Anda di halaman 1dari 21

BAB 3

Pembangunan dan Pemberdayaan

1. Pembangunan Manusia
Apa yang dimaksud pembangunan dan apa bedanya dengan istilah
pembangunan manusia?. Dalam kehidupan sehari-hari, istilah pembangunan terutama
di Negara-negara berkembang sering disampaikan oleh aparat Pemerintah, baik di
tingkat pusat mauput di daerah. Pembangunan seringkali disamakan dengan
pembuatan gedung, jembatan, rumah, atau pembangunan fisik lainnya. Pembangunan
sesungguhnya tidak terbatas pada sarana fisik saja. Pembangunan meliputi semua
aspek kehidupan fisik, mental, kecerdasan, moral, tatanan nilai dan norma dalam
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan.
Pembangunan (development) secara umum identik dengan proses
perubahan yang direncanakan, atau perbaikan kondisi menuju ke arah yang lebih
baik. Pembangunan adalah sebuah upaya mencapai kemajuan bagi umat manusia.
Secara umum pembangunan seringkali dikaitkan dengan pencapaian dan peningkatan
kesejahteraan secara ekonomis. Pembangunan merupakan perubahan dalam
pemenuhan kebutuhan dalam peningkatan kualitas hidup. Kata kunci dari konsep
pembangunan adalah perubahan, pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan, peningkatan
martabat dan harga diri (Susanto, 2008). Menurut Misra (1981), pembangunan adalah
meningkatkan pencapaian sasaran akan nilai budayanya yang menghasilkan
kehidupan yang lebih bermutu. Ini menunjukkan bahwa pembangunan bukan saja
pada pertumbuhan ekonomi semata namun yang lebih penting adalah perbaikan
kualitas kehidupan diri, sosial, dan lingkungan meningkat lebih baik.
Pembangunan sarana fisik seperti membangun gedung, jalan, jembatan,
pelabuhan atau pembangunan lainnya relatif mudah dan kongkrit. Artinya
pembangunan sarana fisik mudah dilihat dan dirasakan manfaatnya. Berbeda dengan
pembangunan non fisik, misalnya pembangunan rehabilitasi mental, pendidikan atau
pelatihan memang tidak nampak dan tidak mudah dirasakan hasilnya. Namun
pembangunan ini sifatnya investasi jangka panjang, hasilnya bisa nampak setelah
beberapa waktu ke depan. Proses pendidikan misalnya, dari usia bayi dan anak-anak,
mungkin baru dirasakan setelah dewasa yaitu menjadi orang yang cerdas, memiliki
berbagai kecakapan dan akhlak mulia, serta mampu menciptakan berbagai hal yang
dapat bermanfaat bagi umat manusia dan makhluk lainnya.
Itulah sebabnya pembangunan di beberapa daerah seringkali
mengutamakan pembangunan fisik karena hasilnya bisa dilihat dan dirasakan.
Kondisi ini diperparah oleh sistem Pemerintahan yang mana pemilihan kepala
Pemerintahan (pusat dan daerah) dipilih secara langsung oleh rakyat. Ketika sudah
terpilih, seringkali kepala Pemerintahan memprioritaskan pembangunan secara fisik,
dan kurang mendukung dalam pembangunan non fisik. Hal ini dilakukan dalam
upaya mencari simpatik dan dukungan masyarakat sehingga untuk pemilihan
selanjutnya ada harapan untuk terpilih kembali. Pembangunan tersebut kurang bisa
meningkatkan kualitas manusia sebagai konsekuensi pembangunan non fisik
terabaikan. Kualitas SDM menjadi lemah, kurang mandiri, dan sulit bersaing.
Akibatnya mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama
pembangunan sulit untuk bisa tercapai.
Pembangunan berpusat pada manusia merupakan paradigma baru yang
berkembang di era 80-an sebagai respons terhadap kegagalan pola pembangunan
yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Menurut Midgley (1995) pembangunan
yang dilaksanakan di seluruh dunia memang selalu menggunakan instrument
ekonomi untuk mencapai tujuannya. Namun pembangunan tersebut sering mengalami
distorsi dari hakikat dasar pembangunan itu sendiri yang ingin mewujudkan
kesejahteraan manusia. Midgley percaya bahwa pembangunan yang berorientasi
ekonomi harus dilengkapi dengan keberpihakan pada sisi sosial kemanusiaan, dan ia
menamakan konsepnya tersebut dengan istilah pembangunan sosial (social
development). Pembangunan sosial ini perlu dilakukan secara sinergis oleh
Pemerintahan, masyarakat, dan individu.
Pada awal tahun 1990-an muncul gagasan tentang pemberdayaan
penduduk yang hasilnya diukur dengan Indek Pembangunan Manusia (Human
Development Indeks). Indikator HDI yaitu rata-rata usia harapan hidup seseorang
dihitung sejak saat kelahirannya. Kedua, rata-rata tingkat pendidikan yang ditempuh
oleh anak-anak di bawah usia 15 tahun dan angka melek huruf. Ketiga, kemampuan
ekonomi penduduknya yang diukur dengan angka pendapatan rata-rata penduduknya.
Sebagai kelanjutan dari proses tersebut, tahun 2000 kepala Negara dari
seluruh dunia atas studi dan kesimpulan PBB sepakat untuk mengarahkan dan
mengukur pembangunan berbasis manusia dan masyarakat itu dalam suatu paket
yang disebut sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Ada delapan
kesepakatan dalam MDGs yang akan ditindak lanjuti di setiap Negara, yaitu: (1)
Pengurangan kemiskinan dan kelaparan, (2) pencapaian pendidikan dasar umum, (3)
Mempromosikan persamaan gender dan lebih memperkuat kaum perempuan, (4)
Mengurangi kematian anak, (5) Meningkatkan kesehatan ibu hamil, (6) Memerangi
HIV/AIDS, malaria, dan penyakut menular lainnya, (7) Memastikan kelangsungan
lingkungan hidup, dan (8) Mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan.
