ARTIKEL JURNAL
Di susun oleh :
FAKULTAS HUKUM
BANDAR LAMPUNG
2021
1
ABSTRAK
Tindak Pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun, maka dari
itu kejahatan dapat mengancam setiap orang, baik itu orang dewasa maupun anak-
anak.Tindak Pidana atau yang biasa dikenal dengan strafbaarfeit merupakan
suatu peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat
dipidana. Belakangan ini banyak terjadi pelecehan seksual yang di lakukan oleh
anak di bawah umur.Tentu saja tidak mudah memutuskan sanksi apa yang di
tentukan untuk si pelaku yang umurnya masih bawah umur,karena anak anak
masih memiliki ha untuk tumbuh dan berkembang.Untuk menangani kontradiksi
ini maka di bentuk lah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
PENDAHULUAN
Salah satu kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak terjadi pada bulan
Oktober tahun 2016 di daerah Jatinegara, Jakarta Timur, dimana korban adalah
seorang bocah perempuan yang masih berusia 5 (lima) tahun. Korban dicabuli
oleh 8 (delapan) orang teman sepermainannya disebuah rumah kosong yang
berada tak jauh dari rumah korban. Hal ini baru diketahui oleh orang tua korban
setelah korban mengalami demam selama 3 (tiga) minggu dan dari hasil
pemeriksaan dokter klinik diketahui bahwa organ intim korban mengalami
perlukaan dan infeksi akibat benda tumpul.
2
PERMASALAHAN
Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pelecehan dan
kekerasan seksual terhadap anak meningkat 100% dari tahun 2013 sampai dengan
tahun 2014, baik itu anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku3 . Dan
berdasarkan data dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), pada tahun 2013,
95% siswa kelas 4 - 6 SD di Jakarta pernah melihat konten pornografi4 . Dalam
keadaan darurat kejahatan seksual seperti ini, kita sebagai orang dewasa tidak bisa
diam saja, perlu ada pengawasan yang sangat ketat terhadap berbagai aktifitas
anak, baik itu aktifitas mereka di sekolah maupun di rumah. Selain itu, terkait
dengan anak pelaku pencabulan, harus diberikan perlakuan khusus agar mereka
bisa menyadari bahayanya.
METODE PENELITIAN
Kali ini kita akan menggunakan metode kualitatif Metode Penelitian Kualitatif
Adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara
mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat permasalahan untuk
penelitian generalisasi.
PEMBAHASAN
Pencabulan merupakan suatu peristiwa yang menjadi sorotan saat ini, terutama
karena sekarang ini banyaknya kasus tindak pidana pencabulan yang dilakukan
oleh anak. Anak memiliki pribadi yang sangat unik, dimana anak mampu
bertindak sesuai dengan perasaan, pikiran dan kehendaknya sendiri. Tetapi, tentu
saja lingkungan juga akan iku mempengaruhi perkembangan pribadi dari si anak.
Oleh karena, setiap anak berhak untuk mendapatkan tempat tumbuh yang layak,
jauh dari segala hal yang memberikan efek negatif terhadap perkembangan
pribadinya. Hart Rossi mendefinisikan pelecehan seksual sebagai perbuatan yang
melibatkan orang dewasa sebagai pelaku pelecehan, tetapi pelecehan juga bisa
lain yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun yang mengambil alih.
Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan tidak hanya
terhadap orang dewasa saja, tetapi juga diterapkan terhadap anak pelaku tindak
pidana pencabulan. Pengertian tentang anak dapat ditemukan dalam Undang-
3
Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
(disingkat UUPA). Pasal 1 angka 1 UUPA memberikan pengertian atas anak
sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang
masih berada dalam kandungan
Dalam hal anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan, digunakan UUPA
untuk menerapkan sanksi pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Alasan menggunakan UUPA dalam hal ini agar hak-hak anak selagi menjalani
proses hukum tetap dapat terpenuhi dan terlindungi. Anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam hal anak yang melakukan tindak pidana pencabulan dengan diawali
rayuan-rayuan terlebih dahulu terhadap korbannya, maka perbuatan tersebut
melanggar Pasal 76E UUPA.
Secara umum unsur-unsur pencabulan terdiri daari dua unsur yaitu unsur bersifat
obyektif dan bersifat subyekti seperti yang tercantum dalam pasal 289.
a. Unsur-unsur obyektif
1. Perbuatan Pencabulan
4
kemaluan silaki-laki hanya sekedar menempel diatas kemaluan perempuan tidak
dapat dipandang sebagai persetubuhan tetapi pencabulan.
b. Unsur Subyektif
Sedangkan unsur subyektifnya ada satu, yaitu yang diketahuinya belum dewasa
atau patut diduganya belum dewasa.
