Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

“ ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN ACUTE KIDNEY DISEASE”

OLEH:

NAMA : Mawar Anggela

NIM : 21117080

IKEST MUHAMMADIYAH PALEMBANG

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

2020
ACUTE KIDNEY DISEASE

A. Definisi
B. Etiologi
C. Anatomi dan Fisiologi
D. Patofisiologi dan Patoflow
E. Manifestasi Klinik

Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa manifestasi klinik pada

Acute Kidney Disease yaitu :

1. Sistem pernafasan seperti pernafasan kussmaul, efusi pleura dan


pneumonia.

2. Saraf seperti sakit kepala, kelelahan, perubahan status mental.

3. Sistem kardiovaskular seperti anemia (nomochromic, normocytic),


hipertensi, disritmia.

4. Sistem perkemihan seperti perubahan volume dan komponen


tergantung penyebab dan perubahan ekskresi karena obat-obatan.

5. Kulit seperti oedema mata, tangan atau kaki dan memar.

6. Darah seperti asidosis, hiperkalemia, BUN, meningkat, dan serum


kreatinin meningkat.

Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), mengatakan perjalanan klinis

Acute Kidney D i s e a s e dibagi menjadi tiga stadium: oliguria,


diuresis dan recovery. Pembagian ini dipakai pada penjelasan dibawah
ini, tetapi harus diingat bahwa ginjal akut azotemia dapat saja terjadi
saat keluaran urin lebih dari 400 ml/24 jam. Stadium oliguria timbul
dalam waktu 24 sampai 48 jam sesudah trauma dan disertai azotemia.
Stadium diuresis yakni :
1. Stadium Acute Kidney Injury dimulai bila keluaran urin
lebih dari 400 ml/ hari,
2. Berlangsung 2 sampai 3 minggu,
3. Pengeluaran urin harian jarang melebihi 4 liter, asalkan
pasien tidak mengalami hidrasi yang berlebih,
4. Tingginya kadar urea darah,
5. Memungkinan menderita kekurangan kalium, natrium
dan air,
6. Selama stadium dini diuresis kadar BUN mungkin
meningkat terus. Stadium penyembuhan berlangsung
sampai satu tahun, dan selama itu anemia dan
kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit
membaik.
Manifestasi Klinik
1. Penderita tampak sangat menderita dan letargi
disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan
hipertensi.
2. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan
kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena
terjadi penimbunan cairan)
4. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau
kaki.Tremor tangan.
5. Kulit dari membran mukosa kering akibat
dehidrasi.
6. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan
kadang-kadang dapat dijumpai adanya
7. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala,
kedutan otot, dan kejang).
8. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit,
dapat mengandung darah, berat jenis sedikit
rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
9. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap),
kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED)
tergantung katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, serta asupan protein, serum ,
kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
10. Pada kasus yang datang terlambat gejala
komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol
yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal
jantung kongestif, edema paru, perdarahan
gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-
kejang dan kesadaran menurun sampai koma.
F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang segera harus dilakukan untuk mengetathui


penyebab penurunan fungsi renal. Kecepatan peeriksaan lanjutan ini ikut
berperan penting dalam penatalaksanaan ARF dan mencegah terjadinya CHF
(Congestive Heart Failure). Pemeriksaan penunjang difokuskan pada faktor
etiologi pre-renal, intrarenal, atau post-renal.

Diyono & Mulyanti (2019), mengatakan bahwa pemeriksaan yang


sering dilakukan menurut yaitu :

1. Hematologi, biasanya akan terjadi peningkatan ureum,


kreatinin, BUN, hipokalemia, hipokalsemia, anemia.
2. USG (Ultrasound Sonography) untuk mengetahui
kemungkinan faktor post-renal seperti batu atau tumor saluran
kemih.
3. Radiologi (BNO [Blass Nier Overzicht] – IVP [Intra Venous
Pyelography], Cystogram), dilakukan jika dengan USG
hasilnya tidak begitu jelas.
4. Arteriogram, dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab pre-
renal, misalnya oclusi arteri renalis.

a. Urinalisis : merupakan pemeriksaan paling penting dalam mengevaluasi AKI :


