Anda di halaman 1dari 7

Tugas perwakilan konsuler adalah mengurusi kepentingan negara dan warga negara di negara

lain menyangkut:
1. Bidang Ekonomi, yaitu menciptakan tata ekonomi dunia baru dengan menggalakkan
ekspor komoditas nonmigas, promosi perdagangan, mengawasi pelayanan, pelaksanaan
perjanjian perdagangan dan lain-lain.
2. Bidang Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan, seperti; tukar-menukar pelajar, mahasiswa,
dan lain-lain. Bidang-bidang lain seperti : § Memberikan paspor dan dokumen perjalanan
kepada warga pengirim dan visa atau dokumen kepada orang yang ingin mengunjungi negara
pengirim; § Bertindak sebagai notaris dan pencatat sipil serta menyelenggarakan fungsi
administratif lainnya; § Bertindak sebagai subjek hukum dalam praktek dan prosedur
pengadilan atau badan lain di negara penerima.

1. Konsul Jenderal, membawahi beberapa konsul yang ditempatkan di ibu kota negara.
2. Konsul dan Wakil Konsul, konsul yaitu mengepalai suatu kekonsulan yang diperbantukan
kepada konsul jenderal. Kantornya bernama Konsulat. Wakil konsul diperbantukan kepada
konsul atau konsul jenderal yang kadang diserahi pimpinan kantor konsuler. Kantornya
bernama Vice Konsulat.
3. Agen Konsul, dengan tugas untuk mengurus hal-hal yang bersifat terbatas dan
berhubungan dengan kekonsulan. biasanya ditempatkan di kota-kota yang termasuk
kekonsulan.

Dalam pelaksanaan hubungan kerjasa sama antar negara, perwakilan konsuler ini memiliki
keistimewaan dalam bentuk bentuk kekebalan pejabar konsulet menurut konvensi wina 1963,
namun Kekebalan anggota konsulat terhadap yurisdiksi pidana maupun perdata terbatas
kepada tindakan-tindakan mereka yang dilakukan sesuai dengan kewenangan dan fungsi-
fungsi consular.

Cara melakukan hubungan diplomatik (tertulis) antara Kemeterian luar negeri dan para
kepala perwakilan diplomatik dan/atau konsuler asing dan sebaliknya, atau antara pemerintah
dan pemerintah, organisasi internasional dan organisasi internasional lainnya, para pejabat
diplomatik satu dengan yang lainnya dan/ atau masyarakat pada umumnya, antara pejabat
diplomatik dengan pejabat pemerintah ; pejabat pemerintah dengan penerima dan organisasi
intaernasional, adalah sebagai beriku:
1. Nota (Note), ialah cara melakukan hubungan dari departemen luar negeri dengan seorang
kepala perwakilan diplomatik asing atau pejabat tinggi lain dan sebaliknya. Dan pada
umumnya dapat dikatakan bahwa nota merupakan istilah umum untuk suratsurat terutama
dipergunakan dalam melakukan hubungan diplomatik. Nota yang ditujukan kepada/oleh
menteri luar negeri, duta besar dan lain-lain, selalu dipergunakan jika : (a). persoalan yang
dikemukakan penting sekali, atau (b). bila nota yang ingin diberikan bersifatpribadi (personal
Notes).
2. Nota diplomatik : ialah nota yang dikirimkan oleh suatu pemerintah kepada pemerintah
lainnya. Jadi, perhubungan antara departemen luar negeri dan kementrian luar negeri asing,
atau semacam nota yang dipergunakan dalam hubungan surat menyurat resmi antar
pemerintah dengan perantaraan wakil diplomatic yang diakreditir di negara penerima.
3. Nota Kolektif : Nota ini dikirim oleh suatu negara kepada beberapa negara lainnya. Jadi,
dari suatu departemen luar negeri kepada beberapa kementerian luar negeri asing atau
sebaliknya, dari beberapa kementerian luar negeri asing kepada departemen luar negeri kita.
Atau suatu komunikasi tertulis yang diajukan dan ditanda tangani bersama ataupun yang erat
hubungannya dengan kerjasama politik mereka, dan ditujukan kepada negara yang berdiri
sendiri diluar persekutuan atau kerja sama mereka.
4. Nota Identik : Bila kedua negara atau lebih mengajukan sesuatu kepada negara ketiga
menyampaikan nota yang sama bunyinya, tetapi masing-masing menandatanganinya jadi,
hampir sama dengan nota kolektif, tetapi isinya berbeda.
5. Nota Verbale : Dipergunakan sebagai semacam bukti tertulis dan ringkasan dari suatu
pembicaraan antara pemerintah, baik langsung maupun melalui para wakilnya, ataupun
pemberitahuan melalui pesan. Karena penyampaiannya umumnya dilakukan langsung (by
hand) dengan keterangan lisan (oral communication) apapun sebagai penggantinya, dengan
demikian tidak pula diberi paraf penutup (complementary close). Nota jenis ini lasimnya
dibuat dibawah nama menteri luar negeri ataupun kepala perwakilan, tergantung keadaan.

