Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan
dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan
maupun zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang
banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma. Asma merupakan penyakit
inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk,
dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir
prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi
juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik
baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir
separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan
melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut
disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman
yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).1
Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari
lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban
global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi
penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di
sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan
bahkan kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-
5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan
bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia
SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma

1
(gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya
mempunyai gejala klasik.2
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter
sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong
penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang
sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan.
Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti
bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan
pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah
terjadinya serangan asma.3

DEFINISI ASMA BRONKIAL


Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan
peradangan; penyempitan ini bersifat sementara/reversible.4
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya
respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah
baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.5
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis.
Ciri- ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada
malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang
sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode
obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada
ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran
napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan
asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara
terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya
perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2
jam.6

2
FAKTOR RISIKO
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik
dan faktor lingkungan.1
1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga
alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor
pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen
maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14
tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali
dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa
perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan
faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat
mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum
jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma,
dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.

2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa,

3
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna
makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam
lainnya, eritosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati,
penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena
jika stressnya belum diobati maka gejala asmanya lebih sulit
diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan
asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan
efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko
terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma
akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas jasmani
atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca

4
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musin kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status ekonomi

PATOGENESIS
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan
pada beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi
karena degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen,
menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamin dan
leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat ini telah
dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran
napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator
yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi
bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus
dan stimulasi refleks saraf.8
1. Inflamasi Saluran Napas
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang
sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel
inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses
inflamasi kronik dan remodelling.8
a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular.
Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi
spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel
limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan
meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster
differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit
T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1dan Th2. Sel Th1 mensekresi
interleukin-2 (IL-2), IL-3, Granulocytet Monocyte Colony
Stimulating Factor (GMCSF), interferon- (IFN-) dan Tumor
Necrosis Factor-(TNF-) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5,

5
IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan
aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel
pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/ APC).
b. Mekanisme limfosit T-IgE
Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit
T dengan bantuan Major Histocompatibility (MHC) klas II, limfosit
T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian
berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan
produknya akan mempengaruhi dan me- ngontrol limfosit B dalam
memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B
dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit B
memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen
yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin
E spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor
IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila
alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan
berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi
inflamasi.
c. Mekanisme limfosit T•non IgE
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4,
IL-5, IL- 9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang
lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang
kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein
toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu
penyebab hiperesponsivitas saluran napas (Airway
Hyperresponsiveness/AHR).

6
Gambar 2. Respon Immun Pada Asma

2. Hiperesponsivitas Saluran Napas


Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus
berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai
rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat
secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat
di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas.
Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas melalui
beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel
saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa
sekresi kelenjar, kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf
otonom dan perubahan sel otot polos saluran napas. Reaksi imunologi
berperan penting dalam patofisiologi hiperesponsivitas saluran napas
melalui pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin (PG),
leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan
eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic
protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF).8

7
Gambar 3. Penyempitan Saluran Napas Pada Asma

3. Sel Inflamasi
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun
peran tiap sel yang tepat belum pasti.
a. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast
banyak didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel
bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan membran
basalis. Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin,
PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF.
Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas
vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Sel mast juga
melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive intestinal
peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting
granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam
mekanisme anti inflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang
dilepaskan eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap
alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR.
b. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat
reseptor IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa,

8
submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE
dependent sehingga berperan dalam proses infla-masi. Makrofag
melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan
A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi
komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai
pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai
APC yang akan menghantarkan alergen pada limfosit.
c. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh
IL-3, IL- 5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran
khas saluran napas penderita asma dan membedakan asma dengan
inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan menyebabkan
peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar
(broncho-alveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung
antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan AHR.
Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan
protein dasar dan oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan
mediator LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, MBP, Eosinophyl
Cationic Protein (ECP) dan Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN)
sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi
basofil dan sel mast. Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang
AHR.
d. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil
menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan
metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan
sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF.
Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas
penderita asma kronik dan berat selama eksaserbasi atau setelah
pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan bahwa
neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan
yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.

9
e. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas
penderita asma yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa
bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil mendapatkan limfosit
intra epitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi.
Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan
berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti
IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan
maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor),
memperpanjang masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai
minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.
f. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel
yang melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat.
Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas penderita
asma setelah pajanan alergen.
g. Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling
berpengaruh dan memegang peranan penting pada respons awal
asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil alergen,
mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi
lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel
dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di
bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan
limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.
h. Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel,
miofibroblas dan fibroblas merupakan sumber penting mediator
inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada respons inflamasi
kronik. Pada penderita asma jumlah mio fibroblas di bawah
membran basal retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara
jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal retikular.8

