Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan khadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunianya kami dapat menelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas kelompok mata pelajaran sejarah
Indonesia pada SMA NEGERI 4 KUNDUR tahun pelajaran 2021-2022.
Dalam penyusunan tugas ini penyusun juga di bantu oleh berbagai pihak oleh karena
itu saya juga meucapkan terimakasih kepada guru mata pelajaran sejarah dan rekan-rekan
X1MIPA 2.
Saya sudah menyusun tugas ini dengan sebaik-baiknya, tetapi kami juga mengharapkan
saran dan keritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun sangat di harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mudah-mudahan tugas ini bermanfaat bagi penegmbangan
wawasan kita semua khususnya dalam mata pelajaran sejarah Indonesia.

Kundur,   Januari 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………...………………………………… i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………… ii

BAB I …………………. ………………………………………………………………………. 1

A. Kebijakan Umum Pemerintah Jepang…………... ……………………………………….. 1

B. Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jepang…………... ……………………………………... 1

B. Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jepang…………... ……………………………………... 1

BAB II …………………. ………………………………………………………………………..4


A. Kebijakan Pendidikan …………………………... ………………………………………. 4
B. Kebijakan Kebudayaan …………………………………………………………………… 5
BAB III …………………. ……………………………………………………………………….6
Pengerahan Romusha….. …………………………... ……………………………………….. 6
BAB IV …………………. ……………………………………………………………………….9
1.Dampak terhadap kehidupan ekonomi …………... ………………………………………... 9
2.Dampak terhadap mobilitas sosial………………... ………………………………………... 9
3.Dampak dalam bidang Birokrasi …….…………... ………………………………………. 10

BAB IV PENUTUP ………………………………………… ………………………………….iii

Kesimpulan ……….….. …………………………... ……………………………………….. iii


Saran ……. ……….….. …………………………... ……………………………………….. iii

ii
BAB I
Kebijakan Ekonomi Jepang Di Indonesia

A.    Kebijakan Umum Pemerintah Jepang


Terakhirnya Pemerintahan Hindia-Belanda yang digantikan oleh Pemerintahan Jepang
tentu disertai perubahan kebijakan. Pemerintah Jepang sangat memerlukan sumber daya untuk
menunjang militernya dalam Perang Pasifik. Demi kelancaran dalam memperoleh sumber daya,
Pemerintah Jepang pada awal kedatangannya membuat berbagai kebijakan yang menarik simpati
rakyat Indonesia.
Bahasa Indonesia dan bendera merah putih tidak lagi dikekang oleh pemerintah. Pribumi
yang berpendidikan mendapat jabatan di pemerintahan. Ulama pun digandeng oleh pemerintah
Jepang, berbeda dengan pemerintah Hindia-Belanda yang kerap bersitegang dengan ulama.
Upaya-upaya tersebut berhasil membuat rakyat Indonesia bersimpati.
Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang adalah melarang kegiatan
berkumpul dan dan rapat, tertuang dalam UU No. 2 yang diperkuat dalam UU No. 3 pada 20
Maret 1942, yang isinya melarang segala macam perbincangan, pergerakan, atau propaganda
mengenai aturan dan susunan organisasi Negara (Lubis, 2004:150). Pergerakan politik rakyat
Indonesia yang pada pemerintahan Hindia-Belanda begitu gencar menjadi terhambat pada
pemerintahan Jepang. Pemerintah Jepang membuat berbagai badan untuk mengalihkan dan
menumpulkan radikalisme dari partai politik yang ada sebelumnya.
Stratifikasi sosial pada pemerintahan Jepang berubah, Jepang berada di posisi teratas
disusul oleh Timur Asing dan Indonesia pada lapis kedua, dan Belanda serta Eropa pada lapis
ketiga, sebelumnya pada pemerintahan Hindia-Belanda Jepang berada di lapis kedua dan
Belanda serta Eropa di lapis pertama. Penempatan orang Belanda dan Eropa pada lapis ketiga
berdampak pada perkebunan yang telah mereka bangun. Perkebunan milik Belanda dan Eropa
disita oleh Jepang. Berbagai kebijakan yang mengatur perkebunan dikeluarkan, seperti produksi,
rehabilitasi, dan pemberian kredit (Lubis, 2004:152).