Dalam MDGs yang menjadi titik sentral pembangunan adalah manusia,
atau pembangunan berpusat pada peningkatan kualitas kehidupan manusia.
Pembangunan manusia sebagai titik sentral menurut Suyono (2009) yaitu menjadikan
penduduk yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, berumur panjang,
cerdas, terampil, mempunyai kesetaraan gender yang seimbang, dan mampu dan
memiliki pekerjaan yang mendapatkan penghasilan. Semua itu menunjukkan
indikator manusia yang bermutu sebagai sasaran dari pembangunan. Lebih lanjut
Suyono menegaskan bahwa walaupun pembangunan dilakukan dengan gegap
gempita, frekuensi yang tinggi dan pelaksanaan yang bagus apabila sepi dari
partisipasi masyarakat dari sudut pandang MDGs pembangunan seperti itu dianggap
gagal. Sebaliknya, upaya sederhana dengan peralatan seadanya tetapi diikuti atau
mengundang partisipasi yang tinggi serta meningkatkan jumlah penduduk yang
sejahtera, akan lebih berharga di mata rakyat banyak. Ini berarti indikator utama
dalam pembangunan manusia adalah seberapa besar masyarakat bisa terlibat aktif.
Semakin banyak masyarakat terlibat dalam pembangunan berarti pembangunan
tersebut makin baik.
Pembangunan yang berpusat pada manusia juga harus berbasis pada
kebutuhan dan potensi masyarakat. Apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam
meningkatkan kualitas kehidupannya. Potensi apa yang dimiliki masyarakat untuk
bisa dikembangkan. Oleh karena itu dalam pembangunan perlu dilakukan studi
analisis kebutuhan dan potensi masyarakat.
2. Perubahan Berencana
Pembangunan hakikatnya adalah perubahan yang direncanakan ke arah
yang lebih baik dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia.
Pemberdayaan yang dilakukan oleh agen pembaharuan merupakan upaya melakukan
perubahan yang direncanakan sesuai dengan potensi dan kebutuhan sasaran. Untuk
melakukan suatu perubahan diperlukan upaya perencanaan yang matang pada sasaran
secara terencana.
Perubahan berencana menurut Lippitt (1958) adalah suatu perubahan
yang diperoleh dari keputusan yang menginginkan adanya perbaikan sistem
kehidupan secara personal ataupun sistem sosial dengan bantuan profesional dari luar.
Artinya perubahan berencana diperlukan bantuan pihak luar yang hendak melakukan
perubahan di dalam individu atau masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki adanya
perubahan itu dinamakan agen perubahan atau agent of change. Ini menunjukkan
bahwa perubahan terencana merupakan suatu proses perubahan yang diinginkan dan
untuk tercapainya dibutuhkan adanya bantuan dari pihak luar, yakni agen-agen
pembaharuan. Profesi seperti guru, dosen, penyuluh, pendamping, kader, penggerak
pembangunan, aparatur Pemerintahan, relawan, atau lainnya dapat dikategorikan
sebagai agen pembaharu (agent of change) terhadap komunitas kliennya.
Untuk menumbuhkan perubahan sesuai yang dikehendaki, perlu
dilakukan secara bertahap dan berkesinabungan. Oleh karena itu agen pembaharu
menurut Lippitt (1958) perlu melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Menumbuhkan kebutuhan untuk berubah
Pada tahap ini masyarakat yang menjadi sasaran ditumbuhkan kebutuhannya
dengan merumuskan hal-hal yang menjadi kesulitan, kebutuhan, ketidakpuasan,
dan sebagainya. Hal-hal yang menjadi kesulitan, kebutuhan, ketidakpuasan
tersebut kemudian dijadikan sebagai masalah yang harus dipecahkan. Sadar akan
adanya masalah ini menimbulkan keinginan untuk berubah dalam diri masyarakat,
yang kemudian akan mencari bantuan dari luar sistem sosialnya.
b. Membangun hubungan untuk berubah
Hubungan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah terbinanya hubungan yang baik
antara penyuluh dengan masyarakat. Penyuluh dapat melakukannya dari
pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
c. Melakukan hal-hal yang berkenaan dengan perubahan
Dalam tahap ini dilakukan klarifikasi atau diagnosis atau masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat. Hal lainnya adalah mencari alternatif pemecahan masalah
termasuk menetapkan tujuan dan tekad untuk berubah. Tekad ini kemudian
diwujudkan dalam usaha-usaha untuk berubah yang nyata.
d. Memperluas dan memantapkan perubahan
Pada tahap ini keuntungan-keuntungan (ekonomis dan non-ekonomis) yang
diperoleh dari perubahan perlu diperluas. Perluasan ini juga sebaiknya diikuti
dengan penyempurnaan dan pengembangan perubahan-perubahan yang terjadi.
Dengan demikian, selain dapat dirasakan oleh masyarakat, perubahan itu dapat
bersifat permanen.
e. Pemutusan hubungan
Tahap ini merupakan tahap pemutusan hubungan antara penyuluh dengan
masyarakat. Pemutusan ini penting untuk tidak menimbulkan ketergantungan
masyarakat terhadap keberadaan penyuluh.
