Anda di halaman 1dari 20

BUKU FIQIH SUNNAH JILID 4 TENTANG HUKUM WARIS KARANGAN SAYYID

SABIQ

DISYARIATKANNYA FARA’IDH
Pada masa Jahiliyah sebelum Islam, orang-orang Arab memberikan warisan kepada anak
anak laki-laki tanpa anak-anak perempuan dan kepada anak-anak yang besar tanpa anak-
anak yang kecil. Ketika itu, ada juga waris-mewarisi dengan Sumpah. Islam menghapuskan
semua itu dan menurunkan aval.
Allah mensyariatkan (mewajibkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk anak-
anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka
bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika din (aik perempuan) Hu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua
ibu-bapak, bagian masing masing seperenain dari harta yang ditinggalkan, jika dia yang
meninggal) mempunyal ak lika dia yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia di warisi
oleh ibu-bapaknya(saja),maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia yang meninggal
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

WARISAN (TARIKAH)
Definisi Warisan
Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit secara mutlak,"¹5 Ibnu Hazm
menetapkan ini dan berkata, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan warisan dalam harta
yang ditinggalkan oleh manusia setelah kematiannya, tidak dalam selain harta. Adapun hak-
hak, ia tidak diwariskan. Tidak ada hak yang diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau
yang semakna dengan harta, seperti hak untuk mengambil manfaat dan menguasai, serta
untuk tinggal di tanah yang dikhususkan untuk pembangunan dan penanaman." Sementara
menurut ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi'i, dan ulama mazhab Hanbali, warisan
mencakup semua harta dan hak-hak yang ditinggalkan oleh mayit, baik hak-hak yang
berkaitan dengan harta maupun yang tidak berkaitan dengan harta.

Hak-Hak yang Berkaitan dengan Warisan


Hak-hak yang berkaitan dengan warisan ada empat. Keempatnya tidak memiliki
kedudukan yang sama, tetapi sebagian darinya lebih kuat daripada yang lain sehingga
pengeluarannya dari warisan diutamakan. Urutannya adalah sebagai berikut:
1. Hak pertama, pengafanan dan penyiapan mayit sesuai dengan apa yang telah
dijelaskan dalam bab Jenazah.
2. Hak kedua, pembayaran utang. Ibnu Hazm dan asy-Syafi'i men dahulukan utang-
utang kepada Allah, seperti zakat dan kafarat, atas utang-utang kepada manusia.
Para ulama mazhab Hanafi menanggalkan utang-utang kepada Allah dengan kematian
sehingga para ahli waris tidak wajib membayarkan kecuali apabila mereka hendak bederma
atau apabila mayit me wasiatkan pembayarannya. Dan ketika pembayaran utang ini
diwasiatkan, ia menjadi seperti wasiat untuk orang asing. Ahli waris atau pelaksana wasiat
mengeluarkannya dari sepertiga harta yang tersisa setelah penyiapan mayit dan pembayaran
utang-utang kepada manusia. Ini berlaku apabila mayit memiliki ahli waris. Apabila dia tidak
memiliki ahli waris maka wasiat ini dikeluarkan dari seluruh.
3. Pernikahan yang sah, berdasarkan firman Allah Swt., "Dan bagianmu (suami-suami)
adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu," (QS an-Nisâ' [4]:
12).

SYARAT-SYARAT PEWARISAN
Dalam pewarisan disyaratkan tiga hal berikut ini:
1. Kematian pewaris secara hakiki, secara hukum, atau secara asumtif. Kematian secara
hukum, misalnya, qadhi menetapkan kematian orang yang hilang sehingga ketetapan
ini menjadikannya seperti orang yang mati secara hakiki. Kematian asumtif,
misalnya, seseorang menyerang seorang perempuan hamil dengan pukulan hingga
janinnya gugur dalam keadaan mati, lalu diasumsikan bahwa janin ini pernah hidup
meskipun itu tidak dapat dibuktikan.
2. Kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris, meskipun secara hukum, seperti
kandungan. Kandungan dianggap hidup secara hukum karena bisa jadi ruh belum
ditiupkan ke dalamnya. Apabila kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris tidak
diketahui, misalnya pada orang-orang yang tenggelam, orang-orang yang terbakar,
atau orang orang yang tertimpa bangunan, maka tidak ada pewarisan di antara mereka
seandainya sebagian dari mereka mewarisi sebagian yang lain. Harta masing-masing
dari mereka dibagikan kepada para ahli waris mereka yang masih hidup.

HAL-HAL YANG MENGHALANGI PEWARISAN


Orang yang dihalangi dari warisan adalah orang yang padanya. terpenuhi sebab-sebab
pewarisan, tetapi dia memiliki satu sifat yang mencabut haknya untuk mendapatkan warisan.
Orang ini dinamakan dengan mahrum. Dan, hal-hal yang menghalangi pewarisan ada empat.
1. Perbudakan, baik sempurna maupun tidak sempurna.
2. Pembunuhan sengaja yang diharamkan. Apabila ahli waris membunuh pewarisnya
secara zalim maka disepakati bahwa dia tidak mewarisinya.
3. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga.
4. Baitulmal.
Sementara urutan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan dalam Undang-Undang
Warisan yang diterapkan di Mesir adalah sebagai berikut:
1. Ashhabul-furfidh.
2. Ashabah nasabiyyah.
3. Radd untuk ashhabul-furúdh.
4. Dzawul-arhâm.
5. Radd untuk salah satu dari suami istri.
6. Ashabah sababiyyah.
7. Orang yang diakui nasabnya.
8. Orang yang diberi wasiat seluruh harta.
9. Baitulmal.
ASHHABUL-FURUDH
Ashhabul furudh adalah orang yang memiliki satu di antara enam bagian yang telah
ditentukan, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6. Ashhabui furtdk ada dua belas orang Empat di
antaranya adalah laki-laki, yaitu bapak, kakek yang sah dan terus ke atas, saudara laki-laki
seibu, dan suami. Dan delapan di antaranya adalah perempuan, yaitu istri, anak perempuan,
saudara perempuan sekandung (sebapak seibu), saudara, perempuan sebapak, saudara
perempuan seibu, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek yang sah dan terus ke
atas.

