Anda di halaman 1dari 12

MASALAH GIZI DI INDONESIA

DisusunOleh :

Ni KAdek Ari Pramesti ( 004 )


Ni Made TrisWaraswathi ( 010 )
Ni LuhTuAyuJuliani ( 011 )
Ni Nyoman Diah Anisyaputri ( 012)
Ni Made Tika Prasista Dewi ( 017 )
I Gusti Ayu Nanda Agustina ( 027 )
Brillient Undhang Dwi Prakoso ( 044 )

KEMENTERIAN KEMENKES RI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR

TAHUN AJARAN 2021/2022


A. Pengertian Masalah Gizi di Indonesia

Masalah gizi merupakan hal yang umum terjadi, terutama di Indonesia. Masalah gizi
timbul karena terjadi suatu ketidak seimbangan atau gangguan antara asupan yang diterima
dengan kebutuhan tubuh. Ketidak seimbangan tersebut bisa berarti kelebihan maupun
kekurangan gizi. Saat ini di masalah gizi di Indonesia semakin kerap terjadi dan harus ditangani
dengan serius. Beberapa faktor penyebab masalah gizi di Indonesia, antara lain :

1. Konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang
memenuhi syarat gizi seimbang.

2. Penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular


terutama diare, cacingan dan penyakit pernapasan akut (ISPA). Hal ini terjadi
karena lingkungan dan kualitas hidup yang kurang sehat.

3. Ketersediaan pangan di keluarga, pola asuh, dan juga akses informasi mengenai
gizi dan kesehatan.

4. Tingkat kemiskinan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi.

Anak-anak hingga remaja tetap membutuhkan nutrisi yang seimbang untuk


memaksimalkan pertumbuhannya. Karena terjadi perubahan fisiologis saat remaja yang
mempengaruhi kebutuhan gizi. Sangat disayangkan bila generasi muda bangsa sudah mengalami
masalah gizi. Padahal mereka lah yang diharapkan menjadi calon pemimpin bangsa di kemudian
hari yang sehat dan juga produktif. Beberapa masalah kesehatan yang sering terjadi di Indonesia
akibat masalah gizi yang kurang seimbang, antara lain :

1. Stunting Pada Anak

Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat
pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas
yang lebih banyak, karena pada umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam
proses belajar. Apabila intake zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas
balita akan mengalami gangguan, yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi generasi
yang hilang (lost generation), dan dampak yang luas negara akan kehilangan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas (Welasasih, 2012).

Stunting merupakan suatu keadaan retardasi pertumbuhan linier yang berkaitan dengan
adanya proses perubahan patologis. Pertumbuhan fisik berhubungan dengan faktor lingkungan,
perilaku dan genetik, kondisi sosial ekonomi, pemberian ASI, dan kejadian BBLR merupakan
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting .Status gizi buruk berdampak terhadap
menurunnya produksi zat anti bodi dalam tubuh.Penurunan zat anti bodi ini mengakibatkan
mudahnya bibit penyakit masuk ke dalam dinding usus dan mengganggu produksi beberapa
enzim pencernaan makanan dan selanjutnya penyerapan zat-zat gizi yang penting menjadi
terganggu, keadaan ini dapat memperburuk status gizi anak.

2. Anemia Pada Remaja

Remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai sejumlah
perubahan biologis, kognitif, dan emosional. Berdasarkan usia remaja dibagi menjadi tiga
periode yaitu remaja awal pada usia 10-13 tahun, remaja pertengahan pada usia 14-16 tahun, dan
remaja akhir pada usia 17-20 tahun. Puncak pertumbuhan remaja putri terjadi pada usia 12 tahun,
sedangkan remaja putra terjadi pada usia 14 tahun. Status gizi optimal apabila tubuh memperoleh
cukup zat gizi yang digunakan secara efesien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, dan kesehatan secara umum. Masalah gizi yang biasa dialami pada masa
remaja salah satunya adalah anemia.

