Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MAL-ADMINISTRASI

Dosen Pengampu : Dr. H. NURMAN, S.Sos., M.Si

DISUSUN
OLEH :

MELIYANI
NIM. 207122148

FAKULTAS PASCA SARJANA


PRODI ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
TAHUN 2021
PENDAHULUAN

Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, diperlukan Pegawai


Negeri Sipil yang netral, mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,
profesional, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas serta penuh
kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara
dan Pemerintah Republik Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut, Pegawai Negeri Sipil perlu diperhatikan kualitas
profesionalisme dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat
kepuasan dan keinginan masyarakat. Seiring dengan peningkatan profesionalisme
Pegawai Negeri Sipil tersebut, sistem pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam
jabatan struktural yang ada selama ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan
Struktural, perlu untuk disesuaikan kembali agar dapat lebih berdaya guna dan
berhasil guna dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan
dan keinginan masyarakat dimaksud. Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 tentang perubahan Peraturan Pemerintah
Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam
Jabatan Struktural. Penyempurnaan sistem pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
dalam jabatan struktural meliputi pengaturan kembali mengenai eselon tertinggi
sampai dengan eselon terendah Pegawai Negeri Sipil, pendidikan dan latihan
Pegawai Negeri Sipil, pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan
struktural untuk menduduki jabatan struktural setingkat lebih tinggi dan
keanggotaan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan.
Pengertian Maladministrasi Selama ini banyak kalangan yang terjebak
dalam memahami maladministrasi, yaitu semata-mata hanya dianggap sebagai
penyimpangan administrasi dalam arti sempit, penyimpangan hanya berkaitan
dengan ketatabukuan dan tulis-menulis. Bentuk-bentuk penyimpangan di luar hal-
hal yang bersifat ketatabukuan tidak dianggap sebagai maladministrasi. Padahal
terminology maladministrasi dimaknai secara luas sebagai bagian penting dari
pengertian administrasi itu sendiri. Secara lesikal, administrasi mengandung
empat arti yaitu:
1. usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta secara
penyelenggaraan dan pembinaan organisasi;
2. usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kebijakan untuk mencapai tujuan;
3. kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan;
4. kegiatan kantor dan tata usaha.
Maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan
hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian Materiil
dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Bentuk–bentuk Maladministrasi yang paling umum dapat berupa
penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur,
pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak
profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang–wenang, ketidakpastian
hukum, serta salah pengelolaan (Buku Saku Mal–Administrasi, 2013).
Dari penjelasan diatas maka penulis tertarik membahas maladministrasi yang
pernah terjadi dalam pengangkatan pejabat struktural pada Pemerintah Kabupaten
Pelalawan.

