Status sebagai Nabi dan Rasul tidak dapat diusahakan oleh siapapun. Jika seseorang misalnya
menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah dan meninggalkan segala macam
kesenangan dunia dengan harapan mudah-mudahan diangkat menjadi Nabi, tentu harapannya
akan sia-sia belaka. Sebab status itu hanyalah semata-mata pemberian Allah SWT. Allah-lah
yang memilih dan menentukan siapa yang akan diangkat-Nya menjadi Nabi saja atau menjadi
Nabi dan Rasul sekaligus. Namun demikian sebelum mengangkat seseorang menjadi Nabi
Allah SWT sudah menyiapkan dan memelihara kepribadian orang tersebut sehingga orang
yang akan diangkat menjadi Nabi memiliki kepribadian yang sempurna, jiwa yang utuh, nalar
yang kuat dan akhlak yang mulia. Begitu juga dari segi garis keturunan, seorang yang akan
diangkat menjadi Nabi haruslah memiliki garis keturunan yang baik dan mulia. Di samping
itu diangkat atau tidaknya seseorang menjadi Nabi tergantung juga kepada kondisi
masyarakat di mana dia berada, apakah memang sangat memerlukan diutusnya seorang Nabi
dan Rasul untuk memperbaiki dan membimbing kehidupan mereka yang sudah sangat jauh
menyimpang dari fitrah kemanusiaan.
Prasyarat kepribadian, keturunan, dan kebutuhan masyarakat di atas oleh Abu Bakar Al-
Jazairy diistilahkan dengan “Muahalat An Nubuwwah”, yang intinya ada tiga hal sebagai
berikut:
1. Al-Mitsaliyah (keteladanan)
Artinya seseorang yang akan diangkat menjadi Nabiharuslah memiliki kemanusiaan yang
sempurna baik fisik, akal, pikiran, maupun rohani. Atau dengan kata lain dia haruslah
merupakan pribadi yang mulia dan terpuji. Sselalu menjadi anutan dan contoh teladan. Bebas
dari segala sifat dan tingkah laku yang tidak baik. Oleh sebab itu kehidupan seorang calon
Nabi akan selalu dipelihara dan dijaga oleh Allah SWT sejak kecilnya.
Artinya seseorang yang akan diangkat menjadi Nabi haruslah berasal dari keturunan yang
mulia. Mulaidari pengertian umum yaitu terjauh dari segaa bentuk kerendahan budi dan hal-
hal yang akan menjatuhkan martabat dan nilai-nilai kemanusiaannya. Dia haruslah orang
yang terpandang dan dihormati kaumnya.
Secara umum setiap Nabi dan Rasul memiliki sifat-sifat yang mulia dan terpuji sesuai dengan
statusnya sebagai manusia pilihan Allah SWT, baik dalam hal-hal yang berhubungan
langsung dengan Allah SWT secara vertical maupun dengan sesama manusia dan makhluk
Allah lainnya. Namun demikian secara khusus setiap Rasul memiliki empat sifat yang erat
kaitannya dengan tugasnya sebagai utusan Allah yang membawa misi membimbing umat
menempuh jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Keempat sifat tersebut adalah sebagai
berikut:
1. As-Shidqu (benar)
Artinya selalu berkata benar tidak pernah berdusta dalam keadaan bagaimanapun. Apapun
yang dikatakan oleh seorang Rasul baik berupa berita, janji, ramalan masa depan, dan lain-
lain selalu mengandung kebenaran.
1. Al-Amanah (dipercaya)
Artinya seorang Rasul selalu menjaga dan menunaikan amanah yang dipikulkan ke
pundaknya. Perbuatannyaakan selalu sama dengan perkataannya. Dia akan selalu menjaga
amanah kapanpun dan di manapun, baik dilihat dan diketahui oleh orang lain maupun tidak.
1. At-Tabligh (menyampaikan)
Artinya seorang Rasul akan menyampaikan apa saja yang diperintahkan oleh Allah SWT
untuk disampaikan. Tidak akan ada satupun bujukan atau ancaman yang menyebabkan dia
menyembunyikan sebagian dari wahyu yang wajib disampaikannya.
1. Al-Fathanah (cerdas)
Artinya seorang Rasul memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, pikiran yang jernih, penuh
kearifan dan kebijaksanaan. Dia akan mampu mengatasi persoalan yang paling dilematis
sekalipun tanpa harus meninggalkan kejujuran dan kebenaran.
Mustahil seorang Rasul mempunyai sifat kazib atau pendusta, karena hal tersebut
menyebabkan tidak adanya orang yang akan membenarkan risalahnya. Sedangkan orang
biasa saja yang mempunyai sifat pendusta tidak akan dipercaya orang, apalagi seorang Rasul.
1. Al-Khianat (khianat)
Mustahil seorang Rasul berkhianat, melanggar amanat atau tidak sejalan antara kata dan
perbuatannya. Seorang yang memiliki sifat khianat tidak pantas menjadi Nabi apalagi Rasul.
Mustahil seorang Rasul memiliki sifat kitman atau menyembunyikan wahyu Ilahi. Jika itu
terjadi tentu batal nubuwah dan risalahnya.
1. Al-Baladah (bodoh/dungu)
Mustahil seorang Rasul memiliki sifat baladah atau bodoh, karena hal tersebut akan
menghalangi pelaksanaan risalahnya.
