Buku Pedoman Peradilan
Buku Pedoman Peradilan
DISCLAMER ........................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................ ii
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................ 1
A. PENDAHULUAN ............................................................ 2
B. ASAS-ASAS DALAM PERADILAN ADAT ............................................................ 5
C. DASAR HUKUM PERADILAN ADAT ............................................................ 7
D. BADAN PENYELENGGARAAN PERADILAN ............................................................ 10
ADAT DI ACEH
DISCLAIMER
“The views expressed in this publication are those of the authors and
do not necessarily represent those of the United Nations or UNDP.”
“Sudut pandang yang dikemukakan dalam buku ini adalah sudut pandang
dari para penulis dan tidak berarti mewakili pandangan
dari Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun UNDP.”
i
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
ii
“Geu pageu lampoeh ngon kawat, Pedoman Peradilan Adat di Aceh
geu pageu nanggroe ngon adat ”,
yang maksudnya
“mengamankan kebun dengan kawat,
mengamankan negeri dengan adat” KATA PENGANTAR
P edoman ini menjadi salah satu unsur mengatur kearifan lokal yang mengikat budaya adat
Aceh dalam kehidupan hukum adat. Kondisi kerukunan hidup aman dan tentram merupakan
bagian dari nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan masyarakat adat. Perwujudan nilai-nilai ini, amat
tergantung pada fungsi dan peran lembaga-lembaga adat dalam masyarakat Aceh yang tertampung
dalam budaya dan struktur kemampuan gampong, mukim, dan lembaga-lembaga adat dalam wilayah
masyarakat setempat.
Gambaran pranata adat tersebut, merupakan jiwa masyarakat adat yang masih hidup dan
berkembang di Aceh. Pranata adat tersebut, mewajibkan pelaksanaan dan sinkronisasi penerapan
hukum adat dalam sistem hukum nasional yang mencakup keanekaragaman hukum. Dalam konteks
ini, bagi masyarakat dan Pemerintah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) hukum adat membuka ruang
pelaksanaan dan kedudukan yang istimewa melalui Undang-undang dan Qanun-qanun yang terkait
dengan Adat.
Sejalan dengan sifat-sifat hukum tersebut, maka untuk menemukan dan menggali semaksimal
mungkin asas-asas hukum adat, Majelis Adat Aceh (MAA) Propinsi NAD, pada tahun 2007, telah
melakukan kerjasama penelitian dengan Proyek Keadilan Aceh dari lembaga internasional Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme, UNDP). Hasil-
hasil penelitian di lapangan, menunjukkan bahwa hukum dan peradilan adat masih hidup, bahkan
berlaku dalam mendukung pembangunan asas-asas hukum baru dalam pemerintahan Aceh.
Penelitian ini, disadari masih ada banyak kekurangan, terutama menyangkut aspek-aspek khas
dari beberapa kaum etnis masyarakat Aceh yang belum sempat diteliti. Namun, penelitian ini tetap
penting karena digunakan dan dikembangkan untuk menjadi dasar-dasar Pedoman ini melalui
proses konsultatif antara MAA, para anggota lembaga-lembaga adat Aceh, para anggota LSM-LSM
Aceh (baik perempuan maupun laki-laki), dan UNDP. Proses ini pula telah mendorong pemberdayaan
lembaga-lembaga adat Aceh.
Oleh karena itu, saya menganjurkan dan menyambut baik penyusunan “Pedoman Umum Peradilan
Adat Aceh” yang dilakukan oleh Tim Kerjasama MAA NAD dengan UNDP, dapat disebarluaskan
dalam masyarakat. Semoga buku ini dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam menggali dan
membenahi pembinaan peradilan adat yang efektif, akuntabel, dapat dipercaya dan adil. Khususnya
untuk menangani hal yang melibatkan pihak perempuan. Buku pedoman ini juga diharapkan dapat
menjadi sumber kajian di dalam perencanaan Qanun-qanun bagi pemerintahan Aceh maupun
pemerintahan kabupaten dan kota. Kepada semua pihak, khususnya Tim Peneliti dan pihak UNDP,
kami ucapkan terima kasih.
iii
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
iv
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
P edoman Peradilan Adat di Aceh adalah sebuah penelitian kerjasama dan proses konsultasi dalam
skala yang luas, yang dilaksanakan pada tahun 2007-2008. Majelis Adat Aceh dan UNDP berterima
kasih kepada tokoh-tokoh adat yang menjadi narasumber dalam penelitian ini dan semua pihak
yang ikut serta di dalam pengembangan pedoman ini. Khususnya, ucapan terima kasih dihaturkan
kepada Bapak Badruzzaman dan Tim MAA termasuk Bapak Abdurrahman, Bapak Muhammad Hamzah,
Profesor Teuku Djuned, dan Bapak Zulfian atas bimbingan ahli dari beliau-beliau, serta umpan
baliknya selama proses tersebut berlangsung. Kami juga berterima kasih kepada Bapak Taqwaddin
dari UNSYIAH dan Afridal Darmi dari LBH Banda Aceh yang telah bertindak sebagai fasilitator pada
sesi-sesi kerja selama konsultasi dengan para pemimpin adat.
Tim Proyek Keadilan Aceh UNDP, yang dipimpin oleh Ibu Sadaf Lakhani, termasuk Fakri Karim,
Faisal Fuady, Ross Clarke dan Mercedes Chavez. Ucapan terima kasih teristimewa juga disampaikan
kepada dua ahli peneliti utama – Nurdin Husin dan Arie Brouwer.
Secara khusus terima kasih juga kami haturkan kepada seluruh pimpinan adat dan para pihak
yang berpartisipasi di dalam diskusi kelompok fokus dan lokakarya peninjauan ulang. Partisipasi
dari para pemimpin adat, perwakilan masyarakat sipil, para ahli Aceh, para ilmuwan dan pejabat
yang telah memastikan bahwa latar belakang penelitian yang membentuk landasan bagi pedoman
ini. Pedoman ini sendiri mencerminkan konteks dan praktek adat Aceh yang berlangsung saat ini dan
juga upaya yang sungguh-sungguh dari para pemimpin adat untuk meningkatkan akses keadilan
yang diberikan melalui adat.
Pedoman ini adalah bagian dari proyek Bappenas - UNDP untuk Proyek Keadilan Aceh, yang
didanai oleh Program Uni Eropa Dukung Aceh Damai.
1
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
A. PENDAHULUAN
TUJUAN PEDOMAN INI
TUJUAN UTAMA
P edoman ini bertujuan untuk memperlengkapi para tokoh adat dengan keterangan jelas dan
menyeluruh yang akan medukung mereka untuk memenuhi perannya sebagai pengurus peradilan
berdasarkan sebuah tata cara yang adil, akuntabel, dan efektif. Dengan memberikan satu set standar
prosedur minimum, Pedoman ini kemudian bertujuan untuk mempertahankan hak-hak dari pihak-
pihak yang bertikai dan mengembangkan pertanggungjawaban dan keadilan yang lebih bermakna
dalam penyelenggaraan peradilan adat terhadap kaum perempuan, anak-anak, dan juga laki-laki.
UNTUK SIAPA?
Pedoman umum ini bertujuan untuk memudahkan para pemangku adat (atau, para pelaksana
peradilan adat) dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan peradilan adat baik di tingkat Gampong
maupun di tingkat mukim. Pedoman ini juga berguna sebagai penyedia keterangan – keterangan
untuk bahan-bahan pertimbangan peradilan formal seperti Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri
dan Mahkamah Syariah. Kemudian bagi orang-orang yang ingin mengerti prosedur adat dengan
lebih baik, termasuk para anggota masyarakat yang mencari pertolongan dari para tokoh adat,
juga organisasi-organisasi dan para pejabat pemerintahan yang terlibat dalam pekerjaan yang
berhubungan dengan peradilan di tingkat masyarakat di seluruh propinsi Aceh.
Sebagian besar dari masyarakat Aceh mencari dan mendapatkan keadilan melalui pemecahan
masalah secara tradisional, secara adat. Akan tetapi, ada penelitian yang dilakukan oleh UNDP yang
memperlihatkan bahwa anggota masyarakat seringkali tidak menyadari bagaimana pertikaian-
pertikaian itu diselesaikan menurut adat1. Sifat-sifat dasar adat yaitu: mengalir, lisan dan tidak
terstruktur (uncodified) dikaitkan dengan perkembangan hukum di Aceh dan berlakunya sistem
hukum formal (Pengadilan Negeri dan mahkamah Syariah) menyebabkan timbulnya berbagai
pengertian baik mengenai lembaga adat maupun prosedur umum dari proses penyelesaian
perselisihan secara adat. Kondisi tersebut diperparah oleh terjadi kevakuman dan hilangnya
kepemimpinan adat yang disebabkan oleh pengungsian dan kematian akibat konflik dan tsunami.
Akibat kevakuman dan hilangnya kepemimpinan adat terjadi keterbatasan dalam penyelesaian
perselisihan secara adat dan membuahkan perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok-kelompok
yang tersisihkan dan rentan seperti perempuan, janda korban konflik, orang cacat, orang tua, yatim
piatu, anak dan lain-lain.
Pedoman ini diharapkan bisa membahas akibat dan masalah ini dengan menjelaskan peran-
peran yang sebenarnya dari para penyelenggara peradilan dan dengan memberikan seperangkat
standar prosedural untuk diterapkan pada semua perkara adat. Dengan meningkatkan kesadaran
akan standar-standar ini, Pedoman ini berusaha memberikan kejelasan dan keadilan yang lebih baik
dalam penyelesaian pertikaian adat untuk keuntungan para penyelenggara peradilan dan anggota
masyarakat.
1
referensi UNDP, ‘Access to Justice in Aceh – Making the Transition to Sustainable Peace and
2 Development in Aceh’, 2006.
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pedoman umum ini, sangat penting dalam rangka menciptakan keseragaman pemikiran dan
tindakan antara para pemangku adat seperti Keuchik, Tuha Peuet, Imeum Meunasah. Hal ini didasarkan
pada temuan di lapangan yang menunjukkan bahwa masih ada kegamangan dalam penyelenggaraan
peradilan adat, terutama di kalangan pemangku adat generasi sekarang ini. Disamping itu, juga
bertujuan agar pedoman yang dibuat dalam bentuk tertulis ini dapat mudah dirujuk saat apapun
dibutuhkan, pula dengan mencakup legislasi, para tokoh adat dapat melihat asas-asasnya peradilan
adat. Oleh karena itu, pada akhirnya para penyelenggara peradilan adat diwajibkan menerapkan
pedoman umum ini sehingga putusan yang mereka tetapkan tidak bertentangan dengan rasa
keadilan dan sekaligus tidak bertentangan pula dengan hak asasi manusia.
METODOLOGI
Pedoman Adat ini berdasarkan sebuah analisa dari hukum (legislasi) yang mengatur adat di
Aceh dan sebuah penelitian lapangan yang rinci mengenai pelaksanaan peradilan adat yang nyata.