Kekuatan yang dapat mendorong perubahan di masyarakat menurut
Lippitt (1958) adalah: (1) ketidakpuasan masyarakat terhadap situasi yang ada, (2)
ada kesenjangan “what is” dan “what which me”, (3) ada tekanan-tekanan dari luar
sistem sosial, sehingga ada keinginan menyesuaikan diri, dan (4) adanya kebutuhan
meningkatkan efisiensi. Agen pembaharu perlu mencari peluang apakah masyarakat
sudah nyaman dengan situasi yang terjadi di masyarakat. Kesenjangan antara harapan
masyarakat dengan kenyataan yang terjadi dapat menjadi entry point untuk
menawarkan sebuah perubahan dalam memenuhi harapan tersebut. Tekanan atau
pengaruh di luar masyarakat terkait dengan interaksi masyarakat dengan sistem sosial
di luarnya. Semakin sering interaksi terjadi maka pengaruh di luar sistem sosial akan
makin besar.
Di era informasi sekarang, pengaruh dari luar sistem sosial dapat terjadi
melalui media massa. Masyarakat yang memiliki intensitas tinggi exposure media
massa memiliki peluang untuk cepat menerima perubahan dibandingkan dengan
masyarakat yang jarang mendapatkan terpaan media massa. Media massa khususnya
televise merupakan media yang paling populer dan digemari masyarakat. Sebagai
media audio visual, media ini memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi
perilaku dan perubahan masyarakat. Oleh karena itu agen pembaharu dapat
memanfaatkan media massa sebagai faktor pendukung dalam melakukan suatu
perubahan terencana.
Kekuatan penghambat perubahan di masyarakat menurut Lippitt (1958)
adalah ketidakyakinan substansi perubahan dan sumber atau agen perubahan yang
kurang kredibel. Substansi perubahan yang belum terbukti memiliki manfaat bagi
sasaran sulit untuk dapat diterima masyarakat. Masyarakat perlu melihat keuntungan
yang mungkin dihasilkan dari perubahan tersebut. Di sisi lain masyarakat memiliki
rasa ketakutan untuk melepaskan keamanan dan kepuasan yang sudah mereka
nikmati saat ini. Oleh karena itu jika ada inovasi atau substansi perubahan lainnya
perlu dilakukan ujicoba atau pembuktian yang langsung dapat dilihat dan dirasakan
sasaran. Pembuktian ini sebaiknya dilakukan oleh masyarakat sendiri pada
lingkungan dan komunitasnya sehingga dapat meyakinkan mereka untuk melakukan
sebuah perubahan.
Begitu pula agen pembaharu dituntut memiliki kemampuan yang kredibel
dan bisa meyakinkan masyarakat untuk berubah. Dalam lingkungan masyarakat
terutama di pedesaan, masyarakat relatif sulit percaya terhadap orang asing termasuk
agen pembaharu yang berasal dari luar lingkungannya. Untuk dapat mencapai
perubahan yang diharapkan, agen pembaharu dapat memanfaatkan tokoh masyarakat
atau individu yang sudah berhasil dalam melakukan perubahan. Kepercayaan
masyarakat untuk berubah dapat melihat dari individu yang sudah berhasil dalam
melakukan perubahan tersebut.
Masih terkait dengan perubahan, dalam masyarakat ada yang disebut
kekuatan pengganggu (interference force). Menurut Asngari (2007) kekuatan ini
merupakan kekuatan yang timbul bukan berarti menolak perubahan atau
pembaharuan, akan tetapi lebih tepat sebagai penghambat jalannya pembaharuan.
Kekuatan ini adalah kekuatan masyarakat yang saling bersaing, kesulitan atau
kerumitan perubahan, dan terbatasnya sarana. Oleh karena itu untuk melakukan
perubahan klien harus mampu merasakan tanggungjawab bahwa belajar berasal dari
dalam dirinya dan sasaran tidak perlu menyelesaikan proses perubahan terlalu cepat,
karena yang penting terjadi proses. Yang lebih penting dalam melakukan perubahan
berencana adalah adanya kesadaran yang penuh terhadap permasalahan yang dihadapi
sasaran, memanfaatkan peluang dan mengantisipasi kendala, serta kemampuan untuk
bekerjasama dengan sasaran dan pihak-pihak yang terkait lainnya.
Pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk dari pembangunan yang
berpusat pada manusia. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan bentuk
pembangunan yang direncanakan, sesuai dengan potensi, masalah, dan kebutuhan
masyarakat. Pemberdayaan ditujukan agar masyarakat mampu berdaya, memiliki
daya saing, menuju kemandirian. Oleh karena itu, dalam proses pembangunan di era
globalisasi, pemberdayaan merupakan bentuk pembangunan yang sangat penting.
Realitasnya, globalisasi telah memporak-porandakan tatanan lingkungan
alam, sosial, budaya, serta kearifan-kearifan lokal masyarakat. Globalisasi adalah
keniscayaan. Semua Negara termasuk Indonesia tidak bisa menghindari globalisasi
tersebut. Yang penting adalah bagaimana menangkal dampak globalisasi dan
menundukkan globalisasi untuk mampu mensejahterakan masyarakat. Pengalaman
Indonesia ketika terjadi krisis moneter tahun 1997, banyak perusahaan bahkan
perusahaan raksasa baik nasional maupun multi nasional yang gulung tikar. Mereka
ternyata rapuh, tidak mampu menghadapi hantaman gelombang krisis tersebut.
Namun Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti tetap eksis bahkan tidak sedikit
UKM yang meraup keuntungan besar. Ketika itu, UKM telah mampu menyelamatkan
perekonomian bangsa. Hal ini merupakan bukti kekuatan masyarakat apabila
diberdayakan sesuai potensi dan perannya. Oleh karena itu untuk menundukkan
globalisasi tersebut, pemberdayaan masyarakat dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat adalah sangat tepat.
3. Konsep Pemberdayaan
Istilah pemberdayaan semakin populer dalam konteks pembangunan dan
pengentasan kemiskinan. Konsep pemberdayaan ini berkembang dari realitas individu
atau masyarakat yang tidak berdaya atau pihak yang lemah (powerless).