B.     Kebijakan Ekonomi Pemerintah Jepang


Demi mencukupi kebutuhannya, Jepang mengeluarkan kebijakan ekonomi romusha.
Sedikitnya terdapat dua ratus ribu orang pribumi dipekerjakan, kebanyakan dari pekerja itu
bekerja sampai mati. Ribuan wanita Indonesia pun dipaksa untuk melayani tentara Jepang
(disebut juga Jugun Ianfu) (Drakeley, 2005:69). Kebijakan romusha sangat merugikan rakyat,
banyaknya pekerja yang terlibat menjadi romusha disebabkan ketidaktahuan mengenai apa
sebenarnya romusha itu.
Sistem perekrutan diselenggarakan di desa-desa melalui lurah/kepala desa. Kondisi
ekonomi yang serba sulit membuat dan iming-iming kehidupan yang lebih baik membuat rakyat
melamar menjadi romusha. Tenaga kerja yang melamar menjadi romusha dipaksa bekerja di
berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan Jepang. Pekerjaan yang dilakukan merupakan
pekerjaan yang berat, seperti pembangunan infrastruktur, lapangan terbang, benteng pantai,
lubang perlindugan, parit perlindungan, dan pabrik amunisi (Kurosawa, 1993:144).
1
Romusha dalam kesepakatan mendapatkan bayaran sebesar F. 0.50/hari dan F. 30/bulan
dikirim ke keluarga mereka. Pada praktiknya, romusha dibayar kurang dari kesepakatan atau
bahkan tidak dibayar. Pembayaran di setiap tempat kerja paksa berbeda-beda, ada yang dibayar
F. 0.14/hari hingga F. 1.00/hari. Namun, upah yang diterima oleh romusha tidak mencukupi
biaya hidupnya, harga gabah/kg adalah F. 0.10 pada Maret 1944 (Kurosawa, 1993:149).
Kebijakan lainnya adalah, penekanan angka produksi perkebunan karena tidak berkaitan
dengan kebutuhan perang, fokus utama Jepang adalah peningkatan produksi beras. Akibat
kebijakan ini, produksi perkebunan yang tinggi pada masa Hindia-Belanda, menjadi turun
drastis. Salah satunya adalah melemahnya industri gula. Industri gula melemah karena kebijakan
pemerintah Jepang untuk mengurangi produksi gula yang telah direncanakan sejak awal
kedatangan. Pengurangan ini dilakukian bertahap dan rahasia.
Semua perusahaan gula milik Belanda dan Eropa disita, kemudian Jepang menyerahkan
pengelolaan industri gula kepada enam perusahaan milik Jepang. Enam perusahaan Jepang
tersebut membawahi perusahaan-perusahaan Belanda dan Eropa. Jumlah perkebunan selama
pendudukan Jepang terus berkurang, dari 85 (1942) menjadi 13 (1945).
Begitu pula dengan angka produksi, pada tahun 1942, produksi gula mencapai 1.325.802
ton, menurun drastis menjadi hanya 84.245 ton pada tahun 1945. Jumlah produksi pada tahun
1945 merupakan jumlah yang terburuk, lebih rendah dari masa Depresi (1935) yang mencapai
506.659 ton (Kurosawa, 1993:37-43). Tidak hanya produksi gula yang menurun, produksi karet
karena produksi di Jawa dan Kalimantan terhenti hal yang sama juga tejadi pada komoditas teh
(Ricklefs, 2001:249).
Kecenderungan penurunan produksi ini berdampak kepada para petani. Para petani yang
memiliki tanah merasa diuntungkan dengan pengurangan produksi gula. Mereka tidak lagi
disibukkan dengan irigasi dan pengembalian tanah, mereka dapat menaman padi. Kondisi yang
berbeda dialami oleh petani yang tidak memiliki tanah, jumlahnya lebih banyak daripada petani
yang memiliki tanah.
Mereka menggantungkan hidupnya dari upah perkebunan. Begitu produksi gula dikurangi,
kehidupan mereka menjadi semakin sulit. Akibat, pengurangan produksi gula, jumlah
pengangguran meningkat. Para pengangguran ini banyak dimobilisasi oleh kinro hoshi (tenaga
kerja sukarela) untuk menjadi romusha (Kurosawa: 1993:47). Pilihan yang benar-benar sulit.
Terdapat usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi ini, pada Juli 1944, Fujinkai dan
Kridodarmo membuatkan 200.000 baju untuk dihadiahkan kepada romusha, bahan pembuatan
baju ini disediakan oleh Koochi Zimu Kyoku (Sinar Baroe, 15 Juli 1944:3). Perhatian bagi
keluarga romusha pun berdatangan dari badan-badan bentukkan Jepang, pada bulan yang sama,
keluarga dan anak-anak romusha diberikan sejumlah pakaian dan uang (Surakarta dan Surabaya)
(Asia Raya, 15 Juli 1944:2).
Mereka pun diberikan pekerjaan untuk menambah hasil bumi atau membuat pakaian (Sinar
Baroe, 29 Juli 1944:3). Kemudian pada September 1944, dukungan terhadap romusha juga
muncul dari Chuoo Sangi in, yang menempatkan romusha sebagai prajurit ekonomi, artinya
mereka layak diberi penghargaan sama seperti prajurit PETA dan Heiho.
2

