Anda di halaman 1dari 9

Nama : Ratna Sari L.

Madusila
Nim : 471417040
Kelas : B-Geologi

1. Apa yang Anda ketahui tentang batubara?

Jawab :

Batubara adalah sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan
yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan
kimia yang berlangsung selama jutaan tahun hingga mengakibatkan pengkayaan kandungan
C (Wolf, 1984 dalam Anggayana 2002).

Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap
diagenesa gambut (peatilification) dan tahap pembatubaraan (coalification). Tahap diagenesa
gambut disebut juga dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dan
mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap geokimia atau tahap
fisika-kimia yang melibatkan perubahan kimia dan fisika serta batubara dari lignit sampai
antracit (Cook, 1982)

Ditinjau dari cara terbentuknya, batubara dapat dibedakan menjadi batubara ditempat
(insitu) dan batubara yang bersifat apungan (drift). Batubara ditempat terbentuk di tempat
tumbuhan itu terbentuk, mengalami proses dekomposisi dan tertimbun dalam waktu yang
cepat, batubara ini dicirikan dengan adanya bekas – bekas akar pada seat earth serta memiliki
kandungan pengotor yang rendah, sedangkan batubara apungan terbentuk dari timbunan
material tanaman yang telah mengalami perpindahan selanjutnya terdekomposisi dan
tertimbun, pada batubara ini tidak dijumpai bekas-bekas akar pada seat earth dan memiliki
kandungan pengotor yang tinggi.

Diessel (1992, dalam Mendra, 2008) menyatakan enam parameter yang


mengendalikan pembentukan endapan batubara, yaitu : adanya sumber vegetasi, posisi muka
air tanah, penurunan yang terjadi dengan pengendapan, penurununan yang terjadi setelah
pengendapan, kendali lingkungan geoteknik endapan batubara dan lingkungan pengendapan
terbentuknya batubara.

a. PENGGAMBUTAN (PEATIFICATION)

Gambut merupakan batuan sedimen organik (tidak padat) yang dapat terbakar dan
berasal dari sisa – sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang tumbang dan mati di permukaan
tanah, pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang
sempurna sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya.
Pembusukan dan penghancuran tersebut pada dasarnya merupakan proses oksidasi yang
disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas bakteri atau jasad renik lainya. Jika tumbuhan
tumbang disuatu rawa, yang dicirikan dengan kandungan oksigen yang sangat rendah
sehingga tidak memungkinkan bakteri anaerob (bakteri memerlukan oksigen)hidup, maka
sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang
sempurna sehingga tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut
hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang
kemudian membentuk gambut (peat). Daerah yang ideal untuk pembentukan gambut
misalnya rawa, delta sungai, danau dangkal atau daerah yang kondisi tertutup udara. Gambut
bersifat porous, tidak padat dan umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan asli,
kandungan airnya lebih besar dari 75% (berat) dan komposisi mineralnya kurang dari 50 %
(dalam keadaan kering).

Menurut Bend (1992) dalam Diessel (1992) untuk dapat terbentuknya gambut, beberapa
faktor yang mempengaruhi yaitu :

1) Evolusi tumbuhan

2) Iklim

3) Geografi dan tektonik daerah

Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah ketika kenaikan mukan
air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan energi relatif rendah.
Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka kondisi akan
menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marine. Sebaliknya kalau terlalu lambat,
maka sisa tumbuhan yang terendapkan akan teroksidasi dan terisolasi. Terjadinya
kesetimbangan antara penurunan cekungan (land subsidence) dan kecepatan penumpukan
sisa tumbuhan (kesetimbangan bioteknik) yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal
(Diessel, 1992).

Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan tempat yang


mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada penambahan material
dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah akan terus mengikuti perkembangan
akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat
mencapai 90 % dan kandungan air menurun drastis hingga 60 % pada saat terbentuknya
brown-coal. Sebagian besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut merupakan
topogenic low moor. Hanya pada beberapa tempat yang mempunyai curah hujan sangat
tinggi dapat terbentuk rawa ombrogenic (high moor)

b. PEMBATUBARAAN (COALIFICATION)

Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub-bituminuous,


bitominous, antracite hingga meta-antracite. Proses pembentukan gambut dapat berhenti
karena beberapa proses alam seperti misalnya karena penurunan dasar cekungan dalam waktu
yang singkat. Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan
sedimen, maka tidak ada lagi bahan anaerob, atau oksigen yang dapat mengoksidasi, maka
lapisan gambut akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen. Tekanan terhadap lapisan
gambut akan meningkat dengan bertambahnya tebal lapisan sedimen. Tekanan yang
bertambah
besar pada proses coalification akan mengakibatkan menurunya porositas dan meningkatnya
anisotropi. Porositas dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat selama
proses perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini memberikan indikasi bahwa masih
terjadi proses kompaksi.

Proses coalification terutama dikontrol oleh kenaikan temperatur, tekanan dan waktu.
Pengaruh temperatur dan tekanan dipercaya sebagai faktor yang sangat dominan, karena
sering ditemukan lapisan batubara high rank (antracite) yang berdekatan dengan daerah
intrusi batuan beku sehingga terjadi kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga
dapat disebabkan karena bertambahnya kedalaman. Sementara bila tekanan makin tinggi,
maka proses coalification semakin cepat, terutama didaerah lipatan dan patahan.

FASIES BATUBARA

Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan melalui
komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia dan tekstur (Taylor and
Teichmuller, 1993).

Faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies batubara :

1. Tipe pengendapan

 Autochtonous

Berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk gambut di tempat dimana
tumbuhan itu pernah hidup tanpa adanya proses transportasi yang berarti.

 Allochtonous

Terendapkan secara detrital dimana sisa-sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi kemudian
terendapkan di tempat lain. Lebih banyak mengandung mineral matter (abu).

2. Rumpun tumbuhan pembentuk

 Daerah air terbuka dengan tumbuhan air


 Rawa ilalang terbuka
 Rawa hutan
 Rawa lumut
Gambar. Urutan Tipe Rawa Gambut (Taylor, 1998)

Menurut Martini dan Glooscenko (1984) dalam Diessel (1992), rawa gambut dapat
dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan jenis tumbuhan pembentuk, yaitu :

 Bog, yaitu sebagai lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau
tanaman merambat yang miskin kandungan makanan.
 Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis pohon
lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan yang ombrogenic yaitu transisi antara
daerah yang selalu melimpah kandungan air dengan daerah yang terkadang kering.
 Marsh, yaitu rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman merambat
yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.
 Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang tumbuh rawa yang
didominasi tanaman berkayu.

3. Lingkungan pengendapan Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi


lingkungan dan geologi disekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas
batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapanya.

 Telmatis/Terestrial

Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut yang tidak
terganggu dan tumbuh insitu (forest peat, reed peat dan high moor moss peat)

 Limnik

Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang terendapkan pada
lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada forest Swamp biasanya ada
bagian yang berada di bawah air (feed Swamp)

 Marine

Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas kaya abu, S dan N yang
mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya terbentuk dari mangrove (bakau) dan
kaya S
 Ca-rich

Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan mempunyai ciri yang sama
pada endapan payau. Batubara Ca-rich selalu terjadi pada lingkungan bawah air dengan
kondisi oksigen terbatas. Lingkungan pengendapan ini juga banyak mengandung fosil.
Batubara Ca-rich banyak mengasilkan bitumen.

Lingkungan Pengendapan Batubara

Menurut Horne, 1978 dalam Bambang Kuncoro Prasongko, 1996 bahwa lingkungan
pengendapan berpengaruh terhadap sebaran, ketebalan, kemenerusan, kondisi roof dan
kandungan sulfur batubara serta peran tektonik dalam pembentukan lapisan batubara.
Berdasarkan karakteristik lingkungan pengendapan batubara, maka dapat dibagi atas :

a. Lingkungan Barrier dan Back-barrier

b. Lingkungan lower delta plain

c. Lingkungan trantitional lower delta plain

d. Lingkungan upper delta plain – fluvial

Back barrier: tipis, sebaran memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus
perlapisan, bentuk lapisan melembar karena pengaruh tidal channel setelah pengendapan atau
bersamaan dengan proses pengendapan dan kandungan sulfur tinggi.