Bapak.
"Dan, untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja) maka ibunya mendapat
sepertiga, (QS an-Nisa' [4]: 11).
Bapak memiliki tiga kondisi: satu kondisi yang di dalamnya dia mewarisi dengan bagian
yang telah ditentukan, satu kondisi yang di dalamnya dia mewarisi sebagai ashabah, dan satu
kondisi yang di dalamnya dia mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan dan sebagai
asubuh sekaligus. Kondisi pertama, bapak mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan
(yakni 1/6) apabila bersamanya terdapat keturunan laki-laki yang mewarisi, baik sendirian
maupun bersama yang lain. Dalam kondisi ini, bagian bapak adalah seperenam. Kondisi
kedua, bapak mewarisi sebagai ashabah apabila mayit tidak memiliki keturunan laki-laki
yang mewarisi. Bapak mengambil semua warisan apabila dia sendirian atau mengambil sisa
ashhabul-furudh apabila bersamanya ada seorang di antara mereka. Kondisi ketiga, bapak
mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan dan sebagai 'ashabah sekaligus apabila
bersamanya ada keturunan perempuan yang mewarisi. Dalam kondisi ini, bapak mengambil
bagian seperenam, lalu mengambil sisa dari ushbabul-furadh sebagai ashabah.

Kakek yang Sah (Bapaknya Bapak)


Kakek ada yang sah dan ada yang tidak sah. Kakek yang sah adalah, yang mungkin
dinisbatkan kepada mayil tanpa diselai dengan seorang perempuan, seperti bapak dari bapak.
Dan, kakek yang tidak sah adalah yang tidak dinisbatkan kepada mayit kecuali diselai oleh
seorang perempuan, seperti bapak dari ibu.
Kakek yang sah berhak mendapatkan warisan berdasarkan timā". Imran bin Hushain
meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dan berkata, "Sesungguhnya
anak laki-lald dari anak laki-lakiku meninggal. Apa yang berhak aku dapat dari warisannya?"
Beliau berkata, "Kamu berhak mendapatkan seperenam." Ketika laki laki itu hendak pergi,
beliau memanggilnya dan berkata, "Kamu berhak. mendapatkan seperenam yang lain. Ketika
laki-laki itu hendak pergi, beliau memanggilnya dan berkata, "Seperenam yang lain itu
adalah rezeki.
Hak kakek yang sah tanggal dengan keberadaan bapak, Kakek menggantikan posisi
bapak ketika bapak tidak ada, kecuali dalam tiga perkara berikut ini:
1. Ibunya bapak tidak mewarisi dengan adanya bapak, karena ibunya bapak dinisbatkan
kepada mayit melalui bapak, tetapi dia mewarisi.
2. Apabila mayit meninggalkan bapak, ibu, dan suami atau istri maka ibu mendapatkan
sepertiga dari apa yang tersisa setelah suami atau istri mengambil bagiannya. Adapun
apabila kakek menempati posisi bapak maka ibu mendapatkan sepertiga dari
keseluruhan harta. Ini dinamakan dengan perkara umariyyah karena keputusan Umar
tentangnya, sebagaimana dinamakan juga dengan gharra iyyah karena
kemasyhurannya seperti bintang yang menonjol (kaukah agharr). Sementara Ibnu
Abbas menentang hal itu dan mengatakan bahwa ibu mendapatkan sepertiga dari
keseluruhan berdasarkan firman Allaht Swt.,maka ibunya mendapat sepertiga.
3. Apabila bapak ada maka dia menghalangi saudara-saudara laki-laki dan saudara-
saudara perempuan sekandung, serta saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara
perempuan sebapak. Adapun kakek,dia tidak menghalangi mereka. Ini adalah
pendapat asy-Syafi'i, Abul Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sementara Abu Hanifah
berpendapat bahwa kakek menghalangi mereka, sebagaimana bapak menghalangi
mereka. Tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Undang-Undang Warisan Mesir menganut pendapat pertama Pada pasal 22 disebutkan,
"Apabila kakek berkumpul dengan saudara saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan
sebapak seibu atau sebapak saja maka dia memiliki dua kondisi. Pertama, kakek berbagi
merata dengan mereka seperti saudara laki-laki jika mereka semua hanya laki-laki, atau laki-
laki dan perempuan, atau perempuan yang menjadi ashabah karena adanya keturunan
perempuan yang mewarisi. Kedua, dia mengambil sisa setelah ashhabui-furidh sebagai
'ashabah apabila dia bersama saudara-saudara perempuan yang tidak menjadi ashabah
dengan. adanya saudara laki-laki atau dengan adanya keturunan perempuan Hanya saja,
apabila pembagian dan pewarisan dengan cara yang telah disebutkan ini menghalangi kakek
dari warisan atau mengurangi haknya maka dia dianggap sebagai pemilik bagian seperenam.
Dalam pembagian, saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan sebapak yang
terhalangi tidak diperhitungkan.