Sebagai bukti penghargaan kepada romusha, di Pati diadakan sayembara untuk membuat
sebuah model penghargaan yang nantinya akan ditempelkan di depan pintu rumah keluarga
romusha, sama seperti yang diberikan pada prajurit Heiho (Sinar Baroe, 1 September 1944:1).
Pada Februari 1945, terdapat gerakan menyempurnakan urusan pengerahan tenaga romusha,
tujuan gerakan ini adalah untuk menyempurnakan romusha, salah satunya adalah dengan
memperlakukan romusha dengan baik, seperti keluarga (Sinar Baroe, 19 Februari 1945:2).
Pemberian penghargaan dan pelabelan romusha sebagai prajurit ekonomi sangat berkait dengan
upaya Jepang untuk menyamarkan kondisi nyata romusha kepada dunia internasional.
3

BAB II
Kebijakan Pengendalian Kegiatan Pendidikan Dan Kebudayaan

A.    Kebijakan peendidikan
Pada awalnya menjelang kedatangan invansi militer Jepang masuk ke Indonesia,ada
sebuah Sekolah Rakyat 3 tahun dan 6 tahun, yang diasuh oleh badan swasta yaitu suatu badan
yang dibantu oleh gereja Dayak Evangelis khususnya di daerah Kalimantan.Sekolah yang diasuh
oleh pihak swasta ini merupakan sekolah pada masa Belanda.Ketika Jepang masuk mereka
menemukan sekolah swasta ini dan tetap berjalan dan guru-gurunya digaji secara natural oleh
Jepang.Pemerintah Jepang mengambil alih semua sekolah tersebut.
Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang pendidikan adalah
menghilangkan diskriminasi/perbedaan yang diterapkan Belanda. Pada pemerintahan Jepang,
siapa saja boleh mengenyam/merasakan pendidikan. Rakyat dari lapisan manapun berhak untuk
mengenyam pendidikan formal. Jepang pun juga menerapkan jenjang pendidikan formal seperti
di negaranya yaitu: SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Dimana sistem ini masih
diterapkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini. Pelajaran utamanya yang paling intensif
sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah adalah setiap pagi sebelum memasuki kelas selalu
diadakan upacara bendera megibarkan bendera Jepang dan penghormatan kearah matahari
terbit.Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut dengan Taiso.
Disamping Taiso juga diharuskan bagi semua siswa melaksanakan lari berbaris
sepanjang kampung yang pada waktu itu disebut Jajiasi. kemudian pelajaran berupa adu
kekuatan juga diberikan seperti Sumo,yakini jenis permainan dorong menorong dengan tangan
yang dibatasi oleh suatu lingkaran.Wibawa guru-guru pada masa pemerintahan Jepang di
Indonesia memang sangat dijaga,karena setiap siswa yang bertemu dengan guru harus
hormat,pemerintahan Jepang memberikan ancaman kepada siswa yang tidak hormat dan
berkebijakan untuk membuat siswa tunduk.
Dalam acara penaikan bendera Jepang semua siswa menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang yaitu Kimigayo. Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah sistem
pengajaran dan kurikulum yang di sesuaikan untuk kepentingan perang. Siswa memiliki
kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan mampu menghapal lagu kebangsaan Jepang.
Begitu pula dengan para gurunya, diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan
Indonesia sebagai pengantar di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib
mengikuti kursus bahasa Jepang yang diadakan.Kebijakan lain yang diterapkan Jepang yaitu para
siswa termasuk guru-gurunya harus upacara dan menunduk kearah matahari terbit dengan cara
rukuk atau (membungkuk)yang disebut upacara Seikeire.
Apabila bendera sedang dinaikkan tidak seorangpun boleh berjalan melaikan harus
berhenti menghadap kebendera dan memberi hormat.Disamping diharuskan hormat kepada
guru(sensei),maka setiap orangtua haru dihormati pula termasuk kepala kampung yang pada
waktu itu dinamakan Sonco.

