Demensia
Disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan ilmu geriatric fakultas
kedokteran universitas tarumanagara
Disusun Oleh :
Pembimbing :
PENDAHULUAN
Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan
telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara berkembang seperti
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degenerative (yang
beberapa di antaranya merupakan faktor resiko timbulnya demensia) serta makin meningkatnya
usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia.
Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena
awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain
itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi
pada awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu
hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya penurunan fungsi kognitif akan terus
berlanjut sampai akhirnya mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada
ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya.
Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia,
karena ternyatanya berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala penurunan fungsi
kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak
mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia.
Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi
kognitif dan demensia awal, dokter dan tenaga kesehatan lain juga ,mempunyai peran yang besar
dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif
ringan.
2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi
demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia
diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan
pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya
menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer
(Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring
bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6
persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai
21 persen. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen
perawatan rumah (nursing home bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler,
yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan
faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler
meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling
sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering
pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis
demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1
hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan
alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan,
misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson.
Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak
penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada seorang
pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien tertentu.
3. KLASIFIKASI
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,
kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
(a) Menurut Umur:
o Demensia senilis (>65th)
o Demensia prasenilis (<65th)
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03 sebagai
berikut :
1. .X0 Tanpa gejala tambahan
2. .X1 Gejala lain, terutama waham
3. .X2 Gejala lain, terutama halusinasi
4. .X3 Gejala lain, terutama depresi
5. .X4 Gejala campuran lain
4. ETIOLOGI
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun adalah
(1) penyakit Alzheimer,
(2) demensia vaskuler, dan
(3) campuran antara keduanya.
Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia
jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus
tekanan normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human
immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson.
Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis
berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya
hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam
folat), atau sindrom demensia akibat depresi.
BAB II
DEMENSIA
1. PATOFISIOLOGI
Demensia
Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf dan/atau hilangnya komunikasi
antara sel-sel ini. Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang dapat mengganggu
fungsinya. Beberapa penelitian telah menemukan faktor-faktor ini namun tidak dapat
menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana demensia terjadi.
Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau difus pada otak dan
menyebabkan penurunan kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusi
vaskular emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan penurunan kognitif adalah
substansia alba dari hemisfer serebral dan nuklei abu-abu dalam, terutama striatum dan thalamus.
Mekanisme demensia vaskular yang paling banyak adalah infark kortikal multipel, infark single
strategi dan penyakit pembuluh darah kecil.
b) Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan gangguan kognitif
yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus infark arteri serebral anterior, lobus
parietal, thalamus dan satu girus.
c) Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom major, penyakit Binswanger dan
status lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan dinding arteri,
pengembangan ruangan Virchow-Robin dan gliosis parenkim perivaskular.
d) Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan menghasilkan lesi
kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang arteri penetrasi yang kecil. Lakunae ini
ditemukan lebih sering di kapsula interna, nuklei abu-abu dalam, dan substansia alba.
Status lakunar adalah kondisi dengan lakunae yang banyak, mengindikasikan adanya
penyakit pembuluh darah kecil yang berat dan menyebar.
Demensia Alzheimer
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi
kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi
gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat
keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetik
dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan
tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik,
dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian pada
kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan baik, gangguan
ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau transmisi tersebut
jarang terjadi.
Komponen utama patologi pada penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,
neurofibrillary tangles, hilangnya neuron atau sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano
bodies.
Plak neuritik mengandung banyak b-amyloid ekstraseluler yang dikelilingi neuritis
distrofik, sementara plak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid
tanpa abnormalitas neuron.
Gen untuk protein prekusor amyloid terletak pada lengan panjang kromosom 21,
menunjukkan hubunan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan Sindrom Down . Melalui
proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amyloid. Protein
beta/A4, yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42-
asam amino yang merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid.
Pada kasus sindrom Down (trisomi kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein
prekusor amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen
protein prekusor amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4
yang berlebihan.
Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya sebagai
penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi
yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor amiloid maupun
proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
Prekusor beta-amyloid di sel otak
Gen E4 multipel
Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidak direkomendasikan untuk saat ini, karena
gen tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada
seluruh penderita demensia.
Neuropatologi
Plak senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit
Alzheimer meskipun plak senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam
beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan yang normal.
