SABIQ
DISYARIATKANNYA FARA’IDH
Pada masa Jahiliyah sebelum Islam, orang-orang Arab memberikan warisan kepada anak
anak laki-laki tanpa anak-anak perempuan dan kepada anak-anak yang besar tanpa anak-
anak yang kecil. Ketika itu, ada juga waris-mewarisi dengan Sumpah. Islam menghapuskan
semua itu dan menurunkan aval.
Allah mensyariatkan (mewajibkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk anak-
anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka
bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika din (aik perempuan) Hu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua
ibu-bapak, bagian masing masing seperenain dari harta yang ditinggalkan, jika dia yang
meninggal) mempunyal ak lika dia yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia di warisi
oleh ibu-bapaknya(saja),maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia yang meninggal
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
WARISAN (TARIKAH)
Definisi Warisan
Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit secara mutlak,"¹5 Ibnu Hazm
menetapkan ini dan berkata, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan warisan dalam harta
yang ditinggalkan oleh manusia setelah kematiannya, tidak dalam selain harta. Adapun hak-
hak, ia tidak diwariskan. Tidak ada hak yang diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau
yang semakna dengan harta, seperti hak untuk mengambil manfaat dan menguasai, serta
untuk tinggal di tanah yang dikhususkan untuk pembangunan dan penanaman." Sementara
menurut ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi'i, dan ulama mazhab Hanbali, warisan
mencakup semua harta dan hak-hak yang ditinggalkan oleh mayit, baik hak-hak yang
berkaitan dengan harta maupun yang tidak berkaitan dengan harta.
SYARAT-SYARAT PEWARISAN
Dalam pewarisan disyaratkan tiga hal berikut ini:
1. Kematian pewaris secara hakiki, secara hukum, atau secara asumtif. Kematian secara
hukum, misalnya, qadhi menetapkan kematian orang yang hilang sehingga ketetapan
ini menjadikannya seperti orang yang mati secara hakiki. Kematian asumtif,
misalnya, seseorang menyerang seorang perempuan hamil dengan pukulan hingga
janinnya gugur dalam keadaan mati, lalu diasumsikan bahwa janin ini pernah hidup
meskipun itu tidak dapat dibuktikan.
2. Kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris, meskipun secara hukum, seperti
kandungan. Kandungan dianggap hidup secara hukum karena bisa jadi ruh belum
ditiupkan ke dalamnya. Apabila kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris tidak
diketahui, misalnya pada orang-orang yang tenggelam, orang-orang yang terbakar,
atau orang orang yang tertimpa bangunan, maka tidak ada pewarisan di antara mereka
seandainya sebagian dari mereka mewarisi sebagian yang lain. Harta masing-masing
dari mereka dibagikan kepada para ahli waris mereka yang masih hidup.
Bapak.
"Dan, untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja) maka ibunya mendapat
sepertiga, (QS an-Nisa' [4]: 11).
Bapak memiliki tiga kondisi: satu kondisi yang di dalamnya dia mewarisi dengan bagian
yang telah ditentukan, satu kondisi yang di dalamnya dia mewarisi sebagai ashabah, dan satu
kondisi yang di dalamnya dia mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan dan sebagai
asubuh sekaligus. Kondisi pertama, bapak mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan
(yakni 1/6) apabila bersamanya terdapat keturunan laki-laki yang mewarisi, baik sendirian
maupun bersama yang lain. Dalam kondisi ini, bagian bapak adalah seperenam. Kondisi
kedua, bapak mewarisi sebagai ashabah apabila mayit tidak memiliki keturunan laki-laki
yang mewarisi. Bapak mengambil semua warisan apabila dia sendirian atau mengambil sisa
ashhabul-furudh apabila bersamanya ada seorang di antara mereka. Kondisi ketiga, bapak
mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan dan sebagai 'ashabah sekaligus apabila
bersamanya ada keturunan perempuan yang mewarisi. Dalam kondisi ini, bapak mengambil
bagian seperenam, lalu mengambil sisa dari ushbabul-furadh sebagai ashabah.