Anemia adalah kondisi kekurangan sel darah merah dalam tubuh. Sel darah merah berisi
hemoglobin bertugas untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Nilai normal kadar
hemoglobin seseorang ditentukan berdasarkan jenis kelamin dan usianya berdasarkan jenis
kelamin dan usia. Kadar hemoglobin normal pada wanita berkisar antara 12-15 gr/dl, sedangkan
kadar hemoglobin pada pria dewasa berkisar antara 13-17 gr/dl. Seorang dikatakan anemia jika
kadar hemoglobin dibawah normal.

3. Obesitas
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu permasalahan yang sangat merisaukan
remaja. Namun disisi lain obesitas juga banyak terjadi dikalangan anak-anak. Obesitas adalah
kondisi akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan di jaringan adiposa. Obesitas pada anak
merupakan masalah kesehatan karena prevalensi obesitas anak di dunia semakin meningkat.
Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan
penumpukan adipose (jaringan lemak khusus yang disimpan oleh tubuh) secara berlebihan.

Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan atau abnormal yang dapat menggangu
kesehatan (WHO,2017). Penyebab utama terjadinya obesitas yaitu ketidakseimbangan antara
asupan energi dengan pengeluaran energi (Betty, 2004). Obesitas adalah kondisi yang ditandai
gangguan keseimbangan energi tubuh yaitu terjadi keseimbangan energi positif yang akhirnya
disimpan dalam bentuk lemak di jaringan tubuh (Nelm, et, al 2011). Sehingga obesitas adalah
terjadinya penumpukan lemak dalam tubuh yang abnormal dalam kurun waktu yang lama dan
dikatakan obesitas bila nilai Z-scorenya >2SD berdasarkan IMT/U umur 5-18 tahun (Kemenkes,
2010).

4. Kekurangan Energi Kronis (KEK)

KEK adalah masalah kurang gizi yang berlangsung dalam waktu yang lama, yaitu hitungan
tahun. Di Indonesia kasus kekurangan energi kronik utamanya disebabkan karena kurang
asupan gizi seperti energi dan protein, sehingga zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak
tercukupi. Seseorang yang kekurangan energi dapat mengalami penurunan berat badan dan
memicu rendahnya simpanan energi dalam tubuh yang akan menyebabkan kurang energi kronik.

KEK dapat diketahui dengan ukuran lingkar lengan atas (LILA) wanita usia subur kurang
dari 23,5 cm. KEK dapat dialami wanita usia subur (WUS) usia 15-45 tahun sejak remaja
kemudian berlanjut pada masa kehamilan dan menyusui akibat cadangan energi dan zat gizi yang
rendah. Salah satu dampak jangka panjang masalah gizi makro pada WUS dan ibu hamil dengan
KEK adalah melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah.

B. Riwayat Alamiah Penyakit

a. Stunting Pada Anak

Indikator status gizi status balita berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur
(PB/U atau TB/U) memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya kronis yang berlangsung
lama. Jika kodisi stunting yang tidak segera ditangani akan menjadi beban yang berdampak
dalam jangka waktu dekat maupun tampak dimasa mendatang. Kegagalan tumbuh akibat
stunting bersifat tidak dapat diperbaiki (irreversible). Dampak yang mulai dirasakan dalam
jangka pendek (0 hari hingga 2 tahun pertama kehidupan) adalah pertumbuhan dan
perkembangan fisik yang terhambat, perkembangan otak kurang maksimal dan tinggi badan yang
lebih rendah dibanding anak seusianya, karena pada periode kritis pertumbuhantersebutlah
sebagian besar fungsi fisiologi berubah, organ, sistem organ termasuk sistem syaraf membentuk
jutaan sinapsis baru sebagai penghubung neuron di otak. perkembangan otak akibat kekurangan
gizi kronis adalah yang paling merugikan. Pasalnya stunting menurunkan nilai intelligence
quotients (IQ) sebesar 5-11 poin, sehingga nilai saat bersekolah menjadi lebih rendah akibat
penurunan kemampuan kognitif dan anak yang lahir dengan berat badan kurang memiliki
peluang 2.6 kali lebih kecil untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Kesempatan
bersekolah yang lebih kecil mengurangi kesempatan mendapat pekerjaan, sehingga pendapatan
yang diperoleh menjadi lebih rendah dibanding dewasa normal.