4. Mediator Inflamasi

10
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai
pengaruh pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin,
prostaglandin, PAF, leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular,
peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi
berbagai mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap mediator
memiliki beberapa pengaruh.8
a. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel
mast dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga
jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan
bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan
permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan
meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3
akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat
reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast.
b. Prostaglandin
Prostaglandin (PG) D2 dan PGF2 merupakan bronkokonstrikstor
poten. Prostaglandin E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek
normal invivo, menyebabkan bronkokonstriksi lemah pada penderita
asma dengan merangsang saraf aferen saluran napas. Prostaglandin
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara
mengaktifkan reseptor tromboksan prostaglandin.
c. Platelet activating factor (PAF)
Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid,
dapat dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada
percobaan in vitro
ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos
saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos
saluran napas. Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo
merupakan akibat sekunder edema saluran napas karena kebocoran
mikrovaskular yang disebabkan rangsangan PAF. Platelet activating
factor juga dapat merangsang akumulasi eosinofil, meningkatkan
adesi eosinofil pada permukaan sel endotel, merangsang eosinofil

11
agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE
terhadap eosinofil dan monosit.

d. Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat,
berperan penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan,
udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi
otot polos melalui mekanisme non histamin dan terdiri atas LTA4,
LTB4, LTC4, LTD4dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan
edema jaringan, migrasi eosinofil, merangsang sekresi saluran napas,
merangsang proliferasi dan perpindahan sel pada otot polos dan
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.
e. Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi,
dapat menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan
utama dalam inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan oleh limfosit T,
makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin IL-3
dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas.
Inter-leukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil,
Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B membentuk
IgE.
f. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel.
Merupakan mediator peptida poten yang menyebabkan
vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat
jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan
proliferasi sel otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip
profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.
g. Nitric oxide (NO)
Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan
nonsaraf, diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis
NO. Berperan sebagai vasodilator, neurotransmiter dan mediator
inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang dihembuskan
penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang normal.

12
h. Radikal bebas oksigen
Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion
superoksida, hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH),
anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa
tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif. Pada binatang
percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot
polos saluran napas. Superoksid berperan dalam proses inflamasi
dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. Jumlah oksidan
yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan
bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular
serta peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen
dapat merusak DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak
pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik
saluran napas.
i. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat
pengaruh kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan
konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro merupakan
konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan
aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak
napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi sel
epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C
sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.
j. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin
gene-related peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran
napas. Neurokinin A menyebabkan bronkokonstriksi, substan P
menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP menyebabkan
hiperemi kronik saluran napas.
k. Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi
pada penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor
lemah dan berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast.8
5. Mekanisme Saraf

13
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan
melalui mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan
non adrenergik non kolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat
kompleks.
a. Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas
dominan pada binatang dan manusia. Peningkatan refleks
bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui neurotransmiter atau
stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi
seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.
b. Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran
napas secara tidak langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin
dalam tubuh. Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis,
katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor
adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan
bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan
menyebabkan bronkodilatasi.
c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)
Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-
NANC) yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi.
Peran NANC pada asma belum jelas, diduga neuropeptida yang
bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin A
menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi
bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor
penghambat saraf NANC menyebabkan pemecahan bahan
neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).8

PATOFISIOLOGI
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor,
antara lain alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon
inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis
dan syaraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE,
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase

14
cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi,
antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial
paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
sesorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang
tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE
yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran nafas.1
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi
segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang
terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin
yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu.
Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting
cell (APC) merupakan sel-sel kunci fdalam patogenesis asma.1
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel
mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga
epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus,
sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan menbuat epitel saluran napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat
terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma
terjadi melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang
terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A, dan Calcitonin Gen- Related Peptid (CGRP).

15
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi,
edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktifasi sel-sel
inflamasi.1
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung,
yang merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus.
Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara
dingin, inhalasi antigen, dan inhalasi zat nonspesifik.1

KLASIFIKASI
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti
bahwa derajat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat
gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak
tergantung dari derajat sebelumnya.
4. Klasifikasi menurut etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal
itu sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak
diketahui.
5. Klasifikasi menurut derajat berat asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan
obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat
besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat.
6. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada
umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau
sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol
adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya
diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah
memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan
pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.

16
7. Klasifikasi menurut gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan
dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang
dapat menentukan berat ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan
gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasikan
penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting
untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh
berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala,
eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis,
dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol
asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat).
Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi
serangan danobat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat
dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global initiative for
asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma
serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini
perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma
akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma,
tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus
diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang
datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang
dewasa1
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
intermitten Bulanan ≤2 kali sebulan APE ≥80%
Gejala <1x/minggu, VEP1 ≥80% nilai
tanpa gejala di luar prediksi APE
serangan ≥80% nilai

