Anda di halaman 1dari 13

Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.

: 31 - 43

ANALISIS DAMPAK USAHA RITEL MODERN TERHADAP


USAHA RITEL TRADISIONAL
(STUDI KASUS DI WILAYAH KECAMATAN GUNUNGPATI, MIJEN,
TEMBALANG, DAN BANYUMANIK)

Wyati Saddewisasi, Teguh Ariefiantoro, Aprih Santoso*)

Abstract
The purpose of this research is to get an overview of the characteristics, position and potency of traditional retail
business and the impact of modern retail to tradisional retail business. The result shows that most traditional
retailers are women and in productive ages. The type of business that they are doing is selling goods of daily
needs. Mostly they come from low education. The difference between the traditional retailers and modern
retailers is 194 meters. Based on the statistic analysist shows that the omzet, turnover of merchandises, gross
profits and expenses of traditional retail there are significant defferences between before and after modern retail
exists.

Keywords : traditional retail, modern retail

I. Pendahuluan tradisional tetap dapat bertumbuh seperti ritel


Dikotomi tentang ritel modern dan modern yang ada di sekitarnya. Mudahnya
tradisional selalu menarik perhatian bagi mendapat izin pendirian ritel modern baik mal
pembuat kebijakan. Tekanan persaingan maupun minimarket di Kota Semarang,
terbesar peritel tradisional adalah minimarket mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Hal
(convenience strore). Menurut Rhenald Kasali ini terjadi karena kemungkinan akan berdampak
(2007) hubungan diantara kedua pelaku usaha sangat luas dan mematikan pedagang kecil,
tersebut tidak bersifat dikotomi. Menurutnya warung di permukiman dan pedagang di pasar
para pengembang gedung-gedung pertokoan tradisional.
memanfaatkan kehadiran ritel modern untuk Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi
memajukan ritel-ritel tradisional. Namun Jawa Tengah, mempunyai fungsi sebagai pusat
demikain seiring dengan perubahan struktur pemerintahan, perdagangan, kegiatan industri,
penghasilan masyarakat, jumlah wanita yang transportasi, pendidikan, pariwisata dan
memasuki dunia kerja terus meningkat, waktu pemukiman. Dengan fungsinya tersebut, Kota
yang dimiliki konsumen terbatas, serta semakin Semarang mempunyai potensi untuk
meningkatnya transportasi, alat pembayaran, berkembangnya usaha ritel modern. Demikian
kemasan dan alat pendingin menyebabkan peran pula daerah pinggiran Kota Semarang seperti
usaha ritel tradisional memudar (http : // Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan
iswekon . wordpress .com). Banyumanik merupakan daerah yang mulai
Menurut Direktur Ritailer Service AC dilirik para peritel modern seperti Indomart
Nielsen Yongky Surya Susilo (dalam Ritel dan Alfamart. Apabila usaha ritel modern dan
Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari Toko tradisional dapat tumbuh dan berkembang
Tradisional @ Mesin Kasir) pada acara secara seimbang, maka visi Kota Semarang
konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/3/2009), sebagai kota perdagangan dan jasa yang
Industri ritel modern tumbuh lebih pesat merupakan basis aktivitas ekonomi masyarakat
dibandingkan ritel tradisional pada tahun 2008. guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Ritel tradisional tumbuh sebesar 19,6%, industri dapat terealisir.
ritel modern tumbuh hingga 23,6% dibandingkan Secara keseluruhan visi Kota Semarang
tahun 2007. Padahal, pertumbuhan ritel mengandung pengertian bahwa dalam jangka
tradisional ini jauh lebih tinggi dari sebelumnya. waktu lima tahun kedepan, dapat terwujud
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan Kota Semarang yang memiliki sarana prasarana
bahwa ritel tradisional pertumbuhannya lebih kota berskala metropolitan sehingga dapat
lambat dibandingkan dengan ritel modern. melayani seluruh aktivitas masyarakat termasuk
Di lain pihak Asosiasi Pengusaha Ritel daerah hinterland-nya, dengan aktivitas ekonomi
Indonesia (Aprindo) mengatakan, tanpa aturan utama yang bertumpu pada sektor perdagangan
yang kaku mengenai zonasi, pasar dan toko dan jasa dengan tetap memperhatikan
tradisional tetap dapat berkembang. Ketua keberadaan potensi ekonomi lokal, dalam
Umum Aprindo Benjamin J Mailool mengatakan, bingkai dan tatanan masyarakat yang senantiasa
hal itu terbukti di beberapa lokasi di Indonesia dijiwai oleh nilai-nilai religius guna mewujudkan
dan negara-negara lain. Meski terletak kesejahteraan seluruh masyarakat.
berdekatan, lanjut dia, pasar dan toko

*) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang


Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

Untuk mengetahui apakah keberadaan usaha ritel modern serta dampak usaha ritel modern
ritel modern berdampak pada usaha ritel terhadap usaha ritel tradisional. Kajian tersebut
tradisional, maka diperlukan studi lebih lanjut. dilakukan melalui pengumpulan data di lapangan
Untuk itu perlu ada kajian yang lebih mendalam yang meliputi antara lain data jumlah omset
tentang hal-hal yang terkait dengan faktor- penjualan, perputaran barang dagangan, jumlah
faktor yang berdampak pada usaha ritel jam buka, laba bersih, laba kotor, biaya usaha
tradisional. ritel tradisional sebelum dan sesudah ada usaha
Selama ini penanganan masalah dikotomi ritel modern.
ritel modern dan ritel tradisional di Kota Hipotesis dalam penelitian ini adalah
Semarang telah ditangani oleh dinas/ instansi terdapat perbedaan jumlah omset penjualan,
terkait baik di lingkungan pemerintah maupun perputaran barang dagangan, jumlah jam buka,
non pemerintah. Namun demikian belum laba bersih, laba kotor, biaya usaha ritel
diketahui dengan pasti bagaimana dampak tradisional sebelum dan sesudah ada usaha ritel
keberadaan ritel modern yang ada di pinggriran modern.
kota terhadap ritel tradisional. Penelitian ini merupakan survei pada wilayah
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pinggiran Kota Semarang yang meliputi
memperoleh gambaran tentang karakteristik, Kecamatan Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan
posisi dan potensi usaha ritel tradisional serta Banyumanik. Populasi penelitian ini adalah
dampak usaha ritel modern terhadap usaha ritel pengusaha ritel tradisional di wilayah tersebut.
tradisional di wilayah pinggiran Kota Semarang Penentuan sampel dilakukan secara random.
yang meliputi Kecamatan Gunungpati, Mijen, Jumlah sampel untuk masing - masing wilayah
Tembalang, dan Banyumanik. ditetapkan 30 pengusaha ritel tradisional.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: Langkah awal dari penelitian ini adalah
1. Mengidentifikasi karakteristik, posisi dan melakukan identifikasi posisi usaha ritel
potensi usaha ritel tradisional. tradisional dari aspek kelembagaan dan
2. Menganalisis apakah ada perbedaan usaha peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ritel tradisional sebelum dan setelah adanya Selanjutnya dengan bantuan kuesioner
usaha ritel modern. dikumpulkan data primer untuk memperoleh
3. Apabila ada perbedaan, bagaimana dampak gambaran karakteristik dan potensi usaha serta
usaha ritel modern terhadap ritel data lainnya yang terkait dengan tujuan
tradisional, apakah berdampak positif atau penelitian ini. Dengan demikian ada dua jenis
negatif. data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
Penelitian ini diharapkan dapat memberi data sekunder dan data primer. Data sekunder
hasil sebagai berikut: diperoleh dari publikasi-publikasi maupun
1. Memberikan masukan sebagai bahan literatur dari dinas/ instansi terkait serta
pertimbangan untuk mengambil kebijakan perpustakaan dan website. Sedangkan data
dalam mengatasi masalah usaha ritel primer diperoleh langsung dari responden
tradisional, sehingga program melalui wawancara kepada peritel tradisional
pengembangannya yang tepat dapat segera Data yang diperoleh dari lapangan penelitian
tersusun . dianalisis secara diskriptif kulitatif dan kuantitatif
2. Dengan memahami perbedaan usaha ritel untuk mengidentifikasi karakteristik, posisi dan
tradisional sebelum dan sesudah adanya ritel potensi usaha ritel tradisional dan
modern, maka dampak usaha ritel modern mendiskripsikan bagaimana pengembangan
terhadap usaha ritel tradisional dapat potensi usaha peritel tradisional. Selain itu
diketahui, sehingga dapat digunakan untuk digunakan analisis uji beda untuk menganalisis
memberdayakan pengusaha ritel tradisional apakah ada perbedaan usaha ritel tradisional
agar: (1) peritel tradisional tetap eksis setelah adanya usaha ritel modern. Apabila ada
ditengah usaha peritel modern, (2) peritel perbedaan, bagaimana dampak usaha ritel
tradisional dapat bersaing secara sehat modern terhadap ritel tradisional, apakah
dengan peritel modern, dan (3) peritel berdampak positif atau negatif.
tradisional terlindungi . Dengan demikian Untuk menguji hipotesis digunakan metode
akan tercipta persaingan usaha yang sehat analisis Uji-t berpasangan (paired t-test). Uji-t
dan berkelanjutan. berpasangan adalah salah satu metode pengujian
3. Untuk menambah perbendaharaan ilmiah hipotesis dimana data yang digunakan tidak
dan sekaligus sebagai sumbangan pemikiran bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling sering
guna menunjang penelitian selanjutnya ditemui pada kasus yang berpasangan adalah
terutama yang berhubungan dengan usaha individu (obyek penelitian) dikenai 2 buah
ritel. perlakuan yang berbeda (Marthin, 2009).
Penelitian ini akan mengkaji perbedaan usaha
ritel tradisional sebelum dan sesudah adanya