b. Anemia Pada Remaja

Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah lebih
rendah dari normal (WHO, 2011). Hemoglobin adalah salah satu komponen dalam sel darah
merah / eritrosit yang berfungsi untuk mengikat oksigen dan menghantarkannya ke seluruh sel
jaringan tubuh. Oksigen diperlukan oleh jaringan tubuh untuk melakukan fungsinya.

Remaja putri merupakan salah satu kelompok yang merupakan populasi rawan terhadap
defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi berisiko menderita anemia, masa pubertas sangat
berisiko mengalami anemia gizi besi, hal ini disebabkan banyaknya zat besi yang hilang selama
menstruasi. Status gizi merupakan salah satu faktor penyebab kejadian anemia pada remaja putri.
Anemia pada remaja putri sampai saat ini masih cukup tinggi, prevalensi anemia di dunia
berkisar 40-88%. Sebanyak 21,7% penduduk Indonesia terkena anemia dengan penderita anemia
berumur 15-24 tahun.

c. Obesitas

Obesitas dimulai dengan tahap prepatogenesis kemudian ke tahap pathogenesis. Tahap

prepatogenesis ditandai adanya interaksi awal antara faktor-faktor host, agent, environment. Pada
tahapan ini kondisi host masih sehat. namun sudah terjadi interaksi antara host dan agent

meskipun agent belum masuk ke tubuh host tersebut. Prepatogenesis obesitas ditandai oleh

adanya agent yang berupa asupan makanan yang berlebihan, kurangnya aktifitas fisik, dan obat-

obatan seperti jenis imunodepressan. Asupan makanan yang berlebih dapat disimpan tubuh

sehingga menjadi timbunan lemak dan kurangnya aktivitas menyebabkan timbunan lemak di

dalam tubuh tidak mengalami pembakaran kalori. Sementara untuk host obesitas dimulai pada

ibu hamil berupa genetik, gangguan endokrin, dan jenis kelamin. Perempuan lebih beresiko

obesitas daripada laki-laki karena cadangan lemak tubuh perempuan lebih banyak. Untuk

environtment pada obesitas meliputi budaya makan, Faktor sosial dan ekonomi serta gangguan

psikis. Budaya makan di suatu daerah juga mempengaruhi pola makan individu, seperti masakan

padang yang bersantan akan mempengaruhi terjadinya obesitas.

Faktor sosial terkait pekerjaan juga dapat mempengaruhi pola hidup seseorang, pekerjaan

yang padat akan mengurangi sesorang untuk berolahraga. Setelah terjadi obesitas, maka host

tersebut akan beresiko sakit seperti menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes tipe 2, kanker,

gangguan musculoskeletal, kelainan pernapasan bahkan disabilitas kerja, jika berlangsung lama

dimungkinkan akan terjadi kematian. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan agar para

remaja tidak mengalami obesitas. Upaya tersebut diantaranya berupa health promotif melalui

nasehat orang tua tentang pola makan dan gaya hidup yang baik. Kemudian upaya spesifik

proteksi berupa pengontrolan pola makan dan memperbanyak aktivitas dengan olahraga. Pada

tahap early diagnosis dan prompt treatment dapat dilakukan dengan cara melakukan cek

kesehatan. Penderita obesitas bisa menjadi normal kembali sehingga diperlukan motivasi untuk

mereka.

4. Kekurangan Energi Kronis (KEK)


Riwayat alamiah terjadinya masalah kekurangan energi kronis, dimulai dari tahap pre

patogenesis yaitu proses interaksi antara penjamu dengan penyebab (zat gizi) serta lingkungan.