Saudara Seibu
Allah Swt. berfirman, "Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara saudara seibu itu lebih dari
seorang maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu," (QS an-Nisà (4) 12).
Yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan di sini adalah saudara-
saudara seibu. Dan dari ayat ini tampak jelas bahwa mereka memiliki tiga kondisi sebagai
berikut:
1. Seorang saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, men dapatkan seperenam..
2. Dua orang atau lebih saudara seibu mendapatkan sepertiga. Sama saja antara laki-laki
dan perempuan.
3. Mereka tidak mewarisi apa-apa dengan adanya cabang yang mewarisi, seperti anak
dan anak dari anak, dan dengan adanya pokok laki-laki yang mewarisi, seperti bapak
dan kakek. Mereka tidak dihalangi oleh ibu atau nenek.

Suami
(QS an-Nisa' [4]: 12), Ayat ini menunjukkan bahwa Suami memiliki dua kondisi. Kondisi
pertama, di dalamnya suami mewarisi setengah. Itu terjadi ketika tidak ada keturunan
(cabang) yang mewarisi, yaitu anak laki-laki dan terus ke bawah, anak perempuan, dan anak
perempuan dari anak laki-laki, baik darinya maupun dari suami yang lain. Kondisi kedua, di
dalamnya suami mewarisi seperempat. Itu terjadi ketika ada cabang yang mewarisi.
Isteri
(QS an-Nisa' [4]: 12). Ayat ini menjelaskan bahwa istri memiliki dua kondisi. Kondisi
pertama, dia berhak memperoleh seperempat ketika tidak ada keturunan (cabang) yang
mewarisi, baik darinya maupun dari istri yang lain. Kondisi kedua, dia berhak memperoleh
seperdelapan ketika ada cabang yang mewarisi. Apabila ada lebih dari satu istri maka mereka
berbagi sama rata dalam seperempat atau seperdelapan itu.

Istri yang Ditalak


Istri yang ditalak dengan talak rap mewarisi suaminya apabila sang suami meninggal
sebelum idahnya berakhir. Para ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa perempuan yang
ditalak sebelum bercampur dan berduaan mewarisi suaminya yang menalaknya ketika sedang
sakit menjelang kematian, apabila sang suami meninggal dalam sakitnya itu, selama dia
belum menikah lagi. Begitu pula perempuan yang ditalak setelah berduaan, selama dia belum
menikah lagi dan sedang menjalani idah kematian. Undang-Undang (Mesir) baru akan
menganggap seorang perempuan sebagai istri saat ia ditalak dengan talak bd'in-ketika
suaminya sedang sakit menjelang kematian apabila istri tidak rida dengan penalakan tersebut
dan suami meninggal karena sakitnya itu ketika istri masih dalam masa idahnya.

Anak Perempuan
(QS an-Nisâ(4): 11) Ayat ini menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki tiga kondisi.
Kondisi pertama, dia mendapatkan setengah apabila hanya seorang diri. Kondisi kedua, dua
anak perempuan atau lebih mendapatkan dua pertiga apabila bersama mereka tidak ada
seorang anak laki-laki atau lebih. Ibnu Qudamah berkata, "Para ahli ilmu menyepakati bahwa
bagian dua anak perempuan adalah dua pertiga, kecuali riwayat yang tidak sahih dari Ibnu
Abbas." Ibnu Rusyd berkata, "Telah dikatakan bahwa riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas
sama seperti pendapat jumhur." Kondisi ketiga. dia mewarisi sebagai 'ashabah apabila
bersamanya ada seorang anak laki laki. Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan, Demikian pula halnya apabila jumlah anak perempuan lebih. dari
satu atau jumlah anak laki-laki lebih dari satu.
Saudara Perempuan Sekandung
(QS an-Nisa [4]: 176) Saudara perempuan sekandung (suaqiqah) memiliki lima kondisi
sebagai berikut:
1. Seorang saudara perempuan sekandung yang sendirian mendapatkan setengah apabila
bersamanya tidak ada anak, anak dari anak laki-laki, bapak, kakek, atau saudara laki-
laki sekandung
2. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih mendapatkan dua pertiga ketika
orang-orang yang kita sebutkan ini tidak ada.
3. Apabila bersama mereka ada seorang saudara laki-laki sekandung,sedangkan yang
lain tidak ada, maka dia menjadikan mereka sebagai "ashabah. Dan bagian seorang
saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan.
4. Mereka menjadi ashabah bersama anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan
dari anak laki-laki. Mereka mengambil sisa warisan setelah dikurangi bagian anak-
anak perempuan atau anak-anak. perempuan dari anak laki-laki.
5. Mereka tanggal dengan adanya keturunan laki-laki yang mewarisi, seperti anak laki-
laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki, dan dengan adanya pokok laki-laki yang
mewarisi, seperti bapak dan kakek.Tanggalnya mereka dengan adanya bapak
disepakati. Sementara tanggalnya mereka dengan adanya kakek adalah pendapat Abu
Hanifah yang ditentang oleh Abu Yusuf dan Muhammad. Perselisihan pendapat ini
telah dijelaskan di atas.

