Anda di halaman 1dari 439

KEUANGAN DI DAERAH :

MASALAH, ACUAN DAN SOLUSINYA

( DIKAJI DARI PERSPEKTIF ADMINISTRASI

PEMERINTAHAN )

OLEH

DR. DRS. H. AMIN IBRAHIM , MA

BANDUNG

2016
BAGIAN PERTAMA: IDENTIFIKASI MASALAH /PERSOALAN

DAN ASUMSI-ASUMSI PENYEBABNYA

BAB . I.
IDENTIFIKASI MASALAH KEUANGAN DI DAERAH
DAN ASUMSI-ASUMSI PENYEBABNYA

1. Pengantar

Ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu ruang lingkup dari judul tulisan

ini ,yakni : Keuangan di Daerah :Masalah , Acuan dan Solusinya ( Dilihat

dari Perspektif Administrasi Pemerintahan ) , antara lain :

a. Pengertian Keuangan Daerah / Pengelolaan Keuangan Daerah ,antara lain

sebagai berikut :

1) Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 156 ayat (1) :

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang

dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan

barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut

2) Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 2005 , tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah:

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam

rangka penyelenggaraan pemerintan daerah ,yang dapat dinilai

dengan uang ,termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang

berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut

3) Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri ( Permendagri) Nomor

13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban

dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tatacara Penyusunan Ang-

1
2

garan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD ) :

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam

rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah ,yang dapat dinilai

dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang

berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah , dalam kerangka

APBD

4) Esensi dari Keuangan Daerah adalah :

a) Hak Daerah

b) Kewajiban Daerah

c) Kekayaan yang berhubungan dengan Hak dan Kewajiban Daerah

d) APBD pada dasarnya adalah :

(1) Rencana Keuangan Tahunan Daerah yang ditetapkan

berdasarkan Peraturan Daerah

(2) Merupakan “salah satu alat” saja untuk meningkatkan

( syukur dapat mengoptimalkan ) pelayanan publik dan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan Otonomi

Daerah yang luas dan berkualitas,nyata dan bertanggung

jawab ( inilah idealismenya, yang mestinya tercermin dalam

komposisinya yang lebih “merakyat “ bukan sebaliknya/pen.)

b. Istilah Masalah dan Persoalan –persoalan

Setiap masalah terdiri dari berbagai persoalan –persoalan yang lebih

kecil dan spesifik ,yang semuanya mengerucut menjadi suatu masalah


3

Masalah dapat besar atau sedang dan kecil, tergantung dari muatan-

muatan persoalan yang ada di dalamnya, apakah relatif cukup

sederhana, sedang , berat atau kompleks

Makin rumit dan kompleks persoalan-persoalan yang dihadapi akan

makin rumit pula masalahnya dan memerlukan berbagai pendekatan

untuk mencari penyebab dan solusi-solusi yang mungkin didapatkan

untuk mengurai dan memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam

setiap masalah tersebut

Jika suatu masalah yang besar ( relatif ) tidak dirinci apa saja persoalan-

persoalan yang terkandung di dalamnya , maka akan sukar atau sulit

memecahkan atau mencari solusinya karena akan kurang spesifik dan

fokus ( sempit dan mendalam dalam analisis dan solusinya )

Pemecahan persoalan-persoalan yang nantinya akan bermuara

memecahkan masalah harus dilihat dari perspektif tertentu ,agar lebih

jelas sudut pandangnya dan jelas pula solusi setidaknya dari sudut pan –

dang tersebut, sehingga akan jelas manfaat pemecahan masalahnya

dalam membenahi masalah dengan solusi sudut pandang tersebut,

sehingga dapat dimanfaatkan secara aplikatif, tidak sekedar wacana .

Dari judul tulisan ini jelas maksudnya ingin membedah masalah

keuangan di daerah ( khususnya dalam lingkup pemerintahan daerah )

dengan berbagai persoalannya , dilihat penyebabnya dari sudut pandang

administrasi pemerintahan , dianalisis apa saja penuyebabnya itu, dan

bagaimana memecahkan persoalan-persoalan keuangan di daerah

tersebut juga dengan pendekatan yang sama , sehingga permasalahan -


4

permasalahan( dengan banyak jenis persoalannya itu) administrasi

pemerintahan mengenai kuangan di daerah , dapat dicari jalan

keluarnya ,minimal secara bertahap tetapi penuh kepastian

2. Makna dari melihat masalah-masalah ( dimana setiap masalah mengandung

sejumlah persoalan ) keuangan di daerah dari perspektif Administrasi

Pemerintahan

a. Pengertian Administrasi Pemerintahan ( Publik)

Ada beberapa pendapat yang sebenarnya tidak jauh berbeda mengenai

pengertian Admininstrasi Publik ( Pemerintahan ) , tetapi dalam tulisan

ini digunakan makna antara lain sebagai berikut :

1) Pengertian kata “administrasi “ , bukanlah seperti yang sering

dipertukarkan dengan istilah sehari-hari yang lazim dipakai, yang

sebenarnya maknanya adalah tatalaksana , misalnya sering disebut

sehari-hari “administrasi perkantoran” ,yang sebenarnya

“tatalaksana perkantoran “

Pengertian “administrasi “ disini adalah “penyelenggaraan “ , yang

merupakan satu kesatuan atau integrasi atau fungsi dari pada

kemampuan Manajerial ( fungsi pertama) dan beragam

Dukungannya ( fungsi kedua )

Kalau dirumuskan secara sederhana :

A = f ( M x D)

A= Administrasi ( Penyelenggaraan)

f = fungsi atau integrasi dari atau sigma


5

M= Manajemen ( kemampuan Manajerial secara sistemik

menyangkut setidaknya terdiri dari dimensi-dimensi : Perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan , keluaran (“output” ), hasil dan

dampaknya sekalian ; dalam setiap tahapan manajerial tersebut

dilakukan pengawasan dan montoring , serta akses bagi umpan balik

360 derajat tepat waktu, sehingga tujuannya tercapai

Terlihat dalam makna tersebut di atas ,di samping pengawasan dan

monitoring dalam setiap tahapan manajerial tersebut diperlukan juga

akses yang seluas-luasnya untuk umpan balik 360 derajat tepat

waktu.

Makna dari akses “umpan balik 360 derajat tepat waktu “ adalah

memberikan kesempatan kepada semua pihak yang berkepentingan

(“stakeholders”) baik internal ( unsur pemerintahan ) dan eksternal (

semua unsur di luar pemerintahan ) dapat memberikan masukan

berupa umpan balik bagi setiap kinerja manajemen dalam setiap

tahapannya, agar kinerja manajemen menjadi lebih baik dari waktu –

ke waktu sesuai tuntutan perkembangan lingkungan strategis yang

berlaku ( sesuai tuntutan perkembangan zaman yang makin

kompleks dan beraneka ragam )

Makna dari umpan balik 360 derajat tepat waktu , ialah bahwa

umpan balik tersebut dapat diberikan oleh siapapun juga yang

merasa berkepentingan dari suatu proses manajemen , baik umpan

balik itu datangnya dari atasan , bawahan, rekan atau mitra kerja,

dari masyarakat luas , dari pihak yang bersepakat ataupun yang ku-
6

rang bersepakat , bahkan juga dari dalam diri sendiri sipelaku

kinerja manajemen tersebut.

Tujuannya tidak lain ,agar setiap proses tahapan manajemen dapat

selalu diperbaiki , sehingga kinerja manajemen makin baik dari

waktu ke waktu, serta sekaligus membantu fungsi pengawasan dan

mointoring sekaligus ,bahkan pila perlu memberikan masukan untuk

kinerja pengawasan dan monitoring itu sendiri

Dengan adanya pengawasan dan monitoring serta dilengkapi dengan

umpan balik 360 derajat tepat waktu tersebut , maka pihak

manajemen terhindar dari “merasa pintar sendiri, terhindar dari

para “ inner circle “ yang sering menjadi para “pembisik dan penjilat

( whistle blowers and rent seekers “) , sehingga setiap kinerja

manajemen akan berlangsung dengan baik dan adaptif terhadap

tuntutan perkembangan lingkungan

Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa konsep umpan balik 360

derajat tepat waktu ini relatif baru dikembangkan , maka perlu

diatur mekanismenya dengan baik dengan aturan mainnya , dikomu-

nikasikan dan disosialisasikan kepada semua pihak , agar dapat

efektif dalam pelaksanaannya sehingga tidak menghambat kinerja

manajemen itu sendiri

D = Dukungan ( yang beragam sesuai kebutuhan misalnya

dukungan : Sumber Daya Manusia ( baik secara kualitatif dan

kuantitatif) , dukungan Anggaran /Finansial, dukungan Sarana –


Prasarana , dukungan Tatalaksananya, dukungan Manajemen

Informasinya (

dengan dimensi Sistem Informasi (SI) dan Teknologi Infromasinya

(TI), dukungan Kerja sama dengan Lingkungan ( baik internal dan

eksternal) ; dukungan/ dikendalikan Kepemimpinan Trasformasional,

dan dukungan lainnya, sesuai kondisi dan kebutuhan masing-masing

program pembangunan yang dilaksanakan

Dari penjelasan singkat di atas dapat dimaknakan secara lugas bahwa

: Administrasi itu adalah penyelenggaraan sesuatu yang mencakup

kemampuan manajerial berikut semua dukungan yang diperlukan ,agar

kinerja manajemen dapat menuntaskan tujuannya dengan sebaik-

baiknya

Selanjutnya makna dari Administrasi Pemerintahan :

Penyelengaraan Pemerintahan yang mencakup semua kemampuan

manajerial dengan beragam dukungannya ,dalam rangka mencapai

tujuan ,yang pada umumnya ialah melayani publik sebaik-baiknya

sehingga kesejateraan bersama dapat meningkat dari waktu kewaktu

Atau dalam kalimat lain, tapi dengan makna yang sama dan lugas

bahwa Administrasi Pemerintahan bertujuan makin meningkatkan

Ketahanan Masyarakat dimana pembangunan itu diselenggarakan

,apakah ditingkat Daerah , Wilayah, maupun Nasional

Administrasi Pemerintahan atau penyelenggaraan pemerintahan di

tingkat Pusat (Nasional) bermuara untuk secara bertahap

meningkatkan Ketahanan Nasional , di Tingkat I untuk


meningkatkan Ketahanan Wilayah dan di Tingkat II untuk

meningkatkan Ketahanan Daerah

Istilah “ketahanan “ disini ialah integrasi dari keuletan----

ketangguhan--- dan kemandirian masyarakat yang makin meningkat

sebagai hasil dari administrasi pemerintahan itu sendiri ,dengan

membangun berbagai aspek pembangunan secara serasi .

Dalam konsep “ketahanan “ sebagai hasil administrasi pembangunan

oleh suatu pemerintahan ,yang diukur adalah tingkat kualitas

manusianya ( atau dampak sosialnya ) ,apakah makin ulet – makin

tangguh dan makin mandiri ) , sedangkan proyek-proyek

pambangunan yang beraneka ragam itu ,adalah media atau sarana

untuk mencapai “ketahanan masyarakat itu sendiri”

Jadi tujuan administrasi pemerintahan ialah penyelenggaraan

pemerintahan sedemikian rupa (baiknya) dengan membangun

berbagai aspek pembangunan secara serasi , sehingga menghasilkan

tingkat ketahanan masyarakat berupa masyarakat yang makin ulet-

tangguh – dan mandiri .

Keuletan dimaknakan sebagai masyarakat atau bangsa yang makin

cerdas , ketangguhan dimaknakaan sebagai kemampuan bangsa

dalam mengatasi berbagai kendala, sedangkan kemandirian

bermakna lebih mengandalkan kemampuan sendiri (karena kita kaya

akan sumber daya/kekayaan alam ) dalam membangun bangsa

Singkat kata , administrasi pemerintahan ,baik pada tingkat pusat,

wilayah ,dan daerah , ialah : Penyelenggaraan Pemerintahan yang


kualitasnya ditentukan oleh keserasian antara kemampuan manajerial

dan beragam dukungannya

Setidaknya ada belasan dimensi dari administrasi pemerintahan itu

ialah dimensi perencanaan--- pengorganisasian---- pelaksanaan----

pengawasan dan monitoring----umpan balik 360 derajat tepat waktu

----- dukungan SDM baik secara kualitatif dan kuantitatif--- dukungan

anggaran/finansialnya ---- dukungan prasarana- sarananya----

dukungan tatalaksananya---- dukungan manajemen informasinya (SI

dan TI ) ---- dukungan kerja sama lingkungan ( baik internal dan

ekternal) ----- dan didukung pula ( lebih tepat dikendalikan ) oleh

kepemimpinan ( utamanya transformasional) dalam berbagai levelnya

Catatan : hendaknya di ingat bahwa yang dinamakan dimensi –

dimensi adalah sesuatu faktor yang harus ada , tidak terkecuali;

dimana dalam makna administrasi pemerintahana di atas setidaknya

ada 12 dimensi yang harus diintegrasikan dengan baik ( lebih luas

lihat misalnya : Hadari,1994 ; Ibrahim , 2009 , 2011 )

2) Pengertian Pemerintahan :

Terdiri dari unsur-unsur Legislatif----Eksekutif --- Yudikatif , tetapi

yang menentukan kebijakan pemerintahannya ( arah

pembangunannya ) adalah Legislatif dan Eksekutif, sedangkan pihak

Yudikatif bersifat menentukan sanski-sanksi atas pelanggaran dari

kebijakan pemerintahan yang telah ditentukan tersebut


b. Masalah-masalah Keuangan di daerah dilihat dari perspektif Administrasi

Pemerintahan ( di Daerah sebagai obyek tulisan ini )

10

1) Pengertian masalah keuangan :

Bahwa fungsi keuangan di daerah tidak berjalan dengan semestinya

misalnya tidak tepat waktu ,tidak tepat jumlah, tidak tepat sasaran,

disalahgunakan ( dikorupsi dengan berbagai derivasinya ) ,sehingga

administrasi pemerintahan (pembangunan ) tidak berjalan dengan

baik

Masalah keuangan didaerah ini disebabkan banyak persoalan-

persoalan yang tidak pada tempatnya, dilihat dengan pendekatan

adminitrasi pemerintahan .

Artinya persoalan-persoalan keuangan itu terjadi karena administrasi

pemerintahan ( di daerah ) tidak berperan sebagai mana mestinya

,karena dimensi-dimensinya tidak menjalankan fungsinya dengan

baik

2) Untuk mencari jalan keluar atau pemecahan persoalan-persoalan

yang mengerucut menjadi masalah-masalah keuangan tersebut ,

perlu dicari mengapa terjadi “salah administrasinya “ dengan melihat

dimensi- dimensi-dimensinya yang tidak atau kurang berperan

sebagaimana mestinya , sehingga teridentifikasi dengan jelas dan

kemudian dicari jalan keluarnya ,agar setiap dimensi dari

administrasi pemerintahan itu dapat berperan sebagaimana mestinya


Dengan kata lain masalah –masalah keuangan daerah dengan derivasi

persoalan-persoalan keuangan daerah yang begitu banyak ditemui

dalam kenyataan sekarang ini, perlu ditakar dengan konsep dan tolok

11

ukur admininistrasi pemerintahannya . Dengan cara ini akan terlihat

dimana saja dimensi –dimensi dari administrasi pemerintahan

keuangann daerah itu yang tidak atau kurang terpenuhi.

Kemudian dicari jalan keluarnya ,dapat saja dengan menyerasikan

persoalan –persoalan keuangan daerah itu untuk memenuhi kriteria-

kriteria admininistrasinya; tapi tidak tertutup kemungkinan regulasi

yang mengatur administrasi keuangan daerah itu masih memerlukan

penyempuranaan dalam berbagai dimensinya

3. Identifikasi lebih lanjut mengenai Persoalan-persoalan Keuangan di Daerah

yang memiliki implikasi menjadi Masalah Keuangan Daerah yang tidak atau

kurang didukung kinerja dari Administrasi Pemerintahan di Daerah.

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan berbagai hasil penelitian

,terdapat sejumlah persoalan-persoalan keuangan di daerah antara lain :

a. Identifikasi persoalan-persoalan keuangan daerah baik yang langsung

maupun tidak langsung berdampak terhadap keuangan daerah, antara

lain:

1) Mengapa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD) selalu

tidak pernah tepat waktu ?


2) Mengapa Komposisi besaran anggarannya sering tidak/kurang

demokratis ( kurang berpihak kepada kepentingan rakyat,tapi lebih

besar prosentasenya untuk kepentingan birokrasi ) ?

3) Mengapa sisa anggaran pembangunan (SIAP) selalu relatif besar

,padahal kita selalu “ribut “ merasa kekurangan anggaran pembangunan

daerah ?

12

4) Mengapa banyak anggaran pembangunan daerah disalahgunakan

( misalnya dikorupsi khususnya ,yang nayaris menjadi budaya ?)

5) Mengapa Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah selalu menjadi

persoalan ?

6) Mengapa Pendapatan Asli Daerah (PAD ) kurang berkontribusi dengan

baik terhadap APBD ?

7) Mengapa pengelolaan atau manajemen keuangan daerah belum efektif

dan efisien ?

8) Mengapa proses analisis perumusan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah ( RPJMD ) dan APBD belum mencerminkan cara

berpikir yang berdasarkan nilai-nilai demokrasi bangsa kita sendiri

(baca: Demokrasi Pancasila) , sehingga keuangan daerah tidak

digunakan secara efektif dan efisien yang berakibat tujuan

mensejahterakan masyarakat tidak bersifat linier dinamis ?

9) Apa memang perwakilan-perwakilan Pemerintah Daerah di Pusat

memang diperlukan ,yang nyatanya memberikan kontribusi terhadap

pemborosan anggaran /keuangan daerah ?

10) Mengapa “calo anggaran “masih gentayangan ?


11) Mengapa “e-government “ ( e-budgetting – e-information--- e-

commerce---- e-learning , dan lainnya ) belum dimanfaatkan dengan

baik ,sehingga efektivitas pelayanan publik (inklusif keuangan daerah)

belum berjalan dengan baik ,sehingga akuntabilitas dan keterbukaan

keuangan daerah belum terwujud ?

12) Mengapa pajak dan retribusi daerah selalu belum efektif dan efisien , se-

13

hingga pajak dan retribusi daerah tersebut belum dapat memberikan

kontribusi yang signifikan terhadap keuangan daerah ?

13) Mengapa “elit politik daerah” belum dapat mengimplementasikan

Manajemen Publik Baru ( MPB) dan Pelayanan Publik Baru ( PPB)

dengan baik ,yang tercermin misalnya dalam inefisiensi dan inefektivitas

keuangan daerah ?

14) Mengapa koordinasi antar daerah sering kurang berjalan dengan baik

,sehingga kerapkali terjadi terjebak dalam pembororsan anggaran ?

15) Mengapa pemilihan kepala daerah (pilkada ) seperti dewasa ini (tidak

serentak/serentak sekalipun) merupakan pembororsan anggaran ,yang

mestinya dapat dimanfaatkan dengan secara efektif dan efisien ?

16) Mengapa sering terjadi “pencurian “ sumber daya /kekayaan alam di

daerah , yang mestinya dapat meningkatkan volume anggaran/keuangan

daerah?

17) Mengapa desentralisasi fiskal di daerah belum berjalan sebagaimana

mestinya ?

18) Mengapa bantuan sosial (Bansos) menjadi”lahan subur “ penyimpangan

dalam realisasinya ?
19) Mengapa alokasi dana desa belum berjalan dengan baik, padahal desa

merupakan “basis “ pembangunan dalam mensejahterakan rakyat dalam

kerangka Otda yang luas dan berkualitas ?

20) Mengapa “ perilaku kelompok pengguna anggaran “ di daerah banyak

yang tidak/kurang amanah ?

21) Mengapa kapabilitas organisasi pemerintahan pasca pemekaran daerah,

14

sebagian besar justru kurang berhasil ?

22) Mengapa kemitraan antara “stakeholders internal “ di daerah ( aparat bi

rokrasi pemerintahan daerah) dan “stakeholders ekternal “

( masyarakat luas yang beragam di daerah yang bersangkutan) masih

selalu saja banyak yang kurang serasi, terutama yang menyangkut

anggaran pembangunan daerah ?

23) Mengapa remunerasi telah diberikan kepada karyawan Pemda ,tetapi

kinerja mereka relaltif tetap tidak menjadi lebih baik ?

24) Mengapa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan APBD belum

berjalan dengan baik sebagaimana mestinya ?

25) Mengapa banyak kepemimpinan pemerintah daerah gagal dalam

meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat ?

26) Mengapa pengawasan masyarakat dalam rangka efektivitas dan efisiensi

anggaran daerah belum dapat berfungsi dengan baik ?

27) Mengapa banyak “Corporate Social Responsibility (CSR)” belum dapat

dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan kesejahteraan masyarakat

di daerah-daerah ?
28) Mengapa banyak pertanggungjawaban keuangan daerah masih tergolong

Disclaimer Opinion(DO) dan Wajar Dengan Pengecualian(WDP) ,dan

hanya sedikit yang mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian

(WTP) dari penilaian Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) ?

29) Mengapa pengembangan kompetensi pegawai Pemda kurang mumpuni,

yang pada akhirnya juga berakibat kurang efektif dan efisiennya keuang-

15

an /anggaran pemerintahan daerah ?

30) Mengapa banyak dari keberadaan daerah otonom baru (pemekaran dae-

rah ) justru berimplikasi kurang dapat meningkatkan pelayanan publik

,inklusif pelayanan keuangan daerah tetap tidak efektif dan efisien ?

31) Mengapa pemberdayaan desa ,baik pemberdayaan kapasitas sumber

daya manusia (SDM) --- kapasitas politik --- dan kapasitas ekonomi

masyarakat desa, kurang berbasil ,termasuk di desa swasembada

sekalipun ?

32) Kenapa pemberdayaan DPRD pada umumnya belum berjalan dengan

baik ,sehingga berpengaruh “kurang sehat “ terhadap keuangan

daerah ,terutama struktur APBD ?

33) Mengapa pengawasan pelaksanaan anggaran di daerah rata-rata belum

baik ?

34) Mengapa hubungan antar lembaga pemerintahan di daerah dalam

berbagai stratitifkasinya belum baik,sehingga berakibat juga kurang

efektif dan kurang efisiennya keuangan daerah ?


35) Mengapa banyak program-program nasional pemberdayaan masyarakat

(PNPM ) di daerah belum berjalan efektif ,inklusif dukungan

anggarannya ?

36) Mengapa implementasi kebijakan pendidikan dan pelatihan keuangan

daerah belum berjalan dengan baik ?

37) Mengapa sistem pengukuran kinerja dan kepedulian pimpinan (daerah )

terhadap kinerja program dan kinerja keuangan di daerah belum

berjalan sebagaimana mestinya ?

16

38) Mengapa formulasi kebijakan APBD belum berjalan dengan baik ?

39) Mengapa pemberdayaan masyarakat “ berdasarkan “ kelompok kepen-

tingan perekonomian mereka belum berjalan dengan semestinya

,sehingga tetap saja terjadi kesenjangan mencolok dalam kehidupan

perekonomian masyarakat di daerah ?

40) Mengapa pengembangan pariwisata di berbagai daerah belum berjalan

dengan baik,sehingga kontribusinya terhadap keuangan daerah belum

signifikan ?

41) Mengapa banyak badan usaha milik daerah ( BUMD) belum dapat

memberikan kontribusi terhadap APBD secara signifikan ?

42) Mengapa perilaku keorganisasian positif ( PKP ) dan budaya organisasi

pembelajaran (BOP) belum menjadi ciri birokrasi di daerah, sehingga

berakibat kinerja mereka kurang baik dengan segala implikasinya

termasuk terhadap keuangan daerah ?


43) Mengapa Usaha Kecil Koperasi dan Menengah (UMKM) belum memiliki

daya saing yang kompetitif di daerah,padahal sebagai katup pengamanan

dan pengembangan ekonomi kerakyatan fungsinya cukup penting ?

44) Mengapa “unggulan sektoral “ belum dapat menunjang prekonomin

daerah pada umumnya ?

45) Mengapa perilaku pejabat politik daerah dan elit politik daerah kurang

mendukung terwujudnya APBD yang lebih merakyat di daerah-daerah ?

46) Mengapa pemberdayaan masyarakat kawasan perbatasan masih sangat

menyedihkan ?

47) Mengapa kita belum dapat menemukan model pertumbuhan ekonomi ke-

17

wilayahan dan PDRB yang potensial untuk dapat menanggulangi

pengangguran dan kemiskinan di daerah-daerah ?

48) Ada apa dengan kepemimpinan Lurah dan Kepala Desa ,sehingga belum

dapat “memberdayakan masyarakat desa dan kelurahan “ sebagai dasar

kesejahteraan masyarakat daerah belum baik ?

49) Mengapa pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia

(SDM) sektor industri pariwisata di daerah belum berjalan dengan baik,

padahal dapat memberikan kontribusi yang signififkan terhadap

keuangan daerah ?

50) Kenapa koperasi –koperasi di daerah belum dapat mengintegrasikan

Kinerja Keuangan dan Kinerja Sosialnya, sehingga belum dapat

berkembang secara berkelanjutan dan memberikan kontribusi bagi

kesejahteraan masyarakat?
51) Mengapa Anggaran Berbasis Kinerja di daerah-daerah belum dapat

dilaksanakan dengan semestinya ?

52) Mengapa kebanyakan para pengelola keuangan di daerah belum dapat

menjalankan tupoksinya dengan baik dan belum profesional ?

53) Mengapa Pendapatan Asli Daerah ( PAD) belum dapat menjadi “modal

dasar “ Pemerintahan Daerah untuk mendapatkan dana pembangunan

daerah yang menunjang pembangunan daerah dengan baik?

54) Mengapa Sistem Informasi Manajemen Daerah ( SIMDA) Keuangan

Daerah belum dapat diaplikasikan dengan baik ?

55) Mengapa dokumen anggaran daerah masih dikuasai birokrasi

daerah,dan kurang memberikan peluang kepada masyarakat untuk ber-

18

partisipasi dalam perencanaan ,pelaksanaan ,dan evaluasi anggaran

Pemda ?

56) Mengapa Reformasi Birokrasi Keuangan (Daerah ) belum berjalan

dengan baik ?

57) Mengapa tatakelola keuangan daerah masih saja bermasalah ?

58) Mengapa Akuntabilitas Keuangan Daerah pada umumnya masih

dikategotikan “buruk “?

59) Mengapa Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah (dengan berbagai

dimensinya ) belum berjalan secara baik ?

60) Mengapa Alokasi Dana Desa masih mengalami sejumlah persoalan ?

61) Mengapa Pembentukan Organisasi Pengelolaan Keuangan Daerah

(OPKD) dengan berbagai dimensinya belum terselenggara sebagaimana

mestinya ?
62) Mengapa Fungsi-fungsi Manajemen Keuangan Daerah belum berjalan

dengan baik ?

63) Mengapa Reformasi Akuntansi Keuangan dan Anggaran Daerah sebagai

“dua pilar utama “ Manajemen Keuangan Daerah belum dapat

dilaksanakan sebagaimana mestinya ?

64) Setidaknya ada 13 persoalan dalam Perencanaan dan Penganggaran di

Daerah , mengapa sampai terjadi demikian ?

65) Mengapa prinsip- prinsip (setidaknya ada 8 prinsip ) Manajemen

Keuangan Daerah belum dapat diaplikasikan dengan semestinya ?

66) Mengapa Pengelolaan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi Fiskal

seperti sekarang ini banyak “disalahgunakan /disalahtafsirkan “ oleh pa-

19

ra penyelenggara pemerintahan/keuangan daerah itu sendiri ?

67) Mengapa Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah belum saja

serasi hingga saat ini ?

68) Mengapa Reformasi Manajemen Keuangan Daerah belum terlaksana

sebagaimana mestinya ?

69) Mengapa kondisi SDM Pengelolan Keuangan Daerah masih

“memprihatinkan “ ?

70) Mengapa sampai terjadi berbagai kegagalan keuangan daerah ,justru di

era desentralisasi dewasa ini ?

71) Mengapa Inovasi Pelayanan Pro Rakyat Miskin di daerah-daerah belum

berhasil ?

72) Mengapa banyak Kepala Daerah yang tersangkut permasalahan hukum

terutama yang menyangkut keuangan/anggaran daerahnya sendiri ?


73) Mengapa Bantuan Sosial di daerah-daerah hampir selalu mendatangkan

persoalan dan diaplikasikan tidak sesuai tujuannya ?

74) Mengapa Sistem Pengendalian Intern Pemda – Budaya Organisasi –

Kompetensi ---- dan Komitmen Organisasional , belum dapat

mendukung dengan semestinya penerapan Sistem Informasi Akuntansi

dan Kualitas Laporan Keuangan Daerah ?

75) Mengapa Dana Otonomi Khusus (DOK) belum dapat dikelola dengan

baik ?

76) Mengapa kualitas Laporan Keuangan Daerah belum baik ?

77) Mengapa Platform Otonomi Daerah belum bersinergi dengan semestinya

dengan Keuangan Daerah ?

20

78) Mengapa “peta kemampuan keuangan Provinsi dalam era Otda “ masih

belum “tertata “ dengan baik?

79) Mengapa kita belum dapat membangun Indonesia dari Desa (atau

istilahnya membangun dari “pinggiran “) dengan semestinya, terutama

dilihat dari aspek kebijakan anggaran dan pendapatan dan belanja desa?

80) Mengapa sering terjadi “fraud “ (penyimpangan berupa kecurangan)

dalam laporan keuangan di daerah –daerah ?

81) Mengapa “pusaran praktik korupsi “ hampir seperti lingkaran yang

memang tidak berujung ,atau bahkan hampir seperti “lingkaran setan “

yang tidak berkesudahan ?

82) Mengapa Analisis dan Evaluasi Penatausahaan Akuntansi Keuangan

Daerah menuju Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) masih sulit

dilakukan di daerah-daerah ?
83) Mengapa Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah

di era Otda ini belum dapat dilaksanakan sebagaimaana mestinya ?

84) Mengapa asas-asas Good Governance dalam pengelolaan Keuangan

Negara di Daerah belum dapat diaplikasikan dengan baik ?

85) Mengapa prinsip “Good Financial Government” dalam pengelolaan

keuangan negara ( di daerah) dalam rangka mewujudkan “Clean

Governance” belum dapat diwujudkan ?

86) Mengapa upaya menyongsong penerapan Akuntansi Pemerintahan

(Daerah ) berbasis Akrual belum dapat berjalan sesuai dengan harapan

(dimana tahun 2015 mestinya sudah harus diaplikasikan di daerah, se-

dangkan di Pusat saja belum dilaksanakan ?)

21

87) Mengapa Dana Desa belum dapat dicairkan sebagaimana mestinya ?

88) Mengapa kepemimpinan kepala desa rata-rata belum bergaya transfor-

masional ,sehingga akselerasi pembangunan desa (utama merancang

APBDesa ) belum terlaksana dengan baik ?

89) Mengapa “E-Budgetting” ( terutama di daerah-daerah ) belum dapat

diaplikasikan ?

c. Jawaban sementara yang diasumsikan menjadi penyebab dari persoalan-

persoalan keuangan daerah (langsung dan tidak langsung ) yang demikian

banyak di atas,antara lain :

1) Mengapa APBD selalu tidak pernah tepat waktu ?

Dilihat dari pendekatan Admininstrasi Pemerintahan Daerah dapat

saja antara lain :


a) Kurang serasinya antar subsistem fungsi-fungsi dalam

administrasi pemerintahan ,yakni antara fungsi sumber daya

manusia (SDM) pelaksana(misalnya elit politik daerah) ---- fungsi

organisasi Pemdanya sendiri ------- fungsi pengambilan keputusan

nya ----- dan fungsi finansialnya itu sendiri

Misalnya : sumber daya yang kurang profesional ---- organisasi

Pemda yang kurang serasi ----- pengambilan keputusan yang

bertele-tele karena sarat kepentingan dalam lingkungan elit politik

lokal sendiri ----sehingga fungsi finansialnya sendiri terlambat

dalam pencairannya ( untuk ini perlu dibahas labih lanjut

mengenai Fungsi- fungsi Utama Administrasi Publik pada umum-

22

nya inklusif di daerah ) (lihat : Ibrahim , 2011, 2015)

b) Dapat juga memang sejak dari “hulunya “ di Pusat terlambat

,sehingga perumusannya di daerah juga terlambat ( bukannya

Januari sudah berlaku tapi sering molor beberapa bulan

kemudian ) (pengamatan di lapangan /pen.)

c) Intervensi hak budget oleh DPRD seringkali menyebabkan

pembahasan RAPBD memakan waktu lama untuk negosiasi

antara DPRD dengan Eksekutif , sehingga waktu pengesahan

APBD molor ( bahkan hingga ada yang sampai pertengahan tahun

baru disahkan ) (lihat : caramengatasimasalah .blogspot.com.

Problem Keuangan Daerah (13-8-2013)

d) Kurangnya kerja sama secara profesional antara Tim Anggaran

dan Badan Anggaran di daerah ,yang antara lain menjadi


penyebab keterlambatan formulasi anggaran daerah ,belum lagi

kepentingan lainnya yang mengkikutinya ( lihat : Ngusmanto ,

2012 )

2) Mengapa Komposisi Besaran Anggarannya ( APBD ) sering tidak atau

kurang demokratis (kurang berpihak kepada kepentingan rakyat ,tapi

lebih besar untuk kepentingan birokrasi (di daerah ) ?

a) Ternyata rata-rata besaran anggaran birokrasi berkisar sekitar

70% dibanding dengan anggaran untuk kepentingan

pembangunan demi kesejahteraan masyarakat yang hanya sekitar

30 % saja dari APBD (hanya sedikit daerah Tk.I dan II yang

sebaliknya atau lebih besar prosentase anggaran untuk kepenting-

23

an pembangunan kesejahteraan rakyatnya )

b) Rata-rata anggaran pemerintahan daerah belum berorientasi

kepada kebutuhan masyarakat ,karena dinamika penyusunan

anggaran yang menonjolkan “perjuangan /pergelutan kepentingan

legistatif dan eksekutif , ego sektoral masing-masing SKPD ,

kurang fahamnya masing-masing SKPD terhadap ukuran-ukuran

kinerja , rendahnya “political will” dari para pejabat daerah

terkait untuk memberikan “ruang publik “kepada masyarakat ,

serta rendahnya kontrol masyarakat terhadap proses penyusunan

anggaran ( APBD ) berbasis kinerja ( lihat : Antony ,2010)

c) Perumusan kebijakan APBD ditentukan “aktor-aktor formal”,

bukannya dengan merealisasikan “paticipatory governance and

participartory budgetting “ dalam proses perumusan dan


keputusan (APBD ) atau tidak adanya /kurang sekali interaksi

antara Pemda dan masyarakat)

Di samping itu dalam proses permusan kebijakan APBD

tidak/kurang berpegang teguh pada kepentingan publik, kurang

bersahaja , kurang adil, tidak/kurang transparan dan

tidak/kurang melibatkan peran serta publik (lihat: Makhya,2012 )

d) Ternyata banyak APBD tidak /kurang memperhatikan prinsip-

prinsip perumusan kebijakan anggaran sektor pemerintahan

(publik), antara lain kurang mengikutsertakan partisipasi

masyarakat, kurang transparan , akuntabilitas yang kurang baik,

disiplin anggaran yang kurang diperhatikan , kurangnya “keadil-

24

“an anggaran “ , kurang memperhatikan efektivitas dan efisiensi

(utamanya efektivitas anggaran) , serta kurang konsisten ,baik

dari segi tujuan dan dimensi lainnya seperti waktu dan lainnya

( lihat : Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman

Penyusunan APBD)

e) Banyak terjadi penyimpangan dari Visi- Misi Daerah dalam

menentukan kebijakan dan strategi , yang akhirnya APBDnya

“jauh panggang dari api “ (lihat : Ibrahim, 2015 ;Lazim ,2013)

f) Penyusunan APBD masih tergolong “ bergaya tadisional” belum

mencerminkan APBD dengan pendekatan “New Public

Management = NPM “ = Administrasi Publik Baru yang becirikan

mementingkan kepentingan kesejahteraan masyarakat dalam

bentuk “Performance Budget” ( baca APBD berbasis Kinerja


demi kepentingan rakyat banyak ) ( lihat : Ibrahim , 2011, 2015 ,

Mardiasmo,2002)

g) Intervensi “hak budget” dari DPRD terlalu kuat ,dimana anggota-

anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang

menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasislkan dalam

Musrenbang berjenjang di daerah

h) Banyak terjadi “nego-nego” antar stakeholders internal (baca

:antara DPRD dan Pemda (Eksekutif) yang esensinya penuh

muatan kepentingan pribadi/kelompok /golongan , bukannya

kepentingan rakyat yang merefleksi dari aspirasi rakyat daerah

i) Jadual “reses “ DPRD yang umumnya tidak “matching” , misal -

25

nya saja Musrenbang sudah dilaksanakan ,baru DPRDnya

reses,mengakibatkan banyak ususlan DPRD yang kemudian

muncul dan sekaligus mengubah hasil Musrenbang yang telah

dilakukan

j) Intervensi DPRD ini kemungkinan didasari motif “politis” misal-

nya kepentingan mencari “dukungan konstituen “ ,sehingga

terlihat anggota DPRD “berperan seperti sinterklas “ yang

mampu membagi -- bagi proyek

k) Selain itu juga “kemungkinan untuk mendapatkan “income

pribadi/kelompok” dengan misalnya berupaya mengintervensi

dalam pengadaan barang ,pelaksanaan kegiatan , termasuk

misalnya negosiasi dimana anggota DPRD mendapatkan dana


Bansos dan sejenisnya (tentunya dengan mengatasnamakan

masyarakat sebagai alasannya )

l) Seperti telah dikemukakan di atas ,pendekatan partisipatif

melalui mekanisme Musrenbang pada dasarnya masih menjadi

“retorika “ ; dimana perencanaan pembangunan masih

didominasi oleh : Kebijakan Kepala Daerah ,hasil reses DPRD

dan program dari SKPD . Banyak pihak (terutama SKPD-SKPD)

seringkali membuat usulan kegiatan sebanyak-banyaknya agar

probabilitasnya untuk disetujui semakin banyak ,bukannya

berdasarkan kebutuhan masyarakat yang dipercayakan

kepadanya ,misalnya kebutuhan desa-desa yang masih tertinggal)

Kondisi ini menggambarkan secara nyata bahwa proses perenca-

26

naan kegiatan dari penganggaran,karena ketidakjelasan informasi

besaran anggaran,proses Musrenbang yang kebanyakan masih

bersifat menyusun daftar belanja saja ,bukannya skala prioritas

demi kepentingan rakyat (lebih rinci lihat :.

caramengatasimasalah.blogspot. com.(Problem Keuangan Daerah,

13-8- 2013)

3) Mengapa sisa anggaran pembangunan daerah ( SIAPD) selalu relatif

besar ( berkisar 30% -- 40 % ) padahal selalu “ribut /mengeluh “

merasa kekurangan dana /anggaran pembangunan daerah ?

Diasumsikan beberapa penyebabnya antara lain :

a) Dilihat dari kacamata administrasi publik ,relatif sama alasannya

dengan persoalan nomor 1) di atas, yakni fungsi-fungsi utama


adminitrasi publik ,yakni fungsi SDM ( terutama elit politik

lokal)---fungsi organisasi ---- fungsi pengambilan keputusan ---

dan fungsi finansial tidak berjalan dengan baik sebagai sistem

yang baik ( fungsi-fungsinya tidak berjalan dengan baik ,terutama

tiga yang terdepan, karenanya fungsi finansial akan mandeg dan

terjadilan SIAPD yang besar tersebut ( lihat : Ibrahim, 2011,2012,

2015)

b) Sistem alir dana pencairan anggaran yang belum “matching”

dengan ketentuan jadual program APBD yang semestinya

( mestinya per Januari dana sudah “turun” ternyata terlambat

dengan berbagai variasi dengan segala akibat sampingnya

(misalna ekonomi biaya tinggi ) dan pada akhir tahun dicoba dike-

27

but menghabiskannya ,akhirnya tidak juga berjalan, penuh penye-

lewengan ,mark-up, dan SIAPD yang besar tidak terelakkan) (pe-

ngamatan dalam kenyataan di lapangan /pen.)

c) “E-budgetting” belum diberlakukan ,hingga banyak terjadi

keterlambatan ,baik dalam perencanaan, pelaksanaan – dan per-

tanggungjawaban anggaran

d) APBD belum berbasis kinerja, sehingga banyak yang kurang jelas

dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah

,serta disiplin anggaran kurang baik

e) Sepertinya birokrasi,terutama pengelola keuangan daerah , belum

menerapkan Perilaku Keorganisasian Positif ( PKP) dan budaya

Organisasi Pembelajarann (OP) sehingga selalu “terantuk batu


yang sama berkali-kali”, misalnya APBD yang tidak terlaksana

dengan baik ( lihat : Ibrahim 2010)

f) Dapat juga karena masih berkembangnya sifat atau budaya

permisif ,sehingga menganggap keterlambatan pelaksanaan

program-program itu “biasa saja” , karena dianggap para elit

politik lokal memang demikian “sibuknya “ ,sehingga

keterlambatan itu dapat dimaafkan ( lihat :Ibrahim , 2002)

g) Dapat juga karena kemitraan kualitatif antara “stakeholders

internal “ dan “ eksternal” timpang, dimana pihak “stakeholders

internal” (baca birokrasi) menganggap merekalah yang

mengatur , sehingga stakeholders eksternal( baca:masyarakat

luas ) karena memang kurang diberdayakan , kurang mampu

melakukan korek

28

si terhadap unsur birokrasi ,sehingga keterlambatan pencairan

anggaran dan SIAPD dianggap “bukan urusan mereka”, padahal

mereka menjadi korban ( ingat kasus-kasus ganti rugi ,santunan

kerokhiman,yang sebenarnya sederhana ,tapi tidak pernah tepat

waktu )

4) Mengapa banyak anggaran pembangunan daerah ( terutama

APBD),disalahgunakan ( terutama dikorupsi ,yang nyaris menjadi

budaya (para birokrasi kita pada umumnya ) ?

Beberapa penyebabnya antara lain :

a) Kurangnya pemahaman( mungkin juga pura-pura tidak/kurang

paham) terutama dari para elit politik daerah tentang hakikat


menjadi pejabat publik ( baik itu para politisi dalam kategori

anggota DPRD maupun CEO Eksekutif) .

Mestinya sejak awal harus disadari para elit politk daerah, bahwa

memangku jabatan politik /politisi adalah “pengabdian “ kepada

masyarakat, bukan cari keuntungan pribadi/kelompok,sehingga

“niat “ (karena niat sangat menentukan perilaku) untuk menjadi

anggota DPRD maupun Kepala Daerah/Wakilnya adalah semata-

mata demi mengabdi kepada masyarakat ( Menurut istilah

sosiologis : menjadi politisi tersebut adalah untuk memenuhi

“aktualisasi diri “ karena kebutuhan –kebutuhan lainnya sudah

terpenuhi secara relatif )

Menjadi politisi atau pejabat publik adalah kebanggaan

pribadi,keluarga ,bahwa ada diantara anggota keluarga yang da -

29

pat dibanggakan dan kelak dikenang sebagai pengabdi

masyarakat ,baik sebagai anggota DPRD maupun Kepala

Daerah /Wakilnya ; dikenang karena pengabdiannya dapat

dijadikan contoh oleh generasi berikutnya, bukannya dikenang

sebagai poltisi yang akhirnya masuk penjara( lihat :Ibrahim

2010a, 2015a)

b) Banyak birokrat daerah yang berperilaku kelompok dan

peorangan sebagai pengguna anggaran demi kepentingan

pribadi/kelompok, pimpinan yang melakukan pembiaran orang

lain ikut korupsi ( agar “terasa berjamaah” ) , ambiguitas peran ,

serta ambisi ( baca “ ambisius”) terhadap jabatan tertentu yang


dianggap mendatangkan “ keuntungan “ baginya dan menempuh

segala cara untuk mencapainya,dan ketika sudah tercapai menjadi

lupa diri dan terlibat KKN ,utamanya korupsi ( lihat : Atori,2012;

Ibrahim , 2015)

c) Kurang tersedianya akses masyarakat untuk mengawasi pengguna

anggaran daerah, dan sekaligus karena memang kurangnya

keterbukaan dari Pemda untuk menyediakan akses tersebut

,sehingga umpan balik 360 derajat tepat waktu, tidak pernah

terjadi ( lihat : Syafrial, 2011 ; Ibrahim 2014 )

d) Terjadi karena antara lain adanya diskresi kepemimpinan,

monopoli kekuasaan,akuntabilitas aparat birokrasi yang rendah,

memberi peluang kepada kelompok untuk berperilaku koruptif

bersama-sama ( “ aji mumpung”) yang cukup masif , lemahnya

sistem politik, hukum ,pemerintahan, dan sosial ( misalnya budaya

30

permisif) , moral yang rendah ,serta “tekanan dari dalam dan luar

“( karena berhutang budi, dan ingin memenuhi janji-janji pada

waktu kampanye yang sejak semula “kurang /tidak masuk akal

untuk dipenuhi “ ( lihat : Bihamding , 2013 ; Ibrahim ,2006)

e) Pemberdayaan anggota DPRD yang memang belum baik(pola rek-

rutmen oleh parpol yang kurang baik, meliputi program

internalisasi , komunikasi politik, sosialisasi politik dan partisipasi

politik yang memang rata-rata kurang dilakukan parpol dengan

berbagai alasan) ; upaya meningkatkan motivasi yang masih

kurang ; pengembangan budaya politik yang memihak rakyat


masih banyak baru berupa wacana , kode etik yang belum jelas,

serta “rewards and punishments system “ yang kurang diterapkan

(lihat : Lumolos ,2011; Ibrahihm ,2014)

Catatan : anehnya kalau DPRD (terutama yang baru dilantik)

diprogramkan untuk pemberdayaan , mereka sebagian merasa

tidak perlu, karena sudah tahu segalanya ,”merasa pintar

sendiri , padahal belum “ /pen.)

f) Kurangnya disiplin dan pengawasan anggaran ( terutama

pengawasan internal) , serta kurangnya kompetensi pengelola

anggaran daerah itu sendiri (lihat : Farida , 2012)

g) Secara teknis misalnya masih terjadi ambivalensi dalam kontrol

administrasi PAD dan kinerja keuangan daerah,sehingga sering

menyebabkan penyalahgunaan anggaran daerah ( lihat:

Syarifudin , 2012 )

31

h) Belum diterapkan dengan semestinya : Konsep “Analysis

Economic of Law “ dalam perhitungan nilai waktu dari “uang “

sebagai bagian dari perhitungasn efisiensi dan “cost benefit

analysis” yang dapat memaksimalkan pengembalian keuangan

negara yang disalahgunakan ; belum dikembangkan dengan baik

asas legalitas untuk penguatan politik hukum dengan fokus pada

dampak penyelewengan perpajakan ; serta belum diterapkan

dengan baik prinsip-prinsip “ United Nations Convention Againts

Corruptin ( UNCAC)” tahun 2003 ( lihat : Toegarisman , 2014)


i) Tumpang tindihnya peraturan yang mengatur tugas dan fungsi

dari Aparat Pengawas Intern Pemerintah ( APIP) di daerah

,sehingga menyebabkan tidak efektifnya peran Inspektorat Pemda

Di samping itu kurangnya kompetensi (profesionalisme ) SDM-nya

,demikian halnya sarana prasarananya ( lihat : Sudrajat, 2014)

j) Banyak aparat yang menangani keuangan ( pelaksana dan

pengawas) yang memang cerdas secara intelektual tetapi rendah

dalam kecerdasan emosional dan spiritualnya ,sehingga

memanfaatkan kecerdasannya justru untuk korupsi dan

sejenisnya (perilaku menuimpang ,menyalagunakan jabatan ,dan

lainnya ) ( lihat : Candra , 2014)

k) Masih kurang optimalnya fungsi KPK sebagai lembaga yang

independen ( lihat : Malasari ,2011)

l) Belum serasinya independensi dan akuntabilitas Hakim

Pengadilan Tipikor dalam pemberantasan tindak pidana korupsi

32

itu sendiri ( lihat : Ngamro , 2011)

m) Belum terintegrasinya dengan baik tolok ukur pengelolaan

keuangan daerah ( meliputi perencanaan – pelaksanaan –

penatausahaan --- pelaporan ---- pertanggungjawaban----

pengawasan keuangan daerah yang tercermin dalam 11 tolok

ukurnya sesuai dengan Permendagri Nomor 13

Tahun2013( lihat : Suryanto ,dalam : bpkad.natunakab.go.id (2013)

n) Penyusunan APBD yang sejak awal memang kurang

memperhatikan prinsip-prinsip pokok anggaran sektor publik


,sehingga sudah ada tendensi penyalahgunaan sejak awalnya

( kurang /tidak memperhatikan aspirasi masyarakat,

kurang/bahkan tidak transparan dan tidak akuntabel , tidak

disiplin dalam penggunaan anggaran , tidak /kurang adilnya

komposisi anggaran , kurang efektif dan efisien , serta

kurang/tidak taat asas sesuai tujuan APBD itu sendiri untuk

mensejahterakan rakyatnya )( lihat : Eprints. ung.ac.id.)

o) Kurang dipahaminya kompetensi yang seharusnya dimiliki para

penglola keuangan daerah ( kurang faham nengenai : cara

penetapan APBD , anatomi dokumen anggaran , jenis dana yang

tersedia , sistem pengendalian intern) Komponen pokok satuan

kerja , cara pemilihan penyediaan barang dan jasa, dokumen

dasar belanja,cara pembayaran , perpajakan atas belanja daerah

dan pelaporan. Akibatnya sering terjadi penyalahgunaan

anggaran daerah tersebut , dan anehnya banyak elit politik daerah

33

yang “cuek “ saja terhadap kondisi seperti ini

( lihat:star.bpkp.go.id)

p) Belum operasionalnya (dengan baik) Sistem Informasi

Manajemen Daerah ,sehingga tidak dapat diakses “stakeholders

ekternal “ ( akibatnya penyalahgunaan oleh “stakeholders

internal” , sepertinya berjalan dengan “aman “ dan berkelanjutan

secara tertutup) (lihat :bpkp.go.id)

q) Reformasi Birokrasi Keuangan di Daerah belum berjalan sebagai-

mana mestinya ( lihat : Wismar ,dalam :boyyendratamin.com.)


r) BPK menemukan banyak sekali ketidakberesan tatakelola

keuangan daerah yang menimbulkan pelanggaran hukum

/korupsi ( laporan keuangan daerah yang ternyata belum

sepenuhnya memenuhi upaya penggunaan anggaran untuk

kesejahteraan rakyat , hanya 156 dan 524 Pemda yang

mendapatkan penilaian WTP, 280 Pemda yang laporan

keuangannya harus ditindaklanjuti aparat penegak hukum

(inklusif KPK) , parahnya terdapat aparat Pemda yang

menganggap uang negara itu ,uang nenekmoyang)nya sendiri –

mereka terus minta ke Bendahara ,namun penggunaannya bukan

untuk kesejahteraan rakyat , sekitar 60 % kasus yang ditangani

KPK berasal dari laporan BPK , upaya optimalisasi keuangan

negara untuk kemakmuran rakyat “jauh panggang dari api “

/pen, dan lainnya (lihat :antaranews.com ( 4- 5- 2015) dan Umi

Kalsum & Agus Dwi Darmawan dalam : bisnis.news.viva.co.id)

34

s) Kondisi SDM pengelola keuangan daerah yang masih kurang

sesuai ,sehingga sering terjadi penyalahgunaan keuangan daerah

(sedikit yang berlatar belakang akuntasi , penempatan SDM yang

keliru , pemahaman tentang admnistrasi keuangan yang masih

lemah , “rewards and punishments system “ yang tidak tepat ,

sarana prasarana yang kurang mendukung ,sistem diklat yang

belum sesuai kebutuhan ) ( lihat : SDM Pengelola Keuangan

Negara/Daerah , dalam : star.bpkp.go.id. 9-6- 2014)


t) Ribuan persoalan ( 3293) penyalahgunaan keuangan negara

/daerah yang merugikan negara sebesar 14, 74 trilyun rupiah

( lihat : Temuan Ribuan Masalah Keuangan Negara ,BPK Lapor ke

Jokowi ,dalam : cnnindonesia.com 22-04-2015)

u) Banyak Kepala Daerah tersangkut persoalan hukum ( 320 kepala

daerah) antara lain karena minimnya pengetahuan ( antara lain :

minimnya pemahaman dan pengetahuan kepala daerah mengenai

tatakelola keuangan dan tatapemerintahan daerah ; sering

sembarangan mengeluarkan uang daerah tanpa

pertanggungjawaban yang jelas , calon- calon pasangan kepala

daerah yang diajukan parpol-parpol sering hanya bermodalkan

popularitas dan sumber dana yang kuat , sementara integritas dan

kapasitas diabaikan ,” mahalnya “ pesta demokrasi dengan model

pilkada langsung /termasuk “money politics”nya yang kemudian

“dibayar dengan keuangan daerah “(?)

(lihat : Moenek ,2014 , Banyak Kepala Daerah Tersangkut Perso-

35

alan Hukum karena minim Pengetahuan , dalam : nrmnews.com.

20-2 -2014)

v) Masih banyak terjadinya “fraud” (kecurangan untuk

mendapatkan keuntungan dalam bentuk KKN) dalam berbagai

aspek keuangan daerah ( pelaksanaan , pelaporan dan lainnya )

(lihat : Wahyudi , 2014 , Cara Mengatasi Fraud dalam Laporan

Keuangan , dalam : ediharukaze.blogspot.com (30-4-2014)


5) Mengapa Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah selalu

menjadi persoalan ?

Penyebab- penyebab dan kenyataan- kenyataannya antara lain :

a) Sistem hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah (an) Daerah yang kaku dan streotip kurang

mendorong kreativitas dan inovasi daerah untuk dapat

menintroduksikan sektor-sektor produktif ( yang dapat

diperhitungkan dalam perimbangan keuangan Pusat dan Daerah)

dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di daerah-daerah

kurang diperhitungkan dan tidak diusulkan untuk menjadi bahan

pertimbangan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang

lebih obyektif

b) Kendala kualitas SDM (terutama yang mengelola keuangan di

daerah ) kurang profesional sehingga tidak dapat menghitung

dengan baik kelayakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah

yang lebih wajar

c) Kurang memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam me

36

nyalurkan aspirasinya sehingga dapat diperhitungkan dalam

menyusun komposisi perimbangan keuangan Pusat dan Daerah

yang lebih adil dan obyektif

d) Cara menghitung alokasi daerah ( Dana Alokasi Umum= DAU)

yang belum diperhitungkan secara komprehensif integral , tapi

lebih dengan pendekatan parsial/komprehensif terbatas (misalnya


hanya menekankan pada jumlah penduduk dan luas wilayah

,padahal banyak faktor lain yang harus diperhitungkan )

( lihat : Wiyoso ,2012 )

e) Daerah sendiri kurang kreatif dan inovatif untuk mengatasi

ketimpangan/kurangnya perimbangan keuangan Pusat dan

Daerah tersebut ( lihat : nurjatiwidodo.lecture .wb.ac.id)

f) Dapat juga karena “gentayangannya calo anggaran “ sehingga

merusak keserasian perimbangan keuangan antara Pusat dan

Daerah tersebut ( pengamatan /pen.)

g) Belum terpenuhinya prinsip-prinsip antara lain:

(1) Belum memenuhi prinsip “ money follow function” dengan

baik

(2) Belum proporsional , adil, demokratis, sesuai dengan

potensi ,kondisi ,dan kebutuhan daerah-daerah

(3) Jenis dana perimbangan (misal DAU- DAK- Kontijensi)

banyak berkembang di luar ketentuan Undang-undang yang

berlaku,yang berpotensi merusak dasar perimbangan itu

sendiri ,dengan contoh antara lain :

37

(a) Dari 3 jenis dana perimbangan dalam komponen dana

penyesuaian pada tahun 2009 berkembang menjadi 7 jenis

pada tahun 2011

(b) Kasus yang nyata adalah penyesuaian dana infrastruktur

,yang ternyata sarat dengan kepentingan politik dan

membuka ruang praktek “mafia anggaran “


(c) Skema dana perimbangan yang justru memberikan insentif

terhadap “inefisiensi” dalam belanja pegawai dan

terjadinya “pemekaran daerah” yang nyaris “diluar

kendali “ /pen.

(d) Pada APBD 2011 saja misalnya, lebih dari separuh ( 297

kabupaten/kota yang belanja pegawainya di atas 50%

APBDnya, bahkan yang terbanyak justru mendekati

sekitar 70 %)

(e) DAU yang mestinya diberikan “keleluasaan “ bagi daerah

mengalokasikannya sesuai kebutuhan daerah ,habis

terserap untuk belanja pegawai, karena formula DAU yang

menjadikan belanja pegawai sebagai alokasi dasar,

termasuk menanggung belanja daerah hasil pemekaran

(f) Besaran alokasi DAU yang diterima daerah, selalu

“kurang” dari yang diamanatkan undang-undang ,karena

berkembang semakin banyaknya “faktor pengurang “

dalam menentukan DAU ( data 2011 tercatan sebesar 52,2

trilyun rupiah selisih DAU dari yang seharusnya diterima

38

oleh daerah-daerah ( lihat: hasil penelitian Seknas FITRA,

dalam : Kupas Tuntas Hubungan Keuangan Pusat dan

Daerah , seknasfitra.org)

h) Belum terpenuhi dengan semestinya prinsip-prinsip dana

perimbangan keuangan Pusat dan Daerah , dengan kenyataan

,antara lain :
(1) Belum proporsional, demokratis,adil, transparan dengan

memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah

(seperti yang telah disinggung terdahulu)

(2) Belum “matching” sebagai subsistem keuangan negara yang

merupakan konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah

Pusat dan Daerah

(3) Belum memenuhi dan memperhatikan stabilitas dan

keseimbangan fiskal dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

( lihat : Bhaskoro : Analisis Dana Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah , dalam : civicsedu.blogspot.com)

i) Ternyata ada hal-hal mendasar yang masih memerlukan

konstruksi ulang hubungan Pusat dan Daerah yang juga berimbas

pada kurang baiknya hubungan keuangan Pusat Daerah sebagai

salah satu akibatnya , (pasca UU Nomor 32 Tahun 2004 ,antara

lain :

(1) Otda yang relatif kurang berhasil (bahkan relatif “gagal”)

dengan ciri antara lain : Kurangnya /bahkan ketiadaan

“political equality , local responsiveness and local accountabili-

39

lity” ( lihat :Yappika ,2006 ; Smith, 1985 : 24)

(2) Otda yang sangat luas menyebabkan “tensi “ politik yang lebih

tinggi ketimbang upaya-upaya peningkatan pelayanan publik

(3) Penyusunan organisasi perangkat-perangkat daerah

kabupaten / kota yang lebih ditentukan oleh “akomodasi

kepentingan-kepentingan tertentu “
(4) Perimbangan keuangan Pusat-Daerah ,misalnua DAU,

dijadikan alasan untuk memenuhi titik 3) di atas

(5) Nepotisme berdasarkan kebangsawanan , sukuisme, afiliasi

politik daerah ; ternyata masih “mewarnai”proses

rekrutmen ,penempatan, promosi , mutasi --- mutasi jabatan

tertentu ( dengan dalih “putera daerah ,anak daerah ”) yang

bertentangan dengan “orang pusat” yang didrop di daerah

( lihat :Mackie, 1980 :672)

(6) Kualitas dan kuantitas SDM yang kurang profesional

,termasuk keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam

proses penganggaran

(7) Provinsi ( Gubernur sebagai “wakil Pusat” tidak berjalan

efektif , SDM aparatur tidak didistribusikan dengan baik)

(8) Esensi tujuan desentralisasi belum terwujud ( menumbuhkan

kemandirian daerah , keselarasan kewenangan dan sumber-

sumber pembiayaannya belum serasi )

(9) Masih adanya persoalan-persoalan yang mengganjal ,antara

lain :

40

(a) Kerangka hukum konstruksi hubungan Pusat dan Daerah

yang selalu ditandai kecenderungan “sentralisasi sumber-

sumber penerimaan “

(b) Desentralisasi fiskal masih cenderung mempertahankan

“ketergantungan “ Daerah terhadap Pusat


(c) Penjabaran UUD’45 yang tidak secara tegas mengatur dan

mengamanatkan perimbangan keuangan antara Pusat

Daerah , belum dijabarkan dengan baik secara adil—

merata --- efisien (lebih luas dalam : Ekoprasojo, 2008:

Konstruksi Ulang Hubungan Pusat dan Pemerintah(an)

Daerah di Indonesia : Antara Sentripetalisme dan

Sentrifugalisme , Pidato Pengukuhan Guru Besar

Administrasi Publik FISIP –UI Jakarta (08-04-2008) dalam

:ekoprasojo.com )

(10) Khusus mengenai “ketidakadilan “ dalam perimbangan

keuangan Pusat dan Daerah terdapat beberapa kenyataan

,antara lain :

(a) Dana Bagi Hasil (DBH) belum adil, terkesan masih

diskriminatif ,khususnya pada sektor pertambangan minyak

dan gas bumi, emas dan batubara ; dimana daerah penghasil

menerima hasil sedikit sekali ,padahal akan menerima risiko

kerusakan lingkungan akibat pertambangan tersebut

(b) UU No.33 Tahun 2004 , dirasakan tidak adil bagi porsi

penghasilan daerah “luar Jawa” sehingga daerah-daerah terse-

41

but , “seperti ayam mati di lumbung padi” , karena DBH nya

yang tidak adil tersebut ( lihat : Ketidakadilan dalam

Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah , dalam :

salmantabir.wordpress.com )
(11) Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah masih

merupakan “Retorika Indah Konstelasi Politik” dengan

kenyataan antara lain sebagai berikut :

(a) Belum mencerminkan prinsip “money follow function” ,

terlihat dari pengembangan “urusan “ dengan perimbangan

keuangannya diatur dalam UU yang terpisah

(b) Kabupaten /Kota menggantungkan penyelenggaraan

(administrasi ) Otda pada perimbangan keuangan tersebut

,dimana sekitar 80 % pendapatan Kabupaten tergantung pada

dana perimbangan tersebut, sementara pada Kota tidak

separah itu

(c) Transfer daerah ( dana perimbangan ) tidak memperhatikan

kesetaraan setiap warga negara (misalnya transfer per kapita

tertinggi bagi Kabupaten Tana Tidung yang 127 kali dari

transfer terendah perkapita di Kabupaten Bogor )

(d) Jenis dana perimbangan semakin berkembang ,karena tidak

memiliki landasan aturan , dan berpotensi memperbesar

kesenjangan antar daerah

Contoh : Tahun 2008 ada Dana Infrasturktur Sarana

Prasarana (DISP) ; Tahun 2009 menjadi Dana Penguatan De-

42

sentralisasi Fiskal Percepatan Pembangunan Daerah(DPDF

PPD) ; Tahun 2010 ditambah lagi komponen Dana Penguatan

Infrastruktur dan Prasarana Daerah ( DPIPD) , Dana

Percepatan Infrastruktur Pendidikan ( DPIP) ; dan sampai


Tahun 2011 ada 7 jenis dana perimbangan ,yang jelas tidak

sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004)

(e) Dana penyesuaian infrastruktur ternyata merusak sistem dana

perimbangan ( contoh : DPID Tahun 2011 tidak

memperhatikan tingkat kemiskinan dan kemampuan fiskal

suatu daerah, karena tidak ada kriteria tertentu , dimana 76

daerah yang tingkat kemiskinannya di atas rata –rata nasional

( > 1.0) tidak mendapatkan alokasi ,sementara terdapat 149

daerah yang tingkat kemiskinannya di bawah rata-rata

( indeks kemiskinan < 1.0) justru mendapatkan alokasi DPID)

(f) Daerah dirugikan akibat selisih DAU yang seharusnya

diterima sesuai yang ditetapkan APBN :

Versi DAU : Tahun 2008 : Tahun 2009 : Tahun 2010 : Tahun 2011

DAU versi UU 33 : 234.230.15 : 200.451.34 : 234.229.81 : 277.804.90

DAU versi APBN : 179.507.10 : 186.444.10 : 203.606.50 : 225.532.80

Selisih : 54.723.05 : 14.037.24 : 30.623.31 : 52.272.10

(g) Formula DAU memberikan insentif bagi daerah terjadinya

inefisiensi belanja pegawai dan pemekaran daerah

(perhitungan DAU dengan mengikutsertakan belanja pegawai

sebaagai alokasi dasar tidak mencerminkan kebutuhan daerah

43

dimana formula ini ternyata tidak memberikan insentif bagi

daerah yang mengurangi belanja pegawai dan disinsentif bagi

terjadinya pemekaran daerah)


(h) Dana Alokasi Khusus ( DAK) semakin jauh dari pencapaian

tujuannya untuk mendanai kegiatan khusus sesuai prioritas

Nasional pada daerah tertentu ( karena nyatanya lebih banyak

jenis DAK ,misalnya 2005 ( 9) ,2011 ( 19) ,yang tidak

menggambarkan prioritas nasional apa sebenarnya yang akan

dicapai )

(i) Kriteria DAK yang kompleks, rawan bias kepentingan politik

(j) Kriteria teknis dimensi-dimensi dana perimbangan ,terutama

DAK yang kerap kali berubah ( hampir setiap bulan)

(k) Tidak adanya argumentasi yang jelas tentang pembagian yang

proprosional mengenai dana bagi hasil bagi pajak dan sumber

daya /kekayaan alam

(l) Dana bagi hasil (DBH) yang tidak merefleksikan potensi

daerah ,sehingga PDRB daerah erat hubungannya dengan

DBH tersebut

(m)Pada dasarnya DBH “ antara ada dan tiada “ ,dana

perimbangan mestinya mengurangi kesenjangan fiskal antar

daerah , yang ternyata DBH tidak sejalan dengan tujuan

tersebut.McLead & Fadlya ( 2001) menemukan sebenarnya

DBH hanya merupakan “mitos” ,sebenarnya tidak ada dalam

transfer daerah ( lebih luas lihat:Rian Pramana , Perimbangan

44

Keuangan Pusat dan Daerah : Retorika Indah Konstelasi Politik,

dalam : deramletterine.blogspot . co. id.)


6) Mengapa Pendapatan Asli Daerah (PAD) kurang berkontribusi secara

signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD

–APBD di daerah-daerah ?)

Diasumsikan penyebab-penyebabnya antara lain :

a) Sektor Unggulan Daerah belum ditranformasikan menjadi bagian

dari peningkatan PAD agar dapat memberikan kontribusi yang

lebih besar kepada APBD (lihat : Lukman ,2011)

b) Belum optimalnya pendapatan dari pajak daerah dan retribusi

daerah ,BUMD ,dan pengelolaan kekayaan daerah lainnya (lihat

dalam : Keuangandaerah.net & Eprints.ung.ac.id.)

c) Rasio efisiensi PAD belum baik ( biaya yang dikeluarkan untuk

memungut PAD dibandingkan dengan realisasi penerimaan PAD

rata-rata belum efektif dan belum efisien ( lihat dalam :

Eprints.ung.ac.id.)

d) PAD memang belum dapat diandalkan antara lain, karena :

(1) Masih rendahnya basis pajak daerah dan retribusi daerah

(2) Perannya yang rata-rata memang relatif masih kecil dalam

total penerimaan daerah

(3) Kemampuan tatalaksana pemungutan PAD dengan berbagai

dimensinya yang masih kurang baik

(4) Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan daerah

yang rata-rata masih lemah ( Mahi,2000:58 Administrasi Keu-

45

angan Daerah ,dalam : nuryatiwidodo.lecture.ub.ac.id)


e) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ,yakni PAD terhadap Dana

Perimbangan yang masih rata-rata kurang dan sedang ,paling

banter cukup , sedikit sekali yang baik dan sangat baik; demkian

halnya Rasio Ketergantungan (PAD terhadap Total APBD tanpa

subsidi ) ; demikian juga Rasio Desentralisasi Fiskal ( PAD

terhadap Total Penerimaaan Daerah) ; dan demikian juga

perhitungan kinerja PAD melalui “share and growthnya “

terhadap Kemampuan Keuangan Daerah yang rata rata baru

berada pada kuadran I ( share and growth rendah) ----kuadran II(

share tinggi tapi growth rendah) ---- baru sedikit yang berada pada

kuadran III ( share rendah tapi growth titnggi)--- sedikit sekali

pada posisi kuadran IV( share dan growth tinggi) ; serta Indeks

Kemampuan Keuangan Daerah =IKKD (integrasi pertumbuhan

PAD --- indeks elastisitas =belanja langsung terhadap PAD

-----serta indeks share PAD terhadap APBD yang juga masih

kebanyakan rendah dan sedang, sedikit sekali yang tinggi ( lihat

dalam : unmasmataram . ac. id)

f) Adanya kendala-kendala teknis ,kendala administratif , kendala

politis dalam rangka meningkatkan dimensi –dimensi PAD

,antara lain :

(1) Kendala Tatalaksana:

(a) Data dasar obyek pajak dan retribusi daerah yang belum

valid ,menyulitkan pemungutannya

46
(b) Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

pajak dan retribusi bagi kepentingan pembangunan daerah

(c) Masih kurangnya dukungan “data base” dan sistem

informasi mengenai data pajak dan retribusi daerah yang

selalu di “up date”

(d) Proses tatalaksana yang terjebak “ red tape” ( berbelit-

belit, bertele-tele dimana setiap belitan memerlukan

“gratifikasi” /pen.)

(2) Kendala Politis ,antara lain :

(a) Kurangnya koordinasi dan pengawasan antar lembaga

/SKPD dalam upaya mengoptimalkan peningkatan pajak

dan retribusi daerah,serta dimensi PAD lainnya

(b) Belum ada dukungan yang penuh dari lembaga-lembaga

politik dan pihak-pihak terkait ( serta “stakeholders”

lainnya /pen.) dalam upaya bersama meningkatkan

penerimaan pajak dan retribusi daerah ,dan lainnya yang

terkait dengan PAD

(3) Kendala Teknis ,antara lain :

(a) Adanya obyek pajak daerah dan retribusi daerah yang

menyebar di berbagai wilayah (berjauhan /pen.)

(b) SDM pemungutnya yang masih belum/kurang profesional

(lihat : Azmi & Musyaddad , 2012 , Analisis Akuntabilitas

Pada Optimalisasi Perpajakan dan Retribusi dalam rangka

Peningkatan Keuangan Daerah , dalam : azmi_ musyaddad

47
_ fisip 11.web. unair.ac.id (2012)

g) Belum terpenuhinya parameter dari Perhitungan dan Analisis

Kinerja PAD melalui :

(1) Ukuran Elastisitas , Share and Growth seperti telah

dikemukakan terdahulu, yang kondisi elastisitasnya yang

belum baik

(2) Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah yang

diukur dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks ( yang

sebagian sudah disinggung di muka )

(3) Kebijakan Umum Pengelolaan Daerah yang terkait dengan

Peningkatan PAD dan Investasi (yang rata-rata belum baik)

(lihat :Deddy( Direktorat Pengembangan Otda) , Peta

Kemampuan Keuangan Provinsi dalam Era Otda : Tinjauan atas

Kinerja PAD dan Upaya yang dilakukan Daerah , dalam

:bappenas.go.id)

7) Mengapa pengelolaan atau manajemen keuangan daerah (MKD) (pada

umumnya ) belum efektif dan efisien?

Beberapa penyebabnya antara lain :

a) Kualitas dan kuantitas SDM yang profesional dapat mengelola

keuangan (manajemen keuangan) daerah yang cukup kompleks

memang belum memadai ,sedangkan tuntutan pengelolaan sudah

demikian “ilmiah “ misalnya tuntutan akan pengelolaan APBD

berbasis kinerja dan laporan keuangan berbasis akrual,serta

tuntutan pengelolaan keuangan yang sudah semestinya memberla-

48
kukan konsep “E-budgetting” ( lihat : Ibrahim ,2014 )

b) Hubungan dan koordinasi baik internal “ stakeholders internal “ (

baca : pemerintahan/birokrasi) belum harmonis (sering sarat

egoisme sektoral ) ,apalagi kolaborasi secara transparan antara

“stakeholders internal “ dan “stakeholders eksternal “( baca :

masyarakat luar di luar birokrasi pemerintahan daerah) nyatanya

“masih jauh panggang dari api”, misalnya saja dokumen

anggaran saja masih “dikuasai birokrasi “,masyarakat tidak

dapat mengaksesnya/melakukan kontrol sosial dengan semestinya

( lihat : Ibrahim 2005; 2009 , 2014; PR , 2/7/2015)

c) Sejak formulasinya saja ( proses RAPBD dan seterusnya ) sudah

kurang demokratis ,bagaimana mungkin keuangan daerah dapat

dikelola dengan baik (karena sarat kepentingan pribadi dan

kelompok terutama pada elit politik daerah ( lihat : Ibrahim 2011,

2012 ; Makhya 2012)

d) Seluruh rangkaian sistem pengelolaan keuangan daerah yang

meliputi perencanaan , pelaksanaan, pengawasan ( apalagi

tuntutan manajemen publik baru, perlunya umpan balik 360

derajat tepat waktu ) , pelaporan /pertanggungjawaban memang

belum berjalan sebagaimana mestinya ( hampir dalam setiap

tahapan manajemennya tidak terpenuhi kriterianya (lihat :

Ibrahim, 2014 ; Suryanto ,dalam : bpkd.natunakab.go.id)

e) Melengkapi asumsi seperti pada a) di atas, lebih jauh secara teknis

memang para pengelola keuangan daerah (semua komponennya) ,

49
belum menguasai dengan baik setidaknya 10 materi yang harus

menjadi kompetensi mereka dalam mengelola keuangan ( yakni

:cara penetapan APBD , anatomi dokumen anggaran (APBD),

mengtahui secara jelas dan akurat “jenis” dana yang tersedia ,

sistem pengendalian internnya , komponen pokok organisasi

satuan kerja , cara pemilihan penyediaan barang dan jasa ,

dokumen dasar belanjanya , cara pembayaran , perpajakan atas

belanja daerah , sistem pelaporan yang benar ( lihat :

star.bpkp.go.id ;Agus Kuncoro: http: //guskun.com/my_ blog)

f) Belum ditaatinya dengan baik asas-asas pengelolaan keuangan

daerah ( terutama oleh unsur “stakeholders internal selaku

“leading ) yakni : ketertiban tatalaksana keuangan , taat kepada

peraturan perundang-undangan yang ada betapapun masih ada

kelemahannya disana-sini , efisiensi, efektivitas, ekonomis,

transparan ,bertanggung jawab, keadilan, kepatutan dan

manfaatnya bagi masyarakat luas ,agar partisipasi mereka dalam

pengelolaan keuangan daerah dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya

(lihat : Birokrat Sejati : Pengelolaan Keuangan Daerah , dalam:

noldysalindo .blogspot .com )

g) Belum diterapkannya makna atau hakikat dari manajemen

keuangan daerah dengan semestinya ( yakni pengelolaan

keuangan daerah sepenuhnya harus bertumpu pada kepentingan

publik daerah ; mengalir secara reflektf dari visi--- misi ---

kebijakan/strategi pembangunan daerah yang telah disepakati; de

50
sentralisasi pengelolaan dan kejelasan para partisipan seperti

DPRD, Kepala Daerah(KDH) , Sekda dan perangkat daerah

lainnya ; kerangka hukum dan admininistrasi mengenai

pembiayaan ,investasi, pengelolaan keuangan daerah berdasarkan

kaidah mekanisme pasar , “value for money”, transparansi dan

akuntabilitas ; kejelasan tentang kedudukan keuangan

DPRD,KDH, PNS Daerah ,baik rasio maupun dasar

pertimbangannya ; ketentuan dan bentuk struktur anggaran

,anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan ; prinsip

pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional;

prinsip akuntasi pemerintah daerah , laporan keuangan, peran

DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan , pemberian

opini dan rating kinerja anggaran ,transaparansi anggaran daerah

; pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan

pembinaan,peran asosiasi, perang masyarakat guna

pengembangan profesionalisme aparat pemerintah(an) daerah ;

dan akhirnya pengembangan sistem informasi keuangan daerah

(SIKD) untuk dapat menyediakan informasi anggaran daerah

yang akurat dan pengembanagan “komitmen Pemda” terhadap

penyebarluasan informasi keuangan daerah tersebut (agar semua

merasa memiliki ( baik “stakeholders internal dan ekternal”/pen.)

(lihat : Mardiasmo ,2000:3 ,dalam Pengertian Sistem Pengelolaan

Keuangan Daerah: 2frameil.blog.spot.can)

h) Belum memenuhi prinsip-prinsip dan tujuan serta manfaat penge

51
-lolaan keuangan daerah seperti yang dikemukakan Devas ,dkk

1989 : 279- 280 ) ,yakni :

(1) Tanggung jawab (akuntabilitas) :

Pemda harus mempertanggunjawabkan keuangan daerah

kepada lembaga-lembaga atau pihak yang berkepentingan

,yang sah ,misalnya Pemerintahan Pusat,DPRD,KDH ,dan

masyarakat umum

(2) Mampu memenuhi kewajiban keuangan , dikelola sedemikian

rupa ,sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan

keuangan,baik jangka pendek ,panjang , maupun pinjaman

jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan

(3) Kejujuran:

Pengelolaan keuangan daerah pada prisnipnya harus

diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat

dipercaya ( amanah= “trust”/pen.)

(4) Hasil guna (efektivitas) dan daya guna ( efisiensi ):

Cara menggunakan keuangan daerah sedemikian rupa

sehingga memungkinkan program pembangunan daerah dapat

direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan

Pemda dengan biaya yang serendah-rendahnya,dalam waktu

yang secepat-secepatnya tapi dengan kualitas manfaat yang

baik

(5) Pengendalian :

Aparat pengelola keuangan daerah ,DPRD dan petugas penga-

52
wasan harus melaksanakan pengawasan dengan baik, agar

semua tujuan tercapai ( dalam : Pengertian Sistem

Pengelolaan Keuangan Daerah : 2frameil.blogspot.com)

i) Rata-rata daerah hasil pemekaran daerah atau daerah Otonomi

Baru (DOB) masih “gagal” dalam mengelola keuangan daerahnya

(penyebabnya akan dibahas tersendiri ) (lihat : Daerah Terkendala

Manajemen Keuangan,dalam : republika.co.id (23-2-2015)

j) Arah kebijakan keuangan yang belum tepat,sehingga manajemen

keuangannya juga belum baik ,antara lain :

(1) Keuangan daerah yang belum dapat menopang proses

pembangunan daerah berkelanjutan sesuai dengan visi dan

misi yang dirumuskan sebelumnya ( karena “sekedar janji

yang sbenarnya tidak realistis dalam kampanye pilkada /pen.)