Pada tahap ini terjadi keseimbangan antar ketiga komponen antara lain tubuh manusia, zat gizi

dan lingkungan. Terjadinya patogenesis KEK memiliki 4 kemungkinan yaitu makanan yang

dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, kepekaan tubuh terhadap kebutuhan

gizi meningkat, pergeseran lingkungan yang memungkinkan kekurangan pangan, dan perubahan

lingkungan seperti kepadatan penduduk di daerah kumuh.

Bila kemungkinan pathogenesis tersebut terjadi maka tubuh akan kekurangan zat gizi

terutama zat gizi makro yang menghasilkan energi. Apabila zat gizi yang dikonsumsi berlebih

maka akan disimpan dalam tubuh sebagai cadangan zat gizi, namun ketika zat gizi yang

dikonsumsi kurang maka akan diambil dari cadangan zat gizi tubuh. Jika simpanan zat gizi sudah

habis dan konsumsi zat gizi masih kurang maka akan terjadi proses biokimia untuk mengubah

unsur-unsur pembangun struktur tubuh yang akan mengakibatkan gangguan biokimia pada

tubuh. Jika hal ini berlangsur terus menerus dan tidak segera diatasi dengan mengkonsumsi

makanan yang adekuat maka dapat mengakibatkan seseorang mengalami KEK. Selain itu faktor

social dan ekonomi keluarga juga berperan penting dalam terjadinya KEK. Karena ketika

seseorang tidak memiliki penghasilan yang cukup maka mereka juga kesulitan untuk memenuhi

asupan gizi mereka.

C. Kelompok Rawan

1) Stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir, kondisi stunting baru terlihat setelah bayi
berusia dua tahun. Stunting menurut Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010 adalah status gizi
yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut
umur (TB/U) dalam standar penilaian status gizi anak, dengan hasil pengukuran yang berada
pada nilai standar atau z-score< -2 SD sampai dengan -3 SD untuk pendek (stunted) dan < -3 SD
untuk sangat pendek.

Masalah gizi stunting pada balita dapat menghambat perkembangan anak, dengan dampak
negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual,
rentan terhadap penyakit tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan
kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.

2) Anemia

Anemia merupakan salah satu permasalahan gizi yang banyak terjadi di negara berkembang.
Faktor gizi yang turut berkontribusi terhadap kejadian anemia diantaranya adalah kurangnya
asupan zat gizi yang memengaruhi pembentukan Hemoglobin (Hb) pada penderita anemia.
Wanita usia subur (WUS) yang menderita anemia rata-rata memiliki tingkat konsumsi zat besi,
asam folat, dan seng kurang dari AKG. Wanita usia subur merupakan kelompok yang rawan
menderita anemia serta defisiensi zat gizi lain, sehingga memerlukan perhatian khusus.3 Adanya
gangguan kesehatan dan status gizi pada WUS akan berdampak pada kualitas sumber daya
manusia generasi yang akan dilahirkannya.4 Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013
menyebutkan bahwa persentase anemia pada wanita usia 15-44 tahun sebesar 35,3 persen.

Anemia defisiensi besi menjadi kasus anemia yang paling sering dijumpai.

3) Obesitas

Obesitas adalah suatu penyakit multifaktoral yang diduga bahwa sebagian besar obesitas
disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, mengelompokkan
faktor lingkungan menjadi lima yaitu aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi, dan gizi yaitu
perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi. Penyebab obesitas pada
anak antara lain asupan makanan berlebih yang berasal dari jenis makanan olahan serba instan,
minuman soft drink, makanan jajanan seperti makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog) dan
makanan siap saji lainnya yang tersedia di gerai makanan. Selain itu, obesitas dapat terjadi pada
anak yang ketika masih bayi tidak dibiasakan mengonsumsi ASI, tetapi menggunakan susu
formula dengan jumlah asupan yang melebihi porsi yang dibutuhkan bayi atau anak. Faktor lain
penyebab obesitas adalah kurangnya aktivitas fisik baik kegiatan harian maupun latihan fisik
terstruktur. Aktivitas fisik yang dilakukan sejak masa anak sampai lansia akan mempengaruhi
kesehatan seumur hidup. Jika obesitas terjadi pada anak sebelum usia 5-7 tahun, maka risiko
obesitas dapat terjadi pada saat tumbuh dewasa.