Penelitian ini dilakukan di 17 Gampong, 10 kecamatan yang terletak dalam 4 kabupaten, yaitu: Aceh
Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah dan Aceh Selatan.
Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara: (1) Penelitian kepustakaan yaitu dengan
menganalisa berbagai bahan bacaan, hasil penelitian terdahulu, dan peraturan perundang-undangan
(Qanun-Qanun) yang terkait dengan topik penelitian ini dan (2) Penelitian lapangan, yang datanya
diperoleh melalui mewawancarai sejumlah responden yang menggunakan metode diskusi terfokus
dan wawancara mendalam secara individu (satu persatu). Yang dipilih sebagai responden untuk
penelitian ini adalah para tokoh adat yang terlibat dalam proses persidangan peradilan adat, yaitu
Keuchik, Sekretaris Keuchik, Tuha Peuet, Imeum Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laot, dan
Pawang Glee serta Peutua Seuneubok.
Materi pedoman ini disusun berdasarkan hasil temuan di lapangan dan lokakarya ilmiah pada
tanggal 12 Nopember 2007 di Grand Nanggroe Hotel, Banda Aceh, NAD, yang dihadiri oleh Ketua
Majelis Adat Aceh dan para perwakilan tokoh adat dari berbagai lokasi penelitian (Aceh Besar, Aceh
Utara, Aceh Tengah dan Aceh Selatan). Kemudian pula dihadiri oleh Pengadilan Negeri dan Kejaksaan
Negeri Banda Aceh, Mahkamah Syariah Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, perwakilan BRR, United Nations Food and Agricultural Organization (UN-FAO), Oxfam,
Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), International Development Law Organization (IDLO),
Akademisi Universitas Syiah Kuala (UNSyiah), Jaringan Komunikasi Masyarakat Adat Aceh (JKMA),
Lembaga Bantuan Hukum Aceh (LBH Aceh), dan Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI).
Pada 13 Nopember 2007 dilanjutkan dengan diskusi mendalam terbatas kepada para
penyelenggara peradilan adat yang berasal dari lokasi penelitian. Dari diskusi tersebut, terungkap
sejumlah perihal yang sangat penting yang berhubungan dengan proses penyelenggaraan peradilan
adat di tingkat Gampong dan mukim. Perihal-perihal tersebut menjadi asas dan kerangka draf
Pedoman ini.
Setelah diskusi tersebut, diselenggarakan sebuah lokakarya yang dilaksanakan pada tanggal
26 februari 2008 untuk memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang terkait untuk memberikan
masukan ke dalam draf Pedoman. Hal ini menyebabkan perubahan-perubahan penting, termasuk
pemakaian bahasa yang disederhanakan dan memastikan bahwa Pedoman ini memang dirancang
dengan tepat untuk masyarakat pedesaan.
3
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Setelah itu, sebuah bacaan bersama dilakukan dengan beberapa anggota MAA, sekelompok
kecil pemangku adat, dengan beberapa wakil pemangku adat untuk memastikan rancangan
pedoman adalah mudah digunakan untuk mengimplementasikan sebuah percontohan awal yang
kecil (test cetak). Proses ini memberikan kesempatan untuk mendapatkan umpan balik dari MAA
juga beberapa pihak yang bersangkutan, termasuk para pemimpin adat tersebut, untuk kemudian
diperhitungkan ke dalam isi dan rancangan terakhir.
Melalui proses ini, setiap usaha telah dilakukan untuk memastikan bahwa Pedoman ini telah
dikembangkan dengan cara konsultatif, didorong oleh kebutuhan para tokoh adat, dan diterima oleh
pihak-pihak yang terkait, misalnya MAA yang mencerminkan praktek umum secara tepat. Meskipun
diakui bahwa penelitian terbatas yang menghasilkan Pedoman ini tidak merangkum kerumitan dan
keanekaragaman dari peradilan adat di seluruh NAD, diharapkan dengan mengenali asas-asas dan
pelaksanaan-pelaksanaan umum ini, standar minimum dan baku untuk peran dan prosedur dalam
peradilan adat dapat dikenali.
KETERBATASAN-KETERBATASAN
Penelitian dan hasilnya yang digunakan sebagai asas Pedoman dilaksanakan cenderung meliputi
dan fokus pada daerah pesisir pantai NAD. Oleh karena itu, disadari sepenuhnya bahwa pedoman
umum ini lebih banyak diwarnai oleh sistem hukum adat masyarakat pesisir Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Namun demikian, dalam banyak hal pedoman tersebut sangat membantu para tokoh
adat yang berasal dari luar daerah pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini mengingat
prinsip-prinsip dasar yang diterapkan dalam peradilan adat adalah sama rata untuk seluruh wilayah
Propinsi NAD.
Maka dari itu, Pedoman ini terfokus pada proses atau prosedure peradilan adat dibandingkan
pada substansi atau unsur. Meskipun perbedaan-perbedaan dalam proses pasti ada dari satu daerah
ke daerah yang lain, Pedoman ini menjelaskan beberapa prinsip umum dan pedoman dasar yang
masih relevan di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi, bukannya mencoba mengatur tindakan
para pemimpin adat, akan tetapi Pedoman ini menyatukan seperangkat prinsip-prinsip umum yang
bertujuan untuk membangun kepaduan/koherensi dan keadilan yang lebih baik dalam prosedur.
Pedoman umum di bidang peradilan adat ini menampung sejumlah hal penting misalnya: (1)
Asas-Asas dalam Peradilan Adat, (2) Dasar Hukum Peradilan Adat, (3) Badan Penyelenggara Peradilan
Adat, (4) Jenis Sengketa dan Prosedur Penyelesaiannya, (5) Teknik Bermusyawarah (mediasi dan
negosiasi) dalam Peradilan Adat, (6) Putusan Peradilan Adat dan Pelaksanaannya, dan (7) Mekanisme
Pelimpahan Kasus Dari Peradilan Adat Ke Peradilan Formal, (8) Keterlibatan Perempuan Dalam Proses
Peradilan Perdamaian Adat.
4
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
A sas merupakan tatanan nilai sosial yang menduduki tingkat tertinggi dari berbagai sistem
hukum, dan tidak boleh disimpangi oleh sistem hukum manapun juga. Dalam sistem hukum adat
Aceh, dikenal sejumlah asas yang pada umumnya dapat diterima oleh berbagai sistem hukum
lainnya. Sejauh ini, ada sejumlah asas yang telah dihimpun2 sebagai berikut:
TERPERCAYA ATAU
MUFAKAT
AMANAH
KESETARAAN
JUJUR
DIDEPAN HUKUM/
NON-DISKRIMINASI DAN KOMPETENSI
ASAS
ASAS
PENYELESAIAN
DAMAI/KERUKUNAN
BERKEADILAN
(ULEUE BEK MATE
RANTENG EK PATAH)
Diperkirakan masih ada beberapa asas lainya yang belum diidentifikasikan ataupun diteliti.
5
2
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
7. Musyawarah/Mufakat (Consensus)
Keputusan yang dibuat dalam peradilan adat berdasarkan hasil musyawarah mufakat yang
berlandaskan hukum dari para pelaksana peradilan adat.
6
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
P elaksanaan peradilan adat yang dewasa ini didukung oleh sejumlah peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain, payung hukum pemberdayaan lembaga-lembaga adat dan hukum adat
sangat memadai. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan secara
tegas bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari Gampong dan Mukim.
Adapun badan-badan resmi yang menyelenggarakan peradilan adat yaitu Lembaga Gampong dan
Lembaga Mukim.
Di bawah ini adalah hukum-hukum dan peraturan-peraturan utama yang mengatur pelaksanaan
adat di Aceh:
• Daerah diberikan kewenangan untuk menghidupkan adat yang sesuai dengan Syariat Islam.
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XIII tentang
Lembaga Adat mengatakan bahwa:
• Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat
[Pasal 98, Ayat (2)].
• Lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud di atas meliputi3
LEMBAGA-LEMBAGA
ADAT
Keujruen
Syahbanda
Blang
3
Istilah yang ditulis dalam diagram ini ataupun istilah lain
7
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
4. Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam memberikan wewenang kepada Mukim untuk:
5. Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, menegaskan bahwa tugas dan kewajiban pemerintahan Gampong adalah:
8
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Dalam kaitannya dengan peradilan adat, draf MoU tersebut menegaskan bahwa, antara lain:
(1) Mengakui bahwa lembaga Peradilan Adat sebagai lembaga Peradilan Perdamaian;
(2) Memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada peradilan adat untuk menyelesaikan
masalah sosial kemasyarakatan, dan jika gagal baru diajukan ke persidangan Mukim;
(3) Ada sengketa perkara yang bukan kewenangan Gampong/Mukim dan oleh karena itu
harus diselesaikan oleh lembaga peradilan negara;
(4) Menghendaki adanya tertib administrasi peradilan adat.
9
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
D. BADAN PENYELENGGARAAN
PERADILAN ADAT DI ACEH
P ada umumnya penyelengaraan Peradilan Perdamaian Adat dilakukan oleh Lembaga Gampong
dan Mukim. Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh. Hanya saja, di beberapa daerah tertentu,
seperti Aceh Tengah dan Aceh Tamiang, mereka menggunakan istilah lain. Namun, fungsinya tetap
yang sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat.
KEUCHIK
sebagai
Ketua Sidang
IMEUM ULAMA,
TUHA PEUET MEUNASAH CENDEKIAWAN,
sebagai Anggota
sebagai Anggota
TOKOH ADAT, DSB
sebagai Anggota
SEKRETARIS
GAMPONG ULEE JURONG ULEE JURONG
sebagai Panitera sebagai Penerima sebagai Penerima
Laporan awal Laporan awal
Para penyelenggara peradilan adat sebagaimana ditulis di atas tidak ditunjuk atau diangkat
“secara resmi”, tetapi karena jabatannya sebagai Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peuet, dan
Ulee Jurong maka mereka secara otomatis menjadi para penyelenggara peradilan adat. Mereka
“secara resmi5” menjadi penyelenggara peradilan adat justru dipercayai oleh masyarakat. Pada saat
ini, keanggotaan peradilan adat terbatas pada kaum lelaki, tetapi juga harus melibatkan kaum
perempuan. Mereka terlibat dalam proses penyelenggaraan peradilan adat melalui jalur Tuha Peuet
dimana salah satu unsur Tuha Peuet harus ada wakil dari kaum perempuan.
4
Istilah lain untuk jabatan yang ditulis didalam diagram ini juga berlaku.
10 5
Kata lain, ex-oficio.
