Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Adat
Dosen pengampu :
Rahmi Nurtsani,S,SY.,MH
Disusun oleh:
Nu’man Yazid
19.02.1985
Santi latifah
19.02.1989
Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Hukum Adat.
Makalah ini ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan Jurnal sebagai refrensi.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada rekan rekan mahasiswa yang tealah mendukung
sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
bagi kita semua. Makalah ini secara fisik dan substansinya diusahakan relevan dengan
pengangkatan judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu dan kesempatan sehingga makalah
ini masih memiliki banyak kekurangan yang tentunya masih perlu perbaikan dan penyempurnaan
maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju ke arah yang
lebih baik.
Demikian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya,
sehingga menambah wawasan dan pengetahuan tentang bab ini. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN:
A. Latar Belakang........................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN:
A. Kesimpulan.............................................................................................
B. Saran .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum Adat, jika kita mendengar kata itu yang terlintas di fikiran kita mungkin adalah suatu
Corak kedaerahan yang begitu kental didalamnya. Karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk
antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka sangat perlu dikaji perkembangannya.
Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke
arah mana perubahan itu.
1
Di era Modern ini terkadang kita lupa akan latar belakang lahirnya hukum yang kita kenal
dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara asia asia lainnya seperti
Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya
adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan
tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan
Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum
adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“.[1]Bagaimana tempat
dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran,
paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim,
pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri.
1
Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam:
Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sistem Hukum Adat?
2. Apa Corak dan Sifat Hukum Adat?
3. Bagaimana Lingkungan dan Masyarakat hukum adat?
4. Bagaimana Kedudukan Hukum Adat?
C. TUJUAN
1. Agar pembaca mengetahui dan memahami sejarah penemuan hukum adat sehingga
pembaca dapat melestarikan hukum adat di Indonesia ini pada era Modern.
2. Agar pembaca memahami bagaimana kedudukan Hukum Adat di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia yang
tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat.[12] Oleh karena itu sistem hukum adat dan
sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :
Mengenal hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku
terhadap sesuatu orang lain yang tertentu
Tidak mengenal dua pembagian hak tersebut,
perlindungan hak ditangan hakim
Mengenal Hukum Umum dan Hukum Privat
Berlainan daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada Hukum Barat
Ada Hakim Pidana dan Hakim Perdata
Pembetulan hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat reaksi)
Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada dasar pikiran dan
kebudayaan Barat, dan oleh karena itu untuk dapat memahami hukum adat kita harus dapat
menyelami dasar alam pikiran yang hidup pada masyarakat Indonesia.
Hukum adat yang bersendi pada alam pikiran Indonesia itu mempunyai corak yang khusus,
yaitu :
Corak komunal atau kebersamaan terlihat apabila warga desa melakukan kerja bakti
ataugugur gunung, Nampak sekali adanya kebiasaan hidup bergotong-royong, tolong-menolong
atau saling bantu-membantu. Rasa solidaritas yang tinggi menyebabkan orang selalu lebih
mengutamakan kepentingan umum daripada diri sendiri.
Corak religio magis terlihat jelas sekali pada upacara-upacara adat dimana lazimnya
diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan kepada roh-roh leluhur yang ingin diminta restu serta
bantuannya. Juga selamatan pada setiap kali menghadapi peristiwa penting, seperti : kelahiran,
khitanan, perkawinan, kematian, mendirikan rumah, pindah rumah, dan sebagainya.
Corak konkrit, tergambar dalam kehidupan masyarakat bahwa : pikiran penataan serba
konkrit dalam realitas kehidupan sehari-hari menyebabkan satunya kata dengan perbuatan
(perbuatan itu betul-betul merupakan realitasi dari perkataannya).
2
Corak visual atau kelihatan menyebabkan dalam kehidupan sehari-hari adanya
pemberian tanda-tanda yang kelihatan sebagaibukti penegasan atau peneguhan dari apa yang
telah dilakukan atau dalam waktu dekat akan dilakukan.[13]
- Disamping Coraknya yang berbeda, hukum adat juga mempunyai sifat-sifat yang berbeda
pula dengan hukum Barat, karena adanya perbedaan alam pikiran dan corak yang
mendasari hukum tersebut.
