Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pandemic COVID-19 adalah peristiwa menyebarnya penyakit korona

virus 2019 (bahasa Inggris: corona virus disease 2019, disingkat COVID-19)

di seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh koronavirus jenis baru yang

diberi nama SARS-CoV-2. Wabah COVID-19 pertama kali dideteksi di Kota

Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019, dan

ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada

11 Maret 2020. Hingga 23 April 2020, lebih dari 2.000.000 kasus COVID-19

telah dilaporkan di lebih dari 210 negara dan wilayah, mengakibatkan lebih

dari 195,755 orang meninggal dunia dan lebih dari 781,109 orang sembuh.

Virus SARS-CoV-2 diduga menyebar di antara orang-orang terutama melalui

percikan pernapasan (droplet) yang dihasilkan selama batuk.

Percikan ini juga dapat dihasilkan dari bersin dan pernapasan normal.

Selain itu, virus dapat menyebar akibat menyentuh permukaan benda yang

terkontaminasi dan kemudian menyentuh wajah seseorang. Penyakit COVID

-19 paling menular saat orang yang menderitanya memiliki gejala, meskipun

penyebaran mungkin saja terjadi sebelum gejala muncul. Periode waktu

antara paparan virus dan munculnya gejala biasanya sekitar lima hari, tetapi

dapat berkisar dari dua hingga empat belas hari.


Virus Covid-19 yang sudah memasuki negara Indonesia terlebih Provinsi

Riau mendapat perhatian khusus dari pimpinan daerah kota pekanbaru.

Dalam mengantisipasi penyebaran virus tersebut pemerintah melakukan

beberapa langkah antisipasi dan pencegahan. Salah satu kebijakan yang

diberlakukan adalah social distancing atau jaga jarak, serta anjuran untuk

keluar rumah memakai masker.

Namun, anjuran-anjuran tersebut masih sulit untuk dilakukan para

masyarakat kota pekanbaru. Masih ada masyarakat yang tidak berpartisipasi

dalam menjalankan kebijakan dan himbauan pemerintah. Masyarakat tidak

merespon dengan baik bahkan melanggar anjuran dan kebijakan yang telah

diberikan, karena mereka tidak menganggap ini merupakan kondisi yang

penting bagi kehidupan. Masyarakat kota pekanbaru kesulitan menjalankan

social distancing karena kebiasaan dalam kebersamaan, kerja sama,

solidaritas, dan sejenisnya sebagai bentuk dari interaksi sosial. Bagi

masyarakat awam, mereka beranggapan social distancing hanya sebatas

menjaga jarak, tanpa tau apa manfaat dan tujuan kebijakan tersebut. Inilah

yang menjadi ancaman bagi masyarakat lainnya.

Upaya penanganan penyebaran Virus Covid-19 ini tidak akan

membuahkan hasil yang diinginkan jika respon dan partisipasi masyarakat

masih kurang. Dengan demikian kebijakan tentang social distancing harus

lebih ditekankan. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud harus perlu

mensosialisasikan kebijakan social distancing secara terus-menerus agar

masyarakat Talaud memahami secara benar tentang kegunaan kebijakan ini


bagi kesehatan bersama masyarakat sebagai hasil dari ikatan relasi sosial

yang sangat kuat. Dengan demikian, penanggulangan wabah Covid-19

memerlukan pendekatan kultural, dan karenanya peranan para tokoh dan

pihakpihak yang memegang kekuatan kultural dalam masyarakat sangat vital.

Perlu melibatkan pemerintah kota seperti wali kota, serta pihak berwenang

seperti jajaran Kepolisian dan TNI dalam hal pengawasan terhadap

masyarakatnya. Tidak ada pilihan lain, mengatasi wabah Covid-19

memerlukan sinergi semua pihak, kesadaran dan pengorbanan semua pihak,

tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat. Berdasarkan penjelasan

diatas peneliti tertarik untuk mengkaji informasi yang dikemas dalam bentuk

makalah yang berjudul “Analisa Implementasi Kebijakan Publik pada

Masa Pandemi Covid-19 di Kota Pekanbaru”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan yang sudah dijelaskan pada latar belakang diatas,

maka dapat dirumuskan masalah yaitu: Bagaimana implementasi kebijakan

publik pada masa pandemi covid-19 di kota Pekanbaru?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan dibuatnya makalah ini guna untuk memberikan informasi kepada

pembaca terkait implementasi kebijakan publik pada masa pandemi covid- 19

di kota Pekanbaru.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada

seseorang, golongan, atau Pemerintah dalam suatu lingkungan dengan

halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan dapat

memenuhi dan mengatasi halangan tersebut di dalam rangka mencapai suatu

cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta suatu tujuan tertentu.

