Anda di halaman 1dari 35

Referat

Demensia
Disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan ilmu geriatric fakultas
kedokteran universitas tarumanagara

Disusun Oleh :

Anita Ongkowidjojo (406117033)

Pembimbing :

dr.Noer Saelan Tadjuddin Sp.KJ

KEPANITERAAN ILMU GERIATRIC SASANA TRESNA WERDA CIBUBUR

PERIODE 16 April – 18 Mei 2012

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


BAB I

PENDAHULUAN

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan
telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara berkembang seperti
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degenerative (yang
beberapa di antaranya merupakan faktor resiko timbulnya demensia) serta makin meningkatnya
usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia.

Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena
awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain
itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi
pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu
hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya penurunan fungsi kognitif akan terus
berlanjut sampai akhirnya mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada
ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya.

Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia,
karena ternyatanya berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala penurunan fungsi
kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak
mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia.

Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi
kognitif dan demensia awal, dokter dan tenaga kesehatan lain juga ,mempunyai peran yang besar
dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif
ringan.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV)


mengharuskan bahwa gejala menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan
merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya. D a r i a s p e k m e d i k , d e m e n s i a
merupakan masalah yang tak kalah rumitnya dengan masalah yang terdapat
p a d a p e n y a k i t k r o n i s l a i n n y a ( stroke, diabetes mellitus, hipertensi, keganasan).
Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Seseorang yang mengalami demensia pasti akan mengalami penurunan kualitas hidup.
Keberadaannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya,
tidak dapat mandiri lagi. Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam upaya
menurunkan angka kematian umum dan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur
harapan hidup (UHH). Pada tahun 2000 umur harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat
menjadi 9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam istilah demografi, penduduk Indonesia
sedang bergerak ke arah struktur penduduk yang semakin m e n u a ( aging population).
Dengan diketahuinya berbagai faktor resiko (seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke,
riwayat keluarga, dan lain-lain) berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat
pada sebagian orang usai lanjut, maka dari itu diperlukan upaya pencegahan timbulnya demensia
pada pasien, khususnya pada pasien lanjut usia.

Hipertensi merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit. Pada tahun 1970


Tomlinson dkk, melalui penelitian klinis-patologik, mendapatkan bahwa bila demensia
disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini biasanya terjadi karena adanya infark diotak, dan hal
ini melahirkan konsep “demensia multi-infark”. Untuk menegakkan diagnosis
demensia juga dibutuhkan adanya gangguan memori sebagai suatu
s y a r a t . H a l i n i d a p a t dibenarkan pada penyakit Alzheimer, karena gangguan
memori merupakan gejala dini. Namun pada demensia vaskular syarat ini kurang tepat.
1. Definisi
Definisi fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti
berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan
kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan
eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk.
2000).
Definisi gangguan fungsi kognitif adalah gangguan yang berkaitan dengan
peningkatan usia. Gangguan ini menyebabkan penurunan fungsi otak yang berhubungan
dengan kemampuan atensi, konsentrasi, kalkulasi, mengambil keputusan, reasoning,
berpikir abstrak (Shiang Wu, 2011; Wiyoto, 2002). Salah satu gangguan kognitif yang
menjadi masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju dan mulai
muncul di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia adalah dementia (Shirdev et
al, 2004). Pada orang lanjut usia terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas
fungsional baik pada tingkat seluler maupun pada tingkat organ sejalan dengan terjadinya
proses menua (Kaplan et al, 2010).
Menurut bahasa Latin, demensia berasal dari kata demens = gila dan ia = patologis.
(sandoyo et al, 1999)
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapatkan yang
disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat
kesadaran.
Demensia merupakan kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif
setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena
gangguan otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan
dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan
pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini irreversibel, sebaliknya progresif.
Demensia merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai bermacam
penyebab.Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain
kemampuan mental, seperti berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan
visuospasial. Defisit yang terjadi pun harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas
kerja dan social secara bermakna.

2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi
demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia
diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan
pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya
menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer
(Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring
bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6
persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai
21 persen. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen
perawatan rumah (nursing home bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler,
yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan
faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler
meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling
sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering
pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis
demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1
hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan
alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan,
misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson.
Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak
penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada seorang
pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien tertentu.

