Disusun oleh:
Laila Tusifa 2010070P
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan tentang Asuhan Keperawatan
Pada Anak dengan SLE. Tulisan ini dibuat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya pemberian asuhan keperawatan kepada anak.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Tulisan ini diharapkan
dapat bermanfaat dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak serta dapat digunakan
sebagai acuan dalam memberikan perawatan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan
masukan dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
SISTEMIK LUPUS ERYTHEMSTOSUS (SLE)
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak normal
melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah
seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik
dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak
sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya
antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri.
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun multisystem
dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah, penuakit ini terutama menyerang
kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung.(Robins, 2007)
2. Epidemiologi
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam
populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi pada
perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia subur.
systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit
hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak
kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan
laki-laki 5:1).
Di Indonesia, data unutk kasus SLE masih belum ada yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang datang ke poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam di RSUP Cipto Mangunkosumo Jakarta, terdapat 1,4% kasus dari total
seluruh kunjungan pasien. Sedangkan unutuk RS Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5%
(291pasien) dari total pasien yang berkunjung ke poliklinik reumatologi pada tahun 2010.
3. Penyebab/factor predisposisi
- Factor genetic
- Factor Humoral
- Factor lingkungan
- Kontak dengan sinar matahari
- Infeksi virus/bakteri
- Obat golongan sulva
- Penghentian lehamilan
- Trauma psikis
4. Patogenesis
Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi satu atau lebih
jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi. Beberapa, seperti anti – sel merah
dan antibodi antiplatelet, jelas patogen, sedangkan yang lain mungkin hanya penanda
kerusakan toleransi. Etiologi tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak penyakit kronis,
tampaknya mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan dalam kecenderungan
tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
a) Faktor Endogen
Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen intraseluler
biasanya 'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini menunjukkan autoimunitas yang
berkembang, setidaknya dalam beberapa kasus, sebagai konsekuensi dari kematian sel yang
tidak normal atau disregulasi termasuk kematian sel terprogram (apoptosis). Dalam
mendukung Konsep ini telah menjadi pengakuan bahwa model hewan lupus di MLR / lpr
mencit karena mutasi genetik FAS. Aktivasi FAS menyebabkan apoptosis, kelainan FAS
mencegah apoptosis yang normal menyebabkan proliferasi limfositik tidak terkendali dan
produksi autoantibodi. Sebuah homolog manusia model hewan adalah sindrom
limfoproliferatif autoimun (ALPS), karena mutasi dari FAS, anak-anak mengembangkan
limfadenopati besar dan splenomegali dengan produksi autoantibody (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2007).
6. Gejala klinis
Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan
berat
badan
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butter• ly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan terhadap adanya SLE jika terdapat dua atau lebih tanda gejala
diatas.
7. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam eritematous. Plak
eritematous pada kulit dengan skuama yang melekat dapat terlihat pada kulit
kepala, muka atau leher. Inspeksi kulit kepala dilakukan untuk menemukan gejala
alopesia, dan inspeksi mulut serta tenggorok untuk ulserasi yang mencerminkan
gangguan gastrointestinal. Selain itu juga untuk melihat pembengkakan sendi.
Auskultasi : dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar friction rub
perikardium yang dapat menyertai miokarditis dan efusi pleura. Efusi pleura serta
infiltrasi mencerminkan insufisiensi respiratorius dan diperlihatkan oleh suara paru
yang abnormal.
Palpasi : dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, dan sendi yang
terasa hangat.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lab :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang
terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa
ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear,
harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda.
Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak
semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk
mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan)
dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk
memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit. b. Analisa air kemih
menunjukkan adanya darah atau protein.
Radiology :
- Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
8. Diagnosis/kriteria diagnosis
Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis
SLE dapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai empat kriteria atau lebih dari 11
kriteria, yaitu:
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasilabial Ruam discoid Plak eritema menonjol
dengan kerato• k dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut
atrofik Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa Ulkus
mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnta tidak terasa nyeri dan dapat terlihat oleh
pemeriksa Artritis Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia
Serosis
- Pleuritis
a. riwayat penyakit pleuritik berdasarkan anamnesa atau terdapat efusi pleura
- perikarditis
b. dapat dilihat pada rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat
efusi pleura Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram/hari atau >3+
bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular,
atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit)
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
12
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulus
b. Lekopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
c. Limfopenia <1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nukluear Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
- Kadar serum antibodi antikordiolipin abnormal baik
IgG atau IgM
- Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metode standar, atau
- Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absropsi antibodi
treponema
Antibodi antinuklear
positif (ANA)
Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dnegan sindrom lupus
yang diinduksi obat
9. Therapy/tindakan penanganan
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan tentang Asuhan Keperawatan Pada
Anak
dengan SLE. Tulisan ini dibuat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya
pemberian asuhan keperawatan kepada anak.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Tulisan ini
diharapkan
dapat bermanfaat dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak serta dapat
digunakan
sebagai acuan dalam memberikan perawatan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan
masukan dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.
Denpasar, Juli 2017
Penulis