17
Serangan singkat terbaik
Variabilitas APE
<20%
Persisten ringan Mingguan >2 kali sebulan APE >80%
Gejala >1x/minggu, VEP1 ≥80% nilai
tetapi <1x/hari prediksi APE
Serangan dapat ≥80% nilai terbaik
menggangu aktivitas Variabilitas APE
dan tidur 20-30%
Persisten Harian >2 kali sebulan APE 60-80%
sedang Gejala setiap hari -VEP1 60-80%
Serangan menggangu nilai prediksi APE
aktivitas dan tidur 60-80%
Bronkodilator setiap nilai terbaik
hari -Variabilitas APE
>30%
Persisten berat Kontinyu Gejala Sering APE ≤60%
terus menerus Sering VEP1 ≤60% nilai
kambuh aktivitas prediksi APE
fisik terbatas ≤60% nilai terbaik
Variabilitas APE
>30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma9


Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk
membungkuk ke
depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
terganggu terganggu terganggu

18
Frekuensi Meningkat meningkat Sering >30
napas kali/menit
Retraksi otot- Umumnya tidak Kadang kala ada ada
otot ada
bantu napas
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi <100 100-120 >120
nadi
Pulsus Tidak ada Mungkin ada (10- Sering ada (>25
paradoksus (<10mmHg) 25mmHg) mmHg)
APE sesudah >80% 60-80% <60%
bronkodilator
(% prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%

Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter


harus dipenuhi.9

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk,
mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas
seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek
atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi
pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik
yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien
asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan
istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu
dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator
atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.9
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen
dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga

19
memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap
rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan
cuaca.9
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya
memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu.
Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu,
gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan
kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak
flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di
lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.9
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit
ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau
batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan
diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk
dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis
asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa
sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu
diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor
resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru
normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah
dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis
asma diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan
penunjang.1
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal,
merah dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang
sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat
perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan

20
beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering
terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis
atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam
rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah
menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk,
banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan
seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok,
orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat yang
digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.1
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas.
Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan
cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada
inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan
bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan
dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi
diperpanjang.1,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek
pengobatan.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana,
alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang
berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat
normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan
pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu
sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran
napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat
untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat

21
digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan
asma
d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE
atopi dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST)
bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal
inflamasi. Penilaian semi- kuantitatif inflamasi saluran napas
dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil
dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan
dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan
hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran
inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat
dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial
dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik
dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang
sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi
pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen
dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa
partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam

22
bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan
informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non
spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan
jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan
metakolin.1

I. Diagnosis Banding dan Komplikasi Asma


1. Diagnosis banding
a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3
bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk
kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus
disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum
biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan
perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama
kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan
jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan
tanda-tanda cor pulmonal.
b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda
dengan asma, pada emfisema tidak pernah ada masa remisi,
pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas,
hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah.
Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
c. Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial,
dan bila timbul pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal
dyspnea. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena
sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada
anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau
memperingan gejala gagal jantung. Disamping ortopnea pada
pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

23
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah
imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala
sesak napas, pasien batuk-natuk yang dapat disertai darah, nyeri
pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan,
pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi.
Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara
lain aksis jantung ke kanan.
e. Penyakit lain yang jarang
Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan asma menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma)
Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul
dalam suatu loka karya Global Initiative For Asthma Management
And Prevention yag dikoordinasikan oleh National Health, Lung
And Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Publikasi loka karya
tersebut yang dikenal sebagai GINA diterbitkan pada tahun 1995,
dan diperbaharui tahun 1998 dan 2002 dan hampir seluruh dunia
mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun cara
pengobatan tersebut masih mahal bagi negara sedang berkembang.
Sehingga masing-masing negara dianjurkan membuat kebijakan
sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta lingkungannya.
Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
a. Penyuluhan kepada pasien
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang,
diperlukan kerjasam antara pasien, keluarganya serta tenaga
kesehatan. Hal ini dapat tercapai bila pasien dan keluarganya
memhami penyakitnya, tujuan pengobatan, obat-obat yang dipakai
serta efek samping.
b. Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian derajat beratnya asma baik melaluipengukuran gejala,
pemeriksaan uji faal paru dan analisis gas darah sangat

24
diperlukan untuk menilai hasil pengobatan. Seperti telah
dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma yang tanpa gejala,
ternyata pada pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan adanya
obstruksi salura napas.
c. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
Di harapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus
serangan asma makin berkurang atau derajat asma makin ringan.
d. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan
gejala asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan
1) Obat-obat anti asma
2) Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga
3) Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.
e. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi,
atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma
bervariasi dari yang ringan sampai berat yang dapat mengancam
jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam
jangka waktu berhari-hari. Satu hal yang perlu diingat bahwa
serangan asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka
panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor pencetus.
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
1) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
2) Mengatasi hipoksemia
3) Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin
4) Mencegah terjadinya serangan berikutnya
5) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya
mengenai cara- cara mengatasi dan mencegah serangan asma.
f. Berobat secara teratur
Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan pasien asma
pada umumnya memerlukan pengawasanyang teratur daritenaga
kesehatan. Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai
hasil pengobatan, cara pemakaian obat, cara menghindari faktor
pencetus serta oenggunaan alat peak flow meter. Makin baik hasil