(2) Keuangan daerah yang belum dapat menyediakan pelayanan

dasar secara memadai bagi kesejahteraan masyarakat

daerah( belum terpenuhinya standar pelayanan publik

minimal (SPM) dan efektivitas serta efisiensi pelayanan

publik )

(3) Belum dapat meminimalkan risiko fiskal sehingga

kesinambungan anggaran daerah kurang terjamin

(4) Belum dapat dilaksanakan dengan semestinya “strategy pro

growth ( pro invenstment)”, “pro job” ,”pro poor” ,sehingga

pengeloaan keuangan belum dapat meningkatkan secara

signifikan kesejahteraan masyarakat

(5) Akuntabilitas dan transparansi anggaran serta peningkatan


53

partisipasi masyarakat yang masih kurang (lihat :Gambaran

Pengelolaan Keuangan Daerah serta Kerangka

Pendanaannya ,dalam :bappeda.sumutprov.go.id)

k) Belum terintegrasi dengan baik fungsi-fungsi APBD sebagai

kerangka Manajemen Keuangan Daerah ,yakni fungsi

otorisasi,perencanaan , pengawasan, alokasi, distribusi,

stabilisasi ; serta tatalaksana keuangan daerah(akuntansi

keuangan daerah ) belum dilaksanakan dengan semestinya ( lihat :

Saptawibawa, 2012, 2014 ,Manajemen Keuangan Daerah ;

A.Halim ,2001,Manajemen Keuangan Daerah : Bunga Rampai ;

dalam :saptawibawa.blogspot.com)

l) Panduan dalam membentuk Organisasi Pengelola Keuangan dan

Aset Daerah (OPKAD) atau Local Governance Support

Programm)belum dilaksanakan dengan baik ( pembentukan

Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD)

selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD); Kepala

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pejabat

Pengguna Angggaran/Barang Daerah ; penguatan Pemda;

Penguatan DPRD; penguatan media lokal ; penguatan masyarakat

; perencanaan partisipatif,dan lainnya yang terkait) (lihat : Adam

Nugroho ,dkk ,2008 , Panduan Membentuk ,Organisasi Pengelola

Keuangan dan Aset Daerah (OPKAD) ,.dalam : pdf.usaid . gov)

m) Perlu dikembangkan Modul Manajemen Keuangan Daerah

(MMKD) yang baik ,agar dapat dijadikan acuan bagi Manajemen


54

Keuangan Daerah yang baik sesuai dengan tuntutan zaman

( Manajemen Keuangan berbasis Kinerja dan Pertangungjawaban

Keuangan Daerah Berbasis Akrual ) ( lihat :Zulkifli ,Modul

Manajemen Keuangan Daerah , dalam : zoel66.blogspot.com)

n) Perlu pula dipertimbangkan dukungan pengembangan SDM

pengelola keuangan daerah dengan melatih dan

mengimplementasikan Manajemen Talenta dengan baik ( secara

esensial melalui empat proses utama : “talent acquisition --- talent

on-boarding /activation ---- talent development ---- talent

retention” sebagai suatu siklus (akan dijelaskan tersendiri )

( lihat :Handoko Said , 2015, Performance Execution :

Mengimplementasikan Manajemen Talenta dengan Baik , Kompas

20 Juni 2015)

o) Kinerja Buruk Pemda pada umumnya dalam Mengelola

Keuangan Daerah selama ini dengan kenyataan antara lain :

(1) Minimnya pemahaman aparat Pemda tentang pengelolaan

keuangan daerah

(2) Sistem Penganggaran yang terlalu rigid (rumit)

(3) Pengaruh “politik” dari berbagai pihak (baik internal maupun

eksternal/pen.) dalam pengelolaan keuangan daerah (lihat :

Pengelolaan Keuangan Daerah , dalam : academia.edu )

p) Belum terintegrasinya dengan baik Manajemen Keuangan Daerah

(MKD) dewasa ini dengan baik ( sebagai manajemen

penerimaan, manajemen belanja , bahwa MKD itu adalah persoal-


55

an akuntasi --- angggaran--- kendali – dan audit sekaligus) (lihat

:Abdul Halim ,2004 , Reformasi Keuangan dan Anggaran Daerah:

Dua Pilar Utama Manajemen Keuangan Daerah (Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi

Universitas Gajah Mada (17-1- 2004) di Yogyakarta, dalam :

repositery.ugm.ac.id)

q) Setidaknya ( menurut BPK) ada beberapa hal (catatan-catatan

yang perlu diperhatikan ) dalam Manajemen Keuangan Daerah

(MKD) ialah :

(1) Masalah penerimaan pajak rata-rata masih jauh di bawah

target

(2) Masalah pemberian subsidi dan sejenisnya yang sering tidak

tepat sasaran

(3) Masalah pemberian dana Otsus ( Papua) yang ternyata kurang

berhasil misalnya IPM tetap rendah

(4) Masalah pengelolaan belanja infrastruktur ( masih kurang

dibandingkan dengan luas wilayah )

(5) Pengadaan sarana prasarana masih perlu ditingkatkan

(6) Desentralisasi belum terwujud dengan baik, katergantungan

atas dasar perimbangan masih sangat tinggi (masih sekitar 90

%) yang menyebabkan Pusat akan sulit menanggung

keuangan daerah ( Enam Catatan BPK soal Pengelolaan

Keuangan Pemerintahan SBY , dalam : bisniskeuangan

.kompas.com ( 13/6/ 2014)


56

r) Delapan (8) Prinsip Manajemen Keuangan Daerah belum

terpenuhi dengan semestinya :

(1) Akuntabel :

Aliran dana, kas , dan lainnya belum mengacu sepenuhnya

kepada akuntabilitas publik

(2) Reliabel :

Manajemen keuangan daerah belum dapat dipercaya oleh

publik

(3) Fairness :

Manajemen keuangan daerah belum dijalankan dengan

perilaku yang adil (sistemnya kurang jujur---kurang adil—

kurang kredibel hampir dalam semua lininya )

(4) SDMnya belum andal /profesional

(5) Masih marak dengan KKN (utamanya korupsi ,mark up,suap

dan sejenisnya)

(6) Kurang berorientasi kepada kepentingan publik ,padahal

yang dikelola adalah “uang rakyat “

(7) Payung hukum yang masih tumpang tindih

(8) Akses informasi yang masih tertutup ( lihat : 8 Prinsip

Manajemen Keuangan Daerah ,dalam : anneahira.com)

s) Ternyata Pengelolaan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi

Fiscal dewasa ini masih terbelit sejumlah hal yang belum pada

tempatnya ,antara lain :

(1) Prinsip mendekatkan pelayanan pemerintah kepada rakyat


57

ternyata masih jauh panggang dari api/pen.

(2) Banyak modus yang ditemukan ( Suprayitno ,2011) ,yang

menyebabkan MKD banyak disalahgunakan dalam

prakteknya (akan dibahas dalam kasus-kasus korupsi )

( lihat : Pengelolaan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi

Fiscal ,dalam : otdanews.com ( 20-9-2012)

t) Manjemen Keuangan Daerah dewasa ini belum sepenuhnya

mengacu kepada manajemen keuangan daerah sesuai dengan

pendekatan Manajemen Publik Baru (MPB) tetapi masih

relatif “tradisional” ( akan dibahas dalam reformasi keuangan

daerah selanjutnya ) (lihat : Kurnianingsih , 2011, Manajemen

Keuangan Daerah ,dalam :

wwwshieruphantomhive.blogspot.com ( 14-10-2011)

u) Reformasi Manajemen Keuangan Daerah , dimana prinsip-prinsip

akuntabilitas, keterbukaan, pemberdayaan manajer profesional di

bidang keuangan, lembaga pemeriksa yang betul-betul profesional

(terutama internal) belum berjalan dengan semestinya ( secara

rinci akan dibahas dalam reformasi keuangan daerah ) (lihat

:Setiawan , Reformasi Manajemen Keuangan Daerah ,sebuah

Tinjauan ,dalam : old.bappenas.go.id)

v) Belum terpenuhinya asas-asas MKD sesuai tuntutan masa kini

(era Otda yang luas dan berkualitas/pen.) antara lain :

(1) Asas Tahunan

(2) Asas Universalitas: disampaikan utuh dalam dokumen anggar-


58

an yang utuh

(3) Asas Spesialitas : terinci peruntukaannya dengan jelas

(4) Asas Kesatuan : semua pendapatan dan belanja daerah

disajikan dalam satu dokumen anggaran

(5) Asas-asas baru yang ditemukan dari “best practices” :

(a) Asas Akuntabilitas : dipertaanggungjawabkan kepada

rakyat

(b) Asas Profesionalitas : berdasarkan keakhlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan yang

berlaku

(c) Asas Proporsionalitas :mengutamakan keseimbangan

antara hak dan kewajiban peneyelenggaran pemerintahan

daerah , karenanya penganggaran harus dikelola dengan

berbasis kinerja

(d) Asas Keterbukaan : tidak diskriminatif, tidak tersembunyi,

dapat diakses informasinya oleh semua “stakeholders,baik

internal maupun eksternal “/pen.

(e) Asas Pemeriksaan Keuangan Daerah oleh badan pemeriksa

yang bebas dan mandiri (BPK degan segala

kewenangannya )( lihat : Triani ,2013 , SDM Pengelola

Keuangan Daerah ,dalam : merrytriani .blogspot .com)

w) Pengelolaan Keuangan Daerah masih kurang baik ,dengan

kenyataan-kenyataan antara lain :

(1) Masih kurang sesuai dengan perundang-undangan yang berla-


59

ku/ di samping banyak pedomannya yang tumpang tindih

(2) Akar masalah pengelolaan keuangan daerah terletak pada

kurangnya komitmen pimpinan dan pengambil keputusan

/kebijakan di daerah untuk melaksanakan ketentuan

perundang-undangan secara konsisten

(3) Motif-motif “politik “ dan “ekonomi” masih menjadi

“mindsets” dari para elit politik daerah,dan mengabaikan

“etika pemerintahan daerah “ yang baik dan semestinya yang

menjadi acuan pelilaku mereka

(4) “Budaya sekularisme “ masih merupakan virus di daerah yang

masih mewabah hingga kini

(5) Intervensi hak budget oleh DPRD (karena motif politik dan

ekonomi di atas) sehingga melahirkan anggaran yang

menyimpang dari tujuan mensejahterakan rakyat

(6) Pendekatan partisipatif dalam perencanaan anggaran belum

terlaksana sebagaimana mestinya

(7) Proses perencanaan kegiatan/program yang terpisah dari

penganggaran

(8) Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu

(9) Perincian dari RPJD --- RPJMD--- RKPD tidak reflektif

( tidak mengalir dengan baik) akibat kurangnya tenaga-

tenaga profesional di SKPD-SKPD

(10) Koordinasi yang kurang (baik internal dan eksternal)

(11) Evaluasi APBD oleh Tk.I kurang


60

(12) Musrenbang yang belum bermutu karena tidak

tersosialisasi dengan baik dan kurangnya tenaga pendamping

(13) Laporan Keuangan Pemda yang dianggap rahasia,

padahal mestinya tidak demikian

(14) Pemberdayaan aparat ditingkat bawah masih kurang

sekali (lihat : Kadafi ,2012 , Permasalahan (Pengelolaan )

Keuangan Negara dan Daerah , Riset/2205 Jurnal Ekses Vol.8

No.2 , Agusutus ,2012 : 2169—2357; dalam :

karyailmiah.polnes.ac.id ( http : // karyailimiah.polnes.ac.id)

x) Reformasi Manajemen Keuangan Daerah ( RMKD) belum

berjalan sebagaimana mestinya ( artinya demokratisasi MKD

belum menjadi kenyataan, misalnya terlihat bahwa MKD belum

mencerminkan anggaran bebasis kinerja dan besarannya untuk

rakyat masih dibawah besaran untuk kepentingan birokrasi

daerah )(lihat : Hasrida ,2011, Reformasi Manajemen Keuangan

Daerah , dalam : idhananda.blogspot.com ( 24-3-2011)

8) Mengapa proses analisis perumusan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah ( RPJMD) dan APBD yang dihasilkan belum

mencerminkan atau belum merefleksikan cara berpikir yang

berdasarkan milai-nilai kita sendiri ( baca :nilai-nilai Demokrasi

Pancasila) ,sehingga hasil kebijakan publiknya berupa keuangan

daerah yang tidak dapat digunakan secara efektif dan efisien ,yang

berakibat tujuan mensejahterakan masyarakat tidak bersifat linier

dinamis (bahkan sering menyimpang) ,padahal dasar negara kita ada-


61

lah Pancasila ( tetap legitimate hingga sekarang ini )?

Beberapa penyebabnya antara lain :

a) Para elit politik kita ,utamanya elit politik lokal, memang

“mindsets” nya tidak merefleksi dari Pancasila , yang mestinya

berpikir dengan prinsip: saling memberi ---- musyawarah untuk

mufakat--- mengutamakan kepentingan umum ---- dan berpikir

sistem (komprehensif integral = melihat segala sesuatunya secara

utuh menyeluruh= interdisilpiner ) dalam proses mereka mengambil

kebijakan publik ,utamanya dalam memutuskan APBD yang

merakyat

b) Hal di atas disebabkan antara lain :

(1) Pancasila dewasa ini tidak lagi dihadapkan kepada bahaya

komunisme secara frontal , tetapi pada gelombang dahsyat

aneksasi kapitalisme dengan watak multi dan trans nasional di

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial, ekonomi, serta

politik ( dan kita terjebak di dalamnya terutama para elit

politik yang memimpin bangsa dan negara pada berbagai

skala /tingkatan/level)

(2) Kita kurang sekali memiliki suatu “crirical mass” pendukung

Pancasila ,yang secara kritis dan kreatif serta eksploratif

mampu mengembangkan ideologi Pancasilan (inklusif

Ketahanan Nasional sebagai bagiannya) , padahal suatu

ideologi yang kuat harus memiliki keyakinan ( system of

belief), mitos ( meyakini ajaran bahwa ide-ide dalam Pancasila


62

itu akan dapat dicapai melalui strategi yang baik/tepat), dan

loyalitas (dalam arti bahwa setiap ideologi menuntut adanya

loyalitas serta pelibatan optimal dari subyek pendukungnya

untuk melakukan berbagai hal yang telah ditentukan,demi

tercapainya tujuan bersama yakni masyarakat adil dan

makmur berdasarkan Pancasila ) Hal itu ternyata tidaklah

mudah,karena kalangan akademik Indonesia masih agak fobi

terhadap filsafat ,dan sejak lama filsafat tidak lagi diberikan

sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi . Akibatnya ,

ilmu pengetahuan itu dipelajari secara terpisah-pisah ,dan

para sarjana amat sukar berkomunikasi satu dengan yang lain

(3) Secara historis bila dilacak perkembangan Pancasila sejak

1945 ,terdapat kenyataan-kenyataan antara lain sebagai

berikut :

(a) Pancasila lahir dalam forum pembahasan dan kesepakatan

politik , bukan dalam forum akademis dimana tesis-tesis

ilmiah menjadi dasar argumentasinya , tetapi himbauan-

himbauan politik yang menghasilkan kesepakatan politik

,yang akhirnya pada 18 Agustus 1945 tercapai rumusan

sila-silanya dalam Pembukaan UUD’45 secara resmi

( dimana terdapat pengorbanan berbagai pihak ,sehingga

kesepakatan tersebut tercapai dengan baik)

(b) Baru kemudian dikukuhkan sebagai kaidah negara yang

fundamental ,baik dalam Pembukaan UUD’45 maupun da-


63

lam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Tap-tap MPR

selanjutnya . Disini Pancasila bersifat imperatif ( yang

kemudian dalam pembudayaannya melalui Indoktrinasi

Tubapin (Orde Lama) ,yang dianggap mengalami banyak

distorsi karena “dicemari “ Manipol-USDEK ; dan

penataran-penataran P-4 dalam berbagai tingkatan

( itupun masih dianggap berbagai pihak kurang terbuka);

tetapi di Era Reformasi malah seperti enggan

dibicarakan ,padahal secara legitimate sampai saat ini

NKRI tetap berdasarkan Pancasila

(c) Berbeda dengan ideologi kapitalisme /liberalisme dan

komunisme yang kelahirannya merupakan cerminan dari

realitas masyarakat Barat yang muncul sebagai akibat

revolusi industri abad ke 18 , ideologi Pancasila merupakan

idealisasi suatu masyarakat “ aman sejahtera” yang

hendak dibangun ,untuk menggantikan kenyataan pahit

kondisi kemiskinan dan keterbelakangan sebagai warisan

penjajahan yang hendak kita bongkar ( lihat : Wibisono,

1996 ; Ibrahim , 2002, 2006 , 2011 )

(4) Setiap ideologi yang original , termasuk Pancasila yang digali

dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang beraneka ragam

itu , sudah seharusnya memiliki metode berpikir

( “mindsets”)nya sendiri ( lihat a) di atas ) ;dan ini tidak

konsisten dan konsekuen diamalkan ( lihat : Abdulkadir Besar,


64

1996 ; Ibrahim 2011)

(5) Pada dasarnya setiap isme atau faham demokrasi apapun

juga,akan eksis dengan baik dalam suatu masyarakat bangsa

,jika dalam unit-unit terkecil bangsa memang telah

membudayakan model dari demokrasi itu . Kenyataan

menunjukkan bahwa memang dalam keluarga-keluarga

masyarakat Barat misalnya , corak dan metode berpikir

individualistik memang telah menjadi ciri keseharian

keluarga.

Pertanyaannya apakah memang dalam unit-unit terkecil

masyarakat Indonesia, keluarga-keluarga Indonesia, telah

membudayakan dalam kesehariannya metode beripkir

Pancasila iru secara utuh? Sepertinya metode berpikir

Pancasila itu memang belum menjadi “culture of our own”,

belum mendarah daging dalam keseharian hidup kita, bahkan

banyak yang mulai terkontaminsasi dengan nillai-nilai budaya

asing yang justru tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita

sendiri ( lihat : Giddens, 2000; Ibrahim, 2002, 2006 ,2011)

c) Secara umum dapat di “resumekan “ bahwa memang kita belum

dapat merefleksikan Pancasila dengan semestinya sejak tataran

filosofisnya ---- tataran ideologisnya ---- tataran metode

berpikirnya (mindsets-nya) ----- tataran wawasan

kebangsaan/wawasan nasionalnya ----tataran tolok ukur

keberhasilan pembangunannya ----- tataran kebijakan /strategi


65

dan rencana pembangunannya ----- hingga program

pembangunan nasional/daerahnya ------ semangat dan perilaku

para penyelenggara pemerintahan dan masyarakatnya ( lihat :

Ibrahim, 2002,2006, 2011, 2014)

9) Apa memang perwakilan-perwakilan Pemerintah Daerah di Pusat

(Jakarta) memang diperlukan harus ada , yang nyatanya perwakilan-

perwakilan tersebut ikut memberikan kontribusi terhadap pemborosan

anggaran /keuangan daerah ?

Penyebabnya antara lain :

a) Secara umum pemerintah NKRI sejak awal tidak langsung

“tancap gas” merealisasikan konsep negara kepulauan ,sehingga

wilayah yang sekitar dua pertiga lautan dengan 17. 502 pulau ( 2

sudah di klaim Malaysia ) belum dapat terintegrasi dengan baik ,

wawasan nusantara belum terwwujud, sehingga daerah-daerah

memerlukan perwakilan untuk mengurus berbagai

kepentingannya agar tidak selalu terlambat, misalnya dalam

realisasi dan besaran anggaran, karena mereka jauh dari Pusat

b) Kedua , penyebabnya kita lamban menerapkan “ e-goverment”

dengan baik yang didalamnya ada “e-budgetting, e-information, e-

learning, e-commerce dan lainnya “ sehingga tidak perlu terbuang

banyak biaya untuk mengurus berbagai kepentingan daerah di Pu

-sat( pengamatan dan kenyataan di lapangan /pen .)

10) Mengapa “calo anggaran “ masih saja gentayangan ? ( yang

“hobbynya” mencarikan anggaran daerah terutama yang sifatnya di-


66

luar prosedur resmi ,sehingga mengakibatkan anggaran ke daerah

menjadi tidak adil , banyak “menguap di jalan “ dan sama sekali tidak

berorientasi kepada kepentingan rakyat daerah )

Penyebabnya antara lain :

a) Moral dan motivasi dari para “calo anggaran itu sendiri “ ( yang

terdiri dari beragam “jenis manusia” (baik “orang dalam dan

luar”, bahkan oknum yang mestinya memperjuangkan rakyat )

sama sekali memang tidak untuk kepentingan masyarakat daerah

( hanya dijadikan alasan negosiasi saja ) , tetapi berdasarkan

sepenuhnya kepentingan pribadi/golongan dan sejenisnya

b) Para elit politik daerah sendiri yang memanfaatkan beragam calo

anggaran tersebut ,”sami mawon” ,tidak mementingkan

rakayatnya karena dana yang didapat sudah hampir habis

“ditengah jalan “ ,serta menghabiskan banyak waktu di Pusat

dengan dalih mengurus rakyat daerahnya, padahal sebaliknya

,sarat kepentingan pribadi /kelompok/golongan

c) Budya keorganisasian --- perlaku keorganisasian --- dari para elit

politik daerah yang memang sebagian kurang mencerminkan

budaya pengabdian selaku elit politik daerah

( hal-hal di atas pengamatan penulis selama menjadi anggota

DPR/MPR-RI di Jakarta /pen.)

11) Mengapa “E- Government ( meliputi antara lain : e-budgetting --- e-

information---- e- commerce----- e-learning ---- e- information,dan lain-

lainnya ) “ belum dimanfaatkan /dilaksanakan dengan baik ,sehingga


67

akuntabilitas dan keterbukaan keuangan daerah belum dapat terwujud

dengan semestinya ?

Penyebabnya antara lain :

a) Resistensi yang relatif akut dikalangan birokrasi Pemerintahan

Daerah (terutama Eksekutif dan Legislatif ) dengan alasan

antara lain :

(1) Takut kehilangan pekerjaan karena efektivitas dan efisiensi

dari kehadiran “e-government “ dengan berbagai dimensinya

seperti tersebut di atas (karena akan menciutnya jumlah

personil sementara banyak yang secara kualitatif belum

terampil menggunakan perangkat komputerisasi tersebut)

(2) Khawatir “ketahuan belangnya “ yang selama ini banyak

memainkan anggaran “di belakang layar “ demi kepentingan

pribadi /kelompok ( merasa “aman “ dengan serba

ketertutupan dalam masalah anggaran sebagai kasus yang

pealing akut ,karenanya tetap bertahan agar dokumean

anggara dianggap “rahasia “birokrasi sendiri )

(3) Budaya “old public manajemen “ dan “old public service”

yang memang masih “tebal di kalangan birokrasi daerah

(4) Menganggap justru “ e-government “ tersebut mahal , padahal

sebaliknya secara keseluruhan

(5) Khawatir “penghasilan tambahan “ (baca :gratifikasi akan

berkurang ) karena selama ini percepatan layanan ,inklusif

bahkan utamanya di sektor anggaran , akan cepat dilayani “se-


68

suai kesepakatan “ fee “ yang setujui bersama , makin banyak

“ fee” nya ,makin cepat ,bisa mungkin lebih cepat dari

“komputer “

b) Para elit politik memang kurang melihat “e-goverment “ tersebut

sebagai skala prioritas masa kini sesuai tuntutan MPB dan PPB

yang memang sudah seharusnya dilakukan , mereka justru mera-

sa apa yang diberikan pelayanan selama ini sudah baik ( sering

terlontar kaata –kata misalnya:” Dilayani seperti ini mestinya

sudah bersyukur ,kenapa harus macama-macam , yang paling

tahu itu adalah kami/saya , bukan kamu “ ( sambil marah kepada

rakyat yang minta dilayani secara prima sesuai tuntutan masa kini

dimana MPB dan PPB sudah seharusnya diberlakukan dan itu

pasti kurang berhasil tanpa menerapkan “komputerisasi “ dalam

pelayanan publik :( a) dan b) pengamatan ,dan pengalaman penulis

jika berurusan dengan birokrasi --- tidak pukul rata tentunya /pen.)

c) Pemahaman mengenai “e-government “ tidak/kurang dikaitkan

dengan pemahaman tentang makna administrasi publik (yakni

integrasi kemampuan manajerial dengan berbagai dukungannya

,inklusif komputerisasi , agar pelayanan publik makin prima

( cepat—tepat kualitas—tepat jumlah -- tepat sasaran---- tepat

waktu --- dan dengan biaya yang semurah mungkin karena

lugas ,tidak ada embel-embelnya ) (lihat : Ibrahim,2011, 2014)

d) Birokrasi kita memang terkenal senang “red tape “ ,lamban

beradaptasi dengan tuntutan perubahan, selalu mengandalkan


69

“trial and eror “ bukannya berperilaku organisasi positif dan

budaya organisasi pembelajaran ( Ada plesetan yang kelihatannya

“ tidak waras/tidak benar” tapi nyatanya “ya “,misalnya : Kalau

masih dapat dipanjang-panjangkan atau masih dapat dibelit-

belitkan kenapa tidak , agar setiap “perpanjangan atau setiap

belitan “ tersebut “ada hepengnya “( baca :ada uang

gratifikasinya , naudzubillahi min zalik, sampai segitunya)

(pengalaman penulis waktu melakukan wasrik dan mendengarkan

keluhan-keluhan masyarakat,terutama yang berususan dengan

perizinan , begitu banyak “meja harus disambangi”,tentunya sambil

titip “ucapan terimakasih”, padahal mestinya urusannya dapat

lebih cepat dan sederhana “)

e) Memang SDM Pemda banyak yang masih belum menguasai

secara terampil perangkat “e-government “ inklusif “e-budgetting

“ sehingga pelayanannya kurang efektif dan efisien

(lihat :Laksamana ,2011)

12) Mengapa selalu pajak dan retribusi daerah belum efektif dan efisien

,sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

keuangan derah ?

Beberapa penyebabnya antara lain :

a) Karena penyebab-penyebabnya belum dievaluasi secara

komprehensif integral ,misalnya :

(1) Kenapa data basenya tidak lengkap?

(2) Kenapa sering terjadi “main mata “ dalam menentukan besar-


70

an “ pajak dan retribusi daerah ?

(3) Kenapa terlalu besar biaya pemungutannnya sehingga

hasilnya kurang /tidak sesuai target yang ditentukan ?

(4) Apakah sistem pemungutannya sendiri sudah baik ?

(5) Mengapa kualitas dan kuantitas SDM atau kinerja para

petugasnya masih buruk atau tidak /kurang profesional ?

(6) Mengapa wajib pajak dan retribusi selalu tidak akurat data

dan sanksi yang kurang tegas terhadap pengamplang pajak

dan retribusi tersebut ?

(7) Mengapa pemungutannya tidak fair dan adil ?

(8) Mengapa kebijakannya tidak transparan, dan lainnya ( lihat :

Ibrahim , 2011, 2014 ; Jumroh ,2013)

b) Implementasi Kebijakan Pemeriksaan Pajak terhadap kepatuhan

wajib pajak belum efektif dan efisien , dengan contoh-contoh

antara lain :

(1) Kompetensi pemeriksa pajaknya sendiri banyak yang masih

belum profesional

(2) Sistem nilai petugas pajak dan wajib pajak yang masih perlu

ditingkatkan ( lihat : Rahayu , 2011)

c) Karena standar dan kebijakan yang ada belum “diaplikasikan “

dengan semestinya oleh para pelaksana kebijakan ,kurangnya

alokasi dana dan sarana –prasarana , SDM pelaksana yang secara

kualitaitf dan kuantitatif masih kurang baik , komunikasi antar

pihak-pihak terkait yang belum efektif , koordinasi yang masih ku


71

rang efektif , masyarakat belum sadar pajak ( karena kurangnya

sosialisasi kepada mereka sebagai wajib pajak ), serta Perda-nya

sendiri sering tidak/kurang jelas ( lihat : Pudjianto, 2014)

d) Organisasi dan perangkat yang berkaitan dengan pemungutan

pajak dan retribusi sendiri belum baik ( kurang sesuai “urusan-

urusan dan besarannya di lapangan “ dan belum memanfaatkan

online system dengan baik, serta pengawasan internal yang masih

kurang baik ; demikian halnya upaya-upaya “pemberdayaan “

petugas melalui diklat belum sesuai dengan kebutuhan ) ( lihat:

Lengkong , 2013 )

e) Kurang diaplikasikannya model perencanaan stratejik dengan

menggunakan pendekatan “ expectation of mayor outside interest”

dan “ expectation of mayor inside interest” dan dukungan “data

base “perpajakan yang kurang akurat dan lengkap ( dengan kata

lain kurang memanfaatkan konsep “manejemen stratejik “ dengan

baik dalam merumuskan kebijakan perpajakan dan retribusi

daerah ) ( lihat : Suhendar , 2009)

f) Seperti halnya telah disinggung pada titik 6) di atas mengenai

PAD, pajak dan retribusi sebagai bagian PAD ,juga mengalami

persoalan yang sama yakni :

(1) Obyek pajak dan retribusi daerah yang menyebar di beberapa

wilayah , sehingga memerlukan banyak dukungan untuk

mengefektif dan mengefisienkan pemungutannya

(2) SDM pemungutnya yang masih kurang profesional/kurang


72

kompeten

(3) Data base obyek pajak dan retribusi daerah yang belum valid

( lengkap dan akurat ) ,sehingga menyulitkan pemungutannya

(4) Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

pajak dan retribusi daerah tersebut bagi kepentingan

pembangunan daerah demi kesejahteraan masyarakat juga

( pajak itu kembali kepada masyarakat dalam bentuk

program-program pelayanan publik ; tetapi mungkin saja

masyarakat kurang percaya karena banyak dikorupsi ,dan

banyak “permainan “ di dalamnya )

(5) Prosedur administratif yang masih berbelit – belit mengurangi

animo untuk membayar pajak dan retribusi daerah tersebut

( mau bayar pajak saja dipersulit misalnya )

(6) Masih kurangnya koordinasi dan pengawasan antar

lembaga/SKPD dalam upaya bersama untuk mengoptimalkan

pendapatan derah dari pajak dan retribusi daerah tersebut ,

serta belum adanya dukungan penuh dari semua unsur

“stakeholders internal dan eksternal “ untuk bersama-sama

meningkatkan segala daya upaya peningkatan pendapatan

daerah dari pajak dan retribusi tersebut secara obyektif,

transparan dan akuntabel

13) Mengapa “elit politik daerah “ (terutama DPRD dan Eksekutif

(utamanya CEO-nya ) ,belum dapat mengimplementasikan Manejemen

Publik Baru (MPB) dan Pelayanan Publik Baru ( PPB) dengan baik,
73

yang tercermin misalnya dalam inefesisensi dan inefektetivtas

keuangan daerah ( dalam segala bentuk pelayanan publiknya selama ini

yang masih jauh dari prima ?)

Penyebabnya antara lain :

a) Tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar elit politik daerah di

Indonesia masih merupapan “produk Orde Baru “ yang kental

sentralismenya, dan untuk mengubahnya sesuai dengan tuntutan

reformasi pemerintahan ( MPB dan PPB ) tidaklah begitu mudah,

masih memerlukan waktu cukup lama untuk merubah mindsets

mereka, itupun kalau reformasinya berjalan linier dinamis dan

tidak menentu seperti dewasa ini ,karena reformasi sering

ditafsirkan “revolusi” padahal menata kembali demokrasi

Pancasila sesuai dengan makna sejatinya (kerakyatan yang

mengutamakan kebersamaan ,bukannya terjebak dalam mindsets

liberalisme (bukan liberalisasi ) dan bahkan ada yang terjebak

dalam alam pikir kapitalisme ,karena salah menafsirkan makna

reformasi yang sejatinya tetap dalam NKRI berdasarkan

Pancasila dengan penerapan Otda yang luas dan berkualitas

( lihat: Ibrahim ,2002,2006, 2011,2014,2015)

b) Perubahan UUD’45 yang mengalami 4 kali perubahan ( 2001-

2002-2003- 2004) yang menyebabkan memang UUD’45

Pembukaannya tetap , tetapi Batang Tubuhnya sepertinya sudah

kurang sejalan lagi dengan Pembukaannya ,sehingga merefleksi

dalam berbagai turunan perundangannya yang sering nenyim -


74

pang dari cita-cita Proklamasi seperti yang tertuang dalam

Pembukaan UUD’45 itu sendiri ( terjadi bias dalam

pelaksanaannya ) (lihat : Purnomowati , 2005 ; Ibrahim ,2005 ,

2011)

c) Ada semacam “penyakit turunan “ dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara di Indonesia , yakni “sikap derezimisasi total “ dari

rezim yang menggantikan rezim sebelumnya, padahal mestinya

kita dapat belajar dari sejarah , bahwa dari rezim masa lalupun

ada saja yang baik dan buruknya ,serta tidak terbawa arus

emosional bahwa semua yang lalu itu buruk . Inilah bukti bahwa

banyak perilaku keorgansasian dalam pemerintahan kita di

Indonesia ,baik di Pusat dan Daerah , belum “berperilaku

organisasi positif dan berbudaya organisasi pembelajaran “ ( lihat

: Ibrahim, 2010, 2015 )

d) Media massa yang sering berlebihan dalam “opininya “ ,yang

terjebak dalam kebebasan yang sering “bebas semaunya “ tidak

mengacu kepada makna reformasi itu sendiri , dan sepertinya

memerlukan waktu untuk “berbenah diri “ . Mungkin saja hal ini

merupakan semacam refleksi terhadap kesulitan di masa

sebelumnya, dimana media massa yang merasa terlalu dikekang

,karena sifat pemerintahan yang “semi otoriter/semi demokrasi

“(pengamatan dan “insight” penulis sepenuhnya )

e) Seperti yang telah disinggung di muka, banyak elit politik di

daerah yang cerdas (relatif ) secara intelektual, tapi “miskin/ren -


75

dah kecerdasan emosional dan spiritualnya , sehingga memang

mengerti akan tuntutan reformasi ( antara lain perlu

diwudjudkannya MPB dan PPB),tapi menyimpang dalam perilaku

kesehariannya selaku penyelengara pemerintahan ( lihat : Candra,

2014 ; Ibrahim , 2015 a )

f) Banyak elit politik lokal memang belum mencerminkan tuntutan

akan kepemimpinan transformasional sebagai dasar untuk

mewujudkan perubahan yang lebih baik dan positif bagi daerah

yang mereka pimpin ,tapi sibuk dengan kepentingan

pribadi/golongan ( baca : terjebak dalam KKN ,utamanya korupsi

)( lihat : Ibrahim , 2010, 2015 b)

g) Sistem rekrutmen pada Parpol-parpol yang kurang baik ( baik

dalam hal progam internalisasi, komunikasi dan sosialisasi

politik , partisipasi politik ) sehingga kurang dapat menghasilkan

calon-calon elit politik daerah yang berkualitas , di samping

praktek “money politics” , bahkan ada parpol-parpol yang miskin

kader bermutu ,sehingga “membuka pendaftaran : calon elit

melalui parpol yang bersangkutan untuk ikut Pilkada .

Resultantenya banyak dihasilkan elit politk daerah yang belum

tergolong “politisi terpanggil “ tetapi “politisi panggilan /karbitan

“ sehingga wajar kalau kurang faham dengan tuntutan MPB dan

PPB yang seharusnya mereka aplikasikan . Banyak juga elit

politik yang merasa pintar sendiri, misalnya tidak mau mengikuti


“intraining “ pada awal penugasan mereka , padahal yang

bersangkutan sesu-

76

ai “track recordnya “ yang kurang menggembirakan ,mestinya

harus banyak belajar dalam perannya sebagai elit politik daerah

( terutama dalam banyak kasus anggota DPRD )

Selain itu ketika pencalonan mereka mengikuti pilkada yang sarat

dengan “ekonomi biaya tinggi “ ,sepertinya dianggap “wajar “

kalau perilaku politiknya kurang berminat untuk mewujudkan

MPB dan PPB, tapi lebih berorientasi kepentingan ekonomi

pribadi /kelompok

Masih dapat ditambahkan penyebabnya ialah kurang

dipahaminya ( atau pura-pura kurang faham ) bahwa menjadi elit

politik daerah itu ( politisi praktis) adalah pengabdian kepada

masyarakat, bukannya ajang untuk mencari “kekayaan “ dengan

posisi sebagai elit politik daerah tersebut (lihat : Ibrahim , 2009,

2015 b, dan pengamatan di lapangan /pen )

h) Beberapa hal lain yang secara langsung dan tak langsung menye -

babkan para elit politik daerah belum dapat

mengimplementasikan MPB dan PPB,antara lain :

(1) Banyaknya elit politik lokal sendiri ( utamanya pimpinan

daerah ) yang tersangkut masalah hukum, sehingga

“sepertinya kurang /tidak ada waktu “ untuk mereformasi

daerahnya sesuai tuntutan MPB dan PPB tersebut


(2) Rencana Strategis banyak daerah yang kurang merefleksikan

upaya mewujudkan MPB dan PPB tersebut karena kurang

baiknya perumusan visi-misi- strategi/kebijakan daerah yang

77

diproses secara kurang demokratis

(3) Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM ) Mikro

( Birokrasi ) dan Makro ( Kependudukan) sehingga kurang

mendukung upaya mewujudkan MPB dan PPB tersebut

dengan baik

(4) Kemitraan antar “ stakeholders internal dan ekternal “ yang

kurang dibina dengan baik oleh para elit politik daerah dalam

rangka bersama- sama mewujudkan MPB dan PPB tersebut

( lihat : Ibrahim , 2015 a ,b ; Handini, 2013)

i) Para elit politik daerah sepertinya belum sepenuhnya memahami

apalagi menerapkan konsep ”New Public Financial Management

(NPFM= Manajemen Finansial Baru = MFB) sebagai bagian tidak

terpisahkan dari MPB dan PPB pada umumnya ,dengan ciri

belum mengembangkan yang lebih sistematik dalam perencanaan

anggaran publik di daerah dengan menerapkan teknik : anggran

berbasis kinerja (“performance budgetting “) , “Zero Based

Budgetting (ZBB) “ , dan “ Planning- Programming- and

Budgetting System ( PPBS) “ ( lihat :Hasrida ,2011 , Reformasi

Manajemen Keuangan Daerah , dalam :idhananda.blogspot.com

( 24-3-2011)
j) Para elit politik lebih “latah “ dengan pemekaran daerah

,ketimbang mengembangkan daerahnya untuk mewujudkan MPB

dan PPB ( lihat : Ibrahim, 2009 ; Beni ,2012 )

14) Mengapa koordinasi antar daerah kurang/ sering kurang berjalan de-

78

ngan baik, sehingga kerapkali terjebak dalam pemborosan anggaran

daerah ?

Penyebabnya antara lain :

a) Pilkada yang tidak serentak ,selain menyebabkan “ekonomi biaya

tinggi “ dengan berbagai gejala ikutannya, sekaligus

menyukarkan koordinasi antar daerah karena tidak sinkronnya

waktu perencanaan pembangunan ,padahal kita harus

menyukseskan Otda yang luas dan berkualitas, tetapi dalam

rangka NKRI ( lihat : Ibrahim, 2015 b)

b) Penyakit lama yang tak kunjung sembuh,yakni ego sektoral

dilingkungan Pemda , merasa dinas atau lembaganyalah yang

penting , pihak lain tergantung kepadanya, lebih-lebih yang

diamanahi menglola keuangan, sering merasa itu “uang nenek

moyangnya sendiri “ padalah uang rakyat ( dana sudah tersedia,

tapi dikatakan belum ada , tai kalau ada “gratifikasi”( fee) nya

dilayani , dan hal itu banyak terjadi hingga sekarang. Banyak

bantuan-bantuan Pemda (misalnya bansos untuk lembaga atau

kelompok masyarakat tertentu , ketika akan dicairkan diminita

“potongan “ yang sering tidak masuk akal ; disamping memang

sering bantuan seperti disalahgunakan tidak tepat sasaran ,


didepakati dibelakang layar ( ini bukan sentimen atau emosional,

tapi pengalaman penulis dan banyak pihak yang dikerjain seperti

itu, kadang harus dikonfirmasi lagi ke CEO Eksekutif yang

menyetujui bantuan tersebut baru diberikan relatif utuh , atau

79

akhirnya CEO nya sendiri yang langsung turun tangan

memberikan bantuan dana tersebut tanpa potongan sesenpun

( tapi tentunya kasus serupa ini terbatas pada pihak-pihak

tertentu saja yang memang tidak dapat dikerjain para petugas

keuangan yang melaksanakan pemberian bantuan tersebut )

c) Mindsets (pola pikir ) Pancasila pada dasarnya memang rata-rata

belum mengakar di kalangan birokrasi (daerah ) ,yaitu “saling

memberi ---- mengutamakan musyawarah mufakat----

mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan

pribadi/golongan ---- dan berpikir sistem (komprehensif integral)

“, tapi justru sebaliknya : saya dapat apa, mengutamakan

kepentingan pribadi/golongan , senang dengan kondisi tatalaksana

yang “red tape” ( berbelit-belit ) agar mendapatkan manfaat dari

setiap belitan tersebut, biarlah masyarakat yang dilayani

menderita karenanya ( lihat : Ibrahim, 2002 , 2004, 2006, 2011)

d) Adanya semacam persepsi di kalangan “kelas menengah “ Pemda

( terutama pimpinan- pimpinan setingkat SKPD ) yang merasa

sudah sewajarnya mereka mendapatkan banyak manfaat dari

jabatannya ( “motivation to confly “ ) , yang melahirkan “norma

subyektif “ ( sudah seharusnya mereka mendapat “setoran” ,selain


imbalan resmi ) ; serta merasa karir yang kurang menentu

( karena selera CEO mereka yang susah ditebak apalagi jika

terjadi pergantian pimpinan daerah ) , sehingga “koordinasi “

malah dianggap justru akan mengurangi “ manfaat-manfaat

“buat kepen

80

-tingan mereka sendiri (lihat : Ibrahim , 2006 ; Candra ,2014)

e) Dikalangan Pemda belum terbiasa membuat “network planning “

dan “ network programm” ,karenanya koordinasi kurang antar

lembaga di lingkungan Pemda kurang baik ( hubungan antar

lembaga pemerintahan = HALP ,tidak terjalin rapi ) ( lihat :

Ibrahim , 2005 a, b ; Megawandi , 2013)

f) Secara teknis belum diterapkan dengan baik konsep “e-

government “ dengan berbagai dimensinya , juga menjadi salah

satu penyebab “tersendatnya koordinasi “ dilingkungan Pemda

(pen.)

g) Budaya paternalistik yang kurang dimaknai sebagaimana

mestinya , menyebabkan koordinasi di lingkungan Pemda selalu

“menunggu petunjuk dan arahan dari atasan “ ,inisiatif dan

kreativitas kurang berkembang dengan baik ( pen.)

h) Otda yang bertumpu pada daerah Tk.II sering ditafsirkan “

bagaimana maunya setiap Tk II (baca : terkesan seperti raja-raja

kecil) sehingga ada kesan kurang menganggap perlunya

koordinasi antar daerah ( yang tahu tentang daerah saya,adalah

saya sendiri, demikian yang sering kita dengar dari resonansi


sementara CEO Eksekutif Tk.II tertentu ,padahal mestinya tidak

demikian ) (pen.)

i) Gaya Pemda yang masih terkesan “ top down “ (warisan budaya

pemerintahan masa lalu yang cukup panjang) , sehingga

pemahaman mengenai reformasi pemerintahan ( “top down dan

81

bottom up” “bertemu disatu titik”) belum berjalan dengan baik,

inklusif di dalamnya “koordinasi “ belum berjalan dengan baik

j) Belum dihayati dengan baik oleh sebagian birokrasi di daerah

mengenai makna MPB ( yang esensinya berfokus pada

kesejateraan masyarakat ) dan PPB ( yang esensinya pelayanan

publik prima ) ,dimana untuk mewujudkannya sangat diperlukan

koordinasi yang baik ( apalagi Otda itu tetap dalam kerangka

NKRI) ,bahkan kalau mungkin ditingkatkan menjadi

“kolaborasi” yang baik sejauh mungkin ,baik dalam lingkungan

internal Pemda maupun antar Pemda ( pen.)

k) Karena kepemimpinan daerah banyak yang belum

“transformasional”,karenanya kurang memperhatikan

pentingnya koordinasi antar daerah maupun internal Pemda itu

sendiri ( pen.)

15) Mengapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti dewasa ini ( pilkada

tidak serentak) merupakan pemborosan anggaran ,yang mestinya dapat

dimanfaatkan secara efektif dan efisien bagi kepentingan kesejahteraan

masyarakat ?

Memang Pilkada yang tidak serentak itu menyebabkan antara lain :


a) Kurang terpadunya perencanaan pembangunan ,baik secara

nasional maupun regional dan daerah

b) Jelas boros baik dari segi dana, waktu , dan proses

manajemennya

c) Banyak menimbulkan ekses yang kurang baik, seperti maraknya

82

“money politics “ , berbagai jenis “partisipasi politik “ yang sering

mengarah ekstrim

d) Tersitanya waktu ,yang mestinya dapat dimanfaatkan bagi

akselerasi pembangunan daerah

e) Ekses-eksek negatif yang sering berkepanjangan akibat pilkada

yang nyaris terjadi sepanjang waktu di berbagai daerah tersebut

f) Yang pasti administrasi publik tidak berjalan harmonis, sukar

dicari tingkat keberhasilan pembangunan yang dapat

distandarisasi secara nasional ,dan terjadi ketimpangan yang

mencolok antar daerah ,serta menimbulkan latah setiap daerah

ingin memekarkan diri,tergiur dengan “hura-hura pilkada “ yang

sepertinya tidak pernah sepi, dan rakyat terbengkalai

( Berlaku juga buat Pilkada serentak yang belum seluruhnya )

16) Mengapa sering terjadi “pencurian “ sumber daya /kekayaan alam di

daerah-daerah ,yang mestinya dapat meningkatkan volume

anggaran/keuangan daerah ?

Penyebabnya antara lain :

a) Banyak di kalangan birokrasi daerah yang hanya berpikir sesaat,

mengeksploitasi sumber daya/kekayaan alam ,akibat pemahaman


yang kurang mantap mengenai konsep pembangunan

berkelanjutan di daerah-daerah ( lihat :Rosada, 2012; Ibrahim,

2014 a)

b) Banyak “oknum” birokrasi yang terlibat dalam pencurian sumber

daya/kekayaan alam itu sendiri, misalnya dengan mendapatkan

83

“sogokan “ dari para pencuri sumber daya dan kekayaan alam itu

sendiri ( birokrat yang kurang amanah ,menjual “kepentingan

bangsanya sendiri ; banyak seklai kasus seperti ini ) ( pen.)

c) Rendahnya pengawasan internal , banyaknya “amdal “palsu yang

tidak diteliti di lapangan (kurangnya “management by walking

around”) dari para petugas/pembina sumber daya/kekayaan alam

itu sendiri (pen.)

d) Eksplorasi sumber daya /kekayaan alam yang tidak merata

,sehingga ada yang rusak berat ,ada yang tidak,yang pada

akhirnya justru menggerogoti keuangan daerah itu sendiri (lihat :

Harahap, 2011 ; Ibrahim ,2006 )

e) Kurang memperhatikan prinsip berpikir sistem ( melihat sesuatu

secara komprehensif integral ) dalam rangka memberikan izin

pengelolaan /eksplorasi sumber daya/kekayaan alam ( lihat :

Ibrahim,2006 , 2011, 2015)

f) Kurang lengkapnya “pemetaan “ kondisi sumber daya /kekayaan

alam di masing-masing daerah ( misalnya meliputi lokasi, jumlah,

jenis, posisinya terhadap pelestarian lingkungan dan ketentuan

rencana tataruang wilayah , analisis dampak lingkungannya


secara komprehentif integral ,dan lainnya ) ( lihat : Ibrahim ,

2006 , 2011, 2015 )

g) Belum ada aturan yang menyeluruh tentang tata ruang nasional

dan perangkatnya di daerah ,sehingga “posisi” sumber daya

/kekayaan alam dapat diatur dengan serasi berdasarkan prinsip

84

“pembangunan berkelanjutan “ yang menjamin keserasian semua

aspek pembangunan secara terpadu dan tidak tergoda oleh

“investasi “ yang akhirnya merusak keserasian lingkungan, yang

justru harus “dibayar mahal “ di belakang hari ( lihat : Ibrahim ,

2012 a dan b.)

17) Mengapa desentralisasi fiskal di daerah-daerah belum berjalan

sebagaimana mestinya ?

Penyebabnya antara lain :

a) Desentralisasi fiskal kurang efektif karena kurangnya kemitraan

dengan swasta dan partisipasi masyarakat dalam proses

penganggaran ,karena yang bersumber Pemda memang masih

kurang ( lihat : Sobri,2008)

b) Walaupun Otda yang luas dan berkualitas memang memberikan

kewenangan yang luas bagi Pemkab/Pemkot untuk mengatur

pengeluarannya sendiri , tapi pemerintah pusat belum

menetapkan indikator dan batasan minimum proporsi belanja

langsung , sehingga hampir semua Pemda “belanja tidak langsung

“ lebih dari separuh APBD , sehingga kurang mendorong

peningkatan kinerja ekonomi daerah /kurang mendorong


terjadinya perubahan struktur ekonomi di berbagai kabupaten

/kota . Ternyata kondisi seperti ini sangat mempengaruhi

ketimpangan pembangunan (kurang merkayat/pen.) Hal ini juga

diakibatkan kemampuan perencanaan ,baik aspek penerimaan

dan pengeluaran sangat lemah , juga akibat dari kualitas SDM pe-

85

ngelola keuangan daerah yang masih rendah (belum prpfesional) (

lihat : Arham ,2013)

c) Desentralisasi fiskal yang kurang baik menyebabkan ketimpangan

regional dan kemiskinan disebabkan antara lain :

(1) Kinerja fiskal belum optimal baik dilihat dari segi penerimaan

dan pembelanjaannya

(2) Pendapatan Asli Daerah yang belum intensif dan ekstensif

(3) Belum baiknya “renstra “ dan “prioritasi yang obyektif dalam

pengeluaran ( lihat : Sufirmansyah, 2013)

d) Banyak daerah yang belum mampu memiliki kemampuan

kemandirian keuangan yang tinggi disebabkan antara lain :

(1) Belum sepenuhnya menerapkan prinsip “money should follow

function “ dengan baik

(2) Belum terpenuhinya dengan baik :

(a) Kemandirian daerah dalam memutuskan dengan baik

pengeluaran guna pelayanan publik (yang prima/pen.) dan

pembangunan daerah berkelanjutan

(b) Kemandirian daerah dalam memperoleh pendapatan untuk

membiayai pengeluaran pembangunan tersebut di atas


(c) Belum terpenuhinya prinsip 5 E ( efisiensi , efektivitas,

bertindak ekonomis , “equal “ ,dan “ excellent”( lihat :

Saragih, 2003 ; Muluk ,2005 , keduanya dalam :

2frameil.blogspot .com)

e) Rasio Tingkat Desentralisasi Fiskal(perbandingan perolehan PAD

86

dengan total penerimaan daerah ) yang rata-rata berkisar antara

kurang hingga cukup, baru sedikit yang baik,sehingga rata-rata

ketergantungan keuangan terhadap Pusat masih tinggi

(lihat :Gde B.& Henry Susanto , 2007, dalam : unmasmataram.

ac.id)

f) Desentralsiasi fiskal dewasa ini sangat terganggu dengan

merebaknya tindakan korupsi yang melibatkan banyak kepala

daerah dengan demikian banyak penyebabnya ( yang akan

dibahas secara rinci dalam ulasan mengenai korupsi ); di samping

aturan perundangan yang masih “berlubang-lubang”, sehingga

menyebabkan banyaknya kesempatan penyelewengan ,yang pada

akhirnya menggangu kondisi desentralisasi fiskal menjadi kurang

baik /pen.( lihat: Pengelolaan Keuangan Daerah di Era

Desentralisasi Fiskal , dalam : otdanews.com ( 20-9-2012)

g) Desentralisasi fiskal masih bercirikan ketergantungan yang besar

Daerah terhadap Pusat disebabkan antara lain :

(1) Pemda rata-rata belum dapat menumbuhkembangkan

kemandirian ,sebagai ciri desenstralisasi yang utama, karena

Pemda belum dapat membiayai pelaksanaan seluruh


kewenangan yang diberikan kepadanya ; serta belum adanya

keselarasan antara kewenangan yang diserahkan ,sumber

penerimaan yang dimiliki dan kewajiban membiayainya

(2) Masih adanya persoalan-persoalan tambahan ,antara lain :

(a) Kerangka hukum konstrruksi hubungan Pusat dan Daerah

yang masih ditandai kecenderungan sentralisasi dari sum-

87

ber-sumber penerimaan

(b) Desentralisasi fiskal masih terkesan sebagai persoalan yang

kritis dan krusial karena masih bercirikan “menciptakan

dan mempertahankan “ ketergantungan daerah terhadap

pusat

(c) UUD’45 sendiri tidak secara tegas mengatur dan

mengamanatkan satu perimbangan dan hubungan

keuangan yang jelas antara Pusat dan Daerah

(d) Belum terwujudnya keinginan dan harapan semua (Pusat

dan Daerah pada umumnya) untuk mendistribusikan

pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil,

merata dan efisien ( lihat :Ekoprasojo , 2008 , dalam

:ekoprasojo.com )

18) Mengapa bantuan sosial ( Bansos) menjadi “lahan subur”

penyimpangan dalam realisasinya ?

Beberapa penyebabnya antara lain :

a) Bansos memang sering tidak tepat sasaran , tidak adil , tidak

sesuai dengan peruntukannya ,sering disalahgunakan, misalnya


digunakan untuk mendukung calon petahana dalam Pilkada

,sehingga banyak kepala derah terlibat korupsi dalam penggunaan

bansos ini (lihat : Tumbo,2013 )

b) Penyalurannya tidak obyektif karena tidak menganut “prinsip

piramida terbalik” terhadap masyarakat yang dibantu ,artinya

tidak memprioritaskan kelompok masyakarakat yang paling “me-

88

larat “ sebagai prioritas,tapi sarat dengan berbagai kepentingan

(pribadi/kelompok, politik ,dan lainnya) ( lihat : Prahalad, 2010;

Ibrahim ,2012 d)

c) Bansos tidak transparan dalam kebijakannya, informasinya

tertutup di kalangan “stakeholders internal”, berpusar-pusar

sekitar elit politik daerah dan “kroni-kroninya “ ,masyarakat luas

tidak tahu apa sebenarnya manfaatnya, keberadaannya

,besarannya , seperti layaknya “invisible government”, mereka

hanya diatasnamakan saja dalam pencairannya ; kalaupun

diberikan “disunat disana –sini” tidak sampai kepada alamatnya

secara utuh (pen.)

d) Secara lebih menyeluruh penyebab penyimpangan bansos antara

lain :

(1) Kriteria penerima bansos tidak/kurang jelas

(2) Kekurangan volume( yang disampaikan “disunat “ di samping

memang kadang-kadang serba tanggung /pen.)

(3) Seleksi dan penyalurannya tidak jelas, tidak obyektif ,sarat

KKN /pen.)
(4) Belum dimanfaatkan sebaik-baiknya (kurang efektif )

(5) Bukti SPJ nya sering tidak lengkap

(6) Sering belum dipertanggungjawabkan sipenerima

(7) Alokasi belanja bansos sering digunakan untuk kegiatan lain

,yang seharusnya masuk alokasi belanja non bansos ,dengan

dalih /harapan untuk mempermudah dalam pertanggungja-

89

wabannya

(8) Tegasnya ,pengeluaran dana bansos sering tidak tepat

sasaran,jumlah dan waktunya

(9) Dana bansos dicairkan diakhir tahun dan ditampung ke pihak

ketiga sebagai penyalur atau penampung ,dan penyalurannya

kepenerima manfaat ,atau penggunaannya dilakukan pada

tahun berikutnya dengan kendali yang sulit ,karena dianggap

sudah terealisasi 100% (padahal nyatanya belum /pen.)

(10) Banyak penetapan penerima manfaat dana bansos tidak

dilakukan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam pedoman

(11) Banyak juga dana bansos kepenerima “fiktif”( lihat

:Pramono, 2014, Masalah Bansos dari Hulu sampai Hilir ,

dalam : iaiglobal.or.id ( 10-06-2014)

19) Mengapa alokasi dana desa (ADD) belum berjalan dengan baik ( belum

disalurkan sebagaimana mestinya) ,padahal desa merupakan “basis

pembangunan “ dalam upaya mensejahterakan rakyat dalam kerangka

Otda yang luas dan bekrualitas ,dimana desa sebagai basis dari upaya

pemberdayaan masyarakat dalam Otda itu sendiri ?


Penyebabnya antara lain :

a) Banyak Pemda (utamanya Tk.II) yang belum mengkaji dengan

baik kewenangan-kewenangan kabupaten yang dapat diserahkan

kepada desa , diikuti dengan perhitungan anggarannya ( “ money

follow function”) dengan rumusan alokasi dana yang proporsional

, alokasi dana distributif dan alokasi dana strategis

90

b) Implementasi kebijakan otonomi desa yang hingga saat ini masih

kurang tegas

c) Kebijakan Pemerintahan Kabupaten yang belum menghasilkan :

(1) Peningkatan profesionalisme perangkat desa dan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD)

(2) Peningkatan keleluasaan perangkat desa,sehingga dapat

meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam rangka Otonomi

Desa ( Otdes)

(3) Peningkatan kesejahteraan desa dan aparatnya melalui

pengembangan Badan Usaha Milik Desa ( BUMDes) serta

pengangkatan perangkat desa menjadi PNS

d) Masih kurangnya transparansi dan akuntabilitas

e) Masih kurangnya sarana –prasarana

f) Masih belum jelasnya rincian “regulasi” tentang posisi dan

kewenangan desa ( lihat : Haryanto , 2012)

g) Masih lemah dan kurang baiknya pemberdayaan masyarakat desa

meliputi :

(1) Pemberdayaan Kapasitas SDM nya


(2) Pemberdayaan Kapasitas Politik

(3) Pemberdayaan Kapasitas Ekonominya ( lihat : Setiawan,2011)

h) Dana desa yang ada dewasa ini ternyata memang alokasinya

secara nyata belum dapat :

(1) Mendukung program pemberdayaan masyarakat desa

,sehingga masih terjadi ketimpangan yang mencolok

91

(2) Tidak ada SOP yang jelas mengenai anggaran desa

(3) Menjalin kerja sama antar kelompok dalam masyarakat

desa ,terutama dalam pemberdayaan perempuan dalam

pembangunan desa yang didukung anggaran yang setidaknya

“memadai pada tahap awal “ dan makin baik untuk

selanjutnya /pen.( lihat :Sanusi , 2011)

i) Peran Kecamatan sebagai “mediator “ antara desa dan kabupaten

juga masih kurang sehingga mempengaruhi pembangunan desa,

termasuk kurangnya dukungan anggaran desa , antara lain

terlihat dalam kenyataan-kenyataan antara lain sebagai berikut:

(1) Belum adanya Perda yang jelas dan lengkap mengenai

pelimpahan wewenang kecamatan ke desa ( terutama unsur

pimpinannya)

(2) SDM pemerintahan kecamatan sendiri masih kurang

(3) Belum dapat merumuskan Visi-Misi Kecamatan secara benar

(4) Umumnya masih ketinggalan dalam hal manajemen informasi

( baik teknologi maupun perangkat lainnya )


(5) Dalam kinerjanya masih fokus pada “output” (keluaran)

bukannya pada”outcome”(hasil) yang terukur

(6) Masih belum adanya kode etik instansi dan perofesi ,dalam

rangka meningkatkan kapasitas kelembagaan kecamatan

menjadi lebih baik ( lihat : Santoso, 2013)

j) Berbagai penyebab yang ditemukan KPK dalam alokasi dana desa

antara lain :

92

(1) Aspek regulasi dan kelembagaan :

(a) Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis

pelaksanaan pengelolaan keuangan desa

(b) Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian

Desa dan Kementerian Dalam Negeri

(c) Formula pembagian dana desa yang kurang konsisten

(2) Dari aspek tatalaksana persoalannya antara lain:

(a) Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran yang sulit

dipatuhi oleh desa,acuan bagi desa dalam menyusun

APBDes yang lengkap belum ada

(b) Transparansi masih kurang

(c) Laporan pertanggungjawaban belum mengikuti standar

dan sekaligus rawan manipulasi

(d) APBDes disusun tidak sepenuhnya menggambarkan

kebutuhan yang diperlukan desa (partisipasi masyarakat

sangat kurang ,bahkan nyaris diabaikan /pen.)

(e) Satuan harga baku tidak jelas /nyaris tidak ada /pen.
(3) Dari aspek Pengawasan :

(a) Efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan

pengawasan terhadap penglolaan keuangan desa masih

rendah /masih kurang

(b) Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan

semestinya

(c) Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan

93

Camat belum jelas

(4) Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) :

(a) Tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi (ingat

kasus-kasus PNPM )

(b) Kualitas SDM pada umumnya masih kurang profesional

(c) Dana desa kurang diarahkan untuk memajukan dan

memberdayakan masyarakat desa/perilaku aparat yang

kurang merakyat /pen.( lihat :KPK temukan 14 Masalah

dalam Alokasi Dana Desa ( 20,7 triliun) ,dalam :

news.okezone.com; Nugraha ,2015 ,dalam

:poskotanews.com ; Ibrahim ,2015)

k) Masih minimnya model-model Gerakan Pembangunan Desa yang

benar-benar dengan pendekatan yang berprinsip desa sebagai

basis pembangunan daerah yang mengandung pokok-pokok

antara lain :

(1) Acuan untuk menentukan besaran plafon anggaran desa

(2) Alasan mengapa “ revolusi pembangunan diawali dari desa “


(3) Alasan mengapa desa harus dijadikan pusat aktivitas

pemerintahan dan pelayanan publik dalam rangka

menyukseskan Otda yang luas dan berkualitas ( yang

penekanannya pada daerah Tk.II) ( lihat : Yansen TP ,2014 ,

Gerakan Desa Membangun ( Gerderma : Bangun Indonesia dari

Desa , belajar dari Malinau , dalam : sanggerderma.com( 03-05-

2015)

94

l) Penataan kewenangan (urusan ) pemerintahan desa dan

pengembangan standar pelayanan minimal ( SPM) nya belum

jelas dan belum diimplementasikan sebagaimana mestinya ( lihat

:Utoro & Andi Wahyudi ,2008 , Penataan Kewenangan

Pemerintahan Desa &Pengembangan Standar Pelayanan Minimal ,

dalam : download.portalgaruda . org (29-30 Agustus 2008)

m) Masih kurangnya kerja sama bilateral dengan negara-negara yang

nyata-nyata telah berhasil membangun pedesaan sebagai basis

pembangunan negara (lihat :Huda,2015, Desa Membangun

Indonesia ,dalam Pikiran Rakyat, 10-09-2015)

n) Masih kurangnya kerjasama secara legal antar kementerian-

kementerian terkait dalam rangka penyaluran dana desa dengan

baik ( lihat : Dana Desa, Kompas 10-09-2015)

o) Dana desa masih sarat kepentingan politik di daerah ( lihat : Dana

Desa : Program Bukan Untuk Kepentingan Politik, Kompas 9-9

-2015)
p) Dana Desa masih “tersangkut “ di Pemda (Tk.II) ( lihat : Dana

Desa Tersangkut Pemda , Kompas 5 -9-2015)

q) Kepemimpinan Kepala masih belum efektif dalam menanfaatkan

dana desa meliputi :

(1) Rata-rata belum transformasional ,termasuk belum jelas

visinya , masih kurang disiplin, masih kurangnya

motivasi/gairah dan hatinurani dalam kepemimpinannya

,berakibat tidak efektifnya penggunaan ADD

95

(2) Rata-rata belum terampil dalam penyusunan ADD berbasis

kinerja (lihat : Ibrahim , 2015 ; Kusnadi,2015 )

r) Belum transparan dan akuntabelnya APBDes ( lihat : Anwar &

Bambang Jatmiko , 2015, Kontribusi dan Perab Pengelolaan

Keuangan Desa untuk mewujudkan APBDes yang Transparan dan

Akuntabel ,dalam : upy.ac.id )

20) Mengapa “perilaku kelompok pengguna anggaran “ di daerah banyak

yang tidak /kurang amanah, sehingga anggaran tidak mencapai

tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ?

Beberapa penyebabnya antara lain:

a) Ketidaksesuaian perilaku kelompok pengguna anggaran terjadi

,karena dalam penggunaan APBD tersebut :

(1) Ada kepentingan pribadi yang “bekuasa” (baca elit politik

lokal/pen.)

(2) Pemimpin melakukan pembiaran orang lain ikut-ikut

berkuasa
(3) Adanya ambiguitas peran dan konflik antar pejabat terkait

(4) Ambisi individu terhadap jabatan ( lihat : Atori, 2012 ; Ibrahim

,2015 a.)

b) “Mindsets “ para pengguna anggaran daerah , memang belum

merefleksikan nilai-nilai Pancasila ( saling memberi---

mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan

pribadi/golongan---- gemar bermusyawarah untuk mencapai

mufakat -----berpikir sistem ( pendekatan komprehensif integral =

96

interdisiplin = utuh menyeluruh ),tetapi terjebak dalam perilaku

yang mencerminkan “mindsets” ideologi lain ( liberalisme-neo

lieralisme- kapitalisme ) dalam perilaku keseharian mereka selaku

penyelenggara pemerintahan daerah ( lihat : Ibrahim,2002, 2006,

2010, 2015 )

c) Seperti telah disinggung sebelumnya perilaku aparatur dalam

pelaksanaan anggaran memang kenyataaannya antara lain :

(1) Ada sebagian karyawan yang merasa karirnya kurang jelas

karena profesionalisme mereka yang memang kurang

(2) Merasa bahwa mereka yang mengelola keuangan sudah

seharusnya mendapat imbalan, padahal mereka seperti halnya

karyawan lain sudah diatur penghasilannya sesuai

tupoksinya ,dan sudah ada remunerasinya (tapi masih merasa

kurang /pen.)
(3) Dapat saja cerdas secara intelektual ,tetapi banyak juga yang

rendah secara emosional dan spiritual, sehingga banyak yang

berperilaku menyimpang ( baca:KKN utamanya korupsi /pen.)

(lihat : Ibrahim ,2015 ; Candra ,2014)

d) Sistem rekrutmen dan pembinaan karir yang kurang menekankan

pada kelayakan teknis, dan kelayakan psikologis bagi para pejabat

keuangan yang kurang tepat; demikian halnya dengan

penempatan jabatan yang kurang tepat ( lihat : Ibrahim ,

2010,2014 ; Mardhalena , 2014)

e) Secara umum memang perilaku para pengelola keuangan daerah

97

belum sepenuhnya amanah dengan komposisi yang berbeda-beda

antar daerah ( antara kepala daerah--- pejabat pengelola

keuangan daerah ( pimpinan SKPD)--- bendahara umum

daerah--- pengguna anggaran (kepala dinas/badan/kantor)----

pengguna barang---- kuasa bendahara umum daerah---- pejabat

penatalaksanaan keuangan SKPD ---- bendahara penerimaan---

bendahara pengeluaran ; dimana sebagai “tim anggaran daerah “

sering kurang kompak ,walaupun mungkin hanya sebagian yang

kurang amanah, tapi tetap akan merusak sistem keuangan daerah

yang ada, sehingga tanggung jawab--- keadilan---ketertiban—

ketaatan pada aturan--- efektivitas dan efisiensi---ekonomisasi---

transparansi---kepatutan dan akhirnya manfaat anggaran untuk

kesejahteraan masyarakat terganggu /tidak/kurang

tercapai,walaupun kadang-kadang seperti kata pelatah “ karena


nila setitik ,rusak susu sebelanga” ( lihat :Birokrat Sejati:

Pengelolaan Keuangan Daerah ,dalam : noldysalindo. blogspot.com

; Ibrahim , 2015)

f) Reformasi Birokrasi Keuangan di daerah memamg belum

berjalan sebagaimana mestinya dengan ciri-ciri antara lain “

(1) Belum terjadi perubahan “mindsets” seperti yang telah

diuraikan terdahulu di atas

(2) Paradigma dari “penguasa” menjadi “pelayan masyarakat”

belum terwujud dengan sebagaimana mestinya sesuai tuntutan

MPB dan PPB /pen.

98

(3) Belum mendahulukan “peranan” dari “wewenang”

(4) Belum berpikir “outcome” tetapi sebatas “output”

(5) Belum menerapkan konsep manajemen kinerja dengan baik

(6) Belum melakukan”benchmarking” dengan baik

(7) Belum menerapkan formula : “ bermula dari akhir dan

berakhir di awal “

(8) Masih terkesan kurang demokratis ( masih banyak yang semi

otoriter) /pen. ( lihat :Wismar , dalam : boyyendratamin.com;

Ibrahim, 2011, 2014, 2015)

g) Kenyataannya memang kelompok pengguna /pengelola keuangan

daerah belum berjalan sebagaimana mestinya ,sering terjadi

pelanggaran (lihat : Azis ,2013 ,dalam : antaranews.com (4-5-2013)

h) Secara khusus kinerja mereka memang memperlihatkan

Akuntabilitas Keuangan Daerah yang masih buruk ( WTP yang


sedikit , sistem pembukuan--- sistem aplikasi teknologi – jadual

waktu penyusunan laporan – “ quality assurance” --- SDM yang

belum profesional sepenuhnya ) ( lihat : Kulsum &Dwi Darmawan ,

2008 , dalam : bisnis.news.viva.co.id)

i) Berbagai kelemahan SDM Pengelola Keuangan Daerah (sehingga

mereka berperilaku kurang sesuai ) antara lain :

(1) Kekurangan SDM yang berkualitas,utamanya yang berlatar

belakang akuntasi

(2) Penempatan SDM yang keliru

(3) Tingkat pemahaman dasar dari staf mengenai administrasi ke-

99

uangan negara yang masih lemah

(4) “Reward and punishments “ system yang belum tepat

(5) Sarana prasarana serta proses- proses pendidikan di

perguruan tinggi untuk mendukung pengembangan akuntasni

sektor publik masih membutuhkan perbaikan mutu

(lihat :Kondisi SDM Pengelola Keuangan Negara/Daerah (hasil

penelitian ), dalam : star.bpkp.go.id (9-6-2014)

j) SDM Pengelola Keuangan belum berperilaku sesuai kedudukan

dan kewenangannya ( perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan,pertanggungjawaban) ; dan tujuan keberadaan

mereka jika mengelola keuangan dengan baik ( sehingga dapat

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi , menjaga stabilitas

perekonomian, merealokasikan sumber daya ekonomi ,dan

mendistribusikana pendapatan dengan baik); memenuhi asas-


asas pengelolaan keuangan daerah ( mendukung terwujudnya

penyelenggaraan “good governance”, mengimplementasikan

reformasi keuangan publik di daerah , memperkokoh pelaksanaan

desentralisasi dalam kerangka Otda yang luas dan berkualitas

( lihat :Triani ,2013 , dalam :merrytriani. blogspot.com(30-03-2013)

21) Mengapa kapabilitas organisasi /administrasi pemerintahan pasca

pemekaran-pemekaran daerah ( utamanya Daerah –daerah Otonomi

Baru = DOB-DOB) justru kinerjanya tidak/kurang berhasil ( dan

menyebabkan keuangan daerah menjadi tidak efektif dan efisien) ?

Penyebab-penyebabnya antara lain :

100

a) Pemekaran daerah itu ( terbentuknya DOB-DOB) lebih karena

kepentingan “negosiasi politik “ antar elit politk daerah (yang

dibantu para elit politik pusat) ketimbang untuk efektivitas

pelayanan publik di daerah (inklusif efektivitas dan efisiensi

anggaran daerah) ,sehingga memang lebih banyak gagalnya

ketimbang berhasilnya ( lihat : Ibrahim ,2012 a,b,c.)

b) Pemekaran daerah ( istilahnya sebenarnya lebih baik “penataan

daerah”) ditengarai terwujud (tidak semuanya/pen.) karena ada

hubungan kolutif antara eksekutif-legislatif daerah dan anggota

legislatif pusat ,serta adanya kelompok-kelompok kepentingan

yang memanipulasi kenyataan yang sebenarnya ( misalnya

sebenarnya tidak/kurang layak dimekarkan,tapi kemudian

“dilayak-layakkan” dengan berbagai cara ) ( lihat :

Busrizalti,2011)
c) Evaluasi kebijakan pemekaran daerah masih kurang bermutu,

antara lain terlihat dengan teknisnya :

(1) Kurang kualitatif, hanya bersifat “over all” (tidak per kasus

secara mendalam dan komprehensif integral/pen.)

(2) Evaluatornya kurang independen ,baik dari Pemerintah Pusat

dan Pemda yang bersangkutan

(3) Evaluasi hanya didasarkan pada Laporan Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah ( LPPD) ,tidak menyertakan data lain

yang relevan

(4) Memang kenyataannya banyak yang gagal(sekitar 80 % DOB)

101

(lihat: Beni ,2012 ; Ibrahim ,2015)

d) Pemekaran wilayah ternyata tidak mendekatkan jarak antara

Pemda dengan pelaksanaan pelayanan publik yang lebih baik

(boro-boro prima/pen.) disebabkan antara lain :

(1) DOB tersebut memang kurang potensial sehingga pelayanan

publik justru tidak efektif dan efisien

(2) Banyak terjadi masalah baru seperti “sengketa wilayah “,

sarana-prasarana yang kurang , pengalihan pegawai yang

bermasalah, serta masalah keuangan /anggaran

(3) Variabel pemekaran daerah ternyata memang banyak yang

tidak/kurang memerhatikan variabel pelayanan publik ,tetapi

lebih berorientasi “politis “ dan “asumsi kekuasaan “

(4) Usul pemekaran mestinya murni aspirasi masyarakat

,kenyataannya sering ditunggangi kepentingan politik


( keinginan beberapa tokoh politik untuk mendapatkan

jabatan dengan bekerjasama “merancang “ usulan DOB )

(5) Banyak DOB gagal ,dengan kenyataan pahit antara lain:

(a) Hanya menguntungkan segelintir “elit politik lokal “ saja

(b) “Kelompok elit politik lokal mendorong pemekaran yang

sebenarnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat

(c) Alasan politis lebih dominan ketimbang alasan lain, demi

mengejar keuntungan politik dan ekonomi (utamanya

untuk “menguasai” proyek-proyek pembangunan di

daerah (DOB )

102

(d) Pemekaran wilayah banyak dijadikan bisnis dari

kelompok elit daerah untuk jabatan dan posisi-posisi

tertentu dalam pemerintahan (daerah)

(e) Eforia demokrasi (“reformasi”) dan tumbuhnya parpol-

parpol baru dimanfaatkan para elit politik untuk

kepentingan pemekaran daerah ini

(f) Korupsi meningkat drastis sebagai akibatnya

(g) Pemekaran daerah yang gencar ,dengan sendirinya

memperkecil kapasitas fiskal Pusat dan Daerah : DAU

setiap daerah berkurang , DAK meningkat, pembiayaan

sarana-prasarana , dana pendamping membebani APBN

dan Propinsi

(h) Ketergantungan DOB ( msalnya kasus Maluku) terhadap

APBN sangat besar (ada semacam “ hidden goal “)


(i) Evaluasi Depkeu sekitar 80 % dari 145 DOB tidak

berdampak positif terhadap pelayanan publik dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat

(j) 80 % dari DOB tidak mengalami kemajuan berarti alias

gagal

(k) Ternyata banyak usulan DOB tidak dilandasi berpikir

strategis-taktis –politis , tetap lebih bersifat “praktis-

fragmatis” dengan kepentingan tertentu dan dipaksakan

berhasil dengan “segala cara”/pen .( lihat :

Latumaerissa,2015 ,dalam :malukuonline.co.id (6/6/2015)

103

e) Dari studi evaluasi dampak pemekaran daerah terlihat hal-hal

antara lain sebagai berikut :

(1) Terdapat perbedaan persepsi antara Pemerintah Pusat dan

Daerah mengenai pemekaran daerah ,dimana Pusat

berkeinginan untuk mencari DOB yang dapat berdiri sendiri

dan mandiri ( dengan berbagai indikatornya), sementara

Pemda melihat pemekaran daerah sebagai upaya untuk cepat

keluar dari keterpurukan dan berbagai kepentingan lainnya

( yang kasuistis sifatnya /pen.)