Usaha Jepang dalam menjepangkan rakyat Indonesia termasuk juga para siswa dilihat
dengan adanya pelajaran bahasa Jepang meskipun dalam bentuk stensilan yang khusus disusun
untuk mempelajari bahasa Jepang.Buku stensilan tersebut bernama Langkah pertama dan
langkah kedua.Disamping mempelajari bahasa Jepang diajarkan pula huruf abjad Jepang.Sejak
kelas satu mulai di perkenalkan huruf Jepang dari abjad Katagana,selanjutnya untuk kelas-kelas
tinggi diajarkan abjad Hiragana dan kemudian abjad Kanji.
Dengan demikian,secara sistematis sekali pendudukan militer Jepang itu ingin
menjepangkan anak-anak Indonesia mulai dengan bahasa hurufnya Sekolah Rakyat.Untuk
keperluan menulis para siswa memakai batu tulis berwarna hitam.Untuk menanamkan semangat
patriotisme dihati rakyar dalam hal menyanjung Perang Asia Timur Raya,pemerintah Jepang
menciptakan lagu khusus tentang keberanian seorang Heiho yang diberinya judul Amat
Heiho,ceritanya menyerang sekutu sampai harus rela tewas demi kejayaan negara Jepang.
Sekolah Rakyat 3 tahun pada waktu itu diberi nama Futu Gakko sedangkan Sekolah
rakyat 6 tahun diberi nama Ku Gakko.Sekolah-sekolah baru tidak ada didirikan olh pemerintahan
Jepang tapi hanya meneruskan sekolah-sekolah swasta saja.Selain itu bagi para siswa yang ingin
melanjutka pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi,maka diberi kesempatan yang bernama
Sihan Gakko.
Hal ini dapat dipahami,pendidikan yang diberikan Jepang pada rakyat pribumi semata-
semata hanya untuk kepentingan Jepang,tanpa memikirkan kemajuan pendidikan rakyat
pribumi,karena melalui pendidikan,pemerintahan Jepang mulai memasukkan rasa simpati kepada
rakyat,terutama dalam mengenyam pendidikan,yang di zaman belanda untuk masuk Sekolah
rakyat saja sangat susah,hanya orang tertentu saja yang diperbolehkan untuk sekolah.Sedangkan
Jepang sebaliknya,namun tujuan sebenarnya untuk menjepangkan rakyat Indonesia dan rasa
kecintaan kepada Jepang.

