Anda di halaman 1dari 6

Pola Defekasi

Pola defekasi seorang anak dipengaruhi oleh factor organik (fungsi organ dan sistem
serabut syaraf) dan pola makanan serta usianya. Pada fungsi organ dan sistem saraf yang
normal, maka pola makan sangat berperan. Kelompok masyarakat yang mempunyai
kebiasaan makan makanan mengandung banyak serat umumnya memperlihatkan frekuensi
defekasi yang lebih sering dengan konsistensi yang lebih lunak dibandingkan kelompok
masyarakat dengan pola makan yang kurang mengandung serat.1

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya


selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu
pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola
defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu
keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas
peristaltik di colon.2

Frekuensi defekasi pada bayi baru lahir lebih sering dibandingkan bayi atau anak yang
lebih tua usianya. Hal ini disebabkan oleh beberapa organ dan enzim yang berperan dalam
proses pencernaan zat makanan(karbohidrat, lemak, dan protein) belum berfungsi secara
optimal. Kejadian di atas bukan merupakan suatu keadaan patologi, namun bila tidak
dijelaskan kepada orang tua sering menimbulkan kegelisahan.Aktivitas enzim ini akan
bertambah sesuai dengan bertambahnya usia. Aktivitas amilase yang optimalakan tercapai
pada usia 12 bulan, lipase mencapai kadar seperti orang dewasa pada usia 24 bulan,
sedangkan aktivitas tripsin pada bayi baru lahir sudah sama dengan orang dewasa. Aktivitas
laktase meningkat pada trimester ketiga kehamilan dan mencapai puncaknya beberapa
minggu setelah lahir.12 Bayi normal lebih mudah mencerna dan menyerap lemak yang berasal
dari ASI dibandingkan lemak susu sapi atau susuformula, disebabkan ASI mengandung
lipase. Selainlipase, ASI juga mengandung amilase dan protease; oleh karena itu sangat
penting dan bermanfaat untuk tetap memberikan ASI pada bayi. Bayi baru lahir umumnya
mempunyai aktivitas laktase yang belum optimal sehingga kemampuan menghidrolisis
laktosa yang terkandung di dalam ASI maupun susu formula juga terbatas. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan osmolaritas di dalam lumen usus halus yang
mengakibatkan peningkatan frekuensi defekasinya.3
Defekasi pada bayi baru lahir diawali dengan keluarnya mekonium. Mekonium adalah
tinja yang berwarna hitam, kental dan lengket, seperti karet yang merupakan campuran
sekresi kelenjar intestinal dan cairan amnion. Pada keadaan normal, meconium akan keluar
pada 36 jam pertama setelah lahir sebanyak 2-3 kali setiap harinya. Pada bayi yang mendapat
ASI, kolostrum berperan sebagai laksatif alami yang membantu mendorong mekonium keluar
dari tubuh. Kolostrum mulai diproduksi pada akhir kehamilan dan tetap bertahan hingga
empat hari setelah kelahiran. Selanjutnya kolostrum akan diganti oleh ASI peralihan yang
berlangsung selama 7-14 hari, pada saat ini warna tinja berubah menjadi coklat dan tidak lagi
lengket sehingga bila mengenai kulit mudah dibersihkan. Sedangkan frekuensi defekasi
bervariasi antara1-7 kali perhari.3

Setelah ASI peralihan berubah menjadi ASI (yang sebenarnya) warna feses cenderung
berubah lagi menjadi berwarna kuning dengan konsistensi lembek. Pada bayi yang mendapat
pengganti ASI (PASI), feses yang terbentuk biasanya lebih kental dan warnanya lebih
kehijauan. Bayi yang mendapat PASI, frekuensi defekasinya lebih sedikit dibandingkan bayi
yang mendapat ASI. Hormon motilin, yang merupakan suatu suatu hormon polipeptida yang
disekresi oleh selentero kromatin usus, terbukti juga dapat membantu meningkatkan motilitas
usus sehingga meningkatkan pula frekuensi defekasi.4

Pada tahun 1952, Nyhan meneliti 800 bayi baru lahir di Amerika Serikat,
mendapatkan frekuensi defekasi rata-rata bayi berusia 1 hari adalah 1,5 kali. Frekuensi ini
terus meningkat dengan bertambahnya umur bayi dan mencapai puncaknya pada usia 5
hari,yaitu 4,4 kali setiap harinya. Peneliti lain juga memperlihatkan hasil yang hampir sama,
yaitu 4 kaliper hari pada bayi berumur 7 hari. Penelitian lain yang dilakukan pada kelompok
umur yang lebih besar didapatkan frekuensi defekasi yang lebih jarang. Frekuensi defekasi
pada anak berusia 8-28 hari, 1-2 bulan, dan 13-24 bulan berturut-turut sebanyak 2,2;1,8; dan
1,7 kali per hari.3

