Anda di halaman 1dari 14

“Nilai-nilai budaya Bugis”, demikian istilah sakral yang sering digunakan oleh para

budayawan kita dalam menyebut berbagai kebijakan-kebudayaan yang agung di masa


lampau. Nilai-nilai ini sangat plural dan beragam. Terkait di dalamnya nilai-nilai
sejarah, nilai-nilai adat, nilai-nilai sosial, nilai-nilai etika, nilai-nilai estetika dan nilai-
nilai agama yang tumbuh di tengah masyarakat kita dan berakar pada tradisi masa
lampau.

Sebagai ahli waris kebudayaan Bugis, generasi kita di tanah Bugis memang perlu
mengetahui seperti apakah gerangan nilai-nilai budaya Bugis itu. Bukan itu saja,
generasi kita sekarang (yang konon tumbuh sebagai lost generation) juga harus
menyadari pentingnya pemahaman akan nilai-nilai budayanya yang agung, sebelum
nilai-nilai budaya asing menggusurnya dengan gelombang raksasa kosmopolitanisme
yang berkiblat pada westernisasi dan modernisasi.

Ini tentu saja persoalan stereotipikal. Tapi ada beberapa kekhawatiran yang muncul
manakala kita berhadapan lagi pada pokok persoalan pembicaraan “kebudayaan
Bugis”, sebagaimana yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Barru dengan tajuk
“Sosialisasi Lembaga Adat” yang diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Propinsi Sulawesi Selatan di ruang “Colliq Pujie”, dengan menghadirkan pemrasaran
budayawan Drs. AmaSaing (Wkl. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Sulsel),
Prof. Dr. Abu Hamid (Guru Besar Antropologi Unhas), dan Drs. Anwar Ibrahim,
M.Si (Lektor Kepala Bidang Studi Budaya Politik Faksas Unhas), beberapa waktu
silam.

Pertama, harus disadari bahwa memang telah terjadi “pergeseran nilai”, dari nilai-
nilai lama ke nilai-nilai baru. Dan mainstream “nilai-nilai baru” yang mendominasi
kehidupan sosiokultural kalangan generasi kita saat ini tak lain dan tak bukan adalah
nilai Barat. Lihat saja, dalam ekspresi tingkahlaku, betapa bangga anak-anak muda
kita kini menerima berbagai atribut Barat; seperti celana jeans, rambut funk, anting-
anting sebelah dan nyanyi jingkrak-jingkrak ala rock ’n roll, alih-alih sarung Bugis,
baju gamis dan syair-syair elong mpugi’. Memang kondisi yang terakhir tetap ada
yang mempertahankannya, tapi sifatnya lebih melembaga, mungkin hanya di
pesantren sebagai tuntutan pendidikan budaya dan agama. Bukan sebuah fenomena
sosiokultural yang berlangsung secara wajar di tengah masyarakat kita.

Kedua, memang terjadi kecendrungan bahwa generasi kita (generasi Bugis) sekarang
tidak lagi mengenal “nilai-nilai budaya Bugis” yang harus dipahami sebagai sebuah
konsep, yang perlu ditransformasikan sesuai dengan kondisi masyarakat dewasa ini.
Ada kecendrungan semakin tinggi pendidikan modern yang diterima oleh kalangan
generasi muda kita, maka “nilai-nilai budaya Bugis” seolah-olah semakin didorong ke
menara gading sebagai konsep tradisional yang tak perlu lagi dikaji atau diapresiasi.
Di sana “nilai-nilai budaya Bugis” akan beku menjadi artefak yang hanya perlu dilap-
lap untuk menunjukkan kebanggaan kita, bahwa kita adalah bangsa yang lahir dari
sebuah pergumulan budaya yang agung. Mengapresiasinya hampir tak mendapat
kesempatan lagi, kecuali dalam seminar-seminar nostalgia dengan sponsorship yang
berlebihan.Sebaliknya, apresiasi terhadap nilai-nilai budaya Barat yang merupakan
proyeksi filsafat materialisme, individualisme, kapitalisme, modernisme, dan
liberalisme, baik yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, nilai-nilai etika-moral,
nilai-nilai estetika, maupun nilai-nilai agama (misalnya kasus “Islam Liberal” di
Indonesia yang disponsori JIL ) yang dianggap modern, dengan sangat baik dan cepat
dapat terakses melalui berbagai sarana dan media komunikasi seperti film, TV,
internet dan majalah-majalah popular serta media-media lainnya.

Ketiga, perkembangan kebudayaan, yang seiring dan sejalan dengan perkembangan


bahasa ikut mempengaruhi kemajuan maupun kebangkrutan sebuah nilai budaya.
Seperti halnya bahasa Bugis yang komunitasnya hanya sekitar 20.000 penutur dan
dengan penggunaan aksara yang tidak diperhitungkan sebagai sarana tekstual dalam
penyebaran informasi dan komunikasi modern (hingga saat ini belum ada media
cetakseperti majalah ataupunsurat kabar yang menggunakan bahasa Bugis
sebagaimana misalnya harian Akcaya yang berbahasa Sunda ) merupakan sebuah
ancaman degradasi yang serius pula.

Keempat, sebagai identitas modern, generasi kita sekarang merasa lebih memiliki
gengsi dan kebanggaan manakala mereka dapat mengakses atribut modern seperti
penggunaan bahasa dan ungkapan-ungkapan asing alih-alih mengakses identitas
lokal-tradisional seperti penggunakan bahasa dan ungkapan-ungkapan budaya Bugis
dalam pergaulan sehari-hari. Lebih ironis lagi, bahkan ada kecendrungan generasi
muda kita menganggap bahwa identitas lokal-tradisional itu sebagai identitas
“kampungan”. Demikian pula sikap dan prilaku dalam hal tata krama (etika-moral),
nilai seni (estetika) dan akses-akses lainnya yang berwarna lokal-tradisional.

Kelima, harus diakui bahwa pendidikan formal kita (sekolah) saat ini kurang
mendukung perkembangan kebudayaan Bugis. Penerapan kurikulum sekolah formal,
misalnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang rumusannya
diserahkan secara otonom pada masing-masing sekolah, ternyata tidak banyak
mengakses budaya Bugis sebagai “muatan lokal”. Pada hal mata pelajaran “muatan
lokal” merupakan peluang yang bagus bagi tiap sekolah untuk menumbuh
kembangkan nilai-nilai kebudayaan Bugis. Pada kenyataan di lapangan, banyak
sekolah yang mengisi “muatan lokal” dengan pelajaran komputer, bahasa Inggris
pariwisata; dan kalau ada yang memilih bahasa daerah sangat sedikit yang menyentuh
nilai-nilai budayanya. Maka janganlah heran kalau anak-anak sekolah kita tidak
mengetahui siapa tokoh Kajaolalido, Puang Rimanggalatung, Nenek Mallomo, Colli
Pujie Arung Pancana Toa dan lain-lain, apalagi mengetahui ajaran-ajaran kebijakan
yang telah mereka letakkan sebagai dasar untuk menetapkan adat dan hukum adat.
Kondisi yang berlangsung di luar tembok sekolah juga lebih kurang sama. Dalam
sebuah pesta adat perkawinan di kampung misalnya, jarang lagi kita melihat remaja-
remaja yang datang ke undangan dengan menggunakan sarung dan kopiah sebagai
sikap santun dan penghargaan dalam mengikuti sebuah upacara adat. Dan mana itu
“wirid rebana” dengan rampak yang bertalu-talu mengiringi sang raja sehari di
pelaminan, serta ke mana larinya “Meong mpalo karellae” setelah di tanah Berru
(Barru) mendapat ade panggampe madecenge? Dongeng masa depan yang
dipancarkan dari sebuah stasiun raksasa bernama modernitas telah menggusur
segalanya. Tokoh-tokoh idola baru yang multi power, bermunculan dalam berbagai
versi sciece fiction, mengganti kedudukan Sawerigading, Bataraguru,Nenek Pakande
dan lain-lain. Dan selera seni (khususnya musik) para generasi muda kita jangan lagi
dikatakan. Lihat saja pada festival musik ataupun pertunjukan-pertunjukan musik
lainnya, semuanya telah dimabuk nada rock ‘n roll.

Fenomena ini memang bukan hakikat dari sebuah kebudayaan, karena kebudayaan
bukan sekedar selera musik dan karya fiksi. Musik (kesenian pada umumnya) dan
juga atribut lainnya boleh dikatakan hanyalah bahagian kecil dari sebuah kebudayaan.
Ia hanyalah sebuah ikon kebudayaan. Namun ikon-ikon tersebut telah menunjuk
bagaimana sikap apresiasi generasi muda kita pada kebudayaan yang sesungguhnya.

Kendati pengertian kebudayaan sangat plural dan beragam dan tidak cukup
dirumuskan hanya dalam segudang buku, namun kebudayaan Bugis dapat diartikan
secara sederhana sebagai sebuah kebiasaan yang dikembangkan oleh adat dan hukum
adat berdasarkan kebijakan-kebijakan yang telah diletakkan oleh para ahli (Toacca)
yang berkaitan dengan persoalan kehidupan sosiokultural masyarakat. Karena itu
adat dan hukum adat menjadi bahagian penting (mainstream) dari sebuah
kebudayaan. Nilai-nilai dasar budaya Bugis tumbuh dari pemikiran (konsep) adat
yang telah diletakkan oleh para Toacca, seperti Kajaolaliddo, Puang Ri
Manggalatung, Maccae ri Luwu, La Waniaga Arung Bila, Nenek Mallomo, Colliq
Pujie dan lain-lain. Dari sanalah sumber-sumber kebudayaan Bugis tumbuh dan
berkembang secara turun temurun melalui adat dan hukum adat yang terus
dipertahankan oleh komunitas budayanya.

Tahap-Tahap Kebudayaan

Sejarah panjang kebudayaan telah mencatat, setidaknya ada tiga tahapan budaya yang
telah mempengaruhi sikap hidup sosiokultural manusia Indonesia pada umumnya,
termasuk manusia Bugis. Ketiga tahap kebudayaan tersebut adalah : (1) tahap mitis,
(2) tahap ontologis, dan (3) tahap fungsional (Prof.dr.c.a.van peursen, Strategi
Kebudayaan, 1976). Ketiga tahap itu secara komunikatif oleh van Peursen dilihat
sebagai sebuah proses pembelajaran (learning process) yang sifatnya tidak hirarkis
dan berlangsung terus menerus. Oleh karena itu van Peursen menyebutnya sebagai
“strategi kebudayaan”.

Tahap mitis, yaitu sebuah tahap kebudayaan dimana manusia merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuatan dewa-dewa alam
raya atau kekuasaan kuburan seperti yang ditunjukkan dalam berbagai mitologi
bangsa primitif. Jejak kebudayaan primitif ini masih tumbuh dan terpelihara hingga
saat ini pada komunitas budaya tertentu, terutama di desa-desa. Bahkan ada upaya
oleh pemerintah maupun masyarakat penganutnya untuk terus mempertahankannya
dengan alasan memelihara warisan tradisi.

Tahap ontologis, yaitu sebuah tahap kebudayaan dimana manusia tidak lagi hidup
dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal
ihwal yang berkaitan dengan eksistensinya. Ia telah meletakkan jarak terhadap segala
sesuatu yang dulu dirasakannya sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran
atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala
sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Tahapan ini berkembang dalam
lingkungan kebudayaan kono yang sudah dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu
pengetahuan. Pada tahapan inilah para Toacca kita mengembangkan konsep
kebijakan dan nilai-nilai budaya menjadi adat dan menetapkan sebagian yang bernilai
hukum sebagai hukum adat (tetabuan) yang tak boleh dilanggar. Maka lahirlah
norma-norma pangadereng, paseng, sulassa, hikmah-hikmah yang diwarikan lontara,
syair-syair pangampe, rapang (akkalebarakeng), nilai-nilai kebajikan dari Lagaligo,
dan lain-lain.

Tahap fungsional, yaitu sebuah tahap kebudayaan dimana sikap dan alam pemikiran
semakin nampak. Tahap ini menandai kehidupan sosikultural manusia modern. Ia
tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungan tradisi yang melahirkannya (sikap mitis),
tidak lagi mengambil jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis). Bahkan
ia telah mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala
sesuatu dalam lingkungannya (yang modern). Keterbukaan menerima budaya asing di
atas landasan rasionalisme sangat menandai tahapan ini. Tahapan ini juga akan
sangat rawan bagi generasi kita yang tidak memiliki akar tradisi budaya yang kuat
karena gelombang modernitas terutama di era globalisasi ini akan mendominasi
segala lini kebudayaan, termasuk agama. Label yang menandainya adalah
“modernitas”, “rasionalitas” dan “liberalitas”. Faham-faham modernisme,
rasionalisme dan liberalisme akan gampang merasuki tahapan ini melalui gelombang
komunikasi dan informasi yang semakin canggih.

Jika “Lembaga Adat” sebagaimana yang telah disosialisasikan pemerintah melalui


Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan akan dibentuk di
berbagai daerah, maka pada tahapan kebudayaan fungsional inilah tempatnya
“berumah” sangat baik. Sebagai katalisis kebudayaan “Lembaga Adat” akan
memegang peranan penting dalam pengembangan kebudayaan Bugis. Nilai-nilai
kebudayaan Bugis yang belum banyak dipahami dan cendrung di agung-agungkan
hanya sebagai benda artefak, memang sudah saatnya untuk dibongkar-kaji dan
diapresiasi secara mendalam.

Dalam fungsinya sebagai institusi independen “Lembaga Adat”, seperti yang ditulis
Anwar Ibrahim dalam makalahnya berjudul “Lembaga Adat, Institut Independen
dalam Strategi Pemeliharaan dan Pengembangan Nilai-Nilai Budaya Bugis”
(disampaikan pada sosialisasi Lembaga Adat di Kab. Barru) lahir di tengah
masyarakat. Ia dapat memiliki wewenang mengatur, mengurus, dan menyelesaikan
masalah kehidupan sosiokultural masyarakat yang berhubungan dengan adat istiadat.
Sekarang diharapkan dapat memberi pertimbangan yang arif berdasarkan nilai-nilai
budaya dan pangadereng kepada lembaga-lembaga formal kenegaraan dan
kemasyarakatan dalam mengambil keputusan dan penentuan kebijakan.

Lembaga Adat dan Proteksi Nilai-Nilai Kebijakan

Mempertahankan nilai-nilai kebijakan budaya Bugis memang memerlukan proteksi.


Kekhawatiran akan terjadinya keterpurukan budaya Bugis pada beberapa generasi
kemudian memang bukan tak beralasan. Kita bisa melihat bagaimana degradasi
budaya Bugisyang berlangsung di hampir semua sektor nilai yang ada.

Namun kita tak perlu pesimis, karena kebudayaan suatu bangsa akan terus terpelihara
dan hal itu dijamin oleh undang-undang, karena nilai-nilai budaya (sebagaimana
dalam pengertian di atas) tak akan lekang dari perhatian pemerintah. Kendati
membentuk Lembaga Adat, sebagaimana telah disosialisasikan oleh Lembaga Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Propinsi Sulawesi selatan di berbagai daerah
memang bukanlah sebuah upaya untuk menentang arus kebudayaan modern yang
datang dari luar. Upaya tersebut hanyalah sebuah strategi untuk mempertahankan,
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (Bugis) yang tumbuh di tiap
daerah berdasarkan karakteristik budaya daerah masing-masing.

Salah satu fungsi “Lembaga Adat” sebagaimana yang disinggung pula oleh Prof. Dr.
Abu Hamid dalam kesempatan yang sama, adalah sebagai upaya untuk melestarikan
budaya daerah melalui pengkajian nilai-nilai adat daerah yang relevan dengan
perkembangan masyarakat. Hasil kajian ini akan menjadi bahan masukan kepada
Bupati sebagai penentu kebijakan pemerintahan suatu daerah.

BAB   II
PEMBAHASAN
A.       Pandangan Masyarakat Bugis Terhadap Perkawinan
Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia
karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau
dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah
perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari
banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat (sompung lolo)
bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di lingkungannya.
(Pelras.C,2006) Dipandang dari sisi kebudayaan, maka perkawinan merupakan
tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia.

Selain itu perkawinan juga mengatur hak dan kewajiban serta perlindungannya
terhadap hasil-hasil perkawinan yaitu anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa
aman (psikologis), serta kebutuhan sosial ekonomi, dan lai-lain. Namun pada
masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki
dan perempuan, namun merupakan juga pertautan antara dua keluarga besar. Ini
disebabkan karena orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan
pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. Sebagaimana digambarkan oleh H. TH.
Chabot dalam bukunya “Verwanschap, stand en sexe in zuid celebes” yang berbunyi
“Pilihan pasangan hidup, bukanlah urusan pribadi namun adalah urusan keluarga dan
kerabat”. Dengan fungsi ini maka perkawinan haruslah diselenggarakan secara
normatif menurut agama dan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus
diselenggarakan secara sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan. (Sapada
AN, 1985) D. Makna Perkawinan Perspektif Gender Dalam masyarakat Bugis
termasuk Bone sebagaimana masyarakat lain di bagian dunia lainnya, lelaki dan
perempuan mempunyai wilayah aktifitas yang berbeda. Namun pada hakikatnya
orang Bugis tidak menganggap perempuan lebih dominan satu sama lain. Hubungan
mereka saling melengkapi sebagai manifestasi dari perbedaan yang mereka miliki.
Perbedaan ini diharapkan dapat saling melengkapi dan bersatu dalam satu ikatan
perkawinan.
Pada awal perkawinan biasanya laki-laki tinggal di rumah orang tua istri (mertua)
sehingga tidak memberikan ruang bagi suami untuk bertindak semena-mena atau
mendominasi sang istri. Sementara ruang di rumah pada hakikatnya telah dibagi
berdasarkan gender. Bagian depan menjadi bagian laki-laki dan bafgain belakang
menjadi wilayah perempuan. Menurut pepatah Bugis wilayah perempuan adalah
sekitar rumah, sedangkan ruang gerak laki-laki adalah “menjulang hingga ke langit”
kata bijak tersebut menjelaskan peran laki-laki dan perenpuan dalam kehidupan
sehari-hari. Aktiftas laki-laki adalah di luar rumah. Dialah tulang punggung
penghasilan keluarga yang bertugas mencari nafkah (sappa laleng atuong). Sementara
perempuan sebagai ibu (indo’ ana’) kewajibannya menjaga anak, menjmbuk padi,
memasak, menyediakan lauk pauk dan membelanjakan penghasilan suami selaku
pengurus yang bijaksana (pattaro malampé nawa-nawa é). Namun perbedaan tugas di
atas bukan menjadi hal yang pokok melainkan saling melengkapi perbedaan itulah
yang mendasari kemitraan diantara suami istri dalam saling menopang kepentingan
mereka masing-masing (sibali perri) dan saling merepotkan (siporépo). (Pelras C.
2006)

B.     Tahap Kegiatan Perkawinan Adat Masyarakat Bugis Bone


Dalam upacara perkawinan adat masyarakat  Bugis Bone yang disebut
”Appabottingeng ri Tana Ugi”  terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Kegiatan-
kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang berurutan yang tidak boleh saling tukar
menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada masyarakat Bugis Bone yang betul-betul
masih memelihara adat istiadat.Pada masyarakat Bugis Bone sekarang ini masih
kental dengan kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang sewajarnya
dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna, diantaranya agar
kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan abadi, dan hubungan
antar dua keluarga tidak retak.
Kegiatan – kegiatan tersebut meliputi  :
1.         Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya
melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan). Maksudnya
calon mempelai laki-laki melihat calon mempelai perempuan dengan cara bertamu
dirumah calon mempelai perempuan, apabila dianggap layak, maka akan dilakukan
langkah selanjutnya.
2.         Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena
mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang sudah betul-
betul dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah dikenal akrab oleh calon
mempelai laki-laki.
3.         Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk  adalah orang yang datang
mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama
dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan orang tua si
perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi tahukan kepada keluarga
dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jika
kemudian terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu madduta Mallino (duta
resmi)
4.         Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi Duta
Mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki kerumah perempuan untuk
menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya
pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.
Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga
terdekatnya serta orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal lamaran
pada waktu pelamaran. Setelah rombongan To Madduta (utusan) datang, kemudian
dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Dimulailah
pembicaraan antara To Madduta dengan To Riaddutai, kemudian pihak perempuan
pertama  mengangkat bicara,lalu pihak pria menguitarakan maksud kedatangannya.
Apa bila pihak perempuan menerima maka akan mengatakan ”Komakkoitu
adatta, srokni tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya bila demiokian tekad
tuan, kembalilah tuan, pelajarilah saya dan saya pelajari tuan, atau dengan kata lain
pihak perempuan menerima, maka dilanjutkan dengan pembicaraan selanjutnya yaitu
Mappasiarekkeng.
5.         Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa jua disebut dengan
Mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji yang kuat
atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya.Dalam acara ini akan
dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara
perkawinan, antara lain :
a.         Tanra esso (penentuan hari)
b.        Balanca (Uang belanja)/ doi menre (uang naik)
c.         Sompa  (emas kawin) dan lain-lain
Setelah acara peneguhan Pappettuada selesai, maka para hadirin disuguhi
hidangan yang terdiri dari kue-kue adat Bugis yang pad umumnya manis-manis agar
hidup calon pengantin selalu manis (senang) dikemudian hari.

C.       Upacara Sebelum Akad Perkawinan


Sejak tercapainya kata sepakat, maka kedua belah pihak keluarga sudah dalam
kesibukan. Makin tinggi status sosial dari keluarga yang akan mengadakan pesta
perkawinan itu lebih lama juga dalam persiapan. Untuk pelaksanan perkawinan
dilakukan dengan menyampaikan kepada seluruk sanak keluarga dan rekan-rekan.
Hal ini dilakukan oleh beberapa orang wanita dengan menggunakan pakaian adat.
Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin . biasanya tiga
malam berturut-turt sebelum hari pernikahan calon pengantin Mappasau  (mandi
uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang
digoreng samapai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah
acara Mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara Mappacci atau Tudang Penni.
Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing artinya
membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun Pacci (pacar).
Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut
”Wenni Mappacci”. Melaksanakan upacar Mappaci akad nikah berarti calon
mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih serta ikhlas untuk memasuki alam
rumah tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk :  Mappaccing Ati (bersih
hati) , Mappaccing Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng
(bersih/baik tingkah laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai
biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta punya
kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon
mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah
meletakkan daun Pacci itu ditangannya. Dahulu kala, jumlah orang yang meletakkan
daun Pacci disesuaikan dengan tingkat stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk
golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk 
golongan menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya
lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi
perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini.
A’barumbung (mappesau) Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai
wanita. Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing).
Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a’bubu, dan appakanre
bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi
pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin
sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan
mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara
bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A’bubu atau mencukur rambut halus
di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar
dadasa atau hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat
melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau
suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon
mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa
tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon
suami si calon mempelai wanita.
Prosesi Acara Appassili :
Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu
kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon
mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk
segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai
wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat
siraman, prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai
dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta)
yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.
Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja/gentong yang telah
dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke
bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-
masing figure yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah
keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon
mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak
tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.
A’bubbu’ (Macceko)
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan
pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe,
serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bubbu (macceko) dimulai dengan
membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis.
Appakanre bunting
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue
- kue khas tradisional bugis makassar, seperti Bayao nibalu, Cucuru’ bayao, Sirikaya,
Onde - onde/ Umba - umba, Bolu peca dan lain - lain yang telah disiapkan dan
ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut bosara lompo.
Akkorongtigi/Mappaci
Upacara ini merupakan ritual pemakaian daun pacar ke tangan si calon
mempelai. Daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang
pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Wenni Mappaci (Bugis) atau
Akkorontigi (Makassar) yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan
tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta
meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik
serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia. Malam mappaci dilakukan
menjelang upacara pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing calon
mempelai. Acara Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang
sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti
kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai
senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.
Perlengkapannya:
1.         Pelaminan (Lamming).
2.         Bantal.
3.         Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal.
4.         Bombong Unti (Pucuk daun pisang).
5.         Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang
secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar
6.         Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun
pacar) yang ditumbuk halus.
7.         Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak
hingga mekar
8.         Unti Te’ne (Pisang Raja).
9.         Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan).
10.     Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
Setelah prosesi mappacci selesai, keesokan harinya mempelai laki-laki diantar
kerumah mempelai wanita untuk melaksanakan akad nikah (kalau belum melakukan
akad nikah). Karena pada masyarakat Bugis Bone  kadang melaksanakan akad nikah
sebelum acara perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah Kawissoro. Kalau
sudah melaksanakan Kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara
Mappasilukang dan Makkarawa yang dipimpin oleh Indo Botting.
Upacara akad nikah Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan
Assimorong
(Akad Nikah).
Kegiatan ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah telah
ditata dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan dan
melaksanakan prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan kedua calon
mempelai.
Beberapa persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga:
Keluarga Calon Mempelai Wanita (CPW)
1.         Dua pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan memegang Lola menuntun CPP
memasuki rumah CPW.
2.         Seorang ibu yang bertugas menaburkan Bente (benno) ke CPP saat memasuki
gerbang kediaman CPW.
3.         Penerima erang-erang atau seserahan.
4.         Penerima tamu.
Keluarga Calon Mempelai Pria (CPP)
1.         Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:
a.         Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau keranjang
yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.
b.        Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan
kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1 buah
nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain
2.         Perangkat adat, yang terdiri dari:
a.         Seorang laki-laki pembawa tombak.
b.        Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.
c.         Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).
d.        Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).
e.         Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.
3.         Calon mempelai Pria
4.         Rombongan orang tua
5.         Rombangan saudara kandung
6.         Rombongan sanak keluarga
7.         Rombongan undangan.
Prosesi acara Assimorong:
Setelah CPP beserta rombongan tiba di sekitar kediaman CPP, seluruh
rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika CPP telah
siap di bawa Lellu sesepuh dari pihak CPW datang menjemput dengan mengapit CPP
dan menggunakan Lola menuntun CPP menuju gerbang kediaman CPW. Saat tiba di
gerbang halaman, CPP disiram dengan Bente/Benno oleh salah seorang sesepuh dari
keluarga CPW. Kemudian dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan
penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu CPP beserta
rombongan memasuki kediaman CPW untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan
pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin CPW kepada kedua
orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi Ijab dan
Qobul.
Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar
mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang dilanjutkan
dengan appadongko nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar atau mas kawin dari
mempelai pria kepada mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke
depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman kepada
kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara
pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.
D.      Upacara Setelah Akad Perkawinan
Setelah akad perkawinan berlangsung, biasanya biadakan acara resepsi
(walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan doa restu dan
sekaligus menjadi saksi atas pernikahan kedua mempelai agar mereka tidak berburuk
sangka ketika suatu saat melihat kedua mempelai bermesraan.
Pada acara resepsi tersebut dikenal juga yang namanya Ana Botting, hal ini
dinilai mempunyai andil sehingga merupakan sesuatu yang tidak terpisakhkan pada
masyarakat bugis bone. Sebenarnya pada masyarakat Bugis Bone, ana botting tidak
dikenal dalam sejarah, dalam setiap perkawinan kedua mempelai diapit oleh
Balibotting dan Passepik, mereka bertugas untuk mendampingi pengantin di
pelaminan.
Ana Botting dalam perkawinan merupakan perilaku sosial yang mengandung
nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan ciri khas kebudayaan orang Bugis pada
umumnya dan orang Bugis pada khususnya, karena kebudayaan menunjuk kepada
berbagai aspek kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan dan sikap-
sikap serta hasil kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat aatu kelompok
penduduk tertentu. Oleh karena itu, Ana Botting  merupakan kegiatan (perilaku)
manusia yang dilaksanakan oleh masyarakat Bugis Bone pada saat dilangsungkan
perkawinan.
Assimorong/Menre’kawing
Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian
upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah
calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre’kawing
(Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko
Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua
rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan
calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.
Appabajikang Bunting
Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah
selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-
Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian
terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar
mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara
Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas
tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak
tujuh lembar yang dipandu oleh indobotting (pemandu adat). Hal ini mengandung
makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita.
Alleka bunting (marolla)
Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta
pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke
rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia
balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua
mempelai pria dan saudara-saudaranya.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pada masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja merupakan pertautan dua insan
laki-laki dan perempuan, namun merupakan juga pertautan antara dua keluarga besar.
Ini disebabkan karena orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan
pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya
Dalam acara perkawinan pada masyarakat Bugis Bone ada dua tahap dalam proses
pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Bugis Bone yaitu, tahap sebelum dan
sesudah akad perkawinan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya,
masyarakat Bugis Bone khususnya menganggap bahwa upacara perkawinan
merupakan sesuatu hal yang sangat sakral, artinya mengandung nilai-nilai yang suci.
Dalam upacara perkawinan adat masyarakat  Bugis Bone yang disebut
”Appabottingeng ri Tana Ugi”  terdiri atas beberapa tahap kegiatan.
Kegiatan – kegiatan tersebut meliputi  :
1.         Mattiro (menjadi tamu)
2.         Mapessek-pessek (mencari informasi)
3.         Mammanuk-manuk (mencari calon)
4.         Madduta mallino
5.         Mappasiarekkeng
B.       Saran
Adat istiadat merupakan sesuatu hal yang sangat berharga dalam suatu kelompok
masyarakat, olehnya itu penulis menyarankan agar setiap masyarakat
mempertahankan, menjaga dan memelihara adat istiadat tersebut agar tetap ada
sampai kapanpun.

Anda mungkin juga menyukai