1. Pengertian Peminangan.
Kata "peminangan" berasal dari kata "pinang, meminang" (kata kerja). Meminang
sinonimnya adalah mel. mar, yang dalam bahasa Arab disebut "khithbah". Ment ut etimologi,
meminang atau melamar artinya (antara lain) neminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri
sendiri atau orang lain)". Menurut terminologi, peminangan ialah "kegiatan upaya ke arah
terjadinya hubungan perjodohan P W
antara seorang pria dengan seorang wanita". Atau, "seorang laki-laki meminta kepada
seorang perempuan.
2. Melihat Pinangan.
Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menyerang hak dan
menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu
ketenteraman.
Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa iddah, baik karena kematian
suaminya, karena talak raj'i maupun talak ba'in, maka hukumnya haram.
Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj'i maka ia haram dipinang, karena masih
ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak.
Menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan muhrimnya. Agama tidak
memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat. Hal ini karena
menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi
bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan
maksiat, Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda:
()رواه احمد.
Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya,
karena ketiganya adalah syaitan.
B. NIKAH
1. PENGERTIAN PERKAWINAN
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata "kawin" yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
Perkawinan disebut juga "pernikahan", berasal dari kata nikah () yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasuk kan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata
"nikah" sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad
nikah.
Dalam Al-Quran di nyatakan bahwa hidup berpasang pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah
naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia, sebagaimana firman Nya dalam surat Az-
Zariyat ayat 49:
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah SWT.
Segolongan fuqaha', yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya
sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah
mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk
sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demi kian itu menurut mereka
ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.
4. TUJUAN PERKAWINAN
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam
rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam
menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga ; sejahtera artinya terciptanya ketenangan
lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga
timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
5. PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu diperhatikan agar
perkawinan itu benar benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi
kepada Tuhan.
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka
untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat"> Atau adanya calon pengantin laki-
laki/perempuan dalam perkawinan.
Syarat adalah sesuatu yang harus ada dan dipenuhi sebelum melakukan ibadah. Syarat akan
mempengaruhi sah atau tidak nya ibadah
Sah adalah sesuatu perkara yang dilakukan sesuai dengan hukum syariat. Seperti salat yang
dikerjakan dengan cukup rukun dan syaratnya.
C. TALAK
1. Pengertian Talak.
Talak terambil dari kata "ithlaq" yang menurut bahasa artinya "melepaskan atau
meninggalkan". Menurut istilah syara', talak yaitu:
a. Berakal
b. Baligh
b. Kedudukan istri yang di talak itu harus berdasarkan atas akad nikah yang batil.
Hukum Islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang
kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara kelangsungan hidup
bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah istri dan anak-anaknya.
Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah istri selama ia menjalankan masa
iddahnya. Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak
dengan sesuka hati.
3. Persaksian talak
persaksian dalam talak merupakan suatu keharusan dan disunnahkan dalam Islam, dan talak
tanpa saksi tetap dipandang sah. Dilihat dari syarat talak, maka kedudukan hukum saksi yaitu
harus, sehingga saksi di sini masuk ke dalam syarat tawsiqi, yaitu syarat tambahan. Dilihat
dari dalilnya, maka kesaksian talak disunnahkan dalam Islam, sehingga saksi di sini juga
masuk sebagai syarat syar’i. Dalil yang digunakan alJazā’irī dalam menetapkan hukum
persaksian dalam talak yaitu surat al-Baqarah ayat 283 dan surat al-Ṭalāq ayat 2. Kedua ayat
tersebut membicarakan tentang kesaksian.
Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adalah tujuan utama adanya
perkawinan dan hal ini sangat diperhatikan oleh syari'at Islam.