Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN TUTORIAL KLINIK

TAHAP 1 : PROBLEM

Nama Nn. AS.H berusia 20 tahun status perkawinan belum kawin, tanggal masuk
RS pada tanggal 15 Januari 2021, pasien tersebut di diagnosa SLE pro pulse
cyclo. Pada saat dilakukan pengkajian didapati badan lemas dan nyeri pada
seluruh tubuh teruama pada bagian bahu P:nyeri pada saat melakukan aktivitas
berlebih, Q: Nyeri tumpul R: Nyeri pada bahu S: skala 3 1-10 T: Terus menerus.
Riwayat penyakit sekarang klien mengeluhkan nyeri bahunya sejak 1 bulan yang
lalu secara hilang timbul. Riwayat penyakit dahulu klien mengatakan sudah
mengidap SLE sejak 2 tahun yang lalu.

Tanda tanda vital TD : 115/87 mmHg, Nadi 105x/m, Respirasi 20x/m, Temp
36.6◦, Tingkat kesadaran compos mentis E4, V5, M6

Pemeriksaan fisik tidak ada sianosis, terdapat ruam ruam merah pada bagian
tangan dan punggung serta terdapat ruam seperti kupu-kupu pada bagian
wajahnya. Pada ektermitas atas sebelah kanan terpasang infus RL sekala
kekuatan otot baik

TAHAP 2 : HIPOTESIS

2.1 Analisa Data


No. DATA ETIOLOGI MASALAH
1. DS : Agen fisiologis Nyeri Kronis
karena inflamasi
Klien mengatakan merasakan
nyeri pada bagian bahunya yang
terdiagnosa SLE dari 2 tahun
yang lalu

DO :
a. Klien tampak meringis
b. Pengkajian nyeri :
P : nyeri pada bagian bahu
Q : terasa seperti timpul
R : pada bahu klien
S:3
T : saat terjadi aktivitas yang
berlebih
2.2 PATHWAY

TAHAP 3. MEKANISME

No SDKI SLKI SIKI


1. Nyeri Kronis Setelah dilakukan tindakan Manajmen nyeri (I. 08238)
b.d Agen keperawatan dalam 1 X 8
fisiologis jam diharapkan nyeri kronis Observasi :
karena
inflamasi dapat teratasi dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi
hasil : karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan
Tingkat Nyeri (L. 08066) intensitas nyerI
2. Identifikasi skala nyeri
1. keluhan nyeri, dari
3. Identifikasi respon nyeri
meningkat (1) menjadi
nonverbal
menurun (5)
4. Identifikasi faktor yang
2. ekspresi meringis klien,
memperberat dan
dari meningkat (1)
memperingan nyeri
menjadi menurun (5)
3. klien gelisah, dari Terapeutik :
meningkat (1) menjadi
menurun (5 1. Berikan teknik
4. Tekanan darah dalam nonfarmakologis untuk
batas normal, dari mengurangi rasa nyeri
meningkat (1) menjadi 2. Kontrol lingkungan yang
menurun (5) dapat memperberat rasa
nyeri
3. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi :

1. Jelaskan penyebab, periode,


dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
TAHAP 4 : PEMERIKSAAN PENUNJANG

4.1 Pemeriksaan Laboratorium


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 9.6 12.0 – 16.0
Lekosit 3.4 4.0 – 10.5
Eritrosit 3.76 4.00 – 5.30
Hematocrit 30.1 37.0 – 47.0
Trombosit 449 150 – 450
RDW – CV 15.7 12.02– 14.0
MCV, MCH, MCHC
MCV 80.1 75.0 – 96.0
MCH 25.3 28.0 – 32.0
MCHC 31.6 33.0 – 37.0
HITUNG JENIS
Basofil% 0.3 0.0 – 1.0
Eosinofilt% 0.3 1.0 – 3.0
Neutrophil% 52.7 50.0 – 81.0
Limfosit% 28.4 20.0 – 40.0
Monosit% 18.2 2.0 – 8.0
Basophil# 0.01 <1.00
Eosinofil# 0.01 <3.00
Neutrofil# 1.79 25.0 – 7.00
Limfosit # 0.97 1.25 – 4.00
Monisit# 0.62 0.30 – 1.00
KIMIA
HATI DAN PANKREAS
SGOT 25 5 – 34
SGPT 33 0 – 55
GINJA
Ureum 9 0 – 50
Kreatinin 0.41 0.37– 1.11
ELEKTROLIT
Natrium 141 136 – 145
Kalium 3.2 3.5 – 5.1
Klorida 110 98 – 107
URINALISASI
MASKROSKOPIS
Warna Kuning Tua Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
Berat jenis 1.030 1.005 – 1.030
pH 6.0 5.0 – 6.5
Keton Negative Negative
Proten – Albumin 1+ Negative
Glukosa Negative Negative
Bilirubin Negative Negative
Darah Samar 1+ Negative
Nitrit Negative Negative
Uribilinogen 0.2 0.30 – 1.00
Lekosit Negative Negative
SEDIMEN IRIN
Lekosit 0–2 0–3
Eritrosit 0–2 0–2
Epitel 2+ 1+
Kristal Negative Negative
Silinder Negative Negative
Bakteri 2+ Negative
Lain – Lain Negative Negative