Saudara Perempuan Sebapak


Saudara-saudara perempuan sebapak memiliki enam kondisi sebagai. berikut:
1. Seorang saudara perempuan sebapak mendapatkan setengah ketika dia sendirian dan
tidak disertai oleh saudara perempuan sebapak sepertinya, saudara laki-laki sebapak,
atau saudara perempuan sekandung.
2. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih mendapatkan dua pertiga.
3. Mereka mendapatkan seperenam apabila bersama mereka ada seorang saudara
perempuan sekandung yang sendirian untuk menggenapkan
dua pertiga.
4. Seorang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan seperenam
ketika bersama seorang anak perempuan kandung untuk menggenapkan dua pertiga.
Kecuali apabila bersama mereka ada seorang cucu laki-laki yang setingkat dengan
mereka maka dia. menjadikan mereka sebagai ashabah. Setelah dikurangi bagian anak
perempuan, sisa warisan dibagi di antara cucu-cucu ini. Bagian seorang cucu laki-laki
sama dengan bagian dua orang cucu perempuan.
5. Mereka tidak mewarisi apabila ada anak laki-laki.
6. Mereka tidak mewarisi ketika ada dua anak perempuan kandung atau lebih. Kecuali
apabila bersama mereka ada seorang anak laki-laki dari anak laki-laki yang sejajar
dengan mereka atau dari tingkatan di bawah mereka maka dia menjadikan mereka
sebagai 'ashabah.

Ibu
Ibu memiliki tiga kondisi berikut ini:
1. Dia mengambil seperenam apabila bersamanya ada seorang anak, seorang anak dari
anak laki-laki, atau dua orang saudara laki-laki atau dua orang saudara perempuan
secara mutlak, baik sebapak dan seibu, sebapak saja, maupun seibu saja.
2. Dia mengambil sepertiga dari keseluruhan harta apabila orang-orang yang telah
disebutkan ini tidak ada.
3. Dia mengambil sepertiga dari sisa ketika orang-orang yang telah disebutkan ini tidak
ada setelah dikurangi bagian suami atau istri. Ini terjadi dalam dua perkara yang
dinamakan dengan gharrá'iyyah. Perkara pertama, ketika mayit meninggalkan suami
dan kedua orangtua. Perkara kedua, ketika mayit meninggalkan istri dan kedua
orangtua.
'Ashabah ma'a Ghairihi
Ashabah ma'a ghairihi (ashabah bersama orang lain) adalah setiap perempuan yang
membutuhkan perempuan lain agar menjadi ashabak. Ashabah ma'a ghairihi terbatas pada
dua golongan perempuan saja:

1. Seorang atau beberapa orang saudara perempuan sekandung bersama anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki.
2. Seorang atau beberapa orang saudara perempuan sebapak bersama anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki. Mereka mendapatkan sisa warisan setelah
dikurangi bagian ashkabut furudh.

Tata Cara Pewarisan 'Ashabah bi Nafsihi


Ashabah bi nafsihi terdiri dari empat golongan yang mewarisi berdasarkan urutan berikut
ini:
1. Bunawwah (keanakan) yang mencakup anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak
laki-laki.
2. Apabila sisi bumuoah tidak ada maka warisan atau yang tersisa darinya berpindah
kepada sisi abutwal (kebapakan) yang mencakup bapak, kakek yang sah, dan terus ke
atas.
3. Apabila tidak ada seorang pun dari sisi uburoak yang masih hidup maka warisan atau
yang tersisa darinya menjadi hak ukhuwah (kesaudaraan) yang mencakup saudara
laki-laki sebapak seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak seibu, dan terus
ke bawah, serta saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki
sebapak, dan terus ke bawah.
4. Apabila tidak ada seorang pun dari sisi ini yang masih hidup maka warisan atau yang
tersisa darinya berpindah kepada sisi umumah (kepamanan), tanpa perbedaan antara
kepamanan mayit sendiri dan kepamanan bapaknya atau kakeknya. Hanya saja,
kepamanan mayit sendiri didahulukan atas kepamanan bapaknya, kepamanan
bapaknya didahulukan atas kepamanan kakeknya, dan seterusnya.

‘Ashabah Sababiyyah
Ashabah sababiyyah adalah tuan yang memerdekakan budaknya. baik laki-laki maupun
perempuan. Apabila dia tidak ada maka warisan diberikan kepada 'ashabah-nya yang laki-
laki.

HAJB DAN HIRMÅN


Makna Hajb dan Hirmân Secara etimologis, haji berarti penghalangan Dan, yang
dimaksud. di sini adalah terhalanginya orang tertentu dari seluruh atau sebagian bagiannya
dalam warisan karena adanya orang lain. Sementara yang dimaksud dengan hirman adalah
terhalanginya orang tertentu dari seluruh warisan karena adanya salah satu dari hal-hal yang
menghalangi pewarisan, seperti pembunuhan dan sejenisnya.