(2) Dari empat faktor yang dievaluasi terlihat antara lain ( setelah

5 tahun ) :

(a) Secara umum DOB memang masih kurang baik dibanding

daerah induknya

(b) Segi ekonomi :


- Pertumbuhan ekonomi DOB lebih fluktuatif

- Belum semua potensi ekonomi di DOB dapat

dikembangkan

- Pertanian di DOB masih rentan

- Di DOB ternyata masih tinggi tingkat kemiskinannya

- Kesejahteraan di DOB marih rendah dibanding daerah

induknya

- Perkembangan ekonomi di DOB dan daerah induk

ternyata makin meningkat(relatif)

- DOB kurang maju karena keterbatasan SDM; kurang-

104

nya dukungan pemerintah ; keterbatasan Sumber

Daya/Kekayaan Alam ( tidak semua)

(c) Keuangan DOB ,antara lain:

- Secara umum keuangan DOB lebih rendah dari daerah

induknya

- Keuangan DOB konstan,sementara daerah induk

meningkat

- DOB dalam hal investasi lebih baik

- Dalam DOB belanja pemerintahannya lebih besar

kontribusinya terhadap PDRB ketimbang daerah

induknya

- Peran anggaran Pemda di DOB ternyata lebih besar

(relatif) terhadap PDRB ketimbang di daerah induknya

(d) Kinerja pelayanan publik di DOB ,antara lain:


- Kinerja pelayanan publik di DOB lebih tendah dari di

DI, bahkan di DOB cenderung menurun ( tidak semua)

- Pelayanan publik cenderung menurun tersebut di DOB

terlihat dari : tidak efektifnya penggunaan dana terkait

dengan kebutuhan dan tidak seimbang dengan luas

wilayah dan penduduk , serta ketersediaan tenaga

pelayanan publik dan sarana yang terbatas ,akibatnya

pelayanan yang diberikan terbatas pula

- Ketersediaan fasilitas kesehatan dan SDM nya di DOB

masih lebih randah ketimbang di DI-nya

105

- Pertumbuhan guru untuk pendidikan dasar di DOB

lebih tinggi dari DI-nya, daya tampung sekolah di DOB

menurun lebih cepat dari DI (Daerah Induk) nya

- Infra struktur di DOB lebih rendah dari DI –nya

- Kinerja aparatur di DOB bersifat fluktuatif

- Kualitas aparatur di DOB masih rendah ( lihat :

Bappenas & UNDP ,2008 , dalam : undp.org (juli 2008)

f) Secara umum tujuan pemekaran daerah (DOB) sesuai UU No.12

Tahun 2007 yakni : peningkatan pelayanan kepada masyarakat,

percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, pencepatan

pelaksanaan pembangunan perekonomian di daerah , pencepatan

pengelolaan potensi daerah , peningkatan keamanan dan

ketertiban ,serta peningkatan hubungan antara Pusat dan

Daerah ; belum memperlihatkan kemajuan yang berarti,


walaupun ada juga beberapa DOB mulai cukup berhasil ( lihat :

Isnaeni, 2012, dalam : sappk.itb.ac.id ( 2012)

g) Pemekaran wilayah (DOB) secara umum kurang berhasil,antara

lain menimbulkan persoalan-persoalan /kenyataan-kenyataan

sebagai berikut :

(1) Persyaratan teknis ( kemampuan ekonomi, potensi daerah

,sosial budaya, sosial politik, kependudukan ,luas daerah ,

kondisi pertahanan keamanan negara ,hal-hal lain yang

memungkinkan terselenggaranya Otda) , persyaratan fisik

kewilayahan (cakupan wilayah, lokasi calon ibu kota, sarana-

106

prasana ) kurang mendapatkan perhatian, lebih banyak

kepentingan “para elit politik daerah “ dengan berbagai

kepentingannya seperti yang telah disinggung terdahulu

(2) Menciptakan struktur Pemda yang “tambun” namun miskin

fungsi ,yang berakibat membebani APBN dan APBD

(3) Aspek politik ditingkat lokal terlalu dominan dibandingkan

dengan kepentingan masyarakat ( disandera oleh sekelompok

elit politik lokal)

(4) Rendahnya kapasitas fiskal yang menyebabkan Pemda

meningkatkan pendapatan dengan berbagai cara ( yang justru

merugikan masyarakat) , sehingga terjadi kesenjangan antar

daerah dan perekonomian berbiaya tinggi

(5) Penambahan DOB secara simultan meningkatkan APBN

,anggaran pembangunan semakin kecil dibandingkan dengan


anggaran rutin ( lihat : Murtiyanto, 2011, dalam :

bagaskara.wordpress.com ( 8-8- 2011)

h) Penyebab lainnya antara lain:

(1) Mengapa DOB harus selalu identik dengan “pemekaran”

mestinya dapat saja “penghapusan “ dan “penggabungan”

sesuai tujuannya pembentukan DOB itu sendiri

(2) “Membanjirnya pemekaran daerah “ menyebabkan (bahkan

cenderung “mengancam”) kualitas pelayanan publik di daerah

menjadi lebih buruk , 80 % gagal meningkatkan kesejahteraan

( lihat:Fibiono, 2013 ,dalam:indracuin.blogspot.com (14-6-13)

107

i) Pemekaran wilayah gagal mensejahterakan rakyat ,antara lain

karena /kenyataan-kenyataan :

(1) Pemekaran wilayah pada umumnya hanya alat untuk

mendapatkan kekuasaan oleh “segelintir” elit lokal dalam

pemerintahan baru

(2) Masyarakat pada umumnya tidak/kurang memahami manfaat

pemekaran wilayah dan tidak/kurang siap dengan pemekaran

wilayah tersebut

(3) Pemekaran wilayah mendatangkan perebutan kekuasaan ( ada

juga yang berpendapat justru untuk “bagi- bagi

kekuasaan”/pen.)

(4) Pemekaran wilayah ternyata menimbulkan fragmentasi elit

politik lokal

(5) Pemekaran wilayah melahirkan “perebutan relasi kekusaan “


(6) Terjadi ketimpangan yang relatif mencolok di daerah

pemekaran itu sendiri lihat : Nurjihadi ; Ratnawati ,dalam :

jihadnp34.blogspot.com)

22) Mengapa “kemitraan “ antara “stakeholders internal “ (aparat birokrasi

pemerintahan daerah ) dan “stakeholders eksternal “ ( masyarakat luas

dengan yang beragam di daerah yang bersangkutan ) masih selalu

(banyak) kurang serasi ,terutama yang menyangkut anggaran

pembangunan daerah ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan antara lain:

a) Memang kebanyakan stakeholders internal sepertinya kurang

108

suka dan menganggap kurang perlu melibatkan secara intensif

kelompok-kolompok “stakeholders eksternal “ dalam proses

perumusan anggaran daerah ,di samping juga terkesan bahwa

birokrasi merasa merekalah yang paling tahu untuk berbuat apa

bagi daerahnya ,padahal justru sebaliknya ( lihat : Ibrahim, 2011,

2012 ; Sobri ,2008)

b) Dalam penyusunan anggaran daerah kurang berorientasi pada

kebutuhan masyarakat (karenanya dianggap kurang perlu

partisipasi masyarakat (baca :kemitraan dari stakeholders

eksternal oleh stakeholders internal); paling dianggap sebagai

“fungsi input “ sekedarnya ; fungsi kemitraan stakeholders

eksternal sebagai “posisi tawar dan kontrol sosial “ untuk ikut

mengarahkan dan memantau proses anggaran selanjutnya agar

anggaran yang dihasilkan dan dilaksanakan serta diawasi dan


dipertanggungjawabkan tepat dalam koridor prioritas dan

kebutuhan masyarakat , kurang diaplikasikan dengan semestinya

( kemitraan ala kadarnya /kemitraan tanggung,agar dianggap

sudah memenuhi prinsip kemitraan stakeholders internal dan

eknternal (lihat : Antony,2010; Ibrahim ,2011, 2014)

c) Yang lebih celaka lagi kemitraan internal dalam lingkungan

“stakeholders internal “ dan “stakeholders ekternal “ itu

sendiri,memang tidak/kurang solid,sehingga sukar untuk

menyelenggarakan kemitraan antara stakeholders internal dan

eksternal dalam rangka merumuskan anggaran daerah ( lihat :

109

Ibrahim,2002, 2006, 2014,2015)

d) Banyak pimpinan daerah ,terutama CEO Eksekutif , yang

memang kurang bergaya kepemimpinan transformasional

,banyak yang yang bergaya transaksional, “laissez faires”,

sehingga dengan kepemimpinaan yang demikian, sukar

membudayakan kemitraan kualitatif antara “stakeholders

internal dan eksternal” tersebut dalam setiap proses pengambilan

keputusan ,inklusif anggaran daerah (lihat : Ali, 2012 ; Ibrahim ,

2005 a ,b.)

e) Rata-rata kualitas DPRD masih kurang baik, sementara

pemberdayaannya berjalan kurang baik juga, sehingga wajar

kalau mereka kurang peduli dalam menjalin kemitraan ,terutama

dengan “stakeholders eksternal”; yang justru dikembangkan

adalah “kemitraan miring “ antar stakeholders internal ( antara


DPRD dan CEO Eksekutif dalam menyusun dan negosiasi

rancangan APBD yang akhirnya tidak/kurang merakyat ,seperti

yang banyak terjadi dewasa ini ( lihat : Lumolos, 2011; Ibrahim ,

2011, 2014,2015)

f) Belum diterapkan dengan semestinya Manajemen Berbasis

Kinerja (inklusif manajemen keuangan berbasis kinerja sebagai

bagiannya) dimana kemitraan “internal birokrasi (HALP )” dan

“internal dikalangan masyarakat luas (internalisasi, komunikasi,

sosialisasi dan partisipasi politik mereka) , serta kemitraan antara

“birokrasi ( stakeholders internal) “ dan “kalangan masyarakat

110

luas ( stakeholders eksternal) “ menjadi salah satu kebutuhan

mutlaknya ( salah satu tokol ukurnya ) ( lihat : Ibrahim,2005,

2014,2015 ; Fachruzzaman ,2009)

g) Kasus yang lebih nyata banyak daerah yang dalam formulasi

APBD-nya ialah kurangnya kemitraan kualitatif (kolaborasi

positif) antara DPRD ( utamanya Badan Anggaran ) dan Tim

Anggaran Pemda ( Eksekutif) ( lihat :Ngusmanto , 2012)

h) Pada umumnya, baik birokrasi ( “stakeholders internal” ) dan

masyarakat luas yang beragam dengan berbagai organisasinya

,terutama Parpol-parpol dan organisasi profesi dan kelompok

kepentingan= sebagai stakeholders eksternal), belum mencirikan

“berperilaku keorganisasian positif dan berbudaya organisasi

pembelajaran” sehingga sering “ngotot” dan merasa benar

sendiri, padahal jika sudah berperilaku keorganisasian positif dan


berbudaya organisasi pembelajaran ,mestilah mengutamakan

“kemitraan kualitatif, mengelola konflik dengan baik”, terutama

dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat

hidup masyarakat ,seperti dalam perumusan APBD ( lihat :

Ibrahim , 2012 a, b.)

i) Memang ada kecenderungan dibanyak daerah perumusan

kebijakan APBD ditentukan oleh “aktor-aktor formal” (terutama

“nego-nego miring” (baca :sarat kepentingan kelompok) antara

Eksekutif dan Legislatif) sehingga biasanya meninggalkan

realisasi kemitraan dengan masyarakat luas ( “participatory gover

111

nance and participatory budgetting “), dimana harus ada interaksi

(baca: kemitraan ) antara pemerintahan daerah dan masyarakat

luas yang beragam kepentingan tersebut ( lihat : Makhya, 2012;

Ibrahim , 2012 a,b, 2015)

j) Tidak berjalannya mekanisme Murenbang di Daerah Tk.II dalam

proses perumusan APBD, padahal jika Musrenbang benar-benar

berjalan dengan baik , merupakan salah satu model “kemitraan

antara stakeholders internal dan ekternal” bertahap yang

mestinya akan melahirkan APBD yang merakyat ( lihat :

Fachturahman, dalam : rajawaligarudapancasila.blogspot.com ;

Ibrahim, 2011, 2014)

k) Dalam penyusunan APBD kurang adanya partisipasi

masyarakat,transparansi, akuntabilitas anggaran,disiplin

anggaran ,keadilan anggaran, taat asas dan kaidah penganggaran


sektor publik ( kepentingan rakyat) ,legitimasi hukum, legitimasi

finansial ,legitimasi politik ( dimana kemitraan antara

pemerintahan daerah dan masyarakat menjadi kuncinya, dan ini

yang tidak/jarang terjadi )( lihat : Suharto ,2009 , dalam : artikel-

media.blogspot.com (2012)

l) Rata-rata pengelola keuangan negara (terutama di daerah) belum

sepenuhnya memahami 10 materi yang harus dijadikan

kompetensi mereka, salah satunya ialah “ Cara Penetapan APBD

yang harus melibatkan kemitraan dengan masyarakat (baca:

kemitraan antara “stakeholders internal dan eksternal “)( lihat:

112

: Kuncoro ,2014 ,dalam : star.bpkp.go.id( 9-6- 2014)

m) Belum terpenuhinya prinsip “good financial governance” dimana

pengelolaan keuangan daerah dikelola secara solid, bertanggung

jawab, efektif dan efisien , serta diproses dan diselenggarakan

secara partisipatif ( yang terakhir dimaknakan sebagai kemitraan

antara stakeholders internal dan eksternal ) ( lihat : Indrawati,

2012 , dalam : ejournal.uwks.ac.id ( 2012)

23) Mengapa “ remunerasi “ telah diberikan kepada karyawan Pemda

khususnya ( dan birokrasi pada umumnya inklusif anggota DPRD)

,tetapi kinerja mereka “tidak menjadi lebih baik “(sehingga penggunaan

anggaran daerah menjadi “makin tidak efektif dan efisien”dan justru

karyawan menjadi tidak kompetitif ?)

Beberapa penyebab dan kenyataannya antara lain:


a) Ternyata remunerasi yang diberikan kepada karyawan Pemda

tidak serasi/sejalan antara kebijakannya dihadapkan dengan

kepentingan pelaksanaan kebijakan tersebut ; dan memang

remunerasi ternyata kurang memperhatikan tolok ukur kinerja

yang diperuntukkan untuk mendapatkan remunerasi tersebut

( remunerasi mestinya tidak pukul rata ,tetapi bervariasi

berdasarkan kriteria kinerja tertentu ) ( lihat : Nugroho, 2013 ;

Ibrahim, 2015)

b) Remunerasi mestinya diberikan “sesudah pemberdayaan

karyawan dan teruji trampil” bukan sebaliknya ( pen.)

113

c) Rekrutmen karyawan dan pembinaan karirnya selain harus

diukur dengan kinerja dan kompetensinya, juga harus diseleksi

berdasarkan “kelayakan psikologis” sejak awal direkrut dan uji

psikologis berkala untuk setiap promosi karirnya (sehingga

didapatkan karyawan yang benar-benar lebih mementingkan

“intrinsic rewards” ketimbang “ extrinsic rewards”) ,sehingga

setiap remunerasi akan di disyukuri dan menambah semangat

pengabdian mereka ( pen.)

d) Sistem penggajian di Indonesia memang sejak awal tidak

adil,demikian halnya remunerasinya lebih tidak adil lagi antar

jenis tupoksi yang ada ( pen.)

e) Masih terkesan adanya istilah “ jabatan basah dan kering” ,

sehingga remunerasi tidak berpengaruh secara signifikan kepada

kinerja karyawan secara merata ( pen.)


f) Maraknya “money politics “ dalam mencapai posisi dalam

jabatan-jabatan politik , sehingga remunerasi tidak dianggap

untuk meningkatkan kinerja ( tidak semuanya) tetapi lebih

sebagai bagian dari upaya mengembalikan modal yang

dikeluarkan dalam rangka “money politics” sebelumnya (pen.)

g) Pengembangan kompetensi pegawai yang ,antara lain :

(1) Belum memperhatikan kepercayaan/keyakinan, nilai,

keakhlian, motivasi , peengalaman,isu-isu emosional dan

kapasitas intelektual karyawan

(2) Penggunaan kewenangan yang tidak tepat, afiliasi politik da-

114

lam pembinaan pegawai

(3) Praktek-praktek maladministrasi dan sekedar

formalitas,budaya paternalistik ,koruptif , “spoil system “,

kleintalisme, permisif, dalam pembinaan pegawai

(4) Aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh pimpinan (daerah)

sesuai kebutuhan kelompok pimpinan sendiri

(5) Hal-hal di atas menyebabkan kalaupun ada remunerasi

,hampir tidak mengubah kinerja karyawan, mubazir ( lihat :

Parjaman ,2011 ; Ibrahim , 2015)

h) Pemberdayaan DPRD dan kode etik yang belum jelas,

menyebabkan remunerasi tidak/kurang meningkatkan kinerja

mereka ( tentu tidak pukul rata) ( lihat :Lumolos,2011 ;

Ibrahim,2015)
i) Kekeliruan prioritas pemberian numerasi kepada karyawan

( mestinya tugas-tugas yang langka dan dianggap sering sebagai

“jabatan kering “ justru remunerasinya lebih besar ,ketimbang

yang sudah menduduki jabatan-jabatan yang dikategorikan

“basah” ( ingat ini istilah lapangan, bukan resmi),sehingga

remunerasi sering seperti ibarat “menggarami laut “ bagi jabatan

basah tersebut, dan menimbulkan “kecemburuan sosial” bagi

penangku jabatan “kering” yang remunerasinya tergolong

“kering/kecil “ juga ( pen.)

j) Remunerasi itu sendiri pada umumnya kurang /tidak diseuaikan

dengan tingkat “kemahalan “ daerah yang berbeda-beda ( di era

115

medio 50-an sudah ada semacam remunerasi yang disesuaikan

dengan kondisi “kemahalan “ daerah masing-masing, dimana

setiap daerah berbeda “tunjangan kemahalannya” sehingga

dirasakan benar manfaat ekonominya ( pen.)

24) Mengapa “partisipasi masyarakat “ dalam proses penyusunan APBD

belum berjalan sebagaimana mestinya ,sehingga kebanyakan APBD

yang dihasilkan ternyata rata-rata memang kurang merakyat (hanya

sebagian kecil saja yang merakyat dalam posturnya )?

Penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Birokrasi daerah ( baca : pemerintahan daerah ) sepertinya masih

enggan memberdayakan masyarakat untuk menyadarkan haknya

berpartisipasi secara nyata dalam proses penyusunan APBD

tersebut , agar dokumen anggaran tetap (baca: masih) dikuasai


birokrasi dan “nego-nego miring” antar birokrasi berjalan lancar

dan mengasilkan APBD yang sarat kepentingan birokrasi dengan

berbagai kepentingan pribadi dan kelompoknya (lihat :

Wulandari, 2015 dalam : PR 2-7- 2015; Ibrahim 2011, 2015)

b) Kondisi “kecerdasan masyarakat kita pada umumnya (lebih-lebih

di daerah”, yang relatif masih rendah (rata-rata sekitar tamatan

SD) yang belum sadar akan hak dan kewajiban politiknya;

sementara berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat,

LSM , kelompok penekan ,inklusif parpol ,memanfaatkan kondisi

seperti itu untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan APBD

dengan mengatasnamakan masyarakat (rakyat) tetapi kebanyak-

116

an demi kepentingan kelompok mereka sendiri (rakyatnya

dikibuli) (pen.)

c) Rata-rata memang penyusunan anggaran Pemerintahan Daerah

belum berorientasi kepada kebutuhan masyarakat ,karena

dinamikanya menonjolkan kepentingan legislatif dan eksekutif

,ego sektoral masing-masing SKPD ,kurang fahamnya SKPD

terhadap ukuran-ukuran kinerja yang ingin dicapai , dan yang

terpenting penyebabnya ialah “rendahnya political will” dari

pejabat-pejabat terkait di daerah untuk “memberikan ruang

publik” kepada masyarakat ( secara terbuka/transparan) ;

disamping memang juga karena rendahnya kontrol masyarakat

terhadap proses penyusunan anggaran (APBD) yang mestinya

harus berbasis kinerja bukan kepentingan birokrasi


Di samping itu Musrenbang sering tidak dijalankan dengan

semestinya, mengalami banyak distorsi ( aspirasi melalui

Musrenbang bertingkat sering diabaikan, diganti nego-nego

birokrasi untuk kepentingan mereka sendiri,terutama dari

legislatif (DPRD) ; sehingga aspirasi masyarakat melalui

Musrenbang akhirnya hanya “input ala kadarnya “ dalam proses

penyusunan APBD, boro-boro masyarakat luas berfungsi sebagai

“posisi tawar dan kontrol sosial”,jauh panggang dari api ( lihat:

Antony,2010, Ibrahim ,2011, 2014, 2015)

d) Partisipasi masyarakat dari tingkat desa melalui Musrenbang

tidak /kurang berjalan dengan baik karena masyarakat ditingkat

117

basis aspirasi pembangunan tersebut, memang belum

diberdayakan dengan semestinya baik dilihat dari segi SDM-nya,

akses ekonomi dan akses politikyna, serta kurangnya

pendampingan dari Pemda untuk memberikan bimbingan teknis

yang obyektif mengenai partisipasi masyarakat pada tingkat akar

rumput tersebut,sehingga mereka sering “ditilep”

(baca:diatasnamakan, aspirasi mereka “ menghilang ditengah

jalan” dalam proses penyusunan APBD ,sehingga APBD nya

menjadi tidak/kurang merakyat lebih berorientasi kepentingan

birokrasi ) ( lihat: Setiawan , 2011 ; Ibrahim ,2015)

e) Pemberdayaan DPRD dewasa ini yang memang kurang baik

( kadang-kadang anggota DPRD merasa tidak perlu” di-

intraining” sebelum manggung (karena merasa sudah


“pintar”,padahal belum menguasai teknis proses penyusunan

APBD dengan baik) sehingga wajar kalau mereka( tentunya tidak

semuanya ) menganggap tidak perlu mengikutsertakan partisipasi

masyarakat ( mereka itu berkata bahwa mereka adalah wakil

rakyat dan sudah tahu apa yang diinginkan rakyat, padahal

dalam kenyataannya sering mengatasnamakan rakyat demi

kepentingan pribadi/kelompok, bak “kura-kura dalam

perahu,pura-pura tidak tahu”) ( lihat : Lumolos, 2011, Ibrahim ,

2014,2015)

f) Boro-boro mengaktualisasikan partisipasi masyarakat dalam

proses penyusunan APBD, kerjasama internal secara profesional

saja dalam formulais kebijakan APBD antara Badan Anggaran

118

DPRD dan Tim Anggaran dari Pemda sering tidak dilakukan atau

kurang efektif dalam kerjasama dan koordinasinya,apalagi untuk

berkolaborasi dengan baik ( baru ribut dan menyita waktu

sehingga anggaran terlambat dalam pembahasan RAPBD yang

bertele-tele dan penuh kepentingan sehingga jalannya alot/pen.)

(lihat : Ngusmanto , 2012)

g) Belum diaplikasikan dengan baik “e-government ,inklusif e-

budgetting “ , sehingga masyarakat kurang mengetahui partisipasi

/aspirasi apa saja yang mereka perlu sampaikan dalam rangka

penyusunan APBD yang merakyat tersebut ( pen.)


h) Perilaku pejabat politik daerah memang belum menerapkan

partisipasi masyarakat secara terbuka/transaparan ,disebabkan

antara lain :

(1) Belum adanya kode etik bagi para pejabat politik tersebut

(utamanya DPRD dan CEO Eksekutif daerah ) dan Dewan

Kehormatan yang dapat memberikan penilaian kepada

mereka, sehingga para elit politik tersebut sering terjebak

“groupthink” dalam proses perumusan APBD

(2) Akibatnya proses permusan APBD bersifat tertutup dan

tidak/kurang menyediakan ruang dan waktu secara terbuka

dan transparan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam

proses perumusan APBD tersebut

(3) Karyawan yang profesional yang justru ingin mengembangkan

partisipasi masyarakat,sering mendapat “tekanan dari para

119

pejabat politik tersebut” , sehingga proses penyusunan APBD

tetap tertutup ,demi kepentingan para elit politik itu sendiri

(lihat : Setiadi ,2011)

h) Seperti telah disinggung di muka ,model yang “lazim” dilakukan

di daerah ( tidak semuanya/pen.) dalam rangka perumusan

kebijakan APBD lebih banyak ditentukan oleh aktor-aktor formal

( elit politik lokal) ,bukannya merealisasikan “ patricipatory

governance and participatory budgetting “ yang sepenuhnya

melibatkan partisipasi masyarakat) ( lihat : Makhya,2012)


i) Belum diaplikasikannya secara merata Sistem Informasi

Keuangan Daerah yang terbuka ,sehingga relatif sulit bagi

masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai kepentingan

mereka untuk ditampung dalam APBD berikutnya ( lihat :

Ibrahim , 2015)

j) Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme

Musrenbang pada kenyataannya masih lebih banyak berupa

“retorika” , dengan kenyataan-kenyataan antara lain sebagai

beirkut :

(1) Rencana pembangunan ( RAPBD ) masih didominasi

kebijakan Kepala Daerah ,hasil reses DPRD dan Program

SKPD-SKPD ( apsirasi dalam Musrenbang mengalami

“distorsi” yang parah )

(2) Kondisi di atas berakibat akumulasi “kekecewaan di tingkat

desa dan kecamatan” yang sudah memenuhi kewajiban mem-

120

buat rencana ,tetapi realisasinya dalam APBD “jauh panggang

dari api “ ( lihat :Fachturracham,dalam :

rajawaligarudapancasila.blogspot.com; Indriani,2015;

Kadafi,2012 ,dalam : karyailmiah,polnes.ac.id)

k) Kurangnya pelatihan dan model-model proses perencanaan

partisipatif dalam rangka mewujudkan anggaran daerah yang

benar-benar dapat menyalurkan aspirasi masyarakat,sehingga

APBDnya sesuai tujuan,yakni mensejahterakan masyarakat ( lihat

: Kasus 8 ,dalam : siteresources.worldbank. org (2006)


l) Memang masih belum “dipenuhinya hak-hak masyarakat “

terhadap pemerintahan (inklusif RAPBD/APBD ) yakni :

(1) Hak untuk mengetahui kebijakan pemerintahan , proses dan

keputusan yang diambil Pemda ( inklusif APBD)

(2) Hak untuk diberi informasi ( “right to be informed”) :berupa

penjelasan terbuka atas masalah-masalah yang menjadi

perhatian masyarakat ( biasanya masalah anggaran

mendapatkan perhatian serius/pen.)

(3) Hak untuk didengar dan diperhatikan aspirasinya (baik dalam

proses kebijakan—pelaksanaan kebijakan-

pengawasan/umpan balik 360 derajat tepat waktu/pen.)

(lihat :Mardiasmo,2002 dalam Hasrida , 2011 , dalam :

idhananda.blogspot.com (24-3-2011)

25) Mengapa banyak kepemimpinan daerah (utamanya elit politik lokal

terutama Kepala Daerah ) yang “gagal” ( relatif ) dalam meningkatkan

121

efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Banyak juga kepemimpinan elit politik lokal yang memang belum

tergolong kepemimpinan “transformasional” ,masih banyak yang

bergaya transaksional ,bahkan ada juga yang “laissez faires “

,dengan sendirinya kurang dapat mengarahkan efektivitas dan

efisiensi anggaran demi kepentingan kesejahteraan rakyatnya

(lihat :Ali, 2012 ; Ibrahim , 2004,2005; Jahidi, 2013; Hidayati, 2011)


b) Seperti telah disinggung di muka banyak kelompok pengguna

anggaran ( iklusif pimpinan daerah) yang bertendensi untuk

kepentingan pribadi / pimpinan yang berkuasa, pembiaran orang

lain ikut berkuasa, ambiguitas konflik peran bawahannya , dan

ambisi individu terhadap jabatan ( lihat : Atori, 2012)

c) Memang ada kecenderungan “ perilaku koruptif “ dibanyak unsur

pimpinan pemerintahan daerah dengan berbagai stratanya

( baca : “korupsi berjemaah “/pen.) ( lihat : Bihamding , 2013)

d) Temuan-temuan BPK ( 2013) memperlihatkan bahwa banyak

tatakelola keuangan daerah yang “menggambarkan banyak

kelompok pimpinan daerah yang kurang amanah “, sehingga

keuangan daerah digunakan tidak efektif dan efisien demi

kesejahteraan rakyat ,antara lain :

(1) Banyak terjadi pelangggaran hukum (utamanya korupsi) dan

kurang mengoptimalkan penggunaan keuangan untuk prog-

122

ram –program kemakmuran rakyat , sehingga tidak sesuai

dengan amanat UUD’45

(2) Ternyata dari hasil pemeriksaan BPK ,hanya 156 dari 524

Pemda ( 2013) ,yang mendapat opini Wajar Tanpa

Pengecualian ( WTP)

(3) 280 Pemda yang laporan keuangannya harus ditindaklanjuti

oleh aparat penegak hukum ,inklusif KPK

(4) “Parahnya”, banyak “oknuuum”( u-nya panjang saking

banyaknya/pen.) pimpinan Pemda yang menganggap uang


negara ( anggaran daerah ) itu layaknya “uang nenek

moyangnya “ ; mereka terus meminta ke “bendahara” ,untuk

penggunaan yang tidak/kurang semestinya (bukan untuk

kepentingan rakyatnya)

(5) Saking banyaknya temuan “indikasi penyalahgunaan

keuangan negara (daerah )” ,yang dipalorkan ke KPK ,sekitar

60 % dari total kasus yang ditangani KPK berasal dari

“laporan BPK”

(6) Seharusnya dari total “aset Pemda “ yang mencapai 2006

trilyun rupiah untuk program-program pembangunan di

daerah,seharusnya sudah dapat dengan nyata meningkatkan

kesejahteraan rakyat, tapi nyatanya tidak demikian ; padahal

seharusnya setiap rupiah yang dikucurkan dalam APBD

( dengan sumber-sumber lainnya ) dapat dihitung berapa

manfaatnya untuk kemakmuran rakyat ( lihat: Azis ,2013 ,da-

123

lam : antaranews.com ( 4-5- 2013)

h) Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah yang rata-rata masih

kurang baik ( yang menggambarkan hasil kepemimpinan para

pengelola keuangan daerah inklusif pimpinan),dilihat dari

dimensi-dimensi :

(1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (PAD terhadap

Dana Pembangunan Daerah ) yang rata-rata masih

berkisar secara umum antara: kurang - sedang – dan

cukup, sedikit yang baik dan sangat baik


(2) Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah ( PAD terhadap

Total APBD tanpa Subsidi),yang rata- rata masih cukup

tinggi , sedikit yang sedang dan rendah

(3) Rasio Tingkat Desentralisasi Fiskal ,yang menunjukkan

tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan

Pusat kepada Pemda ( PAD terhadap Total Penerimaan

Daerah (TPD) ) yang rata-rata masih kurang ,sedang ,dan

cukup

(4) Rasio Efektivitas : mengetahui berhasil tidaknya

pencapaian tujuan anggaran ( Realisasi Pendapatan

terhadap Target Pendapatan x 100%),yang rata-rata

berkisar antara :kurang dan sedikti yang cukup efektif

(5) Rasio Efiesiensi : untuk mengetahui seberapa besar

efisiensi dari pelaksanaan suatu kegiatan yang menyangkut

input yang digunakan dan membandingkan dengan output

124

yang dihasilkan ( Rasio Efisiensi ialah Pengeluaran

Belanja terhadap Pendapatan x 100% ) ,yang rata-rata

baru berkisar antara kurang dan cukup efisien

(6) Analisis Kemampuan Keuangan Daerah :

(a) Peta Kemampuan Kemampuan Keuangan Daerah

berdasarkan Metode Kuadran (akan dirinci pada

Bagian Kedua) ,yang rata-rata masih berada pada

Kuadran III ( share tinggi, growth rendah) dan sedikit

Kuadran II ( share rendah , growth tinggi) , masih


banyak yang Kuadran IV ( share rendah, growth

rendah) dan hanya beberapa yang Kuadran I ( share

tinggi, growth tinggi)

(b) Indeks Kemampuan Keuangan Daerah (IKKD)

(rinciannya akan dibahas dalam Bagian Kedua ) ,yang

rata-rata masih berklasifikasi rendah dan sedang,

sedikit yang tinggi)( lihat : Gede B. & Hensy Susanto

,dalam : unmasmataram .ac.id,)

i) Masih banyak Pimpinan Daerah ( baca : elit politik daerah) yang

kurang dapat menggunakan dengan baik kekuasaan dan

wewenangnya dalam mengelola keuangan daerah dalam :

(1) Menetapkan kebijakan tentang penglolaan barang daerah

(2) Menetapkan tentang Pelaksana APBD

(3) Menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang

(4) Menetapkan Bendahara Penerimaan dan/atau Bendahara Pe-

125

ngeluaran

(5) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan

penerimaan daerah

(6) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan

utang dan piutang daerah

(7) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan

barang milik daerah


(8) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas

tagihan dan memerintahkan pembayaran ( lihat : The

Gembelz, 2013 , dalam : jantifarnia.blogspot.com ( 7-7-2013)

j) Dari hasil penilaian laporan keuangan daerah masih terdapat

,antara lain :

(1) Kepala Daerah yang “tidak/kurang peduli” hasil pemeriksaan

dari BPK yang belum mencapai WTP

(2) Bahkan ada beberapa Kepala Daerah tidak menganggap

penting WTP ( yang berarti “ melanggar UU” , kata Ketua

PBK) ( lihat : Sutianto , 2015 , dalam: finance.detik.com ( 4-3-

2015)

k) Secara umum masih banyak pimpinan daerah yang belum

berupaya agar Pemda yang dipimpinnya benar-benar merupakan

organisasi/administrasi publik yang “berperilaku keorganisasian

positif (PKP) “ dan berbudaya organisasi pembelajaran ( OP )

sehingga dapat belajar dari kekurangan-kekurangan dalam

menglola keuangan daerah akan menjadi lebih efektif dan efisien

126

dalam menggunakan anggaran daerah demi kemaslahatan rakyat

; dengan dilandasi kepemimpinan transformasional, serta

merefleksikan dengan baik “mindsets Pancasila “ ( saling

memberi- mengutamakan kepentingan rakyat--- gemar

bermusyawarah untuk mufakat (demokratis berdasarkan nilai-

nilai demokrasi Pancasila) --- dan menganut teknik berpikir dan

analisis sistem ( interdisipliner= komprehensif integral ) dalam


proses perumusan APBD )( Ibrahim , 2012 a.b., 2015 ; Indriati ,

2015)

l) Masih relatif akutnya penyakit “fraud” ( penyimpangan berupa

kecurangan yang dilakukan unsur pimpinan untuk mendapatkan

keuntungan pribadi /kelompok ,terutama penyimpangan

kebijakan ,sehingga APBD kurang mencerminkan kepentingan

kesejahteraan masyarakat di daerahnya ) (lihat : Wahyudi , 2014 ,

dalam : eddiharukaze,blogspot.com ( 30-4-2014)

m) Akhirnya perilaku KKN = baca:utamanya korupsi, yang nyaris

menjadi “budaya “ di kalangan elit politik daerah ( Kepala

Daerah dan DPRD ) misalnya saja 278 kepala daerah tersandung

hukum ( 2012/3) , sehingga APBD tidak efektif dan efisien,

ketidakadilan,rakyat tidak percaya kepada Pemda, memboroskan

sumber-sumber daerah ,kurang mendorong investasi,

ketidakstabilan politik,iklim ketamakan, selfishness, sinisisme,dan

lainnya yang negatif(baik terhadap masyarakat, generasi

muda,terhadap politik ,terhadap perekonomian, terhadap birokra

127

si itu sendiri (lihat : Alie,2010 ; Handini, 2013 ;Furqon ,

andichairilfurqon.files; hanyagoresantika.blogspot.com (2-6-2012)

26) Mengapa pengawasan masyarakat dalam rangka efektivitas dan

efisiensi anggaran daerah ( APBD) belum dapat berfungsi

sebagaimama mestinya/belum berfungsi dengan baik?

Penyebab-penyebab dan kenyataannya antara lain:


a) Kenyataan menunjukkan memang rata-rata masyarakat bangsa

Indonesia (utamanya di daerah-daerah ) tingkat pendidikannya

masih relatif rendah ( SD minus skill) (masyarakat “transisi” =

bodoh relatif tidak lagi,tapi “cerdas “ belum/pen.) , sehingga wajar

kalau belum menyadari benar akan hak dan kewajiban politik

mereka untuk mengajukan aspirasi dan mengawasi apakah APBD

dijalankan dengan semestinya atau tidak ( pasrah ); sementara

pihak birokrasi masih berkecenderungan ( tidak semuanya)

memanfaatkan situasi ini demi kepentingan mereka sendiri,

terutama para elit politik lokalnya .Kelihatannya sinis, tapi

nayatanya demikan , buktinya sebagian besar APBD di Indonesia

lebih banyak prosentasenya (rata-rata sekitar 70-an % ) untuk

kepentingan birokrasi ( lihat : Ibrahim ,2011, 2015,dan

pengamatan diberbagai daerah ,serta dokumentasi APBD yang

dikumpulkan penulis )

b) Seiring kondisi pada titik a) di atas,wajar kalau prinsip “umpan

balik 360 derajat tepat waktu “ dalam manajemen keuangan

daerah ,masih jauh panggang dari api, bahkan Pemda sering “se-

128

ring sewot “ jika masyarakat komplain ( dengan ucapan yang

lazim: “ Dilayani begini saja sudah syukur......dst) ( pen.)

c) Terjadi “pembiaran “ terhadap budaya “permisif “ masyarakat

pada umumnya ( yang sering menganggap wajar saja kalau

pemimpin berbuat salah karena mereka memang terlalu sibuk

“mengurusi rakyatnya”), sehingga menjadi penambah kontribusi


terhadap infefektivitas dan inefisiensi pengelolaan anggaran

daerah tersebut ( pen.)

d) Tertib hukum ,yang masih kurang tertib, “tajam ke bawah ,tapi

tumpul ke atas “ , inipun memberikan kontribusi perilaku elit

politik /birokrasi di daerah ( yang karena fokus Otda adalah

daerah Tk.II sehingga menciptakan “ kerajaan-kerajaan kecil”)

terhadap kondisi seperti pada titik c) di atas ( pen.)

e) Prinsip silih asah-asih –asuh / nilai demokrasi Pancasila yang

mestinya menganut prinsip “kemitraan” dan “kolaborasi” antara

unsur pemerintahan daerah dan masyarakat ,sering dimanipulasi

( misalnya : Masyarakat dikumpulkan untuk mengambil

keputusan oleh aparat dan diberikan “pengarahan” (penyakit

lama “top-down” ,kemudian diakhiri dengan kata-kata : “ Ini

musyawarah ya,dst....” lalu diputuskan, padahal mekanisme

umpan balik belum dilakukan ,alias musyarawah dan umpan

balik masyarakat yang semu = pseudo demokratis) ( pen.)

f) Bentuk pengawasan dalam pengelolaan keuangan daerah

( utamanya terhadap perilaku aparat dalam pembelanjaan

anggar-

129

an daerah ) dalam bentuk aspirasi ,masukan /umpan balik 360

derajat tepat waktu, pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut,

memang belum didukung oleh ketersediaan aksesnya oleh Pemda

dengan semestinya ( misalnya belum digelarnya “e-budgetting,

sarana pengaduan, berbagai bentuk komunikasi yang bernuansa


kemitraan dan lainnya ) ( lihat) : Syafrial MS,2011;

Mardiah,2012;laksamana ,2011)

g) Belum dilaksanakan dengan semestinya pemberdayaan SDM

masyarakat , pemberdayaan kapasitas politik ,dan kapasitas

ekonominya (utamanya kapasitas politik) sehingga masyarakat

belum dapat melakukan “pengawasan dengan baik” terhadap

pelaksanaan APBD di daerahnya ( lihat : Setiawan , 2012)

h) Para Elit Politik Daerah ratan-rata lebih sibuk dengan

“pemekaran daerah “ dengan berbagai dalih demi kepentingan

“bagi-bagi kekuasaan “, daripada meningkatkan efektivitas dan

efisiensi pengawasan internal oleh APIP dan pengawasan

eksternal dari masyarakat,sehingga menambah inekeftivitas dan

inefisiensi anggaran pembangunan daerah (utamanya APBD)

i) Sudah seharusnya Pemda berkewajiban meningkatkan “civil

society “ ( meningkatkan kualitas masyarakat menjadi lebih

madani), sehingga mampu berpartisipasi dalam setiap tahapan

manajerial anggaran daerah ,inklusif pengawasan eskternal

terhadap anggaran daerah dari masyarakat tersebut ; hal inilah

yang belum serius digarap oleh Pemda )(lihat : Danial A., 2014;da-

130

lam : endangdanial.wordpress.com ( Februari 2014)

j) Dokumen Anggaran daerah “masih dikuasai birokrasi “

( tertutup) ,sehingga sukar bagi masyarakat untuk menyampaikan

umpan balik dan pengawasan terhadap pelaksanaannya ( lihat :

Wulandari ,2015, dalam : PR ,2-7- 2015)


27) Mengapa banyak dana “Corporate Social Responsiblity (CSR”) belum

banyak yang dapat dimanfaatkan dengan baik demi mengakeselasikan

upaya-upaya pembangunan dan pemberdayaan dalam rangka

mensejahterakan masyarakat di daerah-daerah ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan yang masih belum baik

,antara lain :

a) Banyak dana CSR yang di atas kertas tatalaksananya baik,tapi

termasuk kategori”asli tapi palsu”, artinya dalam pelaksanaannya

tidak sesuai apa yang tertulis ( baca : disalahgunakan ) ( pen.)

b) Beberapa penyebab lainnya dilihat dari kepentingan Pemda-

Perusahaan – aspirasi masyarakat ,antara lain :

(1) Program CSR yang mestinya fokus pada “pemberdayaan

masyarakat” terjerembab kedalam konflik kepentingan antara

Pemda dangan Perusahaan yang bersangkutan, tetapi dengan

dalih demi kepentingan msyarakat, yang pada akhirnya justru

masyarakat yang jadi korban /pen.

(2) Kurang adanya regulasi yang jelas ,dan sekaligus terdapat

pemahaman yang berbeda terhadap “aturan main “

pelaksanaan CSR yang ada

131

(3) Manajemen CSR tidak/kurang didasarkan kepada

kesepakatan antara Pemda- Perusahaan –dan Masyarakat

yang akan diberdayakan


(4) CSR sering sarat kepentingan politik/kepentingan para elit

politik lokal ( baca : bagi-bagi “rezeki “ dengan

mengatasnamakan rakyat )

(5) CSR sering tidak berkelanjutan dalam memberdayakan

massyarakat ,sehingga nyaris “mubazir “ ( baca :

tanggung/pen.) dan gagal menaikkan IPM masyarakat

(6) Kualitas CSR sering tidak memenuhi standar ,misalnya ISO

26000 ,dan lainnya ( lihat : Nurrahmawati, 2014)

c) Kenyataan pahit lainnya antara lain :

(1) Pelatihan pemberdayaan dari program CSR tersebut tidak

dilakukan dengan baik

(2) Kurang menyertakan “konsultan “ independen dalam rangka

pemanfaatannya agar menjadi benar-benar obyektif dan tidak

sarat kepentingan politik,kelompok ,interest yang tidak

merakyat dan lainnya

(3) Pembagian CSR dalam proyek-proyek pemberdayaan

masyarakat ( misalnya dalam memberdayakan UMKM) sering

tidak adil/tidak fair (baca: sarat KKN) ( lihat : Al Fatih,2010)

d) Masih serentetan penyebab dan kelemahan lainnya dalam

pemanfaatan CSR bagi kesejahteraan masyarakat , dapat

dikemukakan antara lain sebagai berikut ini :

132

(1) Kurang dijalin komunikasi yang jujur—terbuka – lebih

informal ---dan berkala , antara “agen CSR---- masyarakat

obyek pemberdayaan” ( yang mestinya telah dipilih secara


obyektif dengan konsep “pyramida terbalik” /pen.----- dan

Pemda setempat,tentang pemanfaatan CSR tersebut secara

berhasil guna

(2) Kurangnya pelibatan masyarakat yang dijadikan obyek dalam

setiap tahapan manajerial CSR tersebut ( apalagi umpan balik

360 derajat tepat waktu umumnya tidak dilaksanakan/pen.)

(3) Kebijakan CSR mestinya disesuaikaan dengan perkembangan

kebutuhan masyarakat ,tidak statis

(4) Masih kurangya semangat “ philanthropy” dari perusahaan

,sehingga perwujudan masyarakat madani sebagai buah dari

CSR yang mereka berikan menjadi kurang signifikan ( lihat :

Rahardjo, 2013 ; Ibrahim, 2012 c.; Prahalad ,2010)

e) Beberapa kelemahan lainnya dalam rangka program

“Community Development” sebagai wujud dari CSR antara lain:

(1) Terkesan hanya “belas kasihan “ perusahaan untuk

menanggulangi kondisi ekonomi sesaat, bukannya dirancang

bersama demi kesejahteraan masyarakat

(2) Belum mencerminkan konsep “triple bottom line “ ( sinergitas

trisula partnership antara perusahaan – masyarakat --- pemda

, dalam sistem manajerial CSR tersebut demi kepentingan

rakyat yang diberdayakan )

133

(3) Belum memanfaatkan nilai-nilai “budaya lokal” guna

memperlancar dan mengefektif serta mengefisienkan program


pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan dana CSR

tersebut ( lihat : Alfitri , 2010 )

f) Dana CSR tidak digunakan secara penuh untuk memberdayakan

masyarakat, tetapi dimanfaatkan oleh kelompok(baca :oknum

birokrasi dan perusahaan terkait ),sehingga tidak mencapai

sasaran pemberdyaan masyarakat dengan baik (lihat : Pasaribu,

2012)

g) Evaluasi program pemberdayaan masyarakat (inklusif yang

dananya dari CSR) ,sehingga ketidak inefektivitasan dan

inefisiensinya selalu berulang , dengan kenyataan-kenyataan

antara lain :

(1) Desain evaluasi terhadap program CSR tersebut belum

komprehensif (integral ) ,dengan kenyataan- kenyataan :

(a) Evaluatornya tidak ditetapkan secara tegas

(b) Metode evaluasinya kurang tepat (tidak berfokus pada

observasi dan wawancara mendalam)

(c) Sering evaluasinya tidak langsung terhadap obyeknya

(d) Waktu evaluasi sering terlalu dini atau sebaliknya

(e) Evaluasi tidak bernuansa siklus yang mengikutsertakan

umpan balik 360 derajat tepat waktu /pen.)

(f) Publikasinya tidak transaparan dan tidak dapat diakses

oleh masyarakat luas

134

(2) Pendekatan Evaluasi Program CSR kurang konseptual dengan

kenyataan-kenayatan antara lain :


(a) Kurang diukur dengan sejauh mana meningkatkan

kesejahteraan/manfaat bagi masyarakat penerimanya

(b) Kurang dilihat sejauh mana program tersebut benar-benar

menjadi milik masyarakat atau hanya diatasnamakan

(c) Kurang diukur tingkat pelibatan masyarakat secara luas

(d) Kurang dilihat apakah penyalurannya diatur melalui

prosedur yang demokratis

(e) Kurang diukur melalui konsep prioritas pemberdayaan

masyarakat melalui konsep kucuran “ piramida terbalik” /

dilihat dari prinsip “keadilan sosial”

(f) Kurang diukur dengan tingkat perkembangan

pengetahuan ( teknis) masyarakat penerima

(g) Kurang diukur dengan konsep sejauh mana CSR tersebut

menjadikan masyarakat kelompok penerima menjadi

berperilaku keorgansiasian positif dan menjadikan mereka

berbudaya organisasi pembelajaran /pen.

(h) Kurang diukur dengan sejauh mana program CSR tersebut

memanfaatkan norma-nilai –dan budaya masyarakat lokal

dalam proses dan pelaksanaan program CSR tersebut

sehingga lebih efektif dan efisien

(i) Kurang diukur sejauh mana secara internal aparat Pemda

dan aparat perusahaan masih “berbudaya hypocrate bure-

135
aucracy “ dan upaya meminimalisasinya dalam

pelaksanaan program CSR tersebut ( lihat : Sukarso ,

2012 ; Ibrahim , 2012 a,b. ; Prahalad ,2010)

28) Mengapa banyak pertanggungjawaban keuangan daerah yang masih

tergolong mendapatkan penilaian “Disclaimer Opinion (DO= Tidak

Memberikan Pendapat= TMP) dan Wajar Dengan Pengecualian

( WDP) dan hanya sedikit yang mendapatkan predikat/penilaian Wajar

Tanpa Pengecualian (WTP) dari hasil penilaian berdasarkan

pemeriksaan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK ) ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Nyatanya akuntabilitas penggunaan anggaran daerah,

akuntabilitas hasil penggunaan anggaran tersebut, akuntabilitas

manfaat penggunaan anggaran terutama bagi kesejahteraan

masyarakat ,akuntabilitasnya bagi peningkatan kinerja birokrasi

(padahal rata-rata besarannya mestinya dominan terhadap

kepentingan rakyat) , akuntabilitas penggunaan anggaran bagi

pemberdayaan masyarakat dengan skala prioritas yang tepat ,

efektivitas dan efisiensi program-program pembangunan daerah ,

dan optimalisasi pelayanan publik; secara umum memang masih

rendah, anggaran tidak/kurang digunakan secara efektif dan

efisien makanya kondisi penilaiannya masih kurang baik ( lihat :

Ginting, 2012 )

b) Ternyata walaupun birokrasi daerah telah mendapatkan

remunerasi yang memadai ,kinerja mereka relatif tidak/kurang

136
meningkat , yang pada gilirannya juga mengakibatkan kurang

efketif dan efisiennya penggunaan anggaran daerah ; di samping

memang prinsip pemberdayaan karyawan kurang mendapatkan

perhatian dengan baik, serta “ rewards and punishments

system”nya yang kurang obyektif ; karenanya masuk akal kalau

penilaian penggunaan anggaran daerah rata-rata belum baik

( lihat : Nugroho, 2103 ; Ibrahim , 2015)

c) Pengawasan masyarakat yang rata-rata sangat kurang terhadap

penggunaan anggaran daerah, memberikan kontribusi terhadap

tidak /kurang efektif-efisiennya penggunaan anggaran,yang

menyebabkan penilaian yang rata-rata masih kurang baik dari

BPK terhadap pelaksanaan anggaran di daerah-daerah (lihat :

Syafrial MS, 2011)

d) Laporan keuangan daerah banyak yang masih kurang

mengimplementasikan SPIP ( Sistem Pengendalian Intern

Pemerintah) , kurang transparan dan kurangnya partisipasi

masyarakat dalam setiap tahapan proses anggaran daerah-

pelaksanaan- dan pengawasannya ,sehingga berakibat penilaian

yang lebih banyak berkisar antara DO dan WTP ,dimana kalau

penilaiannya DO akan berakibat sanksi hukum berupa tidak

mendapatkan tambahan dalam proses APBD berikutnya ; dengan

akibat lainnya banyak muncul “whistle blower” yang suka

mencari kesempatan untuk mereka sendiri ( lihat : Aboebakar ,

2012 )

137
e) Memang adanya kecenderungan korup di banyak daerah yang

dilakukan oleh kelompok elit politik lokal dan perangkat-

perangkatnya sehingga wajar saja kalau pertanggungjawaban

anggaran bermasalah dan mendapatkan penilaian yang

tidak/kurang baik dan hanya sedikit yang baik (lihat :

Bihamding , 2013)

f) Masih lemahnya pengawasan internal pelaksanaan anggaran

daerah antara lain karena (sehingga berakibat

pertanggungjawaban anggaran menjadi tidak/kurang efektif ) :

(1) Masih tumpang tindihnya peraturan yang mengatur tugas dan

fungsi APIP di daerah ,sehingga berakibat kurang efektifnya

peran Inspektorat Daerah

(2) Kompetensi auditor APIP umumnya masih kurang profesional

akibat pengelolaan SDM pengawasan yang belum terpola

dengan baik (sementara anggaran dan sarana prasarana untuk

pemberdayaan mereka terbatas)

(3) Pedoman “review” pelaksanaan anggaran daerah yang belum

diterbitkan sebagai pedoman yang jelas dan rinci secara teknis

(4) Perlu sinkronisasi/harmonisasi antara perspektif

pengawasan/pemeriksaaan yang selama ini berbeda ,yakni

dimana tujuan pemeriksaan BPK adalah “ comply with law

and regulation “ , sedangkan tujuan dari APIP “comply wtih

the plan “, sehingga APIP hanya berfungi terbatas sebagai

“watchdog” ,belum terintegrasi dengan baik dalam Sistem Pe-

138
ngendalian Internal Pemerintah yang baik ( lihat : Sudrajat,

2014)

g) Belum optimalnya fungsi KPK sebagai lembaga yang

independen(terutama fungsi pencegahan ), sehingga masih ada

semacam “peluang penyalahgunaan “ anggaran daerah dengan

berbagai akibat negatifnya ( lihat : Malasari , 2011)

h) Masih banyaknya aparat penegak hukum yang secara intelektual

baik ( KI yang cukup baik), tetapi banyak yang lemah

Kecerdasan Emosionalnya ( KE) ), lemah kecerdasan Spiritual

(KS) dan lemah kesalehan sosialnya ( KS) nya ,sehingga

memperparah inefisiensi dan efektivitas anggaran daerah itu

sendiri, dan dalam kondisi masyarakat “transisional yang

sekaligus paternalistik” ,muncullah “korupsi berjamaah”dimana-

mana (lihat :Ibrahim , 2006, 2011, 2015)

i) Balum dilaksanakannya dengan baik SIMDA dan SIKD ,sehingga

memberikan peluang terjadinyaa inefektivitas dan inefisiensi

keuangan daerah ,karena semua informasi mengenai keuangan

daerah tidak/kurang dapat diakses berbagai pihak,baik dari

kelompok “stakeholders internal dan eksternal “ yang sebenarnya

sudah mulai mewaspadai ketidakberesan dalam pelaksanaan

angaran daerah tersebut ( lihat : bpkp.go.id ; Ibrahim , 2011,2015)

j) BPK sendiri memberikan penjelasan bahwa tatakelola keuangan

daerah memang masih mengandung sejumlah masalah ,antara

lain sebagai berikut ini :

139
(1) Sering “melanggar hukum” (tidak /kurang sesuai dengan

aturan yang berlaku )

(2) Program-program keuangan daerah banyak yang belum

mencerminkan penggunaannya untuk kemakmuran rakyat

(3) Ada kesan banyak Pemda ( aparat,terutama unsur elit politik

lokal dan kroninya ) menganggap uang rakyat dalam postur

APBD tersebut sebagai uang mereka sendiri , sehingga

digunakan “seenaknya untuk kepentingan yang tidak/kurang

bermuara kepada kesejahteraan rakyat” (lihat : Azis, 2013

,dalam : antaranews.com ( 4-5- 2013)

k) Memang pada umumnya akuntabilitas keuangan daerah masih

buruk ,sehingga wajar kalau penilaiannya kebanyakan belum baik

( DO dan WDP, sebagaian kecil yang WTP) dengan kenyataan-

kenyataan antara lain :

(1) Sistem pembukuan yang belum sesuai dengan peraturan

(2) Sistem aplikasi teknologi yang belum baik

(3) Jadual waktu yang sering terlambat

(4) “Qualitiy Assurance” atas Laporan Keuangan Pemda oleh

Pengawas Internal yang juga belum baik ( lihat : Kalsum &

Agus Dwi Darmawan , dalam : bisnis.news.viva.co.id)

(5) Berbagai dimensi dari Kinerja Keuangan Daerah memang belum

baik ,meliputi antara lain : rasio kemandirian keuangan daerah ,

rasio ketergantungan keuangan daerah , rasio desentralisasi

fiskal,rasio efektivitas, rasio efiesiensi ,dan kemampuan keuangan

140
daerah ( yang semuanya rata-rata belum baik) (lihat : Gde.B. &

Herry Susanto ,dalam : unwasmataram.ac.id)

l) Sebagian kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan daerah belum sepenuhnya memenuhi kriteria

kewenangan- kewenangannya (sehingga terjadi pelaksanaan

keuangan daerah yang mengalami banyak masalah dan berakhir

dengan penilaian yang masih rata-rata kurang baik dan hanya

sedikit yang baik dalam pertanggungjawabannya) . Kewenangan-

kewenangan yang belum sepenuhnya dapat dijalankan dengan

semestinya/dengan baik tersebut ,antara lain:

(1) Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah

(2) Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD

(3) Menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang

(4) Menetapkan bendahara penerimaan dan atau bendahara

pengeluaran

(5) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan

penerimaan daerah

(6) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan

utang dan piutang daerah

(7) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan

barang daerah

(8) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas

tagihan dan memerintahkan pembayaran ( lihat : The

Gembelz, 2013 , dalam : jantifornia . blogspot . com (7-7- 2013)

141
m) Seperti yang telah disinggung sebelumnya, banyak kepala daerah

yang masih belum serius dalam menanggapi hasil pemeriksaan

BPK,misalnya :

(1) Ada sebagian (kecil) kepala daerah “cuek “saja terhadap opini

dari BPK

(2) Bahkan ada beberapa kepala daerah yang menganggap tidak

penting WTP ( berarti yang bersangkutan melanggar aturan )

( lihat : Sutianto ,2015 , dalam : finance . detik . com ( 4-3- 2015)

n) Memang masih banyak daerah yang belum mampu melaksanakan

pertanggungjawaban keuangan daerah dengan baik( dalam 10

tahun terakhir hanya sekitar 36 % yang baik) ; kebanyakan

aparatur daerah tidak memprioritaskan perencanaan keuangan

dengan baik( sehingga banyak “area” rawan korupsi menyangkut

perencanaan anggaran, pajak dan retribusi , dana hibah dan

bansos, mekanisme perjalanan dinas , termasuk DOB yang

menambah runyamnya anggaran daerah ) ( lihat : BKPM,2015

,dalam : republika . co . id ( 23-2- 2015)

o) Seperti yang juga telah disinggung di muka, banyak para

pengelola keuangan daerah yang belum kompeten sepenuhnya

mengenai antara lain :

(1) Cara penetapan APBD yang seharusnya

(2) Anatomi Dokumen Anggaran

(3) Jenis dana apa saja yang tersedia

(4) Sistem Pengendalian Intern yang baik

142
(5) Komponen pokok organisasi satuan kerja

(6) Cara pemilihan penyedian barang /jasa yang benar

(7) Dokumen dasar belanja

(8) Cara pembayaran

(9) Perpajakan

(10) Pelaporan yang benar ( lihat :Kuncoro : http : // guskun .

com ; dalam : star . bpkp . go . id)

p) Belum baiknya pembentukan organisasi pengelola keuangan

daerah dan aset daerah ( sehingga memberikan kontribusi terha-

dap kualitas pertanggungjawaban anggaran daerah yang rata-

rata masih belum baik) ( lihat : Nugroho ,dkk , 2008 ,dalam : pdf .

usaid . gov) ( 2008)

q) Secara umum memang belum terwujudnya reformasi manajemen

keuangan daerah dan modul manajemen keuangan daerah yang

benar-benar baku sesuai peraturan –peraturan yang berlaku

( lihat : Zulkifli ,dalam : zoel66 . blogspot . com ; Setiawan, dalam :

old . bappenas . go . id)

r) Seperti yang telah disinggung terdahulu ,yakni belum dipenuhi

sepenuhnya 8 prinsip manajemen keuangan daerah ( akuntabel,

reliabel, fairness,SDM yang andal , antikorupsi, orientasi publik,

payung hukum , dan akses informasi )( lihat : anneahira . com)

s) Lebih spesifik lagi dan sangat menentukan kualitas anggaran

daerah ( MKD-nya) yang memang sangat ditentukan kualitas dan

kuantitas SDM pengelolanya yang kenyataannya antara lain : ku-

143
rangnya SDM pengelola keuangan terutama yang berlatar

belakang akuntansi , penempatan SDM yang keliru , tingkat

pemahaman staf mengenai administrasi keuangan negara yang

masih lemah , “rewards and punishments system “ yang belum

baik, sarana-prasarana pendukung yang masih kurang , proses

pendidikan di perguruan tinggi untuk mendukung pengembangan

akuntansi sektor publik masih membutuhkan perbaikan mutu

( lihat : hasil penelitian SDM Pengelola Keuangan Daerah , dalam :

star . bpkp . go. id ( 9-6- 2014)

t) Tiga belas permasalahan keuangan daerah (terutama dalam

perencanaan dan penganggaran ) memberikan kontribusi

signifikan terhadap rendahnya kualitas pertanggungjawaban

anggaran daerah yang meliputi : intervensi hak budget DPRD

yang terlalu kuat ( baca : terlalu “bernafsu”/pen.) dengan

berbagai kepentingannya ; pendekatan partisipatif yang masih

berupa “retorika “ ; proses perencanaan yang terpisah dari

penganggaran ; ketersediaan dana yang tidak pernah tepat

waktu ; breakdown RPJD ke RPJMD dan ke RPKD sering tidak

matching; kualitas RPJPD , RPJMD dan Renstra SKPD belum

optimal ; terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan ;

kondisi koordinasi antar SKPD yang masih lemah ; evaluasi

Propinsi yang lemah ; kualitas hasil Musrenbang yang rendah

( dan sering mengalami distorsi ) ; pedoman – sosialisasi –

pendampingan Musrenbang yang tidak/kurang baik ; dengan ber-

144
bagai akibat negatifnya ( lihat :Fachturahman , dalam :

rajawaligarudapancasila . blogspot . com)

u) Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya perilaku “fraud

“(kecurangan /KKN) dengan berbagai penyebabnya , yang

dilakukan terutama oleh kelompok pimpinan ( motivasi untuk

memperkaya diri , memanfaatkan sarana untuk melakukan

kecurangan,adanya kesempatan karena pengawasan internal yang

kurang baik) (lihat : Wahyudi , 2014 , dalam : ediharukaze .

blogspot . com ( 30- 4 – 2014)

v) KKN ( utamanya korupsi ) yang nyatanya memang nyaris menjadi

“budaya “ ( baca : “korupsi berjamaah “) di kalangan

pemerintahan kita , baik di pusat dan di daerah- daerah ( tapi

baru nyaris menjadi budaya, karena masih banyak upaya untuk

menindaknya oleh berbagai lembaga penegak hukum,sayangnya

lembaga-lembaga tersebut juga masih tercemar KKN (korupsi )

juga /pen.) ( lihat : hanyagoresantkita . blogspot . com ( 2-6- 2012)

29) Mengapa pengembangan kompetensi pengembangan pegawai

( pengembangan SDM,inklusif para elit politik lokalnya ) kurang

mumpuni , yang pada akhirnya berakibat kurang efektif dan kurang

efisiennya keuangan /anggaran daerah ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Dalam rekrutmen karyawan sering tidak obyektif ,sarat KKN ,

dan tidak/kurang didasarkan pada hasil psiko test ,apakah

memang calon karyawan Pemda tergolong orang yang memang

145
“dari sononya “ tergolong pribadi /berkepribadian lebih

mementingkan pengabdian ketimbang mengejar keuntungan

materi ( lebih mengutamakan “intrinsic rewards “ ketimbang

“extrinsic rewads” )

Untuk pegawai negeri ( pegawai pemerintahan, TNI-Polri dan

sejenisnya ) memang diperlukan peribadi-pribadi seperti ini

( pengabdian menjadi panggilan jiwanya , tetapi hidup layak

harus tetap mendapatkan perhatian yang serius juga, supaya

dalam pengabdiannya lebih fokus pada pelayanan publik yang

prima ( lihat : Ibrahim, 2012 d , 2015)

b) Banyak juga para penyelenggara pemerintahan daerah ,

utamanya elit politik lokal (baca : anggota-anggota DPRD ,Kepala

Daerah serta wakilnya ) yang menduduki jabatan-jabatan politik ,

tidak /kurang berperan sebagai “politisi terpanggil” ,dimana

untuk menjadi anggota DPRD dan Kepala Daerah/Wakilnya ,

yang memang mengutamakan pengabdian kepada masyarakat

sepenuhnya ,bukannya mencari keuntungan materi dari jabatan-

jabatan tersebut (walaupun mungkin dalam proses pemilihannya

ia mengeluarkan banyak dana (relatif) .Baginya, menjadi anggota

DPRD dan Kepala /Wakil Kepala Daerah adalah untuk

memenuhi “aktualisasi diri” karena kebutuhan lainnya sudah

terpenuhi ( konsep Maslow) , sehingga dalam pengabdiannya

fokus bagaimana berkontribusi sebesar-besarnya bagi upaya-

upaya mensejahterakan rakyatnya (kenyataannya “jauh panggang

146
dari api “) (lihat : Ibrahim , 2009 , 2012 e.)

c) Pembinaan karir karyawan pada umumnya kurang berdasarkan

prinsip “bertingkat—bertahap--- berlanjut “ , tapi banyak

jabatan-jabatan profesional di Pemda ( Sekda ke bawah) yang

dipolitisasi ( akhirnya para karyawan Pemda banyak yang tidak

profesional dalam bidangnya ,karena sarat KKN dalam

penempatannya )

Termasuk dalam kategori ini ialah setiap pertimbangan karir

juga tidak didasarkan sejauh mana profesionalisme yang dituntut

dalam jabatan tersebut sesuai dengan “panggilan jiwa “ karyawan

yang bersangkutan ( pen.)

d) Pengembangan kompetensi pegawai yang masih kurang baik

,dengan kenyataan antara lain :

(1) Belum sepenuhnya memperhatikan : keyakinan ( beliefs) , nilai

, keakhlian , pengalaman ,karakteristik personil yang

bersangkutan , motivasi, isu-isu emosional , kapasitas

intelektual

(2) Belum lagi berbagai hambatannya: lingkungan kewenangan ,

adanya afiliasi politik dalam pembinaan pegawai

(3) Praktek-praktek “maladministrasi” seperti sekedar formalitas,

“budaya paternalistik”, KKN , “spoil system “, klientalisme,

primordialisme, dan sikap permisif terhadap kesalahan

pimpinan

(4) Aturan-aturan dibuat sendiri dan sarat kepentingan kelompok

147
pimpinan (lihat : Parjaman, 2011 )

e) Pemberdayaan elit politik lokal yang belum baik ( terutama

anggota DPRD ) yang akhirnya memberikan kontribusi pada

inefisiensi dan inefektivitas anggaran daerah ( tidak berfokus pada

kepentingan rakyat yang mereka wakili ) ( lihat :Lumolos ,2011)

f) Dilihat dari konsep manajemen sumber daya mikro (MSDM

Mikro),yang fokusnya meningkatkan profesionalisme karyawan

Pemda (atau lazim disebut pengembangan sumber daya manusia

(PSDM) dalam rangka melayani publik prima , memang belum

sistemik ,dengan ciri antara lain:

(1) Rekrutmen yang tidak sepenuhnya obyektif ,sehingga banyak

menerima pegawai baru yang sebenarnya kurang sesuai

dengan kebutuhan organisasi/administrasi pemerintahan

daerah

(2) Pembinaan karir yang kurang meningkatkan profesionalisme

karyawan secara linier dinamis, melainkan terkesan acak,

sarat kepentingan politik ,KKN dan sejenisnya

(3) Pendidikan , pelatihan , peningkatan kapasitas kepemimpinan

yang kurang teratur dengan prinsip bertingkat-bertahap-

berlanjut

(4) “Rewards and punishment system” yang belum obyektif

(5) Persiapan pensiun yang kurang baik, sehingga ada

kecenderungan “aji mumpung” dari karyawan dalam tugas

aktifnya

148
(6) Kurang dipersiapkan untuk melayani publik secara prima

dengan merefleksikan “mindsets “Pancasila dengan baik

dalam perilaku mereka

(7) Kurang disiapkan untuk menerapkan kondisi

organisasi/administrasi Pemda yang para karyawannya

membudayakan perilaku keorganisasian positif dan budaya

organisasi pembelajaran, akibatnya kurang adaptif terhadap

tuntutan masyarakat akan pelayanan publik dari waktu ke

waktu yang makin kompleks dan meningkat

(8) Kurang menerapkan konsep e-government dengan berbagai

perangkatnya ,sehingga sering ketinggalan dalam pelayanan

publik yang baik

(9) Struktur organisasi yang masih kebanyakan tambun dan tidak

berasaskan sesuai banyaknya dan volume urusan pada wilayah

Pemda yang besangkutan ( lihat : Ibrahim , 2009 , 2012 d.)

g) Hubungan antar lembaga pemerintahan (HALP ) dalam

lingkungan Pemda yang belum menganut prinsip kolaboratif dan

terkesan ego sektoral, serta kualitas karyawan yang timpang antar

SKPD ( lihat : Ibrahim, 2005 b. ;2006 a.; Masyhur , 2012)

h) Kepemimpinan pimpinan daerah banyak yang belum “

transformasional” sehingga ada kecenderungan kurang dalam

memberdayakan dan meningkatkan kompetensi karyawannya

( lihat : Ibrahim,2004 ,2005 ;Darmawan, 2012 ; Hidayati, 2011)

i) Pimpinan daerah belum dapat menerapkan berbagai konsep mana

149
-jemen kontemporer untuk dimanfaatkan bagi peningkatan

kompetensi para karyawannya dalam rangka meningkatkan

pelayanan publik ( lihat : Ibrahim, 2014, 2015)

j) Implementasi kebijakan formasi jabatan yang kurang obyektif

dan kurang memenuhi standar tupoksi dari jabatan tersebut ( lihat

: Mardhalena ,2014)

k) Standarisasi kualitatif baik bagi jabatan- jabatan struktural dan

fungsional ,dan kualifikasi untuk jabatan-jabatan politik di

daerah memang masih “dibawah standar “ kebutuhan tuntutan

kekinian yang lebih tingggi akan pelayanan publik yang

dikehendaki oleh masyarakat ( lihat : Ibrahim, 2012 d .)

30) Mengapa banyak dari keberadaan daerah otonom baru (DOB) sebagai

akibat dari pemekaran daerah, justru berimplikasi tidak/kurang dapat

meningkatkan pelayanan publik, inklusif pelayanan keuangan daerah

yang menjadi tidak efektif dan tidak efisien ?

Berbagai penyebab dan kenyataannya antara lain :

a) Karena memang pendekatan pemekaran daerah tersebut lebih

bernuansa kepentingan politik antara elit politik lokal dan “bagi-

bagi kekuasaan “, sehingga tujuan pebentukan DOB untuk lebih

mengefektifkan pelayanan publik dan kesejahteraan

masyarakat,justru bermuara menjadi “pemborosan anggaran “

(mubazir ) ( pen.)

b) Adanya hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif daerah

dan derajat keterwakilan anggota DPR –RI ( yang sering kurang

150
representatif ,sehingga sering berperilaku kolutif tersebut demi

kepentingannya sendiri ); serta adanya kelompok kepentingan –

kelompok kenpentingan yang sering memanipulasi keadaann

sebenarnya . Lagi pula istilah pemekaran kurang tepat,sehingga

ada kecenderungan “latah mekar”, mestinya “penataan “ daerah (

lihat : Busrizalti , 2011)

c) Ternyata dari hasil evaluasi terhadap kebijakan pemekaran

daerah memang sebagian besar tidak/kurang berhasil ( sekitar 80

% ) akibat kebijakannya yang memang kurang tepat, termasuk

model evaluasinya yang tidak/kurang obyektif ( lihat : Beni, 2012)

d) Secara umum juga disebabkan karena memang para pengambil

kebijakan pemekaran tersebut ( dalam berbagai strata elit politik)

memang belum mencerminkan “mindsets” Pancasila ( saling

memberi – mengutamakan kepentingan umum di atas

kepentingan pribadi/kelompok --- gemar bermusyarah untuk

mufakat ---berpikir sistem ,tetapi terjebak dalam “mindsets”

liberalisme –kapitalisme- neo liberal) sehingga pemekaran daerah

didasarkan dengan “mindsets” yang keliru tersebut ( lihat:

Ibrahim, 2002 ,2006 )

e) Dalam beberapa kasus pemekaran bahkan ada yang berpendapat

agak berbau “sarkasme “ bahwa pemekaran daerah itu hanya

merupakan “ pemuasan syahwat” elit politik (lokal) , “nafsu besar

tenaga kurang “, dengan kanyataan-kenyataan antara lain :

(1) Pelayanan publik bahkan menjadi tidak/kurang efektif dan ti-

151
dak/kurang efisien dan menghamburkan anggaran daerah

(2) Pemekaran tidak didasarkan pada kelayakan potensi daerah

tersebut untuk dimekarkan

(3) Banyak berakibat sengketa batas wilayah , kurangnya sarana

prasarana, penyaluran karyawan yang kurang baik, berbagai

masalah keuangan

(4) Penilaian pemekaran daerah tidak didasarkan pada variabel

pelayanan publik (prima/pen.) tetapi lebih beorientasi

kepentingan politik dan asumsi-asumsi kekuasaan , dan

keuntungan ekonomi

(5) Bukannya berdasarkan murni aspirasi masyarakat , tetapi

kenyataannya sering ditunggangi kepentingan politik

( misalnya keinginan beberapa tokoh politik ( terutama

lokal/pen.) untuk mendapatkan jabatan baru dalam DOB yang

dirancang tersebut ( hanya menguntungkan segelintir elit

politik lokal, semacam “bisnis “ untuk mendapatkan jabatan

tertentu )

(6) Euforia reformasi dan timbulnya parpol-parpol dimanfaatkan

para elit poltik lokal untuk kepentingan mereka sendiri

(7) Korupsi meningkat drastis dengan maraknya DOB ini

(8) Memperkecil kapasitas fiskal pemerintah pusat dan propinsi

( DAU setiap daerah berkurang , DAK daerah meningkat,

membengkaknya pembiayaan sarana-prasarana, dana

pendamping yang membebani APBN dan Propinsi)

152
(9) Ketergantungan DOB-DOB terhadap APBN sangat besar ( ada

semacam “hidden goals”)

(10) Evaluasi Departemen Keuangann 80 % dari DOB tidak

berdampak positif terhadap pelayanan publik dan tidak

meningkatkan kesejahteraan masyarakat

(11) Ternyata landasan berpikir pendekatan pemekaran daerah

kebanyakam bersifat “praktis- pragmamtis- dipaksakan”

(demi kepentingan-kepentingan tertentu ) bukannya dilandasi

pendekatan strategis-taktis –politis demi kepentingan

pelayanan publik yang lebih efektif dan demi peningkatan

kesejahteraan rakyat ) ( lihat : Latumaerissa ,2015 ,dalam

:malukuonline.co.id ( 6-6- 2015)

f) Ternyata tujuan pemekaran daerah ( DOB) banyak yang tidak

tercapai dengan kenyataan-kenyataan antara lain :

(1) Tidak menunjukkan peningkatan pelayanan kepada

masyarakat

(2) Tidak memperlihatkan percepatan pertumbuhan kehidupan

demokrasi

(3) Tidak/kurang memperlihatkan percepatan pelaksanaan

pembangunan perekonomian daerah

(4) Tidak/kurang memperlihatkan percepatan pengelolaan

“potensi” daerah( menjadi kekuatan sosial secara nyata /pen.)