Hasil yang sama diperoleh pula oleh peneliti lain. Wolman di Amerika Serikat pada
tahun 1957, mendapatkan penurunan frekuensi defekasi pada 1000 anak berusia 12-24 bulan
dibandingkan pada masa bayi. Frekuensi defekasi berkurang dari 4 kali per hari pada minggu
pertama menjadi 1,7 kali per hari pada usia 2 tahun. Lemoh dan Brooke (Perancis, 1979) juga
mendapatkan hasil yang sama pada 55 bayi yang ditelitinya. Weaver dan Steiner (Inggris,
1984) yang meneliti 350 anak berusia 1-4 tahun mendapatkan85% anak melakukan defekasi
1-2 kali setiap harinya. Demikian pula Tham (Australia, 1996) melaporkan bahwa 95% bayi
berusia 0-14 hari mempunyai pola defekasi lebih dari 2 kali per hari, sedangkan pada umur
13-24 bulan hanya ditemukan pada 21% anak. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan di
negara negara Barat yang tentunya mempunyai pola makanyang berbeda dibanding dengan
negara-negara Timur seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, dan lain-lain.Salah satu negara di
Asia yang pernah melaporkan pola defekasi pada anak adalah Thailand. Osatakul dkk.(1995)
meneliti 400 anak sehat berusia 1-72 bulan di Thailand mendapatkan 94% anak melakukan
defekasi lebih kurang 1 kali per hari. Frekuensi defekasi tertinggi terlihat pada periode
neonatus yaitu 3,3 kaliper hari dan menurun menjadi sekali sehari pada usia 4-6 tahun.
Perubahan konsistensi feses dari lunak menjadi berbentuk, sebagian besar mulai terlihat pada
anak berusia 4 bulan. Dengan meningkatnya usia, anak-anak menghasilkan feses yang lebih
besar pula ukurannya. Mereka juga menyimpulkan bahwa anak anak di Thailand
menghasilkan feses yang lebih besar, lebih lunak, dan frekuensi yang lebih sering
dibandingkan anak-anak yang tinggal di negara Barat. Hal ini mungkin disebabkan oleh pola
makan yang berbeda dan menu makanan Thailand lebih banyak mengandung serat.3

Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat diketahui bahwa lebih kurang 50%
anak mengkonsumsi makanan berserat kurang dari jumlah serat yang seharusnya dimakan
berdasarkan Recommended Dietary Allowances tahun 1989. Penelitian multisenter di Swedia
juga memperlihatkan hasil yang sama, yaitu konsumsi makanan yangberserat sangat rendah
sekali. Untuk menentukanjumlah serat yang harus dikonsumsi oleh seorang anak setiap
harinya dapat digunakan suatu rumus yang mudah diterapkan, yaitu umur anak (dalam tahun)
ditambah lima. Sebagai contoh, seorang anak yang berusia 4 tahun diharuskan memakan serat
sebanyak 9 gram sehari.3

Penurunan frekuensi defekasi juga dihubungkan dengan peningkatan waktu singgah


makanan di dalam saluran cerna. Waktu singgah di saluran cerna meningkat secara bermakna
sesuai dengan bertambahnya usia. Sejak mulai diberikan makanan lembek pada usia 6 bulan,
saat mulai di perkenalkan berbagai macam makanan termasuk didalamnya sayur-sayuran,
konsistensi tinja tidak lagi lembek atau encer, melainkan sudah mulai berbentukdan baunya
lebih menyengat.18 Bentuk tinja pada usiatersebut dikenal dengan istilah banana shaped. Biji
bijian seperti jagung dan kacang, mungkin terdapat didalam tinja bila makanan tersebut
diberikan.15 Terlihat disini bahwa makanan berserat merupakan rangka dari feses.1

Pada usia prasekolah ke atas, anak sudah dapat memilih makanan yang hendak
dimakannya. Pola defekasi antara anak yang satu dengan yang lain mulai berbeda tergantung
pola makanannya. Anak yang banyak makan makanan berserat akan memperlihatkan
defekasi yang lancar, tidak keras, dan teratur. Hal ini berbeda dengan anak yang tidak suka
makan makanan berserat. Mereka umumnya mempunyai pola defekasi dengan tinja yang
keras. sehingga tidak jarang menimbulkan rasa sakit pada saat defekasi yang akhirnya dapat
menyebabkan konstipasi.3