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Sementara itu, struktur penyelenggaraan peradilan adat di tingkat mukim dapat digambarkan
sebagai berikut:
SEKRETARIS
MUKIM
sebagai
Panitera
ULAMA,
MAJELIS ADAT IMEUM TUHA PEUET CENDIKIAWAN
IMEUM CHIEK MUKIM
MUKIM MUKIM TOKOH ADAT,
sebagai sebagai LAINNYA
sebagai Anggota sebagai
Anggota Ketua Sidang Anggota sebagai Anggota
Badan perlengkapan peradilan adat di tingkat mukim dan mekanisme kerjanya hampir sama
dengan tingkat Gampong.
2) Kasus banding
yaitu kasus yang telah
ditangani ditingkat Gampong,
namun salah satu pihak
merasa tidak puas terhadap
putusan tersebut
6
Ulama, tokoh adat/cendikiawan lainnya, selain Tuha Peuet Mukim dan sesuai dengan kebutuhan.
11
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Hal ini senada dengan yang diperintahkan oleh Perda No. 7, Tahun 2000 bahwa:
• Gampong diberi wewenang dalam masa 2 bulan dapat menyelesaikan persengketaan, bila
tidak selesai dibawa ke rapat adat Mukim [pasal 11 ayat (2)]
• Mukim diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara selama 1 (satu) bulan terhitung sejak
permohonan banding diajukan [pasal 15 ayat (1)]
• Lembaga Mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal
adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat (Pasal 4,
Huruf e);
• Majelis Adat Mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan adat,
menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan
adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaraan adat, memberikan kekuatan
hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat [Pasal 12, Ayat (2)].
khususnya yang menyangkut dengan kasus yang diteruskan ke tingkat Mukim, Qanun 5 Tahun
2003 tentang Pemerintahan Desa Dalam Propinsi NAD menegaskan bahwa:
Peradilan Tingkat Mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan dalam
jurisdiksi adat. Perkara-perkara pidana berat atau sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan
pada tingkat Mukim, akan diselesaikan oleh lembaga Peradilan Negara sesuai dengan ketentuan
undang-undang dan peraturan yang berlaku:
Lembaga
Peradilan Tiada penyelesaian dan/atau perkara pidana berat Peradilan
Adat Mukim Negara
12
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
T erlibat di dalam penyelesaian perkara adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Para anggota
masyarakat menaruh kepercayaan kepada para pemimpin adat untuk menyelesaikan pertikaian
secara adil dan damai. Berikut ini adalah beberapa tanggung jawab para pemangku adat untuk
memastikan bahwa prinsip-prinsip dalam peradilan adat dipegang teguh dalam setiap proses
penyelesaian sengketa secara adat.
TANGGUNG JAWAB
UTAMA
PEMIMPIN ADAT
melaksanakan mencatat
memutuskan melindungi Mengarsipkan
proses proses dan
dengan adil hak para pihak dokumen
peradilan keputusan
13
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
14
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
B eberapa kasus yang menjadi kewenangan peradilan adat (kompetensi) peradilan adat
sebagaimana hasil temuan di lapangan dan hasil rapat koordinasi antara MAA dengan lembaga
penegak hukum adalah sebagai berikut:
Berdasarkan rancangan konsep MOU antara gubernur, MAA dan Polda NAD bahwa perkara-
perkara ringan yang memungkinkan diselesaikan di tingkat komunitas menjadi kewenangan
paradilan adat. Di satu sisi pembagian kewenangan peradilan adat untuk perkara-perkara ringan atau
sederhana, namun dalam realitasnya penanganan perkara-perkara ini jauh lebih rumit dilakukan.
Hal ini karena ada perkara-perkara pada awalnya merupakan perkara ringan, namun pada tahap
selanjutnya perkara ini menjadi perkara berat, atau pada awalnya perkara tersebut bersifat perdata
misalnya perkara pertikaian batas tanah, dapat saja berkembang menjadi perkara yang bersifat
pidana, karena terjadinya tindak kekerasan.
15
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lebih lanjut, tanggung jawab-tanggung jawab dari seorang tokoh adalah untuk memastikan
bahwa para pihak telah diinformasikan mereka mempunyai pilihan untuk membawa kasusnya ke
bidang penyelenggaran peradilan formal (merujuk ke bagian K untuk detail yang lebih rinci). Tokoh
adat tersebut juga boleh merujuk para pihak ke Pos bantuan Hukum ataupun LSM-LSM yang sesuai,
untuk didampingi.
Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan dalam rumah tangga yang
bukan penganiayaan berat, jika perempuan menginginkan penyelesaian dengan peradilan adat,
maka perlu diupayakan mekanisme perlindungan terhadap korban oleh pemangku adat, sehingga
jika upaya damai telah dilakukan dan perempuan/istri telah kembali ke rumah suami/orang tuanya
kekerasan terhadap perempuan/istri tidak terulang kembali
16
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
H ukum adat tidak membedakan antara kasus perdata dan pidana. Namun untuk memudahkan
penjelasan prosedur penanganannya, ada pertimbangan-pertimbangan dan prosedur-prosedur
yang perlu diterapkan jika kasus pidana sedang ditangani dan diselesaikan. Kasus/perkara pidana
yang paling umum jatuh dibawah payung adat adalah pencurian dan kekerasan. Untuk kasus-kasus
tersebut, prosedur yang berlaku tercatat dibawah ini. Namun, ada pertimbangan-pertimbangan
khusus, terutama jika perempuan dan/atau anak terlibat. Secara umum prosedur penyelesaian
sengketa melalui peradilan perdamaian adat dilakukan dengan prosedur dan tahapan-tahapan
sebagai berikut:
I. PENYELESAIAN SENGKETA
Untuk sengketa perdata, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut:
1. Pelaporan yang dilakukan oleh pihak korban atau kedua belah pihak kepada Kepala Dusun
(Kadus) atau kepala lorong atau Peutuwa Jurong tempat dimana peristiwa hukum tersebut
terjadi (asas teritorialitas). Namun tidak tertutup kemungkinan laporan tersebut dapat juga
langsung ditujukan kepada Keuchik. Adakalanya kepala dusun atau Peutuwa Jurong itu sendiri
yang menyelesaikannya, jika kasusnya tidak serius. Namun jika kasus tersebut sangat serius dan
rumit serta melibatkan kepentingan umum, maka kepala dusun segera melapor kepada Keuchik;
2. Segera setelah Keuchik menerima laporan dari Kadus atau dari pihak korban, maka
Keuchik membuat rapat internal dengan Sekretaris Keuchik, Kepala Dusun, dan Imeum
Meunasah guna menentukan jadwal sidang; Pelaporan tersebut tidak boleh dilakukan
di sembarang tempat seperti pasar dan warung kopi, tetapi harus di rumah atau di Meunasah;
3. Sebelum persidangan digelar, Keuchik dan perangkatnya (Sekretaris Keuchik atau Sekretaris
Gampong, Imeum Meunasah dan Para Kadus atau Peutuwa Jurong) melakukan pendekatan
terhadap kedua belah pihak. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya dan sekaligus menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan
secara damai. Pada saat pendekatan tersebut, para pelaksana peradilan adat akan menggunakan
berbagai metode mediasi dan negosiasi, sehingga kasus itu dapat segera diselesaikan;
4. Pendekatan tidak hanya dilakukan oleh Keuchik dan perangkatnya, tetapi dapat juga dilakukan
oleh orang bijak lainnya. Untuk kasus yang sensitif yang korbannya kaum perempuan atau kaum
muda, maka pendekatan biasanya dilakukan oleh istri Keuchik atau tokoh perempuan bijak
lainnya;
5. Jika kesepakatan penyelesaian secara damai telah disetujui oleh kedua belah pihak,
maka Sekretaris Keuchik akan mengundang secara resmi kedua belah pihak untuk
menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan;
17
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
6. Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya atau saudaranya
yang lain sebagai juru bicara;
7. Persidangan bersifat resmi dan terbuka yang biasanya digelar di Meunasah atau tempat-
tempat lain yang dianggap netral;
8. Forum persidangan terutama posisi/tata letak duduk para pihak dan para pelaksana
peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatannya formil secara adat;
9. Penetapan tempat duduk adalah sebagai berikut: Keuchik, selaku Ketua Sidang, duduk dalam
satu deretan dengan Tuha Peuet, Imeum Meunasah, Cendikiawan, Ulama dan Tokoh Adat
Gampong lainnya. Di sebelah kiri Keuchik, agak sedikit ke belakang, duduk Sekretaris
Keuchik (sebagai Panitera). Di deretan depan atau di hadapan Keuchik merupakan tempat
untuk para pihak atau yang mewakilinya. Sementara itu, para saksi mengambil tempat disayap
kiri dan kanan forum persidangan. Di belakang para pihak, duduk sejumlah peserta atau
pengunjung sidang yang terdiri dari masyarakat Gampong dan keluarga serta sanak saudara
dari para pihak;
SEKRETARIS DESA
(Panitera)
PENGUNJUNG SIDANG
(Masyarakat Setempat dan
Sanak Saudara Para Pihak)
18
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
10. Persidangan berlangsung dengan penuh khitmad dan Keuchik mempersilahkan para
pihak atau yang mewakilinya untuk menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat
oleh Panitera (Sekretaris Gampong);
11. Keuchik mempersilahkan para saksi untuk menyampaikan kesaksiannya dan biasanya, jika
dirasa perlu, para saksi sebelum menyampaikan kesaksiannya akan diambil sumpah terlebih
dahulu;
12. Keuchik memberikan kesempatan kepada Tuha Peuet atau Tuha Lapan menanggapi
sekaligus menyampaikan alternatif penyelesaiannya;
13. Keuchik mempersilahkan para ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk
menanggapi dan menyampaikan jalan keluar terhadap kasus tersebut;
14. Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa yang
akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang akan
dijatuhkan, maka Keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah mereka siap
menerima putusan damai tersebut. Jika jawaban mereka adalah menerima putusan itu, maka
panitera menulis diktum putusan tersebut yang sering disebut surat perjanjian perdamaian;
15. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian,
maka para pihak dapat mengajukan ke forum persidangan Mukim. Ketidaksetujuan para pihak
terhadap putusan peradilan adat Gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan
putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke persidangan
Mukim;
16. Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk
menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguh-
sungguh;
17. Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak, disimpan sebagai arsip
baik di kantor Keuchik maupun di kantor Mukim;
18. Setelah putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya
putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian:
• Kepada salah satu atau kedua belah pihak akan dikenakan sanksi, yang berat ringannya
sangat tergantung pada jenis pelanggaran atau pidana adat yang mereka lakukan;
• Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui upacara perdamaian dengan membebankan
sesuatu pada para pihak atau pada satu pihak tergantung keputusan (ada hubungan
dengan tingkat kesalahan);
Bila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka barulah
pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian di Meunasah
dihadapan umum. Terhadap perkara-perkara yang telah diputuskan dan telah diterima, maka
pelaksanaan eksekusi dilakukan di Meunasah di depan umum, atau di tempat lain di rumah
atau Mesjid (atas persetujuan bersama).