(5) Ternyata kurang memperlihatkan peningkatan keamanan dan

ketertiban secara nyata

153
(6) Ternyata juga belum dapat memberikan kontribusi dalam

rangka meningkatkan keserasian hubungan antara pusat dan

daerah ( lihat : Isnaeni , 2012 , dalam : sappk . itb. ac. id)

g) Sama dengan titik f) di atas , pemekaran lebih merupakan suatu

kondisi “ nafsu besar tenaga kurang “ selanjutnya , dengan

beberapa tambahan kenyataan antara lain:

(1) Pemekaran daerah menciptakan struktur pemerintahan yang

tambun namun miskin fungssi ( membengkak sekitar 69 %

,misalnya dari 314 daerah Tk.I dan II (1998) menjadi 530

(2009) yang pada akhirnya membebani APBN dan APBD)

(2) Rendahnya kapasitas fiskal yang mengakibatkan banyak

Pemda berupaya meningkatkan pendapatan dengan berbagai

cara ,yang justru sering merugikan masyarakat

(3) Munculnya kesenjangan antar daerah dan perekonomian

berbiaya tinggi akibat mengejar PAD dengan segala cara

(4) Makin banyaknya DOB secara simultan meningkatkan

APBN ,dan anggaran pembangunan semakin kecil

dibandingkan dengan anggaran rutin ( lihat : Murtiyanto ,

2011 ,dalam : bagaskara .wordpress . com ( 8-8- 2011)

h) Kenyataan yang kurang menguntungkan lainnya :

(1) DOB masih identik dengan pemekaran ,belum ada yang

mengarah pada “penghapusan “ dan “penggabungan “ sesuai

tuntutan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik yang ada

(2) Membanjirnya DOB justru menurunkan kualitas penyelengga-

154
raan(administrasi) pemerintahan daerah ( menurunkan

kualitas administrasi Pemda )

(3) Tatakelola fiskal justru menjadi kurang baik ( lihat :

Fibiona,2013 ,dalam : indracuin . blogspot . com ( 14- 6- 2013)

i) Menegaskan kembali beberapa kenyataan kurang

menguntungkan dari menjamurnya DOB ,antara lain :

(1) Masyarakat pada umumnya tidak memahami manfaat

pemekaran daerah dan sekaligus tidak siap dengan pemekaran

tersebut

(2) Pemekaran daerah/wilayah, selain lebih merupakan alat

untuk mendapatkan kekuasaan oleh segelintir elit politik lokal

dalam DOB tersebut, juga mendatangkan situasi perebutan

kekuasaan ,dan menimbulkan fragmentasi elit politik

(lokal),sekaligus juga melahirkan perebutan relasi kekuasaan

(3) Ketimpangan masyarakat di daerah-daerah pemekaran

(DOB) ,yang pada akhirnya pemekaran wilayah ternyata

“gagal” mensejahterakan masyarakat ( lihat : Nurjihadi ;

Ratnawati , dalam : jihadnp34 . blogspot . com )

31) Mengapa pemberdayaan desa, baik pemberdayaan sumber daya

manusia (SDM) --- pemberdayaan kapasitas politik ---- dan kapasitas

ekonomi masyarakat desa , kurang berhasil ,termasuk di desa yang

sudah dikategorikan “swasembada “ sekalipun ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain:

a) Secara umum terdapat kenyataan-kenyataan antara lain :

155
(1) Belum adanya strategi pemberdayaan masyarakat dan

pemerintahan desa yang jelas ( visi-misi- kebijakan/strategi-

rencana dan program pemberdayaan yang utuh)

(2) Kalaupun ada pemberdyaan masyarakat desa, sifatnya

sporadis, tidak bertingkat--- bertahap ---- berlanjut

(3) Belum ada semacam “master plan “ pemberdayaan desa yang

dirancang dengan baik oleh propinsi dan kabupaten /kota

(4) Belum ada sinergi atau “network planning dan network

progamm” dalam rangka bantuan terhadap desa ( “lalu lintas”

bantuan kepada masyarakat desa tidak /kurang jelas, berjalan

sendiri-sendiri, sehingga sering bantuan-bantuan tersebut

tumpang tindih dan justru sering tidak sesuai dengan aspirasi

masyarakat desa itu sendiri )

(5) Belum ada Perda yang jelas dan terintegrasi mengenai

prosedur Munsrenbang bertahap hingga benar-benar

dituangkan dalam rencana dan program pembangunan desa

yang memang merefleksi dari aspirasi dalam musrenbang

desa, sering mengalami distorsi di tengah jalan ketika para elit

politik lokal merumuskan RPJMD--- RAPBD ---- APBD

(6) Banyak pemberdayaan masyarakat desa yang sifatnya

sporadis tersebut sering tidak jelas skala prioritasnya sesuai

dengan kondisi desa yang bersangkutan ( lihat : Setiawan ,

2011)

b) Pemberdayaan masyarakat desa pada umumnya tidak /kurang di-

156
dekati dengan pendekatan nilai-nilai budaya /adat istiadat dan

sistem pemerintahan lokal terbawah setempat( misalnya berbasis

nagari, marga ,dan sejenisnya ), sehingga sering lamban bahkan

sering ditolak (paling tidak untuk sementara,sehingga tidak

berjalan mulus/linier dinamis ( lihat : Indraddin ,2012)

c) Beberapa kelemahan lainnya dalam pemberdayaan masyarakat

desa antara lain :

(1) Belum rapinya pembenahan organisasi dan pelaksana alokasi

desa yang mendukung pemberdayaan masyarakat tersebut

(2) Tim /lembaga fasilitasi alokasi dana/pemberdayaan desa yang

belum terintegrasi dengan baik

(3) Evaluasi menyeluruh mengenai berbagai aspek dari

pemberdayaan desa belum dilakukan secara baik (lihat :

Pioh , 2014)

d) Akuntabilitas penggunaan anggaran desa /setingkat (kelurahan)

memang belum efektif dan efisien , dan sering tidak jelas tujuan

dan tolok ukur keberhasilannya ,serta kurangnya pelatihan untuk

itu ( lihat : Ginting, 2012 )

e) Pemanfaatan beragam CSR belum secara merata dimanfaatkan

untuk pemberdayaan masyarakat desa secara terintegrasi dan

menyeluruh ( lihat : Nurrahmawati ,2014)

f) Pemberdayaan masyarakat desa masih terkesan “belas kasihan

berbagai pihak/misalnya pengusaha “ , belum terintegrasi dalam

“triple bottom line “ ( integrasi dunia usaha--- masyarakat--- Pem-

157
da) ; program pemberdayaan masyarakat desa yang rata-rata

belum menganut prinsip “ bottom up dan top down bertemu

disatu titik” ; belum melibatkan tokoh-tokoh adat /budaya lokal

(forum masyarakat adat dan sejenisnya ) ( lihat : Alfitri , 2010 )

g) Dalam pemberdayaan masyarakat desa ( terutama petani) terlihat

antara lain :

(1) Kurangnya kolaborasi antara seluruh stakeholders yang terkait

dengan pemberdayaan masyarakat desa tersebut ( petani—

penyuluh /pemda --- pihak yang memberikan bantuan--- dan

lainnya )

(2) Kualitas SDM yang memberdayakan petani masih kurang baik

(3) Kurangnya kepedulian terhadap community development dari

para investor/pengusaha

(4) Perda yang mengaturnya kurang jelas dan kurang

komprehensif integral ( lihat : Pasaribu , 2012)

h) Kurangnya suasana /kondisi kemitraan kualitatif antara pihak

yang memberikan bantuan dana --- pemda- lembaga keuangan

penjamin, dalam rangka memberdayakan masyarakat tingkat

pedesaan /sejenis ( ada anggapan masyakarat yang diberdayakan

cukup menerima saja, tidak diikutsertakan sejak perencanaan

pemberdayaan tersebut , berikut kesempatan memberikan

umpam balik 360 derajat tepat waktu/pen.) (lihat : Ernawati,2012)

i) Selanjutnya dalam upaya pemberdayaan masyarakat

desa,terdapat kenyataan- kenyataan antara lain :

158
(1) Ternyata masih kurang memperhatikan pemberdayaan

perempuan ( jender)

(2) Belum adanya SOP yang jelas dan rinci

(3) Lembaga- lembaga pemberdayaan masyarakat desa yang ada

belum mampu membangun komunitas pemberdayaan yang

berlanjut dan berkualitas (lihat : Sanusi , 2011)

j) Ternyata banyak lurah dan kepala desa memang belum dapat

dikategorikan memiliki gaya kepemimpinan transformasional ,

banyak yang hanya bergaya kepemimpinan transaksional ,bahkan

“laissez faires” ( santai), bahkan sebagian juga masih bergaya

feodal /neo feodal ( lihat : Bachtiar , 2013 ; Ibrahim , 2014, 2015)

k) Seperti telah disinggung terdahulu KPK menemukan sekitar 14

masalah Alokasi Dana Desa, sehingga berakibat pemberdayaan

masyarakat desa belum terlaksana sebagaimana nestinya (apalagi

untuk mencapai kategori berhasil/baik) ,antara lain sebagai

berikut :

(1) Masalah aspek regulasi kelembagaan dengan sejumlah

persoalannnya : belum lengkapnya regulasi dan petunjuk

teknis pelaksanaan keuangan desa, tumpang tindih

kewenangan antara Kementerian Desa dengan Dirjen Bina

Pemerintahan Desa Kemdagri , masalah penghasilan tetap

perangkat desa dari alokasi dana desa(ADD) yang dianggap

kurang adil, menyamaratakan ADD

(2) Masalah aspek ketatalaksanaan dengan sejumlah persoalan-

159
nya antara lain : kerangka waktu--- acuan bagi desa dalam

menyusun APBDes belum tersedia ---- tranpasaransi rendah ,

laporan pertanggungjawaban belum mengikuti standar dan

rawan manipulasi , APBDes yang disusun belum

menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa

(3) Masalah Pengawasan ,dengan persoalan-persoalannya antara

lain: efektivitas inspektorat daerah melakukan pengawasan

terhadap pengelolaan keuangan desa yang masih rendah,

saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik ,

ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan oleh

camat belum baik/belum jelas

(4) Masalah SDM , meliputi persoalan-persoalan :tenaga

pendamping berpotensi melakukan korupsi karena

memanfaatkan “lemahnya “ aparat desa , dana belum

dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi upaya

memajukan/memberdayakan desa ( lihat : Agus , dalam : news.

okezone . com ; Nugraha ,2015 , dalam : poskotanews.com(12-6-

2015)

l) Memang diperlukan Gerakan Desa Membangun secara nyata,

sehingga fokus utama Otda memang pada dasarnya adalah

pemberdayaan masyarakat desa sebagai basis pembangunan

daerah secara keseluruhan ( lihat : Yansen TP, 2014, dalam :

sanggerderma . com ( 3- 5- 2015)

m) Belum tegasnya secara aplikatif kewenangan pemerintahan desa ,

160
yang mengintegrasikan hukum adat dan tuntutan yuridis dari

reformasi birokrasi ( tuntuan akan desentralisasi – dekonsentrasi

—tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan dalam

pemerintahan desa ) ; serta perlunya standar pelayanan minimal

(SPM) dalam pemerintahan desa ( lihat : Utoro & Andi Wahyudi ,

2008 , dalam : download . portalgaruda .org ( 29/30- 8 -2008)

n) Masih belum terintegrasinya penyaluran dana desa bagi

kepentingan pemberdayaan masyarakat desa dengan berbagai

persoalannya ( perlu kesepakatan menteri-menteri terkait agar

dana desa tersalurkan dengan tepat dan cepat, perlu tanaga

pendamping yang handal ,perlu dipangkas birokrasi hingga ke

desa ,para kepala daerah perlu mengambil langkah-langkah agar

percepatan pencairnan dana bagi kepentingan pemberdayaan

masyarakat tersebut benar-benar mencapai sasarn dan tujuannya,

perlu pelatihan bagi para pelaksanannya, inklusif perangkat

pemerintahan desa, perlu pengawasan yang baik dan

meningkatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat ( lihat :

Pikiran Rakyat (PR) ,9-9- 2015 ; 10-9-2015 ; Kompas, 27- 8- 2015 ;

8-9- 2015; 9-9- 2015; 10-9- 2015 ; 11- 9- 2015 )

o) Masih perlu ditingkatkannya kepemimpinan kepala desa dalam

rangka pemberdayaan masyarakat desa yang dipimpinnya ,antara

lain :

(1) Perlu memiliki visi bersama dalam membangun desanya , diser

161
tai disiplin – gairah membangun--- hatinurani yang tulus

dalam kepemimpinan kepala desa agar penggunaan ADD lebih

efektif penggunaannya

(2) Disiplin dan tanggung jawab serta sifat amanah akan dapat

mendorong efektivitas penggunaan ADD ( ini yang rata-rata

belum terwujud dengan semestinya)

(3) Kepala desa kebanyakan belum mendapatkan diklat dalam

mengelola ADD, sehingga belum mampu dengan semestinya

melakukan diskusi--- menampung aspirasi masyarakat

desanya --- melibatkan seluruh aparat desa – melakukan

pengawasan--- serta mempertanggungjawabkan dengan baik

anggaran desa tersebut ( lihat : Kusnadi ,2015 )

p) Selanjutnya masih belum utuhnya persepsi tentang desa ,antara

lain :

(1) Belum dilihatnya desa secara benar dari persepektif sosiologis

sebagai komunitas yang utuh

(2) Belum dilihat dari kacamata politik sebagai organisasi

kekuasaan yang memiliki kewenangan , sebagai komunitas

otonom , sebagai komunitas yang mestinya harus demokratis

(karena pembawaannya sejak dulu )

(3) Belum terintegrasinya upaya dan Perda yang mengatur

pemberdayaan masyarakat desa melalui ADD

(4) Belum berimbangnya APBDes antara penerimaan dan

pengeluarannya

162
(5) Masalah lainnya antara lain : laporan APBDes yang terlambat,

perangkat desa yang masih kurang memahami TI ( dan

memang sering sarana TI-nya belum dipasang ) , perangkat

desa yang kurang kreatif , tatalaksana desa yang masih kurang

baik, pengembangan teknologi pembangunan di bidang

pertanian, kesehatan/hidup sehat , pengembangan sumber

daya potensial yang masih kurang ,dan lainnya ) (lihat :Anwar

& Bambang Jatmiko ,dalam : upy.ac.id)

32) Kenapa pemberdayaan DPRD pada umumnya masih belum berjalan

dengan baik,sehingga berpengaruh besar terhadap “kurang sehatnya “

keuangan daerah, terutama struktur APBD ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Parpol-parpol sebagai sumber utama para calon anggota DPRD

nyatanya memang kurang dipersiapkan dengan baik dengan

kenyataan antara lain:

(1) Proses internalisasi politik (pembenahan ke dalam parpol

dalam rangka menyiapkan kader yang siap untuk

berkompetisi secara sehat )

(2) Demikian halnya sosialisasi politik kurang berjalan dengan

baik

(3) Komunikasi politik yang kurang lancar ,sering terjadi konflik-

konflik internal yang kurang sehat

(4) Pelatihan untuk mengaplikasikan partisipasi politik yang etis

dan demokratis kurang berjalan dengan baik, sehingga sering

163
terjebak dalam partisipasi politik yang tergolong anarkis

(5) Agak aneh jika parpol-parpol tertentu menerima lamaran

calon legislatif (dan eksekutif ) dari luar , ini berarti parpol

tersebut tidak siap dengan kader-kader sesuai kebutuhan

( atau mungkin(?) untuk cari “dana” dari pendaftaran pihak

luar tersebut )

(6) Kualifikasi calon-calon legislatif sering lebih didasarkan pada

jumlah partisipasi kader calon tersebut ( baca : “setoran “)

bukan pada kualitas kekaderannya sebagai calon “politisi

terpanggil “ ,bukan politisi karbitan/panggilan

(7) Hal-hal di atas berakumulasi pada kurangnya kualitas anggota

DPRD terpilih tersebut, karena proses “pemberdayaan “

awalnya sebagai kader politisi terpanggil memang kurang

dipersiapkan dengan baik sebagaimana mestinya ( lihat :

Ibrahim, 2010 )

b) Upaya-upaya pemberdayaan awal sebelum anggota DPRD

tersebut “manggung” kurang baik dan kurang berkualitas

,dengan kenyataan-kenyataan ,antara lain :

(1) Pelatihan untuk calon-calon anggota DPRD kurang

dipersiapkan dengan baik ( contoh yang cukup baik misalnya

calon-calon anggota DPRD dari ABRI waktu masih ada Fraksi

ABRI ) dipersiapkan dengan cara antara lain :

(a) Untuk dapat dicalonkan menjadi anggota DPRD ( apalagi

DPR-RI ) harus sudah cukup matang (perwira menengah)

164
(b) Memang cocok untuk menjadi berkiprah di dunia politik

( berdasarkan hasil uji psikologis dengan perangkat-

perangkatnya )

(c) Dilatih untuk menjadi anggota DPRD dalam kursus politik

sesuai untuk kebutuhan tersebut

(d) Yang dilanjutkan hanya yang lulus dengan cukup baik dari

pelatihan tersebut ( dirangking )

(e) Sesudah mereka terpilih diberikan lagi semacam orientasi

bagaimana “berperan sesungguhnya “ dalam DPRD

dengan berbagai kegiatannya

(2) Bagi anggota-amggota DPRD dari kalangan non ABRI

umumnya tidak setertib itu persiapannya ,kecuali parpol-

parpol yang berpengalaman lama

(3) Umumnya pada waktu “intraining “ sebagai persiapan terjun

ke DPRD secara nyata, banyak juga anggota DPRD yang

“arogan “ kurang /tidak mau ikut, dengan dalih “sudah tahu

semuanya “ padahal nyatanya tidak demikian

(4) Umumnya persyaratan pendidikan minimal sesuai UU untuk

anggota claon anggota legislatif daerah ( DPRD Tk.I dan II )

masih kurang memenuhi syarat, padahal dengan Otda yang

berfokus pada Tk.II mestinya calon-calon anggota DPRDnya

harus lebih tinggi tingkat pendidikan sebagai dasarnya

(5) Proses seleksi umumnya masih banyak yang kurang obyektif

( lihat : Ibrahim ,2010 )

165
c) Secara umum memang pemberdayaan DPRD masih kurang

baik ,dengan kenyataan-kenyataan , antara lain :

(1) Pola rekrutmen yaang kurang baik meliputi :sistem

pengkaderan, pendidikan minimal, kualitas SDM nya ,

motivasi , perilaku ,budaya politiknya

(2) Belum adanya pembudayaan pembauran budaya birokrasi

yang baik, belum ada pembenahan tata tertib dan kode etik

(3) Belum dilatih konsep dan pelaksanaan “management by

walking around “ secara baik , untuk dapat menampung

aspirasi masyarakat dengan baik di lapangan secara nyata

(lihat : Lumolos, 2011)

d) Pemahaman dan penghayatan tetang makna hakiki dari peran

sebagai pejabat politik /politisi memang banyak yang belum

dihayati dengan baik oleh para elit politik lokal (inklusif anggota

DPRD) dan mereka belum di”sadarkan “ dengan baik tentang hal

ini ( pemberdayaan mental dan nilai-nilai pengabdian kepada

masyarakat belum dilakukan dengan semestinya ) ( pen.)

e) Justru yang sangat krusial ,ialah bahwa banyak anggota DPRD

yang belum memahami ,menghayati dan merefleksikan “mindsets

“ Pancasila ( saling memberi--- mengutamakan kepentingan

umum ---- gemar bermusyawarah --- dan berpikir sistem )

sehingga dalam perilaku dan budaya politiknya justru sering

berperilaku dengan nilai-nilai yang menyimpang seperti perilaku

yang menggambarkan pola pikir liberalisme--- individualisme---pa

166
-ling banter neo feodalisme , Pancasila hanya dijadikan dasar dan

ideologi negara tapi tidak direfleksikan dalam perilaku dan

budaya politik mereka ( pen.)

33) Mengapa pengawasan pelaksanaan anggaran daerah rata-rata belum

baik sehingga keuangan daerah masih tidak efektif dan tidak efisien?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Belum berfungsinya dengan baik pengawasan masyarakat

terhadap perilaku aparat dalam pembelanjaan anggaran karena :

(1) Belum tersedianya akses pengawasan masyarakat sebagai

“mitra Pemda” ( “stakeholders internal dan ekternal”)

(2) Belum baiknya komitmen dan konsistensi yang kuat dari

pemerintah (Pemda) dalam menampung dan menjaring

segenap aspirasi masyarakat mengenai anggaran daerah

(3) Pada umumnya setiap SKPD belum memberikan akses bagi

pengawasan masyarakat tersebut

(4) Anggaran daerah pada umumnya masih bersifat tertutup

seolah-olah itu hanya milik birokrasi ( lihat : Syafril MS ,2011)

b) Sistem Pengendalian Internal Pemda (SPIP) dan kualitas

profesionalisme Aparat Pengawasan Internal Pemda (APIP) yang

rata- rata memang masih perlu ditingkatkan (lihat : Aboebakar,

2012; Parjaman ,2011)

c) Jangankan untuk mengawasi dengan baik, banyak aparat

birokrasi justru berperilaku korup ,menggerus anggaran daerah

itu sendiri ( lihat : Bihamding , 2013)

167
d) DPRD nya sendiri pada umumnya belum diberdayakan dengan

baik, padahal salah satu tupoksinya adalah pengawasan

pembangunan ( anggaran ) itu sendiri ( lihat : Lumolos, 2011)

e) Belum “mumpuni”nya kompetensi pengelola dan pengawasan

anggaran melalui bimbingan teknis, diklat, pembinaan dan

penyusunan standar analisis belanja, penyusunan anggaran

bebasis kinerja dan sosialisasi regulasinya .

Selain itu belum jelasnya mekanisme penilaian kinerja dengan

parameter yang jelas ; belum tepatnya sanksi administratif bagi

pengguna anggaran (SKPD-SKPD ) yang melakukan kesalahan

dalam pelaksanaan anggaran oleh pejabat pengelola keuangan

daerah ( lihat : Farida , 2012)

f) Kalau diperinci lebih lanjut kelemahan APIP yang masih ada

antara lain :

(1) Tumpang tindih peraturan yang mengatur Tupoksi APIP di

daerah sehingga Inspektorat Pemda menjadi kurang efektif

(2) Pada umumnya kompetensi/profesionalisme auditor APIP

belum baik ,akibat dari sistem pengelolaan SDM pengawasan

yang belum “terpola “ dengan baik

(3) Kurangnya dukungan anggaran (daerah) untuk dapat

meningkatkan kapasitas inspektorat Pemda

(4) Sarana-prasarana yang masih kurang untuk mendukung

pelaksanaan tugas sebagai ispektorat pemda yang handal

(5) Juklak /juknis misalnya “pedoman review” yang belum diter-

168
bitkan berdasarkan peraturan dari Kementerian PAN ( lihat :

Sudrajat ,2014)

g) Penyebab lainnya antara lain :

(1) Pemberdayaan SDM pengawasan berupa Diklat belum disertai

pembekalan moral untuk melengkapinya

(2) Belum dibiasakannya “ management by walking around” oleh

pimpinan maupun para pengawas

(3) Masih kurangya keteladanan dan sifat –sikap-perilaku

amanah, dari para pimpinan dan penangugng jawab keuangan

daerah ( lihat : Sitorus , 2010)

h) Khusus untuk pengawasan terhadap BUMD masih terdapat

kelemahan antara lain:

(1) Belum diterapkannya asas “lex specialis derogate legi

generale” dalam melakukan penilaian pertanggungjawaban

pengurus BUMD dan belum diterapkannya penerapan sanksi

moral ( seperti tidak boleh menjabat sebagai bankir ,di

samping sanksi ganti kerugian sebagai sanksi perdata ,apabila

ditemukan adanya kelalaian dalam keputusan pemberian

kredit oleh pengurus bank BUMD )

(2) Pengawasan terhadap BUMD belum didasarkan kepada sistem

dan prosedur yang baku, serta kode etik bankir yang

mengandung asas publikasi kepada masyarakat dan menjadi

sumber hukum (sebagai dasar dilakukannya proses pro

justicia/penyelidikan---- penyidikan --- penuntutan dalam me-

169
nentukan penilaian terhadap pertanggungjawaban pengurus

BUMD terhadap perbuatan melawan hukum dalam pemberian

kredit (lihat : Abdulkadir, 2011)

i) Belum diberlakukannya “ e-government “ secara penuh, sehingga

pengawasan terbuka terhadap penggunaan anggaran daerah oleh

masyarakat tidak/kurang dapat dilakukan (lihat :Laksamana ,

2011)

j) Dari temuan belasan potensi masalah dana daerah ,terutama dana

desa , memang aspek pengawasan masih bermasalah : efektivitas

inspektorat daerah dalam pengawasan pengelolaan keuangan

daerah yang memang masih kurang ; saluran pengaduan

masyarakat tidak dikelola dengan semestinya ; ruang lingkup

evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh pejabat ( misalnya

camat) memang belum jelas benar ( lihat : Nugraha ,2015 , dalam :

poskotanews. com ( 12-6- 2015)

k) Penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemda(SPIP) , Budaya

Organisasi (BO), Kompetensi dan Kemitraan Organisasional,

serta Sistem Informasi Keuangan Daerah secara akumulatif

berpengaruh terhadap kualitas pengawasan keuangan daerah

,nyatanya belum berfungsi dengan baik dan belum terlaksana

sebagaimana mestinya ( lihat : Sari, 2015 )

l) Penerapan Akuntansi Pemda Berbasis Akrual belum dapat

dilaksanakan dengan semestinya ( dalam proses persiapan),

sehingga pengawasanpun belum berjalan dengan baik (lihat :

170
Amriani , 2014 ,dalam : kppnternate . net ( 10-20- 2014)

34) Mengapa hubungan antar lembaga pemerintahan (HALP) di daerah

dalam berbagai stratifikasinya belum baik, sehingga berakibat juga

kurang efektif dan kurang efisiennya keuangan daerah ?

Penyebab –penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Belum disadari sepenuhnya bahwa banyak masalah pembangunan

daerah (inklusif anggarannya) memerlukan kerja sana antar

lembaga pemerintahan baik internal maupun eksternal (antar

Pemda) untuk menggarap bersama masalah-masalah

pembangunan /anggaran yang menyangkut kerjasama antar

lembaga/antar Pemda ( lihat : Rosada , 2012 )

b) Masih banyak lembaga dalam lingkungan Pemda ( bukan

institusinya tapi pejabatnya ) yang berperilaku “ego sektoral”

,sehingga memboroskan anggaran daerah karena kalau

berkolaborasi akan lebih efektif dan efisien ( lihat: Ibrahim, 2005

a, b. )

c) Pemekaran daerah yang kurang obyektif-pun, menyebabkan

sering terganggunya HALP (terutama antara daerah induk dan

yang dimekarkan) yang berakibat kurang efektif dan kurang

efisiennya keuangan/anggaran daerah ( pen.)

d) Pemahaman dan penghayatan tentang “manajemen konflik” dan

”manajemen multi budaya “, masih banyak yang kurang tepat

diantara birokrasi daerah, sehingga berakibat HALP terganggu

dan pada akhirnya mengganggu juga efketivitas dan efisiensi keu-

171
angan /anggaran daerah ( lihat : Ibrahim, 2012,2014, 2015; Hisni ,

2012)

e) Kurangnya (baik secara kuantitatif dan kualitatif ) kepemimpinan

transformasional dalam lingkungan Pemda , menyebabkan juga

kurangnya kualitas HALP berakibat kurang efektif dan efisiennya

anggaran daerah ( Ibrahim, 2012 d; Ali, 2012; Jahidi, 2013)

f) Secara legitimate Otda tetap dalam kerangka NKRI yang

berdasarkan Pancasila, tetapi dalam refleksi perilakunya, banyak

elit politik daerah ( tentu tidak semuanya) yang tidak bersumebr

dari mindsets Pancasila ( saling memberi ---- mengutamakan

kepentingan rakyat---- gemar bermusyawarah =silih asah-asih-

asuh---- dan berpikir sistem) ,tetapi justru berperilaku yang

merefleksi dari mindsets lilberalisme/kapitalisme /neo feodalisme

yang bercirikan arogansi, kepentingan sendiri /kelompok dan

sejenisnya ,yang barakibat HALP yang mereka kelola tidak

merefleksi dengan baik dari tuntutan dari ideologi--- legalitas –

budaya berdasarkan nilai-nilai Pancasila) ;yang akhirnya

menyebabkan HALP yang mereka kelola banyak terjebak dalam

arogansi dan sejenisnya ,sehingga turut merunyamkan efektivitas

dan efiesiensi anggaran daerah ( lihat : Ibrahim , 2002 , 2006 ,

2010 a .)

g) Kecenderungan perilaku korup dari banyak elit politik lokal dan

kroninya ,jelas akan merusak HALP internal dan ekternal di

daerah dengan segala akibat inefektivitas dan inefsiensi anggaran

172
anggaran daerah ( lihat : Bihamding , 2013; Atori, 2012 ; Ibrahim ,

2012 ,a,b,c.)

h) Upaya-upaya meningkatkan kompetensi pegawai yang memang

belum bersifat komprehensif integral ( releksi mindsets Pancaila,

nilai/keyakinan, motivasi, tuntutan tupoksi /lembaga, peningkatan

profesi yang bertingkat bertahap berlanjut dan lainnya ) sehingga

berakibat masih kurang baiknya HALP dimana mereka bekerja

( lihat : Parjaman,2011; Ibrahim, 2013 )

i) Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pemberdayaan

DPRD-pun belum baik dengan segala akibat HALP-nya (lihat :

Lumolos, 2011)

j) Dalam mendinamisasi hubungan kelembagaan di daerah (HALP)

banyak yang belum memanfaatkan nilai – nilai tradisi dan budaya

setempat ( lihat : Zulmasyhur ,2012 ; Ibrahim, 2005 a,b)

k) Belum terselenggaranya dengan baik “e-government” dengan

segala perangkatnya, sehingga keterbukaan dan kemudahan

menyelenggarakan HALP memang masih menjadi kendala ( lihat

: Laksamana , 2012 ; Ibrahim, 2012 d.)

l) Belum terwujudnya “reformasi birokrasi daerah “ dengan baik

( upaya-upaya demokratisasi administrasi pemerintahan daerah

berdasarkan nilai-nilai demokrasi Pancasila dengan prinsip

“bottom-up dan top-down “ bertemu di satu titik) , makanya

HALP baik internal dan ekternal belum berjalan dengan baik,

dengan segala akibatnya ( lihat : Ibrahim, 2009 , 2010, 2011)

173
35) Mengapa banyak program-program nasional pemberdayaan masyarakat

(PNPM) di daerah belum berjalan efektif ,inklusif dukungan

anggarannya ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain:

a) Beberapa kelemahan penanggulangan kemiskinan masyarakat

(utamnya diperkotaan) ,antara lain :

(1) Belum dievaluasi secara komprehensif integral , evaluasinya

lebih bersifat “on going evaluation “

(2) Umumnya programnya berjalan sendiri-sendiri, kurang

dikoordinasikan dengan baik

(3) Kurang bermuara kepada penguatan nilai dan kemandirian

masyarakat ( lihat : Tompodung, 2014)

b) Dalam program PNPM di daerah masih terdapat beberapa

kelemahan antara lain :

(1) Belum ditampungnya dengan baik aspirasi masyarakat yang

akan diberdayakan sejak perencanaan-pengorganisasian-

pelaksanaan –pengawasan /monitoring ( dan mestinya juga

umpan balik 360 derajat tepat waktu/pen.)

(2) Belum melibatkan pihak swasta dan kelompok peduli

masyarakat yang ada di daerah tersebut

(3) Akuntabilitas dan transparansinya masih belum baik /belum

terjamin ( lihat : Maryuni, 2013)

c) Beberapa hal yang masih kurang diperhatikan antara lain :

(1) Lembaga atau badan yang melaksanakan program pemberda-

174
yaan masyarakat tersebut dalam pembinaannya masih kurang

memperhatikan karakteristik masyarakat yang diberdyakan

dan lingkungannya ,agar dapat melahirkan program yang

sinergis sesuai dengan tuntutan masyarakat

(2) Pemda mestinya melalui monitoring dan evaluasi berkala

terhadap kegiatan dari lembaga yang memberdayakan

masyarakat tersebut , terutama untuk masyarakat-masyarakat

yang terpencil , dipesisir dan sejenisnya ( lihat :Rompas , 2013)

d) Dalam implementasinya belum terlihat dengan semestinya ,antara

lain :

(1) Perlu disinergikan “ pro poor planning “

(2) Perlu ditingkatkan dukungan sumber daya dan insentif

melalui penyiapan SDM yang memiliki kualifikasi pendidikan

di bidang kesejahteraan , diklat keterampilan pelayanan

sosial , alokasi anggaran yang memang cukup pemberdayaan

tersebut ( “ pro poor budgetting “ jangan tanggung, lebih baik

ditunda/pen.)

(3) Jaringannya perlu dirapikan, dimana semua pihak terkait,

terutama masyarakat yang diberdayakan (justru sering

dilupakan/pen.) sehingga menjadi “network and programm

planning” ,dimana peran semua pihak terlihat jelas dalam

aplikasinya ( lihat : Solihin, 2011 ; Ibrahim, 2009 dan 2010)

e) Ternyata masih terdapat berbagai kelemahan varian lainnya ,

terutama untuk pemberdayaan masyarakat perbatasan :

175
(1) PNPM dalam prosesnya perlu dikomunikasikan dengan baik

terhadap masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi

dalam proses pemberdayaan itu dengan baik ,demi

kepentingan mereka sebagai obyek pemberdayaan tersebut

(2) Yang menangani PNPM harus meningkatkan

profesionalismenya , demikian halnya masyarakat harus

diberdayakan lebih dulu mengenai kesiapan pemberdayaan

tersebut ( memahami dan menghayati tujuan dari

pemberdayaan bagi mereka tersebut)

(3) Model-modelnya harus disesuaikan dengan kondisi

masyarakat dan pemberdayaan itu harus tuntas ( dari “hulu

hingga hilirnya “) , dan disesuaikan juga dengan kondisi

sumber daya alam yang ada di wilayah-wilayah perbatasan

yang umumnya tertinggal tersebut ;berikut keadilan jendernya

sekalian ( lihat : Almutahar , 2012 )

f) Selanjutnya proses perumusan dan pemerintah pusat yang

merancang ,masih perlu memperhatikan antara lain:

(1) Dalam proses perumusan PNPM itu :

(a) Perlu dimanfaatkan “managment data base” , pemanfaatan

teknologi “decision support system “ secara terintegrasi

lintas SKPD

(b) Belum disusun dengan baik prioritas masalah dengan baik

(c) Perlu diperhitungkan kemungkinan “ side effects” nya

(d) Pemda perlu membantu agar prosesnya demokratis dan

176
menggali aspirasi masyarakat yang akan diberdayakan

(2) Pemerintah Pusat ternyata :

(a) Belum memberikan delegasi wewenang secara penuh

kepada daerah untuk menyusun program PNPM tersebut

sesuai dengan kondisi dan prioritas pemberdayaan

masyarakat di daerah tersebut ( misalnya dengan

menganut konsep pemberdayaan “pyramida terbalik”,

yang paling termarjinalisasi diprioritaskan )

(b) Program PNPM pada umumnya belum bersifat “ opened

menu” sesuai karakteristik masing-masing daerah

(c) Pusat belum menempatkan dirinya berperan sebagai

“fungsi pengawas dan penerima laporan dari daerah “

( lihat : Duadji ,2012 ; Ibrahim , 2012 d ; Prahalad ,2010)

g) PNPM belum berhasil dengan baik ,karena belum dipusatkannya

model pemberdayaan dalam rangka Otda yang berbasiskan

pedesaan ( berbasis desa sebagai dasar pemberdayaan masyakarat

dalam rangka menyukseskan Otda yang luas dan

berkualitas /pen.) (lihat :Yansen TP, 2014 dalam :

sanggerderma.com ( 3-5-2014 ; Setiawan ,2012 ; Utoro & Andi

Wahyudi ,2008 ,dalam : download.portalgaruda.org (29-30-8-2008)

h) Dalam beberapa kasus pemberdayaan masyarakat di pedesaan

sebagai bagian dari PNPM ,masih belum terencana dengan baik

dan terintegrasi , antara lain :

(1) Belum sepenuhnya merefleksikan kepentingan kelompok sasar

177
-an yang akan diberdayakan , manfaat nyata dari kebijakan

pemberdayaan tersebut , perubahan seperti apa yang

diinginkan, keputusan lokasi pemberdayaan ,

pelaksana/pendamping pemberdayaan yang harus tepat dan

profesional , kepatuhan dan tanggung jawab kelompok sasaran

, dukungan beragam sumber daya yang tepat guna , dukungan

sepenuhnya dari Pemda setempat

(2) Belum sepenuhnya( bahkan sering tidak) melibatkan tokoh-

tokoh masyarakat setempat, padahal tokoh-tokoh informal

tersebut berpengaruh besar terhadap masyarakat yang akan

diberdayakan

(3) Belum diawali dengan dialog yang melibatkan semua

“stakeholders “ terkait ( lihat : Kamuli, 2011)

i) Dalam bukunya yang berjudul : “The Greate Escape

:Health,Wealth,and the Origin of Inequality “, Angus Stewart

Deaton (Pemenang Hadiah Nobel 2015 di bidang Ekonomi) ,

berendapat yang esensinya :Masih banyak “kaum kaya yang ikut

mengatur ( langsung dan tidak langsung ) kebijakan-kebijakan

publik di bidang keuangan /anggaran baik di Pusat maupun

Daerah”,sehingga APBD misalnya kurang fokus dalam upaya

mensejahterakan rakyat .Selanjutnya ia menyebutkan antara lain

bahwa : Konsumsi tetap bisa lancar jika harga dan kualitas

pelayanan publik tersedia dengan harga terjangkau;tanpa

pertambahan pendapatan ,konsumsi bisa meningkat jika pemerin-

178
tah mengenali konsumen (kondisi rakyatnya/pen.) dan mampu me

masok kebutuhan rakyatnya pada harga terjangkau dan berkuali-

tas ( lihat : Deaton , 2015 ,dalam Kompas 17-10 -2015 ; Prahalad ,

2010)

36) Mengapa implementasi kebijakan pendidikan dan pelatihan (diklat)

mengenai keuangan (daerah) belum berjalan dengan baik ?

Penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Beberapa kelemahan yang masih terdapat dalam implementasi

kebijakan diklat keuangan (daerah ) antara lain :

(1) Belum baiknya kerjasama antar lembaga yang terkait dengan

diklat keuangan daerah tersebut

(2) Manajemen diklatnya sendiri belum baik ( antara

perencanaan- pengorganisasian- pelaksanaan – pengawasan

/monitoring/umpan balik 360 derajat tepat waktu/pen.),belum

terintegrasi dalam “network planning & network programm”

(3) Badan diklat belum diberikan wewenang yang utuh dalam

mengelola diklat keuangan ( daerah tersebut)

(4) Belum terintegrasi dan terpadunya dukungan berbagai

sumber daya yang diperlukan agar diklat tersebut berjalan

dengan baik

(5) Umumnya belum dilaksanakan berdasarkan Perda Diklat

yang jelas berikut Perbup/Walikota ,sehingga SOPnya rinci

dan jelas

(6) “ Rewards and punishments system “nya pada umumnya be-

179
lum obyektif ( lihat : Tatuwo ,2015 ; Ibrahim , 2012 d.)

b) Ada sebagian pengelola keuangan daerah yang menganggap tidak

penting benar diklat tersebut karena mereka sudah “mahir

mengelola kuangan” dan mungkin juga agar mereka dapat

“bermain-main “ dengan uang rakyat tersebut (karena pada

dasarnya mereka kurang amanah dan direkrut tidak secara

obyektif, tapi sarat KKN ,utamanya kolusi dan nepotisme ) ( pen.)

c) Belum menganggap “ e- budgetting “ sebagai prioritas bagi

keuangan daerah yang profesional---- terbuka---- akuntabel,

dengan berbagai alasan yang terkadang tidak berdasar

kepentingan mengutamakan tujuan untuk mensejahterakan

rakyat jika keuangan daerah dikelola dengan baik (pen.)

d) Disinilah letak celakanya kalau masih banyak elit politik lokal

,inklusif pengelola keuangan daerah , yang mesih belum

sepnuhnya merefleksikan mindsets Pancasila ,yakni : “saling

memberi /berikan terbaik---- mengutamakan kepentingan rakyat

----- gemar bermusyawarah untuk mufakat----- berpikir sistem “ ,

dan terjebak dalam mindsets sebaliknya, yang sarat kepentingan

kelompok/pribadi, makanya kurang “sreg” akan diklat keuangan

(daerah ) yang menghasilkan para profesional di bidang keuangan

(daerah) sehingga keuangan daerah dapat dimanfaatkan bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ( pen.)

e) Antara tuntutan akan kepentingan diklat guna menyiapkan SDM

bidang keuangan yang profesional ,dengan ketersediaan SDM

180
yang berlatar belakang keuangan ( terutama akuntansi ) belum

seimbang /belum tersedia sebagaimana mestinya ( lihat : Akbar ,

2010,dalam :pekikdaerah . wordpress.com )

f) Kelemahan lainnya , ialah sejumlah kondisi SDM pengelola

keuangan yang bermasalah, sehingga mempengaruhi juga diklat-

diklat keuangan ( daerah),antara lain :

(1) Memang masih kurang SDM yang berlatar belakang

Akuntansi, sehingga menyebabkan kesukaran tersendiri dalam

penyelenggaraan diklat yang mestinya dapat segera

menyiapkan SDM keuangan yang profesional

(2) Penempatan SDM yang sering tidak sesuai profesinya

(3) Tingkat pemahaman dasar dari aparat Pemda mengenai

keuangan publik yang masih lemah, sehingga sering kurang

menganggap penting diklat, padahal mestinya sebaliknya

(4) Sarana prasarana diklat masih kurang ,termasuk sumber da-

ya manusia (SDM) yang berasal dari perguruan tinggi ,

ternyata tidak semuanya sudah “ready for use “ sehingga

masih perlu didiklat dengan segala permasalahannya

(5) “Rewards and punishments system” nya belum berjalan

dengan obyektif, dan hal ini mempengaruhi kelancaran diklat

keuangan ( daerah ) itu sendiri ( lihat : star . bpkp . go . id (9-6-

2014)

g) Pemekaran daerah yang “booming” dan terkesan kurang berhasil,

menyebabkan juga masalah bagi diklat keuangan ( daerah ) yang

181
harus menyediakan sesegera mungkin SDM profesional di bidang

keuangan daerah ,yang secara kuantitatif dan kualitatif

diperlukan untuk mendukung pengelolaan keuangan daerah yang

efektif dan efisien ( pen.)

37) Mengapa sistem pengukuran kinerja dan kepedulian pimpinan (daerah)

terhadap kinerja program dan kinerja keuangan di daerah ,belum

berjalan sebagaimana mestinya ?

Penyebab dan kenyataan-kenyataannya ,antara lain :

a) Beberapa peneybabnya antara lain :

(1) Tipe pengukuran kinerja untuk setiap SKPD pada umumnya

belum mendapatkan perhatian dan kepedulian unsur

pimpinan ( mungkin karena banyak tipe kepemimpinan elit

politik lokal utamanya kepala daerah /wakilnya yang memang

belum tergolong tipe “kepemimpinan transformasional” yang

selalu berupaya meningkatkan kinerja Pemda yang dipimpin-

nya agar memang terjadi perubahan /kemajuan yang

signifikan dan rakyatnya makin sejahtera )

(2) Belum terjalin dengan baik kemitraan dengan semua

“stakeholders internal dan eksternal” ( DPRD, SKPD-SKPD

dan masyarakat luas dengan berbagai jenisnya /lembaganya)

dalam upaya bersama meningkatkan kinerja program

pembangunan dan kinerja keuangan daerah

(3) Tipe atau model sistem pengukuran kinerja yang ada

berpengaruh negatif terhadap “kinerja keuangan daerah” ,ka-

182
rena sistem yang ada masih terjerat oleh “red tape” ( berbelit-

belit/berkepanjangan ) sehingga berakibat “ekonomi biaya

tinggi “ dan hal-hal negatif lainnya ( lihat : Fachruzzaman,

2009)

b) Karena masih banyak elit politik lokal dan kelompok pengelola

keuangan daerah ,yang masih terjebak dalam perilaku korup

,mementingkan kepentingan pribadi/kelompok, sehingga

berakibat antara lain “kurang peduli terhadap kinerja program

dan kinerja keuangan” yang mestinya harus baik/prima

( lihat:Atori , 2012 ;Bihamding, 2013; Furqon,dalam :

andichairilfurqon . files . wordpress . com)

c) Memang belum jelasnya mengenai tolok ukur kinerja keuangan

daerah seperti : akuntablitas penggunaan anggaran, akuntabilitas

hasil/manfaat penggunaan anggaran tersebut , akuntabilitas

dampaknya bagi peningkatan kinerja birokrasi daerah, akuntabi-

litas peningkatan pemberdayaan pelayanan publik(prima)nya ;

serta belum lengkap dan profesionalnya para pelatih /pembimbing

untuk meningkatkan kinerja program ( utamanya kinerja

keuangan daerah dalam berbagai dimensinya di atas) ( lihat :

Ginting , 2012 )

d) Belum penuhnya perhatian sebagian pimpinan daerah terhadap

antara lain : pentingnya evaluasi yang menyeluruh terhadap

kinerja semua pengelola keuangan daerah , belum digelar dengan

baik “ e- government ,utamanya e- budgetting “, belum baiknya

183
rekrutmen/diklat keuangan publik daerah ( lihat : Lengkong, 3013

, Ibrahim , 2015 )

e) Banyak Pemda yang belum berperilaku keorganisasian positif

(PKP) dan berbudaya organisasi pembelajaran (OP) , sehingga

berakibat belum memiliki model pengukuran kinerja program

dan kinerja keuangan yang sesuai dengan kebutuhan ,karena

belum mampu “belajar dan/atau”benchmarking” dari model-

model kinerja Pemda yang berhasil / baik ( lihat : Ibrahim , 2014,

2015)

f) Karena banyak juga Pemda yang belum dengan sepenuhnya

menerapkan konsep anggaran daerah berbasis kinerja dan

pertangungjawaban keuangan daerah berbasis akrual ( lihat :

Kurnianingsih, 2011,dalam : wwwshieruphantomhive . blogspot .

com( 14-10- 2011) ; Kumorotomo,Wahyudi & Erwan Agus

Purwanto (editors), 2005 ; Hasrida, 2011 , dalam :idhananda .

blogspot .com(

24-3- 2011; Amriani , 2014 ,dalam : kppnternate.net (10-10-2014);

warungkopipemda.com(2015)

38) Mengapa formulasi kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) belum berjalan sebagaimana mestinya/belum berjalan

dengan baik ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataan yang ada ,antara lain:

a) Beberapa penyebab utamanya ,antara lain :

(1) Belum profesionalnya kerja sama antara Tim Anggaran di

Pemda dengan Badan Anggaran di DPRD


184

(2) Pengawasan dan kendali Pimpinan Daerah pada Tim

Anggaran yang belum berjalan dengan baik ( pengawasan

yang terlalu ketat atau terlalu longgar saja jeleknya/pen.)

(3) Masih kurangnya keterbukaan/transparansi dalam proses

perumusan kebijakan RAPBD dan APBD tersebut ( masih

terkesan bahwa dokumen anggaran daerah itu adalah”milik

birokrasi “/pen.)

(4) Dalam proses perumusan kebijakan keuangan daerah

(RAPBD kemudian menjadi APBD ) ternyata masih kurang

memperhatikan ,antara lain :

(a) “Pos pengaduan publik “

(b) Belum dibiasakan melakukan “management by walking

around” ( turba) menjaring aspirasi, karena merasa

“sudah tahu segalanya tentang kebutuhan rakyatnya “

(c) Terjadinya distorsi dari proses Musrenbang dengan

“reses” DPRD sehingga aspirasi rakyat tidak terjaring

dengan baik

(d) Kewenangan masing-masing (Tim Anggaran dan Badan

Anggaran sering tidak jelas)

(5) Keteladanan pimpinan masih kurang , banyaknya pengaruh

“phak-pihak berkepentingan “ dalam proses perumusan

RAPBD dan APBD tersebut, sehingga aspirasi rakyat

terpinggirkan ( lihat : Ngusmanto , 2012 ; Ibrahim , 2012 c, dan

d. ; Deaton, 2015 ; Prahalad ,2010)


185

b) Temuan-temuan lain dalam penyusunan APBD untuk berbasis

kinerja masih mengalami berbagai persoalan ,antara lain :

(1) Rata-rata anggaran pemerintahan daerah belum berorientasi

pada kebutuhan masyarakat,karena dalam dinamika

penyusunannya masih menonjolkan “perjuangan

kepentingan” legislatif maupun ekesekutif , ego sektoral

masing-masing SKPD, kurang pahamnya masing-masing

SKPD terhadap ukuran-ukuran kinerja yang semestinya harus

dicapai , rendahnya “political will” dari para pejabat terkait

untuk “memberikan ruang publik “ kepada masyarakat dan

rendahnya kontrol masyarakat terhadap proses penyusunan

anggaran berbasis kinerja

(2) Partisipasi masyarakat paling banter baru sebagai “fungsi

input” melalui proses Musrenbang ( yang ditengah jalan sering

mengalami distorsi akibat proses reses DPRD yang justru

sering menjadi dominan /pen.) ; partisipasi masyarakat belum

berfungsi juga sebagai “posisi tawar dan kontrol sosial “ dalam

rangka penyusunan anggaran daerah berbasis kinerja

(3) Belum melibatkan seluruh “stakeholders internal dan

eksternal” dalam proses penyusunan anggaran daerah tersebut

( lihat : Antony , 2010 )

c) Secara umum pemberdayaan DPRD belum baik, sehingga

berakibat juga kurang berkualitasnya proses penyusunan

anggaran daerah ( lihat : Lumolos , 2011)


186

d) Masih terdapat berbagai kelemahan dalam formulasi kebijakan

APBD ,antara lain :

(1) Model perumusan kebijakan APBD yang ditentukan oleh

aktor-aktor formal ,tidak mrealisasikan “ participatory

governance and participatory budgetting” ,sehingga hampir

tidak /kurang berinteraksi dengan masyarakat yang justru

harus menjadi fokus kepentingan dari penyusunan APBD

tersebut

(2) Perumusan /penyusunan APBD belum berpegang pada

prinsip-prinsip keberpihakan terhadap kepentingan rakyat ,

kurang bersahaja, kurang adil dan kurang transparan ,serta

tidak/kurang melibatkan peran serta masyarakat (sebagai

“stakeholders eksternal” yang justru mayoritas /pen.)

(3) Kelemahan-kelemahan lainnya :

(a) Kekuatan organisasi masyarakat sipil relatif diabaikan

(b) Masyarakat ( “ stakeholders eksternal”) kurang diberikan

alokasi anggaran pada proses perumusan APBD tersebut,

waktu habis oleh negosiasi kepentingan legislatif dan

eksekutif , bukan untuk kepentingan masyarakat luas

(c) Proses pengawasan oleh masyarakat ( idealnya umpan

balik 360 derajat tepat waktu ) tidak mendapatkan tempat

sebagaimana mestinya ( lihat : Makhya,2012 ; Ibrahim ,

2011, 2014, 2015)

e) Di samping belum diikutinya dengan baik ( tentunya tidak semua


187

daerah demikian ) pedoman perencanaan keuangan daerah

(penganggaran) ,bobot kualitatifnya sering kurang terjamin (sarat

kepentingan kelompok elit politik lokal) , serta rata-rata selalu

tidak sesuai dengan jadualnya (lihat : Birokrat sejati , dalam :

noldysalindo . blogspot.com)

f) Reformasi Birokrasi Keuangan memang belum sesuai dengan

harapan ,dengan kenyataan-kenyataan yang masih ada, antara

lain :

(1) Belum terjadi perubahan mindsets secara signifikan ( masih

sering terjebak dalam pola pikir- pola sikap –pola tindak yang

kurang demokratis/belum merefleksikan nilai-nilai demokrasi

dan “mindsets Pancasila “ yang sebenarnya )

(2) MPB ( penguasa menjadi pelayan /abdi masyarakat setidaknya

katakanlah paling banter baru pada “kondisi transisi “,bahkan

ada elit politik yang terkesan “neo-feodal”)

(3) Para birokrat keuangan sering lebih mengutamakan

“kekuasaan/wewenang” ketimbang “peranan” ,sehingga

sering terkesan uang rakyat seperti uang mereka sendiri

(4) Masih sering berpikir “out-put “ (keluaran) ketimbang “out-

come” (hasil /manfaatnya mestinya bagi kepentingan rakyat)

(5) Belum sepenuhnya “ memahami- menghayati- mengamalkan “

Manajemen Kinerja dengan baik

(6) Kurang mau ( atau sengaja tidak mau-mudah-mudahan tidak

demikian/pen.) mewujudkan “good- governance”, transparansi


188

, akuntabel, bebas KKN , terutama dalam manajemen

keuangan daerah

(7) Belum menerapkan sepenuhnya formula “ bermula dari akhir

dan berakhir di awal “

(8) Belum menerapkan sepenuhnya perilaku keorganisasian

positif dan budaya organisasi pembelajaran ( lihat : Wismar,

dalam : boyyendratamin . com ; Ibrahim ,2006 , 2011,

2014,2015)

g) Seperti telah disinggung terdahulu ada setidaknya 13 masalah

(lebih tepat persoalan/pen.) dalam perencanaan penganggaran ( =

formulasi anggaran ) di daerah :

(1) Intevensi DPRD dengan berbagai rekayasanya yang

menyebabkan perencanaan /formulasi APBD menjadi kurang

merakyat

(2) Pendekatan partisipatif dan perencanaan melalui mekanisme

Musrenbang dengan berbagai rekayasanya ,sehingga masih

cenderung menjadi “retorika” belaka

(3) Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu

(4) Breakdown dari RPJD ke RPJMD dan RKPD seringkali tidak

“nyambung ( tidak matching”)

(5) Kualitas RPJD ,RPJMD , dan Renstra SKPD seringkali belum

baik dan belum optimal

(6) Terlalu banyak “order “ dari berbagai pihak dalam proses

perencanaan anggaran daerah


(7) Koordinasi antar SKPD dalam rangka proses perencanaan dan

189

formulasi anggaran daerah yang masih lemah

(8) Kurangnya tenaga perencana dan formulasi anggaran di

setiap SKPD pada umumnya

(9) Evaluasi pemerintahan propinsi masih belum baik, sehingga

mempengaruhi kualitas perencanaan/anggaran daerah di Tk.II

selanjutnya

(10) Kualitas hasil Musrenbang pada umumnya masih kurang

bermutu

(11) Proses perencanaan kegiatan terpisah dari penganggaran

(12) Pedoman-pedoman untuk Musrenbang yang masih kurang

jelas

(13) Cara pemecahan masalah dalam proses formulasi

anggaran daerah masih dilakukan dengan pendekatan hanya

melihat “akar masalah “ , kurang berorientasi

“outcome”(hasil), banyak keliru pemahaman tentang “proyek”

(lihat : Fachturrahman ,dalam : rajawaligarudapancasila

.blogspot . com ; Ibrahim , 2015 ; Deaton, 2015)

h) Memang masih banyak elit politik lokal yang belum memiliki

gaya kepemimpinan transformasional, sehingga wajar kurang

upaya untuk memberdayakan “bawahannya” dalam rangka

merencanakan dan merumuskan anggaran daerah ( lihat :

Hidayati, 2011 ;Jahidi , 2013 ; Ibrahim , 2005 )


39) Mengapa pemberdayaan masyarakat “berdasarkan kelompok

kepentingan perekonomian mereka” ,belum berjalan dengan semesti -

190

nya , sehingga tetap saja terjadi kesenjangan mencolok dalam

kehidupan perekonomian masyarakat di daerah-daerah ? ( Atau dalam

bahasa anggaran daerah-nya : Mengapa prioritas pemberdayaan

masyarakat dalam struktur APBD belum sesuai dengan skala prioritas

berdasarkan kepentingan dari kepentingan-kepentingan kelompok

perekonomian dalam masyarakat ; atau mengapa dana APBD untuk

pemberdayaan masyarakat tidak/kurang didasarkan pada prinsip

kepentingan kelompok perekenomian berdasarkan konsep “piramida

terbalik “? )

Beberapa penyebab dan kenyataannya antara lain :

a) Masih kurang baiknya ,antara lain :

(1) Tidak adanya /kurangnya kolaborasi antar stakeholders terkait

( pemda—rakyat--- pihak-pihak terkait lainnya) dalam

rangka memberdayakan masyarakat tersebut

(2) Masih kurangnya profesionalisme (kualitas) dari SDM yang

terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat tersebut

(3) Masih kurangnya dukungan beragam sumber daya yang

diperlukan

(4) Masih kurangnya kepedulian dari pihak pengusaha /investor

terhadap “ commnunity development” dimana mereka

“berusaha “
(5) Perda yang jelas dengan skala priroritas pemberdayaan

masyarakat memang belum secara rinci dikeluarkan oleh

Pemerintahan Daerah pada umumnya ( lihat : Pasaribu, 2012 )

191

b) Berbagai kelemahan lainnya selanjutnya ,antara lain :

(1) Pada umumnya Pemda belum “memetakan “ dengan baik

kelompok-kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan

berdasarkan “kelompok-kelompok kehidupan perekonomian

mereka “

(2) Biasanya pemberdayan masayarakat lebih diutamakan pada

perorangan dan kelompok-kelompok yang dianggap mudah

diberdayakan (karena sudah ada keterampilan )

(3) Belum lazim membuat “network planning and programm”

pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat dengan skala

prioritas “piramida terbalik” (artinya kelompok ekonomi yang

paling “melarat/miskin” harus menjadi prioritas, bukan

sebaliknya yang sering terjadi (cari gampangnya saja )

(4) Banyak program pemberdayaan masyarakat “hanya

diatasnamakan “ saja , sarat kepentingan kelompok ( elit

politik lokal dan pihak-pihak yang berkepentingan ) ( lihat :

Ibrahim, 2012 d. ; Prahalad, 2010 ; Deaton , 2015)

c) Banyak elit politik lokal ( terutama anggota DPRD ) yang derajat

keterwakilannya kurang memadai, akibatnya kurang

memperhatikan pemberdayaan masyarakat sesuai skala prirotas

dari masyarakat yang diwakilinya ( lihat : Ibrahim, 2010 )


d) Dalam pemberdayaan masyarakat berdasarkan kelompok

ekonomi mereka ( misalnya petani kebun dan sejenisnya ) yang

sifatnya bermitra ( misalnya PIR dan KKPA) masih terdapat bebe

192

rapa kelemahan antara lain :

(1) Masih belum kentalnya “rasa saling memiliki” dan “rasa

kebersamaan “ (belum selalu berdiskusi untuk membuat

,melaksanakan , mengevaluasi kegiatan dan keberlanjutan

kemitraan )

(2) Masing-masing “pelaku kemitraan “ belum secara optimal

bermitra sesuai “tupoksinya” masing –masing ( belum diawali

dengan pendataan ulang setiap kegiatan kemitraan secara

menyeluruh, saling memberikan informasi kepada semua

pihak yang bermitra ( pengusaha--- petanil/kelompok yang

diberdayakan /KUD --- pemda --- perbankan ---lembaga-

lembaga intermediasi lainnya ) ( lihat : Ernawati ,2012)

e) Kelemahan-kelemahan lainnya lagi dalam pemberdayaan

kelompok- kelompok masyarakat yang masih terjebak kemiskinan

antara lain :

(1) Belum mensinergikan “ pro poor planning and program” nya

(misalnya belum ada “ network planning and programmnya “,

sehingga sering tidak jelas kapan setiap pihak terlibat tepat

waktu dalam pemberdayaan masyarakat tersebut /pen.)

(2) Masih kurangnya dukungan sumber daya dan insentif melalui

penyiapan SDM yang memiliki kualifikasi pendidikan di


bidang kesejahteraan , diklat keterampilan pelayanan sosial ,

alokasi anggaran untuk program mengatasi kemiskinan

melalui pemberdayaan ( bukan belas kasihan /pen.) ( pro poor

193

budgetting ) dalam APBD dan sumber lainnya

(3) Belum rapinya jaringan pemberdayaan itu sendiri ( termasuk

masyarakat yang diberdayakan , jangan hanya

diatasnamakan) ( lihat : Solihin , 2011)

f) Untuk pemberdayaan masyarakat kawasan perbatasan perlu

perhatian yang sangat serius( masih sering terabaikan ) , agar

“nasionalisme” mereka tetap terpelihara dengan baik, jangan

sampai lebih mengidolakan negara tetangga ( pen.)

g) Masih terdapat kelemahan evaluasi dari pemberdayaan

kelompok-kelompok masyarakat ,karena belum dirancang secara

komprehensif ,antara lain :

(1) Evaluator belum ditetapkan secara jelas ( mestinya gabungan

Inspektorat---- Bappeda---- DPRD)

(2) Evaluasi sering tidak langsung terhadap obyek

(3) Masih belum memanfaatkan pentingnya wawancara

mendalam dan observasi langsung terhadap masyarakat yang

diberdayakan ,baru dilengkapi dengan pihak lainnya

(4) Waktu evaluasi yang sebenarnya sering terlalu dini (sebaiknya

minimal 3 tahun sesudah berjalan )

(5) Evaluasi belum merupakan siklus, sehingga kurang dapat

“belajar “ dari keberhasilan dan kegagalan di masa lalu /pen.


(6) Publikasinya masih kurang transparan

(7) Evaluasinya belum dirancang dengan pendekatan program

pemberdayaan dengan berbagai dimensinya , antara lain :

194

(a) Belum sepenuhnya dievaluasi sejauh mana program

pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat tersebut

bermanfaat buat mereka

(b) Belum sepenuhnya dievaluasi sejauh mana program

tersebut sepenuhnya “dimiliki “masyarakat yang

diberdayakan

(c) Belum dievaluasi sepenuhnya sejauh mana pelibatan

masyarakat dalam pemberdayaan tersebut

(d) Belum dievaluasi sepenuhnya “sifat demokratis” dari

program tersebut

(e) Belum dievaluasi sepenuhnya memenuhi kategori “keadilan

sosial “ ( “berbagi nikmat dan beban”/pen.) dari program

tersebut

(f) Belum dievaluasi sejauh mana strategi dan implementasi

pelaksanaan program pemberdayaan tersebut sesuai

tidaknya dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang

diberdayakan

(g) Belum dievaluasi sepenuhnya sejauh mana “peningkatan

kapasitas” masyarakat dalam jangka waktu yang telah

dilaksanakannya pemberdayaan tersebut


(h) Belum dievaluasi sepenuhnya pembelajaran organisasi

yang didapat dari pelaksanaan program pemberdayaan

kelompok masyarakat yang diberdayakan tersebut

(i) Belum dievaluasi sejauh mana pemberdayaan kelompok-ke

195

lompok masyarakat tersebut sesuai dengan norma dan

memanfaatkan nilai-nilai budaya setempat ( lihat : Sukarso

, 2012)

40) Mengapa pengembangan pariwisata di berbagai daerah belum

berjalaan atau belum berkembang dengan baik,sehingga kontribusinya

terhadap keuangan daerah pada umumnya belum signifikan dan

keuangan daerah pada umumnya masih tidak efektif dan tidak efisien ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya ,antara lain :

a) Berbagai hal yang masih belum mendapatkan perhatian serius

antara lain:

(1) Dalam mengembangkan pariwisata belum diterapkan konsep

“Glokalisasi “ ( berpikir global dan bertindak lokal)

(2) Belum profesionalnya pihak-pihak birokrasi terkait

(3) Kemudahan regulasi bagi investor untuk menanamkan

investasinya belum terwujud secara nyata

(4) Lintas sektoral belum terkoordinasi dan belum berkolaborasi

dengan baik

(5) Belum lengkapnya fasilitas dan sarana-prasaran pendukung

pariwisata sesuai dengan kondisi ---lokasi--- dan

kekhususannya
(6) Belum dilaksanakannya “rewards and punishments system “

secara adil dan obyektif ( lihat : Djafar , 2013)

b) Kelemahan lainnya yang ditemukan dalam pembangunan

pariwisata di daerah – daerah ,antara lain :

196

(1) Belum mantapnya kesesuaian antara strategi koordinasi

dengan jaringan antar organisasi yang terlibat dalam

pariwisata, serta kemampuan manajerialnya yang masih

belum baik, akibat kapasitas organisasi yang juga belum baik

(2) Belum adanya rencana induk yang jelas ( semacam Renstra

yang baik) untuk kepariwisataan daerah yang bersangkutan

(3) Belum adanya Tim Koordinasi Pariwisata ,yang diserahi

“tupoksi” untuk menangani jaringan pembangunan

pariswisata dalam berbagai tahapannya ( tim yang mampu

mengimplementasikan “network planning dan network

programming” dari pengembangan parisiwisata secara

terpadu, sehingga setiap pihak yang terlibat akan tahu dengan

tepat tupoksinya masing –masing, serta kerangka waktu dan

dukungan beragam sumber daya yang harus mereka berikan

demi keberhasilan pengembangan pariwisata daerah

tersebut /pen.) ( lihat : Megawandi , 2013)

c) Berbagai hal selanjutnya yang harus mendapatkan perhatian

dalam upaya mengelola pengembangan pariwisata ,antara lain :

(1) Dinas-dinas terkait harus konsisten dalam pengembangan

pariwisata ,terutama dalam perencanaan dan program yang


benar-benar telah dilandasi dengan uji kelayakan yang cukup

baik /pen.

(2) Membina peningkatan partisipasi masyarakat secara nyata

dalam pengembangan pariwisata di daerah-daerah yang ber -

197

sangkutan

(3) Perlu upaya-upaya pendidikan dan latihan yang bertingkat-

bertahap-berlanjut , untuk semua pihak yang terlibat dalam

pegembangan pariwisata /pen.

(4) Meningkatkan pelayanan dalam upaya mendukung pariwisata

seperti penyediaan infrastruktur, kemudahan perizinan hotel,

rumah makan,dan fasilitas-fasilitas lainnya ( keamanan

---kenyamanan --- pelayanan perbank-an dan lainnya )

(5) Mengembangkan “jaringan wisata” yang saling menunjang

satu dengan lainnya , dan kolaborasi yang erat antar semua

“stakeholders terkait “ di bidang kepariwisataan

( lihat :Yasin , 2013)

d) Masih saja ada kekeliruan persepsi tentang obyek wisata yakni :

“Mempertontokan ketertinggalan bangsa kita ,seolah-olah itulah

nilai-nilai budaya Indonesia , dengan bangga “menjual

ketertinggalan” tersebut kepada wisatawan ( terutama wisatawan

asing ) ; padahal yang perlu ditonjolkan adalah nilai-nilai lainnya

yang justru bernilai filosofis dan keserasian dengan alam yang

tinggi ( misalnya bagaimana suku Baduy melestarikan alam ; suku


Anak Dalam (Kubu) tidak mengeksploitasi alam seenaknya ,hanya

sesuai kebutuhan saja ; demikian halnya suku Dayak dan lainnya”

Artinya, jangan dipertontonkan ketertinggalan mereka ,tetapi

konsistensi mereka terhadap anugerah Tuhan YMK ( pen.)

41) Mengapa banyak (rata-rata ) BUMD belum dapat memberikan kontri-

198

busi terhadap APBD (khususnya terhadap PAD sebagai bagian penting

APBD) secara signifikan ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Ditemukan berbagai kenyataan ,terutama untuk bank-bank

BUMD, antara lain:

(1) Para pejabat /pengurus BUMD belum /belum sepenuhnya

menerapkan secara tegas asas “ lex specialis derogate legi

generali “ dalam melakukan penilaian terhadap

pertanggungjawaban pengurus bank BUMD

(2) Belum diterapkannya sanksi moral ( seperti tidak boleh

menjabat sebagai bankir), di samping sanksi ganti kerugian

bila ditemukan adanya kelalaian dalam keputusan pemberian

kredit oleh pengurus BUMD tersebut

(3) Pengawasan terhadap BUMD belum sepenuhnya ( tentunya

tidak semuanya/pen.) mendasarkan kepada sistem dan

prosedur yang baku, serta kode etik bankir yang mengandung

asas publikasi kepada masyarakat serta menjadi sumber

hukum ( sebagai dasar dilakukannya proses pro

justicia/penyelidikan --- penyidikan ---- penuntutan, dalam


menentukan penilaian terhadap pertanggungjawaban

pengurus BUMD terhadap perbuatan melawan hukum dalam

pemberian kredit di atas )

(4) Perlu dibentuk “penyidik khusus “ di bidang per-bank-an

dengan melakukan proses penyelidikan dan penyidikan terha-

199

dap perbuatan melawan hukum oleh pengurus bank BUMD

dalam pemberian kredit tersebut di atas

b) Belum sepenuhnya mengembangkan “human capital “ antara lain

dengan kenyataan-kenyataan :

(1) Belum dianggap sangat penting mengembangkan strategi

perwujudan “perilaku keorganisasian positif (PKP)” dan

tentunya “budaya organisasi pembelajaran (OP) “, sehingga

akan berbuah personil-personil yang profesional dan efektif

dalam berkinerja di lingkungan BUMD

(2) Belum mantapnya SKI ( sasaran kerja individual) yang jelas,

terperinci, menantang tapi juga tidak terlalu sulit untuk

dikerjakan, belum diperhatikan sepenuhnya kehidupan kerja

karyawan (antara lain perlu perhatian terhadadap keamanan

dan kesejahteraan pegawai )

(3) Belum dilakukannya upaya-upaya untuk

mengimplementasikan PKP dan budaya OP tersebut di atas ,

melalui berbagai fasilitas pengembangan SDM seperti

tranining, coaching, counseling , cracting dan lainnya sesuai

kebutuhan untuk dapat beradaptasi terhadap perkembangnan


lingkungan strategis yang berlaku terutama di daerah/pen.

( lihat : Kadiyono ,2011)

c) Secara lebih spesifik masih terdapat beberapa kelemahan

restrukturisasi BUMD, antara lain :

(1) Diperlukan restrukturisasi organsasi BUMD yang lebih berda-

200

sarkan “besaran urusan “ dari setiap BUMD dimana ia

berdomisili dengan segala “muatan lingkungannya “,untuk

mengatasi kesulitan birokratik karena masih minimnya

“functional recources” guna mengatasi lemahnya koordinasi

----penggerakan ---- pengendalian oleh provinsi dengan baik

(1) Masih kurangnya program “premajaan berkualitas” ,yang

mestinya dijadikan prioritas utama agar BUMD dapat

menghadapi tantangan lingkungan stategis yang berkembang

cepat dan kompleks tuntutannya/pen.

(2) Restrukturisasi yang ada “baru bersifat ala kadarnya “, perlu

dirancang untuk dapat meningkatkan “keunggulan kompetitif

“ ( harus lengkap strukturnya sesuai kondisi yang dihadapi---

jelas SOP dan jaringannya ,serta dibiasakan menerapkan

“network planning and programm” yang baik ) (lihat :

Santoso, 2012; Ibrahim, 2014, 2015.)

(1) Masih terdapat berbagai kelemahan dalam “pembentukan

budaya organisasi (BO) “ dan “penciptaan nilai-nilai “ dalam

rangka pengembangan strategi bisnis dan keunggulan bersaing


BUMD(meningkatkan kinerja),antara lain dengan kenyataan-

kenyataan antara lain:

(1) Belum dikaji dengan mendalam kebijakan dan regulasi yang

ada agar dapat meningkatkan dan mengembangkan kinerja

BUMD

(2) Pelru ketelitian dan kehati-hatian kalau akan ada kebijakan

201

privatisasi sehingga tidak salah arah

(3) Perlu ditingkatkan kerjasama yang erat dengan BPK dan KPP

untuk meningkatkan kualitas “ good corporate governance”

dari BUMD

(4) Masih perlu ditingkatkan lagi kerja sama antara BUMD guna

meningkatkan kontribusi terhadap keberhasilan Otda yang

luas dan berkualitas/pen.

(5) Pelu meningkatkan hubungan baik dengan para investor

dalam berbagai keragamannya /pen.

(6) Manajemen Puncak BUMD hendaknya terus meningkatkan

,antara lain :

(a) Evaluasi terhadap tuntutan perubahan yang cepat dan

terus menerus memperbaiki strategi perusahaan

(b) Sosialisasikan dan komunikasikan dengan baik sehingga

seluruh “relung “ organisasi BUMD dapat

mengimplementasikannya secara terintengrasi

(c) Aturan-aturan dan kebijakan hendaknya lebih berfokus

untuk mementingkan semua “stakoholders” terkait


(d) Perlu ditingkatkan budaya kerjasama ( lebih baik lagi

kalau kolaborasi/pen.) dan peningkatan komunikasi dua

arah dalam organisasi ,terutama penguatan komunikasi

lintas divisi /bagian

(e) Masih perlu ditingkatkan upaya-upaya meningkatkan

motivasi karyawan ( ada bebragai cara untuk itu/pen.)

202

(f) Perlu ditingkatkan perhatian dan “pemberian nilai”

kepada para pelanggan

(g) Perlu dikembangkan umpan balik 360 derajat tepat

waktu /pen.

(h) Perlu dikembangkan dan ditingkatkan kualitas dan

kuantitas kualitas produk/jasa /pelayanan

(i) Berusaha menerapkan “ value chain”

(j) Perlu analisis yang mendalam terhadap perkembangan

lingkungan dan tuntutan akan pelayanan publik yang

makin kompleks dan menuntut kualitas yang lebih

tinggi/baik

(k) Perlu terus ditingkatkan “riset pasar” dengan berbagai

dimensinya

(l) Perlu lebih ditingkatkan manajemen informasi ( baik

sistem informasi (SI ) dan teknologi informasi ( TI) ( lihat :

Ichdan ,2011; Ibrahim ,2012 ,d.)

(2) Masih banyaknya “jabatan rangkap “ ( sebagai pejabat Pemda

dan sekaligus Pimpinan BUMD “) dengan segala risikonya


yang sering kurang menguntungkan dalam rangka BUMD

memberikan kontribusi terhadap APBD ( pen.)

42) Mengapa Perilaku Keorganisasian Positif (PKP) dan budaya Organisasi

Pembelajaran (OP) pada umumnya belum menjadi ciri (utama)

birokrasi Pemerintahan Daerah, sehingga berakibat kinerja mreka

kurang baik dengan segala implikasinya ,termasuk terhadap keuangan

203

daerah ,yang menjadi kurang efektif dan kurang efisien?

Penyebab- penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Secara umum penyebabnya antara lain :

(1) Belum dibiasakannya memanfatkan berbagai konsep

manajemen kontemporer demi kepentingan menambah bobot

kemampuan manajerial dan berperilaku keorganisasian positif

serta berbudaya organisasi pembelajaran dalam administrasi

pemerintahan daerah ,inklusif mengelola keuangan daerah

(2) Belum dibiasakan untuk mengembangkan ide-ide baru dan

belum digalakkannya kreativitas ,masih “senang “ terjebak

dalam kondisi “status quo” ( ada elit politik yang demikian

agar ia tetap memegang hegemoni kekuasaan dalam

pemerintahan (daerah)/pen.)

(3) Belul dibiasakan untuk bersaing secara etis dalam rangka

meningkatkan kemampuan kerja /kinerja

(4) Belum dibiasakan untuk selalu berupaya meningkatkan

kuantitas dan kualitas pelayanan publik untuk mencapai

pelayanan publik yang prima oleh para penyelenggara


pemerintahan daerah ,malah menganggap masyarakat sudah

harus bersyukur atas pelayanan mereka (yang nyatanya masih

jauh dari prima ;biasanya dengan ketus berucap : “Dilayani

begini saja mestinya sudah bersyukur ,jangan macam-macam

“ (padahal pelayanan publik yang diberikan memang masih

buruk/pen.)( lihat :Ratang , 2011 ; Ibrahim , 2012 d.; 2015)

204

b) Masih banyak sekali elit politik lokal yang belum mencerminkan

kepemimpinan transformasional ,akibatnya “kurang peduli “akan

pentignya PKP dan OP bagi organisasi/administrasi Pemda yang

mereka pimpin ( mereka merasa sudah paling pintar sendiri,

sehingga kurang/tidak merasa perlu memberdaayakan anak buah

mereka) ( lihat : Ibrahim , 2004 , 2015 ; Ali , 2012 ; Darmawan ,

2012; Jahidi , 2013 ; Hidayati , 2011)

c) Belum menganggap serius dan sangat penting peranan “human

capital “ , upaya- upaya meningkatkan motivasi karyawan Pemda

dalam rangka mewujudkan PKP dan OP dalam organisasi

/administrasi Pemda, agar dapat berkinerja lebih baik dalam

rangka memberikan pelayanan publik yang prima dimana salah

satu cirinya adalah efektif dan efisiennya keuangan/anggaran

daerah( lihat:Ibrahim , 2012 c, 2015; Kadiyono, 2011;Kalis , 2013 )

d) Tidak dibiasakannya “memelihara konflik fungsional” agar selalu

bergairah untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran dalam

organisasi , Pemda( terutama elit politik lokal) masih banyak yang

merasa “keberatan memiliki anak buah yang cerdas, karena


dianggap mengganggu kekuasaannya “ , senang akan budaya

tetap berkembangnya “ budaya permisif (“permisiveness “)

( budaya suka memaafkan dan menganggap wajar saja kalau sang

pemimpin berbuat merugikan/salah,maklumlah pemimpin begitu

sibuknya /pen.) ,sehingga PKP dan OP tidak berkembang dan

terjebak dalam posisi “sratus quo”(lihat:Ibrahim,2004,2005 ,2011)

205

e) Belum sepenuhnya diaplikasikannya “e-government “ dengan

berbagai perangkatnya , sehingga PKP dan budaya OP lamban

berkembang ( lihat :Ibrahim , 2012 d ; Laksamana ,2011)

f) Penyebab yang paling mendasar ialah belum terwujudnya

reformasi birokrasi umumnya dan reformasi manajemen

keuangan daerah dengan baik, sehingga berakibat memang masih

relatif sukar mengaplikasikan PKP dan budaya OP dengan baik

( hal ini antara lain disebabkan karena makna reformasi itu

“masih simpang siur”), padahal esensinya adalah “demokrasi

dengan tetap berlandaskan nilai-nilai demokrasi Pancasila, tetapi

sering ditafsirkan diaplikasikan lain lagi, sehingga terjebak dalam

liberalisme---kapitalisme- bahkan neo feodalisme bercampur aduk

tidak jelas /pen.) (lihat : Ibrahim,2001, 2002, 2005 a dan b, 2006 )

g) Penyebab lainnya adalah memang secara umum kualitas SDM

birokrasi daerah belum baik benar, sehingga berakibat PKP dan

budaya OP belum dirasakan sebagai kebutuhan mutlak dalam

mengembangkan SDM Pemda yang profesional dan mampu

memberikan pelayanan publik yang terbaik ( pen.)


43) Mengapa Usaha Kecil Koperasi dan Mikro ) belum memiliki daya saing

yang kompetitif ( keunggulan kompetitif) di daerah-daerah ,padahal

sebagai “katup pengaman “ dan pengembangan ekonomi kerakyatan

cukup penting ( berkontribusi secara nyata terhadap efektivitas dan

efisiensi keuangan daerah ) ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataan yang masih ada,antara

206

lain :

a) Karena sering dianggap sektor informal , maka pemberdayaan

UMKM sering tidak dilakukan secara formal ( berencana dan

sistematis, tapi sporadis ) ( pen.)

b) Dari segi Hukum Rahasia Dagang masih terdapat beberapa

kelemahan ,antara lain :

(1) Pemerintah belum dengan baik membina dan mengawasi

HAKI (hak cipta ) dari perilaku UMKM

(2) Belum dilakukan sosialisasi terus menerus hal-hal tersebut di

atas

(3) Juga perlu perlindungan rahasia dagang untuk tidak

didaftarkan ,tetap harus mendaftarkan “merk “ dengan

jaminan administratif akan kepemilikan rahasia dan patent

sebagai bukti administratif yang melindungi UMKM tersebut (

lihat : Rodiah, 2011)

c) Selanjutnya masih kurang diterapkan Politik Hukum Integratif

Pengembangan Daya Saing UMKM dewasa ini ,terutama di

daerah, dengan kenyataan- kenyataan ,antara lain :


(1) Masih kurang pembinaan dan perlindungan terhadap UMKM

secara lebih sistematis --- terarah ---- berkesinambungan----

terintegrasi ----- dan koordinatif ( baik dilihat dari segi UU-

kebijakan --- program )

(2) Belum adanya Arsitektur Politik Hukum UMKM Nasional

yang terintegrasi dan tidak tumpang tindih , sebagai payung

207

hukum bagi peraturan lainnya yang berkaitan dengan

UMKM, agar memiliki kesetaraan dengan pelaku usaha besar

dan BUMN/D ( “same level of playing field”)

(3) Masih perlu dikembangkan konsep HukumPolitik Integratif

yang tepat dalam rangka perlindungan dan peningkatan daya

saing ,dengan perlakuan setara antara UMKM --- BUMN/D,

usaha besar lainnya , sehingga tercipta seperti pada yang

dijelaskan pada titik (2) di atas, dimana dengan kondisi seperti

ini ( adanya politik hukum integratif tersebut di atas) ,pada

akhirnya akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan

masyarakat secara luas (inklusif pelaku UMKM /pen.) (lihat :

Komaruddin ,2012)

d) Masih kurang dikembangkannya SDM dari pelaku UMKM itu

sendiri sebagai “human capital “ melalui pemberdayaan yang

sesuai dengan kegiatan usahanya dengan mengintegrasikannya

dengan nilai-nilai budaya lokal, sehingga akan terlihat ciri kekhas-

an dari produk/jasa dan layanan mereka,yang selain berkualitas


juga berciri khas yang menarik ( lihat :Kalis ,2013 ; Ibrahim ,1009;

Lee,1998)

e) Khusus untuk UMKM yang bergerak di bidang wisata masih

perlu meningkatkan /mengaktualisasikan daya tarik , pembinaan

SDM yang mampu berkreasi meningkatkan daya tarik wisatanya ,

serta perlu meingkatkan”kemitraan strategis yang berkualitas”

,agar tercapai keunggulan bersaing dan sekaligus meningkatkan

208

kinerja UMKM yang bergerak di bidang wisata tersebut .Dalam

kenyataannya masih terdapat kelemahan-kelemahan antara lain

sebagai berikut :

(1) Pengelola UMKM wisata masih perlu meningkatkan daya

tarik dari obyek wisata dan perilaku pelayanan yang lebih

elegan dan lebih profesional lagi

(2) Masih perlu mengembangkan dan pembenahan “intangible

assets” dari UMKM wisata tersebut ( peningkatan teknologi---

budaya usaha ----kemampuan komunikasi ----dan kemampuan

internal lainnya )

(3) Masih perlu mengembangkan jaringan kemitraan dengan

berbagai pihak terkait; serta fokus pada pelanggan

(wisatawan) sehingga terkesan bagi mereka UMKM wisata

terssebut “kecil tapi indah”/pen.( misalnya melalui pemberian

cendera mata yang unik--- diskon---- produk /pelayanan /jasa

yang benar-benar bermutu)


(4) Lebih kreatif lagi dalam berbagai aspeknya (lihat : Erislan ,

2014)

f) Untuk UMKM yang bergerak dalam industri kecil yang beragam

masih terlihat kenyataan-kenyataan antara lain sebagai berikut :

(1) Masih belum dapat memanfaatkan dengan baik “manajemen

pengetahuan” meliputi : memperbanyak belajar /diklat ;

menilai kinerja setiap tahun ; dan Pemda belum memberikan

perhatian yang selayaknya bagi industri kecil dan menengah

209

yang berprestasi untuk dikembangkan selanjutnya

(2) IKM ( industri kecil dan menengah ) mestinya harus berupaya

meningkatkan budaya yang kuat melalui kepemimpinan yang

selalu berupaya : membiasakan karyawannya selalu mencari

informasi yang berkaitan dengan kinerja usaha mereka ;

meningkatkan kerjasama tim kerja menjadi lebih baik ,dan

sejenisnya

(3) IKM masih perlu belajar dengan baik mengenai kemampuan

bersaing secara sehat (misalnya dari sisi harga perlu

melakukan efisiensi ); mendorong karyawan untuk berkreasi ;

berupaya meningkatkan motivasi (dengan berbagai

cara/pen.) ; selalu berkomitmen untuk maju bersama

(4) Mungkin perlu diadopsi seperti apa yang dikatakan pimpinan

Mitsubishi Elelctric yang esensinya ialah : Marilah kita semua

bekerja sungguh sungguh- menjaga loyalitas—selalu berupaya

meningkatkan keterampilan – agar usaha kita bersama akan


makin banyak dapat memberikan kehidupan yang layak bagi

semua orang ( ingat Mitsubshi Electric tidak ujug-ujug besar,

berawal dari usaha relatif kecil , berkat nilai filosofi di atas,

sekarang Mitsubishi Electric sudah mendunia dan besar /pen.)