Saudara Seibu
Allah Swt. berfirman, "Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara saudara seibu itu lebih dari
seorang maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu," (QS an-Nisà (4) 12).
Yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan di sini adalah saudara-
saudara seibu. Dan dari ayat ini tampak jelas bahwa mereka memiliki tiga kondisi sebagai
berikut:
1. Seorang saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, men dapatkan seperenam..
2. Dua orang atau lebih saudara seibu mendapatkan sepertiga. Sama saja antara laki-laki
dan perempuan.
3. Mereka tidak mewarisi apa-apa dengan adanya cabang yang mewarisi, seperti anak
dan anak dari anak, dan dengan adanya pokok laki-laki yang mewarisi, seperti bapak
dan kakek. Mereka tidak dihalangi oleh ibu atau nenek.
Suami
(QS an-Nisa' [4]: 12), Ayat ini menunjukkan bahwa Suami memiliki dua kondisi. Kondisi
pertama, di dalamnya suami mewarisi setengah. Itu terjadi ketika tidak ada keturunan
(cabang) yang mewarisi, yaitu anak laki-laki dan terus ke bawah, anak perempuan, dan anak
perempuan dari anak laki-laki, baik darinya maupun dari suami yang lain. Kondisi kedua, di
dalamnya suami mewarisi seperempat. Itu terjadi ketika ada cabang yang mewarisi.
Isteri
(QS an-Nisa' [4]: 12). Ayat ini menjelaskan bahwa istri memiliki dua kondisi. Kondisi
pertama, dia berhak memperoleh seperempat ketika tidak ada keturunan (cabang) yang
mewarisi, baik darinya maupun dari istri yang lain. Kondisi kedua, dia berhak memperoleh
seperdelapan ketika ada cabang yang mewarisi. Apabila ada lebih dari satu istri maka mereka
berbagi sama rata dalam seperempat atau seperdelapan itu.
Anak Perempuan
(QS an-Nisâ(4): 11) Ayat ini menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki tiga kondisi.
Kondisi pertama, dia mendapatkan setengah apabila hanya seorang diri. Kondisi kedua, dua
anak perempuan atau lebih mendapatkan dua pertiga apabila bersama mereka tidak ada
seorang anak laki-laki atau lebih. Ibnu Qudamah berkata, "Para ahli ilmu menyepakati bahwa
bagian dua anak perempuan adalah dua pertiga, kecuali riwayat yang tidak sahih dari Ibnu
Abbas." Ibnu Rusyd berkata, "Telah dikatakan bahwa riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas
sama seperti pendapat jumhur." Kondisi ketiga. dia mewarisi sebagai 'ashabah apabila
bersamanya ada seorang anak laki laki. Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan, Demikian pula halnya apabila jumlah anak perempuan lebih. dari
satu atau jumlah anak laki-laki lebih dari satu.
Saudara Perempuan Sekandung
(QS an-Nisa [4]: 176) Saudara perempuan sekandung (suaqiqah) memiliki lima kondisi
sebagai berikut:
1. Seorang saudara perempuan sekandung yang sendirian mendapatkan setengah apabila
bersamanya tidak ada anak, anak dari anak laki-laki, bapak, kakek, atau saudara laki-
laki sekandung
2. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih mendapatkan dua pertiga ketika
orang-orang yang kita sebutkan ini tidak ada.
3. Apabila bersama mereka ada seorang saudara laki-laki sekandung,sedangkan yang
lain tidak ada, maka dia menjadikan mereka sebagai "ashabah. Dan bagian seorang
saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan.
4. Mereka menjadi ashabah bersama anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan
dari anak laki-laki. Mereka mengambil sisa warisan setelah dikurangi bagian anak-
anak perempuan atau anak-anak. perempuan dari anak laki-laki.
5. Mereka tanggal dengan adanya keturunan laki-laki yang mewarisi, seperti anak laki-
laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki, dan dengan adanya pokok laki-laki yang
mewarisi, seperti bapak dan kakek.Tanggalnya mereka dengan adanya bapak
disepakati. Sementara tanggalnya mereka dengan adanya kakek adalah pendapat Abu
Hanifah yang ditentang oleh Abu Yusuf dan Muhammad. Perselisihan pendapat ini
telah dijelaskan di atas.