1) Adanya granular cast, sel tubular, atau sel tubular cast sugestif suatu nekrosis
tubular akut.
2) Proteinuria dapat ditemukan pada glomerulonefritis, nefritis interstisialis akut,
nekrosis tubular, dan penyakit vaskuler
3) Hematuria, eritrosit cast menyokong suatu gangguan glomerulus.
4) Lekosituria, leukosit cast menyokong suatu pielonefritis atau nefritis
interstisial akut.
5) Adanya Kristal urat menunjukkan suatu NTA pada nefropati asam urat,
serdangkan kristal oksidat kalsium dapat tampak pada NTA akibat keracunan
etilen glikol.
b. Pada nefritis interstisial dapat ditemukan eosinofiluria. Urin output : perubahan
pada output urin biasanya tidak selalu berhubungan dengan perubahan pada GFR,
karena 50-60% kasus, AKI adalah non-oliguri. ARF biasa dikategorikan sebagai
AKI non-oliguri, oliguri, dan anuri sebagai diagnosis banding :
1) Anuria (<0.5mL/kg/jam) - obstruksi saluran kencing, obstruksi arteri renalis,
RPGN, nekrosis korteks ginjal difus bilateral
2) .Oliguria (0.5-1mL/kg/jam) – Prerenal failure, hepatorenal syndrome
3) Non oliguria – nefritis interstisial akut, GNA, obstruktif nefropati sebagian,
nefrotoksik, iskemik ATN, rabdomilitis.
c. Indeks urin : untuk membedakan antara AKI prerenal dan renal. Pada AKI
prerenal fungsi reabsorbsi tubulus masih baik sehingga masih bisa menyerap
natrium dan air sehingga didapat urinnya yang pekat. BJ tinggi (>1.020) dan
osmolalitas tinggi (>400 mOsm/Kg), sedangkan pada AKI renal karena sudah
terjadi gangguan tubulus dalam pemekatan urin maka didaopatkan BJ urin rendah
(<1.020), osmolalitas urin rendah (<400 mOsm/Kg).Cara lain yaitu
membandingkan osmolalitas urin/serum yaitu pada AKI prerenal >1,1 dan AKI
renal <1,1. Pada AKI renal karena terdapat gangguan fungsi reabsorbsi tubulus,
maka kadar natrium dalam urin menjadi tinggi yaitu >40 mEq/L, sedangkan AKI
prerenal rendah <20mEq/L.
d. Elektolit urin : untuk menilai fungsi tubulus ginjal. Pemeriksaan fraksi ekskresi
natrium (FENa) yaitu fraksi filtrasi Na yang diekskresikan dalam urin pada AKI
prarenal rendah yaitu <1% menunjukkan bahwa 99% Na direabsorbsi di tubulus,
sedangkan pada AKI renal tinggi yaitu >2% menunjukkan kemampuan reabsorbsi
Na berkurang. Cara menghitung FENa adalah :
FENa = (UNA/PNA)/(UCR/PCR)x100
e. Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum
Peningkatan kreatinin serum umumnya 1-2 mg/dl/hari. Peningkatan hingga 5
mg/dl/hari dapat terjadi pada rabdomiolisis. Rasio BUN terhadap kreatinin yang
melebihi 20:1 dapat terjadi pada perdarahan saluran cerna bagian atas, uropati
obstruktif, masukan protein yang tinggi, terapi kortikosteroid, dan kondisi
hiperkatabolik.
f. Serum kreatinin berefleksi pada klirens kreatinin. Serum kreatinin berfungsi untuk
memperlihatkan gambaran produksi kreatinin dan ukuran ekskresinya. Penilaian
serum kreatinin bergantung dari berat badan, usia, dan jenis kelamin. GFR dapat
diperkirakan dengan penghitungan sebagai berikut :