(lihat : Desmaryani , 2013 ; Ibrahim, 2015)

g) Mestinya juga pemberdayaan UMKM memperhatikan

“komoditas unggulan lokal “ yang dikemas sedemikan rupa

sehingga memiliki keunggulan kompetitif( lihat:Sukmawani ,2015)

210

h) Catatan :

(1) UMKM = Usaha Menengah Kecil dan Mikro

(2) UKMK = Usaha Kecil Menengah dan Koperasi

(3) UKM = Usaha Kecil dan Menengah

(4) Dalam tulisan ini digunakan UMKM karena kenyataannya

memang demikian ( masih ada yang mikro )

(5) Mengenai Koperasi akan dibahas tersendiri ,karena ada

regulasinya tersendiri

44) Mengapa “unggulan sektoral/daerah tertentu “ ,belum dapat

menunjang perekonomian daerah pada umumnya, padahal mestinya

cukup signifikan ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya ,antara lain :

a) Memang kenyataanya , terutama Pemda belum sepenuhnya

,antara lain :

(1) Belum sepenuhnya berupaya meningkatkan investasi , belum

mempersiapkan ketersedian dan akses penyediaan


infrastruktur , administrasi dan saran perhubungan baik

dalam propinsi (internal )- antara propinsi terkait, yang secara

bersama dapat saling membantu meningkatkan potensi

keunggulan daerah menjadi kekuatan pembangunan

(ekonomi-sosial ) secara nyata

(2) Belum dibenahinya upaya-upaya pemberdayaan secara nyata

pihak-pihak berkepentingan ( stakeholders) dengan sektor-

sektor unggulan tersebut agar benar-benar profesional (lihat:

211

Lukman ,2011)

b) Belum dimanfaatkannya beragam konsep manajemen

kontemporer yang nyata-nyata telah berhasil meningkatkan

kualitas/kuantitas /profesionalisme dalam rangka meningkatkan

efektivitas dan efisiensi sektor unggulan tersebut antara lain :

(1) Manajemen stratejik – untuk menentukan langkah-langkah

strategi dalam pemanfaatan sektor unggulan tersebut

(2) MSDM ,untuk mengelola SDM yang berkualitas

(3) Manajemen Kualitas Terpadu

(4) Manajemen “Gemba Kaizen”, untuk dapat memecahkan

masalah-masalah secara praktis dan efisien

(5) Teori “E” dari Korea, agar sektor unggulan tersebut

mendapat sentuhan nilai-nilai budaya sendiri, sehingga

memiliki ciri khas dan berkualitas dan memiliki daya tarik

tersendiri
(6) “Benchmarking “ ( meniru dengan modifikasi sesuai

kebutuhan dengan tetap menghargai HAKI yang

bersangkutan sesuai aturan mainnya )

(7) Manajemen perubahan ( berubah sesuai tuntutan lingkungan

strategis yang berlaku sehingga tetap adaptif)

(8) Manajemen Konflik ( untuk meningkatkan kreativitas)

(9) Manajemen Multi Budaya ( MMB) agar terjadi kerjasama

/kolaborasi yang baik

(10) Manajemen Kontijensi (agar mampu mendeteksi hal-hal

212

yang merugikan )

(11) Manajemen Informasi ( agar dapat memilih Teknologi

Informasi (TI) dan Sistem Informasi (SI) yang tepat)

(12) Manajemen Qalbu ( agar selalu berupaya menjadi orang

yang berpengetahuan dan sekaligus mengamalkan ajaran

agama), sehingga usaha-usaha berjalan langgeng dan maju

terus ,dan lain-lainnya yang dewasa ini banyak diadposi demi

kemajuan dalam berusaha ,tidak peduli besar atau kecilnya

usaha tersebut ( lihat : Ibrahim, 2015)

c) Secara umum memang belum didukung dan dikendalikan oleh

kepemimpinan transformasional para elit politik daerah, sehingga

banyak yang belum mampu “memetakan “ dengan baik berbagai

skala prioritas/unggulan di daerahnya dan sekaligus belum dapat

memberdayakan masyarakat yang dipimpinnya secara baik (

pen.)
d) Terlalu sibuk dengan pemekaran daerah, yang ternyata banyak

gagalnya ,ketimbang memanfaatkan potensi daerah secara nyata

dan meningkatkanya menjadi “kekuatan sosial “ secara

nyata,daripada memboroskan keuangan daerah dengan

pemekaran daerah yang ternyata banyak gagal dalam

meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat

(pen.)

45) Mengapa “perilaku administrasi publik “ (perilaku para penyelenggara

pemerintahan) dari para pejabat publik/politik (elit politik lokal )

kurang mendukung ( kurang berupaya ) untuk mewujudkan anggaran

pemba-

213

ngunan daerah ( terutama struktur APBD) yang merakyat /lebih

mengutamakan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat

/rakyatnya ,bukan sebaliknya (mementingkan birokrasi )?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan yang masih

memprihatinkan ,antara lain:

a) Berbagai kelemahan yang masih ada ,antara lain :

(1) Belum adanya “kode etik” bagi pejabat politik dan belum

mengefektifkan Dewan Kehormatan dengan melibatkan unsur-

unsur independen di dalamnya ( agar tidak sering terjebak

“groputhink” seperti yang lazim terjadi/pen.)

(2) Belum ditingkatkannya peran masyarakat untuk

berpartisipasi dalam proses perumusan APBD dengan cara

menyediakan ruang dan waktu untuk itu


(3) Belum ditingkatkannya “perlindungan birokrasi pemerintahan

(PNS) “ terhadap “tekanan “ para pejabat politik melalui

perbaikan sistem pembinaan PNS , sehingga mereka betul-

betul profesional dan tidak sering terjebak dalam ambiguitas

peran seperti yang sering terjadi sekarang ini/pen.( lihat :

Setiadi , 2011)

b) Memang kenyataannya masih banyak politisi (elit politik lokal)

yang belum memenuhi kriteria “politisi terpanggil “ ( dimana

menjadi pejabat publik/politisi praktis itu adalah panggilan jiwa

dan lebih merupakan “aktualisasi diri”), karena semua kebutuhan

dasar lainnya sudah terpenuhi,bukannya malah cari rezeki de -

214

ngan menjadi pejabat politik/publik tersebut) ( lihat : Ibrahim,

2009, 2010 )

c) Seperti telah disinggung sebelumnya ,memang banyak elit politik

lokal berperilaku “kurang pantas” dalam penggunaan

anggaran,sehingga anggaran tersebut ( walaupun mungkin

strukturnya sudah merakyat ) akan tetap tidak mencapai

tujuannya untuk mensejahterakan rakyat (apalagi kebanyakan

struktur APBD sudah sejak disahkan sudah kurang merakyat

,plus disalahgunakan dalam pelaksanaannya akan lebih runyam

lagi/pen.) ( lihat : Ibrahim, 2014 , 2015 ; Atori , 2012 )

d) Bisa jadi karena banyak parpol yang belum berfungsi dengan

baik mempersiapkan kader-kadernya untuk menjadi politisi dan

pejabat publik (elit politik lokal jika terpilih) ,karena masih


lemahnya proses internalisasi politik dengan berbagai

dimensinya ; lemahnya komunikasi dan sosialisasi politiknya ;juga

lemahnya kualitas partisipasi politiknya , bahkan sering menerima

“pendaftar dari luar “ ,yang mungkin juga belum baik

kualitasnya, asal “nyetor “/pen.( lihat : Ibrahim , 2013 )

e) Mahalnya biaya politik yang dikeluarkan dalam proses menjadi

elit politik lokal ,sehingga merasa perlu (apalagi kalau memang

bukan politisi terpanggil) melakukan tindakan / berperilaku

kurang obyketif dalam perumusan APBD ,dimana mereka punya

banyak kepentingan untuk “mengembalikan modal” yang telah

dikeluarkan,plus cari modal untuk berikutnya, kapan ngurus rak-

215

yatnya ? ( lihat : Ibrahim ,2013 , 2015)

f) Mestinya untuk menjadi calon politisi perlu “psiko test “ yang

baterainya harus dapat mengungkapkan apa benar yang

bersangkutan memang termasuk kategori orang yang memang

terpanggil untuk mengabdi masyarakat ,bukannya cari

keuntungan materi ( lebih mengutamakan “intrinsic rewards”

ketimbang “ extrinsic rewards” ) ( lihat : Ibrahim, 2015 )

g) Kecenderungan perilaku koruptif di kalangan sebagian elit politik

lokal ,yang pastinya akan berperilaku “tidak/kurang berorientasi

“ untuk mewujudkan APBD yang merakyat ( lihat :

Bihamding,2013 ; Ibrahim , 2015)

h) Banyak juga para elit politik lokal yang latar belakangnya ( rekam

jejak dan latar belakang demografisnya ) yang kurang sesuai


untuk jabatan-jabatan politik/publik ( menjadi elit politik lokal)

( lihat : Ibrahim ,2013)

i) Kurangnya persiapan mental dan kompetensi untuk menjadi elit

politik lokal yang baik dan benar ( kurangnya diklat, intraining

yang bermutu sebelum manggung menjadi anggota DPRD dan

Pimpinan Daerah secara nyata ( lihat : Ibrahim, 2013)

46) Mengapa pemberdayaan masyarakat kawasan perbatasan(luar) masih

sangat menyedihkan ?

Beberapa penyebab dan kenyataan- kenyataannya antara lain :

a) Beberapa kelemahan yang masih ada ,antara lain :

(1) Program pembangunan daerah-daerah tertinggal, utamanya di

216

wilayah perbatasan luar, nampaknya memang belum punya

model-model tersendiri sesuai dengan karakteristik dari

masing-masing daerah perbatasan luar tersebut

(2) Model-model tersebut mestinya harus disesuaikan dengan

kondisi masyarakat setempat, kondisi lingkungannya(misalnya

kondisi sumber daya/kekayaan alam yang tersedia, infra

strukturnya, kondisi sosial-budaya/adat istiadatnya ) serta

kondisi ekternal dimana daerah tersebut berbatasan ( temasuk

kondisi lingkungan negara tetangga yang berbatasan dengan

segala implikasinya)

(3) Model –model pembangunan masyarakat perbatasan

tersebut ,yang berbeda satu sama lainnya , harus terintegrasi

dari “hulu hingga hilirnya “ yang terjalin dalam suatu


“network planning and programm “) yang rapi ,dimana setiap

pihak terkait sudah dilatih akan tupoksinya masing-masing

,dan kapan mereka harus berperan sesuai dengan “ struktur “

dari jaringan tersebut ( tidak perlu saling menunggu apalagi

saling menyalahkan atau terjebak dalam ego sektoral)/pen.

( lihat : Ibrahim , 2012 d , 2015 ; Alamutahar ,2012)

b) Secara khusus perlu dipertimbangkan model Ketahanan Wilayah

sebagai salah satu model yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai

budaya bangsa Indonesia ,dengan berbagai variantnya ( lebih jauh

mengenai model ini , lihat : Ibrahim ,2012 a, b,c dan 2015 b.)

c) Umumnya belum ada tim pendamping yang benar-benar solid dan

216

profesional untuk mengoperasikan model-model pemberdayaan

masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan

masyarakat perbatasan setempat ( lihat : Ibrahim , 2015.b.)

d) Pemberdayaan masyarakat perbatasan luar, memerlukan

pendekatan multi budaya ( berarti kepiawaian menerapkan

manajemen multi budaya ,karena diperbatasan setidaknya

bergaul dengan budaya dari masyarakat negara tetangga yang

sedikit banyak mesti ada perbedaannya /pen.) ( lihat : Ibrahim,

2009, 2011)

e) Mungkin perlu dipikirkan bahwa CSR- CSR lebih diarahkan

untuk memberdayakan masyarakat diperbatasan luar karena

memang kenyataannya relatif “menyedihkan “ ,sehingga

kesenjangan yang mencolok antara masyarakat perbatasan luar


pada umumnya dengan masyarakat lainnya di NKRI ini dapat

diminimalisasi ,sebab jika tidak, dikhawatirkan nasionalisme

mereka dapat terkikis dan lebih “memuja “ negara tetangga

ketimbang negaranya sendiri yang begini besar ( pen.)

f) Nampaknya para elit politik kita, baik ditingkat nasional maupun

daerah, malah lebih sibuk dengan berlomba-lomba mengajukan

DOB yang nyata-nyata sudah banyak gagal ketimbang

berhasilnya ,ketimbang memberikan perhatian yang serius

terhadap daerah-daerah tertinggal ,terutama masyarakat di

wilayah-wilayah perbatasan ,suatu bentuk dan penampilan

perilaku dan budaya politik yang “menyedihkan” (pen.)

217

47) Mengapa “kita “ belum dapat menemukan formula atau model

pertumbuhan ekonomi kewilayahan dan PDRB yang potensial dalam

rangka menanggulangi pengangguran dan kemiskinan di daerah-

daerah , yang hingga saat masih menjadi masalah yang serius ?

Penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Beberapa hal yang masih perlu dikembangkan ,antara lain :

(1) Masih perlu ditingkatkan secara serius potensi-potensi dan

sekaligus juga dampak dari penggalian PDRB ,terutama yang

menyangkut pengentasan kemiskinan dan pengangguran

(2) Masih perlu peningkatan pemerataan infrastruktur

(3) Masih perlu peningkatan kualitas tenaga kerja lokal


(4) Masih diperlukan Perda-perda yang mengatur banyak hal ,

misalnya penganggaran penanggulangan kemiskinan dan

pengangguran secara memadai dan tidak dimanipulasi

(5) Perlu meningkatkan pengembangan sumber daya yang dapat

diperbarui tetapi harus dihindari perusakan lingkungan

dalam berbagai dimensinya

(6) Perlu skala-skala prioritas pembangunan di daerah-daerah

sesuai dengan skala prioritas keunggulan daerah masing-

masing ( lihat :Sidqi , 2013)

b) Jangan terlalu mengandalkan APBD karena hanya sebagian dari

PDRB,apalagi kalau APBDnya kurang merakyat dan sering

terlambat; harus dikembangkan sumber –sumber PDRB lainnya

(pen.)

218

c) Inilah “celakanya “ kalau banyak dari elit politik lokal yang

kurang mencerminkan “kepemimpinan transformasional “ ,

berperilaku KKN ( utamanya korup) , sibuk dengan bagi-bagi

kekuasaan ( misalnya sibuk dengan inisiatif pemekaran daerah ),

sehingga banyak organisasi/administrasi Pemda yang kurang

mencerminkan PKP dan OP , sehingga berakibat kurangnya

perhatian terhadap upaya-upaya meningkatkan PDRB

daerah/wilayah demi kepentingan rakyatnya ( pen.)

48) Ada apa dengan Kepemimpinan Kepala Desa (Kepala Desa dan

Lurah) ,sehingga belum dapat memberdayakan masyarakat desa dan


kelurahan sebagai “basis pembangunan kesejahteraan masyarakat

daerah “, belum baik ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Beberapa kelemahan yang masih terlihat ( terutama untuk kepala

desa) ,antara lain:

(1) Umumnya kepemimpinan kepala desa sedikit sekali yang

bersifat transformasional , lebih banyak yang bersifat

trsanskasional, bahkan tradisional dan bahkan masih banyak

juga yang neo feodal ;sehingga kurang mampu

memberdayakan anak buahnya/rakyatnya untuk mengubah

keadaan menjadi lebih baik/lebih sejahtera

(2) Banyak kepala desa /kelurahan yang belum mampu

memberdayakan masyarakat yang dipimpinnya dengan

memanfaatkan sebaik-baiknya nilai budaya setempat.

219

(3) Secara kualitatif kompetensi kepala desa (utamanya ) belum

sesuai dengan kebutuhan dan tantangan pembangunan

pedesaan sebagai basis pembangunan masyarakat

(4) Masih kurang fokus dan profesionalnya tim-tim pendamping

yang membantu kepala desa dalam kepmimpinannya untuk

menjadi kepemimpinan transformasional/perubahan, yang

dewasa ini memang sangat dibutuhkan

(5) Masih kurangnya beragam dukungan ,terutama anggaran

yang mencukupi ,untuk membangun desa yang dipimpinnya


dengan baik ( yang dewasa ini sedang diupayakan oleh

pemerintah pusat/pen.)

(6) Akibat hal-hal di atas, dengan kepemimpinan kepala desa yang

masih lemah, maka Pemerintahan Desa yang dipimpinannya

belum dapat menjadi fasilitator dan akselerator pembangunan

masyarakat desanya ( lihat : Bachtiar, 2013 ; Ibrahim,

2004,2005; Setiawan , 2011)

b) Kurang diprioritaskannya pembangunan desa sebagai dasar /basis

pembangunan masyarakat, akibatnya kewenenagan kepala desa

sering menjadi kurang jelas yang berakibat pada

kepemimpinannya yang “tanggung “ (lihat : Yansen TP, 2014

,dalam : sanggerderma.com ( 3-5-2015)

c) Beberapa kelemahan lainnya antara lain :

(1) Pemerintahan Pusat (setidaknya sampai 2015) memang kurang

memiliki “political will “ yang kuat untuk memberdayakan de-

220

sa (inkulsif kepemimpinan kepala desa dengan

perangkatnya/pen.)

(2) Beberapa hak yang belum dengan jelas diberikan kepada desa

(inklusif kepala desa dan perangkatnya sehingga

kepemimpinan mereka menjadi kurang jelas ) : hak untuk

mengatur dan mengurus urusan-urrusan pemerintahan

tertentu skala desa; hak untuk memberikan tanggung jawab

(hak dan kewajiban yang jelas terhadap masyarakat desa-nya)


(3) Belum jelasnya hak untuk menentukan sendiri cara

pengangkatan dan pemberhentian pimpinan desa

(4) Belum mantapnya hak kepala desa bersama masyarakatnya

untuk mempertahankan susunan asli termassuk hak asal usul

dari daerah ( desa ) yang sesungguhnya bersifat istimewa

(5) Belum jelasnya hak pimpinan desa untuk mempunyai harta

benda (desa ) sendiri dan sumber keuangannya sendiri

(6) Kewenangan desa yang pada umumnya masih simpang siur

perlu diatur kembali dengan jelas ( kewenangan asli dan

generiknya ; struktur administratifnya sehingga

memungkinkan adanya desentralisasi ,dekonsentrasi tugas

perbantuan desa; penyerahan urusan pemerintahan dari

pemkab/pemkot kepada desa ; standar pelayanan minimal

(SPM) nya , berbeda tipologinya dan syarat-yarat perangkat

pemerintahannya yang berbeda pula; kewenangan berbagai je-

nis pelayanannya ); perlu platform yang jelas tentang desa ,de-

221

wasa ini belum intensif dan belum jelas benar ( lihat :Soer-

janto , 1988 ; Kartohadikusumo ,1988 , dalam : Utoro & Andi

Wahyudi, 2008 ,dalam : download . portalgaruda. org ( 29-30-

2008)

d) Memang dalam kepemimpinan kepala desa dewasa ini masih terli-

hat berbagai kelemahan antara lain :

(1) Kepemimpinan kepala desa banyak yang belum efektif karena

sering belum jelasnya visi ---- kurangnya disiplin-----


kurangnya gairah dan hatinurani, sehingga misalnya

penggunaan anggaran desa kurang efektif( lagi pula dana desa

tersebut baru kelihatan aturannya yang jelas pada 2015 ini )

(2) Belum adanya diklat yang jelas untuk pemberdayaan kepala

desa dan aparat desa sehingga mereka leih berkualitas dalam

mengelola pemerinthan desa

(3) Dukungan dana desa yang selama ini “kurang jelas” baru

ditata pada 2015 ini ,itupun belum selancar yang diperkirakan

semula ,dimana peran Pemkab dan Kecamatan perlu

diperjelas,serta tim pendamping yang benar-benar profesional

untuk membantu pimpinan /aparat desa memberdayakan

mayarakat desa baik dalam dimensi SDM-nya, kapasitas

politiknya dan kapasitas perekonomiannya ( lihat : Kompas :

27-8- 2015 ;5, 8, 9,10, 11 September 2015 ; Pikiran Rakyat : 9,10

September 2015 ; Kusnadi ,2015; Anwar & Bambang

Jatmiko,dalam : upy. ac. id ; Setiawan ,2011)

222

49) Mengapa pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia

(SDM) yang mengelola sektor industri wisata di daerah-daerah belum

memenuhi kebutuhan kualitatif dan kuantitatif (belum baik),sehingga

industri wisata belum berjalan dengan baik, padahal dapat memberikan

kontribusi yang signifikan terhadap keuangan daerah ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Beberapa kelemahan yang masih ada antara lain :


(1) Banyak Pemda yang kurang menyadari bahwa industri wisata

sangat terganutng pada SDM ,baik pengelola maupun

masyarakat di lingkungan wisata tersebut, dimana semuanya

harus diberdayakan secara profesional

(2) Agar SDM yang bergerak di bidang industri wisata dapat

terintegrasi dengan baik, Pemda sudah seharusnya

mengintregrasikan semua SDM yang terkait dengan wisata

tersebut ,dalam suatau jaringan perencanaan dan program

wisata terpadu di daerahnya ( Bali dan Yogyakarta

merupakan model yang sangat settled mengenai hal ini ,dan

perlu daerah lain menyesuaikan dengan kondisi daerahnya

masing-masing) ( lihat : Yasrin , 2013 ; Ibrahim ,2012 d.)

b) Seperti telah disinggung sebelumnya ,beberapa hal yang masih

perlu dikembangkan ,terutama untuk SDM-nya,antara lain:

(1) SDM yang mengelola wisata perlu mengembangkan cara

beripikir global dan bertindak lokal ( glokalisasi )

(2) Perlu koordinasi yang baik antar SDM yang mengelola pariwi-

223

sata ; serta “rewards and punishments system “ yang obyektif

bagi seluruh SDM yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata

tersebut ; serta perlu didukung sarana-prasarana yang sesuai

dengan kebutuhan ( lihat : Djafar, 2013)

c) Masyarakat yang dijadikan obyek wisata harus diberdayakan

secara profesional “melestarikan” nilai-nilai budaya yang

dijadikan obyek wisata ,yang disesuaikan dengan tuntutan


perkembangan zaman ( terutama sarana-prasaran

pendukungnya) ( lihat : Ibrahim, 2012 d.)

d) Pemerintah ( terutama Pemda- pemda ) perlu berupaya sekeras

mungkin agar pariwisata di daerah-daerah sejauh mungkin

dikelola sendiri (misalnya BUMD) secara profesional dan bekerja

sama dengan pihak terkait dimanapun juga, dengan prinsip saling

menguntungkan ,jangan terkesan sering “dikerjain “ pihak luar

seperti sekarang ( terutama di luar Bali dan Yogyakarta) ( pen.)

e) Perlu digalakkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa

Indonesia sangat kaya dengan obyek-obyek wisata , dan harus

fokus dalam meningkatkan secara serius dalam memberdayakan

seluruh stakeholders yang terlibat dalam pariwisata secara besar-

besaran dalam rangka menghadapi berbagai keterbukaan yang

akan terjadi di depan kita ( menghadapi MEA, dan sejenisnya

yang makin berat tantangan dan sekaligus peluangnya, kita harus

setidaknya dapat menerapkan teori “E” ,yang esensinya

mengembangkan wisata kita semodern mungkin tetapi tetap mem-

224

pertahankan nilai-nilai budaya kita sendiri, sehingga menjadi

modern---canggih ---tapi berkepribadian sendiri ,jangan selalu

terjerat “efek air terjun” selalu membanggakan produk /merk

/konsep luar, tapi konsep luar boleh dimanfaatkan dengan

sentuhan budaya sendiri ,karena Indonesia ( daerah-daerah

Indonesia kaya dengan keunikan yang bermutu ( lihat : Ibrahim,

2009,2010)
50) Mengapa koperasi-koperasi di daerah-daerah pada umumnya belum

dapat mengintegrasikan Kinerja Keuangan dan Kinerja

Sosialnya,sehingga belum dapat berkembang secara berkelanjutan dan

belum dapat secara signifikan memberikan kontribusi bagi keuangan

daerah khususnya dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya yang

mestinya menjadi tujuan utama Otda ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Beberpa kelemahan yang masih ada ,antara lain :

(1) Memang rata-rata belum memfokuskan pentingnya kinerja

keuangan koperasi yang kuat

(2) Rata-rata koperasi –koperasi di daerah belum bersifat

“hybrid”( menggabungkan unsur-unsur pemda—swasta ---

masyarakat ) walaupun esensinya tetap koperasi ( lihat :

Dasuki, 2014)

b) Banyak koperasi terutama dilingkungan pegawai negeri berfungsi

sebagai alat membantu kekuasaan pimpinan , dimana kebijakan-

kebijakan pimpinan sering “menguras modal “ koperasi dan ku-

225

rang mensejahterakan anggotanya ( pen.)

c) Masih banyak anggapan bahwa koperasi itu lembaga sosial,

padahal mestinya tetap menerapkan prinsip-prinsip usaha tetapi

dengan tanggung jawab sosial tertentu , dan kualitas pengurusnya

banyak yang belum profesional dan sering terjebak KKN juga ,

serta lebih banyak operasionalnya sebagai leembaga “simpan

pinjam “ yang terbatas kegiatannya ( pen.)


d) Belum dijadikannua prinsip “koperasi” sebagai “soko guru

ekonomi” bangsa sesuai amanat Bung Hatta ,tetapi terjebak

dalam liberalisme –kapitalisme ; koperasi dikecilkan hanya dalam

bentuk usaha-usaha sederhana penopang saja, padahal makna

“koperasi “ demikian luas dan dikembangkan dalam berbagai

lembaga sosial dengan prinsip kerjasama dan kolaborasi ( pen.)

51) Mengapa Anggaran Berbasis Kinerja di daerah-daerah belum dapat

dilaksanakan sebagaimana mestinya ( sehingga wujudnya dalam

wajah /struktur APBD belum dapat benar-benar bertujuan

mensejahterakan rakyatnya ) ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain:

a) Beberapa kelemahan yang masih ada antara lain :

(1) Dalam prosesnya belum sistematis ,dalam arti pengeluaran

yang dilakukan belum diukur dengan kinerja yang

dihasilkannya serta belum memanfaatkan informasi kinerja

yang tersedia ( sudah seharusnya dicapai)

(2) Dalam prosesnya dokumen-dokumen perencanaan (RPJMD,

226

RPKD , dokumen-dokumen Renstra SKPD-SKPD , Renja

SKPD, Rencana Kerja Anggaran ( RKA-SKPD) “ belum

diselaraskan “ dengan indikator-indikator kinerja yang

hendak dicapai ( dimana indikator- indikator inilah yang

mestinya dituangkan dalam program-program yang

dilaksanakan SKPD-SKPD,tidak berjalan sendiri-sendiri/pen.)


(3) APBD yang dirancang belum sepenuhnya berfungsi sebagai

alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan

fundamental perekonomian daerah dalam proses

pembangunan untuk mensejahterakan rakyatnya

(4) APBD yang dirancang kebanyakan belum merupakan

alat/wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik

yang diwujudkan melalui program yang dirancang dalam

APBD tersebut

(5) APBD yang dirancang belum sepenuhnya,bahkan banyak yang

belum memenuhi fungsinya sebagai instrumen untuk

meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan

masyarakat di daerah , dan belum mencerminkan kebutuhan

riil masyarakat sesuai dengan potensi dan karaktersitik daerah

, serta belum dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran

daerah yang berorientasikan pada kepentingan masyarakat

dan akuntbailitas publik,sehingga belum mencapai sasarannya

secara optimal

(6) APBD yang dirancang banyak belum menduduki posisi sentral

227

dan vital dalam upaya mengembangkan kapabilitas dan

efektivitas pemerintahan daerah

(7) APBD yang dirancang belum dapat mencerminkan potensi

dan keunggulan daerah ,sehingga belum merupakan kebijakan

yang sesuai dengan semangat Otda itu sendiri


(8) APBD yang dirancang kebanyakan dalam prakteknya belum

dapat berfungsi sebagai alat untuk melakukan pengelolaan

keuangan daerah yang tertib, transparan dan akuntabel ,

sehingga tujuan utamanya untuk mensejahterakan masyarakat

dalam wadah “good governance and clean government” belum

tercapai/belum terwujud ( lihat : Suryanto ,dalam : bpkad .

natunakab . go . id)

b) Secara umum perilaku elit politik lokal dalam merancang APBD

masih terlihat antara lain : sarat kepentingan elit politik sendiri,

kurang menyertakan partisipasi masyarakat, bersifat tertutup,

sehingga berakibat antara lain :

(1) Kurang terpenuhinya fungsi APBD sebagai : fungsi otorisasi ,

fungsi perencanaan, fungsi pengawasan , fungsi alokasi, fungsi

distribusi dan fungsi stabilisasi , fungsi koordinasi, fungsi

komunikasi, fungsi motivasi , fungssi pengendalian dan

evaluasi, (mestinya juga fungsi umpan balik 360 derajat tepat

waktu/pen.)

(2) Belum terwujudnya tiga kegunaan pokok APBD sebagai

pedoman kerja ,alat pengkoordinasian kerja, serta alat penga-

228

wasan kerja Pemda

(3) Belum terpenuhinya asas-asas APBD : asas kesatuan , asas

universalitas, asas tahunan , asas spesialitas, asas akrual, dan

asas kas (lihat : Munandar ,1999, dan dalam :keuangan

daerah.net )
c) APBD kebanyakan belum memenuhi posisinya sebagai sarana dan

alat utama untuk menjalankan Otda yang nyata dan bertanggung

jawab ,kerena antara lain :

(1) Belum secara tepat menentukan jumlah pajak yang

dibebankan kepada rakyat dari daerah yang bersangkutan

(2) Belum merupakan sarana untuk mewujudkan dan menjadi

sarana Otda secara nyata

(3) Belum sepenuhnya “memberikan isi dan arti tanggung jawab “

Pemda pada umumnya ,kepala daerah khususnya , karena

APBD sudah seharusnya menggambarkan seluruh kebijakan

pmerintahan daerah

(4) Sering belum “merupakan suatu pemberian kuasa kepada

kepala daerah dalam batas-batas tertentu “ (malah sering

dilanggar batas-batas tersebut /pen.) ( lihat : Mamesah, 1995 ,

dalam : nurjatiwidodo . lecture . ub . ac. id )

d) Belum terwujudnya reformassi birokrasi keuangan didaerah

,dengan kenyataan antara lain :

(1) Belum terjadinya perubahan “mindsets” , pola sikap, pola

tindak yang demokratis di kalangan birokrasi daerah, teruta-

229

ma kelompok pengelola keuangan daerah

(2) Belum mencerminkan birokrasi sesuai dengan konsep NPM

(MPB ) dan NPS ( PPB) dengan ciri dari “penguasa” menjadi

“pelayan publik = mungkin lebih luwes “abdi

masyarakat” /pen.
(3) Belum mendahulukan “peranan” dari wewenang

(4) Masih berpikir “output(keluaran “) ketimbang “outcome atau

hasil/manfaat nyata “

(5) Belum mencerminkan manajemen kinerja

(6) Belum mencerminkan perwujudan “good governance”, belum

transparan , belum akuntabel ,dan belum bebas KKN(bahkan

masih kental KKN /pen.)

(7) Belum menerapkan formula :” Bermula dari akhir dan

berakhir di awal “ ( lihat : Wismar , dalam :

boyyendratamin.com)

e) Masih banyaknya masalah dalam proses perencanaan dan

penganggaran di daerah ( dalam penysusunan APBD) ,antara lain

(1) Intervensi hak budget dengan berbagai perilakunya dari

DPRD ( mengusulkan kegiatan yang menyimpang jauh dari

aspirasi masyarakat , jadual reses DPRD dan Musrenbang

yang tidak “matching” sehingga hasil Musrenbang mengalami

distorsi /deviasi yang besar, intervensi DPRD karena motif

politis dan ekonomi dan sejenisnsya /pen.)

(2) Pendekatan partisipatif dalam proses perumusan APBD yang

230

nyatanya masih menjadi “retorika belaka” ( Renbang yang

masih didominasi kebijakan kepala daerah , hasil reses DPRD

yang sering dipaksakan ,program SKPD yang “ego sektoral “)

(3) Proses perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran

(4) Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu


(5) “ Breakdown “ RPJD ke RPJMD ke RKPD seringkali

“tidak /kurang nyambung (tidak matching”)

(6) Kualitas RPJPD ,RPJMD dan Renstra SKPD yang masih

belum baik

(7) Terlalu banyak “oder”dalam proses perencanaan dari

berbagai pihak ,termasuk “ para pengusaha/kaum kaya”/pen.

(8) Koordinasi antar SKPD masih lemah

(9) SKPD, terutama yang alokasi anggarannya besar, ternyata

kurang memiliki SDM baik secara kualitaitf dan kuantitatif

masih kurang baik

(10) Evaluasi pemerintahan propinsi masih belum efektif

(11) Kualitas hasil Musrenbang ,sering tidak baik (kurang

mencerminkan aspirasi masyarakat yang sebenarnya )

(12) Pedomam Musrenbang yang masih kurang praktis dan

aplikatif

(13) Dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses

perumusan APBD sering hanya melihat “akar masalah “,

bukannya berorientasi outcome , dan pemahaman tentang

proyek (manajemen proyek ) belum dikuasai dengan baik

231

(14) Akibat dari permasalahan diatas ( sekitar 13 persoalan )

,terlihat antara lain:

(a) Besaran anggaran untuk birokrasi rata-rataa lebih besar

dari besaran anggaran untuk kepentingan rakyatnya


( hampir rata-rata 70 % berbanding 30 %, hanya sedikit

yang sebaliknya (dapat dihitung denga jari/pen.)

(b) Daya serap anggaran yang rendah ( kita sering ribut

kurang “duit” tapi nyatanya kelebihan “duit” ( SIAP yang

besar berkisar 30-40 % /pen.)

(c) Administrasi( kemampuan manajerial dan dukungannya)

Pelayanan Keuangan Daerah yang kurang baik/bahkan

banyak yang buruk /pen. ( lihat :Marbyanto ;

Fachturahman , dalam : rajawaligarudapancasila . blogspot .

com )

f) Belum dipenuhinya fungsi APBD menurut versi lainnya ,yang

relatif hampir sama ,antara lain :

(1) Sebagai alat perencanaan ( merumuskan tujuan serta sasaran

kebijakan pembangunan daerah sesuai visi—misi---

kebijakan/strtegi yang telah disepakati /pen., merencakanan

berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan ;

mengalokasikan sumber-sumber ekonomi ; menentukan

indikator dan tingkat pencapaian pembangunan )

(2) Berfungsi sebagai alat pengendalian ( mengendalikan

efektivitas dan efisiensi pengeluaran; membatasi kekuasan dan

232

kewenangan Pemda; mencegah “overspending dan /atau

underspending “ anggaran sesuai prioritas yang telah

ditentukan
(3) APBD sebagai alat kebijakan fiskal ( untuk menstabilkan

ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi , dorongan

dam koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat )

(4) APBD sebagai alat politik ( mementukan prioritas , dokumen

politik berupa komitmen eksekutif dan legislatif ;sebagai alat

politik; karenanya membutuhkan political skill , qualition

building ,keakhlian bernegosiasi , pemahaman yang baik

tentan prinsip manajemen keuangan publik , kegagalan dalam

melaksanakan anggaran yang telah disetujui ( legislatif) akan

dapat menurunkan kredibilitas atau menjatuhkan

kepemimpinan eksekutif )

(5) APBD sebagai alat koordinasi (antara unit kkerja dalam

organsiasi Pemda , anggaran yang baik mampu mendeteksi

terjadinya inkonseistensi suatu unit kerja dalam pencapaian

tujuan organisasi ; juga berfungsi sebagai alat komunikasi

antar unit kerja )

(6) APBD sebagai alat evaluasi kerja ( merupakan wujud

komitmen Pemda kepada pemberi wewenang (rakyat) untuk

melakasakan pelayanan publik ( yang prima mestinya/pen.) ,

kinerja Pemda akan dinilai berdasarkan target anggaran yang

dapat direalisasikan

233

(7) Aanggaran dapat digunakan untuk : memotivasi manajemen

Pemda agar bekerja secara efektif dan efisien ; anggaran akan

dapat memotivasi karyawan bila bersifat “challenging but


attainable “ atau “demanding but achieveable “ ; agar target

kinerja hendaknya ditetapkan dalam batas rasional yang dapat

dicapai

(8) Anggaran (APBD) dapat digunakan sebagai : alat

menciptakan ruang publik ( “public sphere” dalam arti proses

penyusunan anggaran harus melibatkan seluas mungkin

partisipasi masyarakat dengan berbagai kelompok dan

aspirasinya

(9) Selain hal-hal di atas pentingnya transparansi dan

akuntabilitas anggaran ; disiplin anggaran ;keadilan

anggaran ; efisiensi dan efketivitas anggaran (utamanya

efketivitas/pen.) ;serta format anggaran (yang disusun dalam

bentuk suprlus dan defisit ( “surplus ---defisit budgetting”)

( lihat :Mardiasmo , 2002 ,dalam :Bhaskoro ,dalam : civcsedu .

blogspot . com)

g) Banyaknya elit politik daerah (lokal) tersangkut persoalan hukum

( inklusif korupssi ABPD) ,sehingga sukar untuk menerapkan

anggaran berbasis kinerja , kendatipun misalnya (apalagi

tidak/pen.) struktur APBDnya sudah berbasis kinerja, tetap saja

“melenceng “

Hal-hal di atas terjadi antara lain karena :

(1) Minimnya pengetahuan sebagian elit politik lokal ( anggota

234
DPRD dan CEO Eksekutif Daerah ) tentang tata keuangan

negara dan tata pemerintahan daerah sesuai tuntutan

NPM( MPB) dan NPS( PPB)

(2) Pimpinan Daerah “sering “ mengleuarkan uang tanpa

pertanggungjawaban yang semestinya

(3) Terlalu gampangnya ( menganggap gampang) Parpol

merekrut calon kepala daerah mulai tingkat propinsi---

kabupaten---kota ,misalnya hanya dengan bermodalkan

“populeritas dan sumber dana yang kuat “ ,bukannya

“integritas dan kapasitas birokrasi dan kepemimpinannya “

(4) Mahalnya “pesta demokrasi “ pilkada langsung (yang tidak

serempak) ,dimana calon kepala daerah harus mengeluarkan

uang ekstra inklusif “money politics” agar memperoleh

dukungan yang diperlukan . Akibat lanjutannya setelah

menjadi kepala derah ,maka uang negara (anggaran daerah)

disalahgunakan untuk “menutupi pengeluaran selama

bertarung di pilkada sebelumnya “( tentu saja tidak pukul

rata/pen.) ( lihat : Moenek , 2014 ,dalam : nrmnews . com ( 20-

2- 2014 )

h) Lebih mendasar lagi ialah belum solidnya pemahaman para elit

politik lokal mengenai beberapa hal ,antara lain :

(1) Pemahaman desentralisasi belum sepenuhnya benar ,terlihat :

(a) Belum diselenggarakannya kewajiban pelayanan publik

yang lebih baik (dengan anggaran yang sudah diputuskan

235
tersebut dalam pelaksanaannya,alias kurang berbasis

kinerja/pen.)

(b) Belum efektif dan efisiennya pengeluaran sektor publik

daerah tersebut

(c) Belum terwujudnya proses pengambilan keputusan (dalam

rangka perumusan APBD) yang demokratis

(2) Belum sepenuhnyas diaplikasikan prinsip Otda ( yang luas dan

berkualitas , otonomi nyata yang tertanggung jawab dengan

ciri /kenyataan-kenyataan antara lain :

(a) Belum lancar dan belum teraturnya pembagunan di

seluruh wilayah

(b) Belum serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan

bangsa yang utuh

(c) Belum serasinya hubungan antara pusat dan daerah

(d) Belum terjaminnya pembangunan daerah secara

berkelanjutan ( setiap pilkada visi berubah-ubah

sementara visi yang lama belum rampung)

(3) Belum dipedulikan secara memadai beberapa konsep

pembangunan daerah sesuai Otda ,terutama oleh para elit

politik lokal ( tidak pukul rata ) antara lain dengan kenyataan-

kenyataan :

(a) Belum dibandingkan alternatif-alternatif pembangunan

masyarakat berkelanjutan yang sesuai dengan kondisi

daerah masing-masing

236
(b) Belum diterapkan dengan semestinya pemanfaatan

lingkungan dengan prinsip lestarinya ekosistem dan

regenerasi yang baik

(c) Belum diterapkannya alokasi modal (anggaran daerah)

sedemikan rupa, sehingga memungkinkan semua pihak

memiliki kesempatan untuk membangun kelompoknya

,baik secara ekonomi-sosial-kultural- politik- spiritual

(d) Belum dibiasakan menerapkan model pengambilan

keputusan (analisis kebijakan kebijakan publik—dalam hal

ini anggaran ) yang didekati secara sistemik/komprehensif

integral atau interdisiplin) (lihat: Danial A., 2014 , dalam :

endangdanial . wordpress . com ( Februari 2014 );

Ibrahim,2002 ,2006, 2012 a,b.)

52) Mengapa kebanyakan (lebih tepatnya masih banyak) para pengelola

keuangan daerah belum dapat menjalankan Tupoksinya dengan baik

dan belum profesional ,sehingga berakibat inefektivitas dan

inefisiensinya anggaran daerah = APBD )?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya ,antara lain :

a) Belum mantapnya pemahaman-penghayatan – dan aplikasi dari

setidaknya 10 materi pengelolaan keuangan daerah (APBD

utamnya ) dengan kenyataan-kenyataan antara lain sebagai

berikut :

(1) Belum ditepati dengan sepenuhnya cara penetapan APBD yang

seharusnya ,dengan berbagai dimensinya ( jangka waktu –pen-

237
jabaran dan prioritas oleh SKPD (bottom-up) --- checking oleh

Bappeda--- konsistensi RK dan perioritas anggaran oleh

lembaga-lembaga yang bertanggung jawab --- RAPBD dibahas

antara Eksekutif –Legislatif –legitimasi dalam Perda---

Perbup/Perwal)

(2) Anatominya belum rapi benar( anggaran disediakan untuk

apa saja--- dilaksanakan oleh siapa ---- apa yang akan

dihasilkan ---berapa batas tertinggi pengeluaran )

(3) Belum lengkap dan tepat waktunya dana yang tersedia ( dana

APBD--- dana dekonsentasi – dana tugas perbantuan)

(4) Belum solidnya sistem pengendalian intern yang dilakukan

(baik struktur organisasinya---penilaian risikonya – kegiatan-

kegiatan pengendalian yang terjalin dalam network yang jelas

dan rapi – kelengkapan informasi dan komunikasinya – serta

pelaksanaan pemantauan tepat waktunya (umpam balik 360

derajat tepat waktunya belum berjalan /pen.)

(5) Komponen pokok organsiasinya masih belum lengkap disana –

sini ( pejabat pembuat komitmen dibantu para pejabat

terkait )—pejabat penandatanganan- bendaharawan—unit

perencanan dan pelaporan dengan kelengkapannya, serta

masih kurangnya dukungan “e-budgettingnya “)

(6) Cara pemilihan penyediaan barang/jasa yang belum tepat

(7) Dokumen dasar belanja yang belum rapi dan belum lengkap

(8) Cara pembayaran yang belum sepenuhnya tepat waktu dan te-

238
pat sasaran dan belum tepat jumlah

(9) Perpajakan atas belanja negara/daerah yang belum rapi benar

(10) Pelaporan yang umumnya masih kurang baik

(11)Catatan : (1) sampai dengan (10) di atas belum disusun dalam

suatu “network planning and programm” yang jelas ( lihat :

Ibrahim , 2014,2015 ; star . bpkp . go .id ; Kuncoro, .

http://guskun .com / my- blog dst.)

b) Pelaku /pemangku pengelola keuangan daerah yang belum

seluruhnya benar-benar profesional dan banyak yang berperilaku

kurang memadai ( ada yang cerdas secara intelektual tapi

tidak/kurang cerdas secara emosional dan kurang cerdas secara

spiritual/pen) ( lihat : noldysalindo . blogspot . com )

c) Masih banyak kepala daerah yang sepertinya kurang peduli kalau

para pengelola keuangan di daerahnya kurang profesional,

“tenang saja “ kalau laporan keuangannya kurang baik ( lihat :

Sutianto ,2015 dalam : finance . detik .com( 4-5-2015)

d) Belum diupayakan untuk mengembangkan dan berupaya

mengimplementasikan “manajemen talenta “ dengan baik bagi

para pengelola keuangan daerah ( belum berkembangnya talenta

sesuai dengan siklus : “talent acquisition ( mengembangkan

pengelola keuangan daerah hingga memiliki talenta yang sesuai)

----“talent on-boarding /activation “(penerapan visi-misi-

kebijakan/strategi --- rencana/program dengan baik/pen.)---“talent

development “ ( pengembangan terus-menerus profesionalisme )

239
--- “talent retention “ ( berkomitmen untuk terus memelihara

profesionalisme secara konsisten tanpa terganggu oleh hal-hal

yang kurang baik)--- demikian seterusnya sebagai siklus yang

berkelanjutan,sehingga terjadi regenerasi yang positif ( lihat :

Said, 2015 dalam : Kompas , Sabtu 20 Juni 2015)

e) Beberapa kenyataan yang masih ada antara lain :

(1) Masih minimnya pemahaman pengelola keuangan daerah

tentang peran dan fungsi pengelolaan keuangan daerah

(meliputi belum baiknya penyusunan rencana pengelolaan

keuangan daerah , belum baik perumusan kebijakan

operasionalnya ,belum baiknya bimbingan , belum baiknya

penataan kas daerah , administrasinya yang belum baik juga ,

koordinasi yang masih kurang baik, evaluasi dan pelaporan

yang masih kurang baik, serta tatalaksana yang masih “red

tape “ ,dan sering ada tugas-tugas lain yang tumpang tindih,

serta sering terjerembab kedalam posisi “ambiguitas peran “)

(2) Sistem penganggaran daerah yang sering masih rigid /rumit

(3) Pengaruh “politik” yang sering terjadi dalam pengelolaan

anggaran

(4) Belum diaplikasikannya dengan baik fungsi pengelolaan

keuangan daerah ( akuntabilitas masih kurang , demikian

halnya “valaue for money” , kurangnya kejujuran , kurangnya

tranparansi dan pengendalian )

(5) Masih kurang serius dalam mengimplementasikan prinsip-prin

240
sip dasar pengelolaan keuangan daerah ( yakni masih kurang

taat pada peraturan-peraturan yang ada , masih kurang efektif

dan efisien , masih kurang ekonomis dan transparan , masih

kurang bertanggung jawab dan kurang berkeadilan ,serta

kurang memperhatikan manfaat utamanya bagi rakyat di

daerahnya) (lihat :Mardiasmo ,2002 ; dan dalam : acdemia . edu

; tesismanajemen .com)

f) Masih banyak perilaku pengelola keuangan daerah yang sering

tidak /kurang amanah dalam mengelola keuangan daerah , dengan

modus- modus “mengorupsi “ keuangan daerah ,antara lain :

(1) “Banyak juga pengusaha “ yang menggunakan pengaruh

pejabat pusat untuk membujuk kepala daerah untuk

mengintervensi pimpinan daerah/elit politik daerah (misalnya

untuk mengintervensi proses pengadaan dalam rangka

memenangkan pengusaha, meningggikan harga atau nilai

kontrak ,dan para pengusaha tersebut memberikan sejumlah

“gratifikasi “ kepada pejabat pusat maupun daerah ,sehingga

berakibat pengelolaan keuangan daerah kurang

merakyat /pen.)

(2) Hal yang sama dengan (1) tetapi mempengaruhi pimpinan

daerah untuk memenangkan “rekanan tertentu” dengan segala

gratifikasinya juga

(3) Sering juga “panitia pengadaan “ barang yang membuat

spesifikasi ke “merk “ atau produk tertentu untuk dimenang-

241
kan dan melakukan “mark up” harga barang atau nilai

kontrak

(4) Banyak juga pimpinan daerah yang memerintahkan

bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana atau

anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya ,kemudian

mempertanggungjawabkannya dengan menggunakan bukti

“fiktif”

(5) Sering juga pimpinan daerah memerintahkan bawahannya

menggunakan dana daerah untuk kepentingan pribadi

koleganya, atau untuk dirinya sendiri,kemudian

mempertanggungjawabkannya dengan bukti fiktif ,bahkan

menggunakan bukti yang kegiatannya fiktif juga sekalian

(6) Karap kali juga pimpinan daerah menerbitkan peraturan

sebagai dasar pemberian upah pungut atau dengan

menggunakan dasar peraturan yang lebih tinggi ,yang

sebnarnya tidak berlaku lagi

(7) Sering juga pengusaha, pejabat eksekutif dan legislatif

daerah , “bersepakat” melakukan “ruislag” atas aset Pemda

dan melakukan “mark-down” atas aset Pemda tersebut, serta

“mark –up “ atas aset pengganti dari pengusaha /rekanan

tersebut

(8) Ada juga pimpinan daerah yang menerima sejumlah “uang

jasa” ( dibayar di muka) dari pemenang tender sebelum

melaksanakan proyek

242
(9) Pimpinan daerah menerima sejumlah uang dari rekaman

dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan

selanjutnya

(10) Pimpinan daerah membuka rekening atas nama kas daerah

dengan “specimen pribadi “ ( bukan pejabat dan bendahara

yang ditunjuk) dengan maksud untuk mempermudah

pencairan dana tanpa melalui prosedur

(11) Pimpinan daerah meminta atau menerima “jasa giro “ atau

tabungan dana pemerintah yang ditempatkan pada bank

(12) Pimpinan daerah memberikan izin penglolaan sumber

daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki

kemampuan teknis dan finansial ,demi kepentingan pribadi

atau kelompoknya sendiri

(13) Pimpinan daerah menerima uang atau barang yang

berhubungan dengan “proses perizinan “ yang dikeluarkannya

(14) Pimpinan daerah ,keluarga atau kelompoknya membeli

lebih dulu barang dengan harga murah ,kemudian dijual lagi

kepada instansinya dengan harga “mark-up”

(15) Banyak juga pimpinan daerah meminta bawahannya untuk

mencicilkan barang pribadinya menggunakan anggaran

daerah

(16) Pimpinan daerah memberikan dana kepada pejabat

tertentu dengan beban kepada anggaran daerah dengan

alasan untuk pengurusan DAU/DAK

243
(17) Pimpinan Daerah memberikan dana kepada DPRD

setempat dalam rangka penyusunan APBD

(18) Pimpinan daerah mengeluarkan dana untuk perkara

pribadi dengan beban anggaran daerah

(19) Para pengelola keuangan daerah/pejabar-pejabat daerah

membeli lahan dari rakyat untuk pembebasan bagi proyek

tertentu dengan harga ralatif murah ,kemudian menjualnya

kemlbali kepada pengembang dengan harga yang lebih tinggi

demi kepentingan/keuntungan sendiri /pen. (lihat :Suprayitno,

2011 , dan :otdanews .com. (20-9- 2012 ; Deaton ,2015 dalam

Kompas ,Sabtu ,17 Oktober 2015)

(20) Catatan :pada f) (1) sampai dengan (19) di atas, memang

sepertinya berpusat pada pimpinan daerah ,tetapi akan berimbas

pada pengelola keuangan daerah yang lain ,yang akhirnya akan

menurunkan kualitas profesionalismenya .

g) Secara umum para pengelola keuangan daerah belum

mengimplementasikan “reformasi keuangan daerah “ dengan

kenyataan – kenyataan ,antara lain :

(1) Belum baiknya akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja

(memamg belum dapat mewujudkan anggaran daerah

berbasis kinerja sebagaimana mestinya sesuai tuntutan

reformasi manajemen keuangan daerah )

(2) Belum baiknya tingkat “keterbukaan “ dari setiap transaksi

keuangan daerah

244
(3) Belum menjadi manajer keuangan profesional ,atau setidaknya

memanfaatkan pihak-pihak yang memang profesional dalam

mengelola keuangan secara teknis sesuai tuntutan reformasi

(4) Belum dapat mengimplementasikan urgensi dari reformasi

keuangan daerah ,antara lain dengan kenyataan-kenyataan :

(a) Masih rendahnya efektivitas dan efisiensi keuangan

daerah ,akibat maraknya irrasionalitas para pejabat

pemerintahan daerah dalam mencoba

mengimplementasikan anggaran daerah (APBD) berbasis

kinerja

(b) Tidak adanya skala prioritas yang jelas yang dirumuskan

secara tegas dalam anggaran daerah

(c) Masih banyaknya kebocoran dan penyimpangan akibat

praktek KKN dalam anggaran daerah

(d) Masih rendahnya profesionalisme aparat pengelola

keuangan daerah ( lihat : Setiawan , dalam : old . bappenas .

go . id )

h) Memang kenyataannya SDM pengelola keuangan daerah yang

kenyataannya antara lain :

(1) Kekurangan SDM pengelola keuangan daerah ,khususnya

yang berlatar belakang “akuntansi “

(2) Penempatan SDM yang sering tidak tepat

(3) Tingkat pemahaman dasar dari staf keuangan mengenai

administrasi keuangan daerah yang masih lemah

(4) “Rewards and punishments system “ yang belum tepat dan ti-
245

dak obyektif

(5) Sarana dan prasarana serta proses pendidikan di perguruan

tinggi untuk mendukung pendukung pengembangan akuntansi

sektor publik masih membutuhkan perbaikan mutu ( lihat :

star . bpkp . go. id ( 9-6- 2014)

53) Mengapa Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum dapat menjadi “modal

dasar” Pemerintahan Daerah untuk mendapatkan dana pembangunan

yang menunjang pembangunan daerah dengan baik ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya ,antara lain :

a) Karena ternyata memang :

(1) Rasio Kemandirian Daerah pada umumnya masih rendah

;yakni jumlah PAD yan didapatkan terutama dari pajak dan

retribusi daerah yang nantinya akan dikembalikan dalam

bentuk pelayanan publik yang makin baik ,dalam

kenyataannya di bandingkan dengan bantuan Pemerintah

Pusat dan Propinsi serta Pinjaman ,rasionya memang masih

rendah, ketergantungan kepada pemerintah pusat dan

propinsi serta pinjaman, umumnya masih tinggi

Rumusnya : ___________PAD__________________________
Bantuan Pem.Pusat /Propinsi dan Pinjaman

(2) Rasio Efisiensi Keuangan Daerah umumnya juga belum

baik,karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD

(Pajak dan Retribusi ) dibandingkan dengan Realisasi

Penerimaan PAD nya masih tinggi, bahkan sering pada sebagi-


246

an daerah relatif seimbang

Rumusnya : Biaya untuk memungut PAD


Realisasi Penerimaan PAD

(3) Rasio Efektivitas Keuangan Daerah pada umumnya juga

masih kurang baik ( kategori efektif minimal sebesar : 1,0 )

Rumusnya : Realisasi Penerimaan PAD(RP-PAD) X 100 %


Target Penerimaan PAD (TP-PAD

(4) Kalaupun banyak retribusi sering “menyengsarakan “

masyarakat karena terkesan dipaksakan demi PAD ,yang

akhirnya menimbulkan dampak negatif dalam berbagai hal

(lihat : Halim,2004 dalam Suryanto ,dalam : bpkd . natuna. go .

id ; Ibrahim , 2014, 2015)

b) Belum efektif dan belum efisiennya sumber-sumber PAD yang

mestinya dikumpulkan secara “elegan “ (yakni pajak dan retribusi

serta sumber-sumber lainnya ) ,sehingga peran PAD dalam APBD

masih kurang signifikan ( secara “elegan” maksudnya memang

sudah seharusnya menjadi kewajiban wajib pajak dan retribusi

yang benar , serta tidak dipungut dengan cara-cara yang justru

dipaksakan dengan dalih PAD /pen.) ( lihat : Ibrahim,2014,2015)

c) PAD belum dapat diandalkan ,selanjutnya karena pada umumnya

disebabkan beberapa hal,antara lain:

(1) Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah

(2) Umumnya memang masih kecil perannya dalam total

penerimaan daerah

(3) Kemampuan administrasi pemungutan pajak/retribusi masih


247

rendah, terutama sejak pendataan –prsoses-teknik

pemungutannya yang kurang efektif-efisien

(4) PAD sebagai modal dasar Pemda mendapatkan dana

pembangunan belum seluruhnya secara obyektif dan secara

elegan dipungut, misalnya meliputi :

(a) Hasil pajak daerah

(b) Hasil retribusi daerah

(c) Hasil pengelolaan kekayan daerah yang dipisahkan :

bagian laba atas penyertaan modal dalam BUMD; bagian

laba atas penyertaan modal dalam BUMN ; bagian laba

atas penyertaan modal pada perusahaan swasta dan

kelompok masyarakat

(d) Lain-lain sumber PAD yang sah : hasil penjualan kekayan

daerah yang tidak dipindahkan ; jasa giro ; pendapatan

bunga; penerimaan atas tuntutan ganti rugi kerugian

daerah ; penerimaan komisi, potongan atau bentuk lain

akibat dari penjualan dan atau jasa oleh daerah ;

penerimaan keuntungan selisih nilai tukar rupiah pada

mata uang asing ;pendapatan denda atas keterlambatan

pelaksanaan pekerjaan ; pendapatan denda pajak ;

pendapatan denda retribusi ;pendapatan hasil eksekusi

atas jaminan; pendapatan dari pengembalian ; pendapatan

dari fasilitas sosial dan fasilitas umum ; pendapatan dari

angsuran /cicilan penjualan ,dan lainnya yang sah seperti :


248

hibah dari berbagai sumber , dana darurat , dana bagi

hasil dari propinsi dan daerah tetangga /lain , dana

penyesuaian dana otonomi khusus ,dan lainnya

(5) Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan daerah

pada umumnyaa yang masih lemah ( lihat : Mamesah , 1995 ;

Mahi, 2000 ,keduanya dalam :nurjatiwidodo . lecture . ub . ac.

id)

d) Belum rapinya manajemen PAD pada umumnya meliputi antara

lain :

(1) Belum maksimalnya manajemen pajak untuk propinsi dan

kabupaten dan kota, terutama manajemen PKB dan BBN KB

(2) Belum baiknya manajemen pajak bahan bakar kenderaan

bermotor (PBBKB)

(3) Demikan halnya manajemen pajak Hotel dan Restoran

(4) Hal yang sama pada beragam manajemen pajak hiburan :

beragam pertunjukan atau keramaian ( disko, live music,

karaoke , pub, klub eksekutif ; pergelaran musik dan tari ;

bioskop film ; pertunjukan kesenian ; permainan

ketangkasan ; mandi uap, Spa , steambath ; biliard, bowling

dan sejenisnya ; pertunjukan /pertandingan olah raga ;

hiburan insidental ; pertunjukan permainan di tempat ,dan

sejenis ; pajak reklame ; penerangan jalan ; parkir ; retribusi

daerah ; pajak BUMD ; dan lain-lain yang sah ( lihat :

Zulkifli , dalam : zoel66 . blogspot. com ; Jumroh ,2013 )


e) Khusus pemungutan retribusi ternyata masih banyak yang belum

249

baik ,meliputi antara lain retribusi pelayanan kesehatan ,

pelayanan persampahan/kebersihan , retribusi penggantian biaya

cetak KTP dan catatan sipil, retribusi pelayanan pemakaman dan

pengabuan jenazah , retribusi pelayanan parkir tepi jalan umum,

retribusi pelayanan pasar,retribusi pengujian kenderaan

bermotor , retribussi pemeriksaan alat pemadam kebakaran ,

retribusi penggantian biaya cetak peta , retribusi pengujian kapal

perikanan , retribusi pemakaian kekayaan daerah , retribusi jasa

usaha pasar grosir dan pertokoan , retribusi jasa usaha tempat

pelayanan, retribusi jasa terminal, retribusi jasa usaha tempat

khusus parkir , retribusi jasa usaha tempat

penginapan/pesanggerahan/ villa , retribusi jasa usaha penyedotan

WC/kakus, retribusi jasa usaha rumah potong hewan , retribusi

jasa usaha pelayanan pelabuhan kapal, retribusi jasa usaha

tempat rekreasi /olahraga , retribusi jasa usaha penyeberangan di

atas air , retribusi pelayanan jasa usaha pengolahan limbah cair ,

retribusi pelayanan jasa usaha penjualan produksi , retribusi

usaha daerah , retribusi IMB , retribusi izin tempat penjualan

minuman beralkohol, retribusi izin gangguan , retribusi izin

trayek ( lihat : Saragih ,2003 ; Halim,2004 ,keduanya dalam

Bhaskoro ,dalam : civicsedu . blogspot . com)


f) Profesionalisme para pemungut beragam sumber PAD ,berikut

sarana prasarananya masih perlu ditingkatkan,agar PAD selain

dapat dipungut secara “elegan “ sekaligus akan menjadi efektif

250

dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi secara

signifikan terhadap APBD ( lihat : Ibrahim, 2014 ,2015)

g) Kebijakan peningkatan PAD masih sering mengorbankan

kepentingan jangka panjang yang lebih luas, yakni pengembangan

investasi sektor swasta ; serta belum optimalnya upaya-upaya

peningkatan PAD dan investasi ( melalui intensifikasi dan

ekstensifikasi pajak , negosiasi ulang dengan pihak ketiga ,

optimalisasi sumbang pihak ketiga dan lainnya ) ; peningkatan

investasi ( melalui dukungan infrastruktur dasar dan penunjang

politik dan hukum , revitalisasi institusi di bidang investasi , kerja

sama regional , kemudahan informasi ,dan pemberian fasilitas

insentif) (lihat : Deddy , dalam : bappenas . go . id)

h) Yang jelas perilaku KKN( utamanya korupsi ) yang masih ada di

kalangan yang mengelola PAD juga turut merusak kontribusi

PAD terhadap APBD ( pen.)

54) Mengapa Sistem Informasi Manajemen Daerah ( SIMDA) utamanya

Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerahnya , belum

diaplikasikan dengan baik,sehingga memberikan kontribusi terhadap

inefektivitas dan inefesiensi keuangan daerah pada umumnya ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :


a) Karena masih kurang profesionalnya para pengelola SIMDA baik

piranti lunak dan kerasnya, maka kondisinya sampai dengan 2014

,antara lain :

(1) SIMDA secara umum baru diimplementasikan 364 dari 627

251

Pemda ( 69,07 %) , dan secara terperinci lebih lanjut :

(a) Implementasi SIMDA Keuangan Daerah : 300 Pemda

(b) Implementasi SIMDA BMD : 273 Pemda

(c) Implementasi SIMDA Gaji : 97 Pemda

(d) Implementasi SIMDA Pendapatan : 20 Pemda

(2) Dengan kenyataan-kenyataan di atas maka Aplikasi SIMDA

Keuangan Daerah yang yang masih kurang baik,meliputi :

(a) Penganggaran (RKA , RAPBD, Rancangan Penjabaran

APBD serta perubahannya , Dokumen Pelaksanaan

Anggaran )

(b) Penatausahaannya : Surat Penyediaan Dana , Surat

Permintaan Pembayaran ,Surat Perintah Membayar ,SPJ ,

Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) , Surat Tanda

Setoran (STS) ,beserta register-register dan formulir-

formulir pengendalian anggaran lainnya

(c) Akuntansi dan Pelaporan : Jurnal, Buku Besar , Buku

Pembantu, Laporan Keuangan ( Laporan Realisasi

Anggaran,Laporan Arus Kas dan Neraca) ,Perda

Pertanggungjawaban dan Penjabarannya


(d) Akibatnya : hal-hal di atas belum diakses dengan baik oleh

para stakehloders , baik internal maupun eksternal

(masyarakat luas)

(3) Demikian halnya dengan SIMDA BMD (Barang Milik Daerah)

dan lainnya ( SIMDA Pendapatan , kecuali aplikasi komputer

252

SIMDA Gaji yang sudah cukup baik ( lihat :bpkp . go . id)

b) SIMDA Keuangan Daerah tersebut di atas mestinya lebih rinci

diaplikasikan dengan media sosial ( komputerisasi) dalam bentuk

yang telah diatur yakni : implementasi secara nyata Sistem

Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah ( SIPKD) , tetapi

karena masih kurangnya kemampuan pengelolanya , baik secara

kuantitatif dan kualitatif, serta sarana pendukungnya ,akibatnya

secara umum “belum dapat diakses dengan baik secara

transparan “, antara lain , mengenai masih kurangnya :

(1) Kejelasan peranan dan pertanggungjawaban kebijakan fiskal

(2) Ketersediaan informasi keuangan daerah yang lengkap dan

akurat

(3) Keterbukaan dalam perencanaan ,pelaksanaan dan pelaporan

anggaran daerah

(4) Jaminan independensi atas kebijakan fiskal

(5) Ruang Lingkup SIPKD itu sendiri ,meliputi :

(a) Data Keuangan Utama dari APBD

(b) Dana Perimbangan Pusat dan Daerah yang diterima

(c) Neraca Daerah


(d) Laporan Arus Kas

(e) Catatan terhadap Laporan Keuangan Daerah

(f) Laporan Keuangan Perusahaan Daerah ,dan lainnnya yang

dianggap perlu

(6) Demikan juga tampilannya :

253

(a) Berupa Informasi Umum : yang dapat diakses oleh seluruh

lapisan masyarakat

(b) Berupa Informasi Khusus : yang disajikan untuk

pengambil kebijakan khusus/terbatas

(c) Pada dasarnya SIPKD dapat diakses setiap orang

,kelompok ,lembaga ,sesuai kebutuhan yang bersangkutan

(7) Dukungan jaringan pengelolaan SIPKD tersebut : bersifat “e-

budgetting /finance” dalam jaringan (networks) intranet dan

internet , perangkat keras dan lunaknya ,termasuk program

aplikasi pengiriman data keuangan ( menu penyajian website)

(8) Kewajiban Daerah untuk menyampaikan informasi keuangan

daerah secara berkala melalui dokumen tertulis dan media

lainnya dengan batas waktu yang ditentukan (kenyataannya

sering terlambat )

(9) Dengan 6 Basis Pengembangan dan Koordinasinya :

(a) Wilayah I (Aceh,Sumatera Utara,Sumatera Barat,Riau dan

Riau Kepulauan dengan Kantor Regionalnya di Propinsi

Sumatera Barat )
(b) Wilayah II ( Sumatera Selatan ,Jambi, Bangka Belitung ,

Bengkulu , Lampung , dengan kantor Regionalnya di

Propinsi Sumatera Selatan )

(c) Wilayah III( DKI Jakarta, Jawa Barat , Banten, dengan

kantor Regionalnya di Propinsi Jawa Barat )

(d) Wilayah IV ( DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur ,

254

Nusa Tenggara Barat ,Nusa Tenggara Timur ,dengan

kantor Regionalnya di Propinsi Jawa Timur )

(e) Wilayah V ( Kalimantan Barat , Kalimantan Tengah ,

Kalimantan Timur ,Kalimantan Selatan ,dengan kantor

Regionalnya di Propinsi Kalimantan Timur

(f) Wilayah VI ( Sulawesi Selatan , Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara , Sulawesi Barat ,

Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat,

dengan kantor Regionalnya di Propinsi Sulawesi

Selatan( lihat : Ibrahim, 2015)

55) Mengapa beragam dokumen anggaran daerah “masih dikuasai

birokrasi daerah “ ( atau tertutup sifatnya hanya di lingkungan terbatas

stakeholders internal) ,kurang memberikan peluang kepada masyarakat

( sebagai “stakeholders external”) untuk mengaksesnya serta

berpartisipasi dalam perencanaan, perumusan ,pelaksanaan ,dan

evaluasi pelaksanaan anggaran daerah tersebut ?

Beberapa penyebab dan kenyataannya antaraa lain:


a) Seperti telah disinggung dalam banyak sumber di atas, memang

pemahaman akan reformasi pemerintahan umumnya dan

reformasi keuangan khususnya ,rata-rata belum merefleksi dalam

budaya politik dan perilaku administrasi keuangan di kalangan

birokrasi, utamanya dimotori para elit politik lokal. Mestinya

reformasi keuangan daerah itu dimaknakan sebagai

“demokratisasi berdasarkan nilai-nilai demokrasi kita sendiri “

255

(demokrasi Pancasila lengkap dengan pola pikirnya) ,yang

esensinya perumusan kebijakan anggaran daerah mestinya

merupakan titik temu antara “bottom –up dan top- down”)

nyatanya lebih banyak berisifat “ top down “ (maunya

pemerintahan daerah ) ,kalaupun ada upaya musrenbang dan

sejenisnya ,dalam kenyataanya berkutat pada kepentingan

birokrasi (terutama kelompok elit politik lokal dengan

“gerombolannya “)

Musyawarah mufakat sering diartikan : “apa maunya pimpinan

birokrasi agar semua setuju saja “( sering sekali dalam suatu

proses pengambilan keputusan di kalangan birokrasi ,apalagi

menyangkut anggaran , terbiasa seperti ini : Pimpinan sesudah

memberikan pengarahan ,lantas menekankan dengan kata-

kata :”Ini kita sepakati ya , kemudian disahkan”,seolah-olah

musyawarah tetapi “musayawarah miring , “top down” juga pada

dasarnya
Atau para elit politik beragumentasi berkepanjangan ,kemudian

nego-nego miring juga , sehingga menghasilkan konsep anggaran

yang disamping terlambat ,hasilnya ternyata tidak merakyat

,inilah kenyataan pahit yang masih ada ( padahal diumumkan

sudah menjaring aspirasi masyarakat,nyatanya masyarakat

hanaya di atasnamakan saja (pen.)

b) Pada umumnya “birokrasi pemerintahan daerah “ merasa

pihaknya yang maha mengetahui daerahnya,kebutuhan masyara-

256

kat daerahnya ,karenanya tidak perlu tahu,cukup terima saja

( persis “raja-raja kecil” yang sangat dikhawatirkan akan terjadi

dengan fokus Otda pada Tk.II pada waktu perumusan model

Otda tersebut di DPR-RI menjelang lahirnya UU Otda daerah

waktu itu ( 1999) ; maka akibatnya pihak birokrasi daerah merasa

“dokumen-dokumen anggaran itu tidak perlu terbuka”,dengan

alasan sudah ada DPRD sebagai wakil rakyat, padahal banyak

wakil rakyat yang sebenarnya “derajat keterwakilannya secara

obyektif “ kurang baik / rendah( pen.)

c) Pada kenyataannya “e-budgetting “ sebagian besar masih “jauh

panggang dari api” , bagaimana pula keterbukaan dan

akuntabilitas keuangan daerah secara transparan dapat diakses

masyarakat ( pen.)

d) Perilaku koruptif, sarat kepentingan pribadi dan kelompok di

kalangan birokrasi (utamanya elit politik lokal dan

“gerombolannya”) nyaris menjadi budaya, mana mungkin


mereka rela semua dokumen keuangan daerah harus terbuka

(pen.)

e) Dan lain-lain penyebab dan kenyataan-kenyataan yang bervariasi

antar daerah ,yang esensinya memang masih ada semacam

“keengganan” di kalangan birokasi pemertinhan daerah untuk

untuk transparan dan akuntabel ,karena berbagai sebab yang

dapat ditemukan beragam jenisnya di daerah-daerah ( dapat

didiskusikaan contoh-contohnya secara nyata )( lihat berbagai ha-

257

sil penelitian ,dalam :Wulandari,2015 dalam Pikiran Rakyat (PR) 2-

7-2015)

56) Mengapa Reformasi Keuangan (Daerah ) belum berjalan dengan baik

,sehingga berakibat anggaran daerah tidak demokratis, tidak efektif dan

seklaigus tidak efisien ?

Berbagai penyebab dan kenyataan-kenyatan “pahit “ yang masih

ada ,antara lain :

a) Memang pada umumnya Birokrasi Keuangan didaerah

kenyataan-kenyataannya antara lain :

(1) Belum mampu mengubah “mindsets” , pola sikap dan pola

tindak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri

Catatan : Mindsets sesuai reformasi hendaknya dimaknakan

kembali kepada pola pikir sesuai nilai-nilai demokrasi

Pancasila ,yakni : saling memberi , mengutamakan

kepentingan umum diatas kepentingan pribadi /golongan,

gemar bermusyawarah untuk mufakat dan berpikir sistem


dalam pendekatan pemecahan masalah ,nyatanya “jauh

panggang dari api “/pen.

Pola pikir ini secara reflektif harus menjadi pola sikap dan

pola tindak dalam kenyataannya

(2) Belum mampu mengubah peran birokrasi sesuai dengan

tuntutan MPB dan PPB , yang mestinya dari sikap “penguasa”

menjadi “pelayan publik” (atau lebih sopannya “ abdi

masyarakat “)

258

(3) Belum mampu mendahulukan peranan dari kekuasaan/

wewenang ( sering bersikap “ saya yang menentukan” bukan

“lebih senang menerima masukan lebih dulu “

(4) Masih berpikir “keluaran (output)”, bukannya berorientasi

“out come (hasil”) , apa manfaatnya bagi masyarakat dan

berpikir manfaat jangka panjang, bukan “keluaran sesaat”

yang dapat saja sepertinya sukses ,padahal merusak dijangka

panjang ( contoh yang sederhana ialah memberikan izin lahan

gambut dijadikan kebun sawit ,memang mendatangkan

“keuntungan jangka pendek ,misalnya menambah PAD”, tapi

celaka untuk jangka panjang, dimana jika terjadi kebakaran

lahan gambut yang masih ada sukar dipadamkan,karena air

cadangan di bawah permukaan sudah relatif kering, karena

kebun sawit pada dasarnya merusak “reservoir air tanah

/inklusif air dibawah permukaan gambut “ )


(5) Belum memanfaatkan dengan baik konsep manajemen kinerja

dan manajemen pelayanan publik dengan baik ,dimana

mestinya kinerja berujung pada hasil ,dan pelayanan publik

dengan menerapkan pelayanan publik yang prima ( dapat 8

kriteria dari Denhart et.al ,atau 5 kriteria dari Amin Ibrahim)

(6) Sepertinya merasa “gengsi “ kalau melakukan

“benchmarking” dari aplikasi suatu pemerintahan (skala

daerah) , yang nyata-nyata telah berhasil mewujudkan

“kepemerintahan yang baik atau good governance” transparan

258

, akuntabel ,bebas KKN

(7) Belum mengubah strategi yang menerapkan formula “bermula

dari akhir dan berakhir di awal”( lihat : Ibrahim ,2012 d, 2014,

2015 ;Wismar ,dalam : boyyendratamin . com )

b) Selanjutnya berbagai aspek utama dari Reformasi Birokrasi dan

Reformasi Manajemen Keuangan Daerah-nya oleh para birokrat

daerah dalam kenyataannya ,antara lain :

(1) Belum adanya upaya-upaya yang sistematis ,terpadu dan

komprehensif integral untuk mewujudkan “good

governance” ,yang meliputi aspek-aspek : kelembagaan ---

SDM aparatur----ketatatalaksanaan --- akuntabilitas ----

pengawasan ----- dan pelayanan publik ( yang mestinya

prima /pen.)

(2) Khusus dalam mengelola keuangan ,para birokrat keuangan

dalam kenyataannya :
(a) Masih belum sepenuhya mengubah sistem anggaran

tradisonal (“line items”) menjadi anggaran berbasis

preatasi kerja atau berbasis kinerja (produk layanan

keuangan yang mendsejahterakan rakyat /pen.)

(b) Belum sepenuhnya mengadakan perubahan kelembagaan

pengelolaan keuangan daerah dari sistem sentralisasi

daerah ,menjadi sistem desentralisasi kemasing-masing

satuan kerja

(c) Belum sepenuhnya melakukan perubahan sistem tatabuku

tunggal ( single entry sistem) ,menjadi sistem tatabuku ber-

259

pasangan (“entry system “)

(d) Belum sepenuhnya melakukan perubahan basis akuntansi

dari “basis kas” menjadi “ basis akrual “ ( lihat : Zulkifli ,

dalam : zoel66 . blogspot . com ; Hasrida, 2011, dalam :

idhananda . blogspot. com ( 24-3-2011)

c) Belum sepenuhnya memenuhi tuntutan reformasi manajemen

keuangan yang dapat beradaptasi terhadap perkembangan

lingkungan strategis yang berlaku dewasa ini, dengan masih

adanya kenyataan-kenyataan antara lain sebagai berikut :

(1) Belum memenuhi tuntutan “ New Public Financial

Management (NPFM “) , yang mestinya mengembangkan

pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran

sektor publik dengan teknik :misalnya anggaran kinerja

( “prformance budgetting “) ,dapat juga “zero based


budgetting” ,atau “planning – programming and budgetting

system”( PPBS) ( kita lebih mengutamakan anggaran kinerja

demi kepentingan kesejahteraan rakyat )

(2) Belum dipenuhinya prinsip-prinsip baru sistem anggaran

publik dengan kenyataaan-kenyataan antara lain :

(a) Belum didekati secara komprehensif integral ( pendekatan

sistemik= pendekatan interdisiplin= utuh menyeluruh/pen.)

