Anda di halaman 1dari 17

CORAK DAN SISTEM HUKUM ADAT

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Adat
Dosen pengampu :
Rahmi Nurtsani,S,SY.,MH

Disusun oleh:

Nu’man Yazid
19.02.1985

Santi latifah
19.02.1989

FAKULTAS SYARI’AH HUKUM KELARGA (AHWAL SYAKHSIYAH)


INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSALM (IAID)
CIAMIS – JAWA BARAT
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Hukum Adat.

Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan Jurnal sebagai refrensi.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan rekan mahasiswa yang tealah mendukung
sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.

Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat

bagi kita semua. Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan
pengangkatan judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga makalah
ini masih memiliki banyak kekurangan yang tentunya masih perlu perbaikan dan penyempurnaan
maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju ke arah yang
lebih baik.

Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya,
sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini. Amin.

Ciamis13, Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN:

A. Latar Belakang........................................................................................

B. Rumusan Masalah...................................................................................

C. Tujuan......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN:

A. Sistem Hukum Adat................................................................................

B. Corak dan Sifat Hukum Adat..................................................................

C. Lingkungan dan Masyarakat Hukum Adat.............................................

D. Kedudukan Hukum Adat.........................................................................

BAB III PENUTUP:

A. Kesimpulan.............................................................................................

B. Saran .......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum Adat, jika kita mendengar kata itu yang terlintas di fikiran kita mungkin adalah suatu
Corak kedaerahan yang begitu kental didalamnya. Karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk
antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka sangat perlu dikaji perkembangannya.
Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke
arah mana perubahan itu.
1
Di era Modern ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita kenal
dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia asia lainnya seperti
Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya
adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan
tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan

Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum
adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“.[1]Bagaimana tempat
dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran,
paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim,
pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri.

1
Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam:
Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sistem Hukum Adat?
2. Apa Corak dan Sifat Hukum Adat?
3. Bagaimana Lingkungan dan Masyarakat hukum adat?
4. Bagaimana Kedudukan Hukum Adat?

C. TUJUAN
1. Agar pembaca mengetahui dan memahami sejarah penemuan hukum adat sehingga
pembaca dapat melestarikan hukum adat di Indonesia ini pada era Modern.
2. Agar pembaca memahami bagaimana kedudukan Hukum Adat di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

1. SISTEM HUKUM ADAT

Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia yang
tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat.[12] Oleh karena itu sistem hukum adat dan
sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :

 Mengenal hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku
terhadap sesuatu orang lain yang tertentu
 Tidak mengenal dua pembagian hak tersebut,
 perlindungan hak ditangan hakim
 Mengenal Hukum Umum dan Hukum Privat
 Berlainan daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada Hukum Barat
 Ada Hakim Pidana dan Hakim Perdata
 Pembetulan hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat reaksi)

2. CORAK DAN SIFAT HUKUM ADAT

 Corak Hukum Adat

Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada dasar pikiran dan
kebudayaan Barat, dan oleh karena itu untuk dapat memahami hukum adat kita harus dapat
menyelami dasar alam pikiran yang hidup pada masyarakat Indonesia.

Hukum adat yang bersendi pada alam pikiran Indonesia itu mempunyai corak yang khusus,
yaitu :

i. Corak Komunal (communal)

Corak komunal atau kebersamaan terlihat apabila warga desa melakukan kerja bakti
ataugugur gunung, Nampak sekali adanya kebiasaan hidup bergotong-royong, tolong-menolong
atau saling bantu-membantu. Rasa solidaritas yang tinggi menyebabkan orang selalu lebih
mengutamakan kepentingan umum daripada diri sendiri.

ii. Corak Religio Magis (magisch-religieus)

Corak religio magis terlihat jelas sekali pada upacara-upacara adat dimana lazimnya
diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan kepada roh-roh leluhur yang ingin diminta restu serta
bantuannya. Juga selamatan pada setiap kali menghadapi peristiwa penting, seperti : kelahiran,
khitanan, perkawinan, kematian, mendirikan rumah, pindah rumah, dan sebagainya.

iii. Corak Konkrit (concreeto)

Corak konkrit, tergambar dalam kehidupan masyarakat bahwa : pikiran penataan serba
konkrit dalam realitas kehidupan sehari-hari menyebabkan satunya kata dengan perbuatan
(perbuatan itu betul-betul merupakan realitasi dari perkataannya).

iv. Corak Visual

2
Corak visual atau kelihatan menyebabkan dalam kehidupan sehari-hari adanya
pemberian tanda-tanda yang kelihatan sebagaibukti penegasan atau peneguhan dari apa yang
telah dilakukan atau dalam waktu dekat akan dilakukan.[13]

- Disamping Coraknya yang berbeda, hukum adat juga mempunyai sifat-sifat yang berbeda
pula dengan hukum Barat, karena adanya perbedaan alam pikiran dan corak yang
mendasari hukum tersebut.

 Sifat Hukum Adat

Dr. Holleman, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in


Indonesische rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia, yang
hendaknya dipandang juga sebagai suatu kesatuan. yaitu sifat religio-magis., sifat komunal, sifat
contant dan sifat konkret. "Religio-magis" itu sebenarnya adalah pembulatan atau perpaduan kata
yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogis, animisme, pantangan,

213
Ibid. hlm.22
ilmu gaib, dan lain-lain. Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-
magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: [14]
a. Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang
menempati seluruh alam semesta dan khusus.
b. Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-
benda;
c. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam
semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang
luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-
benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa;
d. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische
kracht dalam berbagai perbuatan••perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan
manusia atau untuk menolak bahaya gaib;
e. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan
krisis, menyebabkan timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari
dengan berbagai macam pantangan.
3

- F. D. Hollemen juga memberikan uraian yang menjelaskan tentang sifat-sifat Hukum


Adat yaitu :[15]
a. Sifat Commune, kepentingan indibvidu dalam hukum selalu diimbangi dengan
kepentingan umum.
b. Sifat Concreet, yang menjadi objek dalam hukum adat itu harus konkret atau
harus jelas
c. Sifat Constant, penyerahan masalah transaksi harus dilakukan dengan konstan
d. Sifat Magisch, hukum adat mengandung hal-hal yang gaib yang apabila
dilanggar akan menimbulkan bencana terhadap masyarakat.

314
Sri Warjiyati. Memahami Hukum Adat. (Surabaya;IAIN Surabaya,2006) hlm.17
4

3. LINGKUNGAN DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan Hukum
adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam
disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut di bagi lagi dalam
beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw).

 Lingkungan hukun adat tersebut adalah sebagai berikut :


1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
- Tanah Gayo (Gayo Lueus)
- Tanah Alas
- Tanah Batak (Tapanuli)

Ø Tapanuli Utara : Batak Pakpak (Barus), Batak Karo, Batak Simelungun, Batak
Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu).
Ø Tapanuli Selatan : Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola Mandailinag
(Sayurmatinggi).
Ø Nias (Nias Selatan).
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Tanah
Kampar, Kerinci).
4. Mentawai (Orang Pagai)
5. Sumatra Selatan
- Bengkulu (Renjang).
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Reban, Gedingtataan, Tulang Bawang).
- Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Orang Rimba, Batin dan Penghulu).
- Enggano.
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau,Indragiri, Sumatra Timur, Orang Banjar)
7. Bangka dan Belitung

415
Op. Cit. Soepomo. hlm. 3
8. Kalimantan ( Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya,
Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo
Timei, Long Glatt, Dayak Maayan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayat Ot
Danum, Dayak Penyambung Punan).
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo).
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili,
Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar,
Selayar, Muna).
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep.
Kei, Kep. Aru, Kisar).
14. Irian
15. Kep. Timor (Kep. Timor-timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah,
Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima).
16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng,
Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo,
Tulungagug, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18. Daerah Kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).

 Masyarakat Hukum Adat

Sebelum kita mempelajari suatu sistem hukum tertentu, perlu kita ketahui terlebih dahulu
susunan (struktur) masyarakat yang mempunyai hukum itu, karena bentuk dan system hokum
yang berlaku itu merupakan pencerminan dari masyarakat yang menetapkan hukum tersebut.
Susunan masyarakat hukum Indonesia dalam garis besarnya dapat dibedakan dalam empat
system, yaitu :

1. Masyarakat hukum yang Genealogis (tunggal Darah), ialah suatu masyarakat


hukum yang anggota-anggotanya merasa bersatu karena adanya persamaan asal-usul
keturunan atau nenek moyangnya.

- Masyarakat genealogis ini dapat dibedakan dalam :

a. Masyarakat Patrilineal, yaitu yang pertalian kekeluargaannya dilacak dari garis


keturunan laki-laki; misalnya : Marga di Batak.
b. Masyarakat Matrilineal, yaitu yang pertalian kekeluargaannya dilacak dari garis
keturunan perempuan, misalnya Paruik di Minangkabau.
c. Masyarakat Parental, yaitu yang pertalian kekeluargaannya dilacak dari garis
keturunan laki-laki dan perempuan (kedua orang tuanya) seperti : Pandam di Dayak
(Kalimantan Tengah).