3. KLASIFIKASI
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,
kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
(a) Menurut Umur:
o Demensia senilis (>65th)
o Demensia prasenilis (<65th)

(b) Menurut perjalanan penyakit:


o Reversibel
o Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, Defisiensi vitamin
B, Hipotiroidism, intoksikasi Pb)

(c) Menurut kerusakan struktur otak


o Tipe Alzheimer
o Tipe non-Alzheimer
o Demensia vaskular
o Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
o Demensia Lobus frontal-temporal
o Demensia terkait dengan HIV-AIDS
o Morbus Parkinson
o Morbus Huntington
o Morbus Pick
o Morbus Jakob-Creutzfeldt
o Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
o Prion disease
o Palsi Supranuklear progresif
o Multiple sklerosis
o Neurosifilis
o Tipe campuran

(d) Menurut sifat klinis:


o Demensia proprius
o Pseudo-demensia

Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan


gangguan mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ;
F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini
F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat
F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe campuran
F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan)
F 01 Demensia Vaskular
F01.0 Demensia Vaskular Onset akut
F01.1 Demensia Vaskular Multi-Infark
F01.2 Demensia Vaskular Sub Kortikal
F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 Demensia Vaskular lainnya
F01.9 Demensia Vaskular YTT
F02 Demensia pada penyakit lain
F02.0 Demensia pada penyakit PICK
F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
F02.3 Demensia pada penyakit parkinson
F02.4 Demensia pada penyakit HIV
F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di-Tentukan-Yang Di-
Klasifikasikan ditempat lain)
F03 Demensia YTT

Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03 sebagai
berikut :
1. .X0 Tanpa gejala tambahan
2. .X1 Gejala lain, terutama waham
3. .X2 Gejala lain, terutama halusinasi
4. .X3 Gejala lain, terutama depresi
5. .X4 Gejala campuran lain

4. ETIOLOGI
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun adalah
(1) penyakit Alzheimer,
(2) demensia vaskuler, dan
(3) campuran antara keduanya.
Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia
jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus
tekanan normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human
immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson.
Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis
berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya
hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam
folat), atau sindrom demensia akibat depresi.

BAB II

DEMENSIA

1. PATOFISIOLOGI

Demensia

Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf dan/atau hilangnya komunikasi
antara sel-sel ini. Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang dapat mengganggu
fungsinya. Beberapa penelitian telah menemukan faktor-faktor ini namun tidak dapat
menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana demensia terjadi.

Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau difus pada otak dan
menyebabkan penurunan kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusi
vaskular emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan penurunan kognitif adalah
substansia alba dari hemisfer serebral dan nuklei abu-abu dalam, terutama striatum dan thalamus.
Mekanisme demensia vaskular yang paling banyak adalah infark kortikal multipel, infark single
strategi dan penyakit pembuluh darah kecil.

a) Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang berbeda menghasilkan


penurunan kognitif dengan menggangu jaringan neural.

b) Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan gangguan kognitif
yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus infark arteri serebral anterior, lobus
parietal, thalamus dan satu girus.

c) Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom major, penyakit Binswanger dan
status lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan dinding arteri,
pengembangan ruangan Virchow-Robin dan gliosis parenkim perivaskular.

d) Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan menghasilkan lesi
kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang arteri penetrasi yang kecil. Lakunae ini
ditemukan lebih sering di kapsula interna, nuklei abu-abu dalam, dan substansia alba.
Status lakunar adalah kondisi dengan lakunae yang banyak, mengindikasikan adanya
penyakit pembuluh darah kecil yang berat dan menyebar.

e) Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai leukoencephalopati subkortikal) disebabkan


oleh penyakit substansia alba difus. Pada penyakit ini, perubahan vaskular yang terjadi
adalah fibrohialinosis dari arteri kecil dan nekrosis fibrinoid dari pembuluh darah otak
yang lebih besar. ( Lemolo et al, 2009 )

Demensia Alzheimer

Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi
kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi
gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat
keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetik
dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan
tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik,
dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian pada
kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan baik, gangguan
ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau transmisi tersebut
jarang terjadi.

Komponen utama patologi pada penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,
neurofibrillary tangles, hilangnya neuron atau sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano
bodies.
Plak neuritik mengandung banyak b-amyloid ekstraseluler yang dikelilingi neuritis
distrofik, sementara plak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid
tanpa abnormalitas neuron.

Gen untuk protein prekusor amyloid terletak pada lengan panjang kromosom 21,
menunjukkan hubunan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan Sindrom Down . Melalui
proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amyloid. Protein
beta/A4, yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42-
asam amino yang merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid.

Pada kasus sindrom Down (trisomi kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein
prekusor amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen
protein prekusor amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4
yang berlebihan.

Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya sebagai
penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi
yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor amiloid maupun
proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
Prekusor beta-amyloid di sel otak

Gen E4 multipel

Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer.


Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar
daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi gen
E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut.

Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidak direkomendasikan untuk saat ini, karena
gen tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada
seluruh penderita demensia.

Neuropatologi

Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer


menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel
serebri.Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah
plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada korteks dan
hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut neuron
(neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun
jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak khas
ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada sindrom Down,
demensia pugilistika (punch-drunk syndrome) kompleks Parkinson-demensia Guam, penyakit
Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut
neuron biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.

Plak senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit
Alzheimer meskipun plak senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam
beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan yang normal.

Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung tau yang


terhiperfosforilasi pada pasangan filament helix. Individu lanjut usia yang normal juga diketahui
mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks entorhinal,
tetapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks seseorang tanpa demensia. Tetapi
neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer, karena juga terdapat pada
penyakit lain, seperti SSPE, Boxer’s dementia, the parkinsonian dementia complex of Guam.

DEMENSIA VASKULAR

Pada dementia vascular patologi yang dominan adalah adanya infark multiple dan abnormalitas
substantia alba (white matter). Infark jaringan otak yang terjadi pasaca stroke dapat
menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian / hemisfer
mana yang terkena.

Umumnya dementia muncul pada stroke yang mengenai beberapa bagian otak (multi-
infarct dementia) atau hemisfer kiri otak. Sementara abnormalitas substantia alba (diffuse white
matter atau leukoaraiosis atau Penyakit Binswanger) biasanya terjadi dengan infark lakunar.
Abnormalitas substantia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah
subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak pada
beberapa tempat.

FTD (FRONTOTEMPORAL DEMENTIA)

Petanda anatomis pada FTD (Fronto-temporal Dementia) adalah terjadinya atrofi yang jelas pada
lobus temporal dan atau frontal yang dapat dilihat pada pemeriksaan pencitraan saraf
(neuroimaging) seperti MRI dan CT. Atrofi yang terjadi terkadang sangat tidak simetris.

Secara mikroskopis didapatkan selalu didapatkan gliosis dan hiangnya neuron, serta pada
beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang yang berisi
cytoplasmic inclusion.

DEMENTIA LEWY BODY

Penyakit Jisim Lewy adalah suatu demensia yang secara klinis mirip dengan penyakit Alzheimer
dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala ekstrapiramidal.

Sesuai dengan namanya, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy Body di


seluruh korteks, amygdala, cingulated cortex, substantia nigra. Lewy Body adalah cytoplasmic
inclusion interneuron yang terwarnai dengan PAS (periodic acid-Schiff) dan ubiquitin, yang
terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingi material amorfik.
Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse effect) ketika diberi
pengobatan dengan antipsikotik.

DEMENSIA PADA PENYAKIT PARKINSON

Parkinsonisme merupakan penyakit pada ganglia basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan
depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan
kemampuan kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan
perlambatan berpikir pada beberapa pasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai
bradifrenia.

2. Gambaran Klinis

A. Kepribadian

Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya akan


mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat menonjol
selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi tertutup serta
menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan demensia yang
memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi anggota keluarganya
dan pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus frontalis dan temporalis
biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif.

B. Halusinasi dan Waham

Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien dengan


demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen memiliki waham,
terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang
sistematis juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan
lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga memiliki gejala-gejala
psikotik.

C. Mood

Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan
merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien dengan
demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20
persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi yang
ekstrim tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis).

D. Perubahan Kognitif

Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan agnosia
dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis
lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada
10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan
demensia vaskuler.

Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout), refleks


mengisap, refleks tonus kaki serta refleks palmomental dapat ditemukan melalui
pemeriksaan neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien. Untuk menilai fungsi kognitif
pada pasien demensia dapat digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE).
3. Gambar 9. Test menggambar jam pada penilaian MMSE.

Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala neurologis


tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan, tanda defisit
neurologis fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber
palsy, disartria, dan disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala
diatas pada jenis-jenis demensia lainnya.

E. Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh Kurt
Goldstein disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu
konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan
untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara
juga terganggu.

Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran


subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya
mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari kegagalan dalam
kemampuan intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan
pembicaraannya dengan pemeriksa.

Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya


ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh
dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan tidak wajar,
ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh
dalam hubungan sosialnya.

F. Sindrom Sundowner

Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan terjatuh
secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur lebih tua yang
mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara
berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun.
Sindrom tersebut juga muncul pada pasien demensia saat stimulus eksternal seperti
cahaya dan isyarat interpersonal dihilangkan.

4. Diagnosis

Syarat utama untuk penegakan diagnosis ialah bukti adanya penurunan kemampuan baik dalam
daya ingat maupun daya pikir seseorang sehingga menggangu kegiatan sehari-hari. Hendaya daya ingat
secara khas mempengaruhi proses registrasi, penyimpanan, dan memperoleh kembali informasi baru,
tetapi ingatan yang biasa dan sudah dipelajari sebelumnya dapat juga hilang, khususnya dalam stadium
akhir.
Pemahaman informasi yang baru terganggu, karenanya ia merasa makin sukar untuk member
perhatian terhadap lebih dari satu rangsangan pada saat yang sama, seperti ikut serta percakapan
beberapa orang.

Gejala dan hendaya di atas harus sudah nyata untuk setidak-tidaknya 6 bulan untuk membuat
diagnosis demensia yang mantap.

Kriteria diagnosis demensia (menurut DSM-IV) sebagai berikut :

1. Munculnya defisit kognitif multiple yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut

a. Gangguan memori(ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk


mengingat informasi yang baru saja dipelajari)

b. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut:

i. Afasia

ii. Apraksia

iii. Agnosia

iv. Gangguan fungsi eksekutif

2. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria 1a dan 1b menyebabkan gangguan bermakna
pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi
sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

Berdasarkan PPDGJ III Demensia dapat ditegakkan apabila ditemukan :

(1) Penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan
harian seseorang (personal activities of daily living) seperti: mandi, berpakaian, makan,
kebersihan diri, buang air besar, dan kecil

(2) Tidak adanya gangguan kesadaran (clear conciousness)


(3) gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.

Pedoman diagnostik F00 Demensia pada penyakit alzheimer adalah sebagai berikut;

(1) Terdapatnya gejala demensia

(2) Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat. Onset biasanya sulit
ditentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari adanya kelainan
tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil (plateau)
secara nyata

(3) Tidak adanya bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus yang menyatakan
bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain yang
dapat menimbulkan demensia (misalnya hipotiroidisme, hiperkalsemia, defisiensi vitamin
B 12, Defisiensi niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan normal, atau hematom
subdural)

(4) Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan otak
fokal Seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapangan pandang mata, dan
inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun fenomena ini
dikemudian hari dapat bertumpang tindih)

Pedoman diagnostik F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer Onset Dini adalah
sebagai berikut;

(1) Demensia yang onsetnya sebelum usia 65 tahun

(2) Perkembangan gejala cepat dan progresif (deteriorasi)

(3) Adanya riwayat keluarga yang berpenyakit alzheimer merupakan faktor yang
menyokong diagnosis tetapi tidak harus dipenuhi

Pedoman diagnostik F01 Demensia vaskular adalah sebagai berikut

(1) Terdapatnya gejala demensia


(2) Hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata (mungkin terdapat hilangnya daya
ingat, gangguan daya pikir, gejala neurologis fokal). Daya tilikan diri (insight) dan daya
nilai (judgment) secara relatif tetap baik

(3) Suatu onset yang mendadak atau deteriorasi yang bertahap disertai adanya gejala
neurologis fokal meningkatkan kemungkinan diagnosis demensia vaskuler. Pada
beberapa kasus, penetapan hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan atau
pemeriksaan neuropatologis.

Pedoman diagnostik F01.0 Demensia Vaskuler Onset Akut adalah sebagai berikut;
Biasanya terjadi secara cepat sesudah seranngkaian “stroke” akibat trombosis
serebrovaskuler, embolisme atau perdarahan.

Pedoman diagnostik F01.1 Demensia multi infark adalah sebagai berikut; Onsetnya
lebih lambat, biasanya setelah serangkaian episode iskhemik minor yang menimbulkan
akumulasi dari infark parenkim otak.

Pedoman diagnostik F01.2 Demensia Vaskuler subkortikal adalah sebagai berikut;


fokus kerusakan akibat iskemia pada subtansia alba di hemisfer serebral, yang dapat
diduga secara klinis dan dibuktikan dengan CT-Scan. Korteks serebri tetap baik walaupun
demikian gambaran klinis masih mirip demensia pada penyakit alzheimer.

Pedoman diagnostik F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal


adalah sebagai berikut; Komponen campuran kortikal dan subkortikal dapat diduga dari
gambaran klinis, Hasil pemeriksaan (termasuk autopsi) atau keduanya.

Pedoman diagnostik F02.0 Demensia pada penyakit PICK adalah sebagai berikut:

(1) Adanya gejala demensia yang progresif

(2) Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol,
disertai euphoria, emosi tumpul, dan perilaku social yang kasar, disinhibisi, dan
apatis atau gelisah

(3) Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat

Pedoman diagnostik F02.1 Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah sebagai berikut


Trias : (1) Demensia progresif merusak

(2) Penyakit piramidal dan ekstra pyramidal dengan mioklonus

(3) EEG yang khas (Trifasik).

Pedoman diagnostik F02.2 Penyakit Huntington adalah sebagai berikut:

(1) Ada kaitan antara gangguan gerakan koreiform (Choeriform), demensia, dan riwayat
keluarga dengan penyakit Hungtington

(2) Gerakan koreiform yang involunter, terutama pada wajah, tangan, bahu,atau cara
berjalan khas merupakan manifestasi dini dari gangguan ini. Gejala ini biasanya
mendahului gejala demensia, dan jarang sekali gejala dini tersebut tak muncul sampai
demensia menjadi sangat lanjut

(3) Gejala demensia ditandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis pada tahap dini,
dengan adanya daya ingat relative masih terpelihara, sampai saat selanjutnya

Pedoman diagnostik F02.3 Demensia pada penyakit parkinson adalah sebagai berikut;
Demensia berkembang pada seseorang dengan penyakit parkinson yang sudah parah,
tidak ada gambaran klinis khusus yang dapat ditampilkan.

Pedoman diagnostik F02.4 Demensia pada penyakit HIV adalah sebagai berikut; Sering
lupa, lamban,kurang konsentrasi, sulit membaca dan mengatasi suatu masalah. Apati,
spontanitas, penarikan diri secara sosial.

Pedoman diagnostik F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di-
Tentukan-Yang Di-Klasifikasikan ditempat lain) adalah sebagai berikut; demensia yang
terjadi sebagai manifestasi atau konsekuensi beberapa macam kondisi somatik dan
serebral lain.

Pedoman diagnostik F03 Demensia YTT adalah sebagai berikut; Demensia yang terjadi
bila kriteria umum untuk diagnosis demensia terpenuhi, tetapi tidak mungkin
diidentifikasi pada salah satu tipe.

5. Perjalanan penyakit dan Prognosis


Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun,
yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi
diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia
harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun,
dengan rentang 1 hingga 20 tahun.

Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini
atau dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan
penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit
Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis,
pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15
persen pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi
yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.

Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang
samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang
paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala
yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler,
endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada
demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat
terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi
dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan
membawa pasien untuk pergi berobat.

Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan


benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi,
sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat
menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami
disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.

Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena
perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat
berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi
gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat
hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi.
Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat
pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat
pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia
yang terkait dengan trauma kepala).

Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh


faktor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit
maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien
dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang
lebih sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan
depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada
individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada
kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi,
maka defek kognitifnya akan menghilang.

6. Diagnosis Banding

Delirium

Perbedaan antara delirium dan demensia adalah sebagai berikut:

Delirium Dementia

Fase Akut Kronik

Onset Cepat Lambat

Causa Penyakit lain (infeksi,dehidrasi, Penyakit otak kronik


putus obat) (Alzheimer, d.vaskuler)

Lama penyakit Berhari-hari atau minggu Berbulan-bulan atau tahun


Perjalanan Naik turun Kronik progresif
penyakit

Kesadaran Naik turun Normal

Orientasi Terganggu, periodik Intak awalnya

Afek Cemas dan iritable Labil tapi tak cemas

Alam Pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya

Bahasa Lamban, inkoheren,inadekuat Sulit menemukan istilah


yang tepat

Depresi
Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar
dibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai
psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait depresi (depression-related cognitive
dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsi
kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-gejala depresi yang menyolok, lebih
menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien dengan demensia serta sering
memiliki riwayat episode depresi.

Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat
(acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala psikosis dan
gangguan pikiran seperti yang terdapat pada demensia.
BAB III

PENATALAKSANAAN

Walaupun penyembuhan total pada berbagai bentuk demensia biasanya tidak mungkin, dengan
penatalaksanaan yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari dari penderita (dan juga dari
keluarga atau yang merawat). Prinsip utama penatalaksaannya sebagai berikut :

PRINSIP UTAMA PENATALAKSAAN PENDERITA DEMENTIA


Optimalkan fungsi dari penderita
 Obati penyakit yang mendasarinya (Hipertensi, penyakit Parkinson)

 Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP (kecuali dibutuhkan
untuk penatalaksanaan gangguan psikologik atau perilaku)

 Ases keadaan lingkungan, kalau perlu untuk perubahan

 Upayakan aktivitas mental dan fisik

 Hindari situasi yang menekan kemampuan mental, gunakan alat memori dimana mungkin

 Persiapkan penderita bila akan berpindah tempat

 Tekankan perbaikan gizi

Kenali dan obati komplikasi

 Mengembara dan berbagai perilaku merusak

 Gangguan perilaku lain

 Depresi

 Agitasi atau aggresivitas

 Inkontinensia

Upayakan perumatan berkesinambungan

 Re-ases keadaan kognitif dan fisik

 Pengobatan gangguan medic

Upayakan informasi medis bagi penderita dan keluarga

 Berbagai hal tentang penyakitnya

 Kemungkinan gangguan atau kelainan yang bisa terjadi

Upayakan informasi pelayanan sosial yang ada pada penderita dan keluarganya

 Berbagai pelayanan kesehatan masyarakat


 Nasihat hukum dan atau keuangan

Upayakan nasihat keluarga untuk

 Pengenalan dan cara atasi konflik keluarga

 Penanganan dan rasa marah atau bersalah

 Pengambilan keputusan untuk perumayan respite atau di institusi

 Kepentingan-kepentingan hukum atau masalah etik

1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek
hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak
pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi
fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien
menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin
sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga
kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan
dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif
sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.
Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan
disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh
dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat
dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan
fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara
“berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah
orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan
untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal
tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan
keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.

2. Farmakoterapi
Medikamentosa
a) Mencegah demensia vaskular memburuk Progresifitas demensia vaskular dapat
diperlambat jika faktor resiko vaskular seperti hipertensi, hiperkolesterolemia dan
diabetes diobati. Agen anti platlet berguna untuk mencegah stroke berulang. Pada
demensia vaskular, aspirin mempunyai efek positif pada defisit kognitif. Agen antiplatelet
yang lain adalah tioclodipine dan clopidogrel.
 Aspirin: mencegah platelet-aggregating thromboxane A2 dengan memblokir aksi
prostaglandin sintetase seterusnya mencegah sintesis prostaglandin
 Tioclodipine: digunakan untuk pasien yang tidak toleransi terhadap terapi
aspirin atau gagal dengan terapi aspirin.
 Clopidogrel bisulfate: obat antiplatlet yang menginhibisi ikatan ADP ke reseptor
platlet secara direk.
Agen hemorheologik meningkatkan kualiti darah dengan menurunkan viskositi,
meningkatkan fleksibiliti eritrosit, menginhibisi agregasi platlet dan formasi trombus
serta supresi adhesi leukosit.
 Pentoxifylline dan ergoid mesylate (Hydergine) dapat meningkatkan aliran
darah otak. Dalam satu penelitian yang melibatkan 29 pusat di Eropa,
perbaikan intelektual dan fungsi kognitif dalam waktu 9 bulan didapatkan. Di
European Pentoxifylline Multi-Infarct Dementia Study, pengobatan dengan
pentoxifylline didapati berguna untuk pasien demensia multi-infark.
b) Memperbaiki fungsi kognitif dan simptom perilaku Obat untuk penyakit Alzheimer yang
memperbaiki fungsi kognitif dan gejala perilaku dapat juga digunakan untuk pasien
demensia vaskular. Obat-obat demensia adalah seperti berikut :
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi
untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga
harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya
kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obat-
obatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang
digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer.
Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga
meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan
memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori
ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan
neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan
karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai
rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek
samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan
tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75 mg
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
o Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
Antidepresif
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x 10 - 20
mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna
lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
o Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg

3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain


Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat
metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat
memperlambat perkembangan penyakit ini. Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko
penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan
ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi.
Laporan mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih
rendah terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat
dalam pencegahan penyakit.

Bab V. KESIMPULAN

Dengan meningkatnya populasi usia lanjut di Indonesia, berbagai masalah kesehatan dan
penyakit yang khas yang terdapat pada usia lanjut akan meningkat. Salah satu masalah kesehatan
yang akan banyak dihadapi adaalah gangguan kognitifyang bermanifestasi secara akut berupa
konfusio(gagal otak akut) dan kronis berupa dementia (gagal otak kronis).
Peranan assessment geriatri dalam diagnosis kedua masalah tersebut sangat besar, karena
meningkatkan ketepatan diagnosis pada konfusio dan menyingkirkan diagnosis jenis dementia
yang reversible.
Penatalaksanaan konfusio tergantung dari diagnosis yang didapatkan. Pada jenis
dementia primer terutama penyakit Alzheimer atau demensia senilis tipe Alzheimer, walaupun
pengobatan untuk penyakit primer sekarang belom dimungkinkan, penatalaksanaan berbagai
aspek perilaku baik dengan atau tanpa obat masih dimungkinkan.
Berbagai obat yang bersifat penghambat anti-kolinesterase, yang bertujuan untuk
meningkatkan kadar asetilkolin sesuai dengan pathogenesis penyakit Alzheimer, antara lain
inhibitor kholin esterase dan inhibitor N-meti D-aspartat, saat ini sudah ada di pasaran, walaupun
terhambat oleh factor penggunaannya harus seumur hidup.
Penelitian-penelitian masih intensif dilakukan dalam upaya pencegahan demensia. Suatu
panel ahli geriatris dan psikogeriatris Australia membuat rekomendasi berbagai strategi
perubahan gaya hidup untuk pencegahan demensia. Berbagai macam terapi antara lain terapi
gen, vaksinasi untuk terapi dan pencegahan demensia saat ini masih berjalan.
DAFTAR PUSTAKA

Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari :


http://www.idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.
Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67
Dementia. Diakses dari : http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm. 7 Oktober
2008
Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III.2001,
Jakarta; PT Nuh Jaya. 20- 26
Memory Disoders. Diakses dari : http://www.gabehavioral.com/Memory
%20Disorders.htm
Information about dementia. Diakses dari http://www.umsl.edu/~homecare/dementia.htm.
Dementia. Diakses dari : http://www.geriatricsandaging.ca/fmi/xsl/article
Sandoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,dkk. Demensia Geriatric. In:Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.
Jakarta:Interna Publishing. 2009. Pp.837-43.
Strub, K, Yuan and Agrawal, N. 2000. Early-Onset Dementia. Jurnal of Continuing
Professional Development. 15: 380-388.

Shiang Wu, 2011. Adult Development and Aging, New York: HarperCollins Publishers
Wiyoto, 2002. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia. Jakarta: PERDOSSI
Shirdev, E.B & Levey, D.A. 2004. Cross-Cultural Psychology, Critical Thinking and
Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc
Iemolo F, Givanni D, Caludia R, Laura C, Vladimir H, Calogero C. Review
Pathophysiology of Vascular Dementia. Biomed Central. Canada. 2009.Vol.6. No.13.ppt:1-9

Anda mungkin juga menyukai