(b) Belum terintegrasi lintas SKPD

(c) Belum didasarkan kepada keputusan yang rasional( skala

prioritas yang nyata /pen.)

260

(d) Belum berorientasi jangka panjang (hasil / manfaat)

(e) Belum tercermin dalam rangkaian spesialisasi tugas dan

perankingan prioritas

(f) Belum berdasarkan “ total cost and benefit “

(g) Masih terlalu beorientasi “ input---output” ,bukannya

“outcome /value for money “ atau berorientasi kinerja

(3) Belum sepenuhnya menggambarkan prinsip manajemen

keuangan yang baik dalam rangka reformasi , dengan

kenyataan –kenyataan :

(a) Akuntabilitasnya masih rendah

(b) Demikian halnya pemenuhan tolok ukur “value for

money”nya

(c) Belum sepenuhnya jujur

(d) Belum sepenuhnya transparan


(e) Belum dikendalikan dengan baik

(4) Belum sepenuhnya dipenuhinya hak dasar masyarakat dalam

rangka reformasi pengelolaan keuangan daerah, dengan

kenyataan-kenyataan ,antara lain :

(a) Belum dipenuhinya hak dasar masyarakat untuk

mengetahui kebijakan anggaran dan keputusan anggaran

daerah

(b) Belum dipenuhinya hak dasar masyarakat untuk diberi

informasi ( “right to be informed”) mengenai : penjelasan

terbuka atas masalah-masalah keuangan daerah yang men-

261

jadi perhatian masyarakat , serta hak masyarakat untuk

didengar aspirasinya

(5) Belum dipenuhinya pemberdayaan daerah/masyarakat melalui

pengelolaan keuangan daerah ,dengan kenyataan-kenyataan

antara lain :

(1) Banyak pengelolaan keuangan daerah belum bertumpu

pada kepentingan publik

(2) Belum jelasnya misi-misi pengelolaan keuangan daerah

untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat daerah

(3) Belum mencerminkan transparansi dan akuntabilitas

secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran

(4) Anggaran daerah belum dikelola dengan pendekatan

kinerja ( “performance oriented” ) untuk seluruh jenis

pengeluaran maupun pendapatan


(5) Anggaran daerah belum mampu menumbuhkan dengan

baik profesionalisme kerja di setiap organisasi dalam

lingkup Pemda ( misalnya SKPD-SKPD)

(6) Anggaran derah belum sepenuhnya dapat memberikan

keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan

pegelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip “value

for money “ ( lihat : Akbar ,2002 ; Mardiasmo,2002

keduanya dalam :Hasrida 2011 dalam : idhananda .

blogspot . com( 24-3- 2011)

d) Akhirnya yang paling mendasar ialah dikalangan kita sendiri,ia-

262

lah belum ada persepsi yang sama mengenai makna reformasi itu

sendiri ,karena ada yang menafsirkan “mari memarakkan

liberalisme /kapitalisme “karena komunisme telah “collapse”; ada

pula yang menafsirkan “kebebasan sepenuhnya “ , pendeknya

semacam “balas dendam terhadap era sebelumnya “ . Inilah

semacam kebiasaan buruk kita di Indonesia yang sering terjebak

dalam persepsi “deregimisasi total” terhadap rezim(regim)

sebelumnya seolah tidak ada baiknya ,tanpa “belajar dari sejarah

“ sebagaimama mestinya

Sesungguhnya reformasi di Indonesia esensinya adalah

“demokratisasi ,menata kembali demokrasi Pancasila secara

benar”,karena selama ini kita sering mengatasnamakan Pancasila

saja. Jadi pada dasanrya reformasi menyeluruh dewasa ini ialah

bagaimana kita menata administrasi ( kemampuan manajerial dan


beragam dukungannya= penyelenggaraan ) pemerintahan

ditingkat manapun , dengan mengamalkan nilai-nilai dempokrasi

Pancasila sejak tataran filosofisnya---ideologisnya--- wawasan

kebangsaannya----metode berpikirnya --- konsep keberhasilan

pembangunannya --- kebijakan/strategi --- rencana /program

pembangunan bangsa ,dimana Otda dewasa ini diartikan

desentralisasi yang luas dan berkualitas dalam rangka

mengamalkan nilai-nilai demokrasi Pancasila itu secara nyata

dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat- berbangsa –

bernegara ( lihat :Ibrahim,2002,2006, 2014,2015)

263

57) Mengapa tatakelola keuangan daerah masih saja bermasalah ,sehingga

keuangan daerah belum efektif dan efisien dalam berbagai performanya

secara keseluruhan ?

Penyebab –penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Memang tatakelola keuangan daerah masih bermasalah dengan

kenyataan-kenyataan “pahit” antara lain :

(1) Masih banyaknya pelanggaran hukum dalam tata kelola

keuangan daerah yang merupakan masalah serius yang harus

segera dibenahi agar dapat mengoptimalkan penggunaan

keuangan daerah untuk program –program kemakmuran

rakyat

(2) Parahnya, masih banyak aparat Pemda (utamanya para elit

politik lokal dan pengelola keuangan daerah yang menganggap

uang anggaran daerah itu (uang negara = uang rakyat) sebagai


“uang nenek moyangnya sendiri “ .Mereka terus meminta

kepada bendahara ,namun penggunaanya untuk kepentingan

sendiri

(3) Birokrasi daerah belum dengan serius menghitung bahwa

setiap rupiah yang dikucurkan dari APBD dapat dihitung

berapa manfaatnya untuk kemakmuran rakyat

(4) BPK sudah seharusnya mengoptimalkan “ audit kinerja”

sebagai salah satu indikator utama pencapaian kesejahteraan

masyarakat dari penggunaan anggran daerah

(5) Masih perlu juga dimasukkan indikator “kemakmuran rak-

264

yat “ kedalam pemeriksaan keuangan negara ( lihat : Azis ,

2013 , dalam : antaranews.com ( 4-5- 2013)

b) Masih ada saja pimpinan daerah yang menganggap penilaian BPK

dalam kategori DO dan WDP (sebagian besar) sebagai hal yang

“biasa saja /cuek saja “ (padahal itu melanggar UU ) ( lihat :

Sutianto ,2015 dalam : finance . detik .com )

c) Beberapa penyebab lainnya, antara lain :

(1) Justru yang cukup signifikan menyebabkan tatakelola

keuangan daerah “kurang baik” ,karena “latah dengan

pemekaran daerah “ ,yang ternyata “ menambah runyamnya”

tatakelola keuangan derah yang selama ini memang belum

baik,sehingga lebih parah lagi ; dimana ternyata sekitar 60 %

daerah otonomi baru gagal dalam tatakelola keuangannya


(2) Di samping itu kebanyakan aparatur daerah memang

tidak/kurang memprioritaskan perencanaan anggaran daerah

dengan baik ,sehingga berakibat banyak “area rawan

korupsi” yang menyangkut perencanaan anggaran daerah itu

sendiri, pajak, retibusi, dana hibah, bansos , mekanisme

perjalanan dinas (lihat : republika . co . id ( 23-2-2015)

d) Bagaimana mungkin dapat melaksanakan tatakelola keuangan

daerah dengan baik , kalau perilaku elit politik lokal banyak

mementingkan kelompok/pribadi, kurang amanah, belum

diberlakukannya “e-budgetting” dengan baik, sebagai bagian dari

manajemen siestem informasi keuangan daerah ( pen.)

265

58) Mengapa Akuntabilitas Keuangan Daerah pada umumnya masih

dikategorikan buruk/kurang baik?

Penyebabnya dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Pada umumnya penyebab-penyebabnya sama seperti pada

penyebab persoalan-persoalan pada: 54) – 55) ---56) ---57) di atas,

karena akuntabilitas adalah “wajah terakhir” dari berbagai

persoalan di atas yang masih kurang baik (pen.)

b) Secara khusus yang menonjol ialah:

(1) Belum baiknya akuntabilitas belanja daerah baik dilihat dari

aspek hukumnya , akuntabilitas finansialnya ,akuntabilitas

programnya , dan akuntabilitas manajerialnya

(2) Secara lebih rinci audibilitas belanja daerah(verifikasi audit

belanjanya ) belum baik,meliputi antara lain :


(a) Belum baiknya kelengkapan dokumen anggaran ( DPA –

SKPD---SPD--- SPP—SPM--- SPJ ,dan lainnya )

(b) Validitas dokumen transaksi yang belum baik

(c) Belum rapinya “pencatatan “

(d) Belum diuji silang dengan baik antara catatan dengan

keberadaan/kenyataannya

(e) Ternyata masih banyak ( terbukti dalam audit tersebut)

“mark-up “ ,belanja fiktif , titipan-titipan,kesalahan

pembebanan belanja ke rekening yang tidak sesuai, masih

terdapat ketidakwajaran dalam belanja barang/jasa

,pegawai dan lainnya (lihat : Zulkifli,M.M. dalam : zoel66.

266

blogspot . com; Ibrahim ,2015)

(3) Berbagai isu akuntabilitas penganggaran daerah yang masih

menjadi permasalahaan antara lain :

(a) Akuntabilitas dalam penyelenggaran Pemda dimana

keuangan menjadi bagiannya, belum berjalan dengan

baik,terutama akuntabilitas programnya kurang berjalan

sebagaimana nestinya

(b) Akuntablitas fiskalnya sering tidak tepat

(c) Akuntabilitas prosesnya juga masih kurang demokratis

(d) Akibatnya akuntabilitas hasilnya masih kurang merakyat

(e) Akuntabilitasnya terhadap stakeholders eksternal masih

kurang serasi/kurang berjalan dengan baik


(f) Demikian halnya dengan akuntabilitas administratifnya,

akuntabilitas hukumnya , akuntabilitas politisnya ,

akuntabilitas profesionalismenya dan akuntabilitas

etikanya masih perlu diperbaiki (lihat :Mardiasmo ,2004

dalam : Rohman , 2010 ,dalam : facebook . com (27-11-2010)

59) Mengapa Evaluasi terhadap Kinerja Keuangan Daerah ( dengan

berbagai dimensinya ) ternyata belum baik ?

Penyebab dan kenyataannya antara lain :

a) Dilihat dari ( pendekatan evaluatornya ) ternyata :

(1) Belum optimalnya kinerja evluator internal ( APIP) keuangan

daerah ,baik secara kuantitatif dan kualitatif berikut sarana

pendukungnya yang masih kurang memadai

267

(2) Peran Evaluator eksternal sering kurang terintegrasi dengan

evaluator internal di atas

(3) Belum diaplikasikannya kosnep umpan balik 360 derajat tepat

waktu sebagaiman mestinya

b) Dilihat dari hasil evaluasinya , ternyata antara lain :

(1) Memang ternyata banyak kinerja keuangan daerah yang

masih kurang baik, karena sejak awal memang APBDnya

kurang mengacu “berbasis kinerja “

(2) Belum diterapkannya “e- budgetting” ,sehingga kinerjanya

kurang baik, kurang transparan ( lihat : Saranaung ,2015 ;

Ibrahim , 2015)
c) Dilihat dari berbagai dimensi kinerja keuangan daerah memang

masih kurang baik ,paling banter sebagian kecil cukup baik,

antara lain dengan kenyataan- kenyataan antara lain sebagai

berikut :

(1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ( PAD terhadap Dana

Perimbangan yang memang rata-rata belum baik (kisaran

kurang--- sedang ---- sedikit yang cukup dan baik)

(2) Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah ( prosentase PAD

terhadap Total APBD) yang rata-rata masih kurang baik

( berkisar rata-rata antara : 20- 40 % terhadap total APBD,

sedikit yang di atas 40 %

(3) Rasio Desentralisasi Fiskal ( prosentase PAD terhadap Total

Penerimaan Daerah ) yang rata-rata masih berkisar antara 30

268

-40 % dengan kisaran sedang –cukup ,yang baik baru sedikit )

(4) Rasio Efektivitas ( prosentase Realisasi Pendapatan terhadap

Target Pendapatan x 100% ) yang rata-rata berkisar antara

kurang efektif--- cukup efektif ( 60---90 %) , yang efektif(90-

100%) sedikit ,apalagi yang sangat efektif ( > 100% )

(5) Rasio Efisiensi ( prosentasi Pengeluaran Belanja terhadap

Pendapatan x 100% ) , yang rata-rata masih berkisar antara

kurang efisien --- cukup efisien ( 90- 100 dan 80-90 ) baru

sedikit yang efisien ( 60-80 % )

(6) Analisis Kemampuan Keuangan Daerah (AKKD) yakni :


(a) Peta Kemampuan Keuangan Daerah berdasarkan Metode

Kuadran (yakni :Share = PAD /Total Belanja x 100% dan

Growth (PAD i terhadap PAD i- 1 x 100% yang rata-rata

kuadrannya masih belum baik ( II dan III)

(b) Dengan menghitung Indeks Kemampuan Keuangan

Daerah (IKKD) dengan rata-rata hitung dari indeks

pertumbuhan ( growth) , indeks elastisitas dan indeks share

atau peran ( IKKD = ( XG + XE + XS) / 3 ) yang rata-rata

klasifikasinya antara rendah – sedang

(7) Indeks Elastisitas : Rasio PAD terhadap Belanja Langsung

( bertujuan untuk melihat sensitivitas atau elastisitas PAD

terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah ) ,yang rata-

rata antara masih kurang hingga cukup elastis )

(8) Indeks Peran (Share):Rasio PAD terhadap Belanja Tidak Lang

269

sung ( BTL) dan Belanja Langsung (BL) ( untuk mengukur

seberapa jauh kemampuan keuangan daerah membiayai

kegiatan BTL dan BL tersebut , sehingga terlihat kapasitas

kemampuan keuangan daerah (yang rata-rata berkisar cukup

dan cukup baik)( llihat : Gde B. & Hery Susanto,dalam :

unmasmataram .ac.id)

(9) Catatan :Penyebab dari hal-hal yag masih kurang baik di

atas ,pada umumnya sama dengan penyebab pada nomor-

nomor 51) ,52), 53) ,54), 55) , 56) ,57) , dan 58 )di atas
60) Mengapa Alokasi Dana Desa ( ADD) masih mengalami sejumlah

persoalan ( sehingga sebagai basis pemberdayaan masyarakat dalam

rangka Otonomi Daerah yang luas dan mestinya juga berkualitas)

belum berfungsi dengan baik ?

Penyebab dan kenyataan-kenyataan yang masih ada, antara lain :

a) Menurut KPK memang setidaknya masih ada 14 permasalahan

(lebih tepat persoalan-persoalan) yang masih kurang pada

tempatnya ,yang ditemukan dalam ADD ( sekitar 20,7 trilyun

,pada 2015 bertambah lagi) yang meliputi antara lain :

(1) Masalah Aspek Regulasi Kelembagaan ,meliputi :

(a) Persoalan belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis

pelaksanaan keuangan desa

(b) Persoalan tumpang tindihnya tindak kewenangan antara

Kementerian Desa dengan Dirjen Bina Pemerintah Desa

Kementerian Dalam Negeri

270

(c) Selain itu persoalan penghasilan tetap bagi perangkat desa

dari ADD kurang adil

(d) Masih ada persoalan pembagian dana desa hanya dilihat

dari aspek pemerataan belaka (tidak diperhitungkan

bahwa setiap desa itu berbeda, baik dari segi geografi dan

kebutuhan desa itu sendiri ( yang pasti tidak ada desa yang

sama persis)

(2) Masalah Aspek Tatalaksana, dengan persoalan-

persoalannya ,antara lain :


(e) Persoalan kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran

desa ternyata sulit dipenuhi oleh desa ; sementara acuan

bagi pemerintahan desa ,dalam rangka menyusun

APBDesa belum tersedia, transparansinya masih rendah

(f) Persoalan laporan pertanggungjawaban belum mengikuti

standar yang ada dan rawan manipulasi

(g) Persoalan selanjutnya ialah, bahwa APBDesa disusun

tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang

diperlukan desa

(3) Masalah Aspek Pengawasan , meliputi persoalan-persoalan

antara lain :

(h) Persoalan efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan

pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa, ternyata

masih rendah

(i) Persoalan “saluran pengaduan” masyarakat yang tidak di-

271

kelola dengan baik

(j) Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan

oleh Camat (selaku atasan langsung kepala desa) yang

belum jelas

(4) Masalah SDM meliputi persoalan-persoalan ,antara lain :

(k) Persoalan “tenaga pendamping” pemerintahan desa yang

cenderung berpontensi “korupsi” dengan memanfaatkan

masih “lemahnya “ (kualitas) aparat desa


(l) Persoalan dana desa yang hingga saat ini belum dapat

dimanfaatkan untuk memajukan /memberdayakan

masyarakat desa ( pada 2015 ini realisasinya akan

dipercepat dengan SK Tiga Menteri dengan tambahan

dananya sekalian ) (lihat : KPK dalam: news .okezone . com;

Nugraha ,2015 ,dalam : poskotanews.com)

b) Masih langkanya model “Gerakan Desa Membangun” seperti

halnya yang dirancang di Kabupaten Malinau bagi 109 desanya

,dimana APBDesa dikelola secara mandiri, efektif,efisien dan

dapat dipertanggung jawabkan ( rinciannya lihat : Yansen,TP,

2014,dalam : sanggerderma.com (3-5-2015)

c) Belum adanya tolok ukur dan dikembangkannya Standar

Pelayanan Minimal dan Kewenangan (Urusan ) Pemerintahan

Desa yang lebih rinci dan jelas serta mudah diimplementasikan

aparat pemerintahan desa (lihat : Utoro & Andi Wahyudi ,

2008,dalam : download. Portalgaruda .org ( 29-30/8/2008)

272

d) Dana desa masih belum lancar pencairannya ,terutama nyangkut

di Pemda (per Agustus 2015 berkisar dari 0,00% hingga yang

tertinggi baru 31,04 % saja) ; pemerintah masih perlu memangkas

birokrasi dana desa ; SKB baru saja diterbitkan untuk

pencairanya dengan relatif cepat , tapi relatif masih ada kendala

dan belum efektif benar; diperlukan tim pendamping yang benar-

benar profesional ; penyalurannya secara cepat untuk

pemberdayaan masyarakat desa sepenuhnya harus bebas ( relatif )


dari kepentingan-kepentingan politik tertentu ( biasanya “ya”);

dan masyarakat harus dapat mengajukan komplain secara

terbuka jika kenyataannya tidak sesuai dengan niat baik yang

sedang dirancang pemerintah tersebut dalam pelaksanaannya

( lihat : Kompas , 27-8 , 5—8----9—10—dan 11 – 9 -2015 ; Pikiran

Rakyat (PR) ,9—9—2015)

e) Kepemimpinan Kepala Desa umumnya belum “ transformasional”

dalam rangka memanfaatkan dana desa itu sebaik-baiknya bagi

kepentingan mensejahterakan msayarakt desa yang

dipimpinnya ;sehingga masih perlunya pemberdayaan

kepemimpinan dan aparat pemerintahan desa ,sehingga benar-

benar dapat memberdayakan masyarakatnya dengan baik dengan

antara lain memanfaatkan dengan baik ADD yang diterima dan

akan diterima dalam jumlah yang signifikan dalam waktu dekat

ini ( lihat : Kusnadi ,2015 ; Ibrahim ,2012 d, 2015)

f) Masalah lainnya ialah Kontribusi dan Pengelolaan Keuangan Desa

273

belum dapat mencerminkan APBDesa yang transparan –dan

akuntabel, dengan kenyataan-kenyataan antara lain :

(1) APBDesa selama ini tidak berimbang antara penerimaan dan

pengeluarannya dengan ciri-ciri antara lain :

(a) APBDesa yang kecil dan juga sumber pendapatannya juga

kecil ( kceuali jika kebijakan percepatan pencairan dana

desa yang cukup besar berjalan lancar sesuai dengan

kebijakan Pemerintah 2015 ini )


(b) Akibatnya kesejahteraan masyarakat desa juga masih

rendah

(c) Masih sangat rendahnya dana operasional desa untuk

memaksimalkan pelayanan masyarakat

(d) Relatif cukup banyak program pembangunan masuk desa ,

tetapi tidak dikoordinasikan dengan baik , hanya dikelola

“elit politik lokal dan gerombolannya”

(2) Persoalan-persoalan lanjutannya yang masih ada ,antara lain :

(a) Laporan APBDesa umumnya masih sangat tradisional dan

terlambat dikirim ke satuan atasan

(b) Perangkat desa yang secara kualitatif dan kuantitatif masih

kurang , manajemen informasi (TI dan SI nya masih

ketinggalan jauh)

(c) Tatalaksana yang masih sangat “red tape”

(d) Kreativitas pengembangan desa dengan berbagai

dimensinya ( potensi--- pemberdayaan--- pola tawar--- cara

274

hidup sehat belum berjalan dengan baik

(e) Masih lemahnya pemberdayaan SDM --- kapasitas

politik---kapasitas ekonomi masyarakat desa

(f) Belum adanya “blueprint” yang jelas dari Pemda tentang

pemberdayaan desa-desa dalam lingkungannya secara

terpadu ( baru ada model yang baik, ialah Model Gerakan

Membangun Desa di Kabupaten Malinau Kalimantan )

( lihat : Hudaya ,2005 ; Sutoro ,2007 keduanya dalam


:Anwar & Bambang Jatmiko dalam : upy . ac . id ;

Setiawan ,2011 ; Ibrahim ,2012 d, 2014,2015 ; Jansen TP,

2014)

61) Mengapa pembentukan Organisasi Pengelolaan Keuangan Daerah

(OPKD) dengan berbagai dimensinya, belum terselenggara dengan

sebagaimana mestinya, sehingga berakibat keuangan daerah tidak

/kurang efektif dan tidak efisien ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya ,antara lain :

a) Pada umumnya struktur dan bobot organisasinya masih streotip,

kurang disesuaikan dengan “besaran urusan-urusan keuangan di

setiap daerah “ sehingga mestinya setiap organisasi pengelola

keuangan daerah di setiap daerah ,tidak mesti harus sama ( lihat:

FGD -Unpad, 2004 ; Ibrahim ,2015)

b) Selanjutnya masih terdapat kenyataan-kenyataan yang belum

baik,antara lain sebagai berikut :

(1) OKPD yang ada belum sepenuhnya mnengorganisasikan

dengan baik penyelenggaraan keuangan daerah , barang milik

275

daerah

(2) Hubungan kerjanya belum terjalin dengan baik ,demikian

juga tugas dan wewenang para pelaku pengelolaan keuangan

daerah masih sering kurang jelas dan tumpang tindih

(3) Memang perlu keseragamn bentuk organsiasi untuk

mempermudah pemerintah pusat mengkoordinasikan

pengelolaan keuangan dan barang milik daerah, tetapi sistem


prsoedur pengelolaan keuangan dan barang mailik daerah

tersebut haruslah disesuaikan dengan karakteristik daerah,

tidak perlu “streotip murni “ seperti sekarang ini

(4) Dalam menyusun OKPD tersebut di atas ternyata banyak

daerah belum melakukan analisis secara mendalam mengenai

“beban kerja dan kebutuhan personil” yang mendasari

tupoksi yang berbasis kompetensi detail uraian tugasnya

,sehingga dapat dihasilkan formulasi perhitungan variabel-

variabelnya sekaligus dapat digunakan untuk memperoleh

“tunjangan prestasi kerja berbasis kinerja “ ( sehingga tidak

diperlukan remunerasi yang sering disamaratakan, banyaknya

honor daerah (honda) yang ternyata sangat tidak efektif

apalagi efisien,juga tidak ada lagi “kerja tidak kerja

---beprerestasi tidak berperestasi, dihargai secara materiil

sama” /pen.)

(5) Selanjutnya dalam proses penyusunaan OPKD tersebut pada

umumnya belum didasarkan pada Visi ,yang benar-benar visi-

276

yang diproses antara lain :

(a) Secara demokratis, mengandung semacam tujuan yang

dapat mengarahkan dan mendorong semua stakeholders di

daerah (internal dan eksternal) ,yang spesifik dan berakar

pada kondisi dan situasi setempat dan disepakati semua

stakeholders .
(b) Visi yang bertujuan ( ini belum tercermin dalam banyak

visi yang ada ) : mencerminkan apa yang ingin dicapai

Pemda yang bersangkutan dalam pengelolaan keuangan

daerah dan barang milik daerah ; memberikan arah dan

fokus strategi yang jelas; menjadi perekat dan menyatukan

berbagai gagasan strategis yang ada ; memiliki orientasi

masa depan yang jelas ; menumbuhkan “komitmen “

seluruh jajaran dalam lingkungan organisasi Pemda ;

menjamin kesinambungan kepentingan Pemda ;

menjembatani keadaan sekarang dan yang akan datang

(c) Rumusan visi banyak yang belum jelas, kurang sederhana

sehingga sukar dipahami , serta masih kurang

mengembangkan nilai-nilai budaya masyarakat setempat

(d) Belum sepenuhnya mencakup : tujuan terluas dan terumus

serta memperjelas arah yang akan dicapai ; belum

memberikan gambaran yang jelas mengenai aspirasi masa

depan ,inspirasi untuk mendapatkan hasil yang terbaik

(e) Belum sepenuhnya memenuhi kriteria : dapat dibayangkan

277

dan dipahami oleh seluruh stakeholders (Pemda dan

masyarakatnya) , memiliki nilai yang memang diinginkan

seluruh stakeholders , memungkinkan untuk dicapai,

terfokus pada masalah utama lembaga pengelolaan

keuangan /barang milik daerah , agar dapat beroperasi

secara efektif -- efisien--- elegan , berwawasan jangka


panjang dan tidak mengabaikan perkembangan zaman,

memberikan pemahaman tentang posisi tujuan individu

dalam tujuan bersama , dan dapat memberikan

“motivating force”

(6) Karena visinya juga belum begitu baik, maka Misi-nya juga

demikian , dengan kenyataan-kenyataan pada umumnya

antara lain :

(a) Misi belum sepenuhnya merupakan penjabaran tentang

apa yang dilakukan ,siapa penerima manfaat

( “beneficiaries”) ,apa saja kompetensi utama organisasi

,dan mengapa perlu dilakukan , misi mestinya berlaku

secara terus menerus hingga visi tercapai

(b) Misi-misi yang ada, umumnya belum sepenuhnya

merupakaan tonggak dari perencanaan strategis ( renstra)

organisasi (Pemda )yang bersangkutan

(c) Misi-misi yang ada belum sepenuhnya terdiri atas

pernyataan tentang tujuan organisasi yang diwujudkan

dalam produk dan pelayanan kebutuhan, nilai-nilai utama

278

atau “core values “ atau “ core and distinct competence”

yang menjadi landasan operasional untuk mencapai misi

yang mestinya telah dijabarkan dari visi organisasi

(7) Sekedar contoh pembanding sebagai berikut :


(a) Visi Badan Pengelola Keuangan Daerah ( BPKD)

Kabupaten Padang Pariaman : “ Terwujudnya Pengelolaan

Keuangan yang Profesional dan Prima dalam Pelayanan”

(b) Misinya :

- Meningkatkan pengelolaan ,perencanaan ,pelaksanaan

pendapatan daerah , mendukung kebutuhan daerah

- Meningkatkan pengelolaan pengeluaran daerah sesuai

dengan ketentuan yang berlaku ;pengeluaran daerah

sesuai dengan program yang telah disepakati bersama

- Meningkatkan pengelolaan aset dan kekayaan daerah

- Meningkatkan pelayanan yang prima dalam aktivitas

kinerja BPKAD Kabupaten Padang Pariaman

(8) Struktur Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah

( SKPKD) dan Satuan Kerja Perangkat Daerahnya ( SKPD)

pada dasarnya prototypenya sama, tapi “besaran “ masing-

masing bagiannya disesuaikan dengan kondisi dan situasi

kebutuhan daerah masing-masing, sehingga pusat mudah

mengkoordinasikannya,tetapi setiap daerah memiliki

kekhasannya ( lihat : Wijaya & Adam Nugroho & Susy

Rahmah ( Editor) , Nugroho ,dkk ,2008 , dalam : pdf .usaid . gov

( 2008)

279

62) Mengapa Fungsi-fungsi Manajemen Keuangan Daerah (MKD) belum

berjalan dengan baik,sehingga berakibat antara lain kurang efektif dan

kurang efisiennya keuangan daerah ?


Penyebab –penyebab dan kenyataan-kenyataan yang ada ,antara lain:

a) Secara umum belum sepenuhnya diimplementasikan dengan

semestinya , antara lain dengan kenyataan-kenyataan :

(1) Pemahaman—penghayatan – refleksi dalam perilaku dalam

memaknai pengertian keuangan daerah,dimana belum

sepenuhnya diimplementasikan :”penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, temasuk

di dalamnya bentuk kekayaan yang berhubungan dengan

hak ,kewajiban daerah dalam kerangka APBD”

(2) APBD dalam kenyataannya belum sepenuhnya menjadi salah

satu alat yang penting untuk meningkatkan pelayanan publik

dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai tujuan

Otda yang luas – nyata –bertangungjawab( nyatanya masih

sarat dengan KKN,utamanya korupsi )

(3) Empat dimensi yang melekat dari makna keuangan daerah

belum sepenuhnya diaplikasikan dengan baik ( yakni dimensi

hak dan kewajiban – tujuan-- dan perencanaan—

penyelenggaraan (administrasi/pen.) dan pelayanan publik

(prima) – nilai uang dan barang ( investasi dan inventarisasi)

(4) Belum sepenuhnya mencerminkan tujuan keuangan daerah

yakni akuntabel , memenuhi kewajiban keuangan, kejujuran ,

280

hasil guna (efektivitas) dan efisiensi ( daya guna),pengendalian

yang baik
(5) Pelaksaaan tugas dari fungsi manajemen keuangan daerah

belum dilaksanakan sepenuhnya dengan sebaik-

baiknya,meliputi antara lain:

(a) Belum baiknya pengalokasian sumber-sumber ekonomi

daerah dan belum baik/belum demokratisnya proses

penyusunan APBD ( keduanya sebagai fungsi perencanaan)

(b) Belum terpenuhinya tolok ukur kinerja dan standarisasi

serta pelaksanaan anggaran sesuai prinsip-prinsip

akuntansi ( sebagai fungsi pelaksanaan )

(c) Belum baiknya laporan pertanggungjawaban keuangan

kepala daerah dan pengendalian serta pengawasan

keuangan daerah ( fungsi pengendalian dan pengawasan )

(d) Belum ditampilkan fungsi-fungsi di atas secara nyata

dalam Sistem Informasi Keuangan Daerah yang

dipersyaratkan

(6) Belum terlaksananya secara utuh makna manajemen

keuangan daerah dalam arti sempit maupun secara garis besar

pada umumnya ,antara lain dengan kenyataan-kenyataan :

(a) Belum sepenuhnya dialokasikan dengan baik sumber-

sumber ekonomi daerah ( meliputi sumber internal (lokal)

seperti sumber daya alam ,potensi pajak dan

retribusi,obligasi daerah ;serta sumber eksternal ; yang ke-

281

duanya harus disusun dalam struktur APBD yang baik)


(b) Proses penyusunan APBD yang belum memenuhi asas

universalitas anggaran yakni : tranparansi dan

akuntabilitas ,disiplin anggaran ,keadilan

anggaran,efektivitas dan efisiensi anggaran, format

anggaran

(c) Belum lengkapnya struktur APBD ( pendapatan—belanja

—pembiayaan (kode rekening) ;dan belum lengkapnya

dokumen-dokumennya ( ringkasan APBD, rincian APBD ,

daftar rekapitulasi APBD menurut bidang pemerintah dan

unit-unit organisasi perangkat daerah , daftar piutang

daerah , daftar investasi daerah , daftar aktiva tetap

daerah , daftar utang dan pinjaman daerah ; dan input-

output penyusunan APBD (skema waktu yang sering molor

dan lainnya )

(7) Belum terpenuhinya tolok ukur kierja anggaran dan

standarisasi pengelolaan keuangan daerah meliputi :

(a) Belum baiknya Standar Analisis Belanja

(b) Pengukuran kinerja yang bertumpu juga pada kinerja non

keuangan yang juga belum diintegrasikan dengan baik

(c) Belum baiknya penerapan standar biaya

(d) Belum baiknya pelaksanaan anggaran sesuai prinsip-

prinsip akuntansi ( laporan perhitungan APBD, nota

perhitungan APBD ,laporan aliran kas, neraca daerah,serta

282
pemenuhan fungsi pelaporan yakni : disusun secara

wajar , merupakan alat komunikasi yang lengkap, sebagai

alat pembanding, tepat waktu dan akurat)

(8) Kebanyakan belum baiknya laporan pertanggungjawaban

kepala daerah dengan kenyataan-kenyataan antara lain :

belum sepemunhya merupakan “ends and beginning of

process” dari aktivitas Pemda yang dilaksanakan secara

“sequences” dan berkelanjutan

(9) Belum sepenuhnya mengimplementasikan Pengendalian dan

Pengawasan Daerah sebagai mestinya

(10) Secara umum ada setidaknya 6 fungsi bagi para pengelola

keuangan daerah yang masih lemah dilaksanakan dewasa ini

,yakni :

(a) Pengalokasian sumber daya daerah

(b) Proses penyusunannya

(c) Pengkuran kinerja dan standarisasinya

(d) Kebijkan akuntansinya

(e) Pelaporan LPJ Kepala Daerah

(f) Pengendalian dan pengawasan ( lihat :Devos ,at.al. 1989

;Widjaja,2001 semuanya dalam Akbar ,2010 ,dalam

:pekikdaerah . wordpress.com )

63) Mengapa Reformasi Akuntansi Keuangan dan Anggaran Daerah

sebagai “dua pilar utama “ Manajemen Keuangan Daerah belum dapat

dilaksanakan sebagaimana mestinya ,sehingga masih terjadi inefektivi-

283
tas dan inefisiensi keuangan daerah ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan yang ada antara lain :

a) Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan yang secara umum

masih terjadi antara lain :

(1) Belum serasinya antara manajemen penerimaan

( pendapatan ) dan manajemen pengeluaran (belanja)

(2) Belum terintegrasi dengan baik antara berbagai dimensi

manajemen keuangan daerah (APBD ) yakni :

(a) Persoalan Akuntansi yang sampai saat ini masih bervariasi,

padahal mestinya sudah harus diimplementasikan

( bertahap) berbasis akrual

(b) Anggaran yang ternyata banyak yang tidak/kurang

“merakyat “

(c) Kendali keuangan daerah yang kurang baik

(d) Audit yang ternyata baik proses dan hasilnya banyak yang

megecewakan

(3) Dari titik (2) di atas terlihatlah kedua pilar manajemen

keuangan daerah , yakni reformasi atas akuntansi dan

reformasi anggaran daerah ( demokratisasinya) belum

berjalan dengan sebagaimana mestinya

(4) Korupsi anggaran daerah oleh berbagai pihak,terutama oleh

para elit politik daerah” merusak segalanya”,nyaris menjadi

budaya politik/pemerintahan, dengan kenyataan-kenyataan

antara lain :

284
(a) Berkembangnya monopoli oleh birokrasi (sarat

kepentingan pribadi/kelompok/golongan dalam

merumuskan APBD )

(b) Kebijakan yang sering tidak konsisten dan bahkan sering

bertolak belakang antar elit politik sendiri dihadapkan

dengan kepentingan mensejahterakan masyarakat daerah

(c) Perilaku SDM yang mengelola pemerintahan dan anggaran

daerah yang memang banyak bermasalah ( banyak yang

secara intelektual cukup baik, tetapi “miskin dalam

kecerdasan emosional--- kreativitas dan spiritual”

(d) Kurang konsistennya para elit politik pusat dan daerah

dalam membina dan mengarahkan proses reformasi

akuntansi dan anggaran dalam rangka mewujudkan “good

governance”

(e) Masih kurangnya “simbiose idealis” ( berpikir ideal demi

kepentingan rakyat/pen.) dan” kemitraan kualitatif “

( berbuat yang terbaik pada waktu pelaksanaan anggaran

daerah ) ,terutama antara Eksekutif dan Legislatif Daerah (

antara Pimpinan Pemda dan DPRD) ; yang justru sering

terjadi adalah “ simbiose kepentingan elit politik lokal

sendiri”pada tahap pemikian /proses anggaran adaerah,

dan “kemitraan miring” ( sama-sama menyalahgunakan

anggaran untuk kepentingan sendiri/kelompok/golongan)

pada waktu pelaksanaan anggaran daerah /pen.)

285
(f) Perlu renstra –kebijakan –rencana –program terpadu

peningkatan kualitas SDM ( baik elit politik lokal--- para

pengelola keuangan daerah ) sehingga benar-benar

profesional dalam kinerjanya ( paham dengan baik

tupoksinya--- bertanggung jawab moral (amanah)--- dan

hidup layak )

(5) Masih perlu dikembangkan kerja sama dengan perguruan

tinggi , LSM dan lainnya dalam rangka ,antara lain:

(a) Meningkatkan pemahaman dan model-model/konsep-

konsep manajemen pengetahuan yang menyangkut

“komunitas anggaran/akuntasi keuangan daerah”

(pengembangan yang spesifik sifatnya/pen.)

(b) Meningkatkan pendampingan berkualitas kepada berbagai

lembaga kemsayarakatan agar kualitas SDM masyarakat

juga meningkat,sehingga kualitas partisipasi mereka dalam

manajemen keuangan daerah dapat diandalkan

(6) Khusus untuk lembaga-lembaga profesi (misalnya Ikatan

Akuntansi Indonesia ) diperlukan partisipasi aktifnya untuk

meningkatkan aspek-aspek teknis -- jaringan antara

“financial accounting “ dan “ budgetting accounting” dengan

mengimplementasikan standar yang jelas mengenai akuntansi

keuangan daerah

(7) Belum diimplementasikan dengan baik konsep akuntasni

keuangan daerah yang meliputi : pengidentifikasian , penguku

286
ran , pencatatan , dan pelaporan dari transaksi ekonomi

(keuangan) suatu organisasi, guna pengambilan keputusan

pihak-pihak yang berpekentingan; dalam wujud : laporan

keuangan yang memuat informasi tentang keuangan suatu

organisasi yang dibuat oleh manajemen organisasi yang

bersangkutan ( misalnya Pemda) (lihat : MacLearn ,et.al.

dalam Halim ,2004 ,dalam : repository . ugm. ac. id ( 17-1-2004)

b) Belum dipenuhinya dengan baik reformasi keuangan daerah

dimana diperlukan reformasi dalam : pengalokasian potensi

sumber-sumber ekonomi daerah , proses penyusunan APBD yang

demokratis, dipenuhinya tolok ukur kinerja dan standarisasinya ,

pelaksanaan anggaran sesuai prisnsip-prinsip akutansi yang benar

, LPJ Kepala Daerah yang sesuai dengan ketentuan, pengendalian

dan pengawasan keuangan daerah yang baik (lihat :

tesismanajemen . com)

c) Masih perlu diperbaikinya catatan-catatan dari BPK lainnya

antara lain :

(1) Masalah reformasi pajak ( yang nyatanya masih kurang

demokratis dan adil,dan masih sering dibawah target)

(2) Masalah subsidi, bantuan, yang sering tidak tepat sasaran

( mungkin saja sarat kepentingan politik)

(3) Masalah dana-dana khusus yang sering dipolitisasi bukan

karena kebutuhan reformasi

(4) Masalah ketergantungan daerah yang tinggi, runyamnya ke –

287
uangan daerah akibat “perlombaan pemekaran daerah baru

(DOB)”, yang nyatanya tidak mereformasi keuangan daerah

dengan baik ( lihat : BPK,2014 , dalam : bisniskeuangan .

kompas . com ( 13-6- 2014)

64) Setidaknya ada 13 Persoalan Keuangan Negara dan Daerah (utamanya

daerah), terutama dalam perencanaan dan penganggarannya , sehingga

keuangan daerah belum efektif dan belum efisien), mengapa sampai

terjadi demikian?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain:

a) Intervensi hak budget dari DPRD yang berlebihan /terlalu kuat

sehingga menyebabkan anggaran daerah kurang merakyat

b) Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran

hingga keputusannya pada dasarnya baru “omong kosong belaka”

(bahasa kerennya “retorika belaka”) ,kenyataannya rakyat tidak

pernah diajak ikut berpartispasi, bahkan aspirasi dalam

musrenbang bertingkat di daerah hanya dijadikan “tonil” saja,

sandiwara,sepertinya demokratis,padahal dikebiri oleh para elit

politik lokal dengan berbagai cara yang seolah-olah

mengatasnamakan rakyat padahal tidak demikian

c) Ketersedian dana yang memang tidak pernah tepat waktu, alir

dana selalu terlambat sejak dari pusat hingga daerah, apalagi

dihambat dengan “nego-nego sarat kepentingan elit politik lokal

sendiri”, sehingga pengesahan APBD rata-rata terlambat

d) Penjabaran dari rencana pembangunan secara garis besar hingga

288
detailnya memang tidak klop, tidak merefleksi dengan benar,

terjadi bias-bias disana sini

e) Kualitas atau bobot dari perencanaan oleh Pemda secara

umum ,maupun SKPD-SKPD tidak terjalin dan saling

mendukung satu sama lain , akhirnya tidak/kurang saling

menunjang

f) Masih sarat dengan “pesanan-pesanan “ dari berbagai pihak dan

menjalankan segala strategi dan taktik untuk mencapai

kehendaknya, sehingga APBD akhirnya memang kurang

memperhatikan rakyatnya

g) Koordinasi antar SKPD dalam proses perumusan RAPBD masih

kurang baik/lemah, masih sering terjerat “ego central “

h) SKPD yang mendapatkan alokasi anggaran yang besar( relatif)

,sering “serakah” seolah-olah APBD milik mereka sendiri

i) Kualitas Musrenbang sering tidak mencerminkan aspirasi rakyat

sebenarnya, banyak di manipulasi atas nama rakyat,padahal

nyatanyaa tidak demikian

j) Pedoman Musrenbang itu sendiri secara teknis belum lengkap

,sehingga akhirnya kurang berbobot

k) Dalam menganalisis persoalan-persoalan yang dihadapi

masyarakat , kerapkali tidak dilihat secara komprehensif

integral /interdisiplin , kerakali hanya dilihat dengan pendekatan

yang menguntung pihak “analis” saja atau memang dipesan agar

dianalisis sesuai dengan kepentingan “pemesan “

l) Selanjutnya (13 plus) masih terlihat : para pendamping dari Pu-


289

sat dan Propinsi masih kurang fokus pada pemberdayaan secara

teknis para pengelola keuangan di daerah ( terutama daerah

Tingkat II /Kabupaten/Kota ) ( lihat :Fachturahman , dalam :

rajawaligarudapancasila . blogspot . com ; Deaton ,2015 ;Ibrahim ,

2015)

65) Mengapa prinsip-prinsip (setidaknya ada 8 prinsip) Manajemen

Keuangan Daerah ( MKD) belum dapat diaplikasikan dengan

sesmestinya, sehingga keuangan daerah menjadi kurang efketif dan

kurang efisien ?

Penyebab –penyebab dan kenyataan- kenyataannya antara lain :

a) Dalam kenyataannya dalam pengelolaan anggaran daerah

memang belum akuntabel sepenuhnya ,seperti aliran dana , kas

masuk –keluar, budgetting pada umumnya belum mengacu

sepenuhnya pada kaidah-kaidah akuntabilitas publik

( pertanggungjawaban yang terbuka terhadap seluruh

stakeholders (baik internal dan eksternal) dimana penganggaran

daerah tersebut dikelola

b) Pada umumnya reliabilitas pengelolaan keuangan daerah (MKD)

belum handal-tepat waktu dan profesional (dimana

profesionalisme pengelolaan keuangan hendaklah diartikan

mengelola keuangan daerah secara baik sesuai aturan mainnya,

dikelola secara amanah ,serta mendapatkan kehidupan yang layak

,wajar sesuai tingkatnya bagi para pengelolanya ) dan

mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan rakyat tidak dimanipu


290

-lasi/dikorupsi dengan berbagai cara

c) Dalam manajemen keuangan daerah (MKD) sering terjadi

perlakuan yang tidak/kurang adil, tidak diselenggarakan dengan

sistem yang jujur ,adil dan kredibel mencakup semua lininya,

baik itu bawahan atau atasan, harus berlaku adil dalam mengelola

keuangan daerah yang dipercayakan kepada mereka sebagai

amanat rakyat yang menginginkan perlakuan yang adil tersebut,

tidak pilih kasih, dilayani sesuai prioritas kepentingannya

(misalnya dengan melayani keuangan daerah bagi kelompok-

kelompok masyarakat dengan prinsip prioritas berdasarkan

konsep “piramida terbalik” bukan sebaliknya/pen.)

d) Pengelolaan keuangan daerah dewasa ini masih ditangani SDM

yang secara kualitatif (utamanya) dan kuantitatif banyak yang

belum memenuhi syarat untuk dapat secara profesional mengelola

keuangan daerah dalam berbagai program/kegiatannya ;

cenderung tidak bekerja dalam “jaringan “ yang baik dan terpadu

e) Pengelolaan keuangan daerah dewasa ini banyak ditandai

“penyelewengan “ seperti “mark up”, korupsi (nyaris menjadi

budaya /pen.) , suap, gratifikasi dan sejenisnya ,yang dilakukan

dengan berbagai cara

f) Manajemen Keuangan Daerah (MKD) masih kurang berorientasi

kepentingan publik/masyarakat/rakyat, ditandai dengan besaran

anggaran pembangunan yang lebih kecil dibanding dengan

besaran anggaran birokrasi (benar-benar menyedihkan/pen),ang -


291

garan banyak digunakan ”salah arah “ misalnya studi-studi

banding yang beragam ,padahal kaitannya tidak relevan dengan

upaya mensejahterakan rakyat , masyarakat yang

diatasnamakan ,dan sejenisnya

g) Payung hukum yang sering tumpang tindih dalam mengatur dan

melindungi keuangan daerah, di samping “hukum “sering

dipolitisasi ,bukan hukum yang dijadikan acuan utama.Jelasnya

belum ada “4 in 1” hukum dalam mengelola keuangan daerah ( “4

in 1”hukum meliputi kesatuan perundangan,kesatuan tafsir,

kesatuan tindak dan kesatuan komunikasi/sosialissai hukum/pen.)

h) Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah ( SIPKD) belum

berjalan dengan baaik, sehingga masyarakat tidak dapat

mengakses dengan semestinya pengelolaan keuangan daerah

dalam berbagai facetnya, sehingga terkesan MKD bersifat

tertutup( dokumen-dokumen anggaran daerah sepertinya hanya

menjadi milik pemerintahan daerah, tertutup,akhirnya

bagaimana maunya pemerintahan daerah dalam pengelolaannya)

i) Pendek kata,dengan tidak/kurang diimplementasikannya dengan

baik prinsip-prinsip MKD, maka pelayanan publik keuangan

daerah sangat jauh dari prima ( menjadi tidak tepat waktu, tidak

tepat jumlah, tidak tepat sasaran , tidak tepat kualitasnya, serta

dikelola dengan perilaku “ekonomi biaya tinggi”) (lihat :

anneahira.com ; Ibrahim ,2012 d, 2014,205 ; Prahalad , 2010 ;

Deaton ,2015)
292

66) Mengapa pengelolaan keuangan daerah di Era Desentralisasi Fiskal

seuai tuntutannya sekarang ini,banyak disalahgunakan/disalah

tafsirkan ,sehingga keinginan untuk mengefektifkan dan

mengeifisienkan keuangan daerah ternyata “masih jauh panggang dari

api ?”

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan yang masih ada ,antara

lain :

a) Esensi dari desentralisasi fiskal ialah dapat memberikan

pelayanan yang lebih dekat dangan rakyat nyatanya ditandai

dengan perilaku sebaliknya (contohnya “latah pemekaran daerah”

, justru merusak pelayanan publik itu sendiri,bukannya tambah

dekat, tetapi tambah “boros, penuh korupsi, dan samasekali tidak

efektif dan tidak efisien)

b) Implikasi dari desentralsiasi fiskal yakni :Kepala Daerah

bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai

bagian dari kekuasaan pemerintahan di daerah ;pengaturan

pengelolaan keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan

pengaturan pemerintahan daerah ; pengelolaan keuangan daerah

harus mengacu kepada paket per-UU-an Keuangan Negara ; UU

tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah ; dan

kekuasaan-kekuasaan di atas semata-mata untuk mencapai tujuan

yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur di daerah

masing-masing ; dalam kenyataannya masih mengalami kegagalan

– kegagalan terutama maraknya korupsi terhadap anggaran terse-


293

but di daerah ,yang dilakukan oleh para pengelola keuangan

daerah , “diteladankan” oleh sebagian pimpinan /elit politik lokal

daerah( banyak kepala daerah berstatus melanggar

hukum/tersangka dan sejenisnya /pen.) ,serta tata aturan

perundangan yang mengatur keuangan daerah masih banyak

yang kurang jelas, tumpang tindih,berlubang-lubang ,sehingga

“melapangkan jalan “ bagi perilaku korup tersebut

c) Berbagai modus yang digunakan “pimpinan daerah “ dalam

mengkorupsi anggaran/uang negara (daerah ) antara lain :

(1) Banyak pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat

untuk “membujuk” pimpinan daerah untuk mengintervensi

proses pengadaan dalam rangka “memenangkan penugsaha “,

meninggikan harga atau nilai kontrol ,dan pengusaha-

pengusaha tersebut memberikan sejumlah uang kepada

pejabat pusat maupun daerah

(2) Pengusaha mempengaruhi pimpinan daerah untuk

mengintervensi proses pengadaan ,agar rekanan tetentu

dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung ,dan harga

barang atau jasa dinaikkan ,kemudian selisihnya dibagikan

(3) Panitia pengadaan barang membuat spesifikasi barang yang

mengarah ke “merk “atau produk tertentu dalam rangka

memenangkan rekanan tertentu dalam rangka memenangkan

rekanan tersebut dalam rangka memenangkan rekanan

tertentu dan melakukan “mark up” harga barang atau nilai da


294

ri kontrak

(4) Pimpinan daerah atau pejabat daerah memerintahkan

bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana atau

anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya ,kemudian

mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan

menggunakan bukti fiktif

(5) Pimpinan daerah memerintahkan bawahannya menggunakan

dana daerah untuk kepentingan pribadi koleganya atau untuk

kepentingan diri sendiri, kemudian mempertanggungjawabkan

pengeluaran itu dengan menggunakan bukti fiktif ,bahkan

menggunakan bukti yang kegiatannya fiktif juga

(6) Pimpinan daerah menerbitkan Perda sebagai dasar pemberian

upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ,padahal

sebenarnya tidak berlaku lagi

(7) Pimpinan daerah ( para elit politik lokal) bersepakat

mealakukan “ruislag” atas aset Pemda dan melakukan “ mark

down “ atas aset pemda tersebut dan “mark up” atas aset

pengganti dari pengusaha rekanan tertentu

(8) Pimpinan daerah menerima sejumlah uang jasa ( dibayar di

muka ) dari pemenang tender sebelum melaksanakan proyek

(9) Pimpinan daerah menerima sejumlah uang dari rekanan

dengan menjanjikan akan diberi proyek pengadaan

(10) Pimpinan daerah membuka rekening atas nama kas daerah


295

dengan “specimen” pribadi ( bukan pejabat dan bendahara

yang ditunjuk ) dengan maksud untuk mempermudah

pencairan dana tanpa melalui prosedur

(11) Pimpinan meminta atau menerima jasa giro atau tabungan

dana pemerintah yang ditempatkan pada bank

(12) Pimpinan daerah memberikan izin pengelolaan yang tidak

memiliki kemampuan teknis dan formal ,demi kepentingan

pribadi atau kelompoknya

(13) Pimpinan derah menerima uang atau barang yang

berhubungan dengan proses perizinan yang dikeluarkannya

(14) Pimpinan daerah,keluarga atau kelompoknya, membeli

lebih dulu barang dengan harga yang murah ,kemudian dijual

kepada instansinya dengan harga “mark up”

(15) Pimpinan daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan

barang pribadinya menggunakan anggaran daerah

(16) Pimpinan daerah memberikan dana kepada pejabat

tertentu dengan beban kepada anggaran dengan alasan

pengurusan Dana Alokasi Umum (DAU) dan atau Dana

Alokasi Khusus ( DAK)

(17) Pimpinan daerah memberikan dana kepada rekan-

rekannya sesama elit politik lokal ( baca : DPRD) setempat

dalam penyusunan APBD

(18) Pimpinan daerah sering mengeluarkan dana untuk

urusan/perkara pribadi dengan beban anggaran daerah


296

(19) Akibat kumulatifnya ,bukannya “desentralisasi fiskal”

demi kesejahteraan daerah, tapi makin maraknya “korupsi

berjemaah” akibat keteladanan sebagian pimpinan daerah

yang lebih menafsirkan desentralisasai fiskal menjadi “suka-

suka gue “ dengan keuangan daerah /pen. (lihat :

Prodjohardjono,dalam : pomphy .blogspot . com ; Suprayitno ,

2011 ,dalam : otdanews.com ( 20-9- 2012 ) ; Ibrahim,2015)

d) Itulah rsisikonya pilihan model Otda yang luas dan berkualitas

dengan fokus pada Daerah Tingkat II( Kabupaten Kota) yang

antara lain disamping menang nyata kekuatan utama Otda pada

Tk.II ,tapi prediksi akan timbul /tumbuh “raja-raja kecil “jika

kurang berhati-berhati ,ternyata ada benarnya juga ;tapi itulah

pilihan dengan segala untung ruginya ;yang penting

“kerugiannya” itu harus diminimalisasi dengan misalnya memilih

elit –elit politik lokal yang benar-benar “abdi masyarakat” dan

berkualitas sekaligus ( lihat : Ibrahim, dokpribadi. (1999-2000)

67) Mengapa Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah belum saja

serasi saat ini , sehingga berakibat kurang efektif dan kurang efisiennya

keuangan daerah ?

Penyebab –penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) PAD belum secara elegan dan obyektif dipungut ,baik meliputi

sektor pajak, retribusi dan sumber-sumber lainnya yang sah,

akibatnya rata-rata ketergantngan APBD terhadap terhadap dana

dari Pusat masih tinggi,sehingga dengan sendirinya keseimbangan


297

nya kurang serasi ( lihat : Ibrahim, 2015 )

b) Gencarnya pemekaran daerah ,sehingga jelas-jelas makin

mengganggu keserasian perimbangan keuangan pusat dan daerah,

ketergantungan kepada pusat makin tinggi ; demikian pula

Pilkada yang selama ini tidak serentak menyebabkan pemborosan

anggaran dan sekaligus sulit mengatur perimbangan keuangan

antara pusat dan daerah menjadi lebih serasi ( lihat : Ibrahim ,

2014,2015)

c) Belum terwujudnya dengan baik hubungan keuangan pusat dan

daerah ,dengan kenyataan- kenyataan yang masih ada ,antara lain

(1) Hak daerah untuk menarik pajak daerah ,mengadakan

pinjaman, memperolah perimbangan dari pusat , belum

berjalan dengan baik

(2) Belum berjalan dengan baik antara lain : bagi hasil pajak dan

non pajak antara pusat—propinsi --- kabupaten kota ;

pendanaan urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab

bersama ; pembiayaan bersama atas kerja sama daerah ;

pinjaman dan atau hibah antar pemerintahan daerah

(3) Belum lancarnya alokasi pusat – daerah sehingga “inbalances

vertical “ tetap terjadi ; demikian halnya masih adanya

“horizontal imbalances “; belum terwujudnya penjagaan

standar layanan publik ( prima) untuk setiap daerah dari

pelaksanaan anggaran daerah ; masih terjadi “spill-over

effect” ; pembangunan ekonomi antar daerah yang masih tim-


298

pang ; Otda yang luas dan berkualitas masih jauh dari

harapan

(4) Belum lancarnya kucuran dan pelaksanaan berbagai dana

perimbangan keuangan pusat-daerah dari APBN ke

APBD,meliputi : dana bagi hasil (DBH) , dana alokasi umum

(DAU) ,dana alokasi khusus ( DAK) dan lainnya yang bersifat

sesuai kebutuhan khusus/mendadak

(5) Akibatnya prinsip-prinsip ideal dana perimbangan keuangan

pusat – daerah belum terwujud dnegan semestinya,antara lain:

(a) Pembagian keuangan antara pusat- daerah belum

proporsional, belum demokratis, belum adil, belum

transparan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah

(b) Belum mencerminkan sepenuhnya konsekuensi dari

pembagian tugas antara pusat dan daerah

(c) Belum terwujudnya desentralisasi fiskal yang stabil dan

seimbang

(d) Belum dapat menjamin sepenuhnya asas-asas pendanaan

yang desentralistis--- demokratis--- dekonsentrasi--- dan

tugas pembantuan dengan baik

(6) Akumulasinya ,fungsi-fungsi anggaran belum tercapai dengan

semestinya sebagai alat perencanaan pembangunan ; sebagai

alat pengendalian, sebagai alat kebijakan fiskal; sebagai alat

politik yang seharusnya ( mewujudkan demokrasi), sebagai

alat koordinasi ;sebagai alat evaluasi kinerja ; sebagai alat me-


299

motivasi birokrasi ; sebagai media menciptakan ruang dan

partisipasi masyarakat ; sebagai alat untuk menguji

transparansi dan akuntabilitas anggaran; keadilan anggaran ;

efektivitas dan efisiensi anggaran

(7) Secara khusus akibat lanjutan dari (1) hingga (6) di atas

maka fungsi-fungsi anggaran daerahpun pada akhirnya

( resultantenya) belum berjalan dengan baik sebagai fungsi

otorisasi ,perencanaan pembangunan daerah, pengawasan,

alokasi, distribusi ,stabilisasi ; demikian halnya belum

terwujudnya prinsip-prinsip anggaran daerah, yakni prinsip-

prinsip : kesatuan, universalitas, tahunan, spesialitas ; akrual,

kas , sebagaimana mestinya (lihat : Halim ,2004 ;

Pudjatmoko,2002 ; Saragih ,2003 ; Mardiasmo, 2002 semuanya

dalam : Bhaskoro , dalam : civicsedu . blogspot . com)

68) Mengapa Reformasi Manajemen Keuangan Daerah belum terlaksana

sebagaimana mestinya,sehingga berakibat anggaran daerah yang

tidak/kurang demokratis dan sekaligus kurang efektif dan kurang

efisien ?

Beberapa penyebab dan kenyataan- kenyataan yang masih ada antara

lain :

a) Secara umum makna “reformasi “ itu sendiri masih relatif

simpang siur, yang mestinya demokratisasi berdasarkan nilai-nilai

demokrasi Pancasila, nyata ada berbagai tafsiran antara lain:

(1) Peralihan rezim (dari Orba ke Reformasi ) setidaknya masih


300

banyak menyisakan “resistensi “ sehingga “sungkan untuk

menerima reformasi “

(2) Penyakit “politik praktis “ masyarakat kita, terutama

kelompok rezim pengganti, selalu menganggap apa yang ada

dari rezim lama tidak ada benarnya, sehingga reformasi

diartikan pokoknya menentang apa saja yang ada di Orde

Baru , reformasi nyaris disamakan dengan revolusi,

membongkar semua yang berlaku pada zaman Orba sampai

keakar-akarnya ( karena dianggap tidak ada yang benarnya )

(3) Ada juga yang berpendapat reformasi itu adalah “menangnya

“faham liberalisme/kapitalisme “ dalam berbagai dimensinya,

karena komunisme telah hancur, sehingga faham

liberalisme/kapitalismelah yang cocok buat Indonesia

( padahal hingga saat ini secara legitimate (absah) Pancasila

tetap menjadi dasar dan idelogi negara )

(4) Ada juga yang berpendapat reformasi inilah “masa kebebasan

sebebas-bebasnya “ , Otda dengan fokus Tk.II itu adalah

bagaimana kita di daerah,sehingga muncullah “kerajaan-

kerajaan kecil “ ( neo feodalisme ); suatu kondisi “kebebasan

tidak terkendali” bercampur aduk dengan para elit politik

yang cenderung neo feodalisme di daerah ; padahal reformasi

itu mestinya “top-down “ dan “bottom-up “ bertemu disatu

titik ,yang dikemas dengan cara berpikir saling memberi ,

mengutamakan kepentingan rakyat , gemar bermusyawarah


301

untuk mufakat dan berpikir sistem dalam pemecahan

masalah/persoalan ; sehingga hampir berkepanjangan terjebak

dalam “anarkisme “( walaupun dewasa ini mulai berkurang )

(5) Pendek kata mengenai reformasi , bangsa Indonesia mestinya

harus mencapai kata sepakat mengenai makna reformasi

,yakni demokratisasi secara menyeluruh dalam berbagai

kehidupan bermasyarakat- berbangsa- bernegara , sesuai

dengan nilai-nilai dan pola pikir Pancasila yang disesuaikan

dengan tuntutan zaman ( lihat : Ibrahim,2002,2006, 2014, 2015)

b) Dari kacamata teknis ,fokus reformasi manajemen keuangan

daerah ( RMKD) memang belum tercapai , dengan kenyataan-

kenyataan antara lain:

(1) Akuntabilitas bedasarkan hasil atau kinerja dengan ciri

“anggaran daerah berbasis kinerja “ memang belum terwujud

(2) Keterbukaan dari setiap transaksi Pemda belum terwujud juga

(3) Belum adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat

,profesional, mandiri, serta dihindarinya duplikasi dalam

pemeriksaan belum dapat diwujudkan juga

(4) Beberapa urgensi reformasi keuangan daerah ,juga belum

tercapai dengan kenyataan-kenyataan antara lain :

(a) Masih rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan

keuangan daerah ,akibat maraknya “irasionalitas” para

pejabat pemerintahan daerah dalam mengelola keuangan

daerah tersebut ( belum berbasis kinerja)


302

(b) Belum adanya/belum nampak dengan jelas skala prioritas

yang terumuskan secara tegas dalam proses pengeluaran

keuangan daerah, yang menimbulkan pemborosan .Selama

ini hampir tidak ada upaya untuk menetapkan skala

prioritas anggaran ,dimana ada keterpaduan antara

rencana kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang

dimiliki

(c) Belum dilakukan dengan semestinya “analisis biaya

manfaat (benefit-cost analysis)” , sehingga kegiatan yang

dijalankan tidak sesuai dengan skala prioritas, sekaligus

juga kurang mendatangkan manfaat bagi rakyat

(d) Masih terjadinya begitu banyak kebocoran dan

penyimpangan ( akibat praktek KKN, utamanya Korupsi)

(e) Masih rendahnya profesionalisme aparat pemerintah

dalam bentuk anggaran sebagai alat akuntabilitas

----manajemen--- kebijakan ekonomi yang sehat ( lihat :

Setiawan , dalam : old.bappenas . go . id )

69) Mengapa kondisi sumber daya manusia (SDM) Pengelola Keuangan

Daerah masih “memprihatinkan” sehingga berakibat keuangan daerah

belum efektif dan belum efisien ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan yang ada, antara lain:

a) Dilihat dari konsep Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM )

umumnya ,dan konsep Pengembangan Sumber Daya Manusia

(PSDM) khususnya, dalam rangka PSDM pengelola keuangan da-


303

erah , masih terdapat beberapa kelemahan antara lain :

(1) Rekrutmen yang sering sarat KKN ,tidak obyektif, dan tidak

didasarkan dengan pendekatan psikologis ( misalnya melalui

rangkaian “baterai uji psikologis”) apakah calon-calon

pengelola keuangan daerah yang direkrut tersebut benar-

benar memenuhi kualifikasi psikologis untuk tugas-tugas

pengelola keuangan daerah yang sekaligus calon pegawai

negeri ,antara lain:

(a) Apakah memang sang calon tergolong tipe calon karyawan

yang memang lebih mengutamakan pengabdian

masyarakat ketimbang yang memang cenderung mencari

keuntungan materi ( tipe yang sesuai “dari sononya” lebih

mementingkan “intrinsic rewards” ketimbang “extrinsic

rewards “), atau yang memang terpanggil untuk menjadi

pegawai negeri yang memang panggilan jiwanya ialah

lebih mengutamakan pengabdian masyarakat, walaupun

kelayakan hidup juga penting,mendapatkan perhatian

Dalam setiap jenjang karirnya di bidang keuangan

hendaknya dibina dengan prinsip pemberdayaan yang

“bertingkat-bertahap dan berlanjut “ ,sehingga ia makin

profesional dalam bidang tugasnya ( setiap penjenjangan

tersebut selalu juga harus diadakan psikotest ( “aptitude

and attitude test”) apakah ia memang tetap konsisten ,dan

sesuai dengan jabatan tersebut


304

(2) Dalam pembinaan karir belum didasarkan pada prinsip :

rekrutmen yang obyektif--- penempatan yang sesuai ---

pencapaian karir yang makin baik (linier dinamis) --- diakhiri

dengan pemisahan (pensiun) yang sejahtera—serta telah

disiapkan pemberdayaan sesudah pensiun,sehingga tidak

terjebak dalam stress, “post power syndrom” dan sejenisnya

(3) Belum dengan tegas dianut “alih tugas dan alih lingkungan “

yang makin meningkatkan pengalaman ( “tacit knowledge” )

di bidang keuangan sehingga makin profesional ( akhli dalam

tugasnya---- amanah --- dan hidup layak sesuai dengan

tingkatannya )

(4) Belum baiknya “evaluasi “ terhadap implementasi PSDM

pengelola keuangan daerah sebagaimana mestinya

(5) Belum dibekali dan dilatih tentang pemahaman tentang

berbagai konsep manajemen kontemporer( misalnya saja

manajemen pelayanan publik, manajemen kinerja, manajemen

konflik, manajemen multi budaya dan lainnya, yang relevan

dengan tugas mereka mengelola keuangan daerah sesuai

tingkatannya )

(6) Belum diberikan pemahaman mendalam tentang keuangan

(7) Belum baiknya dukungan sistem teknologi informasi dalam

melancarkan “tupoksinya “

(8) Belum didukung oleh lingkungan budaya birokrasi dan

lingkungan yang kondusif untuk dapat “mengamalkan tupoksi


305

mereka dengan profesional sepenuhnya” ,tanpa dibebani

berbagai hal yang menyebabkan mereka berada dalam

keadaan “ ambiguitas “ dalam tugasnya ( lihat : Ibrahim ,2012

d, 2014 ,2015)

b) Dari berbagai hasil penelitan mengenai SDM pengelola keuangan

daerah didapatkan kenyataan-kenyataan ,antara lain ( perlu

diingat bahwa sesuatu disebut “ilmiah” bila ditemukan

“kenyataan-kenyataan “ sebenarnya tidak peduli tingkatan

penting-tidaknya, besar kecilnya , luas –sempitnya , rumit –

tidaknya ) :

(1) Ternyata secara kualitatif dan kuantitatif masih kurang

,terutama yang berlatar belakang “akuntansi “

(2) Penempatan SDM nya sering tidak tepat

(3) Tingkat pemahaman dasar dari staf mengenai administrasi

keuangan negara yang umumnya masih lemah

(4) “ Rewards and punishments system “ yang belum tepat dan

belum obyektif

(5) Sarana –prasarana serta proses pendidikan di perguruan

tinggi untuk mendukung pengembangan akuntansi sektor

publik ,masih membutuhkan perbaikan mutu dan kerja sama

( mungkin akan lebih tepat kolaborasi/pen) antara

pemerintahan daerah dan berbagai lembaga pendidikan tinggi

yang ada ,terutama dilingkungan pemda yang bersangkutan

dengan berbagai kegiatan ilmiah yang dapat meningkatkan


306

profesionalisme dan efektivitas serta efisiensi keuangan daerah

(lihat : star . bpkd. go.id ( 9-6- 2014)

70) Mengapa sampai sekarang masih terjadi berbagai kegagalan dalam

keuangan daerah ,justru di era desentralisasi ini, sehingga keuangan

daerah masih saja tidak /kurang efektif dan tidak efisien dalam rangka

mensejahterakan masyarakat ?

Berbagai penyebab dan kenyataan-kenyataan yang masih ada ,antara

lain :

a) Desentralisasi dengan segala risikonya, terutam karena Otda

berfokus pada daerah Tingkat II ( Kabupaten/Kota) masih

memperlihatkan antara lain:

(1) Kegagalan sumber daya daerah terutama mengenai “tax

assigment system “ yang masih terlalu “didominasi pusat “

(2) Masih banyaknya Perda –perda yang bermasalah (misalnya

tidak sesuai dengan aturan yang di atasnya,tumpang tindih,

kabur atau tidak jelas batas-batasnya )

(3) Kegagalan yang masih masih banyak terjadi ( setidaknya ada

13 persoalan seperti yang telah disinggung terdahulu)

(4) Intervensi hak budget DPRD yang sering tidak serasi dengan

aspirasi masyarakat (melalui Musrenbang) dan motif-motif

lainnya dari anggota-anggota DPRD

(5) Kualitas RPJD—RPJMD dan Renstra SKPD yang sering tidak

jelas dengan kenyataan-kenyataan :

(a) Indikator capaian yang kurang akurat


307

(b) Data-base dan asumsi-asumsi yang kurang valid

(c) Analisis “ how to achieve”nya, kerapkali sangat dangkal

sehingga tidak jelas apa maunya

(6) Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan ,layaknya

“bancak-an” , sehingga yang diusulkan terkesan “nafsu-nafsu

“ , “mainstream “ permasalahan tidak jelas ( ibarat kerjudi

dengan usulan sebanyak mungkin supaya probabilitas

dikabulkannya besar, belum lagi ditandai dengan “nego- nego

miring/plus gratifikasi tersembunyi untuk menggoalkan”

order-order tersebut ( baca : “bagi-bagi rezeki”)

(7) Koordinasi antar SKPD yang masih kurang baik secara

kuantitatif ,terutama secara kualitatif

(8) Kurangnya evaluasi yang mendalam oleh propinsi (satuan

atasan langsung) terhadap APBD Kabupaten/Kota , karena

berbagai sebab, antara lain karena kurangnya evaluator, baik

secara kuantitatif maupun kualitatif)

(9) Kualitas Musrenbang Desa dan Kecamatan yang masih kurang

bermutu,apalagi sering “ditikung “ ketika perumusan APBD

selanjutnya pada level Kabupaten/Kota

(10) Proses perumusan anggaran partisipatif tidak berjalan

sebagaimana mestinya, hanya “pemanis bibir “saja

(11) Pemahaman terhadap proses akuntansi masih kurang tepat

,karena SDM yang menangani keuangan banyak yang tidak

berlatar belakang keuangan/akuntansi


308

(12) Advisor dalam penyusunan laporan keuangan masih

kurang /bahkan sering tidak melakukan “ transfer of

knowledge” terhadap entitas akuntansi dan entitas pelaporan

di daerah Tingkat II

(13) Advisor sering berperan ganda sebagai pemeriksa

eksternal ,sehingga melanggar prinsip sistem pengendalian

intern ( SPI) ,dimana entitas pemeriksa eksternal tidak

melaksanakan pendampingan kepada entitas akuntansi dan

entitas pelaporan

(14) Masih banyak entitas pelaporan yang mennganggap bahwa

laporan keuangan daerah adalah dokumen rahasia ( dokumen-

dokumen tersebut hanya milik birokrasi Pemda) ,sehingga

akses masyarakat untuk memantau/memperoleh laporan

keuangan daerah sulit sekali ,bahkan terkesan ditutup-tutupi

oleh Pemda (padahal UU mengamanatkan untuk

mempublikasikannya sebagai bentuk pertanggungjawaban

pemerintah atas sumber daya /keuangan rakyat yang

dikelolanya ,misalnya melalui SIPKD dimana “e-buddgetting “

menjadi ciri utamanya

(15) Banyak aturan yang gencar tuturn ke daerah,sehingga

sering tumpang tindih sementara yang lama belum

dilaksanakan dengan semestinya dan SDMnya tertinggal

dalam pengetahuan mengenai penanganannya ( lihat : Purba ,

2013 ,dalam : caramengatasimasalah.blogspot.com(13-8-2013);


309

Kadafi, 2012 Jurnal Eksis Vol.8 No.2 Agustus, 2012 dalam

:karyailmiah . polnes. ac.id )

b) Pada 2015 saja BPK melaporkan antara lain :

(1) Memang sedikitnya 3.293 masalah keuangan yang terjadi di

beberapa sektor strategis di Indonesia ke Presiden Joko

Widodo ( 21-4- 2015) dengan kerugian 14,74 trilyun rupiah

( kerugian negara 1,42 trilyun, potensi kerugian negara 3,77

trilyun ,kekurangan penerimaan 9,55 trilyun ( untuk semester

II/ 2014 saja )

(2) Pemeriksaan BPK terhadap 135 kementerian dan lembaga

pusat, 479 Pemda , 37 BUMN plus 7.789 kasus ketidakpatuhan

terhadap aturan yang diperkirakan nilainya 40,55 trilyun

rupiah, dengan 2.482 kasus terkait kelemahan sistem

pengendalian internal (SPI) (misalnya dana untuk mesjid

diberikan kepada seseorang yang tidak ada kaitannya dengan

mesjid)

(3) Sektor pajak subsektor Migas bermasalah sekitar 1,12 trilyun

rupiah

(4) Masalah infrastruktur di Kementerian ESDM senilai 5,38

trilyun rupiah dengan kerugian 502,66 milyar rupiah

(5) Departemen Pertanian ,dimana target tambahan produksi

kedelai sebesar sekitar 20 % tidak tercapai , dan departemen

lainnya juga banyak bermasalah ( lihat : BPK, 2015 ,dalam :

cnnindonesia . com. ( 22 – 4 – 2015)


310

c) Masalah yang paling mendasar ialah karena SDM pengelola

keuangan daerah selaku “motornya” memang belum profesional

baik secara kualitatif dan kuantitatif , sehingga kurang mampu

beradaptasi terhadap ketentuan perundangan ,di samping sarana

prasarana dan sistem informasinya yang belum mendukung

dengan baik (dalam konsep administrasi publik dapat dikatakan

bahwa penyebab utama “kegagalan penyelenggaraan keuangan

daerah” atau “kegagalan administrasi keuangan daerah “ ,karena

kurangnya “kemampuan manajerial dan kurangnya dukungannya

“ ( administrasi = integrasi antara kemampuan manajerial dan

beragam dukungannya) ( lihat : Ibrahim ,2014, 2015)

d) Latah pemekaran daerah memperparah “kegagalan

peneyelenggaraan keuangan daerah dewasa ini “ ( lihat:

Latumaerissa, 2015 , dalam : malukuonline . co .id (6-6-2015)

e) Anggaran Daerah sering mengalami kegagalan dan kurang lancar

dalam pengelolaannya ,antara lain karena :

(1) Pemda dengan SKPD-SKPDnya kurang dapat mempercepat

proses perencanaan dan penetapan APBD , demikian halnya

dalam penetapan para pejabat pengelola APBD ,kurangnya

pemberitaan yang luas tentang pelaksanaan—pengawasan

yang efektif , pelaporan yang cepat –tepat –akurat , serta

evaluasi yang kurang baik terhadap pelaksanaan kegiatan-

kegiatan yang diamanatkan APBD

(2) Pemerintah Pusat dan Satuan Kerja Vertikal perlu memperce-


311

cepat pengesahan revisi akibat kebijakan APBN-P (dan APBD-

P) dengan penyederhanaan prosedur penghematan anggaran,

penyusunan jadual kegiatan dikaitkan dengan target

pencapaian penyerapan dan keluaran ,serta komitmen

terhadap penyelesaian tagihan ( lihat : Rohman , 2013

,dalam :kwildjpb _ jogja . net ( 23-12- 2013)

71) Mengapa beragam Inovasi Pelayanan Peningkatan Transparansi

Anggaran Daerah dan Pelayanan Pro Rakyat Miskin di daerah-daerah

belum berhasil ,sehingga masih kurang membantu meningkatkan

efektivitas dan efisiensi keuangan daerah ?

Berbagai penyebab dan kenyataan-kenyataan yang ada ,antara lain:

a) Belum diterapkannya model dari BIGS ( Bandung Institute of

Governance Studies ,LSM Lokal di Jawa Barat) yang melakukan

partisipasinya untuk meningkatkan transparansi APBD (yang

ternyata cukup berhasil implementasinya di Bandung ) ,dengan

cara antara lain :

(1) Perlu dipublikasikannya informasi seputar APBD maupun

draft APBD (Bandung sebagai sampel) melalui penerbitan

buku, poster dan bulletin

(2) Perlu dilakukan pelatihan tentang bagaimana memahami dan

menggunakan secara optimal informasi anggaran ( dalam

aplikasinya telah dicobakan cukup berhasil bagi 100 peserta

terdiri dari unsur birokrasi, awak media massa , politisi dan

lainnya )
312

(3) Perlu mengadakan sosialisasi dan komunikasi dengan

masyarakat tentang pentingnya transparansi anggaran

daerah,karena tujuan anggaran daerah itu utamanya untuk

mensejahterakan masyarakat bukan yang lain

(4) Perlu melakukan berbagai kegiatan membantu DPRD untuk

dapat memperkuat fungsi pengawasannya terhadap lembaga

eksekutif ( Pemda ) sehingga pelaksanaan anggaran daerah

berjalan dengan baik dan merakyat (walaupun untuk modal

merakyat itu sangat tergantung seberapa jauh kesepakatan

DPRD dan Pemda menyepakati besaran anggaran yang lebih

mementingkan rakyat ketimbang birokrasi)

(5) Perlu membantu memberdayakan DPRD sehingga mampu

menghapus sejumlah mata anggaran yang dinilai tidak jelas

atau rentan terhadap penyalahgunaan , kemudian juga

pengajuan dakwaan korupsi terhadap anggota DPRD yang

menjabat pada masa sebelumnya

(6) Ternyata model-model kegiatan BIGS walaupun belum dapat

menghasilkan anggaran (kasus kota Bandung) yang lebih pro

masyarakat miskin,sejumlah LSM di berbagai kota lain

ternyata juga mulai mencoba menerapkan metode dan

program ( “modelling /benchmarking”) dari BIGS tersebut di

atas

b) Belum diterapkan dengan baik Proses Perencanaan Partisipatif

( yang telah dicobakan di Kabupaten Maros ,Sulawesi Selatan ) ,


313

yang kegiatannya antara lain :

(1) Difokuskan pada upaya- upaya mengimplementasikan

/penerapan atau aplikasi secara nyata partisipasi masyarakat

dalam proses perencanaan program dan anggaran

pembangunan daerah ( dalam kegiatan ini difokuskan tim

,pada masyarakat Kabupaten Maros)

(2) Dalam kegiatannya dicobakan pelibatan masyarakat di 19

desa di Kabupaten Maros untuk ditampung partisipasinya

dalam rangka memberikan masukan bagi perencanaan

anggaran daerah di Kabupaten tersebut ( aspirasi dari

masyarakat desa sebagai basis pemberdayaan masyarakat)

(3) Ternyata dalam prakteknya kurang berhasil dengan baik,

karena masyarakat belum mengetahui garis besar rencana

anggaran yang telah dicanangkan untuk mereka ( berarti

mungkin memang dalam rencana besarnya di Kabupaten

Maros,belum tercakup kepentingan meraka,sehingga

masyarakat yang diajak berpatisipasi menjadi kurang jelas

bagi mereka sendiri )

(4) Ternyata dalam penerapannya kurang mengikutsertakan

kaum perempuan ,padahal mestinya tidak demikian ( ingat

penduduk Indonesia lebih banyak kaum perempuan dari laki-

lakinya )

(5) Agak sukar bagi masyarakat desa untuk fokus pada partisipasi

terhadap anggaran daerah ,karena memang sebelum 2004 ,da-


314

na untuk desa nyaris sangat kurang, baru sedikit ada setelah

ada upaya advokasi dari LSM Forum Warga ( tahun 2015 ini

Pusat akan mengucurkan dana desa yang cukup besar, mudah-

mudahan benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat desa,

bukan sering diatasnamakan seperti yang sering terjadi selama

ini /pen.)