B.        Kebijakan Kebudayaan
Pada masa Jepang, bidang pendidikan dan kebudayaan diperhatikan dan bahasa
Indonesia mulai dipergunakan. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai pelajaran utama, sedangkan
bahasa Jepang dijadikan sebagai bahasa wajib. Dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa
Indonesia, komunikasi antarsuku di Indonesia semakin intensif yang pada akhirnya semakin
merekatkan keinginan untuk merdeka. Pada 1 April 1943 dibangun pusat kebudayaan di Jakarta,
yang bernama “Keimin Bunka Shidoso”.
Kebijakan disini dapat kita lihat melalui penyerahan hasil panen berupa padi rakyat
secara paksa,penyerahan ini tentulah menyengsarakan rakyat.Disebabkan keinginan Jepang
bukan sekedar permintaan tapi merupakan tuntutan yang harus dipenuhi masyarakat.Begitulah
kekajaman Jepang.Akibatnya banyak yang menderita kelaparan,rakyat menderita
kemiskinan,menurunnya kesehatan masyarakat,keadaan sosial semakin memburuk,dalam hal
pakaian,rakyat terpaksa memakai baju dari goni,sehingga banyak berjangkit penyakit kulit,serta
angka kematian semakin meningkat.

BAB III
Pengerahan Romusha

Romusha adalah panggilan bagi orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada
masa penjajahan Jepang di indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah
petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Jumlah
orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4
hingga 10 juta. Dalam sidangnya yang pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat
antara lain  supaya dibentuk badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi tenaga sukarela,
melalui kerja sama dengan bupati, wedana, camat dan kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja
(buruh) sekarela di perusahaan-perusahaan bala tentara Jepang.
Namun dalam pelaksanaannya persyaratan yang disampaikan oleh Chuo Sangi In itu
diabaikan. Pada hakikatnya mereka tidak lebih dari pekerja paksa. Seperti halnya di Yogyakarta,
tepatnya di desa Timbul Harjo, Bantul, pengerahan romusha dilakukan oleh perangkat desa
dengan cara medatangi keluarga-keluarga yang memiliki tenaga potensial untuk dijadikan
romusha. Keluarga yang menolak, mereka takut-takuti akan dikucilkan. Jika anak yang diminta
itu tidak berada dirumah, mereka biasanya mencari ke sawah dan kalau sudah ketemu dibawa
secara paksa ketempat pengerahan
Selama berada ditempat kerja sampai pulang ke kampong halamannya, ternyata romusha
mendapat fasilitas sangat minim dan banyak yang tidak diberi upah, tetapi tidak dapat menuntut
karena memang tidak ada perjanjian kerja tertulis. Mereka dikerahkan menjadi tenaga kerja
paksa dan buruh yang diberi upah selayaknya.Sebelum penyerahan Belanda kepada Jepang
tanggal 8 Maret 1942, Jepang telah memperhitungkan bahwa Pulau Jawa akan mampu
menyediakan tenaga manusia dalam jumlah yang memadai untuk memenangkan perang.
Perhitungan itu didasarkan atas kenyataan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa sangat banyak,
ditambah lagi dengan pertumbuhannya yang begitu pesat. Sehingga  Jepang tidak bakal
mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha, karena disamping itu jumlah
persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara paksa, dan tidak perlu
banyak
Pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu pula untuk mencari
pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat persediaan manusia cukup
banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka  Jepang denga leluasa memanfaatkan tenaga
manusia yang ada di Pulau Jawa dan dengan matinya beribu-ribu romusha seakan-akan tidak
menjadi beban
Mereka meninggal karena kekurangan makan, kelelahan, malaria dan terjangkit penyakit.
Selain itu juga karena kerasnya pengawasan dan siksaan Jepang yang kejam dan tidak berperi
kemanusiaan. Dibarak-barak romusha tidak tersedia perawatan dan tenaga kesehatan. Seakan-
akan telah menjadi rumus bahwa siapa yang tidak lagi kuat bekerja maka akan mati.
Sebagai mana alam pemikiran jepang, bahwa bukan manusianya yang diperhitungkan melainkan
tujuannya yaitu “menang perang”.