19
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
19. Putusan penyelesaian sengketa itu dicatat dalam sebuah buku induk registrasi kasus
yang di dalam buku tersebut memuat hal-hal sebagai berikut:
a) Nomor
b) Tanggal pelaporan dan nama pelapor;
c) Jenis kasus
d) Uraian singkat pokok perkara
e) Tanggal penyelesaiannya
f) Uraian singkat putusan perdamaian (Merujuk ke Lampiran II Buku Induk Registrasi Kasus)
Prosedur dan kerangka penyelesaian perkara pidana hampir sama dengan prosedur yang
dijelaskan di atas. Hanya saja ada beberapa tindakan awal yang harus dilakukan oleh para pelaksana
peradilan adat guna menghindari terjadinya sengketa yang lebih berat. Dengan demikian, prosedur
penyelesaian kasus yang bersifat pidana biasanya diawali dengan langkah-langkah berikut:
a) Memberi pengamanan secepatnya melalui pemberian perlindungan, kepada kedua belah pihak,
dengan jalan berikut ini:
1. Mengamankan pihak pelaku di suatu tempat yang dirahasiakan. Lembaga adat Gampong
tidak mengenal rumah tahanan, penjara atau lembaga pemasyarakatan. Biasanya diamankan
sementara di rumah keluarga atau rumah Keuchik, atau untuk sementara meninggalkan
Gampong, pergi ke tempat lain yang aman dan terlindung.
2. Jika korban perempuan dan anak, maka pemangku adat juga harus memberikan
perlindungan pada mereka dengan menempatkan korban di rumah salah satu pemangku
adat sampai jangka waktu tertentu hingga perkara tersebut telah ada putusan dengan
upaya damai atau korban dipastikan aman untuk pulang ke rumah.
3. Jika laporan perkara diterima berupa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka
pemangku adat meminta istri pemangku adat atau tokoh perempuan untuk melakukan
penanganan awal perkara.
4. Mengkondusifkan suasana damai, terutama pihak keluarga yang dirugikan;
5. Perangkat Gampong berinisiatif dan proaktif menghubungi berbagai pihak;
20
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
c) Selama proses penyelesaian tersebut seperti yang tertera pada poin di atas, orang-orang tua dari
keluarga para pihak harus terus berupaya membuat suasana damai dan sejuk terhadap para pihak
melalui penyadaran atas segala perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan mereka
bersengketa.
d) Membuka sidang penyelesaian di Meunasah. Apabila suasana sejuk dan kondusif telah mampu
dipertahankan dan data-data pembuktian sudah lengkap, barulah para pihak, wakil keluarga
beserta pihak “ureung-ureung tuha” dibawa ke sidang musyawarah di Meunasah (bila warga se
Gampong) atau ke Mesjid (bila sengketa itu melibatkan warga antar Gampong yang berlainan).
1. Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak atau kasus yang
terkait dengan persoalan rumah tangga, maka persidangan perkara tersebut harus ditutup
untuk masyarakat luas.
2. Jika kasus tersebut merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka
pemangku adat harus memastikan adanya pendamping bagi perempuan dan anak pada
proses persidangan.
f) Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yang matang dan bijak
oleh semua anggota majelis peradilan adat agar dapat diterima oleh para pihak untuk
mengembalikan kedamaian dan keseimbangan dalam masyarakat.
g) Eksekusi (atau pelaksanaan) keputusan oleh Keuchik dilakukan dalam suatu upacara yang
ditetapkan pada waktu yang telah disetujui bersama. Dalam upacara perdamaian tersebut
disiapkan surat perjanjian yang harus ditandatangani oleh para pihak yang berisikan
perjanjian untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang menimbulkan sengketa. Jika kasus
tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, keputusan harus disertai dengan
sebuah perjanjian tertulis yang didalamnya memuat pelaku tidak boleh melakukan kekerasan
secara berulang, dan pelaku harus mengikrarkan kalimat tersebut di hadapan majelis adat.
h) Pemangku adat harus melakukan pemantauan setelah proses eksekusi, karena setelah
upacara damai, perkara dapat saja terjadi secara berulang, sehingga pemangku adat
dapat mengambil langkah-langkah lain termasuk mengupayakan rujukan.
21
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir semua kasus di
bawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus terhadap kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah adanya upaya dari pemimpin adat
agar tersedianya mekanisme perlindungan. Langkah-langkah perlindungan yang terpenting adalah
adanya upaya untuk memastikan keselamatan korban mulai dari tahap pelaporan perkara, proses
penyidikan dan penyelidikan, sidang peradilan adat sampai pada tahap setelah upaya damai
dilakukan, dimana pemangku adat harus melakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kekerasan yang berulang setelah proses damai.
Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan jaminan keselamatan terhadap korban atau
adanya ancaman nyawa pada diri korban, maka pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut
kepada kepolisian untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan. Namun
jika penyelesaian perkara-perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilakukan dengan
prosedur mekanisme adat, maka keterlibatan perempuan dan anak dalam proses penyelesaian
perkara tersebut merupakan suatu keharusan sehingga mereka tidak merasa terancam dan tertekan
untuk menerima sebuah keputusan melalui prosedur adat. Namun tentunya keputusan tersebut
mesti berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik korban ataupun pelaku, yang dituangkan
dalam sebuah surat perjanjian damai yang isinya menitik beratkan agar pelaku tidak lagi melakukan
tindak kekerasan, jika kekerasan terjadi secara berulang maka pemangku adat harus mengambil
langkah-langkah yang dianggap penting dalam memberikan perlindungan pada korban, termasuk
melaporkan perkara tersebut ke pihak kepolisian karena mekanisme adat sudah tidak mampu
menyelesaikan perkara tersebut.
Pada saat ada pelaporan perkara dimana pihak yang terlibat atau korbannya adalah perempuan,
seperti perkelahian antar perempuan atau pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga
maka laporan tersebut dapat saja disampaikan langsung pada istri pemangku adat atau tokoh
perempuan setempat, dan mereka harus memberitahukan perkara tersebut pada pemangku adat
bahwa penyelesaian awal dilakukan oleh istri pemangku adat atau tokoh perempuan, namun jika
langsung dilaporkan pada pemangku adat yang biasanya semua laki-laki, maka pemangku adat
harus menyerahkan perkara tersebut kepada istri-istrinya atau tokoh perempuan agar melakukan
penanganan awal. Upaya ini menjadi penting karena penanganan awal yang dilakukan oleh perempuan
untuk perkara tersebut akan memudahkan dalam proses komunikasi dan akan sangat membantu
untuk mengetahui duduk persoalan perkara, dimana pengungkapan persoalan yang bersifat sangat
pribadi akan lebih nyaman dilakukan sesama perempuan.
Jika penanganan awal telah dilakukan, namun tidak ada penyelesaian perkara, maka keterlibatan
perempuan di dalamnya proses persidangan dan keputusan adat tersebut juga menjadi prioritas.
Jika tidak ada perempuan dalam struktur adat, minimal harus ada pendampingan pada perempuan
yang menjadi korban pada saat persidangan di lakukan.
22
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Melindungi perempuan
Menyerahkan dengan menempatkan Menggali informasi
Menerima pada salah satu rumah
laporan perkara penanganan awal pada kedua belah
pemangku adat jika kasus
pada perempuan pihak dan saksi
tersebut pada
tahap kekerasan
Dua konsep yang dikenal dalam bahasa Inggris yaitu ‘mediation’ (mediasi) dan ‘negotiation’
(negosiasi) dimana kedua-duanya secara khusus berguna. Jika dilaksanakan di seluruh proses
peradilan adat, ketrampilan-ketrampilan ini bisa membantu para pemimpin adat untuk menentukan
masalah-masalah dalam perkara, mengenali kemungkinan-kemungkinan penyelesaian dan
memfasilitasi persetujuan dari semua pihak.
23
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Meskipun hal-hal ini adalah konsep-konsep dengan nama-nama asing, sebenarnya mirip
sekali dengan bermusyawarah seperti yang diterapkan dalam peradilan adat. Perbedaannya adalah,
bahwa mediasi dan negosiasi memberikan pendekatan yang lebih terstruktur dengan langkah-
langkah tertentu. Namun, para pemimpin adat harus mempertimbangkan penjelasan berikut ini
mengenai mediasi dan negosiasi karena berhubungan erat dengan bermusyawarah. Informasi di
bawah menjabarkan konsep-konsep khusus ini dan para pemimpin adat seharusnya mencoba dan
memakai strategi-strategi ini pada waktu berkomunikasi dengan pihak-pihak yang bertikai untuk
menyelesaikan sebuah perkara.
Agar keberadaan mediator, atau perantara, dapat diterima maka yang bersangkutan harus
mempunyai sifat-sifat berikut:
1. Amanah
2. Jujur
3. Tidak memihak
4. Tidak punya kepentingan pribadi
5. Bertekad untuk menyelesaikan pertikaian
yang dapat diterima kedua belah pihak
6. Ramah dan percaya diri
7. Mampu mengendalikan emosi para pihak
8. Mampu memahami kehendak dan aspirasi
para pihak
9. Mampu menerjemahkan keinginan pihak
yang satu kepada pihak yang lainnya dengan
menggunakan bahasa yang santun dan sejuk
10. Mampu melakukan pendekatan yang
berunsur agama, sosial, dan psikologi
11. Piawai dalam menggunakan bahasa yang
menyejukkan
12. Mampu menggunakan “hadih maja” secara
tepat
24
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Peran dan fungsi mediator, atau perantara, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan
untuk dimenangkan, tetapi untuk diselesaikan
2. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah
3. Membantu para pihak untuk menganalisis alternatif pemecahan masalah
25
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
4. Membangun kepercayaan.
Dalam hal ini, perantara berusaha mengatasi atau memecahkan masalah yang dapat
menghambat jalanya proses mediasi dengan cara:
• Mengadakan pertemuan secara terpisah dengan para pihak
• Memodifkasikan pesan dalam bahasa yang mudah dimengerti
• Membatasi pembicaraan yang sensitif dan dapat menyinggung perasaan pihak lain
Pertemuan dengan para pihak harus dilakukan secara terpisah dan isi pembicaraan
bersifat rahasia bagi pihak lain. Tujuan petemuan terpisah itu adalah:
1. Untuk menjalin hubungan lebih intensif dengan para pihak
2. Membangun saling kepercayaan salah satu pihak untuk mengungkapkan kepentingan
yang tidak ingin mereka ungkapkan di hadapan mitra rundingnya
3. Memungkinkan mediator untuk mencari informasi tambahan, mengetahui
garis dasar dan menyelidiki agenda tersembunyi
4. Membantu mediator dalam memahami motivasi para pihak dan prioritas
mereka dan membangun empati serta kepercayaan secara individual
5. Memberikan para pihak waktu dan kesempatan yang cukup untuk menyalurkan
emosi kepada mediator tanpa membahayakan kemajuan mediasi
6. Memungkinkan mediator untuk menguji seberapa realistis pilihan-pilihan yang
diusulkan
7. Memungkinkan mediator untuk mengarahkan para pihak guna melaksanakan
perundingan yang berguna
8. Memungkin mediator dan para pihak untuk mengembangkan dan mempertimbangkan
alternatif-alternatif baru
9. Memungkinkan mediator untuk meyakinkan para pihak untuk menerima penyelesaian
10. Menyediakan ruang dan waktu yang memadai kepada para pihak supaya dapat
menyampaikan persoalannya secara pribadi mengenai:
• Apa yang sedang terjadi
• Apa yang dirasakan
• Bagaimana hal ini bisa diselesaikan
• Apakah proses mediasi dengan pendekatan sama-sama menang (win-win) bisa
membantu.