Lingkungan barrier mempunyai peranan penting yaitu menutup pengaruh oksidasi


dari air laut dan mendukung pembentukan gambut di bagian dataran, kriteria utama
lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan vertikal dari struktur sedimen dan pengenalan
tekstur batupasirnya, ke arah laut, butirannya menjadi halus dan berselang seling dengan
serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau, batuan karbonat dengan fauna laut ke arah
darat membentuk gradasi menjadi serpih berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua yang
mengandung fauna air payau, akibat pengaruh gelombang dan pasang surut, sehingga
batupasir di lingkungan barrier lebih bersih dan sortasi yang lebih baik daripada lingkungan
sekelilingnya meskipun memiliki sumber yang sama, penampang lingkungan pengendapan
pada bagian Back Barier.

Batubara yang terbentuk cenderung menunjukkan bentuk memanjang, berorientasi sejajar


dengan arah orientasi dari penghalang dan sering juga sejajar dengan jurus pengendapan.
Bentuk perlapisan batubara yang dihasilkan mungkin berubah sebagian oleh aktivitas tidal
channel pada post depositional atau bersamaan dengan proses sedimentasi.
Lower deltaplain: tipis, sebaran sepanjang channel atau jurus pengendapan, ditandai hadirnya
splitting oleh endapan crevasse splay dan kandungan sulfur agak tinggi. Litologinya
didominasi oleh urutan serpih dan batulanau yang mengkasar ke arah atas, ketebalannya
berkisar antara 15-55 m dengan pelamparan lateral.

Pada bagian bawah dari teluk tersusun atas lempung-serpih abu-abu gelap sampai hitam yang
merupakan litologi dominan, kadang- kadang terdapat batugamping dan mudstone siderite
yang sebarannya tidak teratur, pada bagian atas sikuen ini terdapat batupasir berukuran
ripples dan struktur lain yang ada hubungannya dengan arus, hal ini menunjukkan adanya
penambahan energi pada perairan dangkal ketika teluk terisi endapan.

Umumnya endapan teluk terisi mengandung fosil air laut atau air payau dan struktur burrow
fosil-fosil ini biasanya melimpah pada bagian bawah serpih lempung, tetapi mungkin juga
muncul pada seluruh sikuen.

Endapan Distributary Mouth Bar dicirikan oleh adanya batupasir yang memiliki dasar yang
lebih lebar dan memiliki kontak gradasi pada bagian bawah dan adanya kontak lateral yang
cenderung mengkasar ke atas dan mengarah pada bagian tengah serta berkembangnya
struktur ripples dan flow rolls, Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain, Sekuen
Mengkasar keatas dapat dilihat pada (Gambar 3.2).

Endapan Creavasse Splay, karakteristik endapan ini adalah minidelta yang mengkasar keatas,
butirannya semakin menghalus jika menjauhi tanggul, bergradasi kearah lateral, tersusun atas
batupasir dengan struktur burrowed siderite dan ripples, endapan ini memiliki ketebalan lebih
dari 12 m dengan pelamparan horizontal berkisar dari 30 m sampai 8 km, Sekuen Vertikal
endapan Lower Delta Plain Sikuen yang sama di potong oleh Creavasse Splay deposit
(Gambar 3.3).
Rawa-rawa di dalam sungai yang mendominasi pada lower delta plain berkembang di atas
tanggul-tanggul (levees) sepanjang distribusi cahnnel, endapan ini pada umumnya lurus dan
tegak lurus dengan jurus pengendapan.

Lapisan batubara yang di hasilkan relative tipis dan terbelah membentuk split oleh sejumlah
endapan creavvase splay dan cenderung menerus sepanjang jurus kemiringan pengendapan,
tetapi sering juga tidak menerus sejajar dengan jurus pengendapan batubara di gantikan oleh
material bay fill.