213
Ibid. hlm.22
ilmu gaib, dan lain-lain. Koentjaraningrat dalam tesisnya menulis bahwa alam pikiran religio-
magis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: [14]
a. Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang
menempati seluruh alam semesta dan khusus.
b. Gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-
benda;
c. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam
semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang
luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-
benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa;
d. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magische
kracht dalam berbagai perbuatan••perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan
manusia atau untuk menolak bahaya gaib;
e. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan
krisis, menyebabkan timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari
dengan berbagai macam pantangan.
3
314
Sri Warjiyati. Memahami Hukum Adat. (Surabaya;IAIN Surabaya,2006) hlm.17
4
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan Hukum
adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam
disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut di bagi lagi dalam
beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw).
Ø Tapanuli Utara : Batak Pakpak (Barus), Batak Karo, Batak Simelungun, Batak
Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu).
Ø Tapanuli Selatan : Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola Mandailinag
(Sayurmatinggi).
Ø Nias (Nias Selatan).
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Tanah
Kampar, Kerinci).
4. Mentawai (Orang Pagai)
5. Sumatra Selatan
- Bengkulu (Renjang).
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Reban, Gedingtataan, Tulang Bawang).
- Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Orang Rimba, Batin dan Penghulu).
- Enggano.
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau,Indragiri, Sumatra Timur, Orang Banjar)
7. Bangka dan Belitung
415
Op. Cit. Soepomo. hlm. 3
8. Kalimantan ( Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya,
Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo
Timei, Long Glatt, Dayak Maayan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayat Ot
Danum, Dayak Penyambung Punan).
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo).
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili,
Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar,
Selayar, Muna).
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep.
Kei, Kep. Aru, Kisar).
14. Irian
15. Kep. Timor (Kep. Timor-timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah,
Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima).
16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng,
Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo,
Tulungagug, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18. Daerah Kerajaan (Surakarta dan Yogyakarta)
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).
Sebelum kita mempelajari suatu sistem hukum tertentu, perlu kita ketahui terlebih dahulu
susunan (struktur) masyarakat yang mempunyai hukum itu, karena bentuk dan system hokum
yang berlaku itu merupakan pencerminan dari masyarakat yang menetapkan hukum tersebut.
Susunan masyarakat hukum Indonesia dalam garis besarnya dapat dibedakan dalam empat
system, yaitu :
Masyarakat dalam susunan Patrilineal dan Matrilineal termasuk dalam susunan yang
Unilateral/ satu Garis, sedangkan yang Parental termasuk susunan yang Bilateral
(Dua garis)
Warganegara Indonesia asli masih berelaku hukum adat. Keadaan semacam ini masih
berlaku sampai sekarang, karena adanya Pasal II Aturan UUD 1945 yang menegaskan bahwa :
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut UUD ini.
UUD 1945 memang tidak mengatur sacara tegas bagaimana sikapnya terhadap ketentuan
hukum adat yang masih berlaku dalam masyarakat, namun pada dasarnya masih mengakui
perlunya hukum dasar yang tidak tertulis (lihat Penjelasan UUD 1945). Berbeda halnya dengan
konstitusi RIS dan UUD 1950 yang tegas-tegas mengakui berlakunya hukum adat, seperti
tercantum pada pasal 31 Konstitusi RIS (Pasal 32 UUDS) yang menegaskan bahwa : “Setiap
orang yang ada di daerah Negara hurus patuh pada undang-undang, termasuk aturan-aturan
hukum yang tak tertulis, dan kepada penguasa-penguasa yang sah dan yang bertindak sah”.
Bahkan dalam pasal 146 Konstitusi RIS/ps. 104 UUDS ditegaskan bahwa : “Segala keputusan
kehakiman (Pengadilan) harus berisi alas an-alasan dan dalam perkara hukuman harus menyebut
aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu”.
Meskipun UUD 1945 tidak mengatur secara tegas tentang berlakunya hukum adat, namun
Tap.MPRS No. II/MPRS/1960 menegaskan bahwa: pembangunan hukum nasional harus di
arahkan kepada homoge nitet hukum dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di
Indonesia, harus sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat yang tidak
menghambat perkembangan masyarakat yang adil dan makmur .
Dalam GBHN 1993 [Tap. MPR No. II/MPR/1993], meskipun tidak secara tegas
menjamin berlakunya hukum adat, namun digariskan bahwa pembangunan hukum ini
dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan
hukum yang berlaku dalam masyarakat, terutama dalam lingkungan hukum adat mereka. Sedang
mengenai materi hukum yang digariskan oleh GBHN 1993 untuk ditaati oleh masyarakat, tidak
hanya materi hukum yang tertulius, melainkan juga materi hukum yang tidak tertulis yang
berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan bermasyarakat.
Di samping kedudukan hukum adat sebagai hukum yang tak tertulis ini di sebutkan pula dalam
UU. No. 19 tahun 1964 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman (LN. 1964 No. 107) yang
telah diganti dengan UU. No. 14 tahun 1970 juga tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman
(LN. tahun 1970 No. 74) yang dalam pasal 23 ayat 1 menegaskan bahwa:” segala putusan
pengadilan selain memuat alas an-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula
pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Dengan adanya ketentuan tersebut diatas yang harus di taati oleh semua hakim yang
mengadili perkara pada semua lingkungan pengadilan, maka hukum adat mempunyai
kedudukan yang kuat, karena hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis itu tidak hanya dapat
dijadikan landasan untuk mengambil keputusan, melainkan juga dianggap setaraf dengan hukum
yang tertulis. Dengan menyebut istilah “atau sumber hukum yang tidak tertulis” berarti hukum
adat sendiri tanpa hukum tertulis sudah dapat menjadi landasan untuk mengambil keputusan
hakim.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia
yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat.[12] Oleh karena itu sistem hukum adat
dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya :
Hukum Barat
Hukum adat sebagai hasil budaya bangsa Indonesia bersendi pada dasar pikiran dan
kebudayaan Barat, dan oleh karena itu untuk dapat memahami hukum adat kita harus dapat
menyelami dasar alam pikiran yang hidup pada masyarakat Indonesia.
Corak Visual
Dr. Holleman, dalam pidato inaugurasinya yang berjudul De Commune trek in Indonesische
rechtsieven, menyimpulkan adanya empat sifat umum hukum adat Indonesia, yang hendaknya
dipandang juga sebagai suatu kesatuan. yaitu sifat religio-magis., sifat komunal, sifat contant dan
sifat konkret.
Sebelum kita mempelajari suatu sistem hukum tertentu, perlu kita ketahui terlebih dahulu
susunan (struktur) masyarakat yang mempunyai hukum itu, karena bentuk dan system hokum
yang berlaku itu merupakan pencerminan dari masyarakat yang menetapkan hukum tersebut.
Susunan masyarakat hukum Indonesia dalam garis besarnya dapat dibedakan dalam empat
system, yaitu :
Saya berharap kepada pembaca khususnya mahasiswa Fakultas Hukum bahwa kita harus
melihat Hukum Adat sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum itu sendiri dari aspek
psikologis Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan dipisahkan dengan hukum yang ada sekarang
ini. Dan diadakannya studi khususnya mahasiswa Hukum untuk langsung turun ke lapangan
Hukum Adat yang ada dalam masyarakat agar pendatailan data dan esensi Hukum Adat
sendirilebih nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Bushar, Muhammad. 1981. Asas-Asas Hukum Adat (suatu pengantar). Jakarta: _______Pradnya
Paramitha.
Id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat
Lukito, Ratno. 1998. Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia. ______Jakarta:
INIS.