26
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
P utusan peradilan adat merupakan hasil musyawarah dalam rangka mencapai kedamaian di
antara kedua belah pihak. Oleh karena itu putusannya berupa sanksi mulai dari sanksi yang sangat
ringan seperti menasihati sampai pengusiran dari Gampong. Pada saat mencapai suatu keputusan
pentinglah digarisbawahi bahwa kedua belah pihak harus menyetujui secara bebas dan mandiri
sanksi atau hukuman yang akan diberikan.
*
Karena dianggap bertentangan dengan hak azasi manusia
(HAM), hukum Islam, dan hukum Nasional serta merendahkan
harga diri manusia
Pelaksanaan sanksi adat segera dilakukan setelah putusan disampaikan oleh Keuchik,
terutama terhadap sanksi adat yang berupa nasehat, peringatan, dan permintaan maaf. Untuk
sanksi ganti rugi pelaksanaan putusannya lebih longgar yaitu tergantung kepada kemampuan
ekonomi pelanggar untuk menyediakan ganti rugi tersebut. Demikian pula, dalam hal sanksi
adat yang berupa pengusiran dari Gampong, maka pelaksanaannya tidak dilakukan segera
setelah putusan tersebut dibacakan, tetapi kepada pelanggar norma adat itu masih diberikan
waktu secukupnya untuk bersiap-siap meninggalkan kampung halamannya.
27
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Dewasa ini ada keinginan kuat dari para penyelenggara peradilan adat bahwa sebaiknya
penetapan putusan adat dibuat secara tertulis, karena dengan bentuk tertulis akan menambah
bobot putusan itu sendiri. Di samping itu, pemantauan terhadap putusan tersebut akan
lebih mudah diawasi. Diharapkan juga agar salinan putusan tersebut disampaikan kepada
yang bersangkutan (para pihak), lembaga mukim, dan pihak kepolisian. Hal ini, bertujuan
agar supaya mereka mengetahui kalau suatu perkara telah diselesaikan di tingkat peradilan
Gampong dan mereka tidak perlu memeriksa kembali, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang
memang bukan merupakan kewenangan Gampong. Jika perkara ini di kemudian hari akan
dimintakan banding, sebuah keputusan tertulis akan menjadi bukti penting dalam penentuan
perkara banding. (Sebuah contoh keputusan tertulis diberikan dalam Lampiran I).
28
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
P enyelesaian sengketa di tingkat mukim (Peradilan Adat Mukim) merupakan upaya terakhir bagi
para pencari keadilan secara adat. Penyelesaian sengketa ini baru terjadi jika salah satu pihak tidak
puas atas putusan yang telah diputuskan oleh peradilan tingkat Gampong. Hal ini seperti yang
ditegaskan dalam Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Propinsi NAD,
bahwa:
• Lembaga Mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal
adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat. (Pasal 4,
huruf e).
Khususnya yang menyangkut dengan banding ke tingkat mukim, Qanun 5 Tahun 2003tentang
Pemerintahan Desa Dalam Propinsi NAD menegaskan bahwa:
Pengajuan penyelesaian sengketa ke tingkat Mukim oleh para pihak bisa dilakukan setelah
putusan tingkat Gampong tidak bisa diterima/tidak disepakati oleh salah satu pihak atau para pihak.
Pernyataan tidak dapat menerima putusan peradilan adat tingkat Gampong sebaiknya dibuat dalam
bentuk tertulis dan berdasarkan penolakan itulah perkara tersebut dapat diterima ditingkat Mukim.
29
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
P elimpahan kasus tidak hanya dapat dilakukan dari peradilan adat keperadilan formal tetapi
juga sebaliknya, yaitu dari peradilan formal ke peradilan adat. Pelimpahan tersebut dapat terjadi
karena beberapa hal:
Kasus-kasus yang bukan kewenangan (kompetensi) peradilan adat meskipun terjadi dalam
jurisdiksi adat seperti pembunuhan, perzinahan, pemerkosaan, narkoba, ganja dan sejenisnya,
pencurian (berat, eg. Kerbau, kenderaan bermotor dan lain-lain), suversif, penghinaan terhadap
pemerintah yang syah (Presiden dan Gubernur), Kecelakaan lalu lintas berat (kematian), Penculikan,
dan Perampokan bersenjata, maka dalam hal ini Keuchik segera memberitahukan kepada pihak
kepolisian di tingkat kecamatan (polsek). Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan
maupun tulisan.
Dalam hal para pihak tidak mau menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat Gampong,
maka yang bersangkutan dapat membawa kasusnya ke pengadilan formal yang diikuti oleh surat
keterangan pelepasan kasus dari Keuchik. Surat keterangan pelepasan kasus tersebut sangat penting
sebagai dasar bagi peradilan formal untuk memeriksa kasus tersebut. Hal ini sesuai dengan perintah
Perda No. 7 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa: Aparat penegak hukum memberi kesempatan
terlebih dahulu kepada Keuchik dan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di
Gampong/Mukim masing-masing (Pasal 10).
Jika peradilan adat baik di tingkat Gampong dan mukim merasa bahwa ada perkara pidana
berat yang tidak mungkin mereka selesaikan maka akan diselesaikan oleh lembaga peradilan negara
sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan yang berlaku. (Pasal 1, draft MoU Tahun
2007).
30
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
M asa kini, kaum perempuan jarang dilibatkan dalam proses peradilan perdamaian adat
karena beberapa pertimbangan yaitu: (1) Peradilan adat sering dilakukan pada malam hari dan
menurut pandangan masyarakat perempuan tidak etis berada di luar rumah pada malam hari. (2)
Perempuan kurang tegas dan tegar dalam menangani perkara. Namun hal tersebut tidak berarti
bahwa perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses peradilan perdamaian adat. Tetapi justru
mereka mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan peradilan adat.
Meskipun secara formal keberadaannya sebagai perangkat adat (informal justice providers) tidak
terdapat dalam struktur pemerintahan Gampong, namun jasa mereka sering dipergunakan oleh
Keuchik atau Tuha Peuet untuk bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan berbagai kasus
terutama kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam workshop dua hari dengan para tokoh adat terungkap bahwa mulai saat ini tidak
ada alasan lagi perempuan tidak dilibatkan dalam proses peradilan perdamaian adat dan bahkan
keterwakilan mereka dalam Tuha Peuet wajib ada.
Peradilan adat tidak boleh diskriminatif. Artinya semua orang, apakah kaya, miskin, laki-laki
atau perempuan mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum adat. Dalam praktiknya, jika
perempuan mempunyai persoalan hukum maka ia atau yang mewakilinya dapat secara langsung
melaporkan kepada Keuchik atau peutua jurong. Kemudian Keuchik beserta perangkatnya akan
segera menyelesaikan kasus tersebut. Semua kasus akan diselesaikan dengan tanpa melihat siapa
pelakunya (laki-laki atau perempuan).
31
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Daftar Lampiran
Lampiran I
Contoh Lembaran Putusan Perdamaian Gampong
PUTUSAN PERDAMAIAN
Nomor Perkara : ……………………
1. Jenis Perkara :
2. Para Pihak : a. Pelapor
1. (Nama, Umur Pekerjaan, Alamat/T. Tinggal)
2.
4. Putusan Perdamaian :
Bahwa ……………………………………………………………………………………………………………………..
.……………………………………………………………………………………...........................................……
…………………………………………………………………………………………..
Sekretaris Gampong
(Sekretaris Majelis)
Ttd
(Nama Terang)
32
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran II
BUKU INDUK ADMINISTRASI PERADILAN PERDAMAIAN ADAT ACEH
No Hari/tanggal Nama Pelapor Jenis Perkara dan Nama Para Uraian Singkat ttg Putusan Keterangan
Uraian Singkat Pihak dan tgl Putusan
33
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran IV
PERDA NO. 7 TAHUN 2000 TENTANG
PENYELENGGARAAN KEHIDUPAN ADAT
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
34
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB II
LEMBAGA ADAT
Pasal 2
Hukum Adat. Adat Istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku, hidup dan berkembang
dalam masyarakat Aceh, sepanjang tidak bertentangan dengan Syariat Islam harus dipertahankan.
Pasal 3
Pasal 4
(1) Lembaga-lembaga Adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Daerah
tetap dipertahankan, dimanfaatkan, dipelihara, diberdayakan dan dibakukan.
(2) Lembaga-lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain: a. Imum
Mukim; b. Keuchik; c. Tuha Peuet; d. Tuha Lapan; e. Imeum Meunasah; f. Keujruen
Blang; g. Panglima Laot; h. Peutua Seneubok; i. Haria Peukan; j. Syahbanda.
35
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Termasuk juga Lembaga Adat sebagaimana tersebut dalam ayat (1) adalah Lembaga-
lembaga Adat yang disebut dengan nama lain di Daerah Kabupaten/Kota yang
mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan Lembaga-lembaga Adat
sebagaimana tersebut di atas. Lembaga-lembaga Adat yang masih hidup dan belum
cukup berperan seperti Panglima Uteun, Pawang Glee dan nama-nama lain yang sejenis
di inventarisir untuk diberdayakan kembali sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
(3) Lembaga Adat sebagaimana tersebut dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) merupakan alat
penggerak partisipasi masyarakat dalam pembangunan termasuk Lembaga Adat dan
Kebudayaan Aceh (LAKA).
Pasal 6
Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada pasal 5 berfungsi sebagai alat kontrol keamanan,
ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain:
a. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat.
BAB III
Pasal 7
1) Tujuan Peraturan Daerah ini adalah untuk membakukan, mendorong, menunjang dan
meningkatkan partisipasi masyarakat guna kelancaran penyelenggaraan kehidupan
adat istiadat dan hukum adat di Daerah.
2) Tujuan adat adalah untuk membentuk manusia berakhlak mulia, bermartabat dan
berbudaya.
Pasal 8
Fungsi Kehidupan Adat guna melaksanakan dan mengefektifitaskan adat istiadat dan hukum
adat untuk membina kemasyarakatan.
BAB IV
Pasal 9
36
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 10
Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada Keuchik dan Imum Mukim
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di Gampong/Mukim masing-masing.