AUL
Definisi 'Aul Secara etimologis, kata 'aul berarti kenaikan. Dikatakan: 'Ala al-mizan
(Timbangan itu naik), Kata ini bisa juga berarti kecenderungan kepada perbuatan zalim.
Menurut para fakih, aut adalah kelebihan pada porsi-porsi askladbul
furadh yang mengakibatkan berkurangnya bagian-bagian mereka dalam warisan.
Diriwayatkan bahwa perkara 'aut yang pertama kali terjadi dalam Islam diajukan kepada
Umar ra, yaitu perkara seorang suami dan dua orang saudara perempuan. Umar berkata
kepada para sahabat yang bersamanya, "Apabila aku memulai dengan suami atau dua orang
saudara perempuan maka hak yang lain tidak lagi akan sempurna. Berikan pendapat kalian
kepadaku." Abbas bin Abdul Muththalib pun mengusulkan aal kepadanya. Ada yang
mengatakan bahwa yang mengusulkan "aud adalah Ali. Dan, ada yang mengatakan: Zaid bin
Tsabit.
Beberapa Contoh Perkara 'Aul:
1. Seorang perempuan mati meninggalkan seorang suami, dua orang saudara
perempuan sekandung, dua orang saudara perempuan seibu, dan seorang ibu. Ini
dinamakan dengan perkara suuriğivyak karena sang suami mencaci maki qadhi
Syuraih yang terkenal yang telah memberinya 3/10 sebagai ganti setengah." Laki-laki
itu berkeliling dari satu kabilah ke kabilah yang lain seraya berkata, "Syuraih tidak
memberiku setengah dan tidak pula sepertiga." Ketika mengetahui hal itu, Syuraih
mendatangkannya dan menjatuhkan takzir padanya. Syuraih berkata kepadanya.
"Kamu telah mengatakan perkataan yang buruk dan menyembunyikan 'aul."
2. Seorang laki-laki mati meninggalkan seorang istri, dua orang anak perempuan,
seorang bapak, dan seorang ibu. Ini dinamakan dengan perkara mimbariyyah karena
sayidina Ali ra ditanya tentangnya ketika sedang berada di atas mimbar. Dia berkata
dalam khutbahnya, "Segala diusahakannya. Hanya kepada-Nyalah kita pulang dan
kembali." Dan di bagian akhir khutbah, dia menjawab, "Seperdelapan bagian istri
menjadi sepersembilan. Lalu dia melanjutkan khutbahnya.

Cara Penyelesaian Perkara 'Aul


Terlebih dahulu harus diketahui pokok perkara dan bagian masing masing dari askibal-
furadh. Pokok ini diabaikan. Kemudian bagian-bagian mereka dijumlahkan dan hasilnya
dijadikan pokok baru. Berdasarkan pokok baru inilah warisan dibagi. Dengan demikian,
kekurangan menimpa setiap orang sesuai dengan porsi bagiannya sehingga tidak ada
kezaliman dan ketidakadilan.
Contohnya seorang suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Pokok
perkaranya adalah 6. Suami mendapatkan setengah, yaitu 3. Dan saudara-saudara perempuan
mendapatkan dua pertiga, yaitu 4. Hasil penjumlahannya adalah 7. Inilah pokok baru yang
menjadi dasar pembagian warisan.

RADD
Definisi Radd
Kata radd berarti pengembalian. Dikatakan: Radida alaihi hangahu (Mengembalikan
haknya kepadanya). Kata radd juga berarti pengalihan, Dikatakan: Radda 'anhu kaida
'aduwwihi (Mengalihkan darinya tipu daya musuhnya).
Dan, yang dimaksud dengan radd oleh fukaha adalah pemberian kembali apa yang tersisa
dari bagian-bagian askhabud-furůdn kepada mereka sesuai dengan porsi bagian-bagian
mereka, ketika tidak ada orang lain yang berhak mendapatkannya.

Rukun-Rukun Radd
Radd tidak terjadi kecuali dengan tiga rukun berikut ini:
1. Adanya askabul-fürüdh.
2. Adanya kelebihan dari warisan.
3. Tidak adanya 'ashabah.

Pendapat Ulama tentang Radd


Tidak ada satu nash pun tentang radd yang dapat dijadikan rujukan. Oleh karena itu,
ulama berselisih pendapat tentangnya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa sisa
warisan tidak diberikan kembali kepada seorang dari ashibul-furadh. Setelah ashkabul-furadh
mengambil bagian-bagian mereka, sisa warisan diserahkan kepada baitulmal apabila tidak
ada 'ashabah.
Dengan demikian, radd berlaku bagi delapan golongan berikut ini:
1. Anak perempuan.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki.
3. Saudara perempuan sekandung.
4. Saudara perempuan sebapak.
5. Ibu.
6. Nenek
7. Saudara laki-laki seibu.
8. Saudara perempuan seibu.
Pendapat inilah yang kita pilih. Ini adalah pendapat Umar, Ali, dan jumhur sahabat dan
tabiin. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan Ahmad, serta dijadikan sandaran oleh
ulama mazhab Syafi'i dan sebagian ulama mazhab Maliki ketika baitulmal rusak. Mereka
mengatakan bahwa sisa warisan tidak diberikan kepada suami dan istri karena radd hanya
berhak dimiliki dengan kekerabat, sedangkan sebagai suami istri keduanya tidak memiliki
kekerabatan. Dan sisa warisan tidak diberikan kepada bapak dan kakek karena radd hanya
terjadi ketika tidak ada ashabah, sedangkan masing-masing dari bapak dan kakek adalah
ashabalt yang berhak mengambil sisa warisan tanpa harus ada radd.
Dalam undang-undang, radd untuk salah satu dari suami istri diakhirkan setelah dzawul-
arbam. Pada pasal 30 dari undang-undang disebutkan, "Apabila bagian-bagian yang telah
ditentukan tidak menghabiskan warisan, sedangkan tidak ada 'ashabak dari nasab, maka sisa
warisan diberikan kembali kepada askhabul-furdh selain suami istri sesuai dengan porsi
bagian-bagian mereka. Dan sisa warisan diberikan kembali kepada salah satu dari suami istri
apabila tidak ada ashabah dari nasab, atau salah seorang dari ashbabul-furudh, atau salah
seorang dari dzawul-arham.”