4.2 Pemeriksaan Diagnostik


PEMERIKSAAN METODE HASIL NILAI RUJUKAN
Tes Coomb’s Direct Antiglobulin Positif (2+) Negatif
Test

TAHAP 5 : PERTANYAAN PROBLEM

A. Kata sulit:
1) Imunosupresi
2) Fase profagasi
3) Fase inisiasi
4) Fase flares
5) Autoimun
B. Kata kunci:
1) Ruam
2) Merasa lelah
3) Sesak nafas
4) Nyeri sendi
5) Hasil LAB

C. Pertanyaan:
1) Apa etiologi dari SLE?
2) Apakah faktor yang mempengaruhi terjadinya SLE?
3) Mengapa muncul ruam seperti kupu-kupu di wajah pada kasus SLE?
4) Apa diagnosa banding penyakit SLE?
5) Mengapa SLE lebih sering terjadi pada wanita?

TAHAP 6 :

A. Kata Sulit
1) Imunosupresi : penekanan kerja sistem imun
2) Fase profagasi : kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun.
3) Fase inisiasi : aktifitas yang ditandai autoantibodi dalam
menyebabkan cedera jaringan
4) Fase flares : fase puncak merefleksikan memori imunologis,
muncul sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang
pertama muncul.
5) Autoimun : suatu penyakit dimana sistem kekebalan tubuh
mengalami kesalahan dalam mengenali sel normal pada tubuh dimana
yang seharusnya tugas sistem kekebalan tubuh seharusnya melindungi
sel normal namun malah menyerang kepada sel yang normal.

B. Pertanyaan
1) Apa etiologi dari SLE?

Proses diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat


pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan
abnormalitas respon imun didalam tubuh yaitu :
1) Sel T dan B menjadi autoreaktif
2) Pembentukan silokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain
a) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks
imun maupun sitokin didalam tubuh Menurunnya kemampuan
mengendalikan apoptosis
b) Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam
antibody didalam tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya
antibody 2 yang membentuk kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan / organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.

2) Apakah faktor yang mempengaruhi terjadinya SLE?

Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-


faktor genetika, hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang
biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut
terlihat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

3) Mengapa muncul ruam seperti kupu-kupu di wajah pada kasus SLE?

Pada penyakit lupus, sistem kekebalan tubuh mengalami kekeliruan.


Pada orang dengan penyakit lupus, sistem imunnya tidak bisa
membedakan mana “penyerbu” asing dari luar dan mana jaringan sehat.
Akibatnya, antibodi yang seharusnya diciptakan untuk melawan kuman
penyebab penyakit malah menyerang dan menghancurkan jaringan
sehat di tubuh.
Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan peradangan, rasa sakit, dan
kerusakan di berbagai bagian tubuh. Peradangan yang disebabkan oleh
lupus biasanya bisa memengaruhi sistem tubuh termasuk persendian,
kulit, ginjal, sel darah, otak, jantung, dan paru-paru.

4) Apa diagnosa banding penyakit SLE?

Idiopatic trombositopeni purpura, krena pasien sama sama memiliki


banyak ruam pada tubuh, tetapi pada SLE memiliki ruam yg khas yaitu
berbentuk "kupu kupu" di sekitar area hidung.