Pasal 11
Pasal 12
(1) Rapat Adat Gampong dipimpin oleh Keuchik dan Tengku Gampong (Imum
Meunasah) dan dibantu oleh Sekretaris Gampong dan Tuha Peuet/Tuha Lapan
Gampong.
(2) Rapat Adat mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh Sekretaris
Mukim serta dihadiri oleh seluruh anggota Tuha Peuet/ Tuha Lapan Mukim.
Pasal 13
Pasal 14
(1) Segala perselisihan dan persengketaan yang telah didamaikan oleh Keuchik dan Imum
Mukim dalam suatu rapat adat bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih/
bersengketa.
(2) Para pihak yang tidak mengindahkan keputusan adat tingkat Keuchik atau Imum
Mukim akan dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh karena merusak kata
kesepakatan dan mengganggu keseimbangan yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 15
(1) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Imum Mukim tidak dapat menyelesaikan
atau para pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas terhadap
keputusan adat tingkat Mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada
aparat penegak hukum.
(2) Keputusan adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang bersengketa
dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh aparat penegak hukum
dalam menyelesaikan perkara.
37
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 16
Pasal 18
Tiap-tiap penyelesaian sengketa oleh Keuchik dan Imum Mukim dibuat Berita Acara dan dituangkan
dalam keputusan serta diumumkan kepada masyarakat.
BAB VI
JENIS PENYELESAIAN
Pasal 19
Jenis-jenis penyelesaian sengketa dan sanksi yang dapat dijatuhkan sebagai berikut:
a) Nasehat;
b) Teguran;
c) Pernyataan maaf di hadapan orang banyak di Meunasah atau Mesjid, diikuti
dengan acara Peusijuk;
d) Denda;
e) Ganti kerugian;
f) Dikucilkan oleh masyarakat Gampong;
g) Dikeluarkan dari masyarakat Gampong;
h) Pencabutan gelar adat; dan
i) Lain-lain bentuk sanksi sesuai dengan adat setempat.
Pasal 20
Keluarga si pelanggar adat harus ikut bertanggung jawab atas terlaksananya sanksi adat yang
dijatuhkan kepada anggota keluarganya.
Pasal 21
38
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB VII
PEMBERDAYAAN ADAT
Pasal 22
Dalam rangka pemberdayaan adat, Pemerintah Daerah menyelenggarakan penataran adat bagi
Pemerintahan Gampong dan Mukim.
Pasal 23
Pengetahuan tentang Hukum Adat dan Adat Istiadat Aceh dimasukkan dalam kurikulum Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah tersendiri.
Pasal 24
Aparat Pemerintah yang berasal dari luar daerah dan bertugas di Aceh harus mempelajari dan
menghormati dasar-dasar adat Aceh dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat adat.
Pasal 25
Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua tingkatan, disediakan dalam APBN, APBD
Propinsi, APBO Kabupaten/Kota, serta sumber-sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 26
Lembaga Adat yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini dinyatakan sebagai
Lembaga Adat menurut Pasal 5 ayat (2) dan tetap menjalankan tugasnya, kecuali ditentukan lain
dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 27
Segala Peraturan Perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan yang ada dan mengatur tentang
penyelenggaraan kehidupan Adat di Daerah, masih tetap berlaku selama belum dicabut, diubah atau
diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
Pasal 28
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai peraturan pelaksanaannya
akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur dengan memperhatikan ketentuan dan
pedoman yang berlaku.
39
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 29
Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Cap/dto Cap/dto
40
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
NOMOR 7 TAHUN 2000
TENTANG
I. PENJELASAN UMUM
Adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar
dalam kehidupan masyarakat Aceh. Adat istiadat tersebut telah memberikan sumbangan yang
sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Adat istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan, pengaturan masalah Lembaga Adat telah
mempunyai landasan hukum yang konkrit. Dengan demikian Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh dapat mengatur pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat istiadat.
Fungsi umum Adat istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis dalam kehidupan
masyarakat berlandaskan kepada Adat Bak Po teu Meurehom, Hukom bak Syiah Kuala. Kanun bak
Putro Phang, Resam bak Laksamana, Hukum ngon Adat lagee Zat ngon Sifeut”.
Sehubungan dengan maksud tersebut di atas, maka penyelenggaraan kehidupan adat di Propinsi
Daerah Istimewa Aceh perlu diatur dalam suatu Peraturan Daerah.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Yang dimaksud dengan musyawarah adat adalah suatu penyelesaian yang dilaksanakan
oleh Tuha Peuet Gampong yang dihadiri oleh para pihak yang terkait. Pasal 14 s/d
Pasal 18
Cukup jelas. Pasal 19
Huruf a sampai dengan Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
41
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran V
QANUN NO. 4 TAHUN 2003
TENTANG
PEMERINTAHAN MUKIM DALAM
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSSALAM
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka perlu pengaturan tentang Susunan,
Kedudukan dan Kewenangan Pemerintahan Mukim dalam Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam;
b. bahwa Mukim di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sudah tumbuh dan
berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad, telah mendarah daging dalam
masyarakat, turun temurun mengakar dalam sistim sosial budayanya dan merupakan
satu kesatuan masyarakat adat yang kelangsungan dan keberadaannya masih tetap
diakui;
d. bahwa untuk maksud tersebut perlu diatur dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Mengingat:
42
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134).
Dengan persetujuan
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
43
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
10. Rapat Adat Mukim adalah permusyawaratan dalam penyelesaian berbagai perkara adat,
perselisihan antar penduduk ataupun persengketaan-persengketaan hukum adat dalam
Kemukiman yang dihadiri oleh Imeum Mukim dan Tuha Peuet Mukim
11. Imeum Mukim atau nama lain adalah Kepala Pemerintahan Mukim
12. Tuha Peuet Mukim atau nama lain merupakan kelengkapan Lembaga Mukim yang terdiri
dari unsur Ulama, Tokoh Adat, Pemuka Masyarakat dan cerdik pandai
BAB II
Pasal 2
Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong yang berada
langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
Pasal 5
Pasal 6
1. Imeum Mukim diangkat dan diberhentikan oleh Bupati atau Walikota atas usulan Camat
dari hasil pemilihan yang sah Imeum Mukim diangkat dan diberhentikan oleh Bupati
atau Walikota atas usulan Camat dari hasil pemilihan yang sah
2. Pemilihan Imeum Mukim dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia oleh rakyat
Mukim yang bersangkutan
44
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
3. Masa jabatan Imeum Mukim selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali 1 (satu) kali
periode untuk masa jabatan berikutnya
Pasal 7
Pasal 8
Imeum Mukim berhenti karena:
a. meninggal dunia
b. mengajukan permohonan berhenti atas permintaan sendiri
c. berakhir masa jabatan dan telah dilantik Imeum Mukim baru
d. tidak lagi memenuhi syarat seperti yang dimaksud dalam Pasal 7
e. mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus-kasus yang melibatkan
tanggung jawabnya dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh Tuha Peuet Mukim
Pasal 9
Pasal 10
1. Sekretariat Mukim dipimpin oleh seorang Sekretaris Mukim yang diangkat dan
diberhentikan oleh Camat atas usul Imeum Mukim
2. Untuk kelancaran Sekretariat Mukim, dibentuk seksi-seksi yang meliputi Seksi Tata Usaha,
Seksi Pemerintahan, Seksi Perekonomian dan Pembangunan, Seksi Keistimewaan Aceh dan
Seksi Pemberdayaan Perempuan
45
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
3. Pedoman susunan organisasi dan tata kerja Mukim dan Sekretariat Mukim ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur
Pasal 11
1. Majelis Musyawarah Mukim berfungsi sebagai badan musyawarah guna memberi masukan,
saran dan pertimbangan kepada Imeum Mukim dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, perekonomian dan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan
keistimewaan Aceh dan pemberdayaan perempuan serta menetapkan syarat-syarat lainnya
untuk menjadi calon Imeum Mukim.
2. Majelis Musyawarah Mukim terdiri dari :
a. Imeum Chiek;
b. Para Keuchik;
c. Tuha Peuet Mukim;
d. Sekretaris Mukim;
e. Para Pimpinan Lembaga Adat yang ada di Mukim yang bersangkutan.
3. Majelis Musyawarah Mukim dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh seorang Wakil
Ketua yang dipilih oleh dan dari Anggota Majelis Musyawarah Mukim
4. Majelis Musyawarah Mukim mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
5. Masa kerja Majelis Musyawarah Mukim selama 5 (lima) tahun.
Pasal 12
1. Majelis Adat Mukim dipimpin oleh Imeum Mukim dan dibantu oleh Sekretaris Mukim serta
dihadiri oleh seluruh anggota Tuha Peuet Mukim
2. Majelis Adat Mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan
adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-
keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaraan adat,
memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat
3. Keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan Majelis Adat Mukim menjadi pedoman bagi
para Keuchik dalam menjalankan roda pemerintahan Gampong sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan
4. Majelis Adat Mukim dilakukan atas usul Imeum Mukim, untuk menyelesaikan perkara-perkara
yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat
Pasal 13
Imeum Chiek diangkat dan diberhentikan oleh Camat atas usul Imeum Mukim berdasarkan hasil
kesepakatan Majelis Musyawarah Mukim
Pasal 14
Imeum Chiek mempunyai tugas:
a. mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan
kemakmuran mesjid
b. mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan keagamaan dan peningkatan peribadatan serta
pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat
46
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB IV
PEMBENTUKAN MUKIM
Pasal 15
Pasal 16
Perubahan batas Mukim dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan musyawarah Mukim dari
Mukim-mukim yang berbatasan dan perubahan batas Mukim ditetapkan dengan Keputusan
Bupati atau Wali Kota yang bersangkutan
Pasal 17
1. Pusat Pemerintahan Mukim berkedudukan di salah satu Gampong yang dipandang strategis
yang dapat meningkatkan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan peningkatan
pelayanan kepada masyarakat
2. Pusat Pemerintahan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, ditetapkan dengan
Keputusan Bupati atau Wali Kota
47
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB V
Pasal 18
a. Harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian
dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa,
paya dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
b. Jenis dan jumlah kekayaan Mukim harus diinventarisasikan dan didaftarkan serta
pemanfaatannya diatur oleh Bupati atau Wali Kota berdasarkan atas kesepakatan
Musyawarah Mukim
c. Pengawasan terhadap harta kekayaan Mukim dilakukan oleh Tuha Peuet Mukim
Pasal 19
1. Pendapatan Mukim terdiri dari
a. pendapatan sendiri yang diperoleh dari hasil kekayaan Mukim
b. hasil-hasil dari tanah Meusara yang dikuasai Mukim
c. bantuan Pemerintah
d. uang adat, dan
e. bantuan dan sumbangan pihak lain yang sah dan tidak mengikat
2. Pendapatan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Mukim (APBM) yang disusun oleh Imeum Mukim dengan
persetujuan Tuha Peuet Mukim
Pasal 20
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Mukim yang telah ada sekarang dinyatakan sebagai Mukim untuk menyelenggarakan tugas dan
fungsi sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan Pasal 4 Qanun ini
48
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
1. Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
2. Dengan berlakunya Qanun ini maka segala ketentuan yang mengatur tentang Mukim
yang bertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tidak berlaku lagi
Pasal 23
GUBERNUR
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
dto
ABDULLAH PUTEH
SEKRETARIS DAERAH
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
49
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
dto
THANTHAWI ISHAK
Lampiran VI
QANUN NO. 5 TAHUN 2003 TENTANG
PEMERINTAHAN Gampong DALAM PROPINSI NAGGROE ACEH DARUSSSALAM
BAB II
Pasal 2
Gampong merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada di bawah Mukim dalam
struktur organisasi Propinsi NAD
Pasal 3
Pasal 4
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 tersebut di atas Gampong
mempunyai fungsi:
a. menyelenggarakan pemerintahan, baik berdasarkan asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan
lainnya yang berada di Gampong.
b. Melaksanakan pembangunan, baik pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan hidup
maupun pembangunan mental spritual di Gampong;
c. Pembinaan kemasyarakatan di bidang pendidikan, peradatan, sosial budaya,
ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Gampong;
d. Peningkatan pelaksanaan Syariat Islam;
e. Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat;
f. Penyelesaian sengketa hukum dalam hal adanya persengketaan–persengketaan atau
perkara-perkara adat dan adat istiadat di Gampong.
