Sebagai ahli waris kebudayaan Bugis, generasi kita di tanah Bugis memang perlu
mengetahui seperti apakah gerangan nilai-nilai budaya Bugis itu. Bukan itu saja,
generasi kita sekarang (yang konon tumbuh sebagai lost generation) juga harus
menyadari pentingnya pemahaman akan nilai-nilai budayanya yang agung, sebelum
nilai-nilai budaya asing menggusurnya dengan gelombang raksasa kosmopolitanisme
yang berkiblat pada westernisasi dan modernisasi.
Ini tentu saja persoalan stereotipikal. Tapi ada beberapa kekhawatiran yang muncul
manakala kita berhadapan lagi pada pokok persoalan pembicaraan “kebudayaan
Bugis”, sebagaimana yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Barru dengan tajuk
“Sosialisasi Lembaga Adat” yang diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Propinsi Sulawesi Selatan di ruang “Colliq Pujie”, dengan menghadirkan pemrasaran
budayawan Drs. AmaSaing (Wkl. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Sulsel),
Prof. Dr. Abu Hamid (Guru Besar Antropologi Unhas), dan Drs. Anwar Ibrahim,
M.Si (Lektor Kepala Bidang Studi Budaya Politik Faksas Unhas), beberapa waktu
silam.
Pertama, harus disadari bahwa memang telah terjadi “pergeseran nilai”, dari nilai-
nilai lama ke nilai-nilai baru. Dan mainstream “nilai-nilai baru” yang mendominasi
kehidupan sosiokultural kalangan generasi kita saat ini tak lain dan tak bukan adalah
nilai Barat. Lihat saja, dalam ekspresi tingkahlaku, betapa bangga anak-anak muda
kita kini menerima berbagai atribut Barat; seperti celana jeans, rambut funk, anting-
anting sebelah dan nyanyi jingkrak-jingkrak ala rock ’n roll, alih-alih sarung Bugis,
baju gamis dan syair-syair elong mpugi’. Memang kondisi yang terakhir tetap ada
yang mempertahankannya, tapi sifatnya lebih melembaga, mungkin hanya di
pesantren sebagai tuntutan pendidikan budaya dan agama. Bukan sebuah fenomena
sosiokultural yang berlangsung secara wajar di tengah masyarakat kita.
Kedua, memang terjadi kecendrungan bahwa generasi kita (generasi Bugis) sekarang
tidak lagi mengenal “nilai-nilai budaya Bugis” yang harus dipahami sebagai sebuah
konsep, yang perlu ditransformasikan sesuai dengan kondisi masyarakat dewasa ini.
Ada kecendrungan semakin tinggi pendidikan modern yang diterima oleh kalangan
generasi muda kita, maka “nilai-nilai budaya Bugis” seolah-olah semakin didorong ke
menara gading sebagai konsep tradisional yang tak perlu lagi dikaji atau diapresiasi.
Di sana “nilai-nilai budaya Bugis” akan beku menjadi artefak yang hanya perlu dilap-
lap untuk menunjukkan kebanggaan kita, bahwa kita adalah bangsa yang lahir dari
sebuah pergumulan budaya yang agung. Mengapresiasinya hampir tak mendapat
kesempatan lagi, kecuali dalam seminar-seminar nostalgia dengan sponsorship yang
berlebihan.Sebaliknya, apresiasi terhadap nilai-nilai budaya Barat yang merupakan
proyeksi filsafat materialisme, individualisme, kapitalisme, modernisme, dan
liberalisme, baik yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, nilai-nilai etika-moral,
nilai-nilai estetika, maupun nilai-nilai agama (misalnya kasus “Islam Liberal” di
Indonesia yang disponsori JIL ) yang dianggap modern, dengan sangat baik dan cepat
dapat terakses melalui berbagai sarana dan media komunikasi seperti film, TV,
internet dan majalah-majalah popular serta media-media lainnya.
Keempat, sebagai identitas modern, generasi kita sekarang merasa lebih memiliki
gengsi dan kebanggaan manakala mereka dapat mengakses atribut modern seperti
penggunaan bahasa dan ungkapan-ungkapan asing alih-alih mengakses identitas
lokal-tradisional seperti penggunakan bahasa dan ungkapan-ungkapan budaya Bugis
dalam pergaulan sehari-hari. Lebih ironis lagi, bahkan ada kecendrungan generasi
muda kita menganggap bahwa identitas lokal-tradisional itu sebagai identitas
“kampungan”. Demikian pula sikap dan prilaku dalam hal tata krama (etika-moral),
nilai seni (estetika) dan akses-akses lainnya yang berwarna lokal-tradisional.