25
pengobatan, kunjungan ini akan semakin jarang.9

Obat-obat anti asma


Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan
mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara
lain:9
Pencegah (controller) yaitu obat-obgat yang dipakai setiap hari, dengan
tujuan aggar gejala asma persisten tetap terkendali. termasuk golongan
ini yaitu obat- obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long
acting).obat-obat anti inflamasi kususnya kortikosteroid hirup adalah
obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat-obat anti
alergi,bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk
obat pencegah. Meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat
tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya
mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik,
memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktifitas bronkus dan
memperbaiki kualitas hidup. Obat anti inflamasi dapat mencegah
terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi.
Dengan pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan
gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus
lebih baik bila di bandingkan bronkodilator. Termasuk golongan
pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium
kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta
2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral dan obat-obat
anti alergi.9

Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi


bronko konstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan
segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agosnis beta 2 hirup kerja
pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti koinergik hirup,
teofilin kerja pendek, agonis beta2 oral kerja pendek.9
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin,
prokaterol) merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila
diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma

26
karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai
penghilang gejala pada asma periodik.9
Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah
perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung
mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat
atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain
dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut,
juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi efek samping agonos beta 2. Teofilin maupun agonis beta2
oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan
hirup.9

Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga


Berdasarkan pengobatan sistemik anak tangga, maka mnurut berat
ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat, obat yang dipakai
setiap hari obat- obat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid hirup,
bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka panjang (tabel
3).9

Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tangga


Tahap Obat Pencegah Harian Pilihan Lain
Asma Intermitten Tidak diperlukan
Asma Persisten Ringan Kortikosteroid hirup Teofilin lepas
500μg BDP lambat Kromolin
(beclomethasone Anti leukotrin
diproprionate) atau
ekuivalen

27
Asma Persisten Sedang Kortikosteroid hirup - Kortikosteroid hirup
(200-1000 μg BDP atau 500-1000μg BDP atau
ekuivalen) + LABA (long ekuivalen + teofilin lepas
acting beta agonist) lambat atau
- Kortikosteroid hirup
500-1000μg BDP atau
ekuivalen + oral LABA
atau
- Kortikosteroid hirup
dosis lebih tinggi
>1000μg BDP atau
ekuivalen
- Kortikosteroid hirup
dosis lebih tinggi
>1000μg BDP atau
ekuivalen + anti leukotrin
Asma Persisten Berat Kortikosteroid hirup
(>1000 μg BDP atau
ekuivalen) + LABA satu
atau lebih obat berikut
bila diperlukan
- Teofilin lepas
lambat
- Anti leukotrin
- LABA oral
- Kortikosteroid
oral
- Anti IgE

Pengobatan Asma Berdasarkan Sistem Wilayah Bagi Pasien


Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien
mengetahui perjalanan dan kronisitas asma, memantau kondisi
penyakitnya, mengenal tanda- tanda dini serangan asma, dan dapat
bertindak segera mengatasi kondisi tersebut. Dengan mengunakan peak
flow meter pasien diminta mengukur secara teratur setiap hari, dan
membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengan nilai
terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal.9
Seperti halnya lampu pengatur lalu lintas, berdasarkan nilai APE akan
terletak pada wilayah:9
Hijau Berarti Aman

28
Nilai APE luasnya 80-100% nilai prediksi, variabilitas kurang dari 20%.
Tidur dan aktivitas tidak terganggu. Obat-obat yang dipakai sesuai
dengan tingkat anak tangga saat itu. Bila 3 bulan tetap hijau, pengobatan
ini diturunkan ke tahap yang lebih ringan.

Kuning Berarti Hati-Hati


Nilai APE luasnya 60-80% nilai prediksi, variabilitas 20-30%. Gejala
asma masih normal, terbangun malam karena asma, aktivitas terganggu.
Daerah ini menunjukkan bahwa pasien sedang mendapat serangan
asma.sehingga obat-obat anti asma perlu ditingkatkan atau ditambah
antara lain agonis beta 2 hirup dan bila perlu kortikosteroid oral.
Mungkin pula tahap pengobatan yang sedang dipakai belum memadai,
sehingga perlu dikaji ulang bersama dokternya.

Merah Berarti Bahaya


Nilai APE di bawah 60% nilai prediksi. Bila agonis beta 2 hirup tidak
memberikan respon, segera mencari pertolongan dokter. Bila dengan
agonis beta 2 hirup membaik, masuk ke daerah kuning, obat diteruskan
sesuai dengan wilayah masing-masing. Pada wilyah merah,
kortikosteroid oral diberikan lebih awal dan diberikan oksigen.9

KOMPLIKASI
a. Pneumothoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga

29

Anda mungkin juga menyukai