32
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

II. Hasil dan Pembahasan faktor efisiensi dan efektifitas dalam


A. Karakteristik, Posisi dan Potensi menjalankan usaha harus diperhatikan, salah
Usaha Ritel Tradisional satunya dengan berdomisili di daerah dimana
1. Karakteristik Responden usaha dijalankan.
Penelitian ini menggunakan responden Sebagian besar responden (sebanyak 48
pengusaha ritel tradisional di wilayah pinggiran orang atau 40%) yang terdiri dari laki – laki 25
Kota Semarang yang meliputi Kecamatan orang atau 20,83 % dan perempuan 23 orang
Gunungpati, Mijen, Tembalang, dan Banyumanik. atau 19,17 % memiliki tingkat pendidikan yang
Jumlah pengusaha yang dijadikan responden rendah yaitu SD, serta masih ditambah
sebanyak 120 orang. Dipilih empat kecamatan responden yang mengisi lainya yaitu 7 orang
sebagai obyek penelitian karena pada kecamatan atau 5,83 % . Jawaban lainnya muncul karena
tersebut merupakan wilayah pinggiran kota yang beberapa hal, yaitu: responden tidak pernah
mulai dilirik peritel modern. sekolah dan responden sudah pernah
Responden sebanyak 120 orang pengusaha mengenyam pendidikan dasar (SD) tetapi tidak
ritel tradisional terdiri dari 57 orang atau 47,50 tamat.
% laki-laki dan 63 orang atau 52,50 % Dengan kondisi ini bisa dikatakan bahwa
perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tingkat pendidikan yang rendah ini akhirnya
ritel tradisional merupakan usaha sampingan memaksa atau menuntut mereka untuk
yang digunakan untuk membantu menopang menciptakan suatu usaha yang sesuai dengan
perekonomian keluarga, dimana laki-laki lebih kemampuan mereka sehingga pilihan terakhir
berperan untuk bekerja pada sektor formal. adalah dengan menjadi pengusaha ritel
Untuk usia responden, baik laki-laki maupun tradisional. Juga dipengaruhi oleh pola
perempuan semuanya berada dalam usia pemikiran yang sederhana bahwa pendidikan
produktif. Dalam hal ini usia produktif bisa tinggi tidak diperlukan tetapi yang terpenting
dikatakan juga sebagai usia kerja yaitu usia adalah bagaimana bisa mencari nafkah dan
antara 17 tahun sampai 65 tahun. Berdasarkan menambah pemenuhan kebutuhan rumah
data di lapangan, bila di rata-rata usia responden tangga. Sedangkan 39 orang atau 32,5 %
adalah 44 tahun dengan kisaran usia antara 17 reponden lulusan SMA memilih menjadi
tahun sampai 65 tahun. Dengan kondisi pengusaha ritel tradisional karena beberapa
tersebut bisa dikatakan bahwa para pengusaha sebab, yaitu: jiwa wirausaha yang tinggi, sulitnya