GFR mL/min = k x tinggi badan (cm) / kreatinin serum (mg/dL)
Dimana:
k = 0.33 pada bayi berat badan lahir rendah di bawah usia 1 tahun
k = 0.45 pada bayi aterm di bawah usia 1 tahun
k = 0.55 pada anak dan dewasa muda wanita
k = 0.70 pada dewasa muda pria
Perubahan serum kreatinin menggambarkan perubahan GFR. Perubahan dari
kreatinin serum berkolerasi dengan perubahan GFR dengan gambaran sebagai
berikut :
- Kreatinin 1,0 mg/dl-normal GFR
- Kreatinin 2,0 mg/dl-50% reduction in GFR
- Kreatinin 4,0 mg/dl-70-85% reduction in GFR
- Kreatinin 8,0 mg/dl-90-95% reduction in GFR
g. Darah rutin, hitung jenis leukosit, morfologi darah tepi. Dapat ditemukan anemia
akibat hemodilusi. Pansitopenia biasanya terjadi pada Lupus Eritomatosus
Sistemik.
h. Elektolit darah : dapat ditemukan hiponatremia (akibat dilusi), hiperkalemia,
hipokalsemia, hiperfosfatemia.
i. Analisi gas darah dapat ditemukan asidosis
j. Asam urat, fosfat : untuk mencari etiologi
k. Pada kecurigaan glomerulonephritis perlu diperiksa:
1) Komplemen C3 serum
2) Antibodi serum terhadap streptokokus
3) Antigen sitoplasma netrofil ( neutrophil cytoplasmic antigen, ANCA)
granulomatosis Wagner, pliarteritis mikroskopis, atau antigen terhadap
membran basalis (penyakit Good pasteur)
l. Pemeriksaan pencitraan
1) USG : untuk mengevaluasi adanya obstruktif saluran kemih. Bila pada
pemeriksaan USG didapatkan gambaran ukuran ginjal yang mengecil
menandakan adanya gagal ginjal kronis.
2) USG Doppler : untuk menilai aliran darah ginjal sehingga dapat membantu
menegakkan diagnosis adanya tromboemboli atau penyakit renovaskuler.
Pencitraan radionuklir dengan technetium TC 99 m diethylentriamine
pentaacetic acid (DTPA), iodine I 131-hippuran : untuk menilai aliran darah
ginjal dan fungsi tubulus
3) Foto thoraks : untuk menilai adanya pembesaran jantung dan odema paru
sebagai tanda kelebihan cairan.
4) Bila dicurigai adanya gagal ginjal kronik dapat dilakukan foto tangan untuk
melihat tanda-tanda osteodistrofi ginjal. Pada gagal ginjal kronik dapat terjadi
kerusakan tulang yang disebut rikets ginjal atau osteodistrofi ginjal. Hal ini
disebabkan karena ginjal mempunyai peranan metabolisme vitamin D.
Vitamin D atau kolekalsiferol dirubah dihati menjadi 25(OH)-kolkalsiferol
(D3). Kemudiam baru setelah dirubah kedua kalinya yaitu diginjal menjadi
1,25 (OH)2 D3 ia menjadi metabolit aktif dan dapat menyerap kalsium di
usus. Bila terjadi kerusakan ginjal misal pada GGK, maka akan sedikit
dibentuk 1,25(OH)2 D3 sehingga terjadi hipokalsemia. Hipokalsemia akan
merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi parathormon (PTH)
dengan maksud untuk meninggikan kadar kalsium darah, tetapi caranya
dengan memobilisasi kalsium tulang sehingga terjadi kerusakan tulang
(osteodistrofi ginjal).
m. Biopsi ginjal
Dilakukan pada keadaan khusus yaitu bila dicurigai adanya glomerulonefritis
progresif cepat atau nefritis interstisial.

G. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

Penatalaksanaan Medis

penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan

dan mencegah komplikasi yang meliputi hal-hal sebagai

berikut dialisis, koreksi hiperkalemi, terapi cairan dan

diet rendah protein tinggi karbohidrat serta koreksi

asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis. Dialisis

dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi Acute

Kidney Disease yang serius, seperti hiperkalemia,

perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki

abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein,

dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas,


menghilangkan kecenderungan perdarahan dan

membantu penyembuhan luka. Koreksi hiperkalemi

ialah peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan

pemberian enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja

dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di

saluran interstinal (Muttaqin & Sari, 2014).

a. Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif untuk mencegah progresivitas overload cairan,
kelainan elektrolit, dan asam basa, penanggulangan gejala uremia. Terapi agresif
harus diberikan jika ditemukan tanda-tanda awal disfungsi ginjal. Terapi dini tidak
hanya mencegah kerusakan lebih lanjut, tetapi dapat mengembalikan fungsi ginjal
kembali jadi normal.Untuk terapi konservatif dibagi atas beberapa tahap terapi :
1) Tahap Antisipatif
Merupakan tahap dimana dilakukan antisipasi keadaan penyakit yang
mempunyai risiko menimbulkan komplikasi , dengan syarat: tidak ada diuresis
48 jam pasca lahir pada neonatus, adanya gambaran ostruksi salurankemih
pada USG pranatal, dehidrasi, pemakaian obat nefrotoksik jangka panjang
atau kemoterapi, pasca bedah kardiovaskuler
2) Tahap prarenal
Pada tahap ini terapi cairan dapat diberikan sesuai etiologi. Jika pada
gastroentitis dengan dehidrasi, diberikan cairan RL atau Darrow glukosa
sesuai protokol. Pada syok hemoragik diberi tranfusi darah sedangkan pada
sindrom nefrotik diberikan infus albumin atau plasma. Jika penyebabnya tidak
jelas dapat diberikan RL 20mL/kgBB dalam waktu 1 jam, dan dapat diulang
sampai keadaan sirkulasi baik atau terjadi diuresis. Pada terapi ini diperlukan
pemantauan CVP.Jika hipovolemia diakibatkan oleh karena kehilangan darah
atau hipoproteinemia, maka cairan yang dipakai adalah plasma ekspander
(plasma fusin, polygeline, darah).biasanya dieresis timbul setelah 2 jam.
3) Tahap renal awal
Sedangkan pada tahap ini tidak responsif terhadap terapi pemberian
cairan pengganti akan tetapi responsif terhadap diuretik. Ciri pada tahap ini
terjadi rehidrasi akan tetapi oliguri. Untuk itu dapat dilakukan diuresis paksa
dengan syarat tidak adanya obstruksi saluran kemih.Obat yang dipakai :
a) Mannitol 20% 0,5g/kgBB di infus dalam 10-20 menit, pada satu kali
pemberian
b) Furosemid 1mg/kg. Dinaikkan berganda setiap 6-8 jam sampai 5mg/kg.
Tujuan terapi diuresis paksa ini adalah untuk merubah keadaan
oligurik menjadi non-oligurik untuk memudahkan pemberian cairan dan kalori
, selain dari obat tersebut dapat diberikan dopamin dosis rendah yaitu 5
mikrogram/kgBB untuk meningkatkan peredaran darah ginjal.Penggunaan
Fenoldopam sebagai Dopamin alpha-1 agonis telah ditunjang dari beberapa
penelitian untuk pencegahan lebih lanjut.
4) Tahap pemeliharaan
Pada fase ini terjadi renal. Tujuan penanggulangan adalah untuk
menjaga homeostasis tubuh, sambil menunggu fungsi ginjal membaik. Bila
tidak berhasil maka terapi konservatif dan dialisis harus dilanjutkan. Terapi
pada tahap ini merupakan suatu balans cairan dengan perhitungan: Jumlah
cairan diberikan = Insensible Water Loss (IWL) + jumlah urin 1 hari
sebelumnya + cairan lain yang keluar (muntah, feses, selang nasogastrik dll).
Diperlukan koreksi penambahan 12% pada setiap kenaikan suhu 1oC.
Balanscairan yang dapat dikatakan baik bila hasil pemeriksaan berat badan
tiap hari turun 0,1%-0,2%.Jenis cairan yang dipakai :Jika anuria total, hanya