Mengonsumsi makanan yang tinggi serat akan membantu meningkatkan pola


eliminasi yang normal jika faktor-faktor yang memengaruhi eliminasi fekal ini normal.
Menurut Potter and Perry, frekuensi buang air besar pada anak-anak berkisar 1-3 kali per hari
bagi yang rutin mengonsumsi susu. Serat merupakan salah satu kandungan yang ada dalam
karbohidrat kompleks. Serat sangat penting sekali dalam sistem pencernaan salah satunya
adalah mengurangi gas yang ada dalam pencernaan dan berpengaruh dalam pengaturan
konsentrasi gula dan lemak dalam sistem peredaran darah.2

Penelitian Brinkworth, Noakes, Clifton and Bird di Australia yang menyatakan bahwa
seseorang yang mengonsumsi makanan rendah karbohidrat memiliki frekuensi BAB yang
lebih rendah dibandingkan dengan yang mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat. Selain
itu, Brinkworth, Noakes, Clifton and Bird juga menyatakan bahwa seseorang yang
mengonsumsi makanan yang tinggi karbohidrat maka volume fesesnya juga akan lebih
banyak. Volume feses ini selain dari serat yang dikonsumsi, tapi juga dapat berasal dari
makanan yang mengandung zat pati yang tidak dapat dicerna semuanya oleh tubuh. Makanan
yang zat patinya tidak dapat diserap semua oleh tubuh contohnya kentang, pisang, biji-bijian
dan polong.5

Berdasarkan Panduan Acuan Nutrisi Canada’s Food Guide to Healthy Eating asupan
serat yang paling banyak adalah berasal dari sereal dan bulir padi utuh yaitu 23,4 g/cangkir.
Selain dari gandum-ganduman, serat juga dapat diperoleh dari buah-buahan dan sayuran yang
di sarankan dalam Canada’s Food Guide to Healthy Eating pengonsumsiannya sebanyak 5-10
porsi per hari. dalam 1 porsi sayur atau buah hanya mengandung serat kurang dari 2 gram
sehingga agar terpenuhi kebutuhan serat per hari maka dibutuhkan 5 porsi buah-buahan dan 5
porsi sayur-sayuran dalam sehari.5

Didalam sistem pencernaan, serat tidak dapat diserap oleh tubuh karena berbentuk
selulosa. Kurangnya konsumsi serat dapat mengakibatkan konstipasi, namun jika dikonsumsi
secara berlebihan akan memberikan efek negatif. Sifat serat yang menahan reabsorpsi cairan
dan elektrolit dapat menyebabkan tubuh kekurangan cairan dan elektrolit karena cairan dan
elektrolit yang harusnya di serap oleh tubuh akan terbuang bersama feses. Serat yang tidak
mengandung energi atau nutrien juga akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi. Didalam
kolon, serat akan difermentasi oleh bakteri yang berada disana dan akan menghasilkan gas
sehingga perut akan terasa kembung. Namun, asupan serat dapat mengurangi risiko kanker
kolon. Serat meningkatkan massa feses dan menyelubungi komponen penyebab kanker di
dalam feses. Serat juga mempersingkat waktu lewatnya sisa pencernaan pada saluran
pencernaan sehingga mengurangi paparan dinding usus terhadap karsinogen.5

Walaupun demikian, pada dasarnya frekuensi BAB seseorang ini sangat bersifat
individual, mulai dari beberapa kali dalam sehari sampai beberapa kali dalam seminggu.
Kebiasaan defekasi pada anak juga tidak akan jauh berbeda dengan kebiasaan mereka saat
dewasa.6
Daftar Pustaka

1. Corazziari E, Staiano A, Miele E, Greco L. Bowel frequency and defecatory patterns


in children: A prospective nationwide survey. Clin Gastroenterol Hepatol.
2005;3(11):1101–6.

2. Tunc VT, Camurdan AD, İlhan MN, Sahin F, Beyazova U. Factors associated with
defecation patterns in 0-24-month-old children. Eur J Pediatr. 2008;167(12):1357–62.

3. Tehuteru ES, Hegar B, Firmansyah A. Pola Defekasi pada Anak. Sari Pediatr.
2016;3(3):129.

4. Çamurdan AD uya., Beyazova U, Özkan S, Tunç VT ayla. Defecation patterns of the


infants mainly breastfed from birth till the 12th month: Prospective cohort study. Turk
J Gastroenterol. 2014;25:1–5.

5. Rahmah A, Yamin A, Mardiah W. HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN


DENGAN POLA BUANG AIR BESAR PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN Alumni
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran , Staf Dosen Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran Abstrak. 2014;

6. Kramer EAH, Den Hertog-Kuijl JH, Van Den Broek LMCL, Van Leengoed E, Bulk
AMW, Frank Kneepkens CM, et al. Defecation patterns in infants: A prospective
cohort study. Arch Dis Child. 2015;100(6):533–6.

Anda mungkin juga menyukai