ini masih memiliki semangat kerja yang tinggi mencari pekerjaan, serta tuntutan kebutuhan.
untuk menjalankan usahanya dan dimungkinkan Jarak tempat usaha responden dengan ritel
juga untuk dilakukan pengembangan terhadap modern bila dirata-rata adalah 194 m, dengan
usaha mereka. range jarak tempat usaha antara 5 sampai
Jenis usaha yang dijalankan dan digeluti oleh dengan 500 m dari ritel modern. Dari data
semua pengusaha ritel masih terfokus pada jenis temuan di lapangan ini dapat dikatakan tidak ada
usaha kelontong (kebutuhan sehari-hari) hal ini kejelasan mengenai berapa jarak yang ideal
lebih dikarenakan keinginan untuk memenuhi antara ritel tradisional dengan ritel modern.
kebutuhan pokok konsumen yang tentunya Sehingga dengan kondisi ini sangat
mempunyai segmen pasar yang lebih luas dan dimungkinkan dampak keberadaan dari ritel
juga kemudahan dalam penyediaan barang. modern memiliki pengaruh yang sangat besar
Berdasarkan data di lapangan, semua bagi keberadaan ritel tradisional. Walaupun
responden beragama Islam, hal ini lebih dalam ijin pendirian sudah disyaratkan mengenai
dikarenakan oleh mayoritas penduduk di kajian dampak lingkungan dalam kenyataannya
masing-masing wilayah obyek penelitian ritel modern tumbuh dengan pesat dan muncul
memeluk agama Islam. pro dan kontra akan keberadaanya.
Untuk tempat kelahiran responden ,sebagian
besar responden, 47 orang laki-laki (39,17 %) 2. Posisi dan Potensi Usaha Ritel
maupun 59 orang perempuan (49,16 %) lahir di Tradisional
Kota Semarang. Sedangkan 14 orang (10 orang Menurut pasal 10 Peraturan Menteri
laki-laki atau 8,33 % dan 4 orang perempuan Perdagangan Republik Indonesia No. 53/ M-
atau 3,33 %) lahir di luar Kota Semarang. Dapat DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan
dikatakan mayoritas responden merupakan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
penduduk asli Semarang, yang tentunya akan Perbelanjaan dan Toko Modern, pelaku usaha
sangat menguntungkan dalam menjalankan yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang
usahanya karena mereka sudah sangat mengenal pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko
karakter lingkungannya. Hal ini juga didukung modern, wajib memiliki:
data di lapangan yang menunjukkan bahwa a. Ijin Usaha Pendirian Pasar Tradisional
semua responden saat ini berdomisili atau (IUP2T) untuk Pasar Tradisional;
bertempat tinggal di Semarang. Keadaan ini
tentunya sudah disadari oleh responden bahwa
33
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