glukosa 10-20%. Pada oliguria,diberikan cairan glukosa : NaCl 3:1.Jumlah
protein diberikan 0,5-1 g/kgBB/hari
b. Terapi Suportif Dan Simptomatik
Sirkulasi yang kurang baik dapat diberikan infus dopamin 5
mikrogram/kgBB/menit. Sedangkan pada hipovolemia diatasi dengan pemberian
larutan ringer laktat secara IV 20mL/kg selama 30 menit.Pemberian cairan koloid
tidak dianjurkan jika pada pasien tidak ditemukan kehilangan darah atau
hipoproteinemia. Pada penderita oliguria yang gagal respon terhadap penambahan
volume IV furosemid dapat diberikan dosis tunggal intravena 1-2 mg/kg dengan
kecepatan 4 mg/menit. Jika tak ada respon berikan dosis kedua 10mg/kg. Apabila
peningkatan urin tidak terjadi, pemberian furosemid lanjutkan merupakan suatu
kontraindikasi.
Tujuan utama dari terapi ini merupakan upaya pengurangan dari gejala-
gejala yang timbul dari ini sendiri yang terdiri dari :
1) Hiperkalemia terjadi bila kadar kalium >6 mEq/L, pada keadaan tersebut
menyebabkan aritmia jantung dan kematian. Untuk terapi dibatasi intake
cairan,makanan atau obat-obatan yang mengandung kalium sampai kondisi
ginjal baik.
a) Kayeksalat (kation exchange resin) 1g/kgBB/rektal atau oral 4 kali sehari
atau kalitake 3x2,5g/hari.
b) Kasium glukonas 10% 0,5mL/kgBB iv perlahan 10-15menit
c) Natrium bikarbonat 7,5% 2,5 mEq/kgBB iv dalam 10-15menit
d) Glukosa 0,5g/kgBB + insulin 0,1 U/kgBB per infus selama 30 menit
2) Hipokalsemia(tetani) : kasium glukonas 10% 0,5mL/kgBB iv perlahan dan
pantau bradikardi. Biasanya gejala ini diatasi dengan cara menurunkan kadar
fosfor serum dengan larutan Titralac dosis awal 5-15 mL sebelum tidur, tablet
Os-Cal 500 atau TUMS kekuatan reguler dosis awal 1-3 tablet sebelum tidur
3) Hiperfosfatemia : diberikan pengikat fosfat yakni kalsium karbonat oral
50mg/kgBB/hari
4) Asidosis terjadi akibat ekresi ion hidrogen yang tidak adekuat dan ekresi
amonia. Asidosis berat (pH arteri <7,15 bikarbonat serum < 8 mEq/L) dapat
menambah iritabilitas miokardium dan memerlukan penanganan. Asidosis
dikoreksi secara parsial melalui rute iv dengan memberikan bikarbonat yang
cukup untuk menaikkan kadar pH arteri sampai 7,2. Diberikan natrium
bikarbonat sesuai hasil analisa gas darah (ekses basa x BBx 0,3 mEq atau
koreksi buta 2-3mEq/kgBB tiap 12 jam atau 0,6 x BBx 12-serum bikarbonat).
5) Kejang dapat terjadi akibat dari hiponatremia ataupun uremia yang terjadi.
Untuk tatalaksan diberi diazepam 0,3-0,5 mg /kgBB/rektal atau iv dengan
dosis rumatan luminal 4-8mg/kgBB atau fenilhidantoin 8mg/kgBB.
6) Hipertensi terjadi akibat proses primer atau pengembangan volume cairan
ekstraseluler ataupun keduanya. Pada hipertensi berat obat pilihan adalah
diazoksid, diberikan dengan injeksi cepat(< 10 detik) dosis 1-3 mg/kg (dosis
maksimal 150 mg), dengan cairan ini akan terlihat penurunan tekanan darah
dalam 10-20 menit, jika pemberian pertama tidak mencukupi, dapat diberikan
pemberian kedua 30 menit kemudian. Sering pula diberikan nifedipin secara
cepat 0,25-0,5 mg/kg peroral. Pada hipertensi krisis, diberikan natrium
nitropruside atau labetalol. Furosemid 1-2mg/kgBB iv juga dapat diberikan
sebagai terapi dan bila peru dikombinasikan dengan kaptopril 0,3 mg/kgBB
diberi 2-3 kali sehari dll.
7) Hiponatremia terjadi bila kadar Na darah <120 mEq/L akibat pemberian
cairan hipotonis berlebihan pada penderita ARF dengan oligoanuria. Koreksi
dengan retriksi cairan. Kadar natrium serum turun hingga dibawah 120mEq/L
meningkatkan risiko edema serebral dan perdarahan sistem saraf sentral.
Infus iv NaCl hipertonik 3% dilakukan dalam 1-4 jam untuk menaikkan
kadar natrium serum dengan rumus : 0,6 x BB(kg) x (125-natrium serum
[mEq/L].
8) Sepsis : antibiotik spektrum luas tanpa ada efek nefrotoksik
9) Edema paru : furosemid 1mg/kgBB disertai turniket dan flebotomi dan
morfin 0,1 mg/kgBB
10) Hiperurikemia: diberikan alupurinol,<8 tahun : 100-200 mg /kgBB, >8
tahun : 200-300mg/kgBB
11) Anemia : indikasi tranfusi jika Hb <6g/dl atau Ht <20%, diberikan PRC
10ml/kgBB dengan 10 tetes permenit agar terhindar dari overload cairan

