HERPES SIMPLEKS
Disusun Oleh :
Rachmawaddah Yolanda (H1AP21014)
Pembimbing :
dr. Sabrina Yufica ST
KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
A. Latar Belakang
Penyakit menular sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia, baik di dunia, baik di negara maju maupun di negara
maju maupun di negara berkembang. Insidens maupun prevalensisi yang
sebenarnya di berbagai negara tidak diketahui dengan pasti. World Health
Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 1999 di seluruh dunia terdapat
sekitar 340 juta kasus baru penyakit penyakit menular yang salah satunya adalah
penyakit herpes. Penyakit herpes ini disebabkan oleh virus Herpes simpleks (HSV)
tipe 1 dan tipe 2. Penyakit herpes adalah penyakit yang sangat umum. Di Amerika
Serikat kurang lebih 20 persen orang di atas usia 12 tahun terinfeksi virus herpes
simpleks, dan diperkirakan ada satu juta infeksi baru setiap tahun. Angka
prevalensi infeksi HSV sudah meningkat secara bermakna selama dasa warsa
terakhir. Sekitar 80 persen orang dengan HIV juga terinfeksi herpes kelamin.
Infeksi HSV-2 lebih umum pada perempuan. Di Amerika Serikat
kurang lebih satu dari empat perempuan dan satu dari lima laki-laki
terinfeksi HSV-2. HSV berpotensi menyebabkan kematian pada bayi yang
terinfeksi. HSV paling mungkin kambuh pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah. Ini termasuk orang dengan HIV, dan
siapapun berusia di atas 50 tahun. Beberapa ilmuwan juga berpendapat
bahwa penyakit lebih mungkin kambuh pada orang yang sangat lelah atau
mengalami banyak stres.
HSV tidak termasuk infeksi yang mendefinisikan AIDS. Namun
orang yang terinfeksi dengan HIV dan HSV bersamaan biasanya
mengalami jangkitan herpes kambuh lebih sering. Jangkitan lebih parah
dan bertahan lebih lama dibanding dengan orang HIV-negatif. Di
Indonesia, sampai dengan saat ini belum diketahui yang terinfeksi oleh
virus herpes. Akan tetapi, menurut hasil survei yang dilakukan oleh
Direktorat Jendral Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan (PPMPL) Departemen Kesehatan pada beberapa
kelompok perilaku risiko tinggi, tampak bahwa banyak masyarakat kita
yang terinfeksi oleh HIV. Hal ini akan menjadi penyebab terjangkitnya
penyakit herpes, disamping itu dengan kemajuan sistem transportasi pada
saat ini, tidak menutup kemungkinan virus herpes bisa mewabah di
Indonesia. Untuk itu, diperlukan usaha pencegahan yang bisa diterapkan
untuk mencegah masuknya virus Herpes di Indonesia mengingat virus ini
sangat mudah menular dan pengobatan yang dilakukan kepada masyarakat
kita jika sudah terinfeksi oleh virus Herpes.
B. Definisi
Frekuensi Internasional
Bukti serologis infeksi HSV-1 pada dewasa muda berkisar antara
56-85%, bervariasi menurut negara. Seroprevalensi HSV-2 telah
dilaporkan bervariasi 13-40% di seluruh dunia. Lebih dari sepertiga
populasi dunia telah infeksi klinis berulang HSV.
Di negara membangun, HSV-2 adalah penyebab umum dari
penyakit ulkus kelamin, terutama di negara-negara dengan prevalensi
tinggi infeksi HIV. Studi internasional menunjukkan bahwa prevalensi
pada orang koinfeksi dengan HIV hampir 90% untuk HSV-1 dan 77%
untuk HSV-2.
Umur
Frekuensi infeksi HSV-1 pada anak bervariasi dengan status sosial
ekonomi. Kira-kira, sepertiga anak-anak dari keluarga sosial ekonomi
yang rendah menunjukkan beberapa bukti infeksi HSV-1 pada usia 5
tahun. Frekuensi meningkat menjadi 70-80% oleh awal remaja / dewasa.
Sebaliknya, hanya 20% dari anak-anak dari keluarga kelas menengah
seroconvert.
Jenis Kelamin
Frekuensi antibodi HSV-1 dan HSV-2 sedikit lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pada pria. Namun, wanita lebih mungkin dilindungi
dari infeksi HSV genital dibandingkan pria dengan menggunakan
metode penghalang. Dalam studi lebih dari 600 wanita hamil, 63% adalah
seropositif untuk HSV-1, 22% untuk HSV-2, dan 13% untuk kedua, dan
28% adalah seronegatif.
Ras
Ras non-kulit putih dan yang telah memiliki 4 atau lebih pasangan
seksual berkorelasi independen dengan peningkatan infeksi HSV-2.
Wanita non-Hispanik kulit putih hamil memiliki persentase tertinggi
seronegativity untuk kedua HSV 1 dan HSV-2. Namun, kelompok ini
memiliki resiko tertinggi memiliki anak dengan herpes neonatal,
menunjukkan kerentanan mereka terhadap infeksi baru HSV selama
trimester ketiga kehamilan mereka (seorang ibu yang paling mungkin
untuk menularkan infeksi kepada bayinya.)
D. Etiologi
E. Cara Penularan
2. Vertikel
Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada
periode antenatal, intrapartum dan postnatal. Periode antenatal
bertanggungjawab terhadap 5% dari kasus HSV pada neonatal. Transmisi
ini terjadi pada saat ibu mengalami infeksi primer dan virus berada dalam
fase viremia sehingga secara hematogen virus tersebut masuk ke dalam
plasenta mengikuti sirkulasi uteroplasenta akhirnya menginfeksi fetus.
Periode infeksi primer ibu juga berpengaruh terhadap prognosis bayi,
apabila infeksi terjadi pada trimester pertama, biasanya akan terjadi
abortus. Pada trimester kedua terjadi kelahiran prematuritas. Bayi dengan
infeksi HSV antenatal mempunyai angka mortalitas 60% dan separoh dari
yang hidup tersebut mengalami gangguan SSP dan mata. Infeksi primer
yang terjadi pada trimester ketiga akan memberikan prognosis yang lebih
buruk karena tubuh belum membentuk antibodi (terbentuk 3-4 minggu
setelah virus masuk tubuh host) untuk selanjutnya disalurkan kepada fetus
sebagai suatu antibodi neutralisasi transplasental dan hal ini akan
mengakibatkan 30%-57% bayi yang dilahirkan terinfeksi HSV dengan
berbagai komplikasi (mikrosefali, hidrosefalus, Kalsifikasi intrakranial,
chorioretinis dan ensefalitis). 90% infeksi HSV neonatal terjadi saat
intrapartum yaitu ketika bayi melalui jalan lahir dan berkontak dengan lesi
maupun cairan genital ibu. Ibu dengan infeksi primer mampu menularkan
HSV pada neonatus 50% dan infeksi laten 35% dan infeksi rekurren 0-4%.
Periode postnatal bertanggungjawab terhadap 5-10% kasus infeksi HSV
pada neonatal. Infeksi ini terjadi karena adanya kontak antara neonatus
dengan ibu yang terinfeksi HSV dan juga kontak neonatus dengan tenaga
kesehatan yang terinfeksi HSV.
E. Patofisiologi
Kontak intim antara orang-orang yang rentan (tanpa antibodi terhadap
virus) dan seorang individu yang secara aktif menularkan virus atau
kontak dengan cairan tubuh yang mengandung virus adalah dibutuhkan
untuk infeksi HSV terjadi. Kontak harus melibatkan selaput lendir atau
kulit terbuka atau terkelupas.
HSV menyerang dan mereproduksi di neuron dan dalam sel
epidermal dan dermal. Virion bermigrasi dari lokasi awal infeksi pada
kulit atau mukosa ke ganglion akar dorsal sensorik, dimana latensi
didirikan. Replikasi virus di ganglia sensoris menyebabkan berjangkitnya
penyakit klinis berulang. Wabah ini dapat disebabkan oleh berbagai
rangsangan, seperti trauma, radiasi ultraviolet, suhu ekstrim, stres,
imunosupresi, atau fluktuasi hormon. Pelepasan virus, yang menyebabkan
transmisi mungkin terjadi selama infeksi primer, selama rekurensi
berikutnya, dan selama periode shedding virus asimptomatis.
HSV-1 paling efisien mengaktifkan kembali dari ganglia trigeminal
(mempengaruhi wajah, dan mukosa orofaringeal dan okular), sedangkan
HSV-2 memiliki reaktivasi yang lebih efisien dalam lumbosakral ganglia
(mempengaruhi pinggul, pantat, alat kelamin, dan anggota tubuh lebih
rendah). Perbedaan klinis dalam reaktivasi spesifik lokasi HSV-1 dan
HSV-2 tampaknya karena, di bagian, masing-masing virus untuk
membentuk infeksi laten pada populasi yang berbeda dari neuron
ganglionic.
F. Pemeriksaan
Anamnesa
Infeksi primer dengan virus herpes simpleks (HSVs) secara klinis
lebih berat dari wabah berulang. Namun, infeksi HSV-1 dan HSV-2 yang
paling primer mungkin subklinis dan tidak pernah secara klinis
didiagnosis.
Pemeriksaan fisik
• Infeksi klinis HSV muncul sebagai vesikel berkelompok dengan
dasar eritem. Ia sering berkembang menjadi lesi pustul atau
ulkus, dan mereka akhirnya membentuk krusta. Lesi HSV
cenderung berulang pada atau dekat lokasi dengan distribusi
saraf sensorik yang sama. Gejala sistemik seperti demam,
malaise, dan toksisitas akut, dapat menyertai lesi, khususnya di
infeksi primer. Setiap kondisi memiliki gejala yang terkait dan
temuan klinis (lihat anamnesa).
o Meskipun infeksi HSV dapat terjadi di manapun pada
tubuh, 70-90% dari HSV-1 infeksi terjadi di atas
pinggang. Sebaliknya, 70-90% dari HSV-2 infeksi
terjadidi bawah pinggang.
o Manifestasi fisik infeksi HSV pada pasien
immunocompromised biasanya sama dengan pada
pasien sehat. Namun, lesi yang lebih besar atau
ulkus mungkin terjadi dan daerah yang besar mungkin
terlibat.
o HSV neonatal mungkin sulit untuk didiagnosis karena,
seringkali, tidak ada lesi mukokutan yang hadir pada
pemeriksaan fisik. kesulitan bernapas, sakit kuning,
dan kejang dapat terjadi.
Pemeriksaan laboratorium
1. Tes Virologi
Tes viral secara kultur dibuat dengan mengambil sampel cairan dari
lesi atau kultur sedini mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama dari
penampakan lesi. Virus, jika ada, akan bereproduksi dalam sampel cairan
ini namun mungkin berlangsung selama 1 - 10 hari. Jika
infeksi parah, teknologi pengujian dapat mempersingkat masa ini sampai
24 jam, tapi mempercepat jangka waktu selama tes ini dapat membuat
hasil kurang akurat. Kultur virus sangat akurat jika lesi masih dalam tahap
lecet jelas, tetapi mereka tidak bekerja sebagai ulserasi yang lama baik
untuk luka, lesi yang kambuh, atau latensi. Pada tahap ini virus mungkin
tidak cukup aktif untuk mereproduksi cukup untuk menghasilkan sebuah
kultur yang terlihat.
G. Diagnosis
Diagnosis klinis
Tipe awitan, gejala konstitusi yang klasik, distribusi dan gambaran
lesi yang khas berupa ulserasi oral superfisial, bentuk bulat, multipel,
bersifat akut dan ada nya ginggivitis marginal generalisata pada
pemeriksaan fisis, ditunjang oleh tidak adanya riwayat episode herpes
sebelumnya, serta adanya riwayat terpajan HSV I membantu
menegakkan diagnosis ginggivostomatitis herpetika primer. Herpes
orofasial tipe ini perlu dibedakan dengan hand-foot- mouth-disease,
herpangina, eritema multiformis, pemfigus vulgaris, acute necrotizing
ulcerative ginggivitis.
Infeksi HSV genital perlu didiagnosis banding dengan penyebab
ulkus genital lain nya baik berupa infeksi maupun bukan infeksi. Bila
terdapat kelompokan vesikel multipel atau bila terdapat riwayat lesi
sebelumnya yang berukuran sama, lama timbulnya dan sifat nya sama
maka kemungkinan besar penyebabnya adalah HSV. Diagnosis banding
HSV genital adalah ulkus pada sifilis, chancroid, linfogranuloma
venerum, donovanosis, non infeksi penyakit Crohn, ulserasi mukosa
yang dihubungkan dengan sindrom Behcet.
Diagnosis laboratorium
1. Tes Tzank dwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright terlihat
sel raksasa berinti banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak
spesifik.
2. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah ddan menurun dengan cepat saat
lesi menyembuh.
3. Deteksi DNA HSV Virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
lebih sensitif berbanding kultur virus.
Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat
dideteksi setelah 4-7hari infeksi, mencapai puncak 2-4 minggu
dan menetap 2-3 bulan bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan IgG
baru dapat dideteksi setelah 2-3 minggu infeksi, mencapai
puncak setelah 4-6 minggu infeksi dan menetap lama bahkan
seumur hidup. Antibodi IgM dan IgG hanya memberi
gambaran keadaan infeksi akut atau kronik dari penyakit
herpes genitalis. Tidak ditemukan antibodi HSV pada sampel
serum akut dan ditemukannya IgM atau peningkatan 4 kali
antibodi IgG selama fase penyembuhan menunjukkan HSV
primer.mukannya IgG anti HSV pada serum akut, IgM
spesifik HSV.
H. Diagnosis Banding
1. Herpes Zoster
2. Syphilis
3. Hand-Foot-and-Mouth Disease
I. Penatalaksanaan
Konsultasi
Konsultasikan dengan dokter kulit dan spesialis penyakit menular
dalam kasus-kasus infeksi rumit atau asiklovir-resistent.
J. Prognosis