Menurut Rusli Budiman (2013: 9) mengatakan bahwa kebijakan publik

adalah alat untuk mencapai tujuan publik, bukan tujuan orang perorang atau

golongan dan kelompok. Meskipun sebagai alat (tool) keberadaan kebijakan

publik sangat penting dan sekaligus krusial. Penting karena keberadaannya

sangat menentukan tercapainya sebuah tujuan, meskipun masih ada sejumlah

prasyarat atau tahapan lain yang harus dipenuhi sebelum sampai pada tujuan

yang dikehendaki. Krusial karena sebuah kebijakan yang di atas kertas telah

dibuat melalui proses yang baik dan isinya juga berkualitas, namun tidak

otomatis bisa dilaksanakan kemudian menghasilkan sesuai yang selaras dengan

apa yang dinginkan oleh pembuatnya. Juga krusial karena sebuah kebijakan

bisa - dan seringkali terjadi - diperlakukan seolah lebih penting atau sejajar

dengan tujuan yang hendak dicapai, padahal ia hanyalah sekedar alat,

meskipun alat yang sangat penting.

Tidak jarang, bagi sebagian orang atau kelompok tertentu, kebijakan

ditempatkan sedemikian penting, sehingga melupakan esensi dasarnya. Tarik


menarik dalam perjuangan menyusun dan menetapkan kebijakan seolah lebih

penting dari upaya lain yaitu bagaimana mencari cara yang lebih efektif dan

efisien dalam mencapai tujuan. Biaya besar yang dikeluarkan untuk menyusun

kebijakan adalah cerminan betapa pentingnya sebuah kebijakan dan sekaligus

cerminan akan perlakuan berlebihan membangun Pelayanan Publik yang

Responsif seolah hadirnya kebijakan lebih penting dari upaya pencapaian

tujuan yang sebenarnya. Memang perlakukan yang demikian dapat dimengerti

karena tanpa kebijakan publik yang tepat, maka tujuan yang dikehendaki sulit

dicapai. Namun sekali lagi harus proporsional karena sejatinya ia adalah

sebuah alat, meskipun bukan alat yang biasa dalam mencapai sebuah tujuan

organisasi.

Dalam berbagai literatur, kebijakan publik didefinisikan secara

beragam, karena dalam suatu disiplin ilmu terdapat perspektif atau cara

pandang yang bervariasi. Dari berbagai definisi, kebijakan publik memiliki

lingkup yang sangat luas. Hogwood dan dalam Kustriani (2015 :10)

menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yang menunjukkan makna yang

berbeda-beda:

1. Kebijakan sebagai label untuk sebuah aktivitas, misal: kebijakan

pendidikan, kebijakan industri;

2. Kebijakan sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara

yang diharapkan, misal kebijakan tentang pelayanan publik yang

berkualitas dan terjangkau oleh seluruh masyarakat, kebijakan

pengurangan angka kemiskinan;


3. Kebijakan sebagai proposal spesifik, misal kebijakan pengurangan

subsidi bahan bakar minyak;

4. Kebijakan sebagai keputusan pemerintah, misal: Keppres,

keputusan menteri;

5. Kebijakan sebagai otorisasi formal, misal: keputusan DPR;

6. Kebijakan sebagai sebagai sebuah program, misal: program

pengarusutamaan gender;

7. Kebijakan sebagai sebuah keluaran (output), misal pengalihan

subsidi bahan bakar minyak untuk mendorong pengembangan

usaha kecil;

8. Kebijakan sebagai sebuah hasil (outcome), misal: peningkatan nilai

investasi dan pendapatan pengusaha kecil sebagai implikasi

pengalihan subsidi bahan bakar minyak untuk usaha kecil;

9. Kebijakan sebagai sebagai teori atau model, misal: jika

infrastruktur fisik wilayah Indonesia Timur diperbaiki maka

perkembangan sosial ekonomi wilayah itu semakin meningkat; dan

10. Kebijakan sebagai sebuah proses, misal pembuatan kebijakan

dimulai sejak penetapan agenda, keputusan tentang tujuan,

implementasi sampai dengan evaluasi.