Penatalaksanaan keperawatan
Diet dibutuhkan yakni batasi lemak dan karbohidrat, retriksi natrium
kalium dan air. Penambahan asupan oral kaya asam amino disarankan jika
pada diet tersebut tidak menunjukkan kemajuan. Terapi Diet

Prinsip utama pemberian nutrisi pada penderita adalah memberikan energy


cukup dan pembatasan masukan protein, lemak, natrium, kalium dan air. Masukan
400kkal/m2/hari sudah mencukupi kebutuhan minimal (sesuai dengan 45-50
kkal/kgBB) dengan komposisi karbohidrat >70% dan lemak <20%. Protein
diberikan hanya 0,5-1 g/kgBB/hari. dan apabila penderita dilakukan peritoneal
dialysis protein ditingkatkan menjadi 2-2,5 g/kgBB/hari. pembatasan yang paling
utama bagi penderita adalah makanan yang mengandung banyak kalium seperti
pisang, makanan banyak mengandung garam, dan banyak mengandung fosfat
seperti susu sapi.
H. Asuhan Keperawatan ( Teoritis )
1. Pengkajian
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
hiperventilasi, keletihan otot pernapasan
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit dengan faktor resiko
kelebihan volume cairan, kekurangan volume cairan
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan
asupan natrium
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor eksternal
(ekskresi), faktor internal (gangguan volume cairan)

3. Nursing Care Plan

Diagnosa
No Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC: NIC:
pola napas a. Respiratory a. Airway manajement
berhubungan dengan status :Ventilation 1) Buka jalan nafas, gunakan
hiperventilasi, b. Respiratory tehnik chin lift, jaw thrus
keletihan otot status :Airway patency bila perlu
pernapasan c. Vital sign Status 2) Posisikan pasien untuk
Setelah dilakukan memaksimalkan ventilasi
tindakan 3) Identifikasi pasien perlunya
keperawatan selama pemasangan alat jalan nafas
…..jam pasien buatan
menunjukkan keefektifan 4) Pasang mayo bila perlu
pola nafas, dibuktikan 5) Lakukan fisioterapi dada jika
dengan kriteria hasil: perlu
1. Mendemonstrasikan 6) Keluarkan sekret dengan
batuk efektif dan batuk atau suction
suara nafas yang 7) Auskultasi suara nafas, catat
bersih, tidak ada adanya suara tambahan
sianosis dan dyspneu 8) Berikan bronkodilator
(mampu 9) Berikan pelembab udara
mengeluarkan Kassa basah NaCl Lembab
sputum, mampu 10) Atur intake untuk cairan
bernafas dg mudah, mengoptimalkan
tidakada pursed lips) keseimbangan.
2. Menunjukkan jalan 11) Monitor respirasi dan status
nafas yang paten O2
(klien tidak merasa 12) Bersihkan mulut, hidung dan
tercekik, irama nafas, secret Trakea
frekuensi pernafasan 13) Pertahankan jalan nafas yang
dalam rentang normal, paten
tidak ada suara nafas 14) Observasi adanya tanda
abnormal) tanda hipoventilasi
3. Tanda Tanda vital 15) Monitor adanya kecemasan
dalam rentang normal pasien terhadap oksigenasi
(tekanan darah, nadi, 16) Monitor aliran oksigen
pernafasan 17) Atur peralatan oksigenasi
18) Informasikan pada pasien
dan keluargatentang tehnik
relaksasi untukmemperbaiki
pola nafas.
19) Ajarkan batuk efektif
20) Monitor pola nafas

b. Vital sign monitoring


1) Monitor nadi, respiraasi, TD
dan suhu
2) Catat adanya fluktuasi TD
3) Monitor V5 saat pasien
duduk / berbaring atau
berdiri
4) Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
5) Monitor TTV sebelum dan
sesudah aktivitas
6) Monitor suara nafas
7) Monitor pola nafas abnormal
8) Monitor sianosis perifer
9) Monitor suhu, warna dan
kelembaban kulit
10) Monitor adanya chusing
triad ( tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik
11) Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