Pasal 5
(1) Kewenangan Gampong meliputi:
a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Gampong dan ketentuan adat
dan adat istiadat;
50
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 6
Pasal 7
Dalam wilayah Gampong terdapat sejumlah Dusun/Jurong atau nama lain dikepalai oleh kepala
Dusun/Jurong atau nama lain, yang merupakan unsur pelaksana wilayah dari Pemerintah Gampong.
Pasal 8
51
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
Di Gampong dibentuk Pemerintahan Gampong Tuha Peuet Gampong, yang secara bersama-sama
menyelenggarakan pemerintahan Gampong;
Pasal 10
Pemerintahan Gampong terdiri dari Keuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong.
Bagian Kedua
Keuchik
Pasal 11
Pasal 12
52
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 12, Keuchik wajib
bersikap dan bertindak adil, tegas, arif dan bijaksana.
Pasal 14
Pasal 15
Keuchik dipilih secara langsung oleh penduduk Gampong melalui pemilihan yang demokratis,
bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Pasal 16
Masa jabatan Keuchik 5 tahun, terhitung mulai tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali untuk
satu kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 17
Seseorang dapat ditetapkan menjadi calon Keuchik, adalah warga negara RI yang memenuhi syarat-
syarat:
a. Taat dalam menjalankan syariat Islam secara benar dan sungguh-sungguh;
b. Setia kepada negara RI dan pemerintah yang sah
c. Telah tinggal dan menetap di Gampong sekurang-kurangnya selama lima tahun secara
terus menerus.
d. Telah berumur sekurang-kurangnya 25 tahun dan setinggi-tingginya 60 tahun pada saat
pencalonan;
e. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat pertama, atau
berpengetahuan sederajat;
f. Sehat jasmani dan rohani;
53
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 18
Seseorang yang dapat ditetapkan mempunyai hak menjadi Keuchik, adalah warga negara RI yang
memenuhi syarat-syarat:
a. telah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun atau sudah menikah/pernah menikah;
b. telah tinggal menetap di Gampong yang bersangkutan;
c. nyata-nyata sedang tidak terganggu jiwa/ingatannya;
d. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
e. terdaftar sebagai pemilih;
Pasal 19
(1) Untuk pelaksanaan pemilihan Keuchik, Tuha Peuet Gampong membentuk Komisi
Independen Pemilihan Keuchik yang terdiri dari anggota masyarakat;
(2) Panitia Pemilihan Keuchik terdiri dari 1 orang ketua, satu orang wakil ketua, satu orang
sekretaris, satu orang wakil sekretaris dan sebanyak-banyaknya 5 orang anggota;
(3) Pengawasan terhadap pelaksanaan pemilihan Keuchik dilaksanakan oleh Pemerintah
Mukim;
(4) Anggota Panitia Pemilihan Keuchik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang ikut
mencalonkan diri atau dicalonkan pihak lain diberhentikan dari keanggotaannya dan
digantikan dengan anggota yang tidak ikut dalam pencalonan.
(5) Di tempat pemungutan suara dapat ditugaskan beberapa anggota petugas keamanan
yang ditunjuk oleh Keuchik.
Pasal 20
54
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
c. pemaparan rencana kerja (program) oleh bakal calon dihadapan Tuha Peuet Gampong;
d. penetapan bakal calon oleh Tuha Peuet Gampong sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
e. Penetapan calon oleh Tuha Peuet Gampong.
(3) Tahap pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan melalui:
a. Pemungutan suara untuk pemilihan calon Keuchik dilaksanakan oleh Panitia
Pemilihan Keuchik;
b. Perhitungan suara di tempat pemungutan suara segera setelah pemungutan suara
dinyatakan selesai, yang dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Keuchik secara terbuka,
disaksikan oleh Imuem Mukim, Imeuem Meunasah dan Tuha Peuet Gampong
serta dapat dihadiri oleh para pemilih.
c. Pembuatan laporan dan berita acara hasil perhitungan suara yang ditandatangani
oleh ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris Panitia Pemilihan Keuchik
dan para saksi;
d. Penyampaian Laporan dan Berita Acara Hasil Perhitungan Suara oleh Panitia
Pemilihan Keuchik kepada Tuha Peuet Gampong;
e. Penyampaian Laporan dan Berita Acara Hasil Perhitungan Suara oleh Tuha Peuet
Gampong, didampingi Imeum Mukim kepada Bupati atau Walikota melalui Camat.
(4) Tahap pengesahan dan pelantikan Keuchik terpilih meliputi;
(a) pengesahan Keuchik terpilih oleh Bupati atau Walikota dengan menerbitkan keputusan
pengangkatannya;
(b) Keuchik dilantik oleh Bupati atau Walikota atau pejabat lain yang ditunjuk untuk
bertindak atas nama Bupati atau Walikota dalam suatu upacara yang khusus diadakan
untuk itu di Gampong yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Imeum Meunasah
Pasal 25
Imeum Meunasah atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi memimpin kegiatan
keagamaan, peningkatan peribadatan, peningkatan pendidikan agama, untuk anak-anak remaja
dan masyarakat, memimpin seluruh kegiatan yang berhubungan dengan kemakmuran Meunasah/
Mushalla dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam dalam
kehidupan masyarakat.
Bagian Keempat
Perangkat Gampong
Pasal 27
(1) Perangkat Gampong membantu Keuchik dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewajibannya.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, perangkat Gampong
langsung berada di bawah Keuchik dan bertanggung jawab kepada Keuchik.
(3) Perangkat Gampong diangkat dari penduduk Gampong yang memenuhi syarat sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
55
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
(4) Perangkat Gampong diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Keuchik, setelah
mendapatkan persetujuan dari Tuha Peuet Gampong.
Pasal 28
Perangkat Gampong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 27, terdiri dari:
A. unsur staff yaitu sekretaris Gampong yang dipimpin oleh seorang sekretaris Gampong
atau nama lain, yang dalam pelaksanaan tugasnya, dibantu oleh beberapa orang staff
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Gampong seperti:
1. Kepala Urusan Pemerintahan;
2. Kepala Urusan Perencanaan dan Pembangunan;
3. Kepala Urusan Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Sosial;
4. Kepala Urusan Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat;
5. Kepala Urusan Pemberdayaan Perempuan;
6. Kepala Urusan pemuda;
7. Kepala Urusan Umum;
8. Kepala Urusan Keuangan.
B. Unsur pelaksana, yaitu pelaksana teknis fungsional yang melaksanakan tugas tertentu
sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya
masyarakat, seperti:
1. Tuha Adat atau nama lain, yang mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi
memelihara kelestarian adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan budaya setempat
yang memiliki asas manfaat;
2. Keujruen Blang atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang
berhubungan dengan kegiatan persawahan;
3. Peutua Seuneubok atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi
yang berhubungan dengan pengaturan bidang perkebunan, peternakan dan
perhutanan;
4. Pawang Laot atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang berhubungan
dengan usaha penangkapan ikan di laut, termasuk pengaturan tentang usaha
tambak sepanjang pantai, usaha-usaha pelestarian terumbu karang dan hutan bakau di
pinggir pantai serta kegiatan lainnya yang berhubungan dengan sektor perikanan laut.
5. Haria Peukan atau nama lain mempunyai fungsi dan melaksanakan tugas yang berhubungan
dengan tugas kegiatan pasar Gampong;
6. Dan lain-lain unsur pelaksana teknis yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan dan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat Gampong
dengan penyebutan nama/istilah masing-masing.
C. Unsur wilayah adalah pembantu Keuchik di bagian wilayah Gampong yaitu Kepala
Dusun/Kepala Jurong atau nama lain sesuai dengan kelaziman setempat.
Bagian Kelima
56
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 30
(1) Kepada Keuchik Imum Meunasah, Tuha Peuet Gampong dan Perangkat Gampong
diberikan penghasilan tetap setiap bulannya, yang dibebankan kepada APBD
Kabupaten/Kota pada setiap tahun anggaran;
(2) Perincian jenis penghasilan dan tunjangan yang akan diberikan kepada Keuchik,
Imeum Meunasah, Tuha Peuet Gampong dan Perangkat Gampong ditetapkan dengan
Keputusan Bupati atau Walikota.
BAB V
Pasal 31
Pasal 33
(1) Tuha Peuet Gampong dibentuk melalui musyawarah Gampong sebagaimana dimaksud
pada Pasal 31 Qanun ini.
(2) Pengesahan pengangkatan Tuha Peuet Gampong dilaksanakan oleh Bupati atau walikota
sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (4) huruf b.
Pasal 34
(1) Tuha Peuet Gampong sebagai Badan Perwakilan Gampong, merupakan wahana untuk
mewujudkan demokratisasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam sistem penyelenggaraan
Pemerintahan Gampong;
(2) Tuha Peuet Gampong berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintah
Gampong dalam menyelenggarakan Pemerintahan Gampong;
Pasal 35
(1) Tuha Peuet Gampong mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
a. meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan Syariat Islam dan adat dalam masyarakat;
b. memelihara kelestarian adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan budaya setempat yang
masih memiliki asas manfaat;
c. melaksanakan fungsi legislasi, yaitu membahas/merumuskan dan memberikan
persetujuan terhadap penetapan Keuchik terhadap Reusam Gampong;
d. melaksanakan fungsi anggaran, yaitu membahas/merumuskan dan memberikan
persetujuan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong
sebelum ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong;
e. melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap
57
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
(2) Pelaksanaan tugas dan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan peraturan Tata Tertib Tuha Peuet Gampong, dengan memperhatikan Pedoman
Umum yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati atau Keputusan Walikota.