(6) Sayangnya bantuan penyandang dana dari luar untuk

kegiatan-kegiatan menggalakkan partisipasi masyarakat ini

terbatas waktu dan kucuran dananya,sehingga kurang

berkelanjutan ( Pemda sepertinya “sengaja enggan” untuk

meneruskannya/pen.)

c) Selanjutnya pemberdayaan masyarakat daerah , penting juga

upaya memberdayakan kinerja dan akuntabilitas PNS yang justru

melayani masyarakat dalam pelaksanaan anggaran daerah , yang

kenyataan-kenyataannya antara lain :

(1) Ternyata kebijakan “remunerasi “ bagi PNS hanya sedikit

memperbaiki kinerja mereka dalam melayani masyarakat

(2) Penerapan sistem denda untuk memperbaiki kinerja , juga

terbukti tidak/kurang efektif

(3) Dihapuskannya tunjangan-tunjangan tertentu ternyata malah

menimbulkan masalah-masalah tertentu bagi karyawan

(4) Manfaat dari upaya pemberdayaan karyawan ini cukup

membantu meningkatkan “transparansi “ proyek ( umumnya

dalam skala kecil)


315

(5) Manfaat lain dari proyek peemberdayaan ini ,ternyata

masyarakat mendapatkan peluang untuk menyampaikan

keluhan-keluhan mereka tentang pelayanan publik oleh Pemda

yang masih kurang baik (apalagi untuk pelayanan prima/pen.)

d) Beberapa catatan penting dari berbagai upaya meningkatkan

transparansi anggaran dan pemberdayaan masyarakat miskin

yang telah dilakukan di berbagai daerah ternyata antara lain:

(1) Sangat pentingnya desentralisasi yang luas dan berkualitas

,serta pentingnya kepemimpinan di daerah ( yang sifatnya

transformasional) dalam rangka meningkatkan pelayanan

publik

(2) Reformasi apapun juga tidak mungkin terlaksana tanpa

adanya desentralisasi dari tingkat pusat ke daerah-daerah

secara nyata (apalagi fokus Otda adalah daerah Tk.II)

(3) Hendaknya Pemda dapat memanfaatkan dengan kewenangan

dibidang keuangan dan administrasi untuk berinovasi

/reformasi yang dirintis sendiri tanpa bantuan dari luar;hal ini

akan turut membantu terciptanya keseimbangan dana sejak

awal proyek

(4) Perpanjangan desentralisasi ke tingkat kecamatan dan desa

memungkinkan reformasi disesuaikan dengan kondisi

setempat melalui gagasan dan kelompok-kelompok

masyarakat yang lebih nyata ,serta partisipasi warga yang

lebih tinggi
316

(5) Kewenangan daerah yang besar (luas dan berkualitas)

mendorong politisi daerah ,warga ,dan lembaga-lembaga

donor , untuk menjadi lebih memperhatikan terwujudnya

“good-governance”

(6) Perlu dipikirkan Perda-perda yang sifatnya mendorong

perubahan pelayanan masyarakat menjadi lebih baik (prima)

(7) Pelaksanaan beragam inovasi pemberdayaan masyarakat tetap

akan lebih tergantung pada kepemimpinan lokal ,kendatipun

mungkin inisiasinya dari luar ( makanya penting sekali

memiliki pimpinan daerah yang memiliki gaya kepemiminan

transformasional tersebut di atas)

(8) Pilkada langsung ( tapi sebaiknya serentak) akan membantu

memilih para pimpinan daerah yang transformasional yang

dibutuhkan dalam memberdayakan masyarakatnya

(9) Pendek kata dalam masyarakat Indonesia yang “paternalistik

dan dalam masa transisi “ ini , sangat tergantung kepada

kepemimpinan dari pimpinan daerah, karenanya kebutuhan

akan kepemimpinan daerah yang transformasional menjadi

“tidak terelakkan” dalam rangka mewujudkan reformasi

secara benar (pen.)

e) Kurangnya diseminasi informasi, menjadi penghambat upaya

membangun kepercayaan masyarakat di daerah

f) Setiap pelaksanaan kegiatan –kegiatan pemberdayaan masyarakat

hendaknya bersifat fleksibel sesuai dengan perkembangan kegiat-


316

an – kegiatan pemberdayan masyarakat tersebut

g) Setiap upaya pemberdayaan masyarakat hendaklah berdasarkan

data yang lengkap

h) Setiap model pelaksanaan masyarakat miskin haruslah bersifat

spesifik disesuaikan dengan kondisi masing-masing kelompok

masyarakat yang akan diberdayakan ( mengenai rincian dari a)

sampai dengan h) di atas ,lihat : siteresources . worldbank.

org( 2006) ; Ibrahim 2014,2015 )

72) Mengapa banyak kepala daerah (juga elit politik daerah lainnya

=anggota DPRD) yang tersangkut masalah hukum (KKN,utamanya

korupsi ) menyangkut keuangan daerahnya sendiri ,sehingga berakibat

pelaksanaan APBDnya nyaris berantakan ( tidak efektif dan tidak

efisien ?)

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Minimnya pemahaman dan pengetahuan pimpinan daerah

mengenai tata keuangan dan tata pemerintahan daerah sesuai

dengan beragam UU yang ada

b) Akibat a) di atas sering pimpinan daerah “ sembarangan “

mengeluarkan uang tanpa pertanggungjawaban yang jelas

c) Mudahnya partai politik ( parpol) merekrut untuk menjadi calon

kepala daerah mulai dari tingkat propinsi--- kabupaten --- kota

yang lebih (hanya ) mengandalkan populeritas dan sumber dana

yang kuat , untuk menjadi kepala daerah ( kemudian ternyata

banyak yang terpilih dengan berbagai taktik termasuk “money po


317

litics “, mengabaikan faktor “integritas dan

kapasitas/kompetensi /kepemimpinan” yang diperlukan dalam

memimpin daerah dalam era Otda yang luas dan berkualitas

d) “Mahal”nya “pesta demokrasi “ dengan pilkada langsung dewasa

ini ,apalagi tidak serempak ( 2015 diadakan pilkada serempak

sekitar >50% daerah di Indonesia) .

Calon kepala daerah harus mengeluarkan uang ekstra termasuk

“money politics” seperti yang telah disinggung di atas ,agar

memperoleh dukungan .Setelah berhasil menjadi pimpinan

daerah, maka “uang negara” sering disalahgunakan untuk

menutupi pengeluaran selama bertarung di pilkada ( lihat lebih

jauh mengenai a) sampai dengan d) di atas ,lihat : Moenek ,

2014 ,dalam : normnews .com (20-2-2014)

e) Masih banyak memang calon pimpinan daerah yang belum

termasuk kategori “ politisi terpanggil” , yang lebih

mementingkan pengabdian kepada masyarakat “ ketimbang cari

kekayaan dari jabatan-jabatan politi/publik yang disandangnya ;

mestinya menjadi kepala daerah itu mestinya lebih merupakan

“aktualisasi diri “ karena kebutuhan lainnya sudah terpenuhi,

bukan sebaliknya ,dimana banyak juga yang “track recordnya”

untuk menjadi pimpinan daerah sebetulnya kurang memadai

secara kualitatif ( lihat : Ibrahim , 2014 ,2015)

73) Mengapa dana bantuan sosial (Bansos) di daerah-daerah hampir selalu

mendatangkan persoalan dan tidak dilaksanakan sesuai tujuan Bansos


318

itu sendiri ,dan sama sekali tidak efektif dan tidak efisien ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataan yang ada ,antara lain:

a) Persoalan –persoalan bansos /belanja sosial pada umumnya

,antara lain :

(1) Kriteria penerima bansos sering tidak jelas

(2) Volumenya sering tanggung dan tidak berkelanjutan ,sehingga

manfaat/tujuannya tidak/kurang tercapai

(3) Cara menyeleksi dan cara penyalurannya sering tidak tepat

(4) Banyak yang salah manfaat

(5) Sering juga SPJ-nya tidak jelas /fiktif

(6) Sering belum /tidak dipertangungjawabkan penerima, karena

lain jumlah yang dikeluarkan anggaran, lain pula yang

diterima sipenerima

(7) Sering juga pertanggungjawaban dan obyeknya di”fiktif”kan

oleh pihak yang mengeluarkan dana bansos--- yang menjadi

mediator--- dan “disetujui dengan memendam rasa “ oleh

penerima ketimbang tidak mendapatkan dana bansos tersebut

( bag-bagi rezeki dengan mengatasnamakan masyarakat yang

menerima ,akhirnya terjebak dalam “korupsi bersama-

sama/berjamaah ,dan tujuaannya tidak tercapai sama sekali )

b) Modus penyimpangan Bansos yang sering terjadi :

(1) Alokasi belanja bansos digunakan untuk kegiatan lain ,yang

seharusnya dialokasikan kedalam belanja non bansos ,dengan

harapan mempermudah dalam pertanggungjawabannya


319

(2) Pengeluaran dana bansos sering sekali tidak tepat sasaran,

tidak tepat jumlah , dan tidak tepat waktu

(3) Penerima manfaat dana bansos tidak membuat laporan

pertanggungjawaban sesuai ketentuan

(4) Dimanipulasi dengan proses pengadaan barang /jasa yang

dibiayai dengan belanja “non bansos” sehingga menjadi lebih

longgar kepatuhannya

(5) Dana bansos dicairkan di akhir tahun dan ditampung ke pihak

ketiga sebagai penyalur atau penampungnya ,dan

penyalurannya kepenerima manfaat atau penggunanya

dilakukan pada tahun berikutnya ,sehingga sulit dikendalikan

karena sudah dianggap terealisasi 100 persen pada tahun

sebelumnya

(6) Penetapan penerima manfaat dana bansos tidak dilakukan

sesuai tahapan yang diatur dalam pedoman

(7) Penyaluran dana bansos ke penerima fiktif

(8) Sering dikamuflase demi kepentingan dana dukungan politik

untuk pilkada dan sejenisnya ,tetapi tentu saja dengan

mengatasnamakan kelompok masyarakat yang dikategorikan

sangat pantas mendapat bantuan bansos tersebut ( padahal

kalaupun diberikan hanya sedikit sekali dari nominal yang

semestinya ,dalam tatalaksananya /pen.) ( untuk a) dan b) lihat

: Pramono , 2014 ,dalam : iaiglobal . or . id (10- 6- 2014) ;

Ibrahim 2012 d, 2014,2015)


320

74) Mengapa Sistem Pengendalian Intern Pemda ( SPIP) --- Budaya

keOrganisasian ( BO) --- dan Komitmen keOrganisasian (KO) ,belum

dapat mendukung dengan semestinya penerapan Sistem Informasi

Akuntansi (SIA) dan kualitas Laporan Keuangan Daerah ( LKD)

,sehingga mengakibatkan inefektivitas dan inefisiensi

keuangan/anggaran daerah ?

Beberapa penyebabnya dan kenyataan-kenyataan yang ada antara

lain:

a) Sistem Pengendalian Intern Pemda ( SPIP) utamanya pengedalian

keuangan intern daerah ---- Budaya keOrganisasian Pemda

( BO)--- Kompetensi Birokrasi Pemda ( terutama dalam mengelola

keuangan daerah (MKD) ---- penerapan dengan baik Sistem

Informasi Akuntansi kuangan daerah ( SIA) secara terintegrasi

akan menampilkan kualitas Laporan Keuangan Daerah

( lengkapnya terwujud dalam Sistem Informasi

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (SIPKD) yang sekaligus

mencerminkan efektivitas dan efisiensi keuangan daerah (EEKD);

tetapi dalam kenyataannya belum terwujud hampir diseluruh

Pemda ,antara lain karena :

(1) Belum baiknya kualitas SPIP keuangan daerah karena masih

kurang profesionalya aparat pengendalian keuangan intern

daerah ( APIP) itu sendiri baik secara kualitatif maupun

kualitatif ,sehingga kinerja pnegendalian internal keuangan

daerah belum baik


321

(2) SPIP ini selain karena penyebab kualitas SDMnya(APIP)

nya ,juga dukungan sarana –prasananya rata-rata masih

kurang lengkap dan kurang sesuai dengan tuntutan “e-

budgetting “ dewasa ini

(3) Budaya keOrganisasian ( BO) sendiri pada dasarnya

kebanyakan belum terbangun dengan baik , masih banyak

yang bersikap “resisten “ terhadap pekembangan manajemen

informasi keuangan daerah ( terdiri dari sistem informasi (SI)

dan teknologi informasinya (TI) , katakanlah sebagian

“gaptek” ,dan kurang suka menerima kemajuan manajemen

informasi tersebut , dengan berbagai alasan ( misalnya takut

tersingkir, takut ketahuan belangnya selama ini, sudah senang

dengan posisi “status quo “ sekarang ini , dan lainnya)

Dengan kata lain, banyak birokrasi pemerintahan daerah yang

belum mencerminkan cipta—rasa-karsa/karya baru, sesuai

dengan tuntutan perkembangan zaman kebutuhan akan sistem

“e-budgetting” dengan berbagai perangkatnya dewasa ini

(4) Komitmen birokrasi daerah sendiri pada umumnya masih

rendah (KO-nya masih rendah) ,artinya niat yang dilanjutkan

dengan perbuatan nyata untuk menerapkan akuntbailitas dan

keterbukaan pengelolaan keuangan daerah itu memang relatif

masih belum kompak ,terlihat belum memiliki loyalitas yang

tinggi , belum terlihat sepenuhnya bekerja secara optimal

dalam berupaya menyukseskan sistem informasi keuangan dae


322

-rah .Di samping itu belum ada “kode etik “yang jelas ( yang

mengarah kepada pedoman berperilaku sebagai abdi

masyarakat ;karena kode etik birokrasi (pegawai negeri)

dewasa ini masih terlalu “induktif (umum dan kurang jelas

akan berperilaku seperti apa)” ,tidak “deduktif “ ( jelas

arahnya bagi perilaku dalam bekerja )

(5) Belum adanya standar kompetensi yang jelas ,mekanisme

hubungan kerja yang baik, struktur organisasi yang sesuai

dengan kebutuhan urusan-urusan yang ada di masing-masing

daerah, belum baiknya sistem penilaian kinerja yang jelas

(lNurmalasari, 2015 ; Saranaung , 2015 ; FGD-Unpad ,2004)

b) Yang paling esensial ialah masih kurangnya keteladanan dari para

elit politik lokal yang mecerminkan motivasi yang kuat untuk

mewujudkan e-governance yang tercermin dalam keinginan kuat

untuk mewujudkan sistem informasi keuangan daerah yang baik

tersebut ,bahkan justru memberikan contoh yang sebaliknya

( misalnya perilaku KKN ,utamanya korupsi ,yang nyaris menjadi

budaya para elit politik lokal dewasa ini) Harus diingat dalam

konsep kepemimpinan,keteladanan itu sekaligus bentuk

komunikasi kepemimpinan yang paling baik, apalagi bagi

masyarakat kita yang memang bersifat paternalistik dan dalam

masa transisi seperti dewasa ini ( lihat : Ibrahim, 2014,2015 )

75) Mengapa Dana Otonomi Khusus (DOK) tidak/belum dapat dikelola

dengan baik ,sehingga manfaat DOK untuk mensejahterakan masyara-


323

kat di daerah – daerah otonomi khusus tersebut, pada umumnya

( DOKnya menjadi tidak efektif dan tidak efisien, dalam rangka

memberdayakan masyarakat di daerah-daerah tersebut ?)

Penyebab dan kenyataannya antara lain sebagai berikut :

a) Karena berbagai hal Pemda-pemda DOK ternyata kurang dapat

memanfaatkan DOK tersebut secara efektif dan efisien ,padahal

DOK tersebut sifatnya tidak terus menerus

b) DOK belum dimanfaatkan dengan baik untuk mendongkrak

pembangunan ,karenanya mestinya lebih difokuskan pada

pembangunan infrastruktur sebagai penunjang pembangunan

daerah , pemberdayaan ekonomi rakyat ( terutama yang paling

termarjinalisasi /pen.) , pendanaan pendidikan ,sosial dan

kesehatan ,sehingga dapat meningkatkan IPM masyarakat

( eknomi-kesehatan-pendidikan) sekaligus dapat mereduksi

ketimpangan dengan daerah lain ( sehingga kecerdasan

meningkat- kesehatan meningkat – distribusi pendapatan lebih

baik ,yang pada akhirnya meminimalisasi kesenjangan mencolok

antar daerah dalam rangka mencapai sasaran Otda yakni

desentralisasi yang luas dan berkualitas buat semua daerah )

c) Dalam pelaksanaannya, ternyata masih belum transparan dan

belum akuntabel sehingga kualitas pengelolaannya dan

pemantauannya belum baik

d) Belum adanya “master plan” yang mengatur pengelolaan DOK

tersebut ,belum adanya “ networks and programm planning” ,se-


324

hingga menjadi kurang jelas arahnya dan bersifat sporadis dan

rawan penyalahgunaan ( lihat :Ratna ,2015 ; Ibrahim ,2012 a,b,c.)

76) Mengapa Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah ( LKPD) belum

baik ( sehingga banyak penilaian Disclaimer Opinion (DO= Tidak

Menyatakan Pendapat) , Wajar Dengan Pengecualian ( WDP) dan

sedikit penilaian dengan kriteria Wajar Tanpa Pengcecualian ( WTP)

, yang mecerminkan kurang efektif dan kurang efisiennya keuangan

daerah pada umumnya ?

Catatan : Dari hasil pemeriksaan BPK tahun 2015 , sudah terdapat 26

Gubernur (Tk.I) , 150 Bupati dan 50 Walikota ( Tk.II) yang sudah

berkategori WTP ,suatu kemajuan yang cukup signifikan)

Beberapa penyebab dan kenyataan yang ada antara lain :

a) Belum sinkronnya aturan antara Kementerian Keuangan dan

Kementerian Dalam Negeri

b) Banyaknya kasus korupsi, mengelola keuangan untuk kepentingan

kelompok, “auditor diancam preman –preman keuangan di

daerah “, banyaknya uang yang tidak dimanfaatkan untuk

kepentingan masyarakat ,sehingga menyebabkan LKPDnya

tidak /kurang baik ( mau ditutup-tutupi tapi akan ketahuan jug

pada keanehan-keanehan yang ditemukan pada LKPD – LKPD

tersebut ,seperti pertanggungjawaban fiktif, terlihat seperti asli

tapi sebenarnya palsu (aspal)

c) Gencarnya peraturan-praturan yang mengatur LKPD dari

Pusat,sehingga sering tumpang tindih , terlalu cepatnya turunnya


325

sedangkan kesiapan SDMnya di daerah tidak /kurang mendukung

sehingga peraturan-peraturan tersebut lamban dilaksanakan

(lihat : gresnewscom . com ( 5 -12- 2014)

d) Bagaimana mungkin LKPD mau baik ,kalau terjerat dalam

banyak kepentingan dalam proses perumusan APBDnya, sehingga

terlambat /sekalian terlambat dalam pertanggungjawabannya,

komposisinya yang memang banyak kurang merakyat , akibatnya

LPKDnya kurang baik juga ( lihat : Ibrahim , 2012 d, 2015)

e) Banyak kepala daerah yang bersikap kurang serius menanggapi

hasil penilaian DO dan WPD seolah- olah bukan hal yang perlu

segera mendapatkan perbaikan ,padahal sikap demikian

sebenarnya sudah termasuk kategori melanggar hukum (pen.)

f) Catatan: lihat beragam masalah yang ditemukan BPK dan KPK

mengenai masih kurang baiknya penyelenggaraan keuangan

daerah (inklusif berakibat sama pada LKPDnya) seperti yang

telah disinggung terdahulu (pen.)

77) Mengapa Platform Otonomi Daerah (Otda) belum bersinergi ( lebih

tepatnya belum”merefleksi ) dengan atau dalam pelaksanaan Keuangan

Daerah ( APBD) sehingga berakibat kurangnya efektivitas dan

kurangnya efisiensi keuangan daerah ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya ,antara lain :

a) Belum difahami dengan baik refleksi Otda dari makna platform

hingga merefleksi dalam prakteknya ,antara lain :

(1) Makna istilah platform Otda itu sendiri yang belum difahami
326

dengan baik ,yakni “kerangka pikir mengenai Otda

( desentralisasi yang luas dan berkualitas dengan ciri-cirinya),

hingga refleksinya dalam pemerintahan daerah yang “bersih

dan berwibawa” ,dan seterusnya terlihat dalam kinerja Pemda

yang berkualitas dalam rangka pembangunan daerah yang

sepenuhnya dilaksanakan dengan kebijakan dan strategi –

perencanaan dan program yang terintegrasi ,sehingga

tujuannya untuk mensejahterakan rakyat secara bertahap

dapat terwujud secara linier dinamis ,inklusif di dalamnya

merancang dan memutuskan kebijakan anggaran daerah =

APBD yang merakyat, dan dilaksanakan secara konsisten

dengan komitmen yang tinggi dari semua stakeholsers

pembangunan di daerah ,baik stakeholders internal (pemda )

dan eksternal( masyarakat luas)

(2) Makna Desentralisasi ( Otda) itu sendiri belum sepenuhnya

difahami dengan baik yakni :

(a) Menyelenggarakan kewajiban pelayanan publik yang lebih

baik

(b) Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pengeluaran

sektor publik

(c) Menciptakan dan melaksanakan proses pengambilan

keputusan /kebijakan publik yang lebih demokratis

(3) Latar belakang Otda itu sendiri belum difahami dengan baik:

(a) Latar belakang NKRI yang memang esensinya Otda yang


327

luas dan berkualitas dan memang sudah tuntutan

globalisasi dunia dan perkembangan faham demokrasi

dunia yang cenderung berkembang menjadi “nasionalisme

yang makin terdesentralisasi dan kecenderungan

demokrasi “jalan ketiga” (bertumpu pada demokrasi

diawali di keluarga dan kesejahteraan keluarga sebagai

basis negara sejahtera )

(b) Otda yang luas dan berkualitas adalah tuntutan bagi

Indonesia sesuai amanat UUD’45 , dan agar tidak terjebak

dengan adanya kenyataan-kenyataan terjadinya

distintegrasi diberbagai negara yang sentralistik ,yang

akhirnya tercerai berai karena tidak merefleksikan

tuntutan zaman yang memang sifatnya desentralistis

tersebut ( bagi NKRI hal ini sedah diamanatkan sejak

1945 , kitanya saja yang tidak mereflekssikan dengan baik,

baru sadar ketika sudah ada tanda-tanda disintegrasi

bangsa tersebut )

(c) Memang NKRI yang sentralistik sebelumnya ternyata

banyak mengalami kegagalan karena amanat UUD’45

sendiri sejak awal, ialah Otda yang luas dan berkualitas

dalam rangka NKRI ,bukannya federalisme)

(4) Prinsip Otda sesuai platformnya (ini yang juga belum dihayati

sepenuhnya ) ialah otonomi nyata (desntralisasi nyata) dan

bertanggung jawab ,antara lain :


328

(a) Lancar dan teraturnya ( kesiembangan ) pembangunan di

seluruh wilayah negara ( daerah-daerah)

(b) Sesuainya pembangunan dengan amanat UUD’45 yakni

masyarakat adil dan makmur berdasarkan nilai-nilai

Pancasila

(c) Sesuainya pembangunan dengan terwujudnya kesatuan

politik, kesatuan perekonomian, kesatuan sosial budaya ,

dan kesatuan pertahanan keamanan dalam bingkai

bhineka tunggal ika

(d) Terjaminya keserasian hubungan antara Pusat dan

Daerah-daerah

(e) Terjaminannya pembangunan daerah yang seimbang antar

daerah dengan terjwujudnya pembangunan yang “linier

dan dinamis” tidak sering mengalami “setback” seperti

yang sering terjadi selama ini

(5) Bentuk dan dimensi dari Otda yang luas dan berkualitas :

(a) Dalam aspek politik : Otda harus tetap konstitusional

dalam regulasinya dan adanya partisipasi masyarakat

dalam proses kebijakan publik/politik di daerah

(b) Dalam aspek fiskal : pembagian beban belanja ,pembagian

sumber pendapatan , transfer pusat ke daerah ,pinjaman-

pinjaman yang layak demi kepentingan kesejahteraan

rakyat

(c) Aspek administrasi (penyelenggaraan ) pemerintahan Otda


329

/pemerintahan daerah yang :memberikan pelayanan publik

prima, keterbukaan informasi dan pemantauan,

akuntabilitas dan transparansi /anti korupsi , kapasitas

teknis dan manaejerial yang baik, keserasian antara

dekonsentrasi--- delegasi wewenang--- devolusi

(d) Perekonomian dengan integrasi antara : debirokratisasi,

deregulasi, kemitraan dan privatisasi yang selektif demi

kepentingan kesejahteraan masyarakat

(6) Khusus strategi keuangan daerahnya ,antara lain :

(a) Strategi makro : perumusan kebijakan-kebijakan untuk

memperkuat/mempertinggi “modal pembangunan” dari

masa – ke masa ;mempertinggi pengeluaran pembangunan

demi kepentingan rakyat ; agar keuangan daerah apapun

bentuknya dilaksanakan secara efektif dan efisien ;

menciptakan pertumbuhan yang cukup tinggi , tersedianya

faktor-faktor produksi yang cukup dan merata

(b) Strategi alokasi sektoral meliputi : arah pembentukan

modal yang jelas ; menciptakan perangsang untuk

menarik sumber daya dari daerah lain; mempertinggi

peranan sektor –sektor ekonomi yang beragam dan

memodernkan seluruh kegiatan perekonomian

(c) Kebijakan strukturisasi demografi : mengurangi lajunya

pertumbuhan penduduk ; persebaran ; komposisi ; IPM

dan lainnya
330

(d) Kebijakan moneter meliputi : penetapan cash-ratio ;

perdagangan surat berharga ; penetapan suku bunga

kredit ,dan lainnya

(e) Kebijakan fiskal meliputi desentralisasi fiskal dan

instrumennya : revenue sharing ( DAU- DAK dan lainnya);

fiscal sharing (membagikan kewenangan memungut pajak

dan belanja publik ke daerah ) ; fungsi subsidi (grants)

kepada pemerintahan daerah meliputi subsidi umum,

subsidi spesifik , “matching grants” ; privatisasi meliputi

antara investasi swasta dalam bidang pelayanan

masyarakat dengan berbagai kegiatan/teknisnya (lihat :

Danial A., 2014 ,dalam : endangdanial . wordpress . com

( Februari ,2014)

b) Masih banyak Otda yang terjebak dalam kondisi “arogansi

daerah “ , kurang amanah dalam melaksanakan Otda, terjebak

dalam kondisi neo liberalisme dan bahkan ada juga yang terjebak

dalam kondisi “neo feodalisme “ akibat pemahaman reformasi

yang belum sepakat difahami sebagai upaya demokratisasi dalam

NKRI ( Otda luas dan berkualitas dengan rujukan tetap pada

nilai-nilai demokrasi Pancasila )(yang mestinya merefleksi

denngan benar sejak tataran filosofis—ideologis(5 sila dalam

Pembukaan UUD’45 sebagai dasar dan pedoman bernegara —

wawasan kebangsaannya(Wawasan Nusantara NKRI merupakan

satu kesatuan politik,satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial-


331

budaya dan satu kesatuan pertahanan-keamanan )---- metoda

/pola pikirnya ( mementingkan kepentingan rakyat, saling –

memberi , mengutamakan musyawarah untuk mufakat, serta

pendekatan sistem dalam proses merumuskan kebijakan publik)

--- tolok ukur keberhasilan pembangunannya ( yakni Ketahanan

Nasional dan Ketahanan Wilayah/Daerah ) ------ kebijakan

/strategi pembangunannya ---- rencana /program

pembangunannya (inklusif APBD di daerah ) ----dan sangat

tergantung pada “tingkat amanah “ para pelaksana

pembangunan itu sendiri ( lihat : Ibrahim, 2002, 2006 , 2014,2015)

78) Mengapa pada umumnya “peta kemampuan keuangan “propinsi

khususnya ,daerah tingkat II pada umumnya , masih “belum tertata”

dengan baik, sehingga efektivitas dan efisiensi keuangan daerah belum

terwujud ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan yang ada ,antara lain :

a) Belum terpenuhinya sejumlah indikator kemampuan keuangan

daerah yang baik (relatif) ,antara lain :

(1) Pada umumnya “kinerja PADnya belum baik , dimana PAD

belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap APBD

(2) Parameter-parameter dari analisis kinerja yang belum baik itu

antara lain :

(a) Ukuran Elastisitas , Share ,and Growthnya terhadap APBD

belum baik (lihat uraian-uraian terdahulu)

(b) Pemetaan dan Analisis Kemampuan Keuangan Daerah , di-


332

ukur dengan Metode Kuadran dan Metode Indeks ,juga

belum baik ( lihat uraian-uraian terdahulu)

(c) Upaya-upaya dan kebijakan –kebijakan daerah mengenai

pengelolaan keuangan daerah yang terkait dengan

Peningkatan PAD dan Investasi pada umumnya belum

baik( istilahnya belum dilakukan dengan “elegan”, lebih

terkesan “semberono, terutama jika sudah menyangkut

retribusi daerah )

(3) Dalam kenyataannya terlihat feonomena antara lain sebagai

berikut :

(a) Kinerja PAD secara umum di daerah-daerah (utamanya

propinsi) di Kawasan Barat Indonesia (KBI) ternyata “peta

keuangannya relatif lebih baik” dibandingkan dengan

daerah-daerah (utamanya propinsi ) di Kawasan Timur

Indonesia (KTI)

(b) Ternyata daerah yang memiliki beragam sumber daya

alam (SDA) yang melimpah ,”tidak serta merta “ memiliki

kinerja PAD yang baik ( apalagi kalau dikorupsi/pen.)

b) Sejumlah persoalan yang masih ditemukan ,antara lain :

(1) Sistem anggaran berbasis kinerja ternyata belum

diapalikaskan dengan semestinya

(2) Koordinasi vertikal dan horizontal dalam hubungan antar

lembaga pemerintahan ( HALP) belum baik

(3) Aspek SDM pengelola keuangan daerah, utamnya yang bertu-


333

gas belum profesional sesuai tuntutan kinerja yang diharapkan

dengan kenyataan-kenyataan :

(a) Belum sepenuhnya memahami serangkaian aturan atau

acuan mengenai keuangan /keuangan daerah yang ada

(b) Pemahaman yang masih kurang mumpuni mengenai

tuntutan MPB dan PPB ( pelayanan publik prima)

(c) Belum sepenuhnya menguasai manajemen informasi ( TI

dan SI nya ) serta perangkat sarana-prasarananya sehingga

SIKPD belum berjalan dengan baik ( lihat : Direktorat

Pengembangan Otda ,dalam : bappenas . go . id )

79) Mengapa kita (utamanya Pemerintahan ) belum dapat membangun

Indonesia dari “desa” sebagai basisnya ( atau istilahnya membangun

dari “pinggiran “ ) dengan semestinya ,(terutama dari aspek kebijakan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ( APBDes) ,sehingga

keuangan daerah dapat sangat efektif dan efisien bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakat secara benar ?

Penyebab-penyebab dan kenyataan-kenyataan yang masih ada

,antara lain :

a) Beberapa penyebabnya antara lain :

(1) Kebijakan pemberdayaan masyarakat di Indonesia belum

menganut prinsip “piramida terbalik” yang justru masyarakat

termarjinalisasi itu banyak terdapat di pedesaan (karena

itulah urbanisasi sangat deras arusnya )

(2) Selama APBDes itu tidak jelas ,mestinya harus seperti APBD –
334

Mini , yang merakyat misalnya 30 % belanja operasional

aparat ,70 % belanja pembangunan masyarakat misalnya

meningkatkan kapasitas UMKM

(3) Konsep pemberdayaan desa selama ini belum jelas, padahal

masyarakat desa sangat urgen untuk diberdayakan kapasitas

ekonominya, kapasitas “politiknya “, dan kapasitas kualitas

SDMnya sesuai hajat hidup yang digelutinya ( bahasa

sederhana dari “profesinya”)

(4) Nampaknya Pemda (Kabupaten/Kota) sepertinya belum

memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat desa

untuk berpartisipasi dalam pembangunan ,nyatanya banyak

aspirasi mereka dalam arena Musrenbang ditingkat bawah,

ternyata “ditikung “para elit politik lokal ketika merumuskan

APBD, sehingga pemberdayaan masyarakat desa

terpinggirkan

(5) Belum menganggap sepenuhnya bahwa desa merupakan basis

yang utuh dalam upaya memberdayakan masyarakat demi

keberhasilan Otda

(6) Belum diberdayakan dengan baik perangkat desa yang

merakyat yakni kepala desa, aparat desa, badan musyawarah

desa, lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat desa ,

dengan cara satuan atasan (kabupaten/kecamatan)

memberikan delegasi wewenang yang luas dan berkualitas bagi

aparat desa ( harus diingat delegasi wewenang baru berhasil ,


335

jika didahului pemberdayaan lebih dulu sesuai dengan tupoksi

yang akan diberikan )

(7) Program-program dalam APBD ,misalnya yang dirancang oleh

SKPD-SKPD tidak berorientasi kepada “kebutuhan desa”

sebagai basis pembangunan masyarakat ,lebih berorientasi

kepada kepentingan yang bernuansa “ego sektoral “

(8) Acuan untuk menentukan besarnya plafon desa belum

didasarkan kepada :

(a) Apa betul-betul menjadi kebutuhan masyarakat desa ?

(b) Apa saja yang menjadi unngulan di desa untuk

diprioritaskan ?

(c) Apakah dapat mengembangkan juga desa-desa sekitarnya

dengan kerja sama selanjutnya

(d) Apakah aksesibilitasnya cukup tinggi untuk diprogramkan

secara nyata sesuai urgensinya ?

(9) Belum digalakkannya “akselerasi pembangunan dengan basis

desa “( atau “ membangun dari pinggiran “ ) atau bahkan ada

yang mengistilahkan “ revolusi pembangunan dari desa” yang

menganut prinsip :

(a) Mewujudkan reformasi pembangunan desa dengan baik

(yakni “bottom-up” dan “top-down” bertemu di satu titik)

(b) Kebijakan pembangunan desa pada dasarnya harus

melibatkan jajaran pejabat, baik pusat , daerah ,dan

tingkat desa ,sehingga tidak mengalami “distorsi “ ditengah


336

jalan ( dewasa ini (2015) sudah diputuskan kucuran

anggaran desa yang diatur oleh keputusan bersama

menteri-menteri terkait ( 3 menteri )

(c) Dukungan dana pembangunan desa hendaknya cukup

,tidak streotip, karena setiap desa tidak sama kondisinya

dalam berbagai hal; dan desa itu diserahkan sepenuhnya

kepada pemerintahan desa yang sudah diberdayakan ,agar

tidak menambah daftar pejabat yang mengkorup anggaran

daerah

(10) Diperlukan model “gerakan desa membangun” dengan

desa sebagai pusat aktivitas pemerintahan,kegiatan

pembangunan ,dan pelayanan publik prima secara nyata ,yang

diawali dengan peningkatan kualitas aparat desa , pemberian

kesempatan luas kepada desa untuk menggali sumber

pendapatan asli desa untuk kepentingan desa itu sendiri

(11) Catatan : sudah ada model yang cukup baik yakni “

Gerakan Desa Membangun ( “Gerderma”) yang dicanangkan

di 109 Desa di Kabupaten Malinau ( lihat : Yansen TP,2014

,dalam : sanggerderma . com ( 3-5- 2015) ; Setiawan ,2011 ;

Ibrahim ,2012 c. ; Prahalad, 2010)

b) Belum adanya pedoman yang jelas tentang Penataan Kewenangan

(Urusan ) Pemerintahan Desa dan Pengembangan Standar

Pelayanan Minimal pelayanan publik di pedesaan , dengan

kenyataan- kenyataan-kenyataan antara lain sebagai berikut :


337

(1) Belum diatur dengan baik kewenangan desa sebagai satu

kesatuan pemerintahan terkceil yang utuh dengan segala

kewenangannya ( memungkinkan adanya

desentralisasi,dekonsentrasi dan tugas perbantuan)

(2) Desa masih diatur secara streotip ,padahal desa beragam

jenisnya , sebaiknya disesuaikan dengan latar belakang historis

dan budayanya

c) Belum adanya standar pelayanan minimal (SPM) yang diatur

dengan baik oleh satuan atasannya meliputi :

(1) Pelayanan administrasi ( penerbitan kartu keluarga (KK) ,

surat keterangan pindah , pelayanan penerbitan surat tanah,

pelayanan surat keterangan untuk nikah , pelayanan

penerbitan surat pengantar kelahiran ,pelayanan penerbitan

surat pengantar KTP, pelayanan penerbitan surat pengantar

kenal lahir, dan puluhan jenis lainnya yang dapat dilakukan

desa)

(2) Pelayanan barang dengan berbagai jenisnya

(3) Pelayanan jasa dengan berbagai jenisnya

d) Kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan pemerintahan

belum memperlihatkan platform yang jelas ,masih belum jelasnya

pengaturan apa saja yang diberikan kepada desa , yang berarti

belum adanya “grand design” mengenai penguatan otonomi desa

dengan baik

e) “Grand design “ yang belum jelas tersebut misalnya meliputi anta-


338

ra lain :

(1) Penataan urusan dan kewenangan desa

(2) Strategi pemberdayaan aparatur dan masyarakat desa

(3) Penyempurnaan Sistem Perencanaan Pembangunan Desa

Partisipatif

(4) Penataan Administrasi Personalia dan Administrasi Keuangan

,dan lainnya

(5) Ini semua bermakna : Konsekuensi penerapan otonomi desa

beserta SPM-nya memerlukan “penguatan pemerintahan

desa” baik dari aspek kelembagaannya, dan aspek SDM

aparatur pemerintahan desa ( lihat : Utoro & Andi Wahyudi,

2008, dalam : download . portalgaruda . org ( 29-30 Agustus

2008)

80) Mengapa sering terjadi “fraud “( penyimpangan berupa kecurangan )

dalam laporan keuangan daerah- daerah , yang berakibat kurang efektif

dan kurang efisiennya keuangan daerah ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataan yang ada ,antara lain :

a) Penyebab terjadinya “fraud” antara lain :

(1) Memang ada motivasi untuk berbuat fraud untuk

mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok dan organisasi,

dari pengelola keuangan daerah tersebut dalam berbagai

stratanya ( karena diteladani oleh unsur elit politik lokal)

(2) Memanfaatkan berbagai sarana apa saja yang dapat

digunakan untuk melakukan kecurangan keuangan tersebut ,


339

misalnya dokumen kontrak /lelang yang “diatur” ,transaksi

keuangan yang dilakukan secara tunai /tidak menggunakan

pencatatan yang baik

(3) Memanfaatkan berbagai “kesempatan “ karena kurangnya

pengawasan internal dan pemahaman tentang aturan yang

dimanfaatkan untuk berbuat kecurangan

b) Dari sudut pandang lain ,memang kenyataannya banyak peluang

terjadinya “fraud “ ,antara lain :

(1) Memang dilakukan oleh berbagai pihak ,baik bersama-sama

maupun perorangan yakni :kecurangan oleh karyawan ,

kecurangan manajemen/pimpinan, kecurangan oleh

pelanggan/mitra

(2) Kecurangan lainnya ialah “e-commerce fraud “ (kecurangan

melalui internet)

c) Masih lemahnya ,antara lain :

(1) Susana kerja ( iklim kerja ) yang kurang baik, menjadi sumber

kecurangan

(2) Kurangnya pengawasan internal yang baik

(3) Kurang dilakukannya “audit kinerja “

(4) Kurangnya audit-audit yang bersifat khusus ,misalnya audit

investigatif yang memang memerlukan teknik yang lebih

“canggih” ( mencari sesuatu dibalik sesuatu /pen.)

(5) Kurang telitinya audit atas laporan keuangan daerah ( karena

mungkin “diatur-atur pihak pelaku kecurangan “ dengan ber-


340

bagai cara

d) Kurang difahaminya teknik-teknik menangani “fraud” baik dari

segi metode, kendali sistem informasi, dan tindakan

investigatifnya; walaupun yang terbaik adalah upaya-upaya

preventifnya

e) Catatan : Kecurangan yang bersifat “kelembagaan “/terstruktur

akan lebih kompleks dan sangat merugikan keuangan daerah

,ketimbang “fraud” yang dilakukan perorangan,karena yang

bersifat kelembagaan biasanya “rapi” dan memerlukan metode

teknik ( misalnya teknik”triangulasi”/pen.) yang lebih kompleks

untuk dapat menemukannya ( lihat : Cockkerall dalam Wahyudi ,

2014 ,dalam : ediharukaze . blogspot . com ( 30-4-2014 ); Ibrahim ,

2014,2015)

81) Mengapa “pusaran praktik korupsi “ hampir-hampir seperti lingkaran

tidak berujung , atau “bak lingkaran setan “ yang tidak berkesudahan ,

sehingga nyaris memporak-porandakan keuangan daerah –daerah

selama ini ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain:

a) Kanyataan-kenyataan (“pahit “) antara lain:

(1) Tuntutan “mindsets” Pancasila ( saling –memberi ,

mengutamakan kepentingan rakyat , gemar bermusyawarah

untuk mufakat , berpikir sistem ) ternyata “tidak” merefleksi

dengan semestinya pada pola pikir dan perilaku pengelola

keuangan daerah ,yang justru sebaliknya ( masih banyak yang


341

mementingkan kepentingan pribadi/kelompok, berpikir bukan

saling memberi ,tapi “aku dapat apa” , pendekatan

penyelesaian masalah dengan pendekatan yang

menguntungkan diri sendiri, bukannya melaksanakan

musyawarah –mufakat, tapi cenderung liberalistik,bahkan

berkembang neo-feodal)

(2) Beragamnya modus korupsi di Indonesia ( utamanya di

daerah-daerah ) sehingga ibarat “lingkaran setan” berpusar-

pusar makin besar dan tidak pernah berakhir

(3) Tipe kepemimpinan daerah yang sekaligus pengelola keuangan

daerah ,yang tidak/kurang profesional, sehingga tidak/kurang

memiliki kemampuan teknis dan manajerial dalam MKD ,

kurang “berani berbeda” demi kepentingan rakyat

banyak(lebih senang ikut arus “menyelewengkan uang

negara”), kurang mencerminkan kemimpinan yang

bermitra /bershabat dan kurang berkarya nyata

(4) Para pengelola keuangan daerah yang kurang menguasai

strategi menghadapi korupsi ( karena terlibat di dalamnya)

dari “hulu hingga hilirnya “ ,bahkan justru terjebak dalam

“pusaran korupsi “itu sendiri

(5) Kurangnya kewaspadaan--- upaya-upaya preventif – serta

melakukan tindakan tepat sesuai jenis dan tingkat korupsi

keuangan daerah yang dihadapi ,terutama dari para pemimpin

daerah (elit politik daerah ) dan pihak-pihak yang harus meng-


342

awasi pengelolaan keuangan daerah itu sendiri (lihat :

Furqan , dalam : andichairilfurqan . files . wordpress.com)

b) Kenyataan-kenyataan pahit lainnya ,antara lain :

(1) Memang dalam kenyataan pahit selama ini Indonesia (inklusif

daerah-daerah ) selalu termasuk kelompok “juara korupsi “

baik uuntuk kawasan regional maupun mondial

(2) Rata-rata Nilai Integritas (NI) daerah-daerah di Indonesia

masih relatif rendah ( banyak yang di bawah 5.0 ,hanya sedikit

yang diatas 7.0)

(3) Selama 2004-2010 saja ada 155 bupati/walikota , 18

gubernur ,dan ratusan anggota DPRD tersangkut korupsi

(4) Data KPK sejak 2004 menerima lebih dari 50.000 pengaduan

mengenai “korupsi” dan baru dapat sekitar 10 % yang

ditangani bertahap

(5) Penyakit korupsi yang semakin masif penyebaran ,dan

“multiflier efffects (berakibat kompleks)nya antara lain :

(a) Korupsi berakibat ketidak efektivan—ketidak efisienan—

ketidak adilan--- rakyat tidak percaya pemerintahan—

memboroskan sumber-sumber negara --- tidak mendorong

pengusaha untuk jujur ---- ketidakstabilan politik,dan

lainnya

(b) Korupsi menimbulkan iklim ketamakan, “selfishness”,

sinisme

(c) Korupsi menyebabkan para pengelola keuangan daerah


343

khususnya ,para penyelenggaraan pemerintahan daerah

,bahkan mewabah ke masyarakat ,yang akhirnya selalu

menempatkan kepentingan sendiri/golongan di atas

kepentingan rakyat kapanpun juga

(d) Korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan

bermasyarakat—berbangsa – bernegara , baik bagi

kehidupan sosial – politik--- ekonomi--- birokrasi--- bahkan

individu ; korupsi ibarat “kanker daerah “ ,sehingga harus

melakukan “cuci darah “ terus menerus untuk tetap hidup,

dan kalau “cuci darahnya “makin sering ,akhirnya

membawa kematian ( bangsa dan negara ambruk)

(6) Lebih rinci lagi kenyataan pahit akibat korupsi ,yang makin

menjalar kemana-mana ( di daerah-daerah ) dewasa ini antara

lain :

(a) Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu

:masyrakat akan kacau , tidak ada sistem sosial yang dapat

berlaku dengan baik ,dimana setiap indvidu akan

memetingkan diri sendiri , “selfishness” ,tidak ada kerja

sama dan persaudaraan yang tulus

(b) Korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan dan

kesetaraan sosial , perbedaan mencolok antar kelompok

sosial dan individu, baik dalam pendapatan, prestise,

kekuasaan dan lainnya; korupsi juga membahayakan

standar moral dan intelektual, bahkan akan menyebabkan


344

tidak ada “nilai utama sebagai panutan “,tidak ada

kemuliaan dalam masyarakat

(c) Bahaya korupsi terhadap generasi muda : dalam jangka

panjang generasi muda akan rusak ,akan tumbuh sikap

anti sosial, dan jangan-jangan nantinya korupsi dianggap

hal yang biasa ( sudah membudaya) ;sehingga

perkembangan generasi muda menjadi terbiasa dengan

sifat/perilaku tidak jujur , tidak bertanggung

jawab,padahal generasi muda adalah tumpuan masa depan

suatu bangsa dan negaranya)

(d) Bahaya korupsi terhadap politik : kekuasaan politik yang

dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan

dan pemimpin masyarakat yang tidak “legitimate” di mata

publik. Masyarakat tidak akan percaya terhadap

pemerintahan dan pemimpinnya ,dan tidak akan

tunduk/loyal kepada otoritas mereka

Praktek korupsi yang meluas dalam pemilu yang curang

( dengan berkembangnya “money politics”, rusaknya

demokrasi demi kekuasaan.Penguasa korup akan

bertindak otoriter dan selanjutnya akan menyebabkan

korupsi yang lebih meluas lagi . Selanjutnya akan memicu

terjadinya instabilitas sosial politik dan rusaknya integrasi

serta integritas sosial , penguasa akan tidak disenangi

rakyat, dan bahkan dapat jatuhnya pimpinan tersebut


345

(e) Akibat korupsi terhadap perekonomian (di daerah) :Jelas

merusak perkembangan ekonomi nasional maupun daerah

Proyek perekonomian yang sarat dengan unsur-unsur

korupsi( penyuapan untuk kelulusan proyek , KKN dalam

proyek, penggelapan dalam pelaksanaannya ,dan

sejenisnya,akan berakibat menurunnya pertumbuhan

,pemerataan dan stabilitas perekonomian . Di samping itu

korupsi akan berakibat kurangnya investasi dalam dan

luar negeri . Ternyata sejak tahun 1997 investor negara-

negara maju lebih suka menginvestasikan dananya dalam

bentuk “Foreign Direct Investment (FDI) “ kepada negara-

negara yang tingkat korupsinya rendah/kecil

(f) Akibat korupsi terhadap Birokrasi : Menyebabkan kurang

efektif dan kurang efisiennya birokrasi dan

meningkatknya biaya administrasi dalam birokrasi .

Prinsip birokrasi yang rasional----efisien ----

berkualitas/kompeten ,akan jadi “rusak “ ,terutama dalam

kualitas pelayanan publiknya yang menurun ,apalagi kalau

mau prima, jauh panggang dari api . Akibat lanjutannya

akan meningkatkan keresahan sosial --- ketidakserasian

sosial ---- bahkan dapat menjadi “kemarahan sosial” ---

dan akhirnya jatuhnya birokrat itu sendiri

(g) Catatan: hal-hal negatif yang dilukiskan di atas , sudah

terlihat kenyataannya di Indonesia, walaupun belum parah


346

benar ( korupsi nyaris jadi budaya ) ( lihat : Mc Mullan ,

1961 ; Theobald , 1990 ; Muzaffar , 1998 ; dalam :

hanyagoresantika . blogspot . com ( 2-6- 2012)

82) Mengapa Analisis dan Evaluasi Penatausahaan (Tatalaksana)

Akuntansi Keuangan Daerah menuju Opini Wajar Tanpa

Pengecualian (WTP) masih sulit dilakukan di daerah-daerah ?

Penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain:

a) Penyebab LKPD yang mendapatkan opini Tidak Wajar (OTW) ,

Opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP= “Disclaimer

Opinion”= DO) , oleh BPK disebabkan antara lain :

(1) Sistem Pengendalian Intern Pemerintahan (daerah) ( SPIP)

yang masih lemah /kurang baik terhadap atas pengelolaan

keuangan daerah

(2) Pengelolaan atas “Cash Flow” yang tidak dikontrol dengan

baik

(3) Pengelolaan atas aset daerah yang tidak dilengkapi dengan

bukti-bukti administrasi yang lengkap

(4) Kelemahan dalam struktur organisasinya

(5) Kelemahan SDM pengelola keuangan derah itu sendiri baik

secara kuantitatif, apalagi secara kualitatif ( lihat : Dwihayadi

& Amy Fontanella & Ermataty Hatta , 2012 , dalam : ojs .

polinpdg . ac . id ( 2012 )

b) Bagaimana mungkin dapat melakukan Analisis dan Evaluasi

Akuntansi Keuangan Daerah yang benar, jika “perilaku korup”


347

sudah nyaris membudaya di kalangan para pengelola keuangan

daerah ( utamanya elit politik lokal) ,walaupun mungkin cerdas

,mengerti akuntansi, tetapi kalau “miskin etika, miskin

kejujuran /tidak amanah, memiliki mindsets yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai Pancasila ( Pancasila dijadikan “pemanis bibir”

saja) , tetap saja akan menghasilkan penilaian OTW ,DO dan

WDP dan sejenisnya ( lihat : Ibrahim , 2012 d, 2014,2015)

83) Mengapa Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Keuangan

Daerah di Era Otonomi Daerah (Otda) belum dapat dilaksanakan

sebagaimanamestinya ,sehingga berakibat kurang efektif dan kurang

efisiennya keuangan daerah pada umumnya dewasa ini ?

Beberapa penyebab dan kenyataan yang ada ,antara lain :

a) Sindrom klasik karena “superioritas” Pemda pada umumnya :

1) Rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan

daerah ( Pemda pada umumnya ) akibat maraknya

“irasionalitas” pembiayaan kegiatan daerah ,diikuti rendahnya

akuntabilitas para pejabat pemerintahan daerah dalam

mengelola keuangan publik yang diamanatkan kepada

mereka ,terlihat terutama belum banyak yang menerapkan

anggaran daerah berbasis kinerja

2) Tidak adanya skala prioritas yang dirumuskan secara tegas

dalam proses pengelolaan keuangan daerah yang berakibat

menimbulkan pemborosan sumber daya publik , dimana

selama ini pada umumnya hampir tidak ada upaya untuk me-
348

netapkan skala prioritas anggaran dengan ciri mestinya ada

keterpaduan antara rencana kegiatan dengan kapasitas

sumber daya yang dimiliki daerah yang bersangkutan

3) Belum dilakukan secara ssungguh-sungguh “analisis biaya-

manfaat (benefit cost analysis)” , sehingga kegiatan yang

dijalankan tidak saja akan sesuai dengan skala prioritas yang

telah ditetapkan, tetapi juga akan mendatangkan manfaat

tertentu yang nyata bagi kepentingan kesejahteraan

masyarakat luas (publik)

4) Masih terjadinya banyak kebocoran dan penyimpangan akibat

perilaku KKN dari para elit politik lokal ( utamanya “korupsi”

berjamaah )

5) Rendahnya profesionalisme aparat pemerintahan daerah baik

secara kuantitatif dan kualitatif dalam mengelola anggaran

publik(pemerintah) , terutama yang berlatar belakang

pendidikan akuntansi yang cukup

6) Catatan :Akibat Sindrom Klasik dari Pemda yang merasa

superior di atas, berakibat kurangnya nilai akuntabilitas,

kurangnya profesionalisme, kurangnya transparansi, dan

kurangnya “economic skill” ; dan semuanya ini akhirnya

menjadi kerangka kerja utama Pemda yang menyedihkan

(pen.)

b) Rendahnya kualitas administrasi ( penyelenggaraan= integrasi

kemampuan manajerial dan beragam dukungannya ) keuangan da


349

-erah dengan kenyataan- kenyataan antara lain:

1) Tersendatnya pengajuan anggaran ( akibat terlalu banyaknya

“nego-nego bernuansa kepentingan pribadi/kelompok dari

para elit politik lokal” (baca DPRD dan elit Pemda)

2) Rendahnya daya serap anggaran akibat 1) di atas dan sebab-

sebab lainnya

3) Keterlambatan laporan keuangan daerah serta tidak sesuai

standar akuntansi (apalagi kalau sesuai tuntutan berbasis

akrual yang memang baru diberlakukan rencanya 2015 )

4) Buruknya ( dapat juga sengaja bertele-tele karena sarat

kepentingan /pen.) komunikasi antara Pemda (Eksekutif) dan

DPRD yang menjadi penyebab utama keterlambatan

penetapan anggaran ( rata-rata hampir pertengahan tahun

berjalan,yang mestinya sudah awal tahun ditetapkan /pen.)

5) Dana APBN/D menumpuk direkening Bank Pemda yang

selanjutnya disimpan dalam bentuk “SBI”

6) Proses perencanaan di daerah ( terutama SKPD-SKPD /pen.)

yang umumnya masih lemah ,sehingga program atau proyek

,tidak dapat diselesaikan dalam satu tahun anggaran

7) Pelaksanaan anggaran buruk ,kesejahteraan rakyat justru

merosot ( APBN/APBD terus naik , tapi ironisnya kemiskinan

dan pengangguran tetap besar/membengkak) (akibat perilaku

korup para elit politik umumnya di daerah-daerah yang nyaris

“membudaya “/pen.)
350

8) Hingga saat ini ketimpangan anggaran daerah masih

menyedihkan ( rata-rata sekitar 70 % untuk belanja birokrasi

30% belanja untuk kepentingan rakyatnya) ,mestinya yang

ideal terbalik (pen.)

9) Umumnya program pembangunan daerah ( yang tercermin

dalam APBD) kurang berdampak langsung terhadap upaya-

upaya mensejahterakan rakyat utamanya memberantas

kemiskinan dan kebodohan serta penyakit ( fokus pada

peningkatan IPM penduduk/pen.)

c) Dari segi sangat teknis perlu ditingkatkan antara lain:

1) Perlu segera perbaikan mendasar sistem akuntansi keuangan

negara ( berbasis akrual ,tapi dengan pemberdayaan lebih

dulu/pen.)

2) Perlu mengimplementasikan sistem perbendaharaan tunggal

( sehingga keuangan daerah tidak tercecer di mana-mana

(akibat KKN yang akut dewasa ini/pen.)

3) Perlu sinskorinisasi sistem komputer seperti layaknya pada

bank ( “ implementasi sistem e-budgetting “ /pen.)

4) Perlunya inventarisasi aset negara di daerah-daerah dengan

akurat

5) Perlunya “penyediaan tenaga keuangan daerah yang

profesional baik secara kuantitatif dan kualitatif”

6) Perlunya transparansi dan akuntabilitas pemungutan pajak

dan retribusi daerah , serta penertiban pungutan-pungutan la-


351

innya yang sah

d) Penerapan Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan

Keuangan Daerah yang masih perlu ditingkatkan antara lain:

1) Implementasi Reformasi Keuangan Daerah dengan semestinya

(demokratisasi keuangan daerah ) sehingga terjadi efektivitas-

efisiensi pemanfaatan anggaran ,rasional dalam

pengelolaannya ,tidak terjadi penyimpangan dan

penyalahgunaan anggaran daerah

2) Reformasi keuangan daerah akan tercapai jika “good-

governance “ di daerah dapat diwujudkan secara nyata

( refromasi pemerintahan daerah ,karena reformasi keuangan

daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari reformasi

pemerintahan daerah tersebut )

3) Reformasi keuangan daerah akan dapat mewujudkan sistem

“check and balances” dalam pemeritahan daerah terselenggara

dengan baik (yang kondisinya dewasa ini umumnya belum

terwujud sebagaimana mestinya)

4) SDM (utamanya pengelola keuangan daerah ) yang masih

“memprihatinkan “ dewasa ini perlu “diberdayakan” ,karena

SDM-lah sebagai pengendalinya (lihat : Purwani , 2011 , dalam

: downatluvart . blogspot . com ( 28-12- 2011)

84) Mengapa asas-asas Good Gevernance dalam pengelolaan keuangan

negara di daerah belum dapat diimplementasikan dengan

baik,sehingga keuangan derah menjadi tidak efekfif dan tidak efisien?


352

Beberapa penyebab dan kenyataan –kenyataan yang masih ada

,antara lain :

a) Sistem pengelolaan keuangan daerah(meliputi perencanaan—

pelaksanaan—pengawasan--- dan pertanggungjawabannya)

belum berjalan sebagai sistem dengan baik ,antara lain dengan

kenyataan-kenyataan yang masih ada ,antara lain:

1) Rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan

daerah ,antara karena maraknya “irasional “ penggunaan

keuangan negara di daerah

2) Seperti telah disinggung terdahulu ,kurang pandai

menentukan skala prioritas penggunaan keuangan daerah

yang ada ,sehingga kurang merakyat

3) Memang manajemen keuangan daerah belum mencerminkan

reformasi keuangan yang baik

4) Profesionalisme aparat (terutama para pengelola keuangan

derah) yang masih kurang profesional ( kompeten---amanah---

dan hidup layak secara wajar )

b) Belum terpenuhi dengan baik asas-asas pengelolaan keuangan

negara pada umumnya dan menurut perundang-undangan

khususnya :

1) Belum terpenuhinya asas kesatuan ( dalam 1 dokumen yang

utuh)

2) Belum terpenuhinya asas “universalitas” dimana setiap

transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen


353

keuangan yang lengkap dan sistemik sejak prencanaan—

pelaksanaan—pengawasan --- pertangungjwabannya)

3) Belum ditepatinya asas tahunan dalam pelaksanaannya secara

nyata ( sering terlambat dengan berbagai akibatnya )

4) Belum terpenuhinya asas spesialitas( terperinci dan jelas setiap

tujuannya )

5) Belum ditepatinya asas akuntabilitas ( realisasinya harus

dipertanggungjawabkan kepada rakyat )

6) Belum terpenuhinya asas proporsionalitas ,dimana

keseimbangan hak dan kewajiban pengelolaan keuangan

daerah belum baik

7) Belum terpenuhinya asas prefosionalitas ( komptensi----

amanah--- kelayakan hidup secara wajar)

8) Belum terpenuhinya asas keterbukaan dengan baik

( terbuka--- jujur---- tidak disriminatif--- tetapi juga ada hal-

hal yang perlu ketepatan waktu dalam keterbukaannya)

9) Belum terlaksananya asas pengawasan dan pemeriksaan

keuangan daerah ( terutama dalam pengawasan internal )

c) Secara khusus belum terpenuhinya prinsip-prinsip “good-

governance” dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain:

1) Belum terpenuhinya asas kepastian hukum

2) Belum terpenuhinya asas keseimbangan

3) Belum terpenuhinya asas kesamaan

4) Belum terpenuhinya asas bertindak dengan cermat


354

5) Belum terpenuhinya asas motivasi untuk setiap keputusan

kebijakan keuangan daerah demi kesejahteraan rakyat

6) Belum terpenuhinya asas jangan mencampuradukkan

kewenangan

7) Belum terpenuhinya asas ke-“fair-an”

8) Belum terpenuhinya keadilan/kewajiban terhadap rakyat

9) Belum terpenuhinya menanggapi penghargaan yang wajar

10) Belum terpenuhinya asas meniadakan akibat –akibat suatu

keputusan yang bulat / utuh

11) Belum terpenuhinya asas perlindungan atas pandangan hidup

(bangsa Indonesia yang memiliki pola pikir : “saling memberi

—mengutamakan kepentingan rakyat --- gemar bermusyarah

untuk mufakat dalam proses pengambilan keputusan--- dan

menimbang segala sesuatunya dari semua aspek terkait dalam

menentukan prioritas keuangan daerah /pen.)

12) Belum terpenuhinya asas arif –bijaksana yang merefleksi

dalam kebijakan keuangan daerah /pen.

13) Belum terpenuhinya asas administrasi (penyelenggeraan )

keuangan daerah yang berpihak kepada kepentingan

kesejahteraan rakyat secara nyata ( lihat : Setiawan dalam :

bappenas . go. id ; Sandi ,2002 ; Le Roy & Kuncoro

Purbopranoto , semuanya dalam :Suroso , 2014 ,dalam : bppk .

kemenkeu . go . id (3-11- 2014 ) ; UUD’45 ; UU No.17 Tahun

355
2003 tentang Keuangan Negara ; Website BPK : http : // www.

sikad. bpk . go . id)

d) Permasalahan good-governance keuangan daerah ,antara lain

kenyataan-kenyataan (sudah disinggung terdahulu pada kasus

lain) :

1) Intervensi hak budget DPRD yang terlalu berlebihan (dengan

berbagai motivasinya )

2) Pendekatan partisipatif dalam proses perumusan APBD belum

berjalan sebagaimana mestinya

3) Proses perencanaan kegiatan terpisah dari penganggaran

4) Ketersediaan dana sering tidak tepat waktu

5) “Breakdown “ RPJD ---- RPJMD---- RKPD yang kurang

“matching”

6) Kualitas RPJD dan RPJMD yang masih kurang baik dan

kurang obyektif

7) Terlalu banyak “order” dari berbagai pihak dalam proses

perumusan APBD

8) Koordinasi antar SKPD dalam proses perencanaan APBD

yang masih kurang baik

9) SKPD –SKPD yang masih kekurangan tenaga perencanaan

yang profesional

10) Evaluasi APBD oleh Provinsi masih kurang baik

11) Kualitas Musrenbang yang masih kurang baik/kurang

merefleksikan keinginan rakyat ditingkat “akar rumput “ seba

356
-gai dasar pemberdayaan masyarakat dalam rangka Otda

yang luas dan berkualitas ( pen.)

12) Musrenbang belum berkualitas dan sering mengalami distorsi

di tengah jalan dalam proses perumusan APBD

13) “Entitas Pelaporan dan Entitas Akuntansi “ tidak berjalan

secara serasi sebagaimana mestinya

14) Transfer pengetahuan dari para “pendamping “ masih kurang

optimal

15) Pemda masih beranggapan bahwa keuangan daerah itu adalah

“rahasia dan hak dari Pemda” bukannya keterbukaan

16) Per - Undang-Undangan yang sering “tumpang tindih “ dan

kurang “matching” sehingga menyulitkan aplikasinya di

daerah ( apalagi sering aturan sudah demikian bertubi-

tubi,tapi pemberdayaan pelaksananya untuk melaksanakan

aturan-aturan tersebut sering “ketinggalan kereta”/pen.)

e) Rangkumannya antara lain:

1) Karakteristik pengelolaan keuangan daerah pada umumnya

masih kurang sesuai dengan perundang-undangan yang sudah

demikian gencarnya

2) Akar permasalahan pengelolaan keuangan daerah terletak

pada komitmen pimpinan daerah untuk melaksanakan

undang-undang mengenai keuangan negara secara konsisten

3) “Motif-motif Politik dan Ekonomi untuk kepentingan para elit

politik lokal/kelompoknya ,masih merupakan “mindsets” para

357
Eksekutif dan Legislatif di Daerah ,sehingga “etika

pemerintahan “yang baik belum menjadi kenyataan

4) Budaya “sekularisme “ masih merupakan virus yang mewabah

di daerah ,karena belum adanya kode etik yang jelas dan

deduktif (bukannya induktif seperti sekarang) ,agar dapat

direfleksikan dalam perilaku dengan baik ( lihat : Kadafi ,2012

,dalam : http : // karyailimiah . polnes . ac. id )

85) Mengapa prinsip Good Financial Government dalam pengelolaan

keuangan negara (di daerah-daerah) dalam rangka mewujudkan Clean

Government masih belum dapat diwujudkan ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain:

a) Karena memang pengelolaan keuangan negara di daerah belum

cukup solid , belum cukup bertanggung jawab, belum cukup

efektif dan efisien, serta belum diproses dilaksanakan secara

partisipatif ; padahal perundang-undangan mengenai keuangan

negara dan daerah sudah cukup banyak

b) Belum dilaksanakan dengan baik asas legalitas dan asas kepastian

hukum , dan belum mengedepankan hak-hak asasi manusia

( masyarakat) dalam proses pengelolaan keuangan daerah

c) Tindak lanjut dari temuan-temuan lembaga yang berwenang

dalam menilai laporan pertanggungan jawab keuangan negara di

daerah-daerah sering tidak tuntas tindak lanjutnya /pen.(lihat :

Indrawati , 2012 ,dalam :ejournal . uwks . ac. id (2012)

d) Seperti telah dibeberkan sebelumnya bagaimana mungkin dapat

358
laksanakan dengan baik, good financial government ,kalau para

penglelola keuangan daerah masih banyak yang tidak amanah

( korupsi), kurang kompeten, serta kurang menerapkan

partisipasi masyarakat dalam proses perumusan APBD dan juga

dalam pelaksanaan dan pengawasan serta umpan balik 360

derajat tepat waktu –nya ( lihat : Ibrahim, 2015 a ,b)

86) Mengapa upaya menyongsong penerapan Akuntansi Pemerintah

Daerah berbasis Akrual ,belum dapat berjalan dengan baik,sehingga

keuangan daerah hingga saat ini pada dasarnya masih belum efektif

dan efisien ?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Pemerintah Pusat sendiri belum menggunakan Akuntansi

Berbasis Akrual dengan kenyataan-kenyataan antara lain :

1) Baru menuju akrual, yakni Akuntansi Berbasis Kas Menuju

Akrual (AKBMA) atau istilahnya masih bersifat Cash Toward

Akrual ( CTA)

2) CTA (ABKMA) unik Indonesia, saat ini menyajikan 4 laporan

keuangan pokok (yang diamanatkan UU, yang disesuaikan

dengan kondisi yang ada ( peraturan ---- sistem ----

sarana/prasarana ---- SDM di Indonesia ) ,yang sampai 2004

menggunakan pembukuan tradisional( “single entry berbasis

kas”) belum menggunakan “akuntansi modern (double

entry”),karena memang masih cukup banyak kesulitan untuk

menerapkan berbasis akrual

359
3) CTA (BKMA ) ini belum sepenuhnya memperlihatkan kinerja

pemerintah secara keseluruhan (seperti yang dikehendaki

berbasis akrual), baru fokus pada sumber daya keuangan

berupa “kas” ( “financial assets”) ,belum menggambarkan

beban keuangan yang sesungguhnya ,karena beban yang

diakrualkan (misalnya saja mengenai beban penyusutan

piutang tidak tertagih, dan beban piutang lainnya , tidak

diinformasikan dalam Laporan Realisasi Keuangan maupun

laporan lainnya ( baru bersifat parsial dari UU ,terutama UU

No.17 Tahun 2003)

b) Sebagai gambaran Akuntansi Berbasis Akrual, antara lain sebagai

berikut (untuk jadi bahan perbandingan ) :

1) Basis Akrual adalah basis akuntansi dimana transaksi

ekonomi atau peristiwa akuntansi yang diakui , dicatat dan

disajikan dalam laporan keuangan pada saat terjadinya

transaksi tersebut ,tanpa memperhatikan waktu kas atau

setara kas yang diterima atau dibayarkan

2) Digunakan untuk pengukuran asset ,kewajiban dan ekuitas

dana yang berarti sesuai dengan tuntutan “ international best

parctice” sesuai dengan tuntutan NPM ( MPB)

3) Akrual basis mendasarkan konsepnya pada 2 pilar :

(a) Pengakuan Pendapatan

(b) Pengakuan Biaya /Beban

c) Kelebihan Akuntansi Berbasis Akrual ( ABA) ,antaraa lain :

360
1) Dengan memenuhi asas, semakin baik informasi yang

disajikan,maka semakin baik “keputusan “ untuk

menghasilkan Laporan Keuangan yang lebih baik, dengan

tujuan pengambilan keputusan dimana pengalokasian sumber

daya dapat diketahui lebih akurat

2) Penilaian kinerja lebih akurat dalam satu tahun pelaporan

,karena penilaian kesehatan keuangan dikaitkan pada kinerja

organisasi pemerintah

3) Dapat menyajikan nilai aset ,kewajiban dan ekuitas lebih baik

4) Pengukuran penilaian biaya/beban suatu program /kegiatan

yang lebih baik

5) Sesuai dengan tuntutan Reformasi Manajemen Keuangan

Pemerintah yang diamanatkan oleh UU Keuangan Negara

6) Sesuai dengan “international best practice” ,termasuk untuk

kebutuhan Goverment Finance Statistics- 2001 (GFS -2001)

yang berbasis akrual

7) Mengakumulasikan kewajiban pembayaran pensiun

8) Menyelaraskan /meratakan belanja modal dengan akuntansi

penyusutan

9) Mewaspadai risiko “default” hutang yang akan jatuh tempo

bersanksi denda

10) Memungkinkan perundingan dan penjadualan utang yang

mungkin tak mampu dibayar di masa depan yang masih jauh,

tanpa tergesa- gesa

361
11) Permintaan “hair cut “ apabila posisi keuangan terlihat tidak

tertolong lagi menjadi masuk akal di mata negara /lembaga

donor

12) Memberikan gambaran keuangan lebih menyeluruh tentang

keuangan negara dari hanya sekedar “gambaran kas”

13) Mengubah perilaku keuangan para pengguna menjadi lebih

transparan dan akuntabel

d) Implementasi ABA sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara dengan langkah-langkah yang telah ditetapkan

tidak tercapai sebagaimana mestinya karena berbagai kendala

,dengan gambarannya antara lain,mestinya :

1) Tahun 2010 dengan kegiatan antara lain:

(a) Mengumpulkan berbagai informasi berkaitan dengan ABA

(b) Menyiapkan dan menetapkan SAP (Sistem Akuntansi

Pemerintah) berbasis Akrual

(c) Menyiapkan Rencana Implementasi SAP berbasis Akrual

2) Tahun 2011 dengan kegiatan antara lain :

(a) Menyiapkan peraturan dan kebijakan untuk penerapan

ABA

(b) Menyusun proses bisnis dan sistem akuntansi untuk

menerapkan ABA

3) Tahun 2012 dengan kegiatan antara lain :

(a) Mengembangkan sistem akuntansi dan pedoman yang akan

digunakan dalam penerapan akuntansi berbasis akrual

362
(b) Melaksanakan “capacity building “ berupa “training “ dan

sosialisasi SAP berbasis akrual kepada seluruh

“stakeholders” yang terlibat

(c) Mengembangkan teknologi informasi teknologi informasi

termasuk sistem aplikasi yang akan digunakan

4) Tahun 2013 dengan kegiatan-kegiatan antara lain :

(a) Melakukan uji coba implementasi Konsolidasi Laporan

Keuangan , penyempurnaan sistem dan “capacity buliding”

nya

(b) Penyusunan peraturan yang berkaitan

5) Tahun 2014 dengan kegiatan-kegiatan ,antara lain :

(a) Implementasi secara paralel penerapan basis CTA dan

akrual dalam Laporan Keuangan (LK) yang diberi opini

oleh “BPK” adalah yang berbasis CTA

(b) Konsolidasi Laporan Keuangan dengan basis Akrual

(c) Evaluasi dan finalisasi sistem yang akan digunakan

6) Tahun 2015 dengan kegiatan-kegiatan ,antara lain :

(a) Penerapan implementasi penuh akuntansi berbasis akrual

di Indonesia

(b) Laporan Keuangan yang diberi opini yang berbasis akrual,

bukan CTA seperti sebelumnya

7) Catatan : Dalam kenyataannya langkh-langkah terencana

tersebut belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya

karena bebagai hal terutama masalah SDM dan sarana prasa-

363
sarana ,inklusif diklatnya yang kurang dapat mengejar

rencana-rencana yang telah disusun

e) Sebagai gambaran antara Basis Kas Menuju Akrual( CTA) yang

sedang dilakukan sekarang ,dengan Akuntansi Berbasis Akrual

(ABA) terutama pada basis kas yang dilakukan berdasarkan

masukan dan keluaran kas ; sementara pada ABA berdasarkan

pada saat terjadinya transkasi tersebut, tanpa memperhatikan

waktu kas diterima atau dibayarkan

f) Catatan selanjutnya mengenai unsur laporan berbasis akrual

teridri dari :

1) Laporan Pelaksanaan Anggaran ,terdiri dari :

(a) Laporan Realisasi Anggaran

(b) Laporan Perubahannya

2) Laporan Finansial yang terdiri dari :

(a) Neraca

(b) Laporan Operasional

(c) Laporan Perubahan Ekuitas

(d) Laporan Arus Kas

3) Laporan Operasional (LO) disusun untuk melengkapi

pelaporan dan siklus akuntansi bebrasis Akrual , sehingga

penyusunan LO , Laporan Perubahan Ekuitas dan Neraca

dapat dipertanggungjawabkan

4) Catatan atas Laporan Keuangan ( CalK)

g) Tantangan Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual dalam Pemerin-

364
tahan di Indonesia (inklusif di daerah –daerah ) dewasa ini

kenyataannya antara lain :

1) Sampai saat ini penerapan akuntansi berbasis akrual tersebut

belum terealisasi dengan semestinya , walaupun tentang

standar akuntasi berbasis Akrual telah “ diterbitkan “. Hal ini

merupakan tantangan besar bagi Pemerintah dan harus

dilakukan secara cermat , persiapan yang matang , dan

terstruktur dengan baik

2) Keberhasilan suatu perubahan akuntansi pemerintah menuju

berbasis akrual ,agar dapat menghasilkan laporan keuangan

yang lebih transparan dan lebih akuntabel ,memerlukan

upaya –upaya dan kerja sama dengan berbagai pihak terkait

3) Jika penerapan akuntansi berbasis “menuju akrual” saja

( yang sedang diterapkan saat ini ) masih banyak menghadapi

hambatan ,apalagi jika pemerintah akan menerapkan

akuntansi berbasis akrual ,walaupun sifatnya adalah “conditio

sine qua non” karena tuntutan secara internasional memang

sudah harus demikian adanya

4) Beberapa tantangan penerapan ABA di Indonesia yang

teridentifikasi ,antara lain :

(a) Sistem Akuntansi dan Informasi Teknologi ( IT) Based

System :

- Memerlukan Sistem Akuntansi & IT Based System yang

lebih rumit

365
- Masih perlu dibangun sistem pengendalian intern yang

memadai untuk memberikan keyakinan yang memadai

atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan

yang efektif - efisien , keandalan laporan keuangan ,

pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap

peraturan perundang-undangan

- Dalam rangka mendukung penerapan basis akuntansi

akrual, penggunaan teknologi , yang adil, amat

diperlukan guna mendukung keberhasilan pengolahan

data tersebut ,baik pada masa transisi maupun pada

masa penerapan basis akrual secara penuh

- Persiapan di bidang teknologi ,terutama diarahkan

untuk pengembangan sistem akuntansi

- Pengembangan sistem akuntansi berbasis akrual

membutuhkan suatu sistem akuntansi untuk

mengakomodasi Kementerian Keuangan yang telah

mengembangkan : SPAN ( Sistem Perbendaharaan dan

Anggaran Negara ) yang telah diluncurkan pada 19-8-

2013 dan SAKTI ( Sistem Akuntansi Tingkat Instansi )

yang telah dilakukan tahapan Tes Integrasi dan

Plotting Systemnya yang telah direncanakan sejak 2014

(b) Pentingnya Komitmen Pimpinan :

- Harus ada komitmen dan dukungan politik dari para

pengambil keputusan dalam pemerintahan , karena pe-

366
nerapan akuntansi berbasis Akrual memerlukan dana

yang besar dan waktu yang cukup lama dari priode

jabatan Presiden , Gubernur, Bupati/Walikota , anggota

DPR dan DPRD

- Perlu dukungan yang kuat dari pimpinan dalam

berbagai skala /level tersebut, merupakan kunci dari

suatu perubahan

- Salah satu penyebab kelemahan penyusunan Laporan

Keuangan pada beberapa Kementerian/Lembaga

inklusif di daerah-daerah, adalah lemahnya komitmen

pimpinan-pimpinan Satuan Kerja , khususnya SKPD-

SKPD di daerah-daerah penerima dana

Dekonsentrasi /Tugas Pembantuan

- Kejelasan per undang-undangan masih perlu

dijabarkan lagi, guna mendorong penerapan akuntansi

pemerintah dan memberikan dukungan yang kuat bagi

para pimpinan untuk mengendalikan dengan baik

penerapan ABA tersebut secepatnya

(c) Masih perlu tersedianya SDM pengelola kuangan terutama

di daerah ,antara lain :

- Dibutuhkan sepenuhnya ( suatu keharusan) yang

kompeten/profesional dalam pengelolaan keuangan

,utamanya sangat terasa keuangannya di adaerah-

daerah (terutama yang menguasai akuntansi pemerin-

367
tahan)

- Kebutuhan akan SDM yang profesional tersebut,akan

sangat terasa dalam upaya menerapkan akuntansi

berbasis Akrual yang sudah seharusnya dilaksanakan

(termasuk di dalamnya memberikan sistem insentif dan

remunerasi yang memadai untuk menghindari KKN )

- Peran perguruan tinggi dan organisasi profesi

(terutama bidang Akuntansi) untuk ikut berupaya

memenuhi kebutuhan akan SDM yang kompeten di

bidang Akuntansi Pemerintah(an)

- “Training “ bagi “stakeholders “ diperlukan untuk

dapat menguatkan komitmen , penguatan komitmen

/kompetensi SDM dan meminimalisasi risiko

ketidakandalan data keuangan. “Training” tersebut

hendaknya mencakup kesiapan implementasi basis

akrual dibagi dalam 3 (tiga) level : yakni Level Penentu

Komitmen dan Politis ; Level Manajerial ; dan Level

Training / Praktisi

(d) Mewaspadai Resistensi terhadap Perubahan ,antara lain :

- Untuk menghindari pihak internal yang resisten perlu

diadakan “komunikasi dan sosialisasi” yang

berkelanjutan (komunikasi dengan target tertentu,

sosialisasi agar tidak terjadi resistensi berkepanjangan)

- Kesulitan penerapan anggaran Akrual dipemerintahan

368
terkait anggaran akrual ,yang memang diyakini

berisiko dalam disiplin anggaran , tetapi akan lebih

menjamin akuntabilitas anggaran dengan baik

- Keputusan politis untuk membelanjakan uang negara

sebaiknya dibandingkan dengan ketika belanja tersebut

dilaporkan dalam anggaran , hanya saja basis kas yang

menjadi dasar penyediaannya

- Jika sebagian besar proyek belanja modal misalnya,

dicatat dan dilaporkan pada beban penyusutan , akan

berakibat peningkatan pengeluaran untuk proyek

tersebut

(e) Lingkungan /Masyarakat :

- Diperlukan apresiasi dan dukungan masyarakat

- Masyarakat perlu didorong untuk itu

(f) Pendanaan :

- Perlu dana yang sangat besar untuk meningkatkan dan

melaksanakan basis akrual terhadap sekitar 24.000

satuan kerja di Indonesia ,kelompok-kelompok

“stakeholders” ,serta beragam jenis komunikasi dan

diklat untuk setiap level

- Perlu dukungan selain dari sumber APBN , misalnya

dukungan negara-negara sahabat , lembaga-lembaga

internasional melalui program-program GPF – AIP

dan Bank Dunia

369
(g) Penerapan ABA dapat juga berakibat penurunan

ekuitas,sebagai akibat penyusutan dan administrasi ( yang

tercermin dalam sajian laporan keuangan pemerintah)

(h) Penerapan ABA bukan hal yang mudah ,tapi kompleks,

makanya rancangan-rancangan yang telah diatur ternyata

tidak mudah dilaksanakan di lapangan secara nyata

(i) Namun sejumlah peluang yang dimiliki ,antara lain :

- Amanat UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 1

Tahun 2004 ,serta rekomendasi BPK tentang urgensi

ABA

- Komitmen yang tinggi dari para penyelenggara negara

dalam berbagai tingkatan

- Pengalaman yang telah dikembangkan dalam sistem

akuntansi dan aplikasi laporan keuangan berbasis Kas

Menuju Akrual ( CTA) yang cukup berhasil hingga saat

ini , walaupun belum mencerminkan tuntutan ABA

- Pengalaman dalam menyiapkan SDM bidang akuntansi

dan pelaporan keuangan melalui Program Percepatan

Akuntabilitas Keuangan Pemerintah ( PPAKP)

- Tersedianya SDM dalam jumlah yang cukup yang telah

menguasai akuntansi berbasis CTA ,sehingga tinggal

meningkatkan kompetensinya untuk menerapkan ABA

setelah diberdayakan secara tepat

- Pengalaman Kementerian Keuangan dalam pembinaan

370
dan penyebarluasan bidang akuntansi dan keuangan

kepada seluruh kementerian negara dan lembaga-

lembaga di seluruh Indonesia

- Efektivitas pengambilan keputusan yang didukung

informasi yang lebih baik

- Adanya “komitmen bantuan” dari negara-negara

sahabat yang telah menjalankan ABA , dari GPF- AIPA

dan Bank Dunia

5) Langkah-langkah yang masih harus diterapkan ,antara lain:

(a) Penerapan peraturan-peraturan Kementerian Keuangan :

- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213

/PMK.05/2013 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan

Keuangan Pemerintah Pusat

- PMK Nomor 214 /PMK.05 /2013 tentang Bagan

Akuntansi Standar

- PMK Nomor 215/ PMK.05 /2013 tentang Jurnal

Akuntansi pada Pemerintah Pusat

- PMK Nomor 219 /PMK.05/2013 tentang Kebijakan

Akuntansi Pemerintah Pusat

(b) Langkah nyata selanjutnya untuk mendukung

terlaksananya ABA ,antara lain :

- Menyiapkan Model ABA pada tingkat nasional yang

memadai untuk dapat digunakan oleh berbagai pihak

dalam rangka pelatihan ABA

371
- Menentukan daerah percontohan di setiap wilayah

sebagai upaya menciptakan “benchmarking” ,dimana

dengan cara ini pemerintah dapat memfokuskan pada

beberapa daerah dulu , sebelum pada akhirnya dapat

digunakan oleh seluruh daerah ( TK.I dan II)

- Diseminasi /sosialisasi/komunikasi tingkat nasional ,

dimana hal tersebut dapat digunakan untuk menyerap

“input (masukan)” berupa saran atau keluhan dari

daerah-daerah, terkait dengan penerapan ABA ( akan

lebih baik lagi kalau umpan baliknya bersifat 360

derajat tepat waktu/pen. )

- Sosialisasi/komunikasi dan pelatihan berjenjang ( untuk

meningkatkan skill dan kesadaran akan pentingnya

partispasi semua pihak/masyarakat luas)

- Melakukan “uji coba “ sebagai awal ,sehingga

didapatkan model ABA yang benar-benar baik ,

sebelum melaksanakan ABA secara penuh

6) Berbagai hambatan khususnya yang dihadapi Pemda-Pemda

dalam menyongsong penerapan ABA dalam rangka kewajiban

Pemda menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71

Tahun 2010 sebagai pengganti PP Nomor 24 Tahun 2005

tentang Standar Akuntansi Pemerintah Daerah Berbasis

Akrual (ABA) dan berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003

pasal 36 (ayat 1) penerapan ABA sudah terlaksana pada 2015,

372
antara lain :

a) Penerapan PP 71/2010 yang berbasis akrual ,bagi Pemda

pada umumnya masih terasa sulit ,karena dengan berbasis

CTA yang sudah ada (walaupun sudah menuju akrual)

akan berdampak terhadap perubahan “kebiasaan “ Pemda

yang selama ini merasa lebih mudah melaksanakan

pencatatan /pengakuan transaksi pada saat diterima atau

dikeluarkan dari kas daerah seperti selama ini

b) Hambatan lainnya dalam penerapan PP 71 / 2010 ,antara

lain :

(1) Belum diterbitkannya Permendagri yang merupakan

aturan teknis dari penerapan PP 71/ 2010 tersebut

(2) SDM pengelola keuangan daerah (terutama yang

berbasis akuntansi) belum memadai

kemampuannya/kompetensinya ( masih memerlukan

sosialisasi/komunikasi , pendidikan dan latihan

penerapan dari PP tersebut di atas

(3) Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah

Berbasis Akrual yang belum siap ,karena masih

menunggu aturan teknis yang dikeluarkan pemerintah

secara rinci

(4) Kompleksnya ( tapi terintegrasi ) ABA yang harus

dikerjakan daerah ( sesuai PP 71/ 2010 , yang memang

lebih banyak dari PP 24/ 2005 ) antara lain :

373
(a) Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

(b) Laporan Operasional ( LO)

(c) Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih

( LPSAL)

(d) Neraca

(e) Laporan Arus Kas ( LAK)

(f) Laporan Perubahan Ekuitas (LPE)

(g) Catatan Atas Laporan Keuangan (CalK) dari (a)

sampai dengan (f) di atas

(5) Sedangkan PP 24 / 2005 ( basis CTA) yang selama ini

lazim dikerjakan (itupun belum lama) baru : LRA –

Neraca—LAK – dan CalK ) (hanya 4 saja dari 7

tuntutan ABA)

(6) Memang ABA lebih rumit dibandingkan dengan

CTA,tetapi tuntutan kekiniannya memang sudah harus

menghendaki ABA, yang sudah mendunia dewasa ini

c) Catatan : tetapi Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) misalnya

sudah menyatakan siap untuk menerapkan ABA tersebut

dalam waktu dekat ) ( lihat : Simanjuntak ,2010 ; Bastian ,

2006 keduanya dalam : Amriani ,2014 ,dalam :kppnternate .

net (10-20- 2014) ; warungkopipemda . com (2015) ;

katariau . com ( 27- 1- 2015)

87) Mengapa Dana Desa belum dapat dicairkan sebagaimana mestinya

,sehingga pembangunan Otda dengan basis desa belum didukung de -

374
ngan semestinya ?