Para tenaga kerja yang disebut romusha atau jepang menyebutnya prajutit pekerja,
diperlukan untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan, gudang senjata,
jalan raya dan lapangan udara. Selain itu, mereka diperkejakan di pabrik-pabrik seperti pabrik
garam dan pabrik kayu di Surabaya dan di Sumatera Selatan, mereka diperkejakan di pabrik
pembuatan dinamit di Talangbetutu atau dipertambangan batu bara serta penyulingan minyak.
Mereka diperkejakan pula dipelabuhan- pelabuhan antara lain memuat dan membongkar barang-
barang dari kapal-kapal. Bahkan di desa Gendeng, dekat Badug, Yohyakarta misalnya romusha
menanam sayuran dan palawija guna memenuhi kebutuhan makan Jepang dan romusha itu
sendiri.
Pada umumnya mereka diperdapat dari desa-desa, terdiri dari pemuda petani dan
penganggur. Pulau Jawa sebagai pulau yang padat penduduknya memungkinkan pengerahan
tenaga tersebut secara besar-besaran. Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan bersifat sukarela
dan pengerahan tenaga tersebut tidak begitu sukar dilakukan, karena orang masih terpengaruh
propaganda “ intik kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Bahkan, dibeberapa kota terdapat
barisan-barisan romusha untuk bekerja ditempat-tempat dan pada waktu-waktu tertentu.
Misalnya, dalam bulan September 1944 sejumlah 500 orang romusha sukarela, yang terdiri dari
pegawai tinggi dan menengah serta golongan terpelajar di bawah pimpinan Ir Soekarno
berangkat dari kantor besar Jawa Hokokai dengan berjalan kaki ke stasiun tanah abang, Jakarta
diiringi orkes suling Maluku. Di antara mereka juga terdapat pula orang Cina, Arab, dan India.
Rombongan diikuti pula oleh anggota yang sudah berumur 60 tahun, sehingga Soekarno memuji
mereka sebagai masih kuat seperti orang muda.
Lama-kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh Asia Tenggara,
pengerahan tenaga yang bersifat sukarela seperti yang telah diteladani oleh Soekarno itu,
berubah manjadi paksaan. Pemerintah Tentara Ke-16 membentuk suatu badan kusus yang
melaksanakan pengerahan  romusha secara besar-besaran pada tahun 1944. Badan ini disebut
Romukyoku. Romukyoku membuat peraturan sebagai berikut : orang atau badan yang
membutuhkan tenaga romusha lebih dari 30 orang diharuskan mengajukan permohonan kepada
kepala daerah setempat. Sipemohon, baik orang maupun badan, harus memiliki perusahaan atau
pabrik yang bermanfaat untuk kepentingan perang. Bahkan, banyak di antara petugas pengerahan
romusha bersikap curang, seperti mencoret nama yang sudah terdaftar dan menggantikan dengan
nama lain karena menerima suap sejumlah uang. Sebaliknya, ada pula kepala desa yang
menunjuk seorang yang menjadi romusha sebagai tindakan balas dendam atau rasa tidak suka.
Dengan uang pula, seseorang yang sudah terdaftar sebagai romusha dapat menunjuk orang lain
sebagai penggantinya.
Romusha yang diperkejakan di proyek-proyek, antara lain pembuatan jalan, jembatan,
barak-barak militer, berlangsung selama satu sampai tiga bulan. Lebih dari tiga bulan merupakan
masa kerja romusha yang diperkejakan di proyek-proyek diluar keresidenan mereka. Tidak
hanya keluar Jawa, bahkan eomusha dikirim ke luar Indonesia, seperti Birma, Muang, Tgai,
Vietnam dan Malaysia.

Tidak sesuai dengan usul yang disampaikan oleh anggota Chuo Sangi In agar para
romusha diperlakukan secara layak, ternyata mereka diperlakukan sangat buruk. Sejak pagi buta
sampai petang hari mereka dipaksa melakukan pekerjaan kasar tanpa makan dan perawatan
cukup, membuat kondisi fisik mereka menjadi sangat lemah dan mereka gampir tidak punya sisa
kekuatan. Jika ada diantara mereka yang beristirahat sekalipun hanya sebentar, hal itu akan
mengundang maki-makian dan pukulan-pukulan dari pengawas mereka orang Jepang. Hanya
pada malam hari mereka berkesempatan melepaskan lelah. Dalam keadaan demikian, mereka
tidak punya daya tahan lagi terhadap penyakit. Karena tidak sempat memasak air minum,
sedangkan buang air di sembarang tempat, berjangkitnya wabah disentri, karena tidak dapat
menghindari diri dari serangan nyamuk, banyak diantara mereka yang diserang malaria.
8