5) Mengapa SLE lebih sering terjadi pada wanita?

karena adanya perbedaan terkait hormon dan kromosom seks antara


pria dan wanita. Namun, sejauh mana perbedaan jenis kelamin ini
berpengaruh pada pengembangan lupus masih belum diketahui. Lupus
paling sering terjadi pada wanita yang berada di kisaran usia 15–44
tahun atau masih dalam masa reproduks
TAHAP 7 : LAPORAN PENDAHULUAN SLE

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi SLE
Penyakit lupus atau lupus eritematosus sistematik (SLE) adalah
penyakit autoimun kronis yang dapat menyebabkan peradangan di beberapa
bagian tubuh, termasuk kulit, sendi, ginjal, hingga otak. Lupus bisa dialami
oleh siapa saja, tetapi lebih sering dialami oleh wanita (Constantin, et al.
2019)
Pada kondisi normal, sistem imun akan melindungi tubuh dari
infeksi atau cedera. Namun, saat seseorang mengalami penyakit
autoimun, seperti lupus, sistem imun justru menyerang sel, jaringan, dan
organ tubuh yang sehat. (Constantin, et al. 2019)
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan
yang bercirikan nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan
erythema dengan pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah
mengandung antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks,yakni
kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan
mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal.
Sama dengan rematik,SLE juga merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh
lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada prempuan (Constantin, et al.
2019)
2. Klasifikasi
Secara umum LES dan kelainan terkait Lupus (lupus- related
disorder) dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk yaitu:
a. Lupus Eritematosus Sistemik.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap
autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem
imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. LES
dapat menyerang satu atau lebih sistem organ. Pada sebagian orang
hanya kulit dan sendinya saja yang terkena, akan tetapi pada sebagian
pasien, lupus lainnya menyerang organ vital seperti jantung, paru-paru,
ginjal, susunan saraf pusat atau perifer. Umumnya tidak ditemukan
adanya dua orang pasien lupus terkena sistemik lupus dengan gejala
yang persis sama.
b. Lupus Kutaneus
Dapat dikenali dari ruam yang muncul di kulit dengan berbagai
tampilan klinis. Pada Lupus jenis ini dapat didiagnosa dengan menguji
biopsi dari ruam dengan gambaran khas berupa infiltrate sel inflamasi
pada batas dermoepidermal.
c. Lupus Imbas Obat
Lupus imbas obat (Drug-induced lupus) adalah suatu subset lupus
yang didefinisikan sebagai suatu sindroma mirip lupus yang timbul
setelah paparan obat dan menghilang setelah obat dihentikan. Pada
lupus jenis ini baru muncul setelah pasien lupus menggunakan jenis
obat tertentu dalam jangka waktu tertentu (lebih dari 1 bulan).
d. Sindroma Overlap, undifferentiated connective tissue disease (UCTD),
dan mixed connective tissue disease (MCTD)

3. Etiologi

Penyebab lupus belum diketahui secara pasti. Kombinasi dari


faktor genetik dan lingkungan sering dikaitkan dengan terjadinya lupus.
Beberapa pemicu dari munculnya gejala lupus adalah paparan sinar
matahari, penyakit infeksi, atau obat-obatan tertentu.

Risiko terjadinya lupus juga meningkat jika seseorang berjenis


kelamin wanita, berusia 15–45 tahun, dan memiliki anggota keluarga
dengan penyakit lupus. Perlu diingat, lupus bukanlah penyakit menular.
(Fanouriaki & Bertsias, 2019)

SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk


alel HLA- DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh
hormonal, dan faktor lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan
menyebabkan terjadinya respon imunyang abnormal.

a. Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk
alel HLA- DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara
kerentanan gen, pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan,
menghasilkan respons imun abnormal. Responsimun mencakup
hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi
antigen dan respons antibodi yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T
dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul permukaan
seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah teraktivasi
oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh
molekul yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua
b. FaktorLingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet
merupakan faktor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat
mencakup induksi epitop antigen didermis atau epidermis, pelepasan
materi inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau disregulasi sel
imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga terlibat dalam lupus.
Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat
menyebabkan lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang
mirip dengan SLE
c. Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai
penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi
pada wanita usia produktif, peningkatan aktivitas SLE selama
kehamilan, dan risiko yang sedikit lebih tinggi pada wanita
pascamenopause yang menggunakan suplementasi estrogen
4. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi,
dan fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang
menginisiasi kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun.
Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan
pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat
menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE.
Fase profagase ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam
menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat
menyebabkan cedera jaringan dengan cara :
1) Pembentukan dan generasi kompleks imun
2) Berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan
mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut
3) Secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul
permukaan atau penetrasi ke sel hidup.
Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai
respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul.
Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel
namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai
stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses
diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi,
sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas
respon imun didalam tubuh yaitu :
4) Sel T dan B menjadi autoreaktif
5) Pembentukan silokin yang berlebihan
6) Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain
c) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin didalam tubuh Menurunnya kemampuan
mengendalikan apoptosis
d) Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody
didalam tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2
yang membentuk kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ
yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi
selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan
seperti kecambah alfa-alfa turut terlihat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat-obatan.