Pasal 36
(1) Pimpinan Tuha Peuet Gampong terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua
merangkap anggota;
(2) Pimpinan Tuha Peuet Gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipilih secara
demokratis oleh dan dari Anggota Tuha Peuet Gampong;
(3) Rapat pemilihan Pimpinan Tuha Peuet Gampong untuk pertama kalinya dipimpin oleh
anggota yang tertua dan dibantu oleh anggota yang termuda usianya.
Pasal 37
Pimpinan dan Anggota Tuha Peuet Gampong tidak dibenarkan merangkap jabatan dengan
Pemerintahan Gampong.
Pasal 38
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi Tuha Peuet Gampong dibentuk
Sekretariat Tuha Peuet Gampong.
(2) Sekretariat Tuha Peuet Gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipimpin oleh
seorang Sekretaris, (bukan anggota) yang berada langsung di bawah dan bertanggung
jawab kepada Pimpinan Tuha Peuet Gampong;
(3) Sekretaris Tuha Peuet Gampong dapat dibantu oleh beberapa orang tenaga staf sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan Gampong
(4) Sekretaris dan Tenaga Staf Sekretariat Tuha Peuet Gampong tidak boleh dari unsur
Perangkat Gamong;
(5) Sekretaris dan tenaga staf Sekretariat Tuha Peuet Gampong diangkat dan diberhentikan
oleh Keuchik berdasarkan usulan dari Pimpinan Tuha Peuet Gampong.
Pasal 39
(1) Pimpinan, Anggota, Sekretaris dan Tenaga staff Sekretariat Tuha Peuet Gampong dapat
diberikan uang sidang sesuai dengan kemampuan keuangan Gampong;
(2) uang sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap tahun dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong.
Pasal 40
(1) Untuk keperluan kegiatan Tuha Peuet Gampong disedakan biaya rutin, sesuai dengan
kemampuan keuangan Gampong, yang dikelola oleh sekretaris Tuha Peuet Gampong.
(2) Biaya rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap tahun dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong.
58
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 41
(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai Tuha Peuet Gampong ditetapkan dengan Qanun
Kabupaten dan Qanun Kota.
(2) Qanun Kabupaten dan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi
antara lain:
a. mekanisme pelaksanaan musyawarah Gampong dalam rangka pengangkatan
Tuha Peuet Gampong;
b. hak Tuha Peuet Gampong
c. hak anggota Tuha Peuet Gampong;
d. Kewajiban Tuha Peuet Gampong;
e. Larangan bagi Tuha Peuet Gampong;
f. Pengaturan tentang Peraturan Tata Tertib Tuha Peuet Gampong
g. Pemberhentian dan masa jabatan;
h. Pergantian antar waktu;
i. Sekretariat Tuha Peuet Gampong;
j. Tindakan kepolisian terhadap Tuha Peuet Gampong
BAB VI
KEUANGAN Gampong
Bagian Pertama
Pasal 42
59
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 43
(1) Hasil usaha Gampong sebagaimana dimaksud pada pasal 42 ayat (1) huruf a adalah
pungutan Gampong;
(2) Kekayaan Gampong sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. tanah milik Gampong;
b. pasar, kios dan los milik Gampong;
c. bangunan milik Gampong;
d. objek rekreasi yang dimiliki dan diurus Gampong;
e. pemandian umum yang dimilki dan diurus Gampong;
f. hutan adat Gampong;
g. perairan pantai dalam batas tertentu yang diurus Gampong;
h. tempat-tempat pemancingan yang diurus Gampong;
i. tempat pendaratan ikan/tempat pelelangan ikan yang dimiliki dan diurus oleh
Gampong;
j. lain-lain kekayaan milik Gampong;
Pasal 44
(1) Sumber Pendapatan Kabupaten atau Kota yang berada di Gampong, baik pajak maupun
retribusi yang telah dipungut oleh Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota,
tidak boleh ada pungutan tambahan oleh Pemerintah Gampong.
(2) Sumber pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diberikan bagian
kepada Gampong yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil.
Pasal 45
Pasal 46
Sumber pendapatan Gampong sebagaimana dimaksud pada Pasal 42, dikelola melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG).
Pasal 47
60
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
(2) Qanun Kabupaten atau Kota sebagaimana dimaksud pada, memuat materi antara lain:
a. jenis-jenis pendapatan asli Gampong sesuai dengan kondisi setempat;
b. Jenis-jenis kekayaan Gampong;
c. Pegurusan dan pengembangan sumber pendapatan Gampong;
d. Pengawasan terhadap sumber pendapatan Gampong;
BAB VII
REUSAM Gampong
Pasal 53
(1) Rancangan Reusam Gampong diajukan oleh Keuchik atau Tuha Peuet Gampong;
(2) Reusam Gampong dibahas bersama antara Keuchik dan Tuha Peuet Gampong;
(3) Keuchik menetapkan Reusam Gampong setelah mendapatkan persetujuan Tuha Peuet
Gampong.
Pasal 54
Pasal 55
(1) Reusam Gampong ditandatangani oleh Keuchik dan Ketua Tuha Peuet Gampong.
(2) Reusam Gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (10), harus disampaikan kepada
Bupati atau Walikota melalui Imeum Mukim dan camat selambat-lambatnya 45 hari
setelah ditetapkan;
(3) Bupati atau Walikota harus sudah mengesahkan Reusam Gampong paling lama 45 hari
sejak diterima.
(4) Apabila tenggang waktu 45 hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) belum
mendapat pengesahan, maka Reusam Gampong tersebut dinyatakan berlaku.
Pasal 56
(1) pengaturan lebih lanjut mengenai Reusam Gampong ditetapkan dengan Qanun
Kabupaten atau Qanun Kota.
(2) Qanun Kabupaten atau Qanun Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat
materi antara lain:
a. bentuk Reusam Gampong;
b. muatan materi reusam Gampong;
c. mekanisme dan tata cara pembahasan Rancangan Reusam Gampong;
d. pengaturan lebih lanjut apabila jumlah anggota Tuha Peuet Gampong yang hadir
61
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran VII
KEPUTUSAN BERSAMA
GUBERNUR, KEPALA KEPOLISIAN DAERAH DAN KETUA MAJELIS ADAT ACEH PEMERINTAH
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG
KEPUTUSAN BERSAMA
GUBERNUR, KEPALA KEPOLISIAN DAERAH DAN KETUA MAJELIS ADAT ACEH PEMERINTAH
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa adat dan hukum adat merupakan bagian dari tatanan perilaku yang
hidup dan berkembang dalam membangun keamanan, ketertiban dan keadilan
bagi kesejahteraan masyarakat Aceh; sesuai dengan Syari’at Islam.
c. bahwa berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Majelis Adat Aceh dengan Penegak
Hukum, tanggal 3-4 Desember 2004 dan kelanjutannya tanggal 25 September
2007 di Banda Aceh, disepakati Keputusan Bersama, untuk mengakui dan
memberi pedoman dalam penyelenggaraan Peradilan Adat/Peradilan Damai di
Gampong-Gampong dan Mukim dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
62
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Mengingat :
6. Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 1996
tentang Mukim sebagai Kesatuan Masyarakat Adat dalam Propinsi Daerah Istimewa
Aceh (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 1996 Nomor 195
Seri D Nomor 194);
7. Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh Tahun 2000 Nomor 35);
63
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8,
Tambahan Lembaran Daerah Nomor 21);
10. Qanun Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan tata
Kerja Majelis Adat Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ( Lembaran Daerah
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2004 Nomor 8 Seri D Nomor 5 ).
Memperhatikan : 1. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
NO. POL: SKEP/737/ X/2005, Tanggal 13 Oktober 2005, Tentang
Kebijakan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri
2. Hasil Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Majelis Adat Aceh (MAA)
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 25 September 2007
di Banda Aceh
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Tata cara penyelenggaraan Peradilan Adat/Peradilan Damai adalah berdasarkan tatanan adat
istiadat/hukum adat yang berlaku dalam wilayah setempat, melalui musyawarah/ mufakat lembaga
perangkat Gampong dan atau perangkat Mukim sesuai dengan wewenang dan kompetensinya
masing-masing dengan pengaturan/inventarisasi teknis administrasi yang baik dan tertib
Pasal 4
64
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
(1) Setiap putusan yang ditetapkan oleh Peradilan Adat Gampong atau Mukim karena
diktum amaran putusannya bersifat “damai“ (persetujuan para pihak), maka
putusan itu adalah bersifat “ putusan tetap “
(2) Untuk mendapatkan “putusan tetap“, prosesi peradilan adat dilakukan menurut
mekanisme musyawarah perangkat adat dan sistem administrasi peradilan adat yang
tertib dan terdokumentasi
(3) Putusan damai sebagai putusan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas
tidak dapat diajukan lagi tuntutannya pada lingkungan peradilan negara
Pasal 7
(1) Gubernur, Bupati/ Walikota sebagai Kepala Daerah beserta jajarannya bertanggung
jawab untuk membina dan mengawasi terlaksananya Peraradilan Adat/Peradilan
Damai sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Bersama ini,
(2) Kepala Kepolisian Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam beserta jajarannya, bertanggung
jawab untuk memberikan pengamanan dan dukungan sesuai dengan tujuan POLMAS
terhadap Keputusan Bersama ini
(3) Ketua Majelis Adat Aceh Propinsi/Kabupaten/Kota, beserta jajarannya, memberi
bimbingan dan pengawasan tentang pembinaan dan pengembangan materi-materi
hukum adat, sesuai dengan tatanan dan tradisi hukum adat/adat istiadat yang
hidup pada lingkungan masyarakat setempat
65
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 8
(1) Semua instansi yang terkait dalam keputusan bersama, dapat menginstruksikan
kepada seluruh jajarannya untuk dapat melaksanakan keputusan bersama ini
dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab
Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan Bersama ini, sepanjang menyangkut teknis pelaksanaan
dan atau masalah-masalah lainnya dapat dimusyawarahkan oleh masing-masing perangkat Peradilan
Adat sebagaimana dimaksud pada pasal 4 dan atau dengan instansi terkait/jajarannya menurut
kebutuhan
Pasal 10
Catatan :
Rancangan konsep ini dilahirkan dalam Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Majelis Adat Aceh
tanggal 2 September 2007 di Banda Aceh
66
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran VIII
HADIH MAJA YANG RELEVAN DENGAN PERADILAN ADAT
Sesat jalan.
Kusut Rambut.
Kusut Benang
Kusut Sarang burung Tempua
(Strategi/teknis menyelesaikan sengketa)
67
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
68
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
69
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
70