Ibu
Ibu memiliki tiga kondisi berikut ini:
1. Dia mengambil seperenam apabila bersamanya ada seorang anak, seorang anak dari
anak laki-laki, atau dua orang saudara laki-laki atau dua orang saudara perempuan
secara mutlak, baik sebapak dan seibu, sebapak saja, maupun seibu saja.
2. Dia mengambil sepertiga dari keseluruhan harta apabila orang-orang yang telah
disebutkan ini tidak ada.
3. Dia mengambil sepertiga dari sisa ketika orang-orang yang telah disebutkan ini tidak
ada setelah dikurangi bagian suami atau istri. Ini terjadi dalam dua perkara yang
dinamakan dengan gharrá'iyyah. Perkara pertama, ketika mayit meninggalkan suami
dan kedua orangtua. Perkara kedua, ketika mayit meninggalkan istri dan kedua
orangtua.
'Ashabah ma'a Ghairihi
Ashabah ma'a ghairihi (ashabah bersama orang lain) adalah setiap perempuan yang
membutuhkan perempuan lain agar menjadi ashabak. Ashabah ma'a ghairihi terbatas pada
dua golongan perempuan saja:
1. Seorang atau beberapa orang saudara perempuan sekandung bersama anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki.
2. Seorang atau beberapa orang saudara perempuan sebapak bersama anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki. Mereka mendapatkan sisa warisan setelah
dikurangi bagian ashkabut furudh.
‘Ashabah Sababiyyah
Ashabah sababiyyah adalah tuan yang memerdekakan budaknya. baik laki-laki maupun
perempuan. Apabila dia tidak ada maka warisan diberikan kepada 'ashabah-nya yang laki-
laki.
AUL
Definisi 'Aul Secara etimologis, kata 'aul berarti kenaikan. Dikatakan: 'Ala al-mizan
(Timbangan itu naik), Kata ini bisa juga berarti kecenderungan kepada perbuatan zalim.
Menurut para fakih, aut adalah kelebihan pada porsi-porsi askladbul
furadh yang mengakibatkan berkurangnya bagian-bagian mereka dalam warisan.
Diriwayatkan bahwa perkara 'aut yang pertama kali terjadi dalam Islam diajukan kepada
Umar ra, yaitu perkara seorang suami dan dua orang saudara perempuan. Umar berkata
kepada para sahabat yang bersamanya, "Apabila aku memulai dengan suami atau dua orang
saudara perempuan maka hak yang lain tidak lagi akan sempurna. Berikan pendapat kalian
kepadaku." Abbas bin Abdul Muththalib pun mengusulkan aal kepadanya. Ada yang
mengatakan bahwa yang mengusulkan "aud adalah Ali. Dan, ada yang mengatakan: Zaid bin
Tsabit.
Beberapa Contoh Perkara 'Aul:
1. Seorang perempuan mati meninggalkan seorang suami, dua orang saudara
perempuan sekandung, dua orang saudara perempuan seibu, dan seorang ibu. Ini
dinamakan dengan perkara suuriğivyak karena sang suami mencaci maki qadhi
Syuraih yang terkenal yang telah memberinya 3/10 sebagai ganti setengah." Laki-laki
itu berkeliling dari satu kabilah ke kabilah yang lain seraya berkata, "Syuraih tidak
memberiku setengah dan tidak pula sepertiga." Ketika mengetahui hal itu, Syuraih
mendatangkannya dan menjatuhkan takzir padanya. Syuraih berkata kepadanya.
"Kamu telah mengatakan perkataan yang buruk dan menyembunyikan 'aul."
2. Seorang laki-laki mati meninggalkan seorang istri, dua orang anak perempuan,
seorang bapak, dan seorang ibu. Ini dinamakan dengan perkara mimbariyyah karena
sayidina Ali ra ditanya tentangnya ketika sedang berada di atas mimbar. Dia berkata
dalam khutbahnya, "Segala diusahakannya. Hanya kepada-Nyalah kita pulang dan
kembali." Dan di bagian akhir khutbah, dia menjawab, "Seperdelapan bagian istri
menjadi sepersembilan. Lalu dia melanjutkan khutbahnya.
RADD
Definisi Radd
Kata radd berarti pengembalian. Dikatakan: Radida alaihi hangahu (Mengembalikan
haknya kepadanya). Kata radd juga berarti pengalihan, Dikatakan: Radda 'anhu kaida
'aduwwihi (Mengalihkan darinya tipu daya musuhnya).
Dan, yang dimaksud dengan radd oleh fukaha adalah pemberian kembali apa yang tersisa
dari bagian-bagian askhabud-furůdn kepada mereka sesuai dengan porsi bagian-bagian
mereka, ketika tidak ada orang lain yang berhak mendapatkannya.
Rukun-Rukun Radd
Radd tidak terjadi kecuali dengan tiga rukun berikut ini:
1. Adanya askabul-fürüdh.
2. Adanya kelebihan dari warisan.
3. Tidak adanya 'ashabah.
DZAWUL-ARHAM
Dzawal-arham adalah semua kerabat yang bukan ashiibul-furudh dan bukan pula
'ashabah. Para fakih berselisih pendapat tentang pewarisan mereka. Malik dan asy-Syafi'i
berpendapat bahwa warisan tidak diberikan kepada mereka, tetapi kepada baitulmal. Ini
adalah pendapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Zaid, az-Zuhri, al-Auza'i, dan Dawud.
Sementara Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa warisan diberikan kepada mereka.
Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas'ud. Itu terjadi ketika tidak ada
ashabul-furudh dan 'ashabah. Dan dari Said bin Musayyab diriwayatkan bahwa paman laki-
laki dari pihak ibu mewarisi bersama anak perempuan.
ORANG HILANG
Definisi Orang Hilang
Apabila seseorang menghilang, beritanya terputus, tidak diketahui tempatnya, dan tidak
diketahui apakah dia masih hidup atau sudah mati. lalu pengadilan menetapkan kematiannya,
maka dikatakan bahwa dia adalah orang hilang. Keputusan qadhi bisa jadi didasarkan pada
bukti, seperti kesaksian para saksi yang adil, dan bisa jadi didasarkan pada tanda-tanda yang
tidak layak dijadikan bukti setelah berlalunya masa tertentu.
BANCI (KHUNTSA)
Definisi Banci
Banci adalah orang yang jenis kelaminnya diragukan dan tidak diketahui apakah dia laki-
laki atau perempuan, baik karena dia memiliki penis dan vagina sekaligus maupun karena dia
sama sekali tidak memiliki salah satu dari keduanya.
TAKHARUJ
Definisi Takhāruj
Takhāruj adalah kesepakatan yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengeluarkan
sebagian dari mereka dari bagiannya dalam warisan dengan imbalan sesuatu tertentu dari
warisan atau dari lainnya. Takhruj bisa juga diadakan di antara dua orang ahli waris, dengan
ketentuan bahwa salah satu dari keduanya akan menempati posisi yang lain dalam bagiannya
dengan imbalan sejumlah harta yang dia berikan kepadanya.
Hukum Takharuj
Pada pasal 48 dari undang-undang disebutkan, "Takharuj adalah kesepakatan yang
diadakan oleh para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian dari mereka dari warisan dengan
imbalan sesuatu tertentu. Apabila seorang ahli waris melakukan takhiruj dengan seorang ahli
waris yang lain maka salah satu dari keduanya berhak mendapatkan bagian yang lain dan
menduduki posisinya dalam warisan. Dan apabila seorang ahli waris mengadakan takhiraj
dengan para ahli waris lainnya, jika yang diberikan kepadanya berasal dari warisan maka
bagiannya dibagi di antara mereka berdasarkan porsi bagian-bagian mereka dalam warisan.
Dan jika yang diberikan kepadanya berasal dari harta mereka, sedangkan dalam akad takharaj
tidak dinyatakan tata cara pembagian bagiannya, maka bagiannya dibagi di antara mereka
dengan sama rata.