5. Manifestasi klinis
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan
organ pada suatu waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada
organ tersebut. Sebagai tambahan,perjalanan penyakit berbeda
antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang sehingga
parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisystem
dari manifestasi kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis sebagai great
imitator.

Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai


sedang dengan gejala kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit
secara terhadap atau tiba-tiba. Pada sebagian kecil pasien
dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan remisi klinik
sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,pasien mengalami episode
aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat.

Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal.


Pertama,walapun SLE dapat menyebabkan berbagai tanda dan gejala,
tidak semua tanda dan gejala pada pasien dengan SLE disebabkan oleh
penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus
dibedakan dengan tanda dan gejala (Kasjmir, 2011).

a. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE
aktif,namun penyebab infeksius tetap harus dipikirkan,terutama pada
pasien dengan terapi imunosupresi. Penurunan berat badan dapat
timbul awal penyakit,dimana peningkatan berat badan, khusus pada
pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas
lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan
salah satu gejala yang paling umum dan seringkali merupakan gejala
yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini belum
jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan, gangguan
neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya
gejala konstitusional.
b. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam,
eksaserbasi ruam yang telah ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar
matahari yang berlebihan (exaggerated sunburn), atau gejala sepereti
gatal atau parastesisi setelah terpajan sinar matahari atau sumber
cahaya buatan. Zfotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi
pada semua kelompok ras dan etnis, walapun belum ada studi
mengenai prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk kupu-
kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan
persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal
sebagai malar rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada
20-25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang,
bertahan selams berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
c. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan
sinovitis dan nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming.
d. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik,
rub, dan efusi dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian
pasien, namun sebagian lain mungkin hanya berupa gejala tanpa
temuan obyektif. Infeksi parenkim paru pneumonitis atau alveolitis dan
dibuktikan dengan batuk, hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi
namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat
timbul atau tanpa pneumonitis akut dan memilik angka mortalitas yang
sangat tinggi. Pneumonitas lupus kronik dengan perubahan fibrotic dan
paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang
progresif dan prognosis yang buruk.
e. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE.
Spektrum keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi
mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala sampai
glumerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal
ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk
proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik,
dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema perifer,
hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan
hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen
urin dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan
peningkatan kreatinin serum dan uremia.
f. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan
mual, kas untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang
namun merupakan komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala
gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan atau
gastropati terkait glukokortikoid. transaminase ringan.
g. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan
yang sering namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan
temuan khas, dapat disebabkan oleh hemolysis dengan hasil tes
coombs positif, kadar haptoglobin rendah dan kadar laktat
dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi. Hal ini dapat
diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidaak cukupan
asupan makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi
namun jarang mencapai kadar kritis.

6. Kompilkasi
a. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan
protein didalam sel-sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap) pada akhirnya bias terjadi gagal
ginjal sehingga penderita perlu mengalami dialysis atau pencangkokan
ginjal.
b. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi
yang paling sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya
ringan, tetapi kelainan bias terjadi pada bagaiamanapun dari otak,
korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa, sindroma otak
organic dan sekitar kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf
yang bias terjadi.
c. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa
terbentuk bekuan darah didalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah thrombosis berkurang
dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
d. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis,
endocarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi
sebagai akibat keadaan tersebut.
e. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan
efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya).
Akibat dari keadaan tersebut timbul nyeri dada dan sesak napas.
f. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakan menderita arthritis. Persendian yang sering terkena
adalah persendian pada jaringan tangan, pergelangan tangan dan
lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering
merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
g. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika
terkena sinar matahari (Kasjmir, 2011).

7. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
a. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi
kemungkinan penyakit akut, meminimalkan penyakit yang
berhubungan dengan kecacatan dan mencegah komplikasi dari terapi
yang diberikan.
b. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
c. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
d. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan
dosis oral tinggil tradisional.
e. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan
obat-obat antimalarial.
f. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang
serius

8. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang
menujukan berbagai manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga
timbul manifestasi dikulit, ginjal dan neorologis. Penyakit ini ditandai
dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE ditegakan atas
dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya
beberapa autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar
antibody ( ANA, terapi antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita
yang tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah
antibouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran bermanfaat
untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada
kehamilan.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan
resiko keguguran. Temuan pemeriksaan laboratorium :
a. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif
dengan titer
b. tinggi pada 98% penderita SLE.
c. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan
SLE
d. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
e. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
f. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody)
berhubungan dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh
arteri, vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam
kandungan dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau
lupus meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir
(ANA), anti-AND, SLE, CRP, analyses urin, komplemen 3 dan 4 pada
pemeriksaan diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.

9. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita
maupun pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8:1
2) Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan
filiphina
3) Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
4) Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi
penyakit ini
b. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra dari pasien
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit
autoimun yang lain.
d. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya
ruam malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa
menimbulkan : artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada
pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus
dimulut.
2) Mulai kapan keluhan dirasakan.
3) Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
4) Keluhan-keluhan lain menyertai.
e. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan
kuinidin.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakityang sama atau penyakit autoimun yang lain
g. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
1) B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas,
penggunaan otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan
(rales,ronchi), nyeri saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi.
Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
2) B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3),
bunyi systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur.
Friction rup pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral
tangan.
3) B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma
Scale secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai
coma (kualitatif), orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan
psikosis juga serangan kejang-kejang.
4) B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine
(menilai filtrasi glomelorus)
5) B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi
badan, turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly,
pembesaran limpa.

10. Diagnosa Keperawatan


a. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psikososial
kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis).
b. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
c. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidak mampuan untuk memasukkan nutrisi
karena gangguan pada mukosa mulut
d. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi
11. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
. ( NOC) (NIC)
1. Nyeri kronis berhubungan 1. Comfort level Pain management
dengan ketidak mampuan 2. Pain control 1. Monitor kepuasan
fisik-psikososial kronis 3. Pain level pasien terhadap
(metastase kanker, injuri Tujuan : Setelah dilakukan manajemen nyeri
neurologis, arthritis). tindakan keperawatan 2. Tingkat istirahat dan
selama 24 jam nyeri kronis tidur yang adekuat
pasien berkurang dengan 3. Kelola antianalgesik
kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien
1. Tidak ada gangguan penyebab nyeri
tidur 5. Lakukan tehnik
2. Tidak ada gangguan nonfarmakologis
konsetrasi ( relaksasi masase
3. Tidak ada gangguan punggung)
hubungan
intrerpersonal
4. Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan
otot
2 Peningkatan suhu tubuh Thermoregulasi 1. Monitor suhu
berhubungan dengan inflasi Tujuan : Setelah dilakukan sesering mungkin
tindakan selama 24 jam 2. Monitor TD, nadi dan
pasien menunjukan kriteria RR
hasil : 3. Monitor WBC,Hb dan
1. Suhu tubuh dalam Hct
batas normal 4. Monitor intake dan
2. Nadi dan RR dalam output
rentang normal 5. Berikan antipiretik
3. Tidak ada sesuai advis dokter
perubahan warna 6. Selimuti pasien
kulit dan tidak ada 7. Berikan cairan
pusing, pasien intravena
merasa nyaman 8. Kompres pasien
pada lipat paha dan
aksila
9. Tingkatkan sirkulasi
udara
10. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
11. Monitor hidrasi
seperti turgor kulit,
kelembaban mukosa
3.
Ketidak seimbangan nutrisi a. Nutritional status : 1. Kaji adanya alergi
kurang dari kebutuhan tubuh adequacty of makanan
berhubungan dengan nutrient 2. Kolaborasi dengan
ketidak mampuan untuk b. Nutritional status : ahli gizi untuk
memasukkan nutrisi karena Food and fluid menentukan jumlah
gangguan pada mukosa intake kalori dan nutrisi
mulut c. Weght control yang dibutuhkan
Tujuan : Setelah dilakukan pasien
tindakan keperawatan 3. Ajarkan pasien
Selama 2x24 jam nutrisi bagaimana membuat
kurang teratasi dengan catatatan makanan
indicator : harian
1. Albumin serum 4. Monitor adanya
2. Prealbumin serum penurunan BB dan
3. Hematokrit gula darah
4. Hemoglobin 5. Monitor lingkungan
5. Total iron binding selama makan
capacity 6. Jadwalkan
6. Jumlah limfosit pengobatan dan
tindakan tidak selama
jam makan
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringa,
rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar
Hct
9. Monitor mual dan
muntah
10. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
kojungtiva
11. Monitor intake nutrisi
12. Informasikan pada
pasien dan keluarga
tentang manfaat
nutrisi
13. Kolaborasi dengan
dokter tentang
kebutuhan suplemen
makanan seperti
NGT/TPN sehingga
intake cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.
14. Atur posisi
semifowler tinggi
selama makan
15. Kelola pemberian
antiemetic
16. Anjurkan banyak
minum
17. Pertahankan terapi IV
line
18. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik,
4 papilla lidah dan cavitas
Kelelahan berhubungan 1. Activity tolerance 1. Monitor respon
dengan kondisi fisik yang 2. Energy conservation kardiorespirasi
buruk karena suatu penyakit 3. Nutritional status terhadap aktivitas
energy (takikardi, disritmai,
Tujuan : Setelah dilakukan dyspnea,
tindakan keperawatan diaphoresis, pucat,
selama 2x24 jam kelelahan tekanan
pasien teratasi dengan hemodinamik dan
kriteria hasil : jumlah respirasi)
1. Kemampuan 2. Monitor dan catat
aktivitas adekuat pola dan jumlah tidur
2. Mempertahankan pasien
nutria adekuat 3. Monitor lokasi ketidak
3. Keseimbangan nyamanan atau nyeri
aktivitas dan selama bergerak dan
istirahat aktivitas
4. Menggunakan teknik 4. Monitor intake nutrisi
energy konservasi 5. Monitor pemberian
5. Mempertahankan dan efek samping
interaksi social obat depresi
6. Mengidentifikasi 6. Kolaborasi dengan
faktor fisik dan ahli gizi tentang cara
psikologis yang meningkatkan intake
menyebabkan makanan tinggi
kelelahan energy
7. Mempertahankan 7. Monitor pemberian
kemampuan untuk dan efek samping
konsentrasi obat depresi
8. Instruksikan pada
pasien untuk
mencatat tanda dan
gejala kelelahan
9. Jelas pada pasien
hubungan kelelahan
dengan proses
penyakit
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan
perasaannya
11. Catat aktivitas yang
dapat meningkatkan
relaksasi
12. Tingkatkan
pembatasan bedrest
dan aktivitas
13. Batasi stimulasi
lingkungan untuk
memfasilitasi
relaksasi