TINJAUAN TEORI
Maladministrasi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU 37/2008”) diartikan sebagai
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut,
termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan
yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan
orang perseorangan. Secara sintaksis substansi Pasal 1 butir 3 UU No. 37 Tahun
2008 memberikan definisi tentang Maladministrasi dapat diurai sebagai berikut:
Maladministrasi adalah:
1. Perilaku dan perbuatan melawan hukum,
2. Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang,
3. Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang itu,
4. Kelalaian,
5. Pengabaian kewajiban hukum,
6. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
7. Dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan,
8. Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial,
9. Bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Maladministrasi Menurut Widodo (2001:259), maladministrasi
merupakan suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi yang
menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi. Sedangkan Nigro dan Nigro
dalam Widodo (2001:259-262), mengemukakan terdapat delapan bentuk
maladministrasi, yaitu:
a. Ketidakjujuran (dishinesty), yaitu suatu tindakan adminsitrasi yang tidak jujur.
Dikatakan ketidakjujuran karena tindakan ini berbahaya dan menimbulkan
ketidakjujuran (distrust), dan merugikan kepentingan organisasi atau
masyarakat.
b. Perilaku yang buruk (unethical behaviour), pegawai (administrator publik)
mungkin saja melakukan tindakan dalam batas – batas yang diperkenankan
hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga
secara hukum tidak dapat dituntut.
c. Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai (administrator publik)
dapat mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan
kepentingannya.
d. Favoritisme dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi
tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk
menguntungkan kepentingan tertentu.
e. Perilaku yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak
adil.
f. Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu
instansi tidak mampu melakukan tugas secara memadai, para adminsitrator
disitu dinilai gagal.
g. Menutup – nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai menutupi kesalahannya
sendiri atau bawahannya, atau menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif,
atau melarang pers meliput kesalahan instansinya.
h. Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagai pegawai gagal membuat keputusan yang
positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan
hukum kepadanya.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002
tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. selanjutnya,
sebagai tindak lanjut dari peraturan pemerintah tersebut, ditetapkan Keputusan
Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2002 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2000 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 2002 tersebut. Dalam
Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 2002 ataupun Keputusan Kepala Badan
Kepegawaian Negara tersebut diatur secara jelas hal-hal mengenai pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural antara lain mengenai pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural, dan mengenai
penilaian dan pertimbangan pengangkatan dalam jabatan struktural, baik pada
instansi pusat maupun instansi di daerah (propinsi, kabupaten/kota).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan
administratif adalah sebagai bentuk pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara
dengan konsesi sebagai sesuatu yang menghasilkan berbagai bentuk jenis produk,
terutama produk informasi yang menjadi sebuah dokumen resmi yang diperlukan
masyarakat. Dokumen resmi tersebut bisa berupa dokumen perizinan maupun
nonperizinan. Sehingga hal tersebut menjadi suatu jenis pelayanan yang paling
banyak diakses masyarakat pada umumnya. Penyelenggaraan pelayanan publik,
pemerintah berusaha melakukan penyampaian layanan berupaya terus
memberikan kemajuan dan peningkatannya agar masyarakat dapat terpenuhi
aneka hak dan kebutuhan dasarnya
Oleh karenanya, diperlukan suatu ikhtiar untuk mewujudkan peningkatan
kualitas pelayanan publik. Salah satu caranya adalah melalui mekanisme
pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan atasan
pelaksana pada unit pelayanan publik yang melakukan pemantauan atas kinerja
pelayanannya. Sementara pengawasan eksternal dilakukan oleh masyarakat luas,
Dewan Perwakilan Rakyat dan suatu lembaga Negara yang dibentuk khusus untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan public terutama
perilaku yang berhubungan dengan proses administratif. Dan lembaga Dalam
menjalankan tugasnya sesuai UU 37/2008, Ombudsman Republik Indonesia tidak
hanya menyelesaikan aneka laporan/aduan masyarakat terkait praktik
maladministratif pada penyelenggaraan pelayanan publik. Upaya pencegahan
maladministrasi salah satunya adalah dengan mendorong kepatuhan
penyelenggara pelayanan dalam memenuhi standar pelayanan publik, sesuai UU
25 Tahun 2009, guna menjamin kepastian hukum masyarakat pengguna
pelayanan.
PEMBAHASAN
Menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 2002
bahwa pengangkatan dalam jabatan struktural Eselon II ke bawah di
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah
Kabupaten Kota (Bupati/Walikota). Untuk dapat diangkat dalam jabatan
struktural, seorang Pegawai Negeri Sipil harus memenuhi persyaratan jabatan
yang ditentukan.
Eselon dan jenjang pangkat jabatan struktural dari yang tertinggi sampai dengan
yang terendah, adalah sebagai berikut:

Jenjang Pangkat, Golongan Jenjang Pangkat, Golongan


Ruang Ruang
No Eselon
Terendah Tertinggi
Pangkat Gol/Ruang Pangkat Gol/Ruang
1 Ia Pembina Utama IV/d Pembina Utama IV/e
Madya
2 Ib Pembina Utama IV/c Pembina Utama IV/e
Muda
3 II a Pembina Utama IV/c Pembina Utama IV/d
Muda Madya
4 II b Pembina IV/b Pembina Utama IV/c
Tingkat I Muda
5 III a Pembina IV/a Pembina Tingkat I IV/b
6 III b Penata Tingkat I III/b Pembina IV/a
7 IV a Penata III/c Penata Tingkat I III/d
8 IV b Penata Muda III/b Penata III/c
Tingkat I
9 Va Penata Muda III/a Penata Muda III/b
Tingkat I