DEMENSIA VASKULAR
Pada dementia vascular patologi yang dominan adalah adanya infark multiple dan abnormalitas
substantia alba (white matter). Infark jaringan otak yang terjadi pasaca stroke dapat
menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian / hemisfer
mana yang terkena.
Umumnya dementia muncul pada stroke yang mengenai beberapa bagian otak (multi-
infarct dementia) atau hemisfer kiri otak. Sementara abnormalitas substantia alba (diffuse white
matter atau leukoaraiosis atau Penyakit Binswanger) biasanya terjadi dengan infark lakunar.
Abnormalitas substantia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah
subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak pada
beberapa tempat.
Petanda anatomis pada FTD (Fronto-temporal Dementia) adalah terjadinya atrofi yang jelas pada
lobus temporal dan atau frontal yang dapat dilihat pada pemeriksaan pencitraan saraf
(neuroimaging) seperti MRI dan CT. Atrofi yang terjadi terkadang sangat tidak simetris.
Secara mikroskopis didapatkan selalu didapatkan gliosis dan hiangnya neuron, serta pada
beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang yang berisi
cytoplasmic inclusion.
Penyakit Jisim Lewy adalah suatu demensia yang secara klinis mirip dengan penyakit Alzheimer
dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala ekstrapiramidal.
Parkinsonisme merupakan penyakit pada ganglia basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan
depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan
kemampuan kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan
perlambatan berpikir pada beberapa pasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai
bradifrenia.
2. Gambaran Klinis
A. Kepribadian
C. Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan
merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien dengan
demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20
persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi yang
ekstrim tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis).
D. Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan agnosia
dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis
lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada
10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan
demensia vaskuler.
E. Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh Kurt
Goldstein disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu
konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan
untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara
juga terganggu.
F. Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan terjatuh
secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur lebih tua yang
mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara
berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun.
Sindrom tersebut juga muncul pada pasien demensia saat stimulus eksternal seperti
cahaya dan isyarat interpersonal dihilangkan.
4. Diagnosis
Syarat utama untuk penegakan diagnosis ialah bukti adanya penurunan kemampuan baik dalam
daya ingat maupun daya pikir seseorang sehingga menggangu kegiatan sehari-hari. Hendaya daya ingat
secara khas mempengaruhi proses registrasi, penyimpanan, dan memperoleh kembali informasi baru,
tetapi ingatan yang biasa dan sudah dipelajari sebelumnya dapat juga hilang, khususnya dalam stadium
akhir.
Pemahaman informasi yang baru terganggu, karenanya ia merasa makin sukar untuk member
perhatian terhadap lebih dari satu rangsangan pada saat yang sama, seperti ikut serta percakapan
beberapa orang.
Gejala dan hendaya di atas harus sudah nyata untuk setidak-tidaknya 6 bulan untuk membuat
diagnosis demensia yang mantap.
1. Munculnya defisit kognitif multiple yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut
i. Afasia
ii. Apraksia
iii. Agnosia
2. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria 1a dan 1b menyebabkan gangguan bermakna
pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi
sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.
(1) Penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan
harian seseorang (personal activities of daily living) seperti: mandi, berpakaian, makan,
kebersihan diri, buang air besar, dan kecil
Pedoman diagnostik F00 Demensia pada penyakit alzheimer adalah sebagai berikut;
(2) Onset bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat. Onset biasanya sulit
ditentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari adanya kelainan
tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi suatu taraf yang stabil (plateau)
secara nyata
(3) Tidak adanya bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus yang menyatakan
bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain yang
dapat menimbulkan demensia (misalnya hipotiroidisme, hiperkalsemia, defisiensi vitamin
B 12, Defisiensi niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan normal, atau hematom
subdural)
(4) Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologik kerusakan otak
fokal Seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapangan pandang mata, dan
inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu (walaupun fenomena ini
dikemudian hari dapat bertumpang tindih)
Pedoman diagnostik F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer Onset Dini adalah
sebagai berikut;
(3) Adanya riwayat keluarga yang berpenyakit alzheimer merupakan faktor yang
menyokong diagnosis tetapi tidak harus dipenuhi
(3) Suatu onset yang mendadak atau deteriorasi yang bertahap disertai adanya gejala
neurologis fokal meningkatkan kemungkinan diagnosis demensia vaskuler. Pada
beberapa kasus, penetapan hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan atau
pemeriksaan neuropatologis.
Pedoman diagnostik F01.0 Demensia Vaskuler Onset Akut adalah sebagai berikut;
Biasanya terjadi secara cepat sesudah seranngkaian “stroke” akibat trombosis
serebrovaskuler, embolisme atau perdarahan.
Pedoman diagnostik F01.1 Demensia multi infark adalah sebagai berikut; Onsetnya
lebih lambat, biasanya setelah serangkaian episode iskhemik minor yang menimbulkan
akumulasi dari infark parenkim otak.
Pedoman diagnostik F02.0 Demensia pada penyakit PICK adalah sebagai berikut:
(2) Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang menonjol,
disertai euphoria, emosi tumpul, dan perilaku social yang kasar, disinhibisi, dan
apatis atau gelisah
(3) Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya ingat
(1) Ada kaitan antara gangguan gerakan koreiform (Choeriform), demensia, dan riwayat
keluarga dengan penyakit Hungtington
(2) Gerakan koreiform yang involunter, terutama pada wajah, tangan, bahu,atau cara
berjalan khas merupakan manifestasi dini dari gangguan ini. Gejala ini biasanya
mendahului gejala demensia, dan jarang sekali gejala dini tersebut tak muncul sampai
demensia menjadi sangat lanjut
(3) Gejala demensia ditandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis pada tahap dini,
dengan adanya daya ingat relative masih terpelihara, sampai saat selanjutnya
Pedoman diagnostik F02.3 Demensia pada penyakit parkinson adalah sebagai berikut;
Demensia berkembang pada seseorang dengan penyakit parkinson yang sudah parah,
tidak ada gambaran klinis khusus yang dapat ditampilkan.
Pedoman diagnostik F02.4 Demensia pada penyakit HIV adalah sebagai berikut; Sering
lupa, lamban,kurang konsentrasi, sulit membaca dan mengatasi suatu masalah. Apati,
spontanitas, penarikan diri secara sosial.
Pedoman diagnostik F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di-
Tentukan-Yang Di-Klasifikasikan ditempat lain) adalah sebagai berikut; demensia yang
terjadi sebagai manifestasi atau konsekuensi beberapa macam kondisi somatik dan
serebral lain.
Pedoman diagnostik F03 Demensia YTT adalah sebagai berikut; Demensia yang terjadi
bila kriteria umum untuk diagnosis demensia terpenuhi, tetapi tidak mungkin
diidentifikasi pada salah satu tipe.
Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini
atau dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan
penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit
Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis,
pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15
persen pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi
yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang
samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang
paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala
yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler,
endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada
demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat
terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi
dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan
membawa pasien untuk pergi berobat.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena
perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat
berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi
gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat
hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi.
Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat
pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya terlihat
pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia
yang terkait dengan trauma kepala).
6. Diagnosis Banding
Delirium
Delirium Dementia
Depresi
Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif yang sukar
dibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang menyerupai
psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait depresi (depression-related cognitive
dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsi
kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-gejala depresi yang menyolok, lebih
menyadari akan gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien dengan demensia serta sering
memiliki riwayat episode depresi.
Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual yang didapat
(acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-gejala psikosis dan
gangguan pikiran seperti yang terdapat pada demensia.
BAB III
PENATALAKSANAAN
Walaupun penyembuhan total pada berbagai bentuk demensia biasanya tidak mungkin, dengan
penatalaksanaan yang optimal dapat dicapai perbaikan hidup sehari-hari dari penderita (dan juga dari
keluarga atau yang merawat). Prinsip utama penatalaksaannya sebagai berikut :
Hindari pemakaian obat yang memberikan efek samping pada SSP (kecuali dibutuhkan
untuk penatalaksanaan gangguan psikologik atau perilaku)
Hindari situasi yang menekan kemampuan mental, gunakan alat memori dimana mungkin
Depresi
Inkontinensia
Upayakan informasi pelayanan sosial yang ada pada penderita dan keluarganya
1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek
hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak
pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi
fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien
menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin
sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga
kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan
dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif
sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya.
Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan
disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh
dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat
dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan
fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara
“berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah
orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan
untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal
tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan
keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
2. Farmakoterapi
Medikamentosa
a) Mencegah demensia vaskular memburuk Progresifitas demensia vaskular dapat
diperlambat jika faktor resiko vaskular seperti hipertensi, hiperkolesterolemia dan
diabetes diobati. Agen anti platlet berguna untuk mencegah stroke berulang. Pada
demensia vaskular, aspirin mempunyai efek positif pada defisit kognitif. Agen antiplatelet
yang lain adalah tioclodipine dan clopidogrel.
Aspirin: mencegah platelet-aggregating thromboxane A2 dengan memblokir aksi
prostaglandin sintetase seterusnya mencegah sintesis prostaglandin
Tioclodipine: digunakan untuk pasien yang tidak toleransi terhadap terapi
aspirin atau gagal dengan terapi aspirin.
Clopidogrel bisulfate: obat antiplatlet yang menginhibisi ikatan ADP ke reseptor
platlet secara direk.
Agen hemorheologik meningkatkan kualiti darah dengan menurunkan viskositi,
meningkatkan fleksibiliti eritrosit, menginhibisi agregasi platlet dan formasi trombus
serta supresi adhesi leukosit.
Pentoxifylline dan ergoid mesylate (Hydergine) dapat meningkatkan aliran
darah otak. Dalam satu penelitian yang melibatkan 29 pusat di Eropa,
perbaikan intelektual dan fungsi kognitif dalam waktu 9 bulan didapatkan. Di
European Pentoxifylline Multi-Infarct Dementia Study, pengobatan dengan
pentoxifylline didapati berguna untuk pasien demensia multi-infark.
b) Memperbaiki fungsi kognitif dan simptom perilaku Obat untuk penyakit Alzheimer yang
memperbaiki fungsi kognitif dan gejala perilaku dapat juga digunakan untuk pasien
demensia vaskular. Obat-obat demensia adalah seperti berikut :
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi
untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga
harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya
kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obat-
obatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang
digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer.
Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga
meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan
memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori
ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan
neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan
karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai
rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek
samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan
tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75 mg
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
o Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
Antidepresif
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x 10 - 20
mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna
lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
o Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg
Bab V. KESIMPULAN
Dengan meningkatnya populasi usia lanjut di Indonesia, berbagai masalah kesehatan dan
penyakit yang khas yang terdapat pada usia lanjut akan meningkat. Salah satu masalah kesehatan
yang akan banyak dihadapi adaalah gangguan kognitifyang bermanifestasi secara akut berupa
konfusio(gagal otak akut) dan kronis berupa dementia (gagal otak kronis).
Peranan assessment geriatri dalam diagnosis kedua masalah tersebut sangat besar, karena
meningkatkan ketepatan diagnosis pada konfusio dan menyingkirkan diagnosis jenis dementia
yang reversible.
Penatalaksanaan konfusio tergantung dari diagnosis yang didapatkan. Pada jenis
dementia primer terutama penyakit Alzheimer atau demensia senilis tipe Alzheimer, walaupun
pengobatan untuk penyakit primer sekarang belom dimungkinkan, penatalaksanaan berbagai
aspek perilaku baik dengan atau tanpa obat masih dimungkinkan.
Berbagai obat yang bersifat penghambat anti-kolinesterase, yang bertujuan untuk
meningkatkan kadar asetilkolin sesuai dengan pathogenesis penyakit Alzheimer, antara lain
inhibitor kholin esterase dan inhibitor N-meti D-aspartat, saat ini sudah ada di pasaran, walaupun
terhambat oleh factor penggunaannya harus seumur hidup.
Penelitian-penelitian masih intensif dilakukan dalam upaya pencegahan demensia. Suatu
panel ahli geriatris dan psikogeriatris Australia membuat rekomendasi berbagai strategi
perubahan gaya hidup untuk pencegahan demensia. Berbagai macam terapi antara lain terapi
gen, vaksinasi untuk terapi dan pencegahan demensia saat ini masih berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
Shiang Wu, 2011. Adult Development and Aging, New York: HarperCollins Publishers
Wiyoto, 2002. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia. Jakarta: PERDOSSI
Shirdev, E.B & Levey, D.A. 2004. Cross-Cultural Psychology, Critical Thinking and
Contemporary Application, Boston: Pearson Education,Inc
Iemolo F, Givanni D, Caludia R, Laura C, Vladimir H, Calogero C. Review
Pathophysiology of Vascular Dementia. Biomed Central. Canada. 2009.Vol.6. No.13.ppt:1-9