2 Resiko NOC : NIC


ketidakseimbangan a. Fluid balance a. Fluid management
elektrolit dengan b. Hydration 1) Timbang popok/pembalut
faktor resiko c. Nutritional Status : jika diperlukan
Food and FluidIntake
kelebihan volume 2) Pertahankan catatan intake
Setelah dilakukan
cairan, kekurangan dan output yang akurat
tindakankeperawatan
volume cairan 3) Monitor status hidrasi
selama …..jam pasien
(kelembaban membran
menunjukkan
mukosa, nadi adekuat,
keseimbangan elektrolit
tekanan darah ortostatik ),
dengan kriteria hasil:
jika diperlukan
1. Mempertahankan
urine output sesuai 4) Monitor vital sign
dengan usia dan BB, 5) Monitor masukan makanan /
BJ urine normal, HT cairan dan hitung intake
normal kalori harian
2. Tekanan darah, nadi, 6) Kolaborasikan pemberian
suhu tubuh dalam cairan IV
batas normal
7) Monitor status nutrisi
3. Tidak ada tanda
tanda dehidrasi, 8) Berikan cairan IV pada suhu
4. Elastisitas turgor ruangan
kulit baik, membran 9)  Dorong masukan oral
mukosa lembab, 10) Berikan penggantian
tidak ada rasa haus nesogatrik sesuai output
yang berlebihan 11) Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
12) Tawarkan snack (jus buah,
buah segar)
13)  Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul memburuk
14) Atur kemungkinan tranfusi
15) Persiapan untuk tranfusi
b. Hypovolemia Managemen
1) Monitor status cairan
termasuk intake dan output
cairan
2) Pelihara IV line
3) Monitor tingkat Hb dan
hematocrit
4)  Monitor tanda vital
5) Monitor respon pasien
terhadap penambahan
cairan
6)    Monitor berat badan
7)  Dorong pasien untuk
menambah intake oral
8) Pemberian cairan lV
monitor adanya tanda dan
gejala kelebihan volume
cairan
9) Monitor adanya tanda
gagal ginjal