Masyarakat dalam susunan Patrilineal dan Matrilineal termasuk dalam susunan yang
Unilateral/ satu Garis, sedangkan yang Parental termasuk susunan yang Bilateral
(Dua garis)

2. Masyarakat hukum territorial (tunggal daerah), ialah masyarakat hukum yang


anggota-anggotanya mewrasa bersatu karena bersama-sama menempati suatu dearah
tertentu. Masyarakat yang semacam ini biasanya disebut masyarakat Desa, yang
mempunyai bentuk bermacam-macam, Antara lain :
a. Desa Kesatan atau Persekutuan Desa, yaitu suatu tempat tinggal bersama yang
merupakan pusat dimana warga desa bersama-sama tinggal dalam wilayahnya sendiri.
Misalnya : Desa di Jawa dan Bali.
b. Desa Serikat atau Persekutuan wilayah, yaitu suatu tempat tinggal yang terdiri
dari beberapa pusat yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi bersama-sama
merupakan bagian yang tercakup dalam suatu masyarakat territorial yang lebih besar.
Misalnya : Kuria dengan huta-hutanya di Mandailing, Marga dengan dusun-dusunnya
di Sumatra Selatan.
c. Perserikatan Desa-desa (Dorpen bond), ialah perserikatan beberapa desa yang
berdiri sendiri dengan tujuan menyelenggarakan kepentingan bersama. Misalnya :
Perserikatan Desa di Bali dalam mengatur masalah pengairan sawah-sawah dan
sebagainya.
3. Masyarakat hokum yang merupakan campuran dari keduasistem diatas; jadi
mempunyai bentuk genealogis tetapi juga territorial, misalnya : Marga di Tapanuli
yang menempati suatu daerah tertentu Nagari di Minagkabau yang di dalamnya
terdapat Paruik-paruik dan Jurai yang genealogis, Kurai dan Huta-hutanya di
Batak,Dusun di daerah Rejang (Bengkulu) dan sebagainya.
4. Masyarakat hokum yang bedasarkan pemufakatan, ialah suatu masyarakat
hukum adat yang terjadi karena adanya kehendak bersama dari para anggotanya
untuk menyelenggarakan kepentingan bersama./ misalnya Subak di Bali, Darma Tirta
di Jawa dan sebagainya.

4. KEDUDUKAN HUKUM ADAT

Warganegara Indonesia asli masih berelaku hukum adat. Keadaan semacam ini masih
berlaku sampai sekarang, karena adanya Pasal II Aturan UUD 1945 yang menegaskan bahwa :
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut UUD ini.

UUD 1945 memang tidak mengatur sacara tegas bagaimana sikapnya terhadap ketentuan
hukum adat yang masih berlaku dalam masyarakat, namun pada dasarnya masih mengakui
perlunya hukum dasar yang tidak tertulis (lihat Penjelasan UUD 1945). Berbeda halnya dengan
konstitusi RIS dan UUD 1950 yang tegas-tegas mengakui berlakunya hukum adat, seperti
tercantum pada pasal 31 Konstitusi RIS (Pasal 32 UUDS) yang menegaskan bahwa : “Setiap
orang yang ada di daerah Negara hurus patuh pada undang-undang, termasuk aturan-aturan
hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah”.
Bahkan dalam pasal 146 Konstitusi RIS/ps. 104 UUDS ditegaskan bahwa : “Segala keputusan
kehakiman (Pengadilan) harus berisi alas an-alasan dan dalam perkara hukuman harus menyebut
aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu”.

Meskipun UUD 1945 tidak mengatur secara tegas tentang berlakunya hukum adat, namun
Tap.MPRS No. II/MPRS/1960 menegaskan bahwa: pembangunan hukum nasional harus di
arahkan kepada homoge nitet hukum dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di
Indonesia, harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang tidak
menghambat perkembangan masyarakat yang adil dan makmur .

Dalam GBHN 1993 [Tap. MPR No. II/MPR/1993], meskipun tidak secara tegas
menjamin berlakunya hukum adat, namun digariskan bahwa pembangunan hukum ini
dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan
hukum yang berlaku dalam masyarakat, terutama dalam lingkungan hukum adat mereka. Sedang
mengenai materi hukum yang digariskan oleh GBHN 1993 untuk ditaati oleh masyarakat, tidak
hanya materi hukum yang tertulius, melainkan juga materi hukum yang tidak tertulis yang
berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan bermasyarakat.