Kelima, harus diakui bahwa pendidikan formal kita (sekolah) saat ini kurang
mendukung perkembangan kebudayaan Bugis. Penerapan kurikulum sekolah formal,
misalnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang rumusannya
diserahkan secara otonom pada masing-masing sekolah, ternyata tidak banyak
mengakses budaya Bugis sebagai “muatan lokal”. Pada hal mata pelajaran “muatan
lokal” merupakan peluang yang bagus bagi tiap sekolah untuk menumbuh
kembangkan nilai-nilai kebudayaan Bugis. Pada kenyataan di lapangan, banyak
sekolah yang mengisi “muatan lokal” dengan pelajaran komputer, bahasa Inggris
pariwisata; dan kalau ada yang memilih bahasa daerah sangat sedikit yang menyentuh
nilai-nilai budayanya. Maka janganlah heran kalau anak-anak sekolah kita tidak
mengetahui siapa tokoh Kajaolalido, Puang Rimanggalatung, Nenek Mallomo, Colli
Pujie Arung Pancana Toa dan lain-lain, apalagi mengetahui ajaran-ajaran kebijakan
yang telah mereka letakkan sebagai dasar untuk menetapkan adat dan hukum adat.
Kondisi yang berlangsung di luar tembok sekolah juga lebih kurang sama. Dalam
sebuah pesta adat perkawinan di kampung misalnya, jarang lagi kita melihat remaja-
remaja yang datang ke undangan dengan menggunakan sarung dan kopiah sebagai
sikap santun dan penghargaan dalam mengikuti sebuah upacara adat. Dan mana itu
“wirid rebana” dengan rampak yang bertalu-talu mengiringi sang raja sehari di
pelaminan, serta ke mana larinya “Meong mpalo karellae” setelah di tanah Berru
(Barru) mendapat ade panggampe madecenge? Dongeng masa depan yang
dipancarkan dari sebuah stasiun raksasa bernama modernitas telah menggusur
segalanya. Tokoh-tokoh idola baru yang multi power, bermunculan dalam berbagai
versi sciece fiction, mengganti kedudukan Sawerigading, Bataraguru,Nenek Pakande
dan lain-lain. Dan selera seni (khususnya musik) para generasi muda kita jangan lagi
dikatakan. Lihat saja pada festival musik ataupun pertunjukan-pertunjukan musik
lainnya, semuanya telah dimabuk nada rock ‘n roll.
Fenomena ini memang bukan hakikat dari sebuah kebudayaan, karena kebudayaan
bukan sekedar selera musik dan karya fiksi. Musik (kesenian pada umumnya) dan
juga atribut lainnya boleh dikatakan hanyalah bahagian kecil dari sebuah kebudayaan.
Ia hanyalah sebuah ikon kebudayaan. Namun ikon-ikon tersebut telah menunjuk
bagaimana sikap apresiasi generasi muda kita pada kebudayaan yang sesungguhnya.
Kendati pengertian kebudayaan sangat plural dan beragam dan tidak cukup
dirumuskan hanya dalam segudang buku, namun kebudayaan Bugis dapat diartikan
secara sederhana sebagai sebuah kebiasaan yang dikembangkan oleh adat dan hukum
adat berdasarkan kebijakan-kebijakan yang telah diletakkan oleh para ahli (Toacca)
yang berkaitan dengan persoalan kehidupan sosiokultural masyarakat. Karena itu
adat dan hukum adat menjadi bahagian penting (mainstream) dari sebuah
kebudayaan. Nilai-nilai dasar budaya Bugis tumbuh dari pemikiran (konsep) adat
yang telah diletakkan oleh para Toacca, seperti Kajaolaliddo, Puang Ri
Manggalatung, Maccae ri Luwu, La Waniaga Arung Bila, Nenek Mallomo, Colliq
Pujie dan lain-lain. Dari sanalah sumber-sumber kebudayaan Bugis tumbuh dan
berkembang secara turun temurun melalui adat dan hukum adat yang terus
dipertahankan oleh komunitas budayanya.
Tahap-Tahap Kebudayaan
Sejarah panjang kebudayaan telah mencatat, setidaknya ada tiga tahapan budaya yang
telah mempengaruhi sikap hidup sosiokultural manusia Indonesia pada umumnya,
termasuk manusia Bugis. Ketiga tahap kebudayaan tersebut adalah : (1) tahap mitis,
(2) tahap ontologis, dan (3) tahap fungsional (Prof.dr.c.a.van peursen, Strategi
Kebudayaan, 1976). Ketiga tahap itu secara komunikatif oleh van Peursen dilihat
sebagai sebuah proses pembelajaran (learning process) yang sifatnya tidak hirarkis
dan berlangsung terus menerus. Oleh karena itu van Peursen menyebutnya sebagai
“strategi kebudayaan”.
