“Hukum Adat”
Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
FAKULTAS SYA’RIAH
CIAMIS - JAWABARAT
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya
dengan judul “Hukum Perkawinan”. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada Nabi Besat Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
alam kebodohan ke alam yanng berilmu pengetahuan.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu pengetahuan
serta wawasannya mengenai tujuan pembelajaran yang dibahas pada makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan
adanya masukan yang berupa kritikan ataupun saran demi kebaikan untuk
penulisan makalah selanjutnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat berguna bagi penulis dan para pembaca semua khususnya dalam
menunjang pembelajaran kita di bidang hukum adat.
20 April 2021
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B.Rumusan Masalah..............................................................................................1
C.Tujuan Makalah.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3
A.Pengertian Perkawinan Adat..............................................................................3
B. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat......................................................................6
C. Tata cara dan upacara pelaksanaan perkawinan dalam Hukum Adat.............11
BAB III PENUTUP............................................................................................13
A. Kesimpulan.....................................................................................................13
B. Saran ...............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita
menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing
masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik
sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. Setiap mahluk hidup
memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni
melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di
Indonesia.
Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena
keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk. Setiap orang
atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka
terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak
yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) 1,bukan
hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu
perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu 1Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor 1,TLN 3019). perkawinan tolak
ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan
yang dianutnya1. Tata cara dan adat perkawinan di Indonesia tergolong beraneka
ragam antara satu dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya
bermacam macam agama adat dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal
yang demikian dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan
beragama2.
1
Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, 1978.
h. 9
2
Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit PT. Intermasa , 2002, h. 1
13
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian hukum perkawinan?
2. Bagaimana bentuk-bentuk perkawinan adat?
3. Bagaimana tata cara dan upacara pelaksanaan perkawinan dalam hukum
adat?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk dapat mengetahui hukum perkawinan.
2. Untuk dapat mengetahui bentuk-bentuk perkawinan adat.
3. Untuk dapat mengetahui tata cara dan pelaksanaan perkawinan dalam
hukum adat.
4.
14
BAB II
PEMBAHASAN
3
Laksanto Utomo, 2016, Hukum Adat, Jakarta, Rajawali Pers, Hlm. 89
15
terdapat secara praktis saja, lagi pula endogami sebetulnya tidak sesuai
dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu Parental.4
b. Sistem Exogami Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan
suku lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun
demikian, seiring berjalannya waktu, dan berputarnya zaman lambat laun
mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan
perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang
sangat kecil saja. Sistem ini dapat di jumpai daerah Gayo, Alas, Tapanuli,
Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.5
c. Sistem Eleutherogami Sistem Eleutherogami berbeda dengan kedua
sistem diatas, yang memiliki larangan-larangan dan keharusan-
keharusan. Eleutherogami tidak mengenal larangan- larangan dan
keharusankeharusan tersebut. Larangan- larangan yang terdapat dalam
sistem ini adalah larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan
yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab
(keturunan) seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga
dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin
dengan musyahrah (per-iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, mertua,
anak tiri.6 Dalam sistem ini dapat di jumpai hampir di seluruh masyarakat
Indonesia.
B.Bentuk-bentuk perkawinan adat
Di Indonesia dapat di jumpai tiga bentuk perkawinan adat, antara lain:
a. Bentuk perkawinan jujur (bridge-gif marriage) Kawin jujur merupakan
bentuk perkawinan di mana pihak laki-laki memberikan jujur kepada
pihak perempuan. Benda yang dapat dijadikan sebagai jujur biasanya
benda- benda yang memiliki magis. Pemberian jujur diwajibkan adalah
untuk mengembalikan keseimbangan magis yang semula menjadi goyah,
oleh karena terjadinya kekosongan pada keluarga perempuan yang telah
4
Soerjono Soekanto, 1992,Intisari Hukum Keluarga, Bandung, Citra Aditya Bakti, Hlm.132
5
16
pergi karena menikah tersebut. Perkawinan jujur di jumpai pada
masyarakat Patrineal. Ciri- ciri perkawinan jujur adalah patrilokal, artinya
isteri bertempat tinggal di kediaman suami atau keluarga suami. Di
samping itu perkawinan jenis ini bersifat exogami yaitu larangan untuk
menikah dengan warga yang se-clan atau se-marga.
b. Bentuk perkawinan semendo (suitor service marriage) Perkawinan
semendo pada hakikatnya bersifat matrilokal dan exogami. Matrilokal
berarti bahwa isteri tidak berkewajiban untuk bertempat tinggal di
kediaman suami. Dalam perkawinan ini biasa dijumpai dalam keadaan
darurat, di mana perempuan sulit mendapatkan jodoh atau karena laki-
laki tidak mampu untuk memberikan jujur.
c. Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage) Dalam bentuk kawin
bebas tidak menentukan secara tegas dimana suami atau isteri akan
tinggal, hal ini tergantung pada keinginan masing- masing pihak. Bentuk
kawin bebas ini bersifat endogami, artinya suatu anjuran untuk kawin
dengan warga kelompok kerabat sendiri. 4. Tujuan Perkawinan Adat
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat
kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan
menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk
kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilainilai
adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarasan. Oleh
karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia
yang satu dan lain berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi
masyarakat juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah yang
lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya. 7
Dalam masyarakat Patrineal, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki (tertua)
harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran
uang jujur), dimana setelah terjadi perkawinan, istri ikut (masuk) dalam
7
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Agama,
Bandung, Hlm. 23
17
kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan
kekerabatan bapaknya. Sebaliknya dalam masyarakat matrineal,
perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu,
sehingga anak perempuan (tertua) harus melaksanakan bentuk
perkawinan ambil suami (semando) dimana setelah terjadinya perkawinan
suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan melepaskan kedudukan
adatnya dalam susunan kekerabatan orangtuanya.
18
bingkisan-bingkisan sirih lengkap dengan bumbu-bumbunya. Ada juga
pembakaran kemenyan dan penyalaan palita (lampu kuno dengan tujuh buah
sumbu). Bingkisan-bingkisan sirih itu kemudian dibawa ke masjid sebagai tempat
untuk melangsungkan pernikahan.
Saat kedua mempelai telah kembali dari masjid disambut oleh tukang sawer
dengan nyanyian-nyanyian yang ditujukan untuk memohon do’a restu kepada
para leluhur. Kemudian mempelai perempuan membawa kendi berisi air di tangan
kanan dan harupat yang sedang menyala ditangan kiri, ada sebuah tunjangan
(papan alat tenun) dengan elekan (suatu alat tenun) dan sebuah telur. Mempelai
laki-laki harus mematahkan dan memecahkan telur dalam satu injakan. Telur
ayam yang dipecahkan melambangkan kerelaan mempelai wanita dipecahkan
kegadisannya, karena sudah menjadi kodrat seorang istri melayani suaminya.
Disamping itu memberi isyarat juga bahwa buah pergaulan kedua suami istri akan
menghasilkan bibit keturunan berupa lendir yang menyerupai isi telur ayam itu.
Manusia lahir dari bahan yang sama-sama oleh karenanya tidak ada alasan sama
sekali seorang untuk merasa angkuh, sombong dan merasa lebih dari yang lain.
Kemudian dilanjutkan dengan upacara huap lingkung. Dalam Bahasa
Indonesia berarti saling menyuap. Yang disiapkan dalam upacara ini adalah nasi
kuning, ayam panggang bagian dada yang dibelah dua, dan air minum. Upacara
ini bertujuan untuk menghapuskan rasa malu diantara kedua mempelai.
Disamping itu dimaksudkan juga untuk memberi petunjuk atau kesan, bahwa bagi
orang yang bersuami istri memberi tidak terbatas, dengan tulus dan ikhlas sepenuh
hati.
Beberapa hari setelah hajat pernikahan, diadakan hajat lagi yang disebut “num
bas” yaitu slametan dengan nasi dan ayam. Perempuan menerima hadiah dari
orang tuanya yang disebut “panumbas”. Setelah itu biasanya ada kebiasaan
upacara ngunduh temanten, yaitu kedua mempelai berdua diboyong ke rumah
mempelai laki-laki.
2. Upacara-upacara Perkawinan Adat Perkawinan di Jawa Tengah
Upacara perkainan adat di daerah Jawa Tengah tidak jauh berbeda dengan
daerah Pasundan, hanya istilah-istilahnya saja yang berbeda. Di daerah Jawa
Tengah setelah upacara lamaran, pemberian paningset serta pertunangan,
menjelang hari pernikahan terdapat upacara-upacara adat.
Menjelang hari pernikahan, calon mempelai laki-laki datang ke rumah calon
mertua atau yang disebut dengan “nyantri” yaitu menunggu sampai tiba saat
nikah. Saat menjelang hari pernikahan juga sudah diadakan upacara-upacara adat
di rumah calon mempelai wanita. Pertama diadakan upacara mandi “kembang
setaman” yakni calon mempelai perempuan sebelum dirias dimandikan dengan air
kembang setaman. Pada malam menjelang hari pernikahan dilangsungkan malam
midodareni, maksudnya adalah untuk memohon hidayah Yang Maha Kuasa serta
restu dari para leluhur supaya perkawinan yang akan dilangsungkan membawa
kebahagiaan.