Gambar. Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain (Horne, 1978) Sekuen Mengkasar
keatas

Gambar. Sekuen Vertikal endapan Lower Delta Plain (Horne, 1978) Sikuen yang sama di
potong oleh Creavasse Splay deposit.

Transisional Lower Delta Plain: Tebal dapat lebih dari 10 m, sebaran luas
cenderungmemanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lateral sering terpotong
channel, di tandai splitting akibat adanya Channel kontemporer dan Washout oleh Channel
subsekuen dan kandungan sulfur agak rendah. Zona di antara lower dan upper delta plain di
tandai zona transisi yang mengandung karakteristik litofasies keduanya.

Sikuen Bay Fill tidaklah sama dengan sikuen litologi yang berbutir halus, lebih tipis
(1,5-7,5 m) dari lower delta plain. Namun sikuen Bay Fill tidaklah sama dengan sikuen upper
delta, zona ini mengandung fauna air payau yang menunjukkan kenampakan migrasi lateral
lapisan point bar accretion menjadi upper delta plain, channel pada transisi delta plain ini
berbutir halus dari upper delta plain, Penampang lingkungan pengendapan pada bagian
Transitional Lower Delta Plain

Lapisan batubara pada umumnya tersebar meluas dengan kecenderungan agak


memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Seperti pada batubara upper delta plain,
batubara di transisi ini berkembang split di daerah channel kontemporer dan oleh washout
yang di sebabkan oleh aktivitas channel subsekuen.

Lapisan batubara pada daerah Transitional Lower Delta Plain terbentuk pada daerah
transisi antara Upper Delta Plain dan Lower Delta Plain dan merupakan yang paling tebal dan
penyebarannya juga paling luas karena perkembangan rawa yang ekstensif pada pengisian
yang hampir lengkap dari teluk yang interdistribusi.

Gambar. Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Transitional Lower Delta


Plain (Horne, 1978)

Upper delta plain-fluvial: tebal dapat mencapai lebih dari 10 meter, sebaranluas
cenderung memanjang sejajar jurus pengendapan, kemenerusan lapisan lateral sering
terpotong channel, di tandai splitting akibat channel kontemporer dan washout olehchannel
subsekuen dan kandungan sulfur rendah.

Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh pasir lentikuler, pada tubuh pasir
dapat gerusan pada bagian bawahnya, permukaan terpotong tajam, tetapi secara lateral pada
bagian atas bagian batupasir ini melidah dengan serpih abu-abu, batulanau dan lapisan
batubara. Di atas bidang gerusan terdapat kerikil lepas dan hancuran batubara yang melimpah
pada bagian bawah, semakin ke atas butiran semakin menghalus pada batupasir. Sifat khas
tersebut menunjukkan energi yang besar pada channel pada sekitar rawa kecil dan danau-
danau, dari bentuk batupasir dan pertumbuhan lapisan point bar menunjukkan bahwa hal ini
di kontrol oleh meandering.

Sikuen endapan backswap dari atas ke bawah terdiri dari seat earth, batubara, dengan
serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecupoda air tawar, batubara secara
lateral menebal dan akhirnya bergabung dengan tubuh utama batupasir, batupasirnya tipis
(1,5-4,5 m), berbutir halus, mengkasar ke atas, sikuen tipe ini merupakan endapan pada tubuh
air terbuka, mungkin rawa dangkal atau danau, Penampang lingkungan pengendapan bagian
Upper Delta Plain.

Lapisan batubara pada endapan upper delta plain cukup tebal (lebih dari 10m), tetapi
secara lateral tidak menerus, lapisan pembentuk endapan fluvial plain cenderung lebih tipis
dibandingkan dengan endapan upper delta plain, lapisan batubara cenderung sejajar dengan
kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang menerus dibandingkan dengan fasies lower
delta plain, karena bagian yang teratur sedikit jumlahnya yang mengikuti channel sungai
maka lapisan-lapisannya sangat tebal dengan jarak yang relatif pendek dengan sejumlah split
yang berkembang dan dalam hubungannya dengan endapan tanggul yang kontemporer.

Gambar. Penampang lingkungan pengendapan bagian Upper Delta Plain

Anda mungkin juga menyukai