Di samping kedudukan hukum adat sebagai hukum yang tak tertulis ini di sebutkan pula dalam
UU. No. 19 tahun 1964 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman (LN. 1964 No. 107) yang
telah diganti dengan UU. No. 14 tahun 1970 juga tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman
(LN. tahun 1970 No. 74) yang dalam pasal 23 ayat 1 menegaskan bahwa:” segala putusan
pengadilan selain memuat alas an-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula
pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Dengan adanya ketentuan tersebut diatas yang harus di taati oleh semua hakim yang
mengadili perkara pada semua lingkungan pengadilan, maka hukum adat mempunyai
kedudukan yang kuat, karena hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis itu tidak hanya dapat
dijadikan landasan untuk mengambil keputusan, melainkan juga dianggap setaraf dengan hukum
yang tertulis. Dengan menyebut istilah “atau sumber hukum yang tidak tertulis” berarti hukum
adat sendiri tanpa hukum tertulis sudah dapat menjadi landasan untuk mengambil keputusan
hakim.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia
yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat.[12] Oleh karena itu sistem hukum adat
dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :

Hukum Barat

2.Corak Hukum Adat

Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada dasar pikiran dan
kebudayaan Barat, dan oleh karena itu untuk dapat memahami hukum adat kita harus dapat
menyelami dasar alam pikiran yang hidup pada masyarakat Indonesia.

. Corak Komunal (communal)

. Corak Religio Magis (magisch-religieus)

Corak Konkrit (concreeto)

Corak Visual

 Sifat Hukum Adat

Dr. Holleman, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in Indonesische
rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia, yang hendaknya
dipandang juga sebagai suatu kesatuan. yaitu sifat religio-magis., sifat komunal, sifat contant dan
sifat konkret.

3.Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan


Hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya
seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut di bagi lagi
dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw).

 Lingkungan hukun adat tersebut adalah sebagai berikut :


1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
- Tanah Gayo (Gayo Lueus)
- Tanah Alas
- Tanah Batak (Tapanuli)
 Masyarakat Hukum Adat

Sebelum kita mempelajari suatu sistem hukum tertentu, perlu kita ketahui terlebih dahulu
susunan (struktur) masyarakat yang mempunyai hukum itu, karena bentuk dan system hokum
yang berlaku itu merupakan pencerminan dari masyarakat yang menetapkan hukum tersebut.

Susunan masyarakat hukum Indonesia dalam garis besarnya dapat dibedakan dalam empat
system, yaitu :

1. Masyarakat hukum yang Genealogis (tunggal Darah)


2. Masyarakat hukum territorial (tunggal daerah),
3. Masyarakat hokum yang merupakan campuran dari keduasistem diatas; jadi mempunyai
bentuk genealogis tetapi juga territorial,
4. Masyarakat hokum yang bedasarkan pemufakatan
4. Di samping kedudukan hukum adat sebagai hukum yang tak tertulis ini di sebutkan pula
dalam UU. No. 19 tahun 1964 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman (LN. 1964 No.
107) yang telah diganti dengan UU. No. 14 tahun 1970 juga tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman (LN. tahun 1970 No. 74) yang dalam pasal 23 ayat 1 menegaskan bahwa:” segala
putusan pengadilan selain memuat alas an-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus
memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili
B. SARAN

Saya berharap kepada pembaca khususnya mahasiswa Fakultas Hukum bahwa kita harus
melihat Hukum Adat sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum itu sendiri dari aspek
psikologis Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dengan hukum yang ada sekarang
ini. Dan diadakannya studi khususnya mahasiswa Hukum untuk langsung turun ke lapangan
Hukum Adat yang ada dalam masyarakat agar pendatailan data dan esensi Hukum Adat
sendirilebih nyata.
DAFTAR PUSTAKA

Bushar, Muhammad. 1981. Asas-Asas Hukum Adat (suatu pengantar). Jakarta: _______Pradnya
Paramitha.

H.A.M. Effendy. 1994. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Mahdi Offset.

Id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat

Keebet von Benda-Beckmann. 2006. Pluraisme Hukum. Jakarta: Ford Fondation.

Lukito, Ratno. 1998.  Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia. ______Jakarta:
INIS.

Anda mungkin juga menyukai