b. Ijin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP) untuk konsumen pembeli barang untuk dijual kembali,
Pertokoan, Mall, Plasa dan Pusat tentunya modal yang dibutuhkanpun lebih besar.
Perdagangan; Terkait dengan luas tempat usaha, dari
c. Ijin Usaha Toko modern (IUTM) untuk penelitian ini didapatkan rata-rata luas tempat
Minimarket, Supermarket, Department Store. usaha pengusaha ritel tradisional adalah 24 m²
Mengacu pada pasal tersebut, maka yang secara keseluruhan luasan tempat usaha
pengusaha ritel tradisional seharusnya juga berada pada kisaran antara 2 m² sampai 150 m².
memiliki ijin usaha. Hasil penelitian Kondisi ini tentunya jauh sekali jika
menunjukkan, pengusaha ritel tradisional yang dibandingkan luas usaha ritel modern. Menurut
memiliki ijin usaha hanya sebanyak 15 orang Bab V pasal 9 ayat 2 Peraturan Menteri
(12,5 %), sedangkan yang tidak memiliki ijin Perdagangan Republik Indonesia No. 53/ M-
usaha 105 orang (87,5 %). Banyaknya DAG/PER/12/2008 tentang pedoman penataan
responden yang tidak memiliki ijin usaha dan pembinaan pasar tradisional, pusat
menunjukkan kurangnya pemahaman tentang perbelanjaan dan toko Modern.
arti penting ijin usaha yang diberikan Batasan luas lantai penjualan toko modern
pemerintah daerah dan didukung pula oleh pola dengan modal dalam negeri 100% (seratus
pemikiran bahwa ijin pasti akan menimbulkan persen) adalah:
biaya sehingga akan mengganggu kelancaran a. Minimarket dengan luas lantai penjualan
usaha. kurang dari 400 m² (empat ratus meter
Berdasarkan temuan di lapangan, jenis persegi);
dagangan yang dijual oleh pengusaha ritel b. Supermarket dengan luas lantai penjualan
tradisional adalah kelontong. Apabila kurang dari 1.200 m² (seribu dua ratus
dikelompokkan berdasarkan jenis pedagang, meter persegi); dan
maka 7 orang atau 5,83 % merupakan pedagang c. Department Store dengan luas lantai penjualan
grosir sedangkan 106 orang atau 88,33 % kurang dari 2.000 m² (dua ribu meter
merupakan pedagang eceran. Sisanya 7 orang persegi).
atau 5,83 % merupakan pedagang yang melayani Dari peraturan mentri di atas, tentunya
grosir dan eceran. dapat dilihat bahwa walaupun luas minimal
Sebagian besar (106 atau 88,83%) minimarket kurang dari 400 m² tetap tidak
merupakan pedagang eceran, hal ini disebabkan sebanding dengan pengusaha ritel tradisional
karena konsumen yang dilayani cenderung (rata-rata 24 m²) yang tentunya apabila lokasi
konsumen rumah tangga/ individu yang mana berdekatan (dari hasil penelitian ada yang hanya
cenderung mencari barang kebutuhan sehari- berjarak 5 m) akan berpengaruh pada
hari, disamping itu untuk eceran jumlah modal konsumen, karena dukungan fasilitas dan
usaha yang dibutuhkan tidak terlalu besar. produk yang lebih bervariasi.
Berbeda dengan pedagang grosir yang melayani

Tabel 1
Status Tempat Usaha Responden
Status Tempat Usaha Total
Jenis Kelamin Milik Sendiri Kontrak Responden

Jml % Jml % Jml %


Laki – laki 55 45,83 2 1,67 57 47,5
Perempuan 58 48,33 5 4,17 63 52,5
Jumlah Keseluruhan 113 94,17 7 5,83 120 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Dari Tabel 1 terlihat bahwa, sebagian besar Lama usaha yang telah dijalani oleh
status tempat usaha adalah milik sendiri (113 pengusaha ritel tradisional rata-rata 11,8 tahun,
orang atau 94,17%). Kondisi ini terjadi karena dimana kisaran lama usaha antara 1 tahun
sebagian besar responden memanfaatkan sampai 31 tahun. Dari rata-rata lama usaha
tempat usaha juga sebagai tempat tinggal atau dapat dikatakan bahwa pengusaha ritel
malah sebaiknya, sehingga bisa dikatakan juga tradisional sudah berpengalaman dalam
ruko (rumah toko). Tentunya hal ini banyak menjalankan usahanya dan sudah memikirkan
keuntungannya, selain biaya sewa tempat yang berbagai strategi untuk menjaga kelangsungan
bisa ditiadakan juga bisa dilakukan dua kegiatan usaha mereka. Tetapi harus pula dicermati
sekaligus yaitu: menjalankan usaha dan bahwa usaha mereka tidak mungkin berhasil
menjalankan aktivitas rumah tangga. baik bila tidak ada dukungan dari pihak-pihak
yang terkait (pemerintah) baik dari sisi