BAB IV
Dampak Tindakan Kekejaman Jepang Terhadap Kehidupan Rakyat
Dampak kehadiran dan kekejaman pemerintah militer jepang yang berlangsung tidak
lebih dari empat tahun itu, selain meninggalkan kebencian karena kekejaman dan kerakusanya
juga meninggalkan kenangan positif. Bagai mana mereka di ikut sertakan dalam kehidupan
politik. Struktur birokrasi pemerintahan tidak didominasi penjajahan seperti halnya zaman
belanda. Melainkan untuk posisi-posis menengah ke bawah di serukan pada rakyat pribumi.
Perkembanggan yang terjadi menujukan adanya peningkatan kesadaran politik secara besar-
besaran dan keinginan untuk merdeka secara politik. Pemerintah jepang yang kejam, kasar, dan
sewenag-wenang memepngaruhi hampir seluruh penduduk. Pemerintah jepang membangkitkan
kesadaran akan penderitaan masyarakat.
Propaganda jepang juga memepngaruhi rakyat agar benci terhadap belanda dan sekutu,
hanya sedikit saja berhasil. Usaha menyamakan kepentingan jepang dengan kepentingan
Indonesia sepenuhnya gagal, justu yang terjadi sebaliknya. Keinginan rakyat untuk merdeka
semakin besar, apalagi bagi mereka yang memperoleh posisi yang kuat berbeda dengan keadaan
di zaman penejajahan belanda dahulu

1. Dampak terhadap Kehidupan Ekonomi

Pendudukan Jepang membawa dampak yang besar terhadap kehidupan ekonomi Indonesia.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, objek-objek vitak alat-alat produksi telah hancur sehingga
pada awal pendudukan Jepang sebagian besar kehidupan ekonomi lumpuh. Pemerintah
pendudukan Jepang mulai mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menjalankan roda ekonomi.
Pengawasan terhadap peredaran dan penggunaan sisasisa persedian barang diperketat. Untuk
mencegah meningkatnya harga barang, dikeluarkan peraturan pengendalian harga dan dijatuhkan
hukuman berat bagi pelanggarnya.
Pemerintah Jepang mengembangkan pola Ekonomi Perang di mana setiap wilayah harus
melaksanakan autarki, artinya setiap daerah harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan
memenuhi kebutuhan perang. Tuntutan kebutuhan pangan pada tahun 1942 semakin meningkat.
Pengerahan kebutuhan perang semakin meningkat. Dilancarkanlah kampanye pengerahan dan
penambahan bahan pangan secara besar-besaran. Rakyat dituntut untuk menaikkan produksi
tanaman jarak dan menjadi pekerja romusha.
2.      Dampak terhadap Mobilitas Sosial

Di samping menguras sumber daya alam, Jepang juga melakukan eksploitasi tenaga
manusia. Puluhan hingga ratusan penduduk dikerahkan untuk kerja paksa guna membangun
sarana dan prasarana perang. Mereka dipaksa bekerja keras sepanjang hari tanpa diberi upah,
makan pun sangat terbatas, sehingga banyak yang kelaparan, sakit dan meninggal. Untuk
mengerahkan tenaga kerja, tiap-tiap desa dibentuk panitia pengerahan tenaga yang disebut
Rumokyokai. Jepang memobilisasi para pemuda untuk membentuk tentara cadangan, yang
diharapkan membantu Jepang melawan Sekutu.

Pengerahan tenaga di desa-desa, menimbulkan perubahan sosial yang luas. Para romusha
yang berhasil melarikan diri kembali ke desanya masing-masing membawa pengalaman baru dan
membuka isolasi desa. Pada Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem tonarigumi (rukun
tetangga). Tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 10-20
rumah tangga. Sistem tonarigumi ini bertujuan mengawasi aktivitas penduduk yang dicurigai.
Untuk situasi perang, tonarigumi difungsikan untuk latihan pencegahan bahaya udara,
kebakaran, pemberantasan kabar bohong dan mata-mata musuh.