3 Kelebihan volume NOC : NIC :


cairan berhubungan a. Electrolit and acid base a. Fluid management
dengan kelebihan balance 1) Timbang popok jika perlu
asupan natrium b. Fluid balance 2) Pertahankan catatan intake
c. Hydration dan output yang akurat
Setelah dilakukan 3) Pasang urin kateter jika
tindakan diperlukan
keperawatan selama …. 4) Monitor hasil lab yang
Jam Kelebihan volume sesuai dengan retensi cairan
cairan teratasi dengan (BUN , Hmt , osmolalitas
kriteria: urin )
1. Terbebas dari 5) Monitor vital sign
edema, efusi, anaskara 6) Monitor indikasi retensi /
2. Bunyi nafas bersih, kelebihan cairan (cracles,
tidak ada CVP , edema, distensi vena
dyspneu/ortopneu leher, asites)
3. Terbebas dari distensi 7) Kaji lokasi dan luas edema
vena jugularis,reflek 8) Monitor masukan makanan /
hepatojugulaer cairan dan hitung intake
Memelihara tekanan kalori
vena sentral, tekanan 9) Monitor status nutrisi
kapiler paru,output 10) Berikan diuretik sesuai
jantung dan vital sign interuksi
dalam batas normal 11) Batasi masukan cairan pada
4. Terbebas dari keadaan hiponatremia dilusi
kelelahan, kecemasan dengan serum Na < 130
atau bingung mEq/l
12) Kolaborasi jika ada tanda
kelebihan cairan memburuk
b. Fluid monitoring
1) Tentukan riwayat jumlah dan
tipe intake cairan dan
eliminasi
2) Tentukan kemungkinan
faktor resiko dari
ketidakseimbangan cairan
( hypernatremia, terapi
diuretic, kelainan renal,
gagal jantung, diaphoresis,
disfungsi hati, dll )
3) Monitor berat badan
4) Monitor serum dan
elektrolit urine
5) Monitor serum dan
osmolalitas urine
6) Monitor Td ortostatik dan
perubahan iram jantung
7) Monitor adanya distensi
leher, ronchi, odema perifer
dan penambahan BB
8) Monitor tanda dan gejala
dari Odema
4 Kerusakan integritas NOC : NIC :
kulit berhubungan a. Tissue Integrity : Skin a. Pressure Management
dengan faktor and Mucous 1) Anjurkan pasien untuk
eksternal (ekskresi), Membranes menggunakan pakaian yang
faktor internal b. Wound Healing : longgar
(gangguan volume primer dan sekunder 2) Hindari kerutan pada tempat
cairan) c. Hemodialysis akses tidur
Setelah dilakukan 3) Jaga kebersihan kulit agar
tindakan tetap bersih dan kering
keperawatan selama….. 4) Mobilisasi pasien (ubah
jam kerusakan integritas posisi pasien) setiap dua jam
kulit pasien teratasi sekali
dengan kriteria hasil: 5) Monitor kulit akan adanya
1. Integritas kulit yang kemerahan
baik bias 6) Oleskan lotion atau
dipertahankan minyak/baby oil pada derah
(sensasi, elastisitas, yang tertekan
temperatur, hidrasi, 7) Monitor aktivitas dan
pigmentasi) mobilisasi pasien
2. Tidak ada luka/lesi 8) Monitor status nutrisi pasien
pada kulit 9) Memandikan pasien dengan
3. Perfusi jaringan baik sabun dan air hangat
4. Menunjukkan b. Insision site care
pemahaman dalam 1) Membersihkan, memantau
proses perbaikan dan meningkatkan proses
kulit dan mencegah penyembuhan pada luka
terjadinya sedera yang ditutup dengan jahitan
berulang
5. Mampu melindungi klip, atau strapless
kulit dan 2) Monitor proses kesembuhan
mempertahankan area insisi
kelembaban kulit dan 3) Monitor tanda dan gejala
perawatan alami infeksi pada area insisi
6. Menunjukkan 4) Bersihkan area sekitar
terjadinya proses jahitan atau staples
penyembuhan luka menggunakan lidi kapas
steril
5) Gunakan preparat antiseptic
sesuai program
6) Ganti balutan pada interval
waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka
( tidak dibalut ) sesuai
program
c. Dialysis manajemen
1) Kaji lingkungan dan
peralatan yang menyebabkan
tekanan
2) Observasi luka : lokasi,
dimensi, kedalaman luka,
karakteristik,warna cairan,
granulasi, jaringan nekrotik,
tandatanda infeksi lokal,
formasi traktus
3) Ajarkan pada keluarga
tentang luka dan perawatan
lukameningkatkan
4) Kolaburasi ahli gizi
pemberian diae TKTP,
vitamin
5) Cegah kontaminasi feses dan
urin
6) Lakukan tehnik perawatan
luka dengan steril
7) Berikan posisi yang
mengurangi tekanan pada
luka

I. Daftar Pustaka
Aulia.2017.Ginjal Kronis. Diakses pada tanggal 12 Juni 2019 dari
http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-penyakit-jantung- dan-pembuluh-
darah/ginjal-kronis.

Budiono & Budi Pertami, Sumirah. 2015. Konsep Dasar Keperawatan.


Jakarta : Bumi Medika.

Cianci et al. 2009. Hypertension in Hemodialysis. An Overview on


Physiopathology and Therapeutic Approach in Adults and Children. The Open Urology
& Nepphrology Journal. 2 : 11-19.

Corwin J, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisilogi. Jakarta : EGC.

Departemen Kesehatan RI. 2018. Rawat Ginjal Anda Dengan Cerdik. Diakses pada
tanggal 11Juni2019dari http://www.depkes.go.id/article/view/18030900001/rawat-ginjal-
anda- dengan-cerdik.

Diyono & Mulyanti. 2019. Keperawatan Medikal Bedah : Sistem


Urologi.Yogyakarta : Andi.

Doenges. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC.

Gonce Morton, Patricia et al. 2016. Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan


Holistik Volume 2. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Infodatin. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta : Kementerian


Kesehatan RI.

Muttaqin & Sari. 2014. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.


Jakarta : Salemba Medika.
Nuari & Widayati. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta : Deepublish.

Reno Sulistyaningsih, Dwi. Efektifitas Latihan Fisik Selama


Hemodialisis Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Pasien Pemyakit
Ginjal Kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang. Prosiding
Konferensi Nasional PPNI Jawa Tengah Terbitan 2. Mei 2014. ISSN 2338-
9141 : 98-99.

Anda mungkin juga menyukai