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 syarat seorang Pegawai


Negeri Sipil dapat diangkat dalam jabatan struktural sebagai berikut :
a. Berstatus Pegawai Negeri Sipil
Jabatan struktural hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil. Calon
Pegawai Negeri Sipil tidak dapat menduduki jabatan struktural karena masih
dalam masa percobaan dan belum mempunyai pangkat. Anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara tidak dapat menduduki
jabatan struktural karena tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
b. Serendah-rendahnya memiliki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang
pangkat yang ditentukan. Pegawai Negeri Sipil yang telah memiliki pangkat
satu tingkat lebih rendah dari jenjang pangkat untuk jabatan struktural tertentu,
dipandang telah mempunyai pengalaman dan atau kemampuan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan jabatannya.
c. Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan. Kualifikasi dan
tingkat pendidikan pada dasarnya akan mendukung pelaksanaan tugas dalam
jabatannya secara profesional, khususnya dalam upaya penerapan kerangka
teori, analisis maupun metodologi pelaksanaan tugas dalam jabatannya.
d. Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2
(dua) tahun terakhir. Penilaian prestasi kerja/Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan (DP-3) pada dasarnya adalah penilaian dari atasan langsungnya
terhadap pelaksanaan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, dan
digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan untuk dapat diangkat ke
dalam jabatan yang lebih tinggi. Dalam DP-3 memuat unsur-unsur yang dinilai
yaitu kesetiaan, prestasi kerja, tanggungjawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama,
prakarsa dan kepemimpinan. Apabila setiap unsur yang dinilai sekurang-
kurangnya bernilai baik dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir, maka
pegawai yang bersangkutan memenuhi salah satu syarat untuk dapat
dipertimbangkan diangkat dalam jabatan struktural.
e. Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan.
Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang
Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku
yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai
Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif
dan efisien.
f. Sehat jasmani dan rohani.
Sehat jasmani dan rohani disyaratkan dalam jabatan struktural karena
seseorang yang akan diangkat dalam jabatan tersebut harus mampu
menjalankan tugas secara profesional, efektif, dan efisien. Sehat jasmani
diartikan bahwa secara phisik seorang Pegawai Negeri Sipil tidak dalam
keadaan sakit-sakitan sehingga mampu menjalankan jabatannya dengan sebaik-
baiknya. Sehat rohani diartikan bahwa secara rohani seorang Pegawai Negeri
Sipil tidak dalam keadaan terganggu mental atau jiwanya, sehingga mampu
berfikir baik dan rasional.
Untuk menjamin kualitas dan obyektifitas dalam pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural Eselon II
ke bawah di setiap instansi dibentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan
Kepangkatan (Baperjakat) yang tugas pokoknya adalah memberikan
pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural. Dan untuk
membantu Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dalam melaksanakan
manajemen PNS Daerah dibentuk Badan Kepegawaian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (BKPSDM) yang fungsinya antara lain adalah
menyelenggarakan pelayanan administrasi kepegawaian dalam pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural atau fungsional
sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Permasalahan yang berkaitan dengan pengangkatan pejabat struktural di
lingkungan pemerintah Kabupaten Pelalawan yang pernah terjadi yaitu pada
Jabatan Eselon IV.a di isi oleh Pangkat/Golongan Penata Muda/III.a dimana
merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 untuk pejabat Eselon
IV.a pangkat/golongan minimal Penata/III.c, didalam ketentuan Pelaksanaan PP
Nomor 13 tahun 2002 yang di keluarkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara
Syarat Pengangkatan poin b yang menyebutkan serendah-rendahnya memiliki
pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan. Pegawai
Negeri Sipil yang telah memiliki pangkat satu tingkat lebih rendah dari jenjang
pangkat untuk jabatan struktural tertentu, dipandang telah mempunyai
pengalaman dan atau kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan
jabatannya. Penjabaran dari poin b dapat dipahami bahwa pangkat/gol satu tingkat
dari Penata/III.c yaitu Penata Muda Tingkat I/ III.b. Pada kasus yang dijelaskan
diatas dapat dikategorikan kedalam maladministrasi penyimpangan prodesur yang
tidak mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang
pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan struktural.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Dari pembahasan di atas berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 2002 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan Struktural
telah mengatur batasan minimal dan maksimal pangkat/golongan yang bisa
dilantik menjadi pejabat struktural, untuk eselon IV.a dengan pangkat/golongan
minimal Penata/III.c, jika merujuk dalam ketentuan Pelaksanaan PP nomor 13
tahun 2002 yang di keluarkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara Syarat
Pengangkatan poin b yang menyebutkan Eselon IV.a serendah-rendahnya
memiliki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan.
Pegawai Negeri Sipil yang telah memiliki pangkat satu tingkat lebih rendah dari
jenjang pangkat untuk jabatan struktural tertentu, dipandang telah mempunyai
pengalaman dan atau kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan
jabatanya. penjelasan poin b pangkat 1 (satu) tingkat dibawah jenjang pangkat
yang ditentukan yaitu Penata Muda Tingkat I/ III.b. Jadi jika seorang PNS yang
masih memiliki pangkat/golongan Penata Muda/III.a belum bisa dilantik menjadi
Pejabat Struktural eselon IV.a, maka dari kejadian ini telah terjadi
maladministrasi pada Pelantikan Pejabat Struktural yang berdampak tidak
terlaksananya dengan baik Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 yang telah
mengatur tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.

REKOMENDASI
Bertolak dari hasil penelitian ini, maka perlu dikemukakan saran sebagai berikut :
Kualitas implementasi kebijakan pengangkatan pejabat struktural di BKPSDM
Kabupaten Pelalawan masih perlu ditingkatkan, terutama dalam hal konsistensi
penerapan/pelaksanaan peraturan dan juga obyektivitas dalam proses seleksi dan
penetapan pejabat struktural.

DAFTAR PUSTAKA

Widodo, Joko. 2001 Good Governance, telaah dari Dimensi akuntabilitas dan
kontrol birokrasi pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Insan Cendekia,
Surabaya.

Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-undang Nomor 37 tahun 2008 tentang ombudsman republik
Indonesia
2. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 tentang perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri
Sipil Dalam Jabatan Struktural
3. Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2002
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 100 Tahun 2000
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 2002

Anda mungkin juga menyukai