Cara Penyelesaian Perkara Radd


Apabila di antara ashbabul-furüdh ada orang yang tidak berhak mendapatkan radd, yaitu
salah seorang dari suami istri, maka dia terlebih dahulu mengambil bagiannya yang telah
ditentukan dari pokok warisan. Kemudian setelah askhahul-furudh lainnya mengambil bagian
mereka yang telah ditentukan, sisanya diberikan kembali kepada mereka sesuai dengan
jumlah kepala mereka apabila mereka berasal dari golongan yang sama, baik yang ada di
antara mereka hanya satu, seperti seorang anak perempuan, maupun lebih dari satu, seperti
tiga orang anak perempuan. Dan apabila mereka berasal dari beberapa golongan yang
berbeda, seperti seorang ibu dan seorang anak perempuan, maka sisanya diberikan kembali
kepada mereka sesuai dengan porsi bagian-bagian mereka.
Adapun apabila di antara ashhabal-furúdh tidak ada salah seorang dari suami istri maka
setelah mereka mengambil bagian mereka yang telah ditentukan, sisanya diberikan kembali
kepada mereka sesuai dengan jumlah kepala mereka apabila mereka berasal dari golongan
yang sama, baik yang ada di antara mereka hanya satu maupun lebih dari satu. Dan apabila
mereka berasal dari beberapa golongan yang berbeda maka sisanya diberikan kembali kepada
mereka sesuai dengan porsi bagian-bagian mereka. Dengan demikian, bagian masing-masing
dari ashabul furudh bertambah karena dia berhak mendapatkan bagian yang telah ditentukan
dan radd.

DZAWUL-ARHAM
Dzawal-arham adalah semua kerabat yang bukan ashiibul-furudh dan bukan pula
'ashabah. Para fakih berselisih pendapat tentang pewarisan mereka. Malik dan asy-Syafi'i
berpendapat bahwa warisan tidak diberikan kepada mereka, tetapi kepada baitulmal. Ini
adalah pendapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Zaid, az-Zuhri, al-Auza'i, dan Dawud.
Sementara Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa warisan diberikan kepada mereka.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas'ud. Itu terjadi ketika tidak ada
ashabul-furudh dan 'ashabah. Dan dari Said bin Musayyab diriwayatkan bahwa paman laki-
laki dari pihak ibu mewarisi bersama anak perempuan.

Kandungan yang Terpisah dari Ibunya


Apabila kandungan terpisah dari ibunya, bisa jadi dia terpisah dalam keadaan hidup dan
bisa jadi dia terpisah dalam keadaan mati. Dan apabila dia terpisah dalam keadaan mati, bisa
jadi itu terjadi tanpa adanya kejahatan atau serangan terhadap ibunya dan bisa jadi itu terjadi
karena adanya kejahatan terhadap ibunya.
apabila kehidupan bayi yang dilahirkan tampak maka dia diberi warisan Tanda-tanda
kehidupan adalah suara, napas, bersin, dan sejenisnya. Ini adalah pendapat ats-Tsauri, al-
Auza'i, asy-Syafi'i, dan para sahabat Abu Hanifah. Apabila kandungan terpisah dalam
keadaan mati tanpa adanya kejahatan terhadap ibunya maka disepakati bahwa dia tidak
mewarisi dan tidak diwarisi. Dan apabila dia terpisah dalam keadaan mati karena adanya
kejahatan terhadap ibunya maka dia mewarisi dan diwarisi menurut ulama mazhab Hanafi.
Para ulama mazhab Syafi'i, ulama mazhab Hanbali. dan Malik mengatakan bahwa dia
tidak mewarisi apa pun. Dia hanya berhak mendapatkan diyat seorang budak. Tidak ada yang
diwarisi darinya kecuali budak ini. Dan, budak ini diwarisi oleh setiap orang yang mungkin.
mendapatkan warisan darinya. Sementara Laits bin Sa'ad dan Rabi'ah bin Abdurrahman
berpendapat bahwa apabila janin terpisah dalam keadaan mati karena adanya kejahatan
terhadap ibunya maka dia tidak mewarisi dan tidak diwarisi. Ibunyalah yang berhak
mendapatkan diyat seorang budak dan memilikinya sendiri karena kejahatan terjadi pada
sebagian dari dirinya, yaitu janin. Karena kejahatan terjadi pada dirinya saja maka balasan
berhak didapatkan olehnya saja. Dan, undang-undang menganut pendapat ini.
maksimal adalah satu tahun Syamsiah (365 hari dan menjadikan itu sebagai sandaran
dalam penetapan nasab, warisan, wakaf, dan wasiat. Undang-undang menganut pendapat Abu
Yusuf yang menjadi sandaran fatwa dalam mazhab Hanafi bahwa bagi kandungan
digantungkan yang paling banyak di antara dua bagian; menganut pendapat tiga imam (selain
Abu Hanifah) tentang disyaratkannya kelahiran seluruh kandungan dalam keadaan hidup
untuk mendapatkan warisan; dan menganut pendapat Muhammad bin Hakam bahwa
kandungan tidak mewarisi kecuali apabila dilahirkan maksimal setelah satu tahun sejak
tanggal kematian atau perceraian antara bapak dan ibunya.