B. Proses Kebijakan Publik

Proses kebijakan terkait dengan kegiatan membuat pilihanpilihan

kebijakan beserta tahapannya, yang mempertimbangkan berbagai faktor dalam

lingkungan kebijakan. Seperti yang ditulis oleh Harold Laswell, pertimbangan


tersebut berkenaan dengan who get what, when and how. Dalam pandangan

David Easton (Dye, 1972) ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika

itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena

setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya. Oleh karena itu,

dalam setiap pembuatan kebijakan akan bersinggungan dengan kepentingan

publik yang kompleks. Konsekuensinya pembuatan kebijakan akan selalu

melibatkan publik. Ketika globalisasi semakin meluas, aktor-aktor

internasional pun tidak dapat dilepaskan sebagai bagian yang penting dalam

pembuatan kebijakan publik (bahkan ketika isu yang dibahas adalah isu

domestik.

Secara terperinci, Subarsono (2006) menjelaskan kerangka kerja

kebijakan, yang dalam realitasnya ditentukan oleh beberapa aspek sebagai

berikut.

(1) Tujuan yang akan dicapai. Ini mencakup kompleksitas tujuan yang

akan dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka

akan sulit mencapai kinerja kebijakan yang diinginkan. Sebaliknya,

apabila tujuan kebijakan semakin sederhana, maka semakin mudah

untuk mencapainya.

(2) Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam

pembuatan kebijakan. Suatu kebijakan yang mengandung beberapa

preferensi nilai akan lebih sulit untuk dicapai dibandingkan dengan

suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai saja.


(3) Sumberdaya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan

akan ditentukan oleh sumberdaya: finansial, material dan

infrastruktur lainnya.

(4) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Kualitas suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas para aktor

yang terlibat dalam proses pembuatan dan penetapan kebijakan.

(5) Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik,

dan sebagainya. Kinerja kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks

sosial, ekonomi, politik pada tempat atau wilayah kebijakan

tersebut diimplementasikan.

(6) Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi

implementasi akan mempengaruhi kinerja kebijakan. Strategi

tersebut dapat bersifat top-down atau bottom up approach; otoriter

atau demokratis.

Selanjutnya, Dunn (2004) menjelaskan proses kebijakan publik sebagai

berikut:

(1) penetapan agenda kebijakan (agenda setting), dengan menentukan

masalah publik apa yang akan diselesaikan

(2) formulasi kebijakan, dengan menentukan kemungkinan kebijakan

yang akan digunakan dalam memecahkan masalah melalui proses

forecasting (konsekuensi dari masing-masing kemungkinan

kebijakan ditentukan);
(3) adopsi kebijakan, menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan

para eksekutif dan legislatif, yang sebelumnya dilakukan proses

usulan atau rekomendasi kebijakan;

(4) implementasi kebijakan, tahapan dimana kebijakan yang telah

diadopsi tersebut dilaksanakan oleh organisasi atau unit administratif

tertentu dengan memobilisasi dana dan sumberdaya untuk mendukung

kelancaran implementasi. Pada tahap ini, proses pemantauan

(monitoring) kebijakan dilakukan;

(5) evaluasi kebijakan, adalah tahap melakukan penilaian kebijakan atau

kebijakan yang telah diimplementasikan.

C. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan publik adalah initi dari kebijakan publik, karena

di sini dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Mengenai perumusan

kebijakan publik ini Lester dan Stewart (Purwanto, 2005) mengatakan

bahwa : the stage of the policy process where pertinent and acceptable

courses of action for dealing with some particular public problem are

identifiea and enacted into a law. Sedangkan Jones (1986) mengistilahkan

perumusan kebijakan publik sebagai formulsasi, di mana formulasi adalah

formulation is a derivative of formula and means simply to develop a plan, a

method, a prescription, in this chase for alleviating some need, for acting on a

problem.

Pengertian perumusan kebijakan publik dalam disini mengutip

pendapat Anderson (Winarno, 2002) bahwa perumusan kebijakan


menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif

disepakati untuk masalahmasalah yang dikembangkan dan siapa yang

berpartisipasi. Ia merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan khusus. Sedangkan pembentukan

kebijakan lebih merujuk pada aspek-aspek seperti bagaimana masalah-

masalah publik menjadi perhatian para pembuat kebijakan, bagaimana

proposal kebijakan dirumuskan untuk masalah-masalah khusus, dan

bagaimana proposal tersebut dipilih di antara berbagai alternatif yang saling

berkompetisi.

