Anda di halaman 1dari 3

Bentuk Penindasan Jepang terhadap Bangsa Indonesia

Bentuk penindasan Jepang terhadap bangsa Indonesia pada masa pendudukannya dapat dijelaskan
sebagai berikut.

1. Penerapan Sistem Ekonomi Perang


Sistem ekonomi yang diterapkan pemerintah Jepang pada masa kekuasaannya di Indonesia disebut
ekonomi perang. Ekonomi perang dapat diartikan sebagai segala kegiatan ekonomi yang dilakukan untuk
menunjang kepentingan perang. Sistem ekonomi perang yang diterapkan pemerintah Jepang di Indonesia
memiliki tujuan sebagai berikut.
a. Menguasai dan memperoleh sumber bahan mentah, terutama minyak bumi yang diperlukan untuk
kelangsungan perang.
b. Memotong garis suplai musuh yang bersumber dari Indonesia.
Pelaksanaan sistem ekonomi perang dimulai pada 1942. Pada saat itu panglima Angkatan Darat
ke-16 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 322/1942 yang menyatakan perkebunan kopi, karet, dan
teh ditempatkan di bawah pengawasan langsung Gunseikan. Untuk meringankan tugas gunseikan dalam
mengawasi perkebunan, Jepang membentuk badan bernama Saibi Kigyo Kanrikodan (SKK). Selain bertindak
sebagai pengawas, badan ini bertindak sebagai pelaksana pembelian dan penentuan harga penjualan hasil
perkebunan serta memberikan kredit kepada perkebunan yang akan direhabilitasi.
Pada masa pendudukannya, Jepang juga merehabilitasi perkebunan kina dan tebu. Jepang
memanfaatkan biji tanaman kina sebagai obat malaria. Pasukan Jepang bertempur di daerah tropis
sehingga rentan terhadap serangan penyakit malaria. Untuk memaksimalkan produksi tanaman kina,
Jepang mengoperasikan kembali Bandungsche Kinie Fabriek peninggalan pemerintah kolonial Belanda
dan diteruskan oleh perusahaan swasta Jepang, Takaco.
Seiring perkembangan industri gula, Jepang mulai mengembangkan perkebunan tebu. Meskipun
sebagian pabrik gula telah dibumihanguskan Belanda, industri gula tetap dilanjutkan dengan modal
swasta Jepang. Untuk mengawasi industri gula, Jepang membentuk sebuah badan bernama Togyo Rengokai
(Persatuan Perusahaan Gula). Memasuki 1944 pemerintah Jepang menganggap kebutuhan gula di Jawa
telah mencukupi. Oleh karena itu, Gunseikan mengeluarkan peraturan yang melarang rakyat menanam
tebu dan memproduksi gula. Untuk membatasi produksi gula, pemerintah Jepang mengubah fungsi pabrik
gula menjadi pabrik senjata atau industri perang lain.
Sistem ekonomi perang juga menyebabkan setiap wilayah di Indonesia harus melaksanakan sistem
autarki. Dalam sistem autarki setiap daerah harus memenuhi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan perang.
Dalam sistem ini, Jepang membagi Pulau Jawa menjadi 17 autarki, Sumatra 3 autarki, dan 3 autarki di
lingkungan minseifu (wilayah yang diperintah Angkatan Laut). Sistem ekonomi tersebut menyebabkan
keadaan ekonomi makin parah. Bahkan, pada 1944 kekurangan sandang dan pangan terjadi di beberapa
tempat.
Pemerintah Jepang berusaha mengatasi masalah tersebut dengan membuka lahan baru. Rakyat juga
diminta menebang tanaman kopi dan teh serta mengganti dengan tanaman pangan seperti padi dan
jagung. Pemerintah Jepang membuka sekitar 500.000 hektare hutan di Pulau Jawa dan 10.000 hektare di
Sumatra Timur. Pembukaan hutan secara besar-besaran tersebut berdampak buruk bagi lingkungan karena
menimbulkan erosi dan banjir. Dalam perkembangannya, pemerintah Jepang menentukan kuota beras yang
harus diserahkan sebagai setoran wajib melalui Beikoku Seimeigyo Kumiai (Kumiai penggilingan padi).
2. Pengendalian di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Pada masa pendudukannya di Indonesia, Jepang mengendalikan kegiatan pendidikan dan
perkembangan kebudayaan. Kebijakan Jepang yang terfokus pada upaya memenangi perang turut
berdampak pada perkembangan pendidikan. Kondisi tersebut menyebabkan pendidikan di Indonesia
mengalami kemunduran dibanding dengan masa kolonial Belanda.
Kemunduran pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang ditandai dengan jumlah murid
di sekolah yang terus mengalami penurunan. Pada masa kolonial Belanda terdapat 199 cabang Taman
Siswa di seluruh Indonesia. Akan tetapi, pada 1944 jumlah cabang Taman Siswa tinggal 59 cabang.
Kemunduran pendidikan pada masa pendudukan Jepang juga disebabkan oleh berkurangnya jumlah
guru. Kekurangan jumlah guru tersebut terjadi karena Jepang merekrut banyak guru sekolah untuk
dijadikan tenaga administrasi di kantor-kantor pemerintahan. Selain itu, kebijakan Jepang di Indonesia
dalam bidang pendidikan didasarkan pada beberapa prinsip berikut.
a. Menata kembali pendidikan berdasarkan keseragaman dan persamaan untuk semua kelompok etnik
dan kelas sosial. Prinsip ini diimplementasikan dengan menetapkan satu jenis jenjang pendidikan
dasar selama enam tahun. Kebijakan ini bertujuan memudahkan pengawasan terhadap mata pelajaran
dan penyelenggaraan sekolah. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang bangsa Indonesia kebijakan
tersebut cukup positif karena mampu menghilangkan diskriminasi di bidang pendidikan.
b. Menghapus secara sistematis pengaruh Belanda dari sekolah-sekolah dan menjadikan unsur Indonesia
sebagai landasan utama. Prinsip ini diimplementasikan dengan membekukan seluruh sekolah
bercorak Belanda. Prinsip tersebut dilakukan untuk menghilangkan pengaruh Belanda. Bahkan,
pemerintah Jepang mengadakan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap buku-buku berbahasa
Belanda. Pemeriksaan ini dipimpin oleh Nowoti dan M. Samaoed.
c. Menjadikan semua lembaga pendidikan sebagai alat untuk memasukkan doktrin ”Kemakmuran Asia
Timur Raya” di bawah pimpinan Jepang. Prinsip ini diimplementasikan dalam struktur kurikulum
pendidikan. Pelajaran bahasa Jepang dijadikan pelajaran wajib ditambah dengan pelajaran adat istiadat
dan semangat Jepang. Bahkan, lagu dan olahraga bercorak Jepang diajarkan di sekolah. Pelajaran
bahasa Jepang tidak hanya diajarkan di sekolah, tetapi juga di kantor-kantor pemerintahan.
Meskipun secara umum mengalami kemunduran, kebijakan Jepang dalam bidang pendidikan
memberikan dampak positif bagi bangsa Indonesia. Salah satu dampak positif perkembangan pendidikan
pada masa Jepang adalah perkembangan bahasa Indonesia. Kondisi tersebut terjadi karena bahasa
Indonesia menjadi bahasa pengantar di seluruh sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pada
masa itu mata pelajaran bahasa Indonesia diajarkan mulai kelas tiga sekolah rakyat. Penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah pada awalnya mengalami kendala. Kendala tersebut muncul
karena sebagian besar guru terbiasa menggunakan bahasa Belanda. Akan tetapi, dalam waktu singkat
kondisi tersebut berhasil diatasi karena guru-guru mampu menyesuaikan diri dengan cepat.