6. Memorandum : Merupakan suatu pernyataan tertulis antar pemerintah, ataupun dari suatu
kementerianluar negeri kepada kedutaan/perwakilan diplomatik dan sebaliknya.
Memorandum dikirim dengan tidak ditanda tangani oleh menteri luar negeri.
7. Aide Memoire : Merupakan bukti tertulis secara informal dari suatupembicaraan
diplomatik (diplomatic interview/conversation), atau catatan tidak resmi dari suatu
percakapan yang dilakukan antara menteri luar negeri dengan seorang duta asing. Catatan
semacam ini lasimnya diserahkan oleh sang duta di kementerian luar negeri atau pihak
departemen luar negeri kepada sang duta, saat dia berada di deparlu. Manfaatnya ialah untuk
membantu megingat (aid to memory) mengenai hal-hal yang pernah dibicarakannya.
8. Pro Memoria : Merupakan bukti tertulis resmi dari suatu percakapan/pembicaraan yang
dilakukan oleh menteri luar negeri ataupun kepala perwakilan diplomatik. Nota ini lasimnya
ditinggalkan oleh perwakilan diplomatik yang mengajukan di departemen luar negeri.
Demikian nota dari luar negeri diserahkan kepada seorang wakil diplomatik di departemen
luar negeri itu juga, dengan memberitahukannya terlebih dahulu atau dengan memanggil. Pro
memoria sama dengan Aide memoire, perbedaannya hanya terletak pada pro memoria lebih
resmi, sedangkan Aide memoire tidak resmi.
9. Nota Edaran (circular notes) : Merupakan surat edaran dari menteri luar negeri kepada
anggota korps diplomatik mengenai hal yang menyangkut kepentingan seluruh korps
diplomatik danperlu diketahui oleh semua/secara bersama
BERAKHIRNYA MISI DIPLOMATIK
(slide 35 ) persona non grata sendiri adalah istilah dalam bahasa latin yang dipakai dalam
dunia politik dan diplomasi, yang secara harfiah bermakna orang yang tidak diinginkan.
orang orang yang di persona non grata kan biasanya tidak boleh hadir di suatu tempat atau
negara.. apabila ia sudah ada di negara tersebut, maka ia harus di usir dan di deportasi.
Menurut Pasal 9 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, negara penerima dapat
menyatakan status persona non grata kapan saja tanpa harus menjelaskan alasan
keputusannya.
jadi garis besarnya disini persona non grata iyu adalah penolakan pejabat suatu negara oleh
negara lain.
contoh : Awal tahun 2017 lalu, Menteri Urusan Keluarga dan Kebijakan Sosial Turki, Fatma
Betul Sayyan Kaya, dilarang memasuki Kerajaan Belanda. Fatma yang berkunjung ke Rotterdam
sehabis lawatannya dari Jerman diultimatum pemerintah Belanda untuk meninggalkan Belanda
dalam waktu 1X24 jam.

spionase : dalah suatu praktik pengintaian, memata-matai untuk mengumpulkan informasi


mengenai sebuah organisasi atau lembaga atau pemerintahan

BERAKHIRNYA TUGAS DAN FUNGSI MISI (slide 33)


1. Pemanggilan kembali diplomat tersebut oleh negaranya. Surat panggilan ini
disampaikan kepad kepala negara atau mentri luar negeri, dan wakil yang bersangkutan
kemudian diberikan surat “Letters de recreance” yang menyetujui pemanggilannya.
Seringkali pemanggilan ini bererti bahwa hubungan kedua negara memburuk.
Tindakan pemanggilan ini hanya dapat dilakukan apabila terjadi ketegangan dan
ketegangan tersebut tidak bisa diselesaika dengan jalan lain. Pada tahun 2015, negara
Australia dan Brazil memanggil kembali diplomatnya terkait eksekusi mati yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada warga negaranya.
2. Atas permintaan negara penerima agar pejabat diplomatik yang bersangkutan
dipanggil kembali. Ini juga dapat diartikan bahwa hubungna kedua negara sudah
mencapai puncak ketegangannya.
3. enyerahan paspor kepada wakil dan staf serta para keluarga sang diplomat saat
pecahnya perang antara kedua negara yang bersangkutan.
4. Selesainya tugas dan misi diplomatik
5. Berakhirnya surat-surat kepercayaan yang diberikan untuk jangka waktu
tertentu yang ditentukan dalam kesepakatan.

Berlandaskan ketentuan dalam pasal 40 ayat (4) Konvensi Wina 1961 dapat dimengerti
bahwa negara ketiga juga wajib memberi kekebalan dan keistimewaan diplomatik baik pada
saat normal maupun Force majeure pada:21
1. Agen diplomatik yang transit di wilayahnya, baik agen diplomatik tersebut dalam rangka
menuju pos kedinasannya, kembali ke pos dinasnya, maupun perjalanan pulang ke negara
asalnya.;
2. Anggota keluarga diplomat yang berhak menikmati hak kekebalan dan keistimewaan
diplomatik yang ada di negara ketiga baik dalam rangka mengikuti agen diplomatik maupun
berpergian secara terpisah dan bergabung kembali dinegara ketiga untuk selanjutnya
melangsungkan perjalanannya menuju ke negara asalnya;
3. Kurir diplomatik yang ada di negara ketiga beserta tas diplomatik yang dibawanya,
padahal kurir diplomatik tersebut tidak menuju ke negara ketiga;
4. Staf administratif, staf teknik, staf pelayanan beserta sanak keluarganya yang melintasi
negara ketiga. Khusus untuk para staf dan keluarganya ini hanya wajib tidak menghambat
atau menghalang-halangi perjalanannya.

Adanya pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para pejabat diplomatik pada
hakikatnya merupakan hasil sejarah dunia diplomasi yang sudah lama sekali, dimana
pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan hukum internasional. Sesuai dengan
aturan-aturan kebiasaan dalam hukum internasional itu, para diplomat yang mewakili
negaranya masing-masing memiliki kekebalan yang kuat dari yurisdiksi negara penerima.
Terdapat tiga teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan
diplomatik di luar negeri, yaitu sebagai.

a. Teori eksterritorialitas (exterritoriality theory) Menurut teori ini seorang pejabat


diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, ia berada di luar wilayah
negara penerima, walaupun kenyataannya ia sudah jelas berada di luar negeri sedang
melaksanakan tugas-tugasnya di negara dimana ia ditempatkan. Demikian juga halnya
gedung perwakilan, jadi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu disebabkan
faktor eksterritorialitas tersebut. Oleh karena itu, seorang diplomat itu dianggap tetap
berada di negaranya sendiri, ketentuan-ketentuan hukum negara penerima tidak berlaku
baginya. Meskipun demikian, dalam praktiknya teori eksterritorialitas ini mendapat kritik
dari banyak pihak karena dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan pada suatu fiksi
dan bukan realita yang sebenarnya, karena itu tidak diterima masyarakat internasional.

b. Teori representatif Teori ini mengajarkan bahwa baik pejabat diplomatik maupun
perwakilan diplomatik, mewakili negara pengirim dan Kepala Negaranya. Dalam kapasitas
itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan-
kekebalan di negara penerima. Memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan kepada
pejabat-pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa negara penerima menghormati negara
pengirim, kebesaran, kedaulatan, serta Kepala Negaranya. Namun, seperti halnya dengan
teori eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini tidak
mempunyai batas yang jelas dan menimbulkan kebingungan hukum.

Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalankekebalan diplomatik dan misi
diplomatik hanya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat
diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar. Dalam
pembukaan Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 dirumuskan bahwa, “…that
the purpose of such privileges and immunities is not to benefit individuals but to ensure the
efficient performance of the functions of diplomatic missions as representing states.”
Artinya, bahwa tujuan pemberian kekebalan dan keistimewaan tersebut bukan untuk
menguntungkan orang perseorangan, tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien
fungsi-fungsi misi diplomatik sebagai wakil dari negara. Maka dari itu, jelaslah bahwa
landasan yuridis pemberian semua kemudahan, hak-hak istimewa, dan kekebalan yang
diberikan kepada para agen diplomatik asing di suatu negara adalah untuk memperlancar
atau memudahkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas
pertimbangan-pertimbangan lain.

Para pejabat konsuler dan pegawai konsuler tidak akan tunduk kepada yurisdiksi pengadilan
negara penerima sehubungan dengan tindakan yang dilakukan tersebut adalah
melaksanakan tugas-tugas resmi perwakilan konsuler

Contoh kekebalan diplomtik :


1. Hak Untuk Memperoleh Perlindungan Istimewa atas Pribadi serta
Harta Bendanya
Apabila terjadi suatu kegaduhan disebuah negara penerima, maka negara
wajib melindungi mereka seperti tamu. Apabila terjadi kegaduhan atas
harta dan pribadi maka pemerintah wajib membantu menyelesaikan
masalah hingga tuntas.  
2. Hak Bebas dari Alat-Alat Paksaan
Perwakilan negara memiliki hak bebas atas semua alat-alat paksaan
seperti mata-mata yang dapat membuat mereka membicarakan sesuatu
masalah baik itu perdata maupun pidana.  
3. Hak Bebas dari Kewajiban Bersaksi
Setiap kedutaan yang ada di suatu wilayah dilarang menjadi saksi atas
kejadian yang dialami.
4. Kekebalan Terhadap Bea Pabean
Bebas bea cukai oleh semua pegawai konsulat dan kedutaan
5. Mengibarkan Bendera Negara
Negara pendatang boleh memiliki hak mengibarkan bendera negaranya
sendiri tanpa di dampingi oleh bendera pendatang.
Pembahasan  
Pengertian Kekebalan Diplomatik
Sebuah hak yang dimiliki oleh anggota diplomat suatu negara dan ia
sedang berada di negara lain untuk menjalankan tugasnya, disebut dengan
Kekebalan Diplomatik. Negara yang bersangkutan akan  memberikan
status persona non grata jika anggota diplomat melanggar sebuah hukum.
Hak diplomatik hanya diberikan kepada orang-orang terpilih, seperti :
1. Duta Besar
2. Anggota keluarga pejabat diplomatik.
3. Kurir diplomatik
Kekebalan Diplomatik dibagai menjadi dua, yaitu :  
1. Kekebalan Inviolability atau disebut dengan kekebalan yang tidak dapat
diganggu gugat merupakan sebuah kekebalan yang diberikan kepada
aparat negara penerima. Aparat mendapat sebuah perlindungan dari
semuaa gangguan. yang dapat merugikannya.  
2. Kekebalan yurisdiksi merupakan sebuaah kekebalan terhadap kewajiban
administrasi sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU ini.  

Dewa Gede Sudika Mangku, “Pelanggaran terhadap Hak Kekebalan Diplomatik (Studi Kasus
Penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon Myanmar berdasarkan
Konvensi Wina 1961)”, Jurnal Perspektif Vol. XV No. 3, 2010.

Anda mungkin juga menyukai