Tahap mitis, yaitu sebuah tahap kebudayaan dimana manusia merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuatan dewa-dewa alam
raya atau kekuasaan kuburan seperti yang ditunjukkan dalam berbagai mitologi
bangsa primitif. Jejak kebudayaan primitif ini masih tumbuh dan terpelihara hingga
saat ini pada komunitas budaya tertentu, terutama di desa-desa. Bahkan ada upaya
oleh pemerintah maupun masyarakat penganutnya untuk terus mempertahankannya
dengan alasan memelihara warisan tradisi.
Tahap ontologis, yaitu sebuah tahap kebudayaan dimana manusia tidak lagi hidup
dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal
ihwal yang berkaitan dengan eksistensinya. Ia telah meletakkan jarak terhadap segala
sesuatu yang dulu dirasakannya sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran
atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala
sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Tahapan ini berkembang dalam
lingkungan kebudayaan kono yang sudah dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu
pengetahuan. Pada tahapan inilah para Toacca kita mengembangkan konsep
kebijakan dan nilai-nilai budaya menjadi adat dan menetapkan sebagian yang bernilai
hukum sebagai hukum adat (tetabuan) yang tak boleh dilanggar. Maka lahirlah
norma-norma pangadereng, paseng, sulassa, hikmah-hikmah yang diwarikan lontara,
syair-syair pangampe, rapang (akkalebarakeng), nilai-nilai kebajikan dari Lagaligo,
dan lain-lain.
Tahap fungsional, yaitu sebuah tahap kebudayaan dimana sikap dan alam pemikiran
semakin nampak. Tahap ini menandai kehidupan sosikultural manusia modern. Ia
tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungan tradisi yang melahirkannya (sikap mitis),
tidak lagi mengambil jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis). Bahkan
ia telah mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala
sesuatu dalam lingkungannya (yang modern). Keterbukaan menerima budaya asing di
atas landasan rasionalisme sangat menandai tahapan ini. Tahapan ini juga akan
sangat rawan bagi generasi kita yang tidak memiliki akar tradisi budaya yang kuat
karena gelombang modernitas terutama di era globalisasi ini akan mendominasi
segala lini kebudayaan, termasuk agama. Label yang menandainya adalah
“modernitas”, “rasionalitas” dan “liberalitas”. Faham-faham modernisme,
rasionalisme dan liberalisme akan gampang merasuki tahapan ini melalui gelombang
komunikasi dan informasi yang semakin canggih.
Dalam fungsinya sebagai institusi independen “Lembaga Adat”, seperti yang ditulis
Anwar Ibrahim dalam makalahnya berjudul “Lembaga Adat, Institut Independen
dalam Strategi Pemeliharaan dan Pengembangan Nilai-Nilai Budaya Bugis”
(disampaikan pada sosialisasi Lembaga Adat di Kab. Barru) lahir di tengah
masyarakat. Ia dapat memiliki wewenang mengatur, mengurus, dan menyelesaikan
masalah kehidupan sosiokultural masyarakat yang berhubungan dengan adat istiadat.
Sekarang diharapkan dapat memberi pertimbangan yang arif berdasarkan nilai-nilai
budaya dan pangadereng kepada lembaga-lembaga formal kenegaraan dan
kemasyarakatan dalam mengambil keputusan dan penentuan kebijakan.
Namun kita tak perlu pesimis, karena kebudayaan suatu bangsa akan terus terpelihara
dan hal itu dijamin oleh undang-undang, karena nilai-nilai budaya (sebagaimana
dalam pengertian di atas) tak akan lekang dari perhatian pemerintah. Kendati
membentuk Lembaga Adat, sebagaimana telah disosialisasikan oleh Lembaga Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Propinsi Sulawesi selatan di berbagai daerah
memang bukanlah sebuah upaya untuk menentang arus kebudayaan modern yang
datang dari luar. Upaya tersebut hanyalah sebuah strategi untuk mempertahankan,
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (Bugis) yang tumbuh di tiap
daerah berdasarkan karakteristik budaya daerah masing-masing.
Salah satu fungsi “Lembaga Adat” sebagaimana yang disinggung pula oleh Prof. Dr.