19
Pada saat perkawinan ada upacara “panggih temanten” yaitu mempelai laki-
laki digandeng oleh pinisepuh pria dan mempelai perempuan digandeng oleh
pinisepuh wanita. Dilakukan juga upacara saling melempar bingkisan sirih,
menginjak telur, mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan
air setaman. Selesai upacara ini, kedua mempelai bergandengan tangan menuju
kursi temanten. Kemudian dilakukan upacara menimbang temanten oleh bapak
mempelai perempuan. Dimana mempelai laki-laki duduk di pangkuan sebelah
kanan, sedangkan mempelai perempuan duduk di pangkuan sebelah kiri.
Kemudian apabila ditanyakan oleh ibu temanten perempuan diantara kedua
mempelai itu siapa yang lebih berat, maka si bapak harus menjawab “sama
beratnya”.
Kemudian dilanjutkan dengan upacara sungkem ataupun ngabekti, yaitu
mempelai berdua berturut-turut mencium lutut para pinisepuh untuk memohon
restu. Kemudian dilanjutkan “dhahar kembul” artinya makan bersama nasi kuning
dengan ingkung ayam. Di daerah-daerah tertentu seperti di Surakarta ada yang
namanya upacara kirab. Beberapa hari setelah hari pernikahan ada upacara sepasar
(lima hari) maka ada kebiasaan ngunduh temanten.
Karena adanya pengaruh dari perkembangan zaman maka upacara-upacara
adat dalam perkawinan juga mengalami perkembangan. Pengaruhnya tidak
sampai menghapus upacara-upacara adat yang sudah ada, namun hanya berupa
penyederhanaan pelaksanaannya saja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka penulis merumuskan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkawinan menurut hukum adat merupakan suatu hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan, yang membawa hubungan yang lebih luas
yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan bahkan antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. 9 Perkawinan biasanya
diartikan sebagai ikatan lahir bathin antara pria dan wanita sebagai suami
isteri, dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam bentuk
9
Laksanto Utomo, 2016, Hukum Adat, Jakarta, Rajawali Pers, Hlm. 89
20
perkawinan yang terjadi berdasarkan aturan- aturan dan norma- norma
yang berlaku dalam masyarakat setempat.
2. Di Indonesia dapat di jumpai tiga bentuk perkawinan adat, antara lain:
1) Bentuk perkawinan jujur (bridge-gif marriage) Kawin jujur merupakan
bentuk perkawinan di mana pihak laki-laki memberikan jujur kepada
pihak perempuan
2) Bentuk perkawinan semendo (suitor service marriage) Perkawinan
semendo pada hakikatnya bersifat matrilokal dan exogami. Matrilokal
berarti bahwa isteri tidak berkewajiban untuk bertempat tinggal di
kediaman suami
3) Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage) Dalam bentuk kawin
bebas tidak menentukan secara tegas dimana suami atau isteri akan
tinggal, hal ini tergantung pada keinginan masing- masing pihak.
3. Upacara di berbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab
dilangsungkan menurut adat kebiasaan di tempat masing-masing.
Sebagai contoh upacara-upacara perkawinan adat di dua lingkungan
hukum adat, yaitu di daerah Pasundan (Jawa Barat) dan didaerah Jawa
Tengah yang apabila kita perhatikan upacara-upacara di kedua daerah ini
meskipun tidak keseluruhannya sama, tetapi garis besarnya sangat mirip
satu dengan yang lainnya.
B. Saran
Untuk kesempurnaan makalah ini, maka penulis memerlukan kritik serta
saran yang sifatnya membangun sebagai tolak ukur kualitas penulisan bagi
pembahasan selanjutnya. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis harapkan kepada para pembaca untuk lebih banyak membaca referensi-
referensi lain seperti jurnal dan buku-buku terkait dengan pembahasan tentang
hukum perkawinan untuk menambah wawasan dan bidang keilmuan bagi para
pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
21
DAFTAR PUSTAKA
Soerojo Wignjodipoero, 1989, Pengantar Dan Asas Hukum Adat, Bandung Hlm.
128
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Agama, Bandung, Hlm. 23
Laksanto Utomo, 2016, Hukum Adat, Jakarta, Rajawali Pers, Hlm. 89
http://sitirubaiahsirub.blogspot.com/2017/04/makalah-hukum-adat-hukum-
perkawinan.html
22