34
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

peraturan, maupun fasilitas yang lain besar responden (pengusaha ritel tradisional)
(permodalan). tidak menjalin kerjasama dengan pihak lain (91
Bila dibandingkan antara modal awal usaha 0rang atau 75,83%). Alasan yang dikemukakan
dengan modal sekarang terjadi kenaikan yang sederhana yaitu tidak tahu prosedur yang harus
sangat tinggi. Rata-rata modal awal usaha yang ditempuh dan usaha yang dijalankan masih
dikeluarkan pengusaha ritel tradisional adalah sangat terbatas sehingga tidak diperlukan
Rp. 7.378.000,00 dan untuk saat ini rata-rata kemitraan. Sedangkan 29 orang responden
modal adalah Rp 23.200.000,00 (naik sekitar (24,16%) menjalin kemitraan dengan pihak lain
300%). Hal ini tentunya merupakan hal yang dengan alasan kemitraan memiliki banyak
wajar karena terkait juga dengan kenaikan harga manfaat yang positif bagi pengusaha ritel
barang kebutuhan yang terjadi selama 11, 8 tradisional. Bentuk kemitraan yang dilakukan
tahun (rata-rata lama usaha). meliputi: pemasaran, pasokan barang maupun
Berkaitan dengan kemitraan atau kerjasama dengan pihak perbankan yang terkait dengan
antara responden dengan pihak lain, sebagian penambahan modal usaha.

Tabel 2
Asal Barang Dagangan
Jenis Pedagang Total
Jenis Kelamin Kulakan Pemasok Kulakan & Pemasok Responden

Jml % Jml % Jml % Jml %


Laki – laki 38 31,67 5 4,16 14 11,67 57 47,5
Perempuan 44 36,67 5 4,16 14 11,67 63 52,5
Jumlah Keseluruhan 82 68,33 10 8,32 28 23,34 120 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Adapun berdasar tabel 2 terlihat bahwa kerja yang direkrutpun sebagian besar berasal
sebagian besar responden (82 orang atau dari luar lingkungan usaha karena kebanyakan
68,33%) membeli langsung barang dagangan ke masyarakat sekitar lebih memilih bekerja di
pasar/tempat grosir karena barang yang dibeli pabrik atau sektor swasta lain daripada harus
biasanya tidak banyak dan kecenderungan untuk bekerja di toko.
memenuhi kebutuhan sehari-hari konsumen Terkait dengan adanya pembinaan bagi
dalam partai kecil, selain itu juga dipengaruhi pengusaha ritel tradisional, sebagian besar
oleh modal usaha yang terbatas (kecil). Selain responden menyatakan belum pernah
itu ada juga yang hanya mengambil barang dari mendapatkan pembinaan usaha (114 orang atau
pemasok saja (10 orang atau 8,32%), hal ini 95%) Sedangkan 5 orang (5%) mendapatkan
dikarenakan untuk melayani konsumen secara pembinaan baik dari perbankan, swasta,
grosir sehingga barang yang dibeli dalam jumlah Perguruan Tinggi (UNNES) maupun dari pihak
besar dan membutuhkan modal yang besar. keluarga. Dengan keadaan ini dapat dikatakan
Sedangkan 28 orang lainnya (23,34%) melakukan bahwa apabila ada pembinaan dari pihak-pihak
pembelian secara langsung dan melalui tertentu baik negri maupun swasta akan dapat
pemasok. Hal ini disebabkan karena pengusaha meningkatkan pengetahuan para pengusaha
ritel tradisional ingin melayani semua jenis tentang bagaimana cara mengelola usaha baik
pembelian baik yang grosir dan eceran dan juga dari aspek pemasaran, keuangan (permodalan)
terkait dengan sifat barang yang slow moving maupun dari sisi SDM (karyawan) dan apabila
(perputaran lambat) maupun yang fast moving pengetahuan tersebut diaplikasikan diharapkan
(perputaran cepat). akan meningkatkan keuntungan dari para
Hasil penelitian mendapatkan bahwa pengusaha ritel tradisional.
sebagian besar responden tidak menggunakan
tenaga kerja (94 orang atau 78,33%), dengan B. Kondisi Sebelum dan Sesudah Ada
kata lain pengusaha ritel tradisional disini Ritel Modern
bertindak sebagai pemilik usaha dan pelaku 1. Omzet Penjualan
usaha (pekerja). Asumsi mereka, gaji untuk Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat
tenaga kerja bisa dialihkan untuk menambah bahwa terjadi penurunan rata-rata omzet
modal kerja. Seharusnya secara ekonomi apa penjualan dari Rp. 28.672.917,00 menjadi Rp.
yang mereka kerjakan diperhitungkan sehingga 21.505.000,00 atau turun rata-rata sebesar Rp.
dapat dihitung secara pasti berapa besar 7.167.917 (25%). Kondisi ini perlu dikaji apakah
keuntungan yang didapatkan setelah dikurangi ini terjadi murni karena kehadiran ritel modern
biaya pekerja. Sedangkan 26 orang (21,66%) sehingga semakin memperketat persaingan
menggunakan tenaga kerja karena merasa usaha atau lebih disebabkan karena turunnya
usahanya semakin maju dan tidak daya beli masyarakat.
memungkinkan untuk dikerjakan sendiri. Tenaga