Ketidakberdayaan atau memiliki kelemahan dalam aspek: pengetahuan, pengalaman,
sikap, keteranpilan, modal usaha, networking, semangat, kerja keras, ketekunan, dan
aspek lainnya. Kelemahan dalam berbagai aspek tadi mengakibatkan ketergantungan,
ketidakberdayaan, dan kemiskinan.
Pemberdayaan (empowerment) merupakan konsep yang berkaitan dengan
kekuasaan (power). Istilah kekuasaan seringkali identik dengan kemampuan individu
untuk membuat dirinya atau pihak lain melakukan apa yang diinginkannya.
Kemampuan tersebut baik untuk mengatur dirinya, mengatur orang lain sebagai
individu atau kelompok/organisasi, terlepas dari kebutuhan, potensi, atau keinginan
orang lain. Dengan kata lain, kekuasaan menjadikan orang lain sebagai objek dari
pengaruh atau keinginan dirinya.
Pemberdayaan adalah suatu proses untuk memberikan daya/kekuasaan
(power) kepada pihak yang lemah (powerless), dan mengurangi kekuasaan
(disempowered) kepada pihak yang terlalu berkuasa (powerfull) sehingga terjadi
kesimbangan (Djohani, 2003). Begitu pula menurut Rappaport (1984), pemberdayaan
adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar
mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya.
Pengertian pemberdayaan (empowerment) tersebut menekankan pada
aspek pendelegasian kekuasaan, memberi wewenang, atau pengalihan kekuasaan
kepada individu atau masyarakat sehingga mampu mengatur diri dan lingkungannya
sesuai dengan keinginan, potensi, dan kemapuan yang dimilikinya.
Pemberdayaan tidak sekedar memberikan kewenangan atau kekuasaan
kepada pihak yang lemah saja. Dalam pemberdayaan terkandung makna proses
pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau masyarakat
sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup mandiri. Menurtu
Parsons (1994), pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan,
pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan
kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Selanjutnya menurut Ife (1995),
pemberdayaan adalah menyiapkan kepada masyarakat berupa sember daya,
kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat
di dalam menentukan masa depan mereka, serta berpartisipasi dan mempengaruhi
kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.
Secara lebih rinci Slamet (2003), menekankan bahwa hakikat
pemberdayaan adalah bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya
dan memperbaiki kehidupannya sendiri. Istilah mampu di sini mengandung makna:
berdaya, paham, termotivasi, memiliki kesempatan, ,melihat dan memanfaatkan
peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu sebagai alternatif, mampu mengambil
keputusan, berani mengambil risiko, mampu mencari dan menangkap informasi, serta
mampu bertindak sesuai inisiatif. Sedangkan indikator pemberdayaan menurut
Suharto (2011) paling tidak memiliki empat hal, yaitu: merupakan kegiatan yang
terencana dan kolektif, memperbaiki kehidupan masyarakat, prioritas bagi kelompok
lemah atau kurang beruntung, serta dilakukan melalui program peningkatan kapasitas.
Dalam pelaksanaanya, pemberdayaan memiliki makna dorongan atau
motivasi, bimbingan, atau pendampingan dalam meningkatkan kemampuan individu
atau masyarakat untuk mampu mandiri. Upaya tersebut merupakan sebuah tahapan
dari proses pemberdayaan dalam mengubah perilaku, mengubah kebiasaan lama
menuju perilaku baru yang lebih baik, dalam meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraannya.
Pemberdayaan juga dapat dipandang sebagai upaya meningkatkan harkat
dan martabat individu dan masyarakat. Menurut Pranarka dan Muljarto (1996),
pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun eksistensi pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa, Pemerintah, Negara, dan tata nilai dalam kerangka proses
aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang terwujud di berbagai kehidupan
politik, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya. Pemberdayaan juga memiliki makna
menghidupkan kembali tatanan nilai, budaya, dan kearifan lokal dalam membangun
jati dirinya sebagai individu dan masyarakat. Misalnya, menghidupkan kembali sifat
gotong royong dan tolong menolong dalam masyarakat Indonesia terutama di daerah
perkotaan, merupakan salah satu wujud/bentuk pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan memiliki makna kesetaraan, adil dan demokratis tanpa
adanya tekanan atau dominasi dalam suatu komunitas atau masyarakat. Perbedaan
karakter dan kemampuan individu adalah suatu keniscayaan. Namun setiap individu
memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Realitas kesetaraan dan perbedaan
individu ini menjadi prinsip dalam melakukan pemberdayaan. Dengan demikian
pemberdayaan merupakan proses meningkatkan kemampuan individu atau
masyarakat untuk berdaya yang dilakukan secara demokratis agar mampu
membangun diri dan lingkungannya dalam meningkatkan kualitas kehidupannya
sehingga mampu hidup mandiri dan sejahtera.
Fokus pemberdayaan dapat bersifat individu dan juga komunitas.
Pemberdayaan yang bersifat individu merupakan proses untuk meningkatkan
pengetahuan, motivasi keterampilan, pengalaman individu sehingga memiliki daya
saing untuk dapat mencapai kemandirian. Keberdayaan individu berarti seseorang
yang bisa memimpin atau mengatur dirinya berperan aktif dalam pembangunan,
memiliki kemampuan dan daya saing sesuai dengan potensi dan keinginan yang
dimilikinya. Pemberdayaan yang bersifat komunitas berarti proses meningkatkan
kemampuan dari suatu komunitas tertentu untuk dapat mengatur komunitasnya secara
mandiri.