3. Sifat Jaiz Rasul Allah
Sifat jaiz bagi Rasul artinya Rasul adalah manusia biasa yang memiliki sifat kemanusiaan
pada umumnya. Sifat-sifat tersebut seperti membutuhkan makan, minum, merasa haus dan
lapar, terkena sakit, butuh tidur, juga membina rumah tangga. Jadi, rasul adalah manusia
biasa yang memiliki sifat dan kebutuhan seperti manusia pada umumnya, yang mendapat
kepercayaan dan merupakan orang pilihan Allah.
Semua Rasul yang diutus oleh Allah SWT mempunyai tugas yang sama yaitu menegakkan
kalimat tauhid La Ilaha Illallah, mengajak umat manusia hanya beribadah kepada Allah
semata, menjauhi segala macam Thaghut dan menegakkan Agama (iqamatu ad-din)Islam
dalam seluruh kehidupan. Tentang hal ini Allah SWT berfirman dalam QS Al-Anbiya’ 21:25
yang artinya “ Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya : “Bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku.”
Allah SWT juga telah berfirman dalam QS. An-Nahl 16 : 36 yang artinya “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaqhut.”
Allah SWT juga telah berfirman dalam QS. Asy-Syura 42 : 13 yang artinya “Dia telah
mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwariskan-Nya kepada Nabi dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya…”
Allah berfirman dalam QS. Al-An’am 6 :48-49 yang artinya “Dan tidaklah kami mengutus
para Rasul itu melainkan untuk member kabar gembira dan member peringatan. Barangsiapa
yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka
akan ditimpakan siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”
Berdasarkan Q.S. Al-An’am [6] : 48-49, dapat disimpulkan bahwa tugas Rasul adalah
sebagai berikut.
1. Membawa kebenaran
Para Rasul membawa kebenaran berupa agama Allah untuk disampaikan kepada umatnya.
Umat wajib mengikuti kebenaran yang dibawa para Rasul tersebut supaya mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Para Rasul membawa kabar gembira kepada umatnya yang beriman dan beramal sholeh.
Mereka diberi kabar gembira tentang surga yang di dalamnya penuh dengan segala
kenikmatan.
3. Pemberi peringatan
Selain memberi kabar gembira, para Rasul juga bertugas untuk memberi peringatan kepada
umatnya yang membangkang, tidak mau beriman, dan menentang Allah. Dengan peringatan
tersebut, diharapkan mereka takut dan mau kembali ke jalan yang benar.
Menurut buku Karakteristik Umat Terbaik karangan Ali Abdul Halim Mahmud, secara garis
besar tugas rasul dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Riba Fadhl
Pengertian RIba Fadhl adalah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis
yang tidak memenuhi kriteria secara : kualitas, kuantitas dan penyerahan yang
tidak dilakukan secara tunai. Pertukaran jenis ini mengandung ketidakjelasan bagi
kedua belah pihak terhadap barang yang ditukar (dipertukarkan). Dalam lembaga
keuangan perbankan, riba fadhl dapat ditemui pada transaksi jual beli valuta asing
yang tidak dilakukan secara tunai.
2. Riba Nasiah
Pengertian Riba Nasiah ialah riba yang timbul karena adanya hutang piutang yang
tidak memenuhi kriteria untuk muncul bersama risiko dan hasil usaha yang muncul
bersama biaya. Dengan demikian keuntungan muncul tanpa adanya risiko atau hasil
usaha yang diperoleh tanpa adanya biaya modal akan mengakibatkan riba. Dalam
perbankan konvensional, riba nasiah dapat ditemui dalam pembayaran bunga
kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan lain sebagainya.
3. Riba Jahiliyah
Pengertian Riba Jahiliyah yaitu riba karena adanya utang yang dibayar lebih dari
pokoknya karena peminjam tidak mampu melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Ketidakmampuan mengembalikan utang ini kemudian dimanfaatkan oleh kreditur
untuk mengambil keuntungan. Dalam perbankan syariah cara seperti ini dilarang
karena merupakan bagian dari riba.
Ibnu Hajar al-Hatsami mengatakan Riba itu terdiri dari tiga jenis : riba fadl, riba
jahiliyah dan riba an-nasi'ah. Al-Mutawally menambahkan lagi jenis keempat, yaitu
riba al-qardh. Beliau mengatakan semua jenis ini diharamkan secara ijma
berdasarkan nash Alquran dan Hadits Nabi.
SYIRKAH
a. Pengertian Syirkah dalam Islam Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih hingga tidak dapat dibedakan lagi antara bagian yang
satu dengan bagian lainnya. Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha
dengan tujuan memperoleh keuntungan. b. Rukun dan Syarat Syirkah Secara garis besar,
terdapat tiga rukun syirkah sebagai berikut. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani).
Persyaratan orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta). Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi
mencakup pekerjaan atau modal. Adapun persyaratan pekerjaan atau benda yang boleh
dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat
diwakilkan. Akad atau yang disebut juga dengan istilah shigat. Adapun syarat sah akad harus
berupa tasharruf, yaitu harus adanya aktivitas pengelolaan. c. Macam-Macam Syirkah
Syirkah terbagi menjadi 4 macam, yaitu (1) syirkah `inan, (2) syirkah ‘abdan, (3) syirkah
wujuh, dan (4) syirkah mufawadhah. 1) Syirkah ‘Inan Syirkah ‘inan adalah syirkah antara
dua pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal).
Syirkah dalam Islam hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
2) Syirkah ‘Abdan Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa memberikan kontribusi modal
(amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) maupun kerja
fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.
4) Syirkah Mufawadhah Syirkah mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih
yang menggabungkan semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di atas. Syirkah mufawadhah
dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh
digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para
pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inan, atau ditanggung pemodal saja jika
berupa mufawadhah, atau ditanggung oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang
dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah wujuh.