4. Kekurangan Energi Kronis (KEK)

Kekurangan energi kronis merupakan salah satu masalah gizi yang terjadi di Indonesia.
Kelompok rawan gizi yang rentan mengalami KEK adalah wanita usia subur (WUS) dan ibu
hamil. Wanita usia subur merupakan wanita yang tergolong ke dalam usia 15-49 tahun dengan
organ reproduksi yang sudah matang dan berfungsi dengan baik. Wanita yang memasuki usia
remaja (15-19 tahun) mengalami penambahan massa otot, penambahan jaringan lemak tubuh,
dan perubahan hormon yang dapat mempengaruhi kebutuhan gizinya. Kebutuhan gizi yang
meningkat jika tidak diikuti dengan konsumsi zat gizi ang mencukupi akan mengakibatkan
terjadinya kekurangn zat gizi dalam tubuh yang akan mengakibatkan tubuh mengalami
kekurangan energi. Faktor penyebab KEK pada ibu hamil sangat kompleks diantaranya, ketidak
seimbangan asupan zat gizi, penyakit infeksi, dan perdarahan. KEK pada ibu hamil juga berisiko
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

D. Cara Penanggulangan

1. Stunting Pada Anak

Upaya pencegahan stunting sudah banyak dilakukan di negara-negara berkembang


berkaitan dengan gizi pada anak dan keluarga. Upaya tersebut oleh WHO (2010) dijabarkan
sebagai berikut:

a. Zero Hunger Strategy, stategi yang mengkoordinasikan program dari sebelas kemeterian
yang berfokus pada yang termiskin dari kelompok miskin
b. Dewan Nasional Pangan dan Keamanan Gizi Memonitor, strategi untuk memperkuat
pertanian keluarga, dapur umum dan strategi untuk meningkatkan makanan sekolah dan
promosi kebiasaan makanan sehat
c. Bolsa Familia Program, menyediakan transfer tunai bersyarat untuk 11 juta keluarga miskin.
Tujuannya adalah untuk memecahkan siklus kemiskinan antar generasi
d. Sistem Surveilans Pangan dan Gizi,pemantauan berkelanjutan dari status gizi populasi dan
yang determinan
e. Strategi Kesehatan Keluarga, menyediakan perawatan kesehatan yang berkualitas melalui
strategi perawatan primer.

Upaya penanggulangan stunting menurut Lancet pada Asia Pasific Regional Workshop
(2010) diantaranya:

a. Edukasi kesadaran ibu tentang ASI Eksklusif (selama 6 bulan)


b. Edukasi tentang MP-ASI yang beragam (umur 6 bulan- 2 tahun)
c. Intervensi mikronutrien melalui fortifikasi dan pemberiam suplemen
d. Iodisasi garam secara umum
e. Intervensi untuk pengobatan malnutrisi akut yang parah
f. Intervensi tentang kebersihan dan sanitasi

Di Indonesia upaya penanggulangan stunting diungkapkan oleh Bappenas (2011) yang disebut
strategi lima pilar, yang terdiri dari:

a. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil dan anak
b. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi
c. Peningkatan aksebilitas pangan yang beragam
d. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat
e. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan

Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan dengan
cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus
mendapatkan makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan
terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6
bulan (Eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang
cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi
suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A. Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis
seharusnya dapat dipantau dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan
secara rutin dan benar. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang
sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat
dilakukan pencegahan terjadinya balita stunting (Kemenkes R.I, 2013).