Pemberdayaan juga menekankan pada proses, bukan semata-mata hasil
(output) dari proses tersebut. Oleh karena itu ukuran keberhasilan pemberdayaan
adalah seberapa besar partisipasi atau keberdayaan yang dilakukan oleh individu atau
masyarakat. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam proses tersebut, berarti
semakin berhasil kegiatan pemberdayaan tersebut. Dalam berbagai kesempatan pakar
pemberdayaan, prof. Haryono Suyono sering mengatakan bahwa “Pemberdayaan
bukan membentuk Supermen, tetapi dalam pemberdayaan perlu membentu Super
Tim”. Keberdayaan dalam konteks masyarakat merupakan kemampuan individu
berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Tingkat partisipasi ini meliputi partisipasi
secara fisik, mental, dan juga manfaat yang diperoleh oleh individu yang
bersangkutan.
Meskipun pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata konsep
ekonomi, tetapi seringkali ditujukan untuk tujuan pengentasan kemiskinan dan
kesejahteraan masyarakat. Penuntasan kemiskinan tidak sekedar meningkatkan
pendapatan, tetapi perlu dilakukan secara holistik yang menyangkut aspek kehidupan
dasar manusia, seperti: gizi dan kesehatan, ketersediaan lapangan pekerjaan, jumlah
keluarga dan anggotanya, tingkat pendidikan, lingkungan, serta aspek lain yang dapat
meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat. Pemberdayaan juga tidak dapat
dilakukan secara parsial. Pemberdayaan perlu dilakukan secara berkesinabungan
melalui tahapan-tahapan sistematis dalam mengubah perilaku dan kebiasaan
masyarakat ke arah yang lebih baik.
Penuntasan kemiskinan dapat dicapai dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat. Karena melalui kegiatan pemberdayaan semua potensi yang dimiliki
masyarakat didorong dan ditingkatkan untuk berdaya dalam melawan faktor-faktor
yang menyebabkan kemiskinan. Kegiatan pemberdayaan tersebut dilakukan melalui
berbagai kegiatan yang dapat mendorong kemampuan dan keterampilan yang sesuai
dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, menciptakan berbagai kesempatan kerja,
menghidupkan kembali budaya dan kearifan-kearifan lokal sebagai modal sosial,
serta mengubah mind set masyarakat untuk berdaya dan mandiri. Kegiatan
pemberdayaan tersebut yang pada hakikatnya merupakan pembangunan sosial, harus
menjadi gerakan masyarakat yang didukung oleh semua unsur mulai Pemerintah,
anggota legislatif, perguruan tinggi, dunia usaha, LSM, organisasi sosial, masyarakat,
dan juga media massa.
4. Penyuluhan dan Pemberdayaan
Penyuluhan dan pemberdayaan merupakan konsep yang memiliki tujuan
sama yaitu membuat klien atau sasaran menjadi berdaya. Menurut pakar Penyuluhan
Pembangunan dari IPB Bogor, Prof Margono Slamet (2000), pemberdayaan
masyarakat adalah ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan. Hal yang
sama dijelaskan Sumardjo (2008) bahwa kesejalanan antara penyuluhan dan
pengembangan masyarakat adalah dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat melalui partisipasi masyarakat.
Penyuluhan atau pemberdayaan ada pula yang menyebutkan dengan
nama/istilah lain. Kegiatan advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (AKIE)
yang dilakukan secara kontinyu hakikatnya merupakan kegiatan penyuluhan.
Penyuluhan, pemberdayaan, AKIE, atau istilah lainnya memiliki tujuan yang sama
yaitu upaya menciptakan masyarakat atau sasaran menjadi berdaya. Dengan kata lain,
proses penyuluhan, pemberdayaan, atau AKIE yang berhasil adalah kegiatan yang
mampu memberdayakan masyarakat seluas-luasnya sesuai dengan kebutuhan,
permasalahan, dan potensi dari sasaran atau masyarakat tersebut.
Penyuluhan dan pemberdayaan merupakan kajian keilmuan dalam
disiplin ilmu/studi Ilmu Penyuluhan pembangunan. Ilmu Penyuluhan Pembangunan
sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pola perilaku
manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau
diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan
perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi
lebih baik Slamet (1992). Penyuluhan merupakan sistem pendidikan non formal
untuk mengubah perilaku klien sesuai dengan yang dikehendaki atau direncanakan
(Asngari, 2001). Perilaku tersebut mengacu kepada Taksonomi Bloom dari ranah
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor).
Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999), penyuluhan merupakan
keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan
tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga membuat keputusan
yang benar. Mengacu kepada beberapa kajian di atas penyuluhan dapat didefinisikan
sebagai sistem pendidikan non formal dalam mengubah perilaku manusia yang
didasarkan pada kebutuhan dan potensi klien dalam meningkatkan kehidupan ke arah
yang lebih baik.
Dalam melaksanakan penyuluhan, penyuluh perlu menghayati falsafah
penyuluhan. Falsafah dasar penyuluhan menurut Slamet (Sumardjo, 1999) adalah (1)
penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, (3)
penyuluhan adalah proses kontinyu. Oleh karena itu falsafah penyuluhan bermakna
menolong orang agar orang tersebut menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan
yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraanya.
Sebagai proses pendidikan nonformal, penyuluhan harus membawa
perubahan yang positif baik aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Penyuluhan
juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki klien. Klien atau
sasaran adalah subjek penyuluhan. Proses penyuluhan juga perlu didasarkan pada
suasana demokratis, terhindar dari unsur paksaan, dialogis, saling tukar pikiran dan
pengalaman dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Penyuluhan
memerlukan pendekatan interdisiplin yang terkait dengan masalah yang dihadapi
klien. Dengan kata lain penyuluhan perlu dilakukan dengan pendekatan holistik, yaitu
menyangkut semua aspek kehidupan yang ada di masyarakat. Yang tidak kalah
pentingnya adalah penyuluhan tidak dapat dilakukan secara parsial. Penyuluhan perlu
dilakukan secara berkelanjutan (kontinyu) karena manusia selama hidupnya
senantiasa dihadapkan pada kebutuhan dan masalah.