Beberapa hambatan dan penyebab-penyebabnya antara lain :

Walaupun dalam kenyataannya dewasa ini sudah ada kesepakatan

antar menteri –menteri terkait , namun masih banyak kendala antara

lain :

a) SKB menteri terkait ternyata tidak semulus yang diperkirakan

semula ( ada yang terlambat keluar dalam rangka pencairan dana

desa yang mestinya sudah harus dicairkan)

b) Ternyata memang pencairan dana desa masih jauh dari realisasi

yang seharusnya ( berkisar dari 0,0 % baru hingga terbesar baru

terealisasi 31,04 % per akhir Agustus 2015)

c) Tim-tim pendamping yang belum optimal dalam melaksanakan

tugasnya dengan baik ,terutama dalam rangka memberdayakan

perangkat pemerintahan desa

d) Efektivitas Alokasi Dana Desa (ADD) demi terwujudnya

kelangsungan pembangunan desa ,demi kesejahteraan desa masih

memerlukan :

(1) Diklat berkala kepada aparatur pemerintahan desa terutama

dalam menggunakan ADD secara efektif dan efisien

(2) Evaluasi berkala terhadap penggunaan ADD harus benar-

benar diprogramkan dengan baik, terutama oleh

Kabupaten/Kota /Kecamatan sebagai atasan langsung dari

Desa- desa yang menjadi “bawahan “ langsungnya

(3) ADD sampai saat ini belum menggambarkan kebutuhan aspira

375
-si masyarakat desa ( mengingat Musrenbang di tingkat desa

sering mengalami distorsi di tengah jalan ketika

didiskusikan /dirumuskan di tingkat Kabupaten /Kota ( antara

DPRD dan Eksekutif)

(4) Kualitas aparat pemerintahan desa yang secara umum masih

lemah ( kepemimpinan, visi, misi, kebijakan/strategi,

rencana /program pembangunan desanya )

e) Pasal 18 ayat (7) pasal 18 b.ayat (2) UUD ‘45 belum dilaksanakan

dengan baik ,antara lain ( yang tentunya membutuhkan dana yang

cukup dan tidak dikorupsi di tengah jalan) :

(1) Belum sepenuhnya memberikan pengakuan dan

penghormatan kepada terhadap desa yang sudah ada dengan

keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya NKRI

(2) Belum jelas benar status dan kepastian hukum atas desa dalam

sistem ketatanegaraan RI demi mewujudkan keadilan bagi

seluruh rakyat Indonesia

(3) Belum sepenuhnya ada upaya-upaya melestarikan dan

memajukan adat ,tradisi, dan budaya masyarakat desa

(4) Belum sepenuhnya ada upaya-upaya mendorong

prakarsa,gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk

pengembangan potensi, aset desa, guna kesejahteraan bersama

masyarakat desa

(5) Belum terwujudnya pemerintahan desa yang profesional,

efisien, efektif ,terbuka,serta bertangggung jawab

376
(6) Pelayanan publik bagi warga desa yang masih perlu

ditingkatkan dalam berbagai aspeknya

(7) Perlu upaya-upaya meningkatkan ketahanan sosial budaya

masyarakat desa , guna mewujudkan masyarakat desa yang

mampu memelihara kesatuan sosial masyarakat desa sebagai

bagian dari ketahanan yang lebih tinggi

(8) Masih banyak upaya-upaya yang perlu dilakukan (karena

justru yang paling lemah) dalam rangka memajukan

perekonomian masyarakat desa sebagai basis pembangunan

perekonomian masyarakat bangsa Indonesia

(9) Perlu upaya-upaya memperkuat masyarakat desa sebagai

subyek dan obyek pembangunan

f) APBDesa belum dapat diwujudkan dengan baik secara transparan

dan akuntabel ,antara lain dengan kenyataan-kenyataan antara

lain :

(1) APBDesa selama ini memang belum berimbang antara

penerimaan dan pengeluaran ,antara lain terlihat :

(a) APBDesa selama ini sangat kecil , demikian juga sumber

pendapatannya

(b) Kenyataannya rata-rata kesejahteraan masyarakat desa

relatif masih rendah

(c) Randahnya dana operasional desa untuk melaksanakan

pelayanan publik yang cukup baik( apalagi kalau harus

menyajikan pelayanan publik yang prima)

377
(d) Banyak program pembangunan atas nama desa, tetapi

dalam pelaksanaannya “masih jauh panggang dari api”

(2) Masalah-masalah lanjutannya antara lain :

(a) Laporan APBDesa rata-rata selalu terlambat

(b) Perangkat Desa ( terutama para Sekdes dan stafnya) masih

kurang menguasai teknologi informasi yang sesuai dengan

tuntutan pengembangan “e-government” dalam berbagai

dimensinya

(c) Perangkat desa umumnya masih kurang kreatif

(d) Administrasi Pemerintahan Desa ( kemampuan manajerial

dan dukungannya ) umumnya masih tidak/ kurang baik

(e) Upaya –upaya pengembangan desa ( potensi---

pemberdayaan masyarakat --- pola tanam-- cara hidup

sehat – dan lainnya ) masih perlu terus ditingkatkan (lihat

: PR 9-9- 2015 ; 10-9-2015 ;Kompas 27-8- 2015 ; 5-9- 2015 ;

8-9- 2015 ;9-9- 2015 ; 10-9- 2015 ;11-9-2015; Anwar &

Bambang Jatmiko, dalam : upy . ac. id)

88) Mengapa Kepemimpinan Kepala Desa rata-rata belum “bergaya”

transformasional ( perubahan) ,sehingga pembangunan desa kurang

akseleratif (utamanya dalam merancang APBDesa ,sehingga berakibat

tidak efektif dan tidak efisiennya keuangan desa pada umumnya )?

Beberapa penyebab dan kenyataan-kenyataannya antara lain :

a) Ternyata dalam kepemimpinannya ,kepala desa rata-rata masih

tradisional , malah ada yang masih bergaya feodal, masih jauh da-

378
ri bersifat tranformasional , misalnya tidak ada visi desa yang

jelas, demikian juga misinya—kebijakannya/strateginya -- dan

rencana serta program pembangunan secara nyata

b) Selain itu “disiplin kepala desa” rata-rata masih kurang baik,

artinya ketaatannya memenuhi perannya sebagai instrumen

pemerintah pusat dan menjadi mediator ( yang mestinya harus

baik) dalam rangka menterjemahkan ADD ( apalagi selama ini

ADD nya seret/kecil sekali) ke dalam kegiatan pembangunan desa

sesuai dengan kepentingan masyarakat desa untuk

mensejahterakan mereka, belum dapat dilaksanakan dengan baik

c) Kewenangannya dilihat dari perspektif sosiologis ( pimpinan

komunitas sosial yang solid mestinya), dari perspektif

politis( berwenang mengelola adminitrasi pemerintahan desa

dengan baik), dan dari aspek komunitas otonom ( mestinya desa

bertipe pemerintahan negara ditingkat lokal yang mendasar)

semuanya itu belum terwujud dengan semestinya

d) SDM perangkat desa yang dipimpinnya belum berkualitas

sehingga sukar bagi kepala desa untuk mengakselerasikan

pembangunan desanya

e) Pemilihan kepala desa lebih mengandalkan “keturunan “ sehingga

kepala desa sering “resisten “ terhadap tuntutan reformasi

pemerintahan yang demokratis dimana partisipasi masyarakat

menjadi suatu yang tidak terelakkan /pen. (lihat :Kusnadi ,2015 ;

Ibrahim , 2005)

379
89) Mengapa “ E- Budgetting “ ( terutama di daerah-daerah) belum dapat

diaplikasikan dengan semestinya ,sehingga keuangan daerah masih

tidak efektif dan tidak efisien ?

Beberapa kenyataan dan penyebabnya antara lain :

a) Yang paling menonjol mungkin ( tidak “apriori” ) ialah ada

semacam kesengajaan dari sebagai elit politik ( terutama lokal)

yang berupaya menunda atau “kurang bersemangat” untuk

memberlakukan “e-budgetting” agar perilaku KKN

mereka(utamanya korupsi) tidak terbuka,alias tersembunyi

sehingga dengan aman mengumpulkan “harta haram “ dari

waktu ke waktu ( tentu saja tidak semuanya ,tapi nayatanya

sebagian elit politik lokal terjebak dalam masalah korupsi ini )

/pen.

b) Di samping itu memang memberlakukan “e-budgetting “ itu

( tentunya sebagai bagian atau salah satu dimensi dari “ e-

government” memerlukan pemberdayaan SDM Pemda dengan

baik, sehingga menguasai dengan baik operasionalisasi “e-

budgetting dalam kerangka e-government “ tersebut dengan baik

c) Faktor lainnya sarana –prasarana “e-government umumnya dan

e- budgetting khususnya “ memerlukan dana yang besar dan

pemberdayaan yang simultan , dimana dengan segala

keterbatasan yang ada memang cukup kompleks untuk

dilaksanakan dalam waktu yang singkat

d) Konsekuensi penekanan pada Otda yang luas dan berkualitas de-

380
ngan penekanan pada daerah tingkat II ( Kabupaten/Kota)

memang mengandung konsekuensi yang cukup berat untuk

melaksanakan “e-government dengan e- budgetting “ didalamnya

Konsekuensi itu adalah ada kecencerungan bermunculan “raja-

raja kecil “ , kekurangan SDM yang berkualitas dalam jumlah

yang sangat banyak (birokrasi ) untuk mengoperasionalkan “e-

budgetting “ tersebut , apalagi dengan latah pemekaran daerah,

menambah kompleksnya masalah penerapan “e-government

dengan e-budgetting “ di dalamnya (lihat : Kompas , 5-9-2015 ;

Ibrahim , 2015 )

4. R a n g k u m a n

a. Menganalisis Keuangan Daerah dari kacamata Administrasi Publik

artinya melihat apa saja masalah keuangan daerah dilihat dari

penyelenggaraannya oleh pemerintahan daerah .

b. Lebih jauh mengenai pendekatan masalah kenuangan daerah dari

kacamata Admininstrasi Publik ( Pemerintahan) Daerah berarti apa saja

yang menyebabkan permasalahan keuangan daerah itu sampai terjadi ,

dilihat dari kemampuan manajerial pemerintahan daerah berikut

beragman dukungannya ( SDM, tatalaksananya, sarana prasarananya,

anggarannya, sistem dan teknologi informasinya , kepemimpinannya,

perilakunya, etikanya , lingkungannya , dan lainnya yang berkaitan)

381
c. Permasalahan-permasalahan keuangan daerah terdiri dari persoalan-

persoalan yang lebih rinci, yang dalam tulisan ini setidaknya ditemukan

sekitar 90-an persoalan keuangan daerah yang ada , itupun hanya

diamati sepintas lalu, belum kalau diteliti secara mendalam dan dalam

waktu ayng cukup lama serta mencakup ratusan daerah tingkat II

dengan berbagai persoalan keuangan daerahnya yang bersifat spesifik

d. Dari sekian banyak persoalan keuangan daerah yang dianalisis dalam

tulisan ini secara umum dapat dibagi penyebab permasalahannya secara

garis besar antara lain sebagai berikut :

1) Secara mendasar pemahaman tentang makna administrasi publik

(pemerintahan ) daerah belum sepenuhnya dihayati dan

diapalikasikan ( administrasi pemerintahan daerah =

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi integrasi dari

kemampuan manajerial dan beragam dukungannya)

2) Permasalahan keuangan daerah terjadi (utamanya bercirikan

keuangan daerah yang tidak efektif dan tidak efisien), karena tidak

berjalannya secara serasi fungsi-fungsi utama administrasi publik

sebagai suatu sistem ( yakni fungsi organisasi---- fungsi SDM—fungsi

pengambilan keputusan ---- dan fungsi keuangan/finansial)

3) Para pimpinan daerah ( elit politik lokal) tidak secara konsisten

merefleksikan “mindsets” (pola pikir) Pancasila yakni : “saling

memberi ---- mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan

pribadi /golongan---- mengutamakan musyawarah untuk mufakat---

382
dan berpikir sistem (interdisipliner) dalam perilaku mereka

mengelola keuangan daerah (utamanya merumuskan APBD)

4) Dapat juga karena para peneyelenggaran pemerintahan daerah

kurang memahami--- menghayati --- dan menerapkan tuntutan

manajemen pemerintahan (publik) baru (MPB) dan tuntutan

pelayanan publik baru (PPB= Pelayanan Publik Prima) ,terutama

dalam mengelola keuangan daerah

5) Dapat juga karena kurang berniat melaksanakan urgennya “e-

government inklusif e-budgetting” sesuai tuntutan zaman

6) Boleh jadi para penyelenggara pemerintahan daerah (utamnya elit

politik lokal) belum sepenuhnya menerapkan : teori --- berpikir—

analisis sistem dalam perumusan kebijakan pemerintahan daerah,

utamanya dalam proses perumusan APBD

7) Dapat juga karena kurang dapat menerapkan strategi untuk dapat

meningkatkan PAD secara “elegan” , tetapi lebih sibuk dengan

memperbanyak “pungutan /retribusi daerah “ yang kurang wajar dan

pada dasarnya membebani rakyat, dengan dalih demi pembangunan

dan kesejahteraan rakyat di daerahnya ( padahal tidak demikian)

8) Dapat juga “terlalu sibuk/terlalu asyik” dengan pemekaran daerah

dengan dalih meningkatkan potensi daerah dan makin mendekatkan

pelayanan publik,padahal nyatanya “lebih cenderung bagi-bagi

kekuasaan “ dan menambah inefektivitas dan inefisiensi keuangan

daerah

9) Dapat juga karena elit politik lokal lebih sibuk dengan kepentingan

383
pribadi golongan (terutama “group think”), tapi dengan dalih demi

kepentingan masyarakat ( masyarakat/rakyat diatasnamakan)

10) Dapat juga karena memang masih banyak para “elit politik lokal”

tidak/kurang memiliki gaya kepemimpinan transformasional

(kepemimpinan perubahan) sebagai ciri dan tuntutan utama

kepemimpinan pemerintahan dewasa ini sesuai dengan tuntutan

publik yang menginginkan lebih aman dan sejahtera lahir batin

11) Mungkin pemahaman dan penerapan “reformasi

pemerintahan/inklusif reformasi keuangan” keliru , bukannya

reformasi dalam rangka mengaktualisasikan demokrasi Pancasila

sesuai tuntutan zaman ( dimana bottom-up dan top-down bertemu

disatu titik) , tetapi justru terjebak pola pikir liberalisme/kapitalisme

dan neo feodalisme

12) Dapat juga para elit politik lokal memang suka menerima “umpan

balik 360 derajat tepat waktu” ,dan lebih suka akan umpan balik

yang bergaya “rent-seekers”(penjilat) dan “senang dikelilingi inner

circle” yang bersifat suka menjilat seperti di atas

13) Dapat juga karena memang lebih mengutamakan “KKN “( utamanya

Korupsi) dalam perilaku keorganisasian dan budaya politik mereka

14) Mungkin juga para elit politik lokalnya ,sebagian besar memang

bukan “politisi terpanggil “ ,tapi “politisi panggilan/karbitan “

15) Dapat juga kurang dapat membedakan hakikat dan implementasi

“tupoksi” dari pejabat-pejabat “politis” dan “profesional” dalam

Pemerintahan Daerah ,sehingga dicampuradukkan

384
16) Mungkin juga kurang dapat memahami hakikat dan hubungan

hirarkis yang jelas antara “visi—misi--- kebijakan /strategi--- rencana

---- program pembangunan dengan jelas

17) Dapat juga memang kualitas sebagai “politisi” dan para pejabat

“profesional” Pemda ,memang mungkin belum sesuai tuntutan

lingkungan strategis yang berlaku

18) Mungkin juga karena sistem pembinaan sumber daya manusia dan

pengembangan sumber daya manusia (MSDM—PSDM) Pemda masih

kurang baik

19) Dalam kenyataannya memang organisasi pada umumnya “belum “

berperilaku keorganisasian positif (PKP) dan sekaligus juga belum

mencerminkan budaya organisasi pembelajaran (OP) ,sehingga

lamban dalam kinerjanya dan kurang tanggap terhadap tuntutan

pelayanan publik yang makin kompleks dari masyarakat/rakyatnya

20) Mungkin juga memang hubungan antara “stakeholders internal”

(birokrasi) dengan “stakeholders eksternal” ( masyarakat luas) masih

/memang masih kurang harmonis dan kurang bermitra dengan baik

21) Dapat juga justru lebih menyedihkan adalah hubungan antar

lembaga pemerintahan (HALP) daerah dilingkungan internal

memang masih kurang harmonis , sering terjebak dalam sifat “ego

sektoral “

22) Dapat juga birokrasi daerah dan pihak-pihak terkait yang menangani

masalah anggaran, memang sebagian masih kurang profesional ,atau

“memiliki agenda sendiri “ demi kepentingannya

385
23) Dapat juga berbagai aturan mengenai administrasi keuangan publik

yang sebagian masih tumpang tindih ,sehingga “membingungkan”

pelaksanaannya di daerah-daerah

24) Dapat juga antara gencarnya tuntutan berbagai aturan pengelolaan

keuangan daerah yang begitu banyak , tidak seimbang /tidak seiring

dengan pemberdayaan SDM pengelolanya di daerah,baik secara

kuantitatif dan kualitatif

25) Masih banyak elit politik lokal yang masih mengalami “ retensi “

terhadap tuntutan reformasi keuangan publik yang menuntut

akintansi berbasis akrual (ABA)

5. K e s i m p u l a n

a. Masalah keuangan daerah yang terurai dalam demikian banyak

persoalan ,penyebab utamanya sangat tergatung pada pola pikir, budaya ,

perilaku yang masih kurang adatif terhadap tuntutan perubahan reformasi

pemerintahan pada umumnya dan reformasi keuangan publik inklusif

keuangan daerah pada khsususnya

b. Masih belum “matchingnya” antara tuntutan pemutakhiran administrasi

publik di bidang keuangan daerah dengan upaya –dukungan-dukungan

untuk menerpakannya, terutama kurang baiknya pemberdayaan SDM dan

dukungan sarana- prasarana—finansial --- dan teknologi informasinya

BAGIAN KEDUA :
B A B : II

BERBAGAI KONSEP SEPUTAR ADMININSTRASI PEMERINTAHAN

DAN KEUANGAN (DAERAH) YANG DAPAT DIJADIKAN ACUAN

DALAM RANGKA MENCARI SOLUSI MENGENAI MASALAH

/PERSOALAN-PERSOALAN KEUANGAN DI DAERAH

1. P e n g a n t a r

Berbagai konsep yang akan dikemukakan dalam Bab .II ini sekiranya dapat

membantu kita untuk mencari solusi terhadap berbagai permasalahan (yang

terurai dalam lebih rinci persoalan-persoalan) keuangan daerah dilihat dari

kacamata administrasi pemerintahan ( terutama di daerah-daerah )

Konsep-konsep ini disusun dengan tataurut mulai dari yang paling filosofis

hingga tataran praktis dari kacamata adminintrasi pemerintahan ,bagaimana

seharusnya pedomnan-peddoman menyelenggarakan keuangan daerah,

sehingga pada akhirnya apapun persoalan-persoalan keuangan daerah yang ada

dapat dicari jalan keluarnya ,terutama bagaimana menyempurnakan

administrasi pemerintahan daerah mengenai keuangan di daerah-daerah agar

keuangan daerah itu dapat efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama administrasi pemerintahan daerah

itu sendiri

Hanya saja perlu dicatat, acuan-acuan formal saja tidaklah cukup untuk

mencarikan solusi dari berbagai persoalan keuangan daerah perlu dilengkapi

386

387
dengan berbagai hasil penelitaian dan kajian yang terkait dengan persoalan –

persoalan keuangan daerah tersebut

Acuan-acuan akademis berupa konsep-konsep ilimiah yang akan diuraikan

secara singkat berikutnya , dilengkapi dengan berbagai hasil penelitian/kajian

dan sekaligus pengalaman di lapangan para praktisi dan pengamat keuangan

daerah ,akan menyempurnakan solusi-solusi mengenai persoalan keuangan

daerah itu ,sesuai dengan kondisi di daerah masing-masing

Adapun konsep-konsep yang akan diuraikan secara singkat seperti yang telah

disinggung di atas ,antara lain sebagai berikut :

2. Pengertian (singkat ) dari Keuangan Daerah atau Keuangan Negara /Keuangan

Publik/Keuangan Pemerintahan Daerah :

Dapat disederhanakan bahwa keuangan daerah atau keuangan negara

/keuangan publik/keuangan pemerintahan daerah pada dasarSnya adalah

semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka administrasi (penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah “yang dapat dinilai dengan uang “), termasuk di

dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewjiban

daerah dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah .

Prinsip keuangan daerah ialah merupakan hak daerah , kewajiban daerah

dalam bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewaiban daerah

tersebut.

Secara oprasional keuangan daerah dilaksanakan melalui APBD sebagai bentuk

nyata hak dan keawajiban daerah untuk memanfaatkan segala kekayaannya

yang dapat dinilai dengan uang tersebut, dengan tujuan tidak lain, kecuali
mensejahterakan rakyatnya ( masyaraat aerah yang bersangkutan khususnya,

bangsa Indonesia umumnya

3. Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ( PKD= Manajemen Keuangan

Daerah = MKD) :

Pengelolaan Keuangan Daerah ( PKD = MKD) :

Keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan ,pelaksanaan

,penatausahaan ,pelaporan , pertanggungjawaban , dan pengawasan keuangan

daerah ( lihat :Suryanto , dalam :bpkd .natunakab.go.id ).

4. Administrasi (Pemerintahan ) Keuangan Daerah :

Penyelenggaraan Keuangan oleh Pemerintah Daerah ,berupa kadar

kemampuan mengelola keuangan daerah ( kemampuan merencanakan,

mengorganisasikan , melaksanakan , mengawasi ( termasuk monitoring dan

memberi peluang umpan balik 360 derajat tepat waktu) ,berikut beragam

dukungan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut

( meliputi dukungan SDM baik secara kualitatif dan kuantitatif, dukungan

anggaran /dana/finansial , dukungan tatalaksananya , dukungan sarana-

prasarana/infrastrukturnya, dukungan informasinya ( sisten dan teknologinya ),

dukungan lingkungannya , dukungan nilai-nilai budaya dan perilaku

keorganisasiannya , dikendalikan oleh kepemimpinan daerah ( setidaknya

bersifat transformsional) dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan

keuangan daerah, yakni makin mensejahterakan rakyatnya ( atau untuk dapat

meingkatkan “ketahanan daerah yang bersangkutan)

5. Catatan : dalam tulisan ini akan lebih ditekankan pada fungsi utama

administrasi keuangan daerah (yakni kemampuan manajerialnya) ,karena


beragam dukungan sebagai fungsi kedua akan lebih mudah didapatkan jika

fungsi utamanya ( kemampuan manajerial ) berfungsi dengan baik (lihat :

Ibrahim ,2011, 2015)

6. Secara lebih rinci PKD (MKD) diatur dalam Permendagri No.13 Tahun 2013

pasal 3 , meliputi :

a. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

b. Asas-asas Umum dan Stuktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD)

c. Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD)

d. Penyusunan dan Penetapan APBD (dengan Perda dengan persetujuan

DPRD)

e. Pelaksanaan APBD

f. Perubahan APBD

g. Pengelolaan Kas

h. Penatausahaan /penatalaksanaan Keuangan Daerah

i. Akuntansi Keuangan Daerah

j. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD

k. “ Pembinaan “ dan Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah

l. Kerugian Daerah

m. Pengelolaan Keuangan Badan-badan Usaha Daerah

n. Semuanya hal-hal di atas harus dikelola secara tertib , taat pada peraturan

per-UU-an yang ada , efektif (berhasil guna) ,efisien-ekonomis (berdaya

guna) , transparan , dan bertanggung jawab dengan memperhatikan

sungguh-sungguh asas keadilan, kepatutan dan manfaat yang nyata bagi

kesejahteraan untuk masyarakat ( ingat konsep dari ajaran Nabi


Muhammad SAW : siddiq, tabligh, amanah , fathonah ) ( karena memang

ternyata banyak para penyelenggara pemerintahan di Indonesia yang

memang kurang amanah ( baca : sering melakukan korupsi/pen.)

7. Ditekankan dalam UU No.32 Tahun 2004 (pasal 181) dan UU No.17 Tahun 2003

bahwa dalam proses penysusunan APBD harus didasarkan pada penetapan

skala prioritas dan plafond anggaran , rencana kerja Pemda dan Kebijakan

Umum APBD yang telah disepakati bersama antara DPRD dan Pemda yang

bersangkutan

8. Dalam PP No.58 Tahun 2005 Bab.I pasal 29 sampai dengan 42 :

Dijelaskan bahwa dalam Proses penyusunan RAPBD haruslah berpedomam

kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD) , Rencana

Kerja Pemerintah Daerah ( RKPD) , Kebijakan Umum APBD ( KUAPBD) ,

Prioritas dan Plafond Anggaran Sementara ( PPAS) , Rencana Kerja Anggaran

Satuan-Satuan Kerja Daerah ( RKA- SKPD-SKPD)

9. Fungsi –fungsi Umum APBD :

a. Fungsi Otorisasi :

Anggaran Daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan

belanja daerah pada tahun yang bersangkutan

b. Fungsi Perencanaan :

Pedoman anggaran pendapatan dan belanja daerah pada tahun yang

bersangkutan

c. Fungsi Pengawasan :

Untuk menilai apakah APBD tersebut sesuai atau tidak/kurang sesuai

dengan ketentuan –ketentuan yang berlaku

d. Fungsi Alokasi :
Anggaran Daerah ( APBD) harus diarahkan untuk menciptakan lapangan

kerja , mengurangi pengangguran , menghindari pemborosan beragam

sumber daya serta mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi

perekkonomian daerah (khususnya)

e. Fungsi Distribusi :

Kebijakan Anggaran Daerah (APBD) harus memperhatikan keadilan dan

kepatutan

f. Fungsi Stabilitas :

Anggaran Pemda ( APBD) tersebut hendaklan menjadi alat untuk

memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian

daerah

10. Perkembangan metode penyusunan APBD :

APBD mula-mula (bahkan masih ada) disusun dengan metode tradisional ( “line

items budget “) , sekarang sistemnya , sesuai dengan tuntutan reformasi

administrasi pemerintahan (inklusif reformasi keuangan (daerah) sudah

seharusnya disusun dengan Sistem Anggaran Berbasis Kinerja ( SABK)

a. Makna dan proses Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) ,antara lain :

1) Tidak lagi didasarkan pada analisis rangkaian kegiatan yang dikaitkan

dengan tujuan yang telah ditentukan ,tetapi menitikberatkan pada

“kebutuhan “ untuk belanja/pengeluaran

2) Pendekatan yang sistematis dalam proses penyusunan anggaran yang

mengartikan bahwa pengeluaran yang dilakukan organisasi

pemerintahan(daerah) sepadan dengan kinerja yang ddihasilkannya

,serta menggunakan informasi kinerja yang terencana dengan baik


3) Prosesnya dimulai dengan dokumen-dokumen perencanaan seperti

RPJMD--- RKPD – dokumen-dokumen Renstra SKPD-SKPD --- Renja

SKPD-SKPD --- dan RKA-SKPD –SKPD

4) APBD penting sebagai alat untuk memelihara dan menupayakan

keseimbangan fundamental perekonomian daerah dalam proses

pembangunan daerah ( yang akseleratif dinamis/pen.)

5) APBD merupakan alat /wadah untuk menampung berbagai kepentingan

publik yang diwujudkan melalui program /kegiatan-kegiatan yang nyata

yang bermanfaat bagi rakyat

6) APBD merupakan instrumen kebijakan untuk meningkatkan pelayanan

umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah yang juga harus

mencerminkan kebutuhan riil masyarakat ,sesuai dengan potensi- potensi

dan karakteristik-karakterisitik daerah , serta dapat memenuhi tuntutan

terciptanya anggaran daerah (APBD) yang sepenuhnya berorientasi pada

kepentingan dan akuntabilitasnnya sekalian

7) APBD menduduki potensi sentral dan vital dalam upaya

mengembangkan kapabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah (yang

bersangkutan)

8) APBD pada dasanya “harus dapat mencerminkan “ potensi dan

keunggulan-keunggulan daerah “ sehingga menghasilkan kebijakan yang

memang sesuai dengan semangat Otda itu sendiri ( Otda yang luas dan

berkualitas/pen.)

9) APBD harus dapat berfungsi sebagai alat untuk melakukan pengelolaan

keuangan daerah yang tertib, transparan , akuntabel , agar tujuan utama

dapat tercapai yaitu “ good governance and clean government “


b. Jenis data yang digunakan sebagai sumber utama perencanaan APBD (lihat

titik e. di atas ) antara lain :

1) Ringkasan RKA- SKPD

2) Ringkasan RKA – PPKD

3) Ringkasan Rancangan APBD

4) Ringkasan Raperda Perubahan APBD

5) Ringkasan Perda APBD

6) Ringkasan DPA- SKPD –SKPD

7) Ringkasan LRA –SKPD

8) Ringkasan LRA- PPKD

9) Ringkasan LKP ( Audit )

10) Opini dari Badan Pengawasan Keuangan (BPK)

11) Catatan : ditambah temuan-temuan dilapaangan ,serta aspirasi dari

berbagai pihak ( tapi harus dianalisis secara mendalam dan obyektif

sehingga tidak terjebak kepentingan “vested interests” /pen.)

11. Ruang lingkup teknis PKD (MKD) :

12. Pengurusan ketataaksanaan /ketatausahaannya

13. Pengurusan Khusus = Pengurusan Bendaharawan

14. Prinsip-prinsip pokok sektor anggaran publik ( didaerah = APBD) :

15. Adanya partisipasi masyarakat sejak proses awal manajemennya

16. Adanya transparansi dan Akuntabilitas Aanggaran ( disini pentingnya SIKPD

dan “e-budgetting “ sebagai alat/media sosial-komunikasinya/pen.)

17. Adanya disiplin anggaran


18. Adanya keadilan anggaran ( misalnya besaran persentase anggaran

pembangunan untuk rakyat lebih besar dari anggaran rutin/birokrasi ,

misalnya 70: 30 , bukan sebaliknya yang sering terjadi dalam kenyataan APBD

di banyak daerah sepert selama ini /pen.)

19. Anggaran Daerah ( APBD ) harus efektif dan efisien ( utama sekali efektivitas

/pen.)

20. Taat asas dalam berbagai hal (terhadap tujuan,aturan, etika , pelayanan dan

lainnya yang berkategori etis ) ( lihat : PP No.58 Tahun 2005 ; Permendagri

No.26 Tahun 2006 ; Ibrahim ,2011, 2015)

21. Gambaran Skematis Pengelolaan Keuangan Daerah (APBD) dapat dilukiskan

antara lain sebagai berikut ini ( lihat : Mardiasmo ,2005 :5 )

22. ---------------------------------------------------------------------------------------------------

------------------

23. Penerimaan: Pelaksanaan : Penatausahaan : Pertanggungjawaban :


Pengawasan :
24. RPJMD : Ranc. DPA- : Penatausahaan : Akuntansi Keuang- :
1.Pembinaan :
25. RPKD : SKPD : Pendapatan : an :
-Pemberian Pe-
26. KUA PPA : Verifikasi : oleh Bendahara : Laporan Keuang- : doman
27. Nota Kese- : DPA-SKPD : Penerima : an Pemda : :
-Bimbingan
28. NOTA KE- : DPA-SKPD : Penatausahaan : 1. Laporan Reali- :
-Penyeliaan
29. SEPAKAT- : Dasar Pelak- : Belanja oleh Ben: sasi Anggaran :
-Konsultasi
30. AN : sanaan Ang- : hara Pengeluar- : 2. Neraca : -Diklat
31. Pedoman : garan : an : 3. Laporan Arus :
2.Pengawasan
32. Penyusun- : Pelaksanaan : Kekayaan dan : Laporan Keua- :
terhadap pe-
33. an RKA - : APBD : : Kewajiban Da- : ngan diperiksa :
laksanaan Per
34. SKPD : 1.Pendapatan : erah : : BPK : da
tentang
35. RKA-SKPD : 2.Belanja : 1.Kas Umum : Rancangan Per- : APBD
36. -------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------
37. Gambar .2.1.
38. Gambaran Umum Pengelolaan Keuangan Daerah

39.

40. Makna konseptual dan teknis dari Anggaran Daerah (APBD) .

41. Makna konseptual dari APBD ,antara lain :

42. 1) Dari Administrasi Pemerintahan :

43. Merupakan cara pengelolaan sumber-sumber pendapatan pemerintahan

daerah untuk membiayai program-program pembangunan daerah agar dapat

berjalan dengan baik, tetapi dengan besar kecilnya anggaran pula akan

mempengaruhi tingkat keberhasilan program-program pembangunan daerah

tersebut

44. Dari segi Ekonomi :

45. APBD adalah alat untuk untuk memperlancar ( tapi juga dapat menghambat

jika tidak dijalankan dengan baik/pen.) terhadap produksi barang dan jasa

serta pelayanan publik, dimana APBD akan menentukan berkembangnya suatu

pemerintahan daerah , akan meningkatkan kesejahteraan massyarakat di

daerah yang bersangkuutan ( jika dilaksanakan dengan sebaik-baiknya/pen.)

46. Dari segi Akuntansi :


47. Dengan APBD dapat ditelusuri keuangan pemerintahan daerah , dimana akan

terlihat dengan jelas penggunaan dari uang negara ,sehingga dapat ditelusuri

apa saja dan berapa banyak barang-barang yang dimiliki daerah sebagai

kekayaan negara ,akibat adanya investasi pemerintah dalam daerah yang

bersangkutan

48. APBD adalah Rencana Operasi Keuangan yang mencakup estimasi

pengeluaran yang diusulkan, dan sumber- sumber pendapatan yang diharapkan

untuk membiayainya dalam priode tertentu ( lazimnya tahunan dan

berkelanjutan dalam APBD berikutnya )

49. Secara teknis APBD merupakan suatu rencana keuangan tahunan

Pemerintah(an) Daerah yang telah diseujui DPRD , merupakan dasar bagi

PKD(MKD) keuangan daerah dalam satu tahun anggaran ; sekaligus semua

rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah

dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu

50. Karena APBD merupakan pengelolaan keuangan daerah ,maka APBD menjadi

dasar pula bagi pengendalian ,pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah

51. Tahun anggaran APBD mulai 1 Januari dan berakhir 31 Desember tahun

yang bersangkutan

52. Karena tuntutan reformasi keuangan publik dewasa ini (demokratisasi

keuangan pemerintahan inklusi pemerintahan daerah ) maka APBD haruslah

diproses ,dirancang dan diputuskan secara demokratis pula ; yang merupakan

siste anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja , perkiraan

yang terukur secara rasional yang dapat tercapai dalam setiap sumber

pendapatan , mengutamakan hasil kerja ( manfaat) bagi kesejahteraan rakyat

(di daerah khususnya)


53.

54. 5. Pokok-pokok Pelaksanaan APBD

55. a. Pelaksanaan Pendapatan /Penerimaan Daerah, antara lain :

56. 1) Semua pengelolaan terhadap pendapatan daerah harus

dilaksanakan melalui Rekening Kas Umum Daerah

57. 2) Setiap pendapatan daerah harus didukung oleh bukti yang

lengkap dan sah

58. 3) Setiap satuan kerja yang memungut pendapatan daerah harus

mengintensifkan pemungutan pendapatan yang menjadi wewenang dan

tanggung jawabnya

59. 4) Setiap SKPD tidak memungut selain daripada yang ditetapkan

per-UU-an

60. 5) Pendapatan daerah juga mencakup komisi,rabat , potongan,

atau pendapatan lain dengan menggunakan nama dan dalam bentuk apapun

yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langssung merupakan akibat dari

penjualan ,tukar-menukar, hibah ,asuransi dan/atau pengadaan barang dan jasa

,termasuk pendapatan bungan ,jasa giro atau pendapatan lain yang timbul

sebagai akibat penyimpanan dana anggaran pada bank,serta pendapatan dari

hasil pemanfaatan barang daerah atau kegiatan lainnya.

61. 6) Semua pendapatan dari dana perimbangan dan lain-lain

pendapatan yang sah, dilaksanakan melalui Rekening Kas Umum Daerah,dan

dicatat sebagai pendapatan daerah

62. b. Pelaksanaan Belanja Daerah , antara lain :


63. 1) Pengleuaran Kas yang menjadi beban APBD tidak boleh

dilakukan sebelum Rancangan Peraturan tentang APBD ditetapkan, dan

dicantumkan dalam Lembarab Daerah .

64. Pengleuaran Kas tersebut tidak termasuk pengeluaran untuk

belanja yang bersifat mengikat dan belanja daerah yang bersifat wajib yang

ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah

65. Dasar pengeluaran belanja untuk keperluan tak terduga yang dianggarkan

dalam APBD ( misalnya untuk mendanai tanggap darurat , bencana alam atau

bencana sosial , termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerahn

tahun sebelumnya ) ,harus ditetapkan Keputusan Kepala Daerah ,dan

diberitahukan kepada DPRD paling lama 1(satu ) bulan sejak keputusan

tersebut ditetapkan

66. Pimpinan instansi / lembaga penerima dana tanggap darurat harus

bertanggung jawab atas penggunaan dana tersebut dan wajib menyampaikan

laporan realisasi penggunaan dana kepada atasan langsung dan Kepala Daerah

,sesuai dengan tatacara pemberian dan pertanggungjawaban dana darurat

yang ditetapkan Peraturan Kepala Daerah

67. Bendahara Pengeluaran sebagai Wajib Pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan

pajak lainnya , wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak

yang dipungutnya ke Rekening Kas Negara pada bank yang ditetapkan oleh

Menteri Keuangan sebagai penerima (persepsi) atau Pos Giro ,dalam jangka

waktu sesuai dengan ketentuan praturan per-UU-an yang berlaku

68. Untuk kelancaran tugas SKPD –SKPD ,kepada Pengguna Anggaran /Kuasa

Pengguna Anggaran ,dapat diberikan Uang Persediaan ,yang dkelola oleh

Bendahara Pengeluaran
69.

70. Pokok-pokok Analisis Rasio Keuangan Daerah ( rasio APBD)

71. Analisis Rasio Keuangan ( Daerah ) adalah prosedur analisis yang dapat

digunakan untuk membandingkan pos-pos keuangan pada laporan tahun

berjalan dengan pos –pos terkait laporan priode sebelumnya .

72. Alat analisis rasio keuangan (daerah ) yang digunakan adalah analisis rasio

yang dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumer dari APBD

,yakni ( lihat : Halim ,2004 ) :

73. Rasio Kemandirian Daerah ( RKD)

74. Adalah “kemampuan Pemerintah(an) Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan

pemerintahan dan pembangunan serta sesuai dengan target yang ditetapkan

dalam pelayanan kepada masyarakat ( pelayanan publik) yang telah membayar

pajak dan retribusi,sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.

75. Kemandirian Keuangan Daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan

Asli Daerah (PAD) , dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari

sumber lain, misalnya bantuan Pemerintah Pusat atau pinjaman

76. Rasio Kemandirian ini menggambarkan ketergantungan daerah ( yang

bersangkutan ) terhadap sumber dana ekstern

77. Rasio Kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam

pembiayaan daerah .

78. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan

menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi ( lebih

luas lihat : Mahmudi , 2010 :140)

79. Rumusnya : PAD

80. ----------------------------------------------------------------------------
81. Bantuan Pemerintah Pusat / Propinsi dan Pinjaman

82.

83. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah ( REfsKD) :

84. Adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang

dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang

diterima

85. Rumusnya :

86. Rasio Efisiensi = Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD

87. ------------------------------------------------------------ x 100 %

88. Target Penerimaan PAD

89.

90. Rasio Efektivitas Keuangan Daerah ( ReftKD) :

91. Menggambarkan kemampuan Pemerintah(an) Daerah dalam merealisasikan

PAD yang direncanakan ,dibandingkan dengan target yang ditetapkan

berdasarkan potensi riil daerah

92. Kategori efektif minimal sebesar 1.0 ( 100 %) , dimana semakin tinggi Rasio

Efektivitas menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik

93. Guna memperoleh ukuran yang lebih baik , maka Rasio Efektivitas tersebut

perlu disandingkan dengan Rasio Efisiensi yang dicapai Pemerintah(an) Daerah

(lihat : Mahmudi , 2010 : 143)

94. Rumusnya :

95. Rasio Efektivitas = Realisasi Penerimaan PAD

96. ----------------------------------- x 100 %

97. Target Penerimaan PAD

98.
99. Rasio Aktivitas Keuangan Daerah (RAKD) dapat dibagi dalam :

100. Rumus Pertama :

101. Rasio Belanja Rutin terhadap APBD = Total Belanja


Rutin
102. ------------------------
----
103. Total APBD
104.
105. Rumus Kedua :
106.
107. Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD = Total
Belanja Pembangunan
108. --------------
------------------------
109. Tot
al APBD
110.

111. Debt Service Coverage Ratio ( DSCR ) (lihat : Mahmudi, 2010 : 14) :

112. Perbandingan antara penjumlahan pendapatan asli daerah (PAD) ,

bagian dari pajak bumi dan bangunan , penerimaan sumber daya alam , dan

bagian daerah lainnya , serta dana alokasi umum(DAU) , setelah dikurangi

belanja wajib , dengan jumlah angsuran pokok , bunga dan biaya pinjaman

lainnya yang jatuh tempo

113. Bagian Daerah ( BD ) dalam APBD dan laporan realisasi bagi hasil

pajak dan non pajak

114. Belanja Wajib (BW) merupakan Dana Alokasi Khusus ditambah dengan

belanja pegawai ( BW = DAK + Belanja Pegawai

115. Rumus dari DSCR :

116. DSCR = ( PAD + Bagian Daerah + DAU) -- Belanja Wajib

117. -----------------------------------------------------------------

118. Total ( Pokok Angsuran + Bunga + Biaya Pinjaman

119.
120. Tolok Ukur Rasio Keuangan ( TURK) :

121. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan , baik oleh

pribadi maupun organisasi ( dalam hal ini Pemda )

122. Indikator kinerja yang digunakan dalam mengukur kinerja organisasi

( Pemda ) antara lain :

123. Masukan ( “input”) :

124. Segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat

berjalan untuk menghasilkan keluaran (“output”) ,yang dapat berupa sumber

dana , waktu, teknologi dan lainnya .

125. Keluaran (“output”) :

126. Tolok ukur kinerja berdasarkan produk ( barang/jasa) yang dihasilkan

dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan

127. Hasil ( “outcome”) :

128. Tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai

berdasarkan keluarannya ( “output”) program atau kegiatan yang dihasilkan

129. Manfaat ( “benefit “) :

130. Adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang dapat

dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat dan Pemda yang bersangkutan

131. Dampak (“impact”) :

132. Tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro

yang ingin dicapai dari manfaat ( lihat : Fadillah & Muhtar , 2004 : 32)

133. Skema Indikator Kinerja (dari keuangan daerah ) (lihat

:Halim,2004:150-8)

134.

135. Sumber Daya -------- Masukan ------- Keluaran --------- Hasil/Dampak


136.

137. Ekonomi Efisiensi Efektivitas

138. Tujuan dari Analisis Rasio Keuangan ( Daerah ) :

139. Analisis Rasio Keuangan Daerah (APBD) dilakukan dengan

membandingkan hasil yang dicapai dari suatu priode dibandingkan dengan

priode sebelumnya , sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang

sedang terjadi

140. Dengan analisis ini , Pemda dapat menilai kemandirian keuangan daerah

dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah (Otda) , mengukur

efektvitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerahnya , mengukur

kontribusi masing-masing sumber pendapatan daerah, dan dapat mengukur

layak,tidak/kurang layaknya Pemda dalam mengembalikan angsuran pokok

pinjaman

141. Gambaran konseptualnya :

142. UU No.17 Tahun 2003

143. Konsep yang digunakan + Litbang


lainnya
144. ( Misal: Mahmudi,2010)
145. ANALISIS LAPORAN KEUANG-
146. AN DAERAH
147.
148. Pemda Kabupaten/Kota
149. (.......)
150.
151. Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan
152. Aset Daerah Kabupaten/Kota
153.
154. APBD
155.
156. Laporan Keuangan Daerah Laporan Realisasi
Anggaran (LRA)
157.
158.
159. Analisis Laporan Keuangan dengan menggunakan
160. Analisis Rasio Keuangan
161.
162.
163. Rasio Kemandirian Rasio Efisiensi Rasio Efektivitas
Rasio DSCR
164.
165.
166. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota
167.
168. (Gambar .2.2. Peran Analisis Keuangan Daerah untuk melihat Kinerja
Keuangan Daerah)
169. Komponen ( Struktur ) APBD

170. Terdiri dari : Pendapatan Daerah , Belanja Daerah ,dan

Pembiayaannya ,antara lain sebagai berikut :

171. Pendapatan Daerah ( PAD) , terdiri dari :

172. Pajak Daerah ( beragam , akan dirinci berikutnya )

173. Retribusi Daerah ( beragam ,akan dirinci tersendiri )

174. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (BUMD) ,

pengelolaan SDA Daerah, Bank Daerah , pengelolaan swasta dan kelompok

masyarakat, akan dirinci tersendiri )

175. Lain-lain PAD yang sah , antara lain :

176. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan

177. Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak

dipisahkan

178. Jasa Giro

179. “Pendapatan “ Bunga

180. Hasil “tuntutan “ ganti rugi

181. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah dengan mata uang asing

182. Komisi, potongan ,atau bentuk lain akibat dari penjualan dan/atau

pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah

183. Dana Perimbangan ,terdiri dari antara lain :


184. a) Dana Bagi Hasil (akan dirinci berikutnya )

185. Dana Alokasi Umum (DAU) ( akan dirinci berikutnya)

186. Dana Alokasi Khusus ( DAK) (akan dirinci berikutnya)

187. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah seperti : hibah , dana darurat

dan lainnua berupa uang /barang dari berbagai sumber yang tidak

188. mengikat

189. Belanja Daerah meliputi antara lain :

190. Komponen Kedua dari APBD yang meliputi semua pengeluaran dari

Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) yang mengurangi “ekuitas” dana lancar ,

yang merupakan kewajiban daerah dalam 1(satu) tahun anggaran , yang tidak

akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah

191. Klasifikasi Belanja Daerah :

192. Menurut keorganisasian :

193. Sesuai susunan organisasi Pemerintah(an ) Daerah

194. Menurut Fungsi :

195. Berdasarkan urusan-urusan Pemkab/Pemkot

196. Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara yang digunakan untuk

tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara ,yang terdiri

dari antara lain:

197. Pelayanan Umum

198. Ketertiban dan Keamanan

199. Ekonomi

200. Lingkungan Hidup

201. Perumahan dan Fasilitas Umum

202. Kesehatan
203. Pariwisata dan Budaya

204. Agama

205. Pendidikan

206. Perlindungan Sosial

207. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan : sesuai dengan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah

208. Klasifikasi menurut jenis belanja :

209. Belanja Pegawai

210. Belanja Barang dan Jasa

211. Belanja Modal

212. Bunga

213. Subsidi

214. Hibah

215. Bantuan Sosial ( Bansos)

216. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan

217. Belanja tidak terduga

218. Catatan : semuanya sesuai per-UU-an yang berlaku

219. Pembiayaan Daerah :

220. Semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran

yang akan diterima kembali ,baik pada tahun anggaran yang bersangkutan

,maupun tahun-tahun berikutnya, yang meliputi antara lain:

221. Penerimaan pembayaran ,antara lain :

222. SILPA tahun anggaran sebelumny

223. Pencairan Dana Cadangan

224. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan


225. Penerimaan pinjaman

226. Penerimaan kembali pemberian pinjaman

227. Pengeluaran Pembiayaan ,antara lain:

228. Pembentukan Dana Cadangan

229. Penyertaan modal Pemda

230. Pembayaran Pokok Hutang

231. Pemberian Pinjaman

232.

233. Pokok-pokok Materi yang harus dipahami oleh Pengelola Keuangan

Negara (Daerah ,antara lain ( lihat : star. bpkp.go. id ):

234. Cara Penetapan APBD ,meliputi antara lain :

235. Anggaran disusun dalam perspektif (3-5 tahun) yang dirinci dalam APBD

tahunan ,sjabarkan dari Visi-Misi –Kebijakan dan Strategi Daerah yang

bersangkutan

236. Setiap instansi ( SKPD-SKPD ) menjabarkan Kebijakan Umum dan

Prioritas Anggaran kedalam Rencana Kerja SKPD (RK-SKPD) tahunan ( lebih

bersifat “bottom-up”)

237. Instansi yang bertanggung jawab dalam Bidang Perencanaan

( Bappeda/pen.) melakukan penelaahan “konsistensi” dari RK-SKPD SKPD

tersebut dengan mengacu kepada Kebijakan Umum

238. Instansi yang bertanggung jawab dalam Bidang Keuangan ,menelaah

konsistensi RK-SKPD SKPD tersebut dengan mengacu kepada Priorita

Anggaran
239. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) diajukan

Kepala Daerah kepada DPRD ,selanjutnya diadakan serangkaian pembahasan

antara keduanya , dan berakhir dengan persetujuan DPRD.

240. Legitimasi atau keabsahannya dittuangkan dalam Peraturan Daerah

(Perda) mengenai APBD tahun yang berssangkutan , dlanjutkan dengan

Peraturan Bupati /Walikota ( untuk daerah Tingkat II) mengenai pokok-pkok

program dan kegiatan-kegiatannya

241. Anatomi Anggaran Daerah, yang menjelaskan antara lain :

242. Untuk apa anggaran disediakan( fungsi—sub fungsi----program ----

kegiatan---- sub kegiatannya)

243. Oleh siapa anggaran dilaksanakan ( Satuan-satuan Kerja ,misalnya

SKPD-SKPD )

244. Apa yang akan dihasilkan dari anggaran tersebut ( belanja pegawaai,

belanja barang habis pakai , belanja modal , belanja bantuan sosial (Bansos),

transfer ,dan lainnya )

245. Berapa batas tertinggi pengeluaan untuk setiap pembelanjaan tersebut

246. Jenis-jenis Dana yang tersedia ,antara lain :

247. Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD)

248. Dana Dekonsentrasi

249. Dana Tugas Perbantuan

250. Sistem Pengendalian Intern ,meliputi antara lain ( lihat: UU No.17 Tahun

2003 ; Perpu No.80 Tahun 2008 ) :

251. Lingkungan Pengendalian : Struktur Organisasi Pengendalian yang tepat

252. Penilaian Resiko : Oleh Satker terhadap pemakaian anggaran,aset , dan

lainnya
253. Informasi dan Komunikasi ( melalui Sistem Laporan yang sesuai

perarturan yang berlaku ,misalnya Sisten Informasi Keuangan Daerah (SIKD)

dan lainnya

254. Pemantauan pelaksanaan anggaran daerah tersebur sesuai rinciannya

255. Komponen Pokok Organisasi Satker ,meliputi antara lain :

256. Pejabat Pembuat Komitmen ,dibantu :

257. Pejabat /Panitia /Unit layanan Pengadaan

258. Panitia Pemeriksa Barang/Pekerjaan

259. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM)

260. Bendaharawan

261. Unit Perencanaan dan Pelaporan :

262. Sub Unit yang membuat Rencana Kerja ,data pendukung , bahan revisi

DIPA

263. Sub Unit Laporan Keuangan dan melaksanakan Sistem Akuntansi

Barang Milik Negara pada tingkat Satker

264. Cara Pemilihan Penyediaan Barang dan Jasa, antara lain (lihat :KepPres

No.80 Tahun 2003 ) :

265. Pengadaan Barang dan Jasa diadakan dengan 2(dua) sistem yakni

Lelang dan Seleksi

266. Penyediaan baran gyang dipilih (melalui lelang) antara lain:

267. Memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditentukan

268. Terbaik dari segi “teknis dan harga”nya

269. Dokumen Dasar Belanja ,meliputi antara lain :

270. Belanja Pegawai : SK-nya dalam lingkungan Satker

271. Belanja Barang dan Jasa :


272. Kwitansi

273. Sprin Kerja :untuk belanja sampau dengan 50 juta rupiah

274. Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa diatas 50 juta rupiah

275. Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa dengan Pendapat Akhli Hukum

dengan belanja di atas 50 milyar rupiah

276. Belaanja Langganan /Jasa : ( air,telepon, listrik, berdasarkan tagihan)

277. Belanja Perjalanan dengan SPD ,meliputi transportasi , akomodasi, uang

harian

278. Belanja Bantuan Sosial ( Bansos )

279. Cara Pembayaran ,antara lain :

280. Atas beban APBD ,antaraa lain :

281. Ada Permintaan Pembayaran

282. Ada Dokumen Dasar Belanja ( 7 jenis)

283. Pembayaran setelah selesai serah terima barang /selesai pekerjaan

284. Cara Pembayaran ,antara lain:

285. Langsung ke rekening Pihak Ketiga

286. Transfer dana langsung ke rekening penerima pembayaran

287. Menggunakan uang persediaan

288. Langsung melalui Bendahara

289. Perpajakan atas Belanja Negara antara lain :

290. Pajak disetor oleh penerima pembayaran

291. Pajak dipungut Satker

292. Tidak dikenakan pajak ( belanja perjalanan dan Bansos)

293. Pelapor : oleh Satker ,antara lain :


294. Laporan Keuangan : Neraca Reaalisasi Anggaran dan Catatan Atas

Laporan

295. Keuangan

296. Pelaksanaan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara

297. Pembuatan Buku Kas Umum Bendaharawan

298.

299. Pengelolaan Keuangan Daerah dilihat dengan Prespektif Birokrat

( sejati ) ,antara lain ( lihat : noldysalindo . blogspot . com ) :

300. Pengelolaan Keuangan Daerah ( lihat : UU No.15 Tahun 2004 ) :

301. Keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan daerah sesuai dengan

kedudukan dan kewenangannya , yang meliputi perencanaan , pelaksanaan

,pengawasan dan pertanggungjawabannya

302. Keuangan Daerah ( lihat :PP No.58 Tahun 2006 ) ,antara lain :

303. Semua “hak dan kewajiban daerah “ dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan daerah ,yang dapat dinilai dengan uang , termasuk di dalamnya

segala bentuk kekayaan yang berhubungan dnegan hak dan kewajiban daerah

tersebut ; dengan ruang lingkupnya :

304. Hak Daerah untuk memungut Pajak Daerah , Retribusi Daerah dan

melakukan Pinjaman

305. Kewajibab Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan

Daerah , dan Membayar Tagihan Pihak Ketiga

306. Penerimaan Daerah

307. Pengeluaran Daerah

308. Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri oleh Pemda atau oleh pihak lain

berupa uang , surat berharga , piutang , barang , serta hak-hak yang dapat
dinilai dengan uang , termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

daerah

309. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemda , dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah / atau kepentingan umum

310. Asas- asas Pengelolaan Keuangan Daerah , terutama dilihat dari

persepektif Birokrat Daerah ,antara lain :

311. Harus dikelola dengan Tertib :

312. Dikelola tepat waktu , tepat guna , yang didukung bukti-bukti

administrasi (maksudnya ketatalaksanaan) yang dapat dipertanggungjawabkan

( lebih ideal lagi bukan hanya tepat waktu, tepat guna; tetapi juga tepat jumlah,

tepat kualitas, tepat sasaran dengan biaya seminim mungkin /pen.)

313. Taat pada peraturan per-UU-an sepenuhnya

314. Efektif :

315. Pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan ,dengan cara

membandingkan “keluaran “ dan “hasil/manfaat “

316. Efisien :

317. Pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau

penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu

318. Ekonomis :

319. Perolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat

harga yang terendah

320. Transparan :

321. Prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui

dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah

322. Bertanggung jawab sepenuhnya ( amanah /pen.)


323. Berkeadilan :

324. Keseimbangan distribusi kewenanagan dan pendanaannya ,dan/atau

keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan perkembangan yang

obyektif

325. Berkepatutan :

326. Sikap atau tindakan yang wajar dan proporsional

327. Hasilnya bermanfaat bagi masyarakat :

328. Keuangan Daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat

329. Pelaku Pengelola Keuangan Daerah meliputi :

330. Bupati /Walikota :

331. Selaku Pemegang Kekuasaan Pengelola Keuangan Daerah , yang karena

jabatannya mempunyai kewenangan , menyelenggarakan keseluruhan

pengelolaan keuangan daerah

332. Pejabat Pengelola Keuanan Daerah ( PPKD) selanjutnya disebut Kepala

SKPKD ,mengelola APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah

(yakni Kepala Bagian Keuangan )

333. Bendahara Umum Daerah

334. Pengguna Anggaran :

335. Kepala Dinas /Badan , Camat dan Kepala-kepala Kantor

336. Pengguna Barang :

337. Berwenang dalam penggunaan barang milik Daerah ( sama dengan titik

4) di atas

338. Kuasa Bendahara Umum Daerah : yang membantu Bendahara Umum

Daerah
339. Kuasa Pengguna Anggaran : kewenangan sebagian anggaran dalam

lingkup SKPD

340. Pejabat Penatausahaan KeuanganSKPD

341. Bendahara Penerimaan

342. Bendahara Pengeluaran

343. Perencanaan Keuangan Daerah ( Penganggaran Daerah) dan

Penjadualannya :

344. Rencana Kerja Pemerintah Daerah ( RKPD) :

345. Penjabaran dari RPJMD

346. Menggunakan Rencana SKPD ( RSKPD )

347. Selesai akhir Mei

348. Kebijakan Umum APBD ( Kebijakan Umum Anggaran dari

Bupati/Walikota ) :

349. Dibantu Tim Anggaran Pemerintah Daerah ( TAPD) yang dipimpin oleh

Sekretaris Daerah , kemudian di sampaikan ke Bupati/Walikota

350. Pada bulan Juni

351. Pembahasan Rancangan Kebijakan Umum Anggaran (RKUA) , yang

dilakukan oleh TAPD dan Panitia Anggaran DPRD

352. Kemudian disepakati menjadi Kebijakan Umum Anggaran (KUA)

353. Minggu Pertama bulan Juli

354. Berdasarkan KUA yang disepakati , Pemda menyusun Rancangan

Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dengan tahapan :

355. Penentuan Skala Prioritas untuk Urusan Wajib dan Urusan Pilihan

356. Rancangan PPAS dipaparkan Bupati ke DPRD (Minggu kedua bulan

Juli )
357. Kemudian dibahas lagi oleh TPAD dan Panitia Anggaran DPRD

358. Rancangan PPAS yang telah dibahas tersebut di atas , kemudian

disepakati menjadi Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) , pada akhir Juli

359. KUA dan PPA yang telah disepakati menjadi Nota Kesepakatan Bupati

dan DPRD

360. TAPD menyiapkan Edaran Bupati tentang Pedoman Penyusunan

Rencana Kerja dan Anggaran SKPD ( RKA –SKPD) , sebagai acuan bagi

Kepala-kepala SKPD un tuk menyusun RKA-SKPD yang benar ,meliputi :

361. PPA yang dialokasikan untuk setiap program SKPD

362. Sinkronisasi program dan kebijakan antar SKPD dan keuangan SKPD

yang ditargetkan

363. Batas waktu penyampaian RKA- SKPD kepada PPKD

364. SKPD- SKPD perlu meningkatkan efisiensi ,efektivitas , transparansi

dan akuntabilitas sebagai wujud prestasi kerja

365. Dokumen-dokumen lampirannya : KUA , PPA , Kode Rekening APBD ,

Format RKA- SKPD , Analisis Standar Belanja dan Standar Satuan Kerja

366. Berdasarkan pedoman penyusunan RKA- SKPD , maka Kepala SKPD

menyusun RKA-SKPD dengan pendekatan jangka menengah daerah (RPJMD),

penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja

( bedasarkan kinerja/pen.)

367. RKA- SKPD yang telah disempurnakan disampaiak keada TPAD

368. Hasil penyempurnaan RKA-SKPD disampaikan kepada PPKD sebagaia

bahan penyusunan Rancangan Perkiraan Daerah tentang APBD , dengan

lampiran- lampirannya :

369. Ringkasan APBD


370. Ringkasan APBD menurut Urusan Pemerintahan Daerah dan

Organisasi-organsasinya

371. Rincian APBD

372. Rekapitulasi Belanja menurut Urusan pemerintahan (Pemda), Organisasi

, Program , dan Kegiatan-kegiatannya

373. Rekapitulasi Belanja Daerah berdasarkan keselarasan dan keterpaduan

urusan Pemda dan fungsi , dalam kerangka pengelolaan keuangan negara

374. Daftar jumlah pegawai per-golongan /jabatan

375. Daftar Piutang Daerah

376. Daftar Penyertaan Modal Investasi Daerah

377. Daftar perkiraan Penambahan dan Pengurangan Aset Tetap Daerah

378. Daftar kegiatan-kegiatan Tahun Anggaran sebelumnya dan yang

diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini

379. Daftar Dana Cadangan

380. Daftar Dana Cadangan Daerah (Khusus)

381. Daftar Pinjaman Daerah

382. Rancangan Perda tentang APBD yang disusun oleh PPKD kemudian

diserahkan ke Bupati

383. RAPBD disosialisasikan kepada masyarakat , kemudian disampaikan ke

DPRD ( penyebarluasannya oleh Sekretaris Daerah ( Sekda)

384. Bupati /Walikota menyampaikan Rancangan Perda tentang APBD ke

DPRD pada minggu pertama bulan Oktober

385. Persetujuan paling lama 1(satu) bulan ( bulan Desember) sebelum

anggaran dilaksanakan
386. Bupati/Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Bupati tentang

penjabaran APBD

387. Pelaksanaan Keuangan Daerah ( APBD) :

388. Diberikan ke SKPD setelah 3(tiga ) hari APBD ditetapkan

389. SKPD menyusun Rancangan Dokumen Pelaksanaan Anggaran ( DPA-

SKPD)

390. Kepala SKPD mempedomaninya

391. Catatan Penutup :

392. Pengelolaan Keuangan Daerah ( APBD ) tidak terpisahkan dari

Pengelolaan Keuangan Negara pada umumnya , dan tidak boleh bertentangan

dengan paraturan per-UU-an yang berlaku (ingat reformasi Administrasi

Publik di Indonesia yang wujudnya adalah demokratisasi berasarkan nilai

demokrasi kita sendiri , adalah Otda yang luas dan berkulaitas, tapi bukan

negara federal, tapi tetap dalam naungan NKRI

393.

394. Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD = MKD ) sebagai suatu Sistem

( lihat : Baridzwan,1998 :3 ; Jaya,1999:11 ;Mardiasmo,2000:3; Devas,dkk, 1989 :

279-280 semuanya dalam :2frameil.blogspot.com; Ibrahim, 2011,2015)

395. Keuangan Daerah ( APBD khususnya) adalah seluruh tatanan perangkat

kelembagaan dan kebijakan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan

belanja daerah

396. Karena berwujud tatanan maka setiap komponennya saling terkait satu

sama lainnya ,semuanya penting sesuai perannya

397. Sebagai suatu sistem maka keuangan daerah dalam pengelolaannya

sudah seharusnya ,antara lain :


398. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik

(“public oriented”)

399. Harus berangkat dari kejelasan visi-misi yang disepakati bersama antara

“stakeholders internal” ( Pemda ) dan “stakeholders eksternal”nya ( masyarakat

luas dengan beragam lembaganya )

400. Desentralisasi pengelolaan dan kejelasan peran para partispan terkait

dalam pengelolaan keuangan daerah ,seperti peran DPRD , Kepala Daerah,

perangkat daerah , masyarakat luas dengan menepati “aturan main” dari setiap

bentuk partisipasi dari para partisipan tersebut

401. Kerangka hukum dan tatalaksana ayas pembiayaan,investasi dari

pengelolaan keuangan daerah berdsarkan mekanisme pasar , “value for

money” , transparansi dan akuntabilitas

402. Kedudukan dan peran DPRD, Kepala Daerah , pejabat-pejabat PNS

Daerah harus jelas baik dilihat dari segi rasio maupun dasar

pertimbangannya ,serta tidak tumpang tindih dan saling menunjang sebagai

bagian dari sistem pengelolaan keuangan daerah yang utuh /pen.

403. Ketentuan dan bnetuk struktur anggaran, bersifat anggaran kinerja

dan anggaran multi tahunan diatur dengan tolok ukur yang jelas

404. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah ,laporan keuangan,

peran DPRD , peran akuntan publik dalam pengawasan , pemberian opini dan

“rating kerja anggaran “ , serta transformasi informasi anggaran daerah harus

merupakan suatu kesatuan yang saling terkait, saling mengisi dan tertata

dengan rapi /pen.

405. Aspek pembinaan dan pengawasan ,yang meliputi batasan pembinaan ,

peran berbagai asosiasi terkait, peran anggota masyarakat , merupakan bagian


tidak terpisahkan bagi pengembangan profesionalisme aparat pengelola

keuangan daerah

406. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan

informasi anggaran daerah yag akurat dan pengembangan komitmen

pemerintahan daerah terhadap penyebarluasan informasi keuangan daerah

yang dapat diakses masyarakat luas kapan saja mereka perlukan ( akan lebih

baik lagi dikembangkan dalam kerangka menerapkan model “umpan balik 360

derajat tepat waktu “ dari seluruh “stakeholders pembangunan daerah baik

internal dan eksternal” ,sehingga pengelolaan keuangan daerah benar- bena

merupakan suatu sistem yang utuh /pen.)

407. Tuntutan selanjutnya dari pengelolaan keuangan daerah sebagai suatu

sistem, terkandung di dalamnya ,antara lain :

408. Tanggung jawab (akuntabilitas ) Pemda ,yang harus

mempertanggungjawabkan pelaksanaan keuanagan daerahnya kepada lembaga

yang berkepentingan seperti Pemerintah Pusat, DPRD ,Kepala Daerah dan

masyarakat luas

409. Mampu memenuhi kewajiban keuangan, dikelola sedemikian

rupa,sehingga mampu melunasi semua kewajiban dan /atau ikatan keuangan

daerah tersebut , baik jangka pendek dan panjang , mapun pinjaman jangka

panjang ,pada waktu yang telah ditentukan

410. Pengelolaan keuangan daerah sudah sharusnya dilaksanakan dengan

penuh kejujuran (amanah/pen.) , yang diserahkan kepada para pejabat/pegawai

yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya (amanah) , sehingga sistem

pengelolaannya tidak terganggu atau gagal /pen.


411. Pengelolaan keuangan daerah sebagai suatu sistem juga dimaknakan

harus berhasil guna ( efektif) dan berdaya guna (efisien) ,dengan cara

menggunakan keuangan daerah sedemikian rupa sehingga memungkinkan

program dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan tujuan yang telah

ditetapak dengan harga/biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu

secepat-cepatnya ( idealnya /pen.)

412. Termasuk pula dalam sistem pengelolaan keuangan daerah adalah

subsistem pengendaliannya, dimana para aparat pengelola keuangan daerah

,DPRD, dan petugas pengawasan, haus dapat melakukan pengendalian sebaik-

baiknya agar semua tujuan pengelolaan keuangan daerah (utamanya

meningkatkan ksejahteran masyarkat dapat terwujud ( tentunya bertahap tapi

hendaknya linier-dinamis /pen.)

413.

414. Penatalaksanaan ( lazim disebut Administrasi) Keuangan Daerah

( APBD) ( lihat :

415. Kaho,2007 ;Mamesah ,1995 , dalam : nurjatiwidodo. lecture.ub.ac.id ;

UU No.33 Tahun 2004) antara lain :

416. Pemerintahan Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan

efektif dan efisien tanpa anggaran yang cukup untuk memberikan pelayanan

dan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyatnya

( mungkin lebih tepat :dalam rangka meningkatkan Ketahanan Daerahnya =

peningkatan secara kondisional ke Uletan—ke Tangguhan – dan keMandirian

masyarakat daerah sebagai buah pembangunan daerah dalam berbagai

aspeknya /pen.)
417. Anggaran /Keuangaan Daerah inilah yang meruakan dasar kriteria

untngetahui kemampuan suatu daerah dalam mengurus rumah tangganya

sendiri

418. Cara-cara yang dapat dilakukan oleh Daerah untuk memeperoleh

keuangan daerahnya antara lain:

419. Pemda dapat memngumpulkan dana dari pajak daerah yang sudah

direstui oleh Pemerintah Pusat

420. Pemda dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga ,pasar uang atau

bank atau melalui Pemerintah Pusat

421. Daerah dapat ikut ambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang

dipungut daerah , misalnya “sekian persen” dari pendapatan sentral tersebut

( melalui cara bagi hasil)

422. Pemda dapat menambah tarif dari pajak sentral tertentu

423. Pemda dapat menerima bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat

424. APBD sebagai alat utama dalam menjalankan Otda ( yang luas dan

berkualitas/pen.) secara nyata dan bertanggung jawab , karena APBD tersbut

dapat berfungsi antara lain :

425.

Anda mungkin juga menyukai