2. Anemia pada remaja putri

Sering kali kita dapat mengatasi anemia dan mencegah kondisi kekurangan sel darah merah
tanpa perlu perawatan medis khusus, akan tetapi ada beberapa kondisi anemia memang tidak
dapat dicegah. Namun, terdapat beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk mencegah anemia
defisiensi zat besi dan vitamin dengan cara memilih diet yang mencakup berbagai vitamin dan
nutrisi, seperti :

a. Konsumsi zat besi.


b. Konsumsi folat
c. Konsumsi vitamin B-12.
d. Banyak konsumsi vitamin C.

Bagi remaja putri diharapkan dapat memperbaiki pola gizi sebagai pengganti zat besi
sehingga dapat mencegah kejadian anemia lebih dini dan bagi institusi pendidikan diharapkan
dapat melakukan kerjasama dengan pihak puskesmas setempat atau tenaga kesehatan untuk
dilakukan bimbingan atau penyuluhan mengenai pemenuhan nutrisi pada remaja putri dalam
upaya pencegahan anemia.

3. Obesitas

Upaya penanggulangan obesitas ialah sebagai berikut :

a. Konsumsi sayur dan buah minimal 5 porsi setiap harinya.


b. Membatasi tidur yang berlebihan
c. Meningkatkan aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari. Lakukan secara teratur 3-5 kali
per minggu kemudian lakukan penyesuaian setelah beberapa minggu
d. Membatasi aktivitas, seperti menonton televisi, bermain komputer dan games
e. Batasi konsumsi gula, garam, dan lemak berlebih

4. Kekurangan Energi Kronik (KEK)

KEK pada WUS merupakan salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian pemerintah
Indonesia. KEK dapat ditanggulangi dengan pemberian makanan yang adekuat terhadap wanita
usia subur. Upaya penanggulangan masalah KEK dapat dilakukan dengan program Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) kepada WUS, pemberian tablet Fe atau penambah darah untuk
mencegah terjadiya anemia, serta pemberian konseling maupun penyuluhan mengenai
pentingnya asupan gizi yang mencukupi agar terhindar dari bahaya KEK.
Selain mengikuti program yang dilakukan oleh pemerintah, WUS dan ibu hamil perlu
melakukan perbaikan gizi secara mandiri. Asupan nutrisi merupakan faktor utama penyebab
KEK pada WUS dan ibu hamil. Gizi ibu hamil dikatakan sempurna jika makanan yang
dikonsumsinya mengandung zat gizi yang seimbang, jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan
tidak belebihan. Apabila konsumsi energi kurang, maka energi dalam jaringan otot/lemak akan
digunakan untuk menutupi kekurangan tersebut. Jika hal ini terus berlanjut maka dapat
mengakibatkan KEK.

E. Prevalensi

1. Stunting
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) menunjukkan angka yang cukup menggembirakan
terkait masalah stunting. Angka stunting atau anak tumbuh pendek turun dari 37,2 persen pada
Riskesdas 2013 menjadi 30,8 persen pada Riskesdas 2018.
2. Anemia
Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32 %, artinya 3-4
dari 10 remaja menderita anemia. Hal tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan asupan gizi yang tidak
optimal dan kurangnya aktifitas fisik.
3. Obesitas
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan prevalensi obesitas atau kegemukan
pada orang dewasa di atas 18 tahun terus meningkat dari tahun ke tahun sejak 2007. Berdasarkan
hasil Riskesdas 2018 Badan Litbangkes Kementerian Kesehatanmenunjukkan prevalensi obesitas
meningkat sejak tiga periode Riskesdas yaitu pada 2007 10,5 persen, 2013 14,8 persen, dan 2018
21,8 persen.

4. Kekurangan Energi Kronik (KEK)

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menyatakan bahwa prevalensi
wanita usia subur (15-49 tahun) yang mengalami KEK untuk wanita yang tidak hamil adalah
14,5% dan untuk wanita hamil adalah 17,3%. Dari data tersebut juga mencantumkan bahwa
KEK dominan terjadi pada wanita usia 15-19 tahun yaitu untuk wanita hamil terdapat 33,5% dan
wanita tidak hamil sebanyak 36,3%.

Anda mungkin juga menyukai