Hakikat penyuluhan adalah pendidikan non formal dalam mengubah
perilaku sasaran baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor ke arah yang lebih
baik sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Ini berarti sasaran dari penyuluhan
adalah pembangunan yang berpusat pada manusia yang sejalan dengan tujuan
pembangunan yang berpusat pada manusia.
Dalam penyuluhan dan pemberdayaan, klien atau sasaran merupakan
subjek, bukan sebaliknya menjadi objek. Menurut Sumardjo (1999), filosofi dan
prinsip-prinsip penyuluhan dalam arti yang sebenarnya adalah partisipatif, dialogis,
konvergen, dan demokratis, sehingga memberdayakan, dan bukannya praktik-praktik
penyuluhan yang bersifat top down, linier dan bertentangan dengan filosofi
pembangunan manusia. Penyuluhan harus mampu menumbuhkan cita-cita yang
melandasi untuk selalu berpikir kreatif dan dinamis, mengacu kepada kenyataan yang
ditemukan di lapangan atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan di lapangan.
Dalam pembangunan pertanian misalnya, strategi penyuluhan pertanian
dalam konteks pemberdayaan petani menurut Martaatmidjaja (1998) bertujuan
supaya petani mampu menangkap peluang yang ada di wilayah usaha pertaniannya.
Pada gilirannya mereka mampu bergerak menjadi pelaksana pembangunan pertanian,
sesuai dengan kemampuannya, potensi wilayah mereka, serta sesuai dengan potensi
serta peluang yang ada di desanya.
Penyuluhan harus mampu menciptakan kondisi masyarakat yang benar-
benar aktif dan berdaya dalam meningkatkan kualitas kehidupannya. Oleh karena
hakikatnya, antara penyuluhan dan pemberdayaan adalah sama yaitu menciptakan
partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya, yang didasarkan atas kebutuhan dan
potensi yang ada masyarakat secara nyata, serta dilakukan secara bertahap dan
kontinyu atau terus menerus, dan menyentuh semua aspek kehidupan manusia
(holistik).
5. Agen Pemberdayaan
Siapa orang yang bertugas melakukan pemberdayaan? Pertanyaan ini
dapat dijelaskan melalui pemahaman terhadap hakikat pemberdayaan. Hakikat
pemberdayaan memiliki beberapa makna, yaitu ada pihak yang memberikan
kekuasaan (power) kepada yang lemah, pihak yang diberikan kekuasaan atau
diberdayakan, serta adanya upaya untuk mengubah perilaku yang diberdayakan ke
arah yang lebih baik yaitu kemandirian.
Menurut Chamber (Djohani, 2003), individu yang diberdayakan adalah
orang miskin yang seringkali tidak memiliki daya untuk berjuang karena sudah
dilumpuhkan. Oleh karena itu dalam pemberdayaan dibutuhkan peran orang luar.
Orang asing yang bertugas memberdayakan ini adalah kalangan petugas
pembangunan baik formal maupun non formal. Petugas formal adalah aparatur
Pemerintahan yang bertugas di lapangan, seperti: pegawai kelurahan/desa, penyuluh,
guru, dosen, pegawai puskesmas, dokter, bidan, dan profesi lapangan lainnya.
Petugas non formal adalah individu yang memiliki dedikasi secara sukarela untuk
membantu pemberdayaan masyarakat baik yang dikelola oleh suatu lembaga (LSM)
atau secara pribadi. Petugas non formal tersebut di antaranya: relawa, pekerja sosial,
kader PKK, kader Posdaya, mahasiswa, ulama, simpatisan, dan yang lainnya.
Tugas pelaku pemberdayaan adalah mendorong dan menciptakan
individu serta masyarakat untuk mampu melakukan perubahan perilaku menuju ke
arah kemandirian (berdaya). Perubahan perilaku ini baik aspek pengetahuan, sikap,
maupun keterampilan yang berguna untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan
kesejahteraannya. Oleh karena itu petugas yang memberdayakan individu dan
masyarakat baik formal maupun nonformal dapat disebut sebagai Agen
Pemberdayaan (agent of powerment).
6. Falsafah dan Pemberdayaan
Kata falsafah adalah bahasa arab. Dalam bahasa yunani adalah
philosophia, philos artinya cinta, senang dan Sophia artinya pengetahuan, hikmah,
dan kebijaksanaan. Falsafah dalam bahasa yunani berarti love of wisdom, cinta akan
kebijaksanaan yakni menunjukkan harapan/kemajuan untuk mencari fakta dan nilai
kehidupan yang luhur (Asngari, 2003). Filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan yaitu
ingin mengetahui secara mendalam dan mendasar tentang kebenaran sesuatu.
Tujuannya adalah untuk menemukan kebenaran yang hakiki tentang sesuatu yang
dipikirkan. Falsafah mengarahkan pada suatu pemahaman yang mendasari atau
menjadi landasan melaksanakan kegiatan yang lebih layak untuk mendapatkan hasil
yang lebih prima. Jadi makna falsafah adalah sebagai pemahaman yang mendasari
atau menjadi landasan individu (pandangan hidup) dalam melakukan sesuatu
perbuatan yang diyakini kebenarannya untuk mecapai hasil yang lebih baik.
Profesinya seperti guru, dosen, penyuluh, pendamping, kader, penggerak
pembangunan, relawan, atau bentuk agen pemberdayaan lainnya hakikatnya adalah
sama sebagai agen pembaharu (agent of change). Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai agen pembaharu dituntut memiliki falsafah. Fungsinya sebagai pegangan atau
landasan dalam melaksanakan tugas yang diyakininya benar.