2. Dampak dalam Bidang Birokrasi

Setelah Jepang berhasil menguasai wilayah Indonesia maka Jepang segera membagi
wilayah Indonesia, dalam tiga pemerintahan militer pendudukan sebagai berikut.
a)      Wilayah I, meliputi Jawa dan Madura, yang diperintah oleh angkatan darat yang berpusat di
Jakarta (Tentara Keenam Belas).
b)      Wilayah II, meliputi Sumatera seluruhnya, diperintah oleh angkatan darat yang berpusat di
Bukittinggi (Tentara Kedua Puluh Lima).
c)      Wilayah III, meliputi Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku yang
Diperintah oleh angkatan laut yang berpusat di Makasar (Armada Selatan Kedua).

Masing–masing ketiga wilayah itu dipimpin oleh kepala staf tentara/armada dengan gelar
gunseikan (kepala pemerintahan militer) dan kantornya disebut gunseikanbu. Usaha membentuk
pemerintahan militer pendudukan sementara ternyata banyak mengalami kesulitan karena Jepang
kekurangan staf pegawai– pegawainya. Dengan demikian, Jepang terpaksa mengangkat pegawai
dari bangsa Indonesia.

Pada saat pemerintahan sementara tersebut, orang–orang Indonesia banyak menduduki


jabatan– jabatan tinggi. Namun demikian, pada Agustus 1942 masa pemerintahan militer
sementara berakhir. Jepang telah mengirimkan tenaga pemerintahan sipil ke Indonesia. Sejak itu,
jabatan–jabatan penting yang diduduki oleh orang Indonesia mulai diganti.
Pada pertengahan 1943 kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik mulai terdesak, maka
jepang kembali memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia, untuk turut mengambil bagian
dalam pemerintahan. Untuk itu, pada 5 September 1943 Jepang membentuk Badan Pertimbangan
Keresidenan (Syu Sang Kai) dan Badan Pertimbangan Kotapraja Istimewa (Syi Sang In).
Banyak orang Indonesia yang menduduki jabatan–jabatan tinggi dalam pemerintahan, antara
lain: Prof. Husein Djajadiningrat sebagai kepala Departemen Urusan Agama, Sutarjo
Kartohadikusumo sebagai kepala pemerintahan (syucokan) di Jakarta, dan R.M.T.A Suria
sebagai kepala pemerintahan (syucokan) di Bojonegoro. Di samping itu ada 7 orang Indonesia
yang menduduki jabatan sebagai penasehat pada pemerintahan militer, di antaranya: Ir. Soekarno
(Departemen Urusan Umum), Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid (Departemen Urusan Dalam
Negeri), Prof. Dr. Mr. Supomo (Departemen Kehakiman), Mochtar bin Prabu Mangkunegara
(Departemen Lalu Lintas), Mr. Muh. Yamin (Departemen Propaganda), dan Prawoto
Sumodiloyo (Departemen Ekonomi).

Dengan demikian pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak yang sangat besar,
dalam birokrasi pemerintahan. Selama zaman Hindia Belanda, jabatan–jabatan penting dalam
pemerintahan tidak pernah diberikan kepada Indonesia.
11

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan
yaitu :
  Tujuan Jepang dating ke Indonesia adalah untuk mendapatkan dukungan dan mencari
kekuasaan di asia
  Jepang mempkerja paksakan orang-orang pribumi yang di sebut (romusa) dengan tidak
memberi upah
  Jepang menerapkan jenjang pendidikan formal di Indonesia seperti di negaranya yaitu: SD 6
tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun.
  Jepang juga meninggalkan danpak bagi bangsa Indonesia baik dampak negative maupun
dampak positif diantaranya :
a)      Dampak terhadap Kehidupan Ekonomi
b)      Dampak terhadap Mobilitas Sosial
c)      Dampak dalam Bidang Birokrasi

Saran

Dari makalah ini pembaca telah mengetahui tentang betapa berat perjuangan bangsa Indonesia
dalam mendapat kemerdekaan, jadi sebagai generasi penerus bangsa kita harus menghargai
perjuangan pahlawan kita yang dengan susah payah merebut kemerdekaan dari penjajah.

Anda mungkin juga menyukai