5
Kerusakan integritas kulit 1. Tissue integrity : 1. Anjurkan pasien
berhubungan dengan deficit Skin and mucous untuk menggunakan
imunologi membrane pakaian yang longgar
2. Wound healing 2. Hindari kerutan pada
primer dan sekunder tempat tidur
Tujuan : Setelah dilakukan 3. Jaga kebersih dan
tindakan keperawatan kering
selama 2x 24 jam 4. Monitor kulit akan
kerusakan integritaskulit adanya kemerahan
berkurang dengan kriteria 5. Mobilasasi pasien
hasil : ( ubah posisi pasien)
1. Intergritas kulit yang setiap dua jam sekali
baik bisa 6. Oleskan lotion atau
dipertahankan minyak pada daerah
(sensai, elastisitas, yang tertekan
temperature, hidrasi, 7. Monitor status nutrisi
pigmentasi) pasien
2. Tidak ada luka/lesi 8. Monitor status nutrisi
pada kulit pasien
3. Perfusi jaringan baik 9. Memandikan pasien
4. Menujukkan dengan sabun dan air
pemahaman dalam hangat
proses perbaikan 10. Kaji lingkungan dan
kulit dan mencegah peralatan yang
terjadinya cedera menyebabkan
berulang tekanan
5. Mampu melindungi 11. Obsevasi luka :
kulit dan lokas, dimensi,
mempertahankan kedalaman luka,
kelembaban kulit karakteristik, warna
dan perawatan cairan, granulasi,
alami jaringan nekrotik,
6. Menunjukkan terjadi tanda infeksi local,
proses formasi traktus
penyembuhan luka 12. Ajarkan pada
keluarga tentang luka
dan perawatan luka
13. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKT,
vitamin, cegah
kontaminasi feses
dan urin
14. Lakukan teknik
perawatan luka
dengan steril
15. Berikan tekanan
pada luka

DAFTAR PUSTAKA
Herdman, T. Heather. (2016). NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification. UK: Wiley‐Blacwell, A
John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus


erythematosus: modern strategies for management – a moving
target. Best Practice & Research Clinical Rheumatology Vol. 21,
No. 6, pp. 971–987, 2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002
available online at
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai