menakjubkan di depan
ita itu. Mungkin kita bahkan akan tetap tinggal di mobil
untuk menunggu pagi, agar dapat melihat papan pena
itu dengan lebih jelas lagi. Di sini tanda itu tidaklah jelas;
ia menunjuk lebih kepada dirinya sendiri ketimbang
kepada objek-objek yang sebenarnya justru menjadi alasan
keberadaannya. (Islam, Secularism and the Philosophy of the
Future, Mansell Publishing Limited, London-New York,
1985, him. xix-xx.). 7
59SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
yang merupakan maknanya.
Dengan demikian, sebagaimana melakukan pengka-
jian atas kata sebagai kata mengakibatkan penyimpang-
an dari kebenaran yang berada di belakangnya, filsafat
dan fisika yang meneliti sesuatu benda sebagai benda itu
sendiri, membawa kepada kepercayaan umum yang
salah, yaitu kepercayaan bahwa eksistensi benda-benda
itu, yang berada di luar pikiran, adalah kumpulan par-
tikel yang selalu ada selama suatu rentang masa tertentu
dan bergerak dalam ruang—seolah-olah parlikel-par-
tikel ini adalah bahan sejati yang menyusun alam. Pada-
hal dalam kenyataannya, "materi" terdiri atas serang-
kaian kejadian (a’radh, bentuk tunggalnya: ‘aradh), dan
fenomena lahiriah adalah proses yang setiap detilnya
tidak herkesinambungan, Maka, sesuatu benda, seperti
kata, pada akhirnya adalah tanda atau lambang, yakni,
sesuatu yang tampak dan tak terpisahkan dari sesuatu
yang lain yang tidak tampak, sedemikian hingga ketika
yang tampak dipersepsi, maka yang tidak tampak akan
diketahui.
Itulah sebabnya kita mendefinisikan ilmu secara epis-
temologis sebagai sampainya makna sesuatu kepada diri,
atau sampainya diri kepada makna sesuatu. "Makna se-
suatu” berarti maknanya yang tepat; dan apa yang kita
pandang sebagai makna "yang tepat" adalah ditentukan
oleh pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran
sebagaimana yang ditampilkan oleh sistem konseptual
Qurani.
Dengan demikian, ungkapan yang telah kita guna-
kan—seperti “tatanan realitas yang benar’, “tatanan yang
adil yang meliputi semua ciptaan", "lingkat dan derajat",
dan "tatanan umum ciptaan" ketika kita mengacu
kepada "sistem" hubungan-hubungan konseptual di
mana “tempat-tempat yang tepat" dikenali—hal ini
menunjuk tidak lain kecuali kepada sistem konseptual
Qurani. Dalam hubungannya dengan realitas dan ke-
60ISLAM DAN FILSAFAT SAINS
benaran, korespondensi, sebagaimana kita pahami,
mengacu kepada tempat yang tepat, dan koherensi
kepada sistem Qurani_[]
61