Abu Hamid dalam kesempatan yang sama, adalah sebagai upaya untuk melestarikan
budaya daerah melalui pengkajian nilai-nilai adat daerah yang relevan dengan
perkembangan masyarakat. Hasil kajian ini akan menjadi bahan masukan kepada
Bupati sebagai penentu kebijakan pemerintahan suatu daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Masyarakat Bugis Terhadap Perkawinan
Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia
karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau
dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah
perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari
banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat (sompung lolo)
bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di lingkungannya.
(Pelras.C,2006) Dipandang dari sisi kebudayaan, maka perkawinan merupakan
tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia.
Selain itu perkawinan juga mengatur hak dan kewajiban serta perlindungannya
terhadap hasil-hasil perkawinan yaitu anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa
aman (psikologis), serta kebutuhan sosial ekonomi, dan lai-lain. Namun pada
masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki
dan perempuan, namun merupakan juga pertautan antara dua keluarga besar. Ini
disebabkan karena orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan
pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. Sebagaimana digambarkan oleh H. TH.
Chabot dalam bukunya “Verwanschap, stand en sexe in zuid celebes” yang berbunyi
“Pilihan pasangan hidup, bukanlah urusan pribadi namun adalah urusan keluarga dan
kerabat”. Dengan fungsi ini maka perkawinan haruslah diselenggarakan secara
normatif menurut agama dan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus
diselenggarakan secara sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan. (Sapada
AN, 1985) D. Makna Perkawinan Perspektif Gender Dalam masyarakat Bugis
termasuk Bone sebagaimana masyarakat lain di bagian dunia lainnya, lelaki dan
perempuan mempunyai wilayah aktifitas yang berbeda. Namun pada hakikatnya
orang Bugis tidak menganggap perempuan lebih dominan satu sama lain. Hubungan
mereka saling melengkapi sebagai manifestasi dari perbedaan yang mereka miliki.
Perbedaan ini diharapkan dapat saling melengkapi dan bersatu dalam satu ikatan
perkawinan.
Pada awal perkawinan biasanya laki-laki tinggal di rumah orang tua istri (mertua)
sehingga tidak memberikan ruang bagi suami untuk bertindak semena-mena atau
mendominasi sang istri. Sementara ruang di rumah pada hakikatnya telah dibagi
berdasarkan gender. Bagian depan menjadi bagian laki-laki dan bafgain belakang
menjadi wilayah perempuan. Menurut pepatah Bugis wilayah perempuan adalah
sekitar rumah, sedangkan ruang gerak laki-laki adalah “menjulang hingga ke langit”
kata bijak tersebut menjelaskan peran laki-laki dan perenpuan dalam kehidupan
sehari-hari. Aktiftas laki-laki adalah di luar rumah. Dialah tulang punggung
penghasilan keluarga yang bertugas mencari nafkah (sappa laleng atuong). Sementara
perempuan sebagai ibu (indo’ ana’) kewajibannya menjaga anak, menjmbuk padi,
memasak, menyediakan lauk pauk dan membelanjakan penghasilan suami selaku
pengurus yang bijaksana (pattaro malampé nawa-nawa é). Namun perbedaan tugas di
atas bukan menjadi hal yang pokok melainkan saling melengkapi perbedaan itulah
yang mendasari kemitraan diantara suami istri dalam saling menopang kepentingan
mereka masing-masing (sibali perri) dan saling merepotkan (siporépo). (Pelras C.
2006)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja merupakan pertautan dua insan
laki-laki dan perempuan, namun merupakan juga pertautan antara dua keluarga besar.
Ini disebabkan karena orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan
pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya
Dalam acara perkawinan pada masyarakat Bugis Bone ada dua tahap dalam proses
pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Bugis Bone yaitu, tahap sebelum dan
sesudah akad perkawinan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya,
masyarakat Bugis Bone khususnya menganggap bahwa upacara perkawinan
merupakan sesuatu hal yang sangat sakral, artinya mengandung nilai-nilai yang suci.
Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis Bone yang disebut
”Appabottingeng ri Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap kegiatan.
Kegiatan – kegiatan tersebut meliputi :
1. Mattiro (menjadi tamu)
2. Mapessek-pessek (mencari informasi)
3. Mammanuk-manuk (mencari calon)
4. Madduta mallino
5. Mappasiarekkeng
B. Saran
Adat istiadat merupakan sesuatu hal yang sangat berharga dalam suatu kelompok
masyarakat, olehnya itu penulis menyarankan agar setiap masyarakat
mempertahankan, menjaga dan memelihara adat istiadat tersebut agar tetap ada
sampai kapanpun.