Pembuatan kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam kebijakan

publik yang berupa rangkaian keputusan. Perumusan kebijakan publik

merupakan salah satu tahap dari rangkaian proses pembuatan dan pelaksanaan

suatu kebijakan publik. Para ahli mengemukakan pandangan tentang definisi

fomulasi kebijakan publik sebagai berikut: Menurut Dunn (2000:132),

perumusan kebijakan (policy formulation) adalah pengembangan dan sintesis

terhadap alternatifalternatif pemecahan masalah.

Winarno (2002:29) menyatakan bahwa masing-masing alternatif

bersaing untuk dipilih sebagai kebijakan dalam rangka untuk memecahkan

masalah. Tjokroamidjojo dalam Islamy (2000:24) menyebutkan perumusan

kebijakan sebagai alternatif yang terus menerus dilakukan dan tidak pernah

selesai, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami

aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan. Berdasarkan

pengertian pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa formulasi


kebijakan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang di bentuk

oleh para aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada

dan dari sekian banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif

kebijakan yang terbaik.

Perumusan kebijakan dibuat bukan tanpa pertimbangan tertentu,

menurut Purwanto (2005) ada asumsi-asumsi yang berkenaan dengan

perumusan kebijakan yaitu: 1) Tidak terbatas hanya dilakukan oleh satu aktor,

2) Sering tidak diawali dengan rumusan permasalahan yang jelas, 3) Tidak

dimonopoli oleh suatu institusi pemerintah, 4) Formulasi dan reformulasi

dapat terjadi secara terus menerus dalam jangka panjang, dan 5) Karena

bersifat kompetisi antar aktor maka formulasi menimbulkan situasi ada yang

kalah dan menang. Tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari

sebuah proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif

kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan

pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama

tersebut.

Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan

kekuatan dan tarik-menarik diantara berbagai kepentingan sosial, politik, dan

ekonomi. Tahap perumusan kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan

atau merajut seperangkat alternatif kebijakan untuk mengatasi sebuah

permasalahan serta mempersempit seperangkat solusi tersebut sebagai

persiapan dalam penentuan kebijakan akhir.

D. Konsep Pelaksanaan (Implementasi)


Leo Agustino (2006; 139), yaitu : pelaksanaan (implementasi)

kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanairn dasar, biasanya dalam

bentuk Undang - undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau

keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya.

keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin dibatasi,

menyebutkan secara tegas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai

cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Van Meter dan Van Hont (Budi Winanrno, 2002; 102) membatasi

pelaksanaan (implementasi) sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu

- individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diaratrkan

untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-

keputusan sebelumnya. Keberhasilan pelaksanaan (Implementasi) kebijakan

akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masingmasing variabel

tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan Edwards III

yang dikutip dalam buku Subarsono (2006:90), implementasi atau pelaksanaan

kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yaitu :

1. Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan

mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus

dilakukan dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus

ditransmisikan kepada kelompok sasaran (Target Group) sehingga

akan mengurangi distorsi implementasi.

2. Sumberdaya (resource), meskipun isi kebijakan telah

dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila


implementor kekurangan sumber daya manusia untuk

melaksanakan, maka impiementasi tidak akan berjalan efektif.

Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia,

misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial.

3. Sikap birokrasi dan pelaksana (disposisi) adalah watak dan

karakteristik yang dimiliki oleh implementor. Apabila implementor

memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat

menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan

oleh pembuat kebijakan. Edward III (1980:98) menyatakan bahwa

sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila

sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan.

Oleh karena itu untuk mengantisipasi hal tersebut, kita dapat

mempertimbangkan/ memperhatikan aspek penempatan pegawai

(pelaksana) dan insentif.

4. Faktor Struktur Birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-

unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian

kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan

yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu

struktur organisasi juga menunjukhan spesialisasi pekerjaan,

saluran perintah dan penyampaian laporan (Edward III 1980: 125).