35
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

Penurunan omset penjualan karena dan sesudah ada ritel modern tetap sama, hal ini
kehadiran ritel modern menunjukkan pengaruh sangat dimungkinkan karena sudah
negatif dari adanya usaha ritel modern terhadap diperhitungkan berdasarkan pengalaman para
usaha ritel tradisional. Hal ini menunjukkan pengusaha ritel tradisional ada jam-jam dimana
bahwa konsumen lebih suka berbelanja pada ramai pelanggan dan jam dimana sepi pelangaan
ritel modern dari pada ritel tradisional. sehingga bila dilakukan penambahan jam
Omset penjualan sebelum dan sesudah bukapun mereka berasumsi tidak akan
adanya ritel modern dapat dilihat pada Tabel 3. menambah keuntungan secara signifikan.
Terlihat bahwa sebelum adanya ritel modern, Jumlah jam buka usaha dapat dikelompokkan
omset penjualan ritel tradisional paling kecil Rp. menjadi jam buka pendek, sedang dan panjang.
500.000,00 per bulan dan sesudah adanya ritel Apabila kita cermati Tabel 4, maka tampak
tradisional paling kecil Rp. 300.000,00 per bahwa jam buka sebelum ada ritel modern
bulan. Ini menunjukkan bahwa setelah adanya paling pendek 4 jam, namun setah ada ritel
ritel modern omset penjualan mengalami modern paling pendek 7 jam. Hal ini tidak
penurunan. Hal ini juga dikuatkan oleh adanya menggambarkan adanya kenaikan jam buka,
informasi bahwa usaha ritel tradisional yang karena jumlah peritel tradisional yang
memiliki omset penjualan kecil, jumlahnya melakukan jam buka pendek dan sedang
meningkat dari 112 sebelum adanya ritel mengalami kenaikan dibanding dengan sebelum
modern menjadi 117 sesudah adanya ritel ada ritel modern. Disisi lain, ada penurunan
modern. Sebaliknya diperoleh informasi bahwa yang cukup banyak pada usaha ritel tradisional
yang memiliki omset besar mengalami yang melakukan usaha dengan jam buka panjang.
penurunan dari sejumlah 3 orang sebelum ada Dengan demikian, secara rata-rata jam buka
ritel modern menjadi 1 orang sesudah ada ritel tidak mengalami perubahan. Tabel 4
modern. menunjukkan jumlah jam buka usaha yang
dirinci berdasarkan kriteria pendek,sedang dan
2. Jumlah Jam Buka Usaha panjang baik sebelum maupun sesudah ada ritel
Terkait dengan jumlah jam buka tidak ada modern.
perubahan yