NIM : A310210160
Prod : PBSI
Tugas 1
RESUME MATERI
BAB 1
Adapun kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari penerapan teori sastra
dalam melakukan analisis dan penilaian terhadap karya sastra. Kritik sastra sebagai sebuah
ilmu sastra menelaah sebuah karya sastra secara seobjektif dengan menggunakan pisau
bedah teori sastra. Pendek kata, kritik sastra merupakan sebuah ilmu sastra yang
memberikan pertimbangan baik buruknya sebuah karya sastra.
BAB 2
KELAHIRAN DAN PERIODE SASTRA INDONESIA
BAB 3
SASTRA INDONESIA PERIODE 1850 – 1933
Sastra Melayu Tionghoa merupakan karya penulis peranakan Tionghoa yang berkembang
sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20.
Bacaa Liar
Istilah “bacaan liar” sendiri pertama kali diucapkan oleh Rinkes 6pada tahun 1914 untuk
kaum pergerakan, baik berupa novel,roman, puisi, artikel, maupun buku pemikiran. Pada
waktu itu pemerintah merasa khawatir terhadap bacaan berupa surat kabar dan karya
sastra. Pemaparan Razif (2005: 37) menjelaskan kalau pemerintah kolonial mulai gencar
mengatasi derasnya bacaan yang mulai menyinggung kekuasaan kolonial, baik yang
dihasilkan rakyat pribumi atau Tionghoa peranakan.
Sastra Koran
Istilah sastra koran biasanya dipakai orang untuk menjelaskan/mengacu pada prosa, puisi,
atau drama yang diterbitkan dalam koran. Sumbangan koran bagi sastra ini berlanjut terus
hingga masa ini, walau penerbitan buku dan antologi karya sastra sudah banyak bertambah.
Dari Max Haveelar Ke Politik Etis
Mengakibatkan Belanda tidak lagi menjalankan sistem tanam paksa sehingga Belanda
mengalami kekurangan/krisis keuangan, karena dari tanam paksalah belanda dapat
mendapatkan uang.
Balai Pustaka
Karya ini terdiri dari prosa (roman, cerita pendek, novel, dan drama) dan puisi yang
menggantikan syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang mungkin pada masa itu terlalu
memberi pengaruh buruk, banyak menyoroti kehidupan cabul, dan dianggap memiliki misi
politis. Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi,
bahasa jawa dan bahasa sunda, dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa bali, bahasa batak,
dan bahasa Madura.
BAB 4
SASTRA INDONESIA PERIODE 1933 – 1942
Pujangga Baru
Pujangga Baru berawal dari sebuah majalah sastra dan budaya "Poedjangga Barne" yang
terbit 29 Juli 1933. Sastrawan yang menandai periode ini antara lain Sutan Takdir
Alisyahbana, Armijn Pane, Asrul Sani, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Ali Hasymi, J.E Tatengkeng,
Selasih, dan Mozasa.
Polemik Kebudayaan
polemik kebudayaan adalah momen pergulatan pemikiran di kalangan budayawan Indonesia
pada 1930-an. Perdebatan mereka dan tokoh-tokoh budayawan lainnya dikumpulkan oleh
Achdiat Karta Mihardja dan dijadikan buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan Balai
Pustaka pada 1948.
BAB 5
SASTRA INDONESAI PERIODE 1942 – 1945
BAB 6
SASTRA INDONESIA PERIODE 1945 – 1961
BAB 7
SASTRA INDONESIA PERIODE 1961 – 1971
Manifestasi Kebudayaan
Manifesto Kebudayaan merupakan konsep kebudayaan yang mengusung humanisme
universal. Manifes Kebudayaan ini adalah bentuk jawaban atas berbagai teror dalam ranah
budaya yang dilakukan orang-orang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Majalah Horison
Majalah sastra Horison terbit perdana Juli 1966 dengan para pendiri, antara lain, sastrawan
Mochtar Lubis, pelukis Zaini, tokoh pers P.K. Ojong, cendekiawan Arief Budiman, dan Taufiq
Ismail.Sementara itu, budayawan Emha Ainun Nadjib dalam orasi budayanya pada
peringatan 50 tahun Horison mengatakan bahwa hijrahnya majalah sastra tersebut
merupakan langkah tepat karena akan fokus menyasar generasi millenial yang dekat dengan
teknologi informasi dan menjadi pelaku utama kegiatan "online".
Heboh Sastra
HEBOH SASTRA (1968) merupakan peristiwa dalam sastra Indonesia yang merupakan reaksi
atas cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin (pseudonim), dimuat di majalah
Sastra, Agustus 1968. Cerpen tersebut dianggap menghina Tuhan dan agama Islam
BAB 8
SASTRA INDONESIA PERIODE 1971 – 1998
Sastra Populer
Dari kekhasan setiap kurun waktu itu dapat saya deskripsikan periodisasi sastra populer,
yaitu: 1) Periode Zaman Kolonial; 2) Periode 1950-1968-an; 3) Periode 1970- 1990-an; dan 4)
Periode Era Reformasi. Sastra populer di Indonesia telah tumbuh sejak abad 19, terutama
pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Sastra Eksperimentasi
Sastrawan di angkatan 50 lebih berani untuk melakukan eksperimen dan terobosan dalam
berkarya. Muncul karya sastra modern yang titik tolaknya dari sesuatu yang bersifat
tradisional. Hal semacam itu disebut juga improvisasi. Penerbit-penerbit juga perlahan
bangit kembali, hingga dapat mencetak karya para sastrawan. Beberapa sastrawan yang
menonjol pada periode ini adalah Sutarji Calzoum Bachri, Iwan Simatupang, Putu Wijaya,
Arifin C. Noer, Danarto, dan Rendra.
Pengadilan Puisi
Pengadilan Puisi merupakan ”pemberontakan” terhadap dunia perpuisian Indonesia.
Pemberontakan tersebut ditujukan kepada kritikus sastra Indonesia, para penyair mapan
dan majalah sastra yang ada di Indonesia. Kritikus yang dibidik dalam konteks ini adalah H.B.
Jassin dan M.S. Hutagalung, keduanya dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mereka
dianggap tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi Indonesia mutakhir. Penyair
mapan yang dihujat adalah Subagio Sastrowardoyo, Rendra, dan Goenawan Mohamad.
Mereka bertiga dianggap menghambat kewajaran perkembangan puisi Indonesia. Adapun.
majalah sastra yang dijadikan terdakwa adalah Horison, yang dianggap tidak lagi
menampung aspirasi orang banyak karena telah menjadi majalah keluarga atau majalah klik.
Sastra Akademik / Fakultas Sastra
Teori kritik sastra strukturalisme ini didasari adanya sesudah pertengahan 1970-an. Para
kritikus akademik yang mengkritik karya sastra yang hendak bersifat ilmiah dengan sadar,
secara eksplisit, menyatakan mempergunakan teori dan metode strukturalisme sebagai
landasan kritik sastranya. Dapat dikatakan yang pertama kali mengemukakan teori kritik
strukturalisme adalah Sapardi Djoko Damono dalam buku Sosiologi Sastra. Secara singkat
Damono dalam Pradopo (2002:267) mengenukakan beberapa ciri metode strukturalisme.
ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut: (a) perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas;
(b) strukturalisme tidak menelaaah struktur pada permukaanya, tetapi struktur yang ada di
balik kenyataan empiris; (c) analisis menyangkut struktur sinkronis, bukan diakronis; dan (d)
pendekatan strukturalisme bersifat antikausal. stilah kritik sastra akademik, atau yang sering
diistilahkan pula dengan kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis dalam
pola-pola tertentu, antara lain secara format mengacu pada teknik penulisan ilmiah (TPI);
mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu dalam pengkajiannya serta dieksplisitkan,
dan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis kritik ini dapat dilihat pada
skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya
ditulis kalangan akademik: mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga lembaga bahasa dan
sastra.
BAB 9
SASTRA INDONESIA PERIODE 1998 – SEKARANG
Perempuan Pengarang
Terbatasnya hak yang dimiliki wanita Indonesia untuk mengungkapkan segala pemikirannya
pada zaman dahulu, kini telah tersingkap. Wanita yang dulu dipandang sebelah mata dan
hanya dijadikan obyek semata, kini memilih untuk menjadi pelaku perubahan.Wanita
penulis di zaman sekarang pun leluasa menuangkan hasil pemikirannya. Dulu, pengarang
wanita Indonesia menuliskan romansa kesedihan seputar kehidupan mereka, berkutat
tentang kodrat mereka sebagai perempuan.Sekarang, seiring perkembangan zaman dan
gaya hidup, arah tulisan pun berubah.Karya sastra merupakan cerminan suatu
zaman.Ungkapan tersebut memang benar adanya. Jika ingin mengetahui keadaan suatu
kaum atau masyarakat, maka lihatlah bagaimana karya sastra di tengah-tengah
masyarakatnya.Semakin baik keadaan masyarakat, maka semakin baik pula karya sastra.
Begitu pun sebaliknya. Gagasan yang terkandung dalam sebuah karya sastra terbangun
dalam zaman ketika karya sastra tersebut lahir.
Sastra Cyber
Sastra cyber adalah karya sastra yang dikerjakan dan dipublikasikan melalui medium internet
atau teknologi informatika. Awal perkembangan sastra cyber atau sastra dunia maya
memunculkan polemik, baik di kalangan penikmat sastra, pekerja sastra, dan pemerhati
sastra.
Banjir Cerpen
Awal kesusastraan Indonesia tidak bisa lepas akan kehadiran cerpen dikoran atau majalah.
Namun, cerpen yang memanfaatkan media masa tersebut dikaburkan oleh para penulis
sejarah sastra dengan lebih menonjolkan peranan penerbitan yang dalam hal ini adalah balai
pustaka. Balai pustaka dijadikan sebagai pijakan kesusatraan indonesia.Sejarah cerpen
sendiri berasal dari sketsa, fragmen, esai-esai yang mengangkat kehidupan sehari-hari, cerita
ringan dan lucu, cerita bersambung (feulleton) atau kisah tragedi percintaan, semua disebut
cerita. Setiap periode kesusastraan Indonesia tak pernah sepi dari kehadiran cerpen-cerpen
yang dimuat di surat kabar. Begitu pun, pada masa setelah reformasi, ketika kemudahan dan
kebebasan untuk membuat surat kabar dimanfaatkan oleh para sastrawan menggunakan
media ekspresi dalam bentuk cerpen. Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen
Indonesia pada paruh pertama pasca reformasi mengalami buming. Kini, cerpenis dipandang
sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan
sebagai orang yang sedang belajar menulis novel. Cerpen ditempatkan sam pentingnya
dengan rubrik lain. Bahkan, disurat-surat kabar minggu, ia seperti sebuah keharusan. Maka,
hari minggu adalah hari cerpen. Faktor lainnya adalah adanya kegiatan lomba menulis
cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada dihari minggu, tetapi juga pada event atau
peristiwa tertentu. Majalah horison setiap tahun menyelenggarakan lomba penulisan
cerpen, begitu pun diknas, pusat bahasa atau lembaga lain juga melakukan kegiatan serupa.
Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.