3. Pengerahan Romusa
Gambar di samping menunjukkan salah satu bentuk
mobilisasi tenaga kerja pada masa pendudukan Jepang
yang disebut romusa. Kebijakan romusa menimbulkan
banyak penderitaan, bahkan korban jiwa. Romusa
dipekerjakan untuk membangun prasarana perang seperti
kubu-kubu pertahanan, jalan raya, dan lapangan udara.
Ada pula romusa yang dipekerjakan di pabrik-pabrik
dan pelabuhan. Pengerahan romusa ini dilakukan untuk
mendukung kepentingan perang Jepang.
Pemerintah Jepang melaksanakan romusa dengan
cara merekrut pemuda desa, petani, dan penduduk yang
Romusa pada masa pendudukan Jepang
tidak memiliki pekerjaan. Peraturan mengenai romusa Sumber: Sejarah Indonesia Jilid 6: Zaman Pendudukan dan
dikeluarkan oleh Naimubu (Departemen Urusan Umum). Kemerdekaan Indonesia, Bina Sumber Daya MIPA,
Naimubu menetapkan romusa harus berusia 16–45 tahun. 2010

Naimubu juga membentuk badan rekrutmen tenaga


romusa.
Pulau Jawa menjadi tempat utama untuk mengerahkan tenaga kerja paksa secara besar-besaran.
Pada awalnya para romusa melakukan seluruh pekerjaan dengan sukarela karena mereka masih
terpengaruh propaganda ”kemakmuran bersama Asia Timur Raya”. Pada September 1944 sekitar lima
ratus romusa dengan sukarela bekerja. Romusa ini terdiri atas para pegawai tinggi, pegawai menengah,
serta golongan terpelajar di bawah pimpinan Soekarno. Para pekerja itu menyebut pekerjaan mereka
sebagai ”Pekan Perjuangan Mati-matian”.
Dalam perkembangannya, romusa diperlakukan secara buruk. Untuk melenyapkan ketakutan
penduduk, sejak 1943 Jepang melancarkan kampanye sebagai usaha pengerahan romusa yang makin
sulit. Dalam kampanye itu, para pekerja romusa mendapat julukan ”Prajurit Ekonomi” atau ”Pahlawan
Pekerja” yang digambarkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas suci memenangi Perang
Asia Timur Raya. Pada masa itu pemerintah Jepang mengambil hampir semua laki-laki di perdesaan yang
tidak cacat fisik untuk dijadikan romusa. Akibatnya, di desa-desa hanya kaum perempuan, anak-anak, dan
lelaki yang kurang sehat. Kondisi demikian berdampak negatif bagi perekonomian masyarakat perdesaan.

Anda mungkin juga menyukai