PENDAHULUAN
1.1 Maksud
• Menginterpretasikan kenampakan bentang alam karst pada peta topografi.
• Mengetahui kenampakan morfologi bentang alam karst pada peta topografi.
• Mengetahui kelas lereng bentang alam karst pada tiap satuan konturnya pada
peta topografi.
1.2 Tujuan
• Mampu menginterpretasikan kenampakan bentang alam karst pada peta
topografi.
• Mampu mengetahui kenampakan morfologi bentang alam karst pada peta
topografi.
• Dapat menghitung persentase kelerengan bentang alam karst pada tiap
satuan konturnya pada peta topografi.
1
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Pendahuluan
Karst adalah istilah dalam bahasa Jerman yang diambil dari istilah
Slovenian kuno yang berarti topografi hasil pelarutan (solution topography)
(Blomm,1979). Menurut Jenning (1971, dalam Blomm 197), topografi karst
didefinisikan sebagai lahan dengan relief dan pola penyaluran yang aneh,
berkembang pada batuan yang mudah larut (memiliki derajat kelarutan yang
tinggi) pada air alam dan dijumpai pada semua tempat pada lahan tersebut. Flint
dan Skinner (1977) mendefinisikan topografi karst sebagai daerah yang
berbatuan yang mudah larut dengan surupan (sink) dan gua yang berkombinasi
membentuk topografi yang aneh (peculiar topography) dan dicirikan oleh adanya
lembah kecil, penyaluran tidak teratur, aliran sungai secara tiba-tiba masuk ke
dalam tanah meninggalkan lembah kering dan muncul sebagai mata air yang
besar.
Berdasarkan kedua definisi diatas maka dapat ditetapkan suatu pengertian
tentang topografi karst yaitu: “Suatu topografi yang terbentuk pada daerah
dengan litologi berupa batuan yang mudah larut, menunjukkan relief yang khas,
penyaluran yang tidak teratur, aliran sungainya secara tiba-tiba masuk kedalam
tanah dan meninggalkan lembah kering untuk kemudian keluar ditempat lain
sebagai mata air yang besar”.
2
1. Ketebalan Batugamping
Menurut Von Engeln, batuan mudah larut (dalam hal ini
batugamping) yang baik untuk perkembangan topografi karst harus
tebal. Batugamping tersebut dapat masif atau terdiri dari beberapa
lapisan yang membentuk satu unit batuan yang tebal, sehingga
mampu menampilkan topografi karst sebelum batuan tersebut habis
terlarutkan dan tererosi. Ritter (1978) mengemukakan bahwa
batugamping yang berlapis (meskipun membentuk satu unit yang
tebal), tidak sebaik batugamping yang massif dan tebal dalam
pembentukan topografi karst ini. Hal ini dikarenakan material sukar
larut dan lempung yang terkonsentrasi pada bidang perlapisan akan
mengurangi kebebasan sirkulasi air untuk menmbus seluruh lapisan.
Sebaliknya pada batugamping yang massif, sirkulasi air akan berjalan
lancar sehingga mempermudah terjadinya proses karstifikasi.
2. Porositas dan Permeabilitas
Kedua hal ini berpengaruh terhadap sirkulasi air dalam batuan.
Menurut Ritter (1978), porositas primer ditentukan oleh tekstur
batuan dan berkurang oleh proses sementasi, rekristalisasi dan
penggantian mineral (misal: dolomitisasi) sehingga porositas primer
tidak begitu berpengaruh terhadap proses karstifikasi. Sebaliknya
dengan porositas sekunder yang biasanya terbentuk oleh adanya
retakan atau pelarutan dalam batuan. Porositas (baik primer maupun
sekunder) biasanya mempengaruhi permeabilitas yaitu kemampuan
batuan batuan untuk melalukan air. Disamping itu permeabilitas juga
dipengaruhi oleh adanya kekar yang saling berhubungan dalam
batuan. Semakin besar permeabilitas suatu batuan maka sirkulasi air
akan berjalan semakin lancar sehingga proses karstifikasi akan
semakin intensif.
3
Intersitas struktur terutama kekar sangat berpengaruh terhadap proses
karstifikasi. Disamping kekar dapat mempertinggi permeabilitas
batuan, zona kekar merupakan zona yang lemah yang mudah
mengalami pelarutan dan erosi sehingga dengan adanya kekar dalam
batuan proses pelarutan dan erosi berjalan intensif. Ritter (1978)
mengemukakan bahwa kekar biasanya terbentuk dengan pola tertentu
dan berpasangan (kekar gerus), tiap pasang membentuk sudut antara
70° sampai 90° dan mereka saling berhubungan. Hal inilah yang
menyebabkan kekar dapat mempertinggi porositas dan permeabilitas
sekaligus sebagai zona lemah yang menyebabakan proses pelarutan
dan erosi berjalan lebih intensif. Apabila intensitas pengkekaran
sangat tinggi maka batuan menjadi mudah hancur atau tidak memiliki
kekauatan yang cukup. Disamping itu permeabilitas mejadi sangat
tingi sehingga waktu sentuh batuan dan air sangat cepat. Hal ini
menghambat proses kartifikasi (Ritter, 1978).
4
dan bila batuannya mengandung mineral kalsit lebih dari 50% maka
batuannya disebut batugamping. Batugamping inilah yang
mempunyai kecenderungan untuk membentuk topografi karst.
2. Kondisi Kimia Media Pelarut
Media pelarut dalam proses karstifikasi adalah air alam (natural
water) (Jehning, 1971 Vide Bloom, 1979). Kondisi kimiawi media
pelarut ini sangat berpangaruh pada proses karstifikasi.
Flint dan Skinner (1979) mengemukakan bahwa kalsit sangat sulit
larut dalam air murni, akan tetapi ia akan larut dalam air yang
mengandung asam. Di alam, air hujan akan mengikat karbondioksida
(CO2) dari udara dan dari tanah disekitarnya membentuk air / larutan
yang bersifat asam yaitu asam karbonat (H2CO3). Larutan inilah yang
akan melarutkan batugamping. Dengan demikian bahwa sifat
kimiawi media pelarut sangat dipengaruhi oleh banyaknya
karbondioksida yang diikatnya.
5
Iklim dan lingkungan merupakan dua hal yang sering kali sulit untuk
dipisahkan. Lingkungan dalam arti sempit adalah kondisi disekitar tempat
yang dimaksud (dalam hal ini adalah lahan pembentukan topografi karst)
dan lingkungan dalam arti luas meliputi seluruh aspek biotik dan abiotik
yang ada di daerah yang dimaksud.
Didalam membahas lingkungan dalam arti sempit, Von Engeln
(1942) mengemukakan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung
pembentukan topografi karst adalah adanya lembah besar yang
mengelilingi tempat yang tinggi, yang terdiri dari batuan mudah larut
(batugamping) yang terkekarkan dengan intensif. Kondisi ini menyebabkan
air tanah pada tempat yang tinggi dapat turun, menembus batugamping
tersebut dan melarutkannya dengan bebas. Selanjutnya air tanah tersebut
masuk kedalam lembah sebagai air permukaan.
Lingkungan dalam arti luas mencakup kondisi biotik (aktifitas
biologis) dan kondisi abiotik (suhu, curah hujan, presipitasi dan
penguapan) daerah yang dimaksud. Kondisi biotik dan abiotik disuatu
daerah sangat ditentukan oleh iklim daerah tersebut (Bloom, 1979).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kondisi biotik dan abiotik tersebut
sangat mempengaruhi proses eksogenik, yaitu baik pelapukan ataupun
pelarutan batugamping. Dengan demikian berarti bahwa iklim sangat
mempengaruhi proses eksogenik pada suatu daerah.
Daerah yang beriklim tropis basah (lintang 0° – 13°) curah hujan
cukup tingggi, kombinasi suhu dan presipitasi ideal untuk berlangsungnya
proses pelarutan sehingga proses karstifikasi berjalan sangat bagus (Riter,
1978). Selain itu sikulasi air tanah sangat baik, tumbuh-tumbuhan lebah
dan aktifitas mikroba cukup tinggi sehingga sangat mendukung terjadinya
proses karstifikasi. Air tanah di daerah ini sangat reaktif untuk pelarutan
dan suhu udara cukup tinggi sehinga reaksi kimia untuk melarutkan
batugamping berjalan lebih cepat. Menurut Bloom (1979), air tanah di
daerah tropis mengandung asam organik dan komponen nitrat sehingga
6
agrasifitasnya naik. Dengan kondisi daerah semacam ini maka topografi
kras dapat berjalan dengan baik di daerah beriklim tropis basah. Topografi
karst yang dapat terbentuk pada daerah tropis basah sangat bervariasi baik
konstruksional maupun topografi sisa.
7
50 cm. biasanya terbentuk pada permukaan batuan yang datar atau miring
rendah dan dikontrol oleh struktur yang memanjang.
e) Speleothem, adalah hiasan yang terdapat didalam gua yang dihasilkan
oleh endapan berwarna putih, bentuknya seperti tetesan air, mengkilat dan
menonjol. Hiasan ini merupakan endapan CaCO3 yang mengalami
presipitasi pada saat air tanah yang membawanya masuk kedalam gua.
f) Fitokarst, adalah permukaan yang berlekuk-lekuk, dengan lubang-lubang
yang saling berhubungan.
8
Bentuk-bentuk sisa pelarutan adalah morfologi yang terbentuk karena
pelarutan dan erosi sudah berjalan sangat lanjut sehingga meninggalkan sisa yang
khas untuk lahan karst. Bentuk lahannya adalah sebagai berikut :
a) Kerucut karst, yaitu bukit karst yang berbentuk kerucut, berlereng terjal
dan dikelilingi oleh depresi yang biasanya disebut sebagai bintang.
b) Menara karst, adalah bukit sisa pelarutan dan erosi berbentuk menara
dengan lereng yang terjal, tegak atau menggantung, terpisah satu dengan
yang lain dan dikelilingi oleh dataran alluvial.
c) Mogote, adalah bukit terjal yang merupakan sisa pelarutan dan erosi,
umumnya dikelilingi oleh dataran alluvial yang hampir rata (flat).
Bentuknya kadang-kadang tidak simetri antara sisi yang mengarah ke
arah datangnya angin dengan sisi sebaliknya
9
BAB III
PERHITUNGAN MORFOMETRI
Δh = jumlah kontur x IK
= 5 x 12,5 m
= 62,5 m
• Sayatan 1
d = 0,5 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100 %
= 12500 cm = 62,5125×100
%
= 125 m = 50 %
• Sayatan 2
d = 0,4 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100
%
= 10000 cm =
62,5100×100 %
= 100 m = 62,5 %
• Sayatan 3
d = 0,7 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100
%
10
= 17500 cm =
62,5175×100 %
= 175 m = 35,714 %
• Sayatan 4
d = 0,6 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100 %
= 15000 cm =
62,5150×100 %
= 150 m = 41,67 %
• Sayatan 5
d = 0,8 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100 %
= 20000 cm =
62,5200×100 %
= 200 m = 31,25 %
IK = 12000 × skala
= 12000 ×25000
= 12,5 m
Δh = jumlah kontur x IK
= 5 x 12,5 m
11
= 62,5 m
• Sayatan 1
d = 1,1 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100 %
= 27500 cm = 62,5275×100
%
= 275 m = 22,73 %
• Sayatan 2
d = 1,4 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100
%
= 35000 cm =
62,5350×100 %
= 350 m = 17,86 %
• Sayatan 3
d = 1,5 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100 %
= 37500 cm =
62,5375×100 %
= 375 m = 16,67 %
• Sayatan 4
d = 1,6 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100 %
= 40000 cm =
62,5400×100 %
= 400 m = 15,625 %
• Sayatan 5
d = 1 cm x 25000 % lereng = ∆hd ×100 %
12
= 25000 cm =
62,5250×100 %
= 250 m = 41,67 %
13
BAB IV
PEMBAHASAN
14
Potensi positif dari satuan daerah struktural berkontur renggang adalah
sebagai objek studi geologi. Sedangkan potensi negatifnya adalah longsor, erosi,
dan sering terjadi gerakan tanah. Tata guna lahannya adalah sebagai lahan untuk
dibangun pemukiman warga dan juga sebagai lahan perkebunan dan pertanian.
15
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
• Besar rata-rata persentase kelerengan satuan daerah bentang alam struktural
dengan sayatan 5 kontur adalah sebesar 19,577 % atau atau berdasarkan
klasifikasi Van Zuidam tergolong berbukit terjal dan beda tinggi antara top
hill dan down hill nya sebesar 283 m.
• Besar rata-rata persentase kelerengan satuan daerah bentang alam volkanik
berkontur rapat dengan sayatan 5 kontur adalah sebesar 44,277% atau
berdasarkan klasifikasi Van Zuidam tergolong pegunungan sangat terjal,
erosi dan gerakan tanah sering terjadi dan beda tinggi antara top hill dan
down hill nya sebesar 53 m.
• Litologi yang terdapat pada bentang alam karst umumnya batugamping
5.2 Saran
• Praktikan sebaiknya menguasi materi sebelum melakukan praktikum.
• Praktikan harus serius mengikuti kegiatan praktikum dan menjaga ketertiban
selama praktikum berlangsung.
16
DAFTAR PUSTAKA
Asisten Geologi Fisik 2010. 2010. Panduan Praktikum Geologi Fisik dan Dinamik.
Semarang : Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro.
http://cahyaroma.wordpress.com/2010/05/26/potensi-topografi-karst-di-gunungkidul/
(diakses pada 2 Mei 2011 pukul 15.00)
Noor, Djauhari. 2009. Proses-Proses Geologi dalam : http://www.docstoc.com
17