Struktur organisasi yaug terlalu panjang akan cenderung

melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-type, yakni

prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang menjadikan


aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari struktur organisasi

adalah Standard operating Procedure (SOP) dan fragmentasi


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh

lingkungan. Kebijakan publik lahir karena tuntutantuntutan yang

merupakakan serangkaian pengaruh lingkungan, dan kemudian

ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Transformasi ini dilakukan

oleh berbagai aktor negara, dimana negara menjadi aktor utama. Namun

demikian, dalam lingkungan Negara yang demokratis, peran ini tentunya

tidak selalu menjadi peran dominan pemerintah. Seluruh aktor kebijakan,

pemerintah dan non pemerintah secara kolektif bisa memberikan

kontribusinya.

Berdasarkan hasil informasi yang ditemukan, pemerintah kota

pekanbaru telah membuat beberapa kebijakan guna untuk menangani wabah

covid - 19. Adapaun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah ialah;

1. Selalu menjaga jarak (phisical Distancing) serta patuhi protokol

kesehatan yaitu mencuci tangan dan memakai masker

2. Membatasi pusat keramaian untuk menghindari penyebaran covid

-19, seperti pusat perbelanjaan dan tempat wisata

3. Dalam bidang pendidikan, pemerintah menerapkan pembelajaran

tatap muka yang terbatas dan dilaksanakan secara daring.

4. Mengharuskan pihak tempat usaha untuk menyediakan tempat

cuci tangan dan handsanitizer untuk menghindari covid - 19


5. Seluruh layanan administrasi sementara waktu dialihkan secara

online.

Berdasarkan informasi yang didapatkan mengenai kebijakan

pemerintah dimasa covid -19 diperoleh beberapa informasi terkait

pelaksanaannya, diantaranya :

a. Proses komunikasi yang terjadi dalam implementasi kebijakan

penanggulangan Covid-19 sudah terjalin kerjasama yang baik

antara Pemerintah kota dan perangkatnya. Akan tetapi partisipasi

masyarakat dalam pelaksanaan program tersebut dapat dikatakan

sangat rendah atau kurang hal ini dapat dilihat dari ketidak

patuhan masyarakat terhadap pelaksanaan protokol kesehatan.

b. Kualitas sumberdaya apartur pemerintah Kota Pekanbaru belum

sepenuhnya dapat mendukung implementasi kebijakan

penanggulangan covid – 19 akan tetapi kerjasama yang baik dari

berbagai aspek pemerintahan dapat membantu pelaksanaan

program tersebut. Sedangkan partisipasi masyarakat dalam

membantu untuk mewujudkan kebijakan tersebut sangat kurang.

c. Disposisi (komitmen konsistensi) aparat pemerintah kota dan

provinsi dalam program penanggulangan Covid-19 cukup baik

tapi komitmen masyarakat untuk berpartisipasi dalam program

penanggulangan Covid-19 sangat kurang.

d. Struktur birokrasi melalui mekanisme prosedur dalam

implementasi kebijakan penanggulangan Covid – 19 berjalan


dengan baik tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan

program karena semua dilakukan secara terkoordinasi.

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan serta kesimpulan maka dapatlah

dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :

a. Agar masyarakat patuh terhadap pelaksanaan program penanggulangan

Covid-19 maka kepada pemerinta desa disarankan untuk melakukan

pendekatan serta mengedukasi masyarakat agar dengan sukarela dapat

berpartisipasi melalui keikutsertaan mereka dalam mematuhi protokol

kesehatan.

b. Perlu dilakukan peningkatan koordinasi antar pemerintah atau

organisasi lainnya serta peningkatan kualitas dan kuantitas guna

mendukung program penanggulangan Covid-19.

c. Diperlukan komitmen serta konsistensi pemerintah dalam

melaksanakan program penanggulangan Covid-19 agar apa yang

sudah diprogramkan dapat dilaksanakan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdal, A. (2015). Kebijakan publik: Memahami konsep kebijakan publik.

Agustina, Leo. 2006. Dasar - dasar Kebijakan Publik. Bandung. CV.


Alfabeta.

A. G. Subarsono. 2006. Analisis Kebijakan Publik ; Konsep Teori dan Aplikasi.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Budi Winarno. 2001. Kebijakan Publik : Teori dan Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta:Media Pressindo.

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta: Gajah


Mada University Press

Widodo, J. (2021). Analisis kebijakan publik: Konsep dan aplikasi analisis proses


kebijakan publik. Media Nusa Creative (MNC Publishing).

Winarno Budi, 2008. Kebijakan Publik Teori & Proses. Yogyakarta: MedPress
(Anggota IKAPI)

Anda mungkin juga menyukai