ORANG HILANG
Definisi Orang Hilang
Apabila seseorang menghilang, beritanya terputus, tidak diketahui tempatnya, dan tidak
diketahui apakah dia masih hidup atau sudah mati. lalu pengadilan menetapkan kematiannya,
maka dikatakan bahwa dia adalah orang hilang. Keputusan qadhi bisa jadi didasarkan pada
bukti, seperti kesaksian para saksi yang adil, dan bisa jadi didasarkan pada tanda-tanda yang
tidak layak dijadikan bukti setelah berlalunya masa tertentu.

Masa yang Setelahnya Kematian Orang Hilang Ditetapkan


Para ulama berselisih pendapat tentang masa yang setelahnya kematian orang hilang
ditetapkan. Dalam sebuah riwayat dari Malik, disebutkan empat tahun karena Umar ra
berkata, "Perempuan mana saja yang kehilangan suaminya dan tidak mengetahui di mana
suaminya berada, dia menunggu selama empat tahun, lalu beridah selama empat bulan
sepuluh hari. Setelah itu dia telah halal.
Pada Pasal 21 dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1929 disebutkan, "Kematian orang
hilang yang kemungkinan besar telah mati ditetapkan setelah empat tahun sejak tanggal
kehilangannya. Adapun dalam kondisi kondisi lainnya, penentuan masa yang setelahnya
kematian orang yang hilang ditetapkan diserahkan kepada qadhi. Semua itu setelah dilakukan
pencarian terhadapnya dengan semua cara yang mungkin digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan apakah orang yang hilang itu masih hidup atau sudah mati."

Warisan Orang Hilang


Warisan orang hilang tergantung pada dua hal karena dia tidak terlepas dari
keberadaannya sebagai pewaris atau ahli waris. Dalam kondisi ketika dia menjadi pewaris,
hartanya tetap dalam kepemilikannya dan tidak dibagikan di antara para ahli warisnya sampai
kematiannya dipastikan atau qadhi menetapkan kematiannya. Apabila kemudian dia muncul
dalam keadaan hidup maka dia mengambil hartanya. Dan, apabila kematiannya telah
dipastikan atau qadhi telah menetapkan kematiannya maka dia diwarisi oleh orang yang
menjadi ahli warisnya pada saat kematian atau pada saat ketetapan tentang kematiannya
dikeluarkan. Dia tidak diwarisi oleh orang yang mati sebelum itu atau orang yang berhak
mendapatkan warisan setelah itu dengan hilangnya sesuatu yang menghalanginya, seperti
dengan masuk Islam.
Undang-undang menganut pendapat ini. Pada pasal 45 disebutkan, "Bagian orang hilang
dari warisan pewaris digantungkan sampai perkaranya menjadi jelas. Apabila dia muncul
dalam keadaan hidup. maka dia mengambil bagian itu. Apabila kematiannya ditetapkan maka
bagiannya dikembalikan kepada siapa saja yang berhak mendapatkannya di antara orang-
orang yang menjadi ahli waris pada saat kematian pewarisnya. Ditetapkan apabila dia muncul
dalam keadaan hidup setelah kematiannya ditetapkan maka dia mengambil apa yang tersisa
dari bagiannya di tangan para ahli waris."

BANCI (KHUNTSA)
Definisi Banci
Banci adalah orang yang jenis kelaminnya diragukan dan tidak diketahui apakah dia laki-
laki atau perempuan, baik karena dia memiliki penis dan vagina sekaligus maupun karena dia
sama sekali tidak memiliki salah satu dari keduanya.

Bagaimana Orang Banci Mewarisi


Apabila terbukti bahwa dia adalah laki-laki maka dia mewarisi sebagai laki-laki. Dan
apabila terbukti bahwa dia adalah perempuan maka dia mewarisi sebagai perempuan.
Kelelakian dan keperempuanan dibuktikan dengan munculnya tanda-tanda masing-masing
dari keduanya. Sebelum balig, tanda-tanda ini diketahui dengan cara kencing. Apabila dia
kencing dengan alat yang khusus digunakan oleh laki-laki maka dia adalah laki-laki. Apabila
dia kencing dengan alat yang khusus digunakan oleh perempuan maka dia adalah perempuan.
Dan apabila dia kencing dengan keduanya maka yang dimenangkan adalah yang lebih
dahulu.
Adapun setelah balig, apabila dia memiliki janggut, menggauli perempuan, atau
bermimpi sebagaimana para laki-laki maka dia adalah laki-laki. Dan apabila dia memiliki
payudara, mengeluarkan susu, haid, atau hamil maka dia adalah perempuan. Dalam kedua
kondisi ini, dia dinamakan dengan banci yang tidak bermasalah (kuntsa ghairu musykil).
Apabila tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan karena tanda-tandanya tidak
tampak, atau tampak dan saling bertentangan, maka dia adalah banci yang bermasalah
(khuntsa musykil). Dan, para fakih berselisih pendapat tentang hukumnya dalam warisan.
Abu Hanifah berpendapat bahwa dia diasumsikan sebagai laki-laki lalu diasumsikan
sebagai perempuan, dan setelah itu dia diperlakukan dengan yang paling buruk di antara dua
kondisi. Bahkan seandainya dia mewarisi berdasarkan satu asumsi dan tidak mewarisi
berdasarkan asumsi yang lain maka dia tidak diberi apa-apa, Dan, seandainya dia mewarisi
berdasarkan kedua asumsi dan bagiannya berbeda maka dia diberi yang paling sedikit di
antara kedua bagian ini.
Malik, Abu Yusuf, dan ulama Syiah Imamiyah berpendapat bahwat dia mengambil
pertengahan antara bagian laki-laki dan perempuan, Asy Syafi'i berpendapat bahwa masing-
masing dari ahli waris dan banci diberi yang paling sedikit di antara dua bagian karena itulah
yang tetap baginya. Sementara Ahmad berpendapat bahwa apabila kejelasan kondisinya bisa
diharapkan maka masing-masing dari dia dan ahli waris diberi yang paling sedikit di antara
bagian, sementara sisanya digantungkan. Dan apabila kejelasan kondisinya tidak bisa
diharapkan maka dia mengambil.
pertengahan antara bagian dan perempuan. Pendapat yang terakhir ini adalah yang paling
kuat. Akan tetapi, undang-undang menganut pendapat Abu Hanifah. Pada pasal 46
disebutkan, "Banci yang bermasalah, yaitu yang tidak diketahui apakah dia laki-laki atau
perempuan, mengambil yang paling sedikit di antara dua bagian. Dan apa yang tersisa dari
warisan diberikan kepada para ahli waris lainnya."

WARISAN ORANG MURTAD


Orang murtad tidak mewarisi orang lain dan tidak diwarisi oleh orang lain. Warisannya
menjadi milik baitulmal. Ini adalah pendapat asy-Syafi'i, Malik, dan Ahmad dalam riwayat
yang masyhur darinya. Sementara ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa apa yang
dihasilkannya sebelum murtad diwarisi oleh para kerabatnya yang muslim dan apa yang
dihasilkannya setelah murtad menjadi milik baitulmal, Hal ini telah dibicarakan secara
terperinci dalam bab Hadd-Hadd.

ANAK ZINA DAN ANAK LIAN


Anak zina adalah anak yang dilahirkan tanpa pernikahan yang sah.. Dan, anak lian adalah
anak yang diingkari nasabnya oleh suami yang sah. Anak zina dan anak lian tidak saling
mewarisi dengan bapak keduanya, berdasarkan ijma' kaum muslimin, karena tidak adanya
nasab yang sah. Keduanya hanya saling mewarisi dengan ibu keduanya.
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa seorang laki-laki melian istrinya pada masa Nabi Saw.
dan mengingkari anaknya. Nabi Saw. pun memisahkan keduanya dan menisbatkan anak itu
kepada sang istri. Makhul berkata, "Rasulullah Saw, menetapkan warisan anak lian bagi
ibunya dan bagit para ahli waris ibunya setelahnya."
Pasal 47 dari Undang-Undang Warisan menyebutkan, "Anak zina dan anak lian mewarisi
ibunya dan kerabat ibunya, serta diwarisi oleh ibunya dan kerabat ibunya."

TAKHARUJ
Definisi Takhāruj
Takhāruj adalah kesepakatan yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengeluarkan
sebagian dari mereka dari bagiannya dalam warisan dengan imbalan sesuatu tertentu dari
warisan atau dari lainnya. Takhruj bisa juga diadakan di antara dua orang ahli waris, dengan
ketentuan bahwa salah satu dari keduanya akan menempati posisi yang lain dalam bagiannya
dengan imbalan sejumlah harta yang dia berikan kepadanya.

Hukum Takharuj
Pada pasal 48 dari undang-undang disebutkan, "Takharuj adalah kesepakatan yang
diadakan oleh para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian dari mereka dari warisan dengan
imbalan sesuatu tertentu. Apabila seorang ahli waris melakukan takhiruj dengan seorang ahli
waris yang lain maka salah satu dari keduanya berhak mendapatkan bagian yang lain dan
menduduki posisinya dalam warisan. Dan apabila seorang ahli waris mengadakan takhiraj
dengan para ahli waris lainnya, jika yang diberikan kepadanya berasal dari warisan maka
bagiannya dibagi di antara mereka berdasarkan porsi bagian-bagian mereka dalam warisan.
Dan jika yang diberikan kepadanya berasal dari harta mereka, sedangkan dalam akad takharaj
tidak dinyatakan tata cara pembagian bagiannya, maka bagiannya dibagi di antara mereka
dengan sama rata.

Cara Penyelesaian Perkara yang Memuat Wasiat Wajib


1. Anak yang mati pada masa kehidupan kedua orangtuanya diasumsikan masih hidup
dan mewarisi. Bagiannya dihitung sebagaimanaseandainya dia ada.
2. Bagian anak yang mati ini dikeluarkan dari warisan dan diberikan kepada cabangnya
yang berhak mendapatkan wasiat wajib apabila sama dengan sepertiga atau kurang
dari sepertiga. Apabila lebih dari sepertiga maka kelebihannya dikembalikan lalu
dibagikan di antara anak-anak lainnya. Bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan.Sisa warisan dibagi di antara para ahli waris hakiki
sesuai dengan bagian-bagian mereka yang sah.

Anda mungkin juga menyukai