Falsafah bagi agen pemberdayaan dalam memberdayakan SDM di
antaranya dapat menganut falsafah pendidikan dari Ki Hajar Dewantoro. Pendidikan
menurut ajaran ini dilaksanakan secara hing ngarsa sung tulada, hing madya mangun
karso, dan tut wuri handayani. Dalam proses pendidikan atau pemberdayaan dapat
dilakukan oleh agen pemberdayaan dengan cara tampil di depan peserta didik,
memberikan contoh atau keteladanan. Ada saatnya agen pemberdayaan berpartisipasi
aktif, ada di tengah bersama-sama dengan klien/sasaran sehingga mereka mau
melakukan perubahan perilaku ke arah yang diinginkan. Ada pula kesempatan bagi
agen pemberdayaan untuk berperan di belakang klien/sasaran, memberikan dorongan
atau motivasi sehingga mereka mau dan mampu melakukan perubahan perilaku
sebagai hasil dari proses belajar tersebut. Posisi agen pemberdayaan kapan tampil di
depan, di tengah, atau di belakang disesuaikan dengan kebutuhan dengan
pertimbangan utama klien atau sasaran sebagai subjek sehingga mampu berdaya
sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Dalam melaksanakan perubahan terhadap komunitas atau sistem sosial,
agen pemberdayaan juga dapat menggunakan falsafah membakar sampah. Falsafah
ini sering disampaikan oleh Prof. Pang Asngari dari IPB Bogor. Dalam membakar
sampah, dimulai dengan memilih sampah yang kering, kemudian sampah kering ini
mulai membakar. Jika yang kering sudah terbakar, sampah yang basah lama
kelamaan akan mengering dan terbakar pula. Apabila sampah itu basah semua,
diperlukan bantuan minyak tanahsupaya bisa terbakar.
Filosofi membakar sampah ini dapat diterapkan ketika agen
pemberdayaan melakukan perubahan terencana kepada sasaran. Tahap awal, pilihlah
sasaran yang mudah dipengaruhi untuk melakukan perubahan. Dalam setiap
masyarakat realitasnya selalu ada individu tersebut, baik itu tokoh atau anggota
masyarakat biasa. Kemudian lakukan pendekatan dan berikan penjelasan secukupnya
tentang proses dan manfaat dari perubahan tersebut sehingga mereka tahu, mau, dan
mampu untuk melaksanakan perubahan tersebut. Jika sebagian sasaran tadi sudah
mau dan mampu menerima perubahan, diharapkan bisa mempengaruhi terhadap
sasaran yang relatif sulit. Namun apabila agen pemberdayaan dihadapkan pada
komunitas atau lingkungan sosial yang semuanya sulit untuk dipengaruhi, diperlukan
bantuan bentuk lain yang menarik bagi klien/sasaran, misalnya berbagai kemudahan,
hadiah, bantuan, dan bentuk insentif lainnya. Bantuan ini sifanya hanya pancingan
bukan sebagai charity. Bantuan ini dapat diberikan sebagai penghargaan (reward)
kepada anggota masyarakat yang dinilai berhasil atau mau mengikuti perubahan,
sekalipun kadarnya masih relatif keci. Dengan bentuk motivasi ini diharapkan
klien/sasaran secara bertahap paham, mau, dan mampu untuk melakukan perubahan
sesuai yang direncanakan.
Falsafah demokratis merupakan salah satu yang perlu diperhatikan oleh
agen pemberdayaan. Falsafah ini menekankan bahwa pemberdayaan harus dilakukan
dalam suasana yang wajar, menyenangkan, demokratis, menjunjung tinggi hak
individu terhadap adanya perbedaan, serta menghindari dengan cara paksaan.
Hubungan antara agem pemberdayaan dengan sasaran, perlu diciptakan dalam
suasana yang harmonis dan saling menghargai. Penolakan dan penerimaan dari
sasaran terhadap sebuah perubahan yang ditawarkan agen pemberdayaan, merupakan
suatu yang lumrah. Dalam suasana seperti ini, yang penting agen pemberdayaan perlu
menciptakan hubungan yang harmonis dengan sasaran, terbuka, membangun
kepercayaaan dan tidak ada dusta di antara mereka. Agen pemberdayaan memang
perlu memiliki kesabaran dalam mengubah perilaku klien/sasaran. Dengan suasana
demokratis tersebut, keberhasilan bukan pada hasil akhir, tetapi kualitas proses
merupakan hal utama sehingga setiap individu yang menjadi klien/sasaran dapat
berdaya secara optimal sesuai dengan kebutuhan dan potensi masing-masing.
Menurut Kesley dan Hearne (Mardikanto, 1991) bahwa falsafah
penyuluhan dalam pemberdayaan harus berpijak pada pentingnya pengembangan
individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya. Oleh karena
itu falsafahnya adalah bekerjasama dengan masyarakat untuk membantu mereka agar
dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia.
Pemberdayaan masyarakat juga perlu memegang falsafah kontinyu.
Bahwa pemberdayaan sesungguhnya merupakan upaya perubahan perilaku yang
tidak bisa dilakukan seperti membalikkan telapak tangan. Pemberdayaan merupakan
sebuah proses yang ada tahapan yang jelas dan dibutuhkan waktu (proses).
Pemberdayaan harus dilakukan secara bertahap, berkesinabungan, dan dilakukan
secara terus menerus. Oleh karena itu pemberdayaan perlu kesabaran dan ketelatenan
dari agen pemberdayaan dalam membimbing atau memfasilitasi proses perubahan
tersebut.
7. Prinsip Pemberdayaan
Pemberdayaan ditujukan agar klien/sasaran mampu meningkatkan
kualitas kehidupannya untuk berdaya, memiliki daya saing, dan mandiri. Dalam
melaksanakan pemberdayaan khususnya kepada masyarakat, agen pemberdayaan
perlu memegang prinsip-prinsip pemberdayaan. Prinsip-prinsip ini menjadi acuan
sehingga pemberdayaan dapat dilakukan secara benar. Mengacu pada hakikat dan
konsep pemberdayaan, maka dapat diidentifikasi beberapa prinsip pemberdayaan
masyarakat sebagai berikut:
a. Pemberdayaan dilakukan dengan cara yang demokratis dan menghindari unsur
paksaan. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk berdaya. Setiap individu
juga memiliki kebutuhan, masalah, bakat, minat dan potensi yang berbeda. Unsur-
unsur pemaksaan melalui berbagai cara perlu dihindari karena bukan menunjukkan
ciri dari pemberdayaan.
b. Kegiatan pemberdayaan didasarkan pada kebutuhan, masalah, dan potensi
klien/sasaran. Hakikatnya, setiap manusia memiliki kebutuhan dan potensi dalam
dirinya. Proses pemberdayaan dimulai dengan menumbuhkan kesadaran yang
dapat dikembangkan dan diberdayakan untuk mandiri. Proses pemberdayaan juga
dituntut berorientasi kepada kebutuhan dan potensi yang dimiliki sasaran.
Biasanya pada masyarakat pedesaan yang masih tertutup, aspek kebutuhan,
masalah, dan potensi tidak nampak. Agen pemberdayaan perlu menggali secara
tepat dan akurat. Dalam hal ini agen pemberdayaan perlu memiliki potensi untuk
memahami potensi dan kebutuhan klien/sasaran.
c. Sasaran pemberdayaan adalah sebagai subjek atau pelaku dalam kegiatan
pemberdayaan. Oleh karena itu sasaran menjadi dasar pertimbangan dalam
menentukan tujuan, pendekatan, dan bentuk aktivitas pemberdayaan.
d. Pemberdayaan berarti menumbuhkan kembali nilai, budaya, dan kearifan-kearifan
lokal yang memiliki nilai luhur dalam masyarakat. budaya dan kearifan lokal
seperti gotong royong, kerjasama, hormat kepada yang lebih tua, dan kearifan
lokal lainnya sebagai jati diri masyarakat perlu ditumbuhkembangkan melalui
berbagai bentuk pemberdayaan sebagai modal sosial dalam pembangunan.
e. Pemberdayaan merupakan sebuah proses yang memerlukan waktu, sehingga
dilakukan secara bertahap dan berkesinabungan. Tahapan ini dilakukan secara
logis dari yang sifatnya sederhana menuju yang komplek.
f. Kegiatan pendampingan atau pembinaan perlu dilakukan secara bijaksana,
bertahap, dan berkesinabungan. Kesabaran dan kehati-hatian dari agen
pemberdayaan perlu dilakukan terutama dalam menghadapi keragaman karakter,
kebiasaan, dan budaya masyarakat yang sudah tertanam lama.
g. Pemberdayaan tidak bisa dilakukan dari salah satu aspek saja, tetapi perlu
dilakukan secara holistik terhadap semua aspek kehidupan yang ada dalam
masyarakat.
h. Pemberdayaan perlu dilakukan terhadap kaum perempuan terutama remaja dan
ibu-ibu muda sebagai potensi besar dalam mengdongkrak kualitas kehidupan
keluarga dan pengentasan kemiskinan.
i. Pemberdayaan dilakukan agar masyarakat memiliki kebiasaan untuk terus belajar,
belajar sepanjang hayat (life long learning/education). Individu dan masyarakat
perlu dibiasakan belajar menggunakan berbagai sumber yang tersedia. Sumber
belajar tersebut bisa: pesan, orang (termasuk masyarakat di sekitarnya), bahan,
alat, teknik, dan juga lingkungan di sekitar tempat mereka tinggal. Pemberdayaan
juga perlu diarahkan untuk menggunakan prinsip belajar sambil bekerja (learning
by ding).
j. Pemberdayaan perlu memperhatikan adanya keragaman budaya. Oleh karena itu
diperlukan berbagai metode dan pendekatan pemberdayaan yang sesuai dengan
kondisi di lapangan.
k. Pemberdayaan diarahkan untuk menggerakkan partisipasi aktif individu dan
masyarakat seluas-luasnya. Partisipasi ini mulai dari tahapan perencanaan,
pengembangan, pelaksanaan, evaluasi, termasuk partisipasi dalam menikmati hasil
dari aktivitas pemberdayaan.
l. Klien/sasaran pemberdayaan perlu ditumbuhkan jiwa kewirausahaan sebagai bekal
menuju kemandirian. Jiwa kewirausahaan tersebut, mulai dari: mau berinovasi,
berani mengambil risiko terhadap perubahan, mecari dan memanfaatkan peluang,
serta mengembangkan networking sebagai kemampuan yang diperlukan dalam era
globalisasi.
m. Agen pemberdayaan atau petugas yang melaksanakan pemberdayaan perlu
memiliki kemampuan (kompetensi) yang cukup, dinamis, fleksibel dalam
bertindak, serta dapat mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat.
Agen pemberdayaan ini lebih berperan sebagai fasilitator.
n. Pemberdayaan perlu melibatkan berbagai pihak yang ada dan terkait dalam
masyarakat, mulai dari unsur Pemerintahan, tokoh, guru, kader, ulama, pengusaha,
LSM, relawan, dan anggota masyarakat lainnya. Semua pihak tersebut dilibatkan
sesuai peran, potensi, dan kemampuannya.

Anda mungkin juga menyukai