Sama seperti persetubuhan, untuk kejahatan ini diperlukan dua orang yang
terlibat. Kalau persetubuhan terjadi antara dua orang yang berlainan jenis, tetapi
pada perbuatan ini terjadi diantara dua orang yang sesama kelamin baik itu laki-
laki sama laki-lakin (Sodomi atayu Homoseksual) ataupun perempuan dengan
perempuan (Lesbian)
Walaupun terjadi antara dua orang yang sesama kelamin, tetapi yang menjadi
subyek hukum kejahatan dan dibebani tanggungjawab pidana adalah siapa yang
diantara dua orang yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum
dewasa. Pembebasan tanggungjawab pada pihak orang yang telah dewasa adalah
wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini adalah untuk melindungi
kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang
melanggar kesusilaan hukum
Dalam KUHP perbuatan cabul diatur dari pasal 289 sampai pasal 296, dimana
dikategorikan sebagai berikut:
5
b. Perbuatan cabul dengan orang pingsan
Hal ini dimuat pada pasal 290 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
“Di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun: barang siapa
melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang itu
pingsan atau tidak berdaya.”
Hal ini di muat pada pasal 290 ayat (2) KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Pelaku pencabulan terhadap anak-anak dibawah umur yang dapat juga disebut
dengan child molester, dapat digolongkan ke dalam (5) kategori, yaitu :
6
d. Pathological : para pelaku pencabulan yang tidak mampu mengontrol
mdorongan seksual sebagai hasil psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh
atau kemerosotan sebelum waktunya (premature senile deterioration)
Kasus pencabulan yang terjadi membuat kita miris, terutama bagi orang tua yang
mempunyai anak – anak kecil. Lalu apa hukuman bagi para pemangsa anak
dibawah umur tersebut?. Dalam “Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak” menyebutkan di “Pasal 76D: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan
atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain“.
Dari pasal 76D tersebut dijelaskan bahwa pelaku pencabulan adalah orang yang
melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Sementara dalam “Pasal 76E:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk
Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.
Untuk ancaman pidana terhadap kasus pencabulan termaktub dalam pasal 81 yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81
(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
7
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Para pelaku pencabulan dan kekerasan terhadap anak akan mendapatkan ancaman
pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak lima miliar
rupiah. Sementara jika pelakunya adalah Orang Tua, Wali, pengasuh Anak,
pendidik, atau tenaga kependidikan maka ancaman pidananya ditambah
sepertiganya.
Melihat faktor dan peran aparat hukum di masyarakat dalam menanggulangi kasus
pencabulan terhadap anak, yang kemudian dijelaskan secara sistematis mengenai
data-data yang diperoleh dalam penelitian berdasarkan tinjauan dari rumusan
masalah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan upaya dalam menangulangi kasus
pencabulan terhadap anak masih belum efektif baik dalam pencegahan maupun
dalam menghapuskan tindak kejahatan pencabulan terhadap anak. Disarankan
kepada pemerintah dan aparat hukum dapat memberantas seluruh film-film dan
bacaan-bacaan yang mengandung unsur fornografi serta memberikan efek jera
bagi pelaku agar menjadi sebuah pelajaran bagi masyarakat.
PENUTUP
Tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak merupakan masalah yang
sangat kompleks dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa. Hal ini dikarenakan Anak adalah calon penerus generasi bangsa. Jika
sejak kecil mereka telah direcoki oleh hal-hal yang merusak mental mereka, maka
akan menjadi apa mereka saat dewasa nanti. Oleh karena itu, untuk melindungi
hak-hak anak Indonesia, maka pemerintah menetapkan UUPA dan UUSPPA agar
hak-hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum dapat tetap terlindungi. Dalam hal
anak melakukan tindak pidana pencabulan tidak dapat diupayakan diversi. Sesuai
dengan aturan dalam Pasal 7 ayat (2) UUSPPA bahwa diversi hanya dapat
diberikan kepada anak yang melakukan tindak pidana dengan pidana penjara
dibawah 7 (tujuh ) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Sedangkan dalam hal pencabulan, terhadap pelaku tindak pidana dikenakan
8
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, maka dari itu diversi tidak dapat
diterapkan bagi anak yang melakukan tindak pidana pencabulan. Meskipun
demikian, hakim dalam memutuskan kasus sanksi pidana terhadap tindak pidana
pencabulan oleh anak tetap harus memperhatikan keadaan mental dan hak-hak si
Anak yaitu dengan memberikan sanksi berupa tindakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 82 ayat 1 UUSPPA.
DAFTAR PUSTAKA
1.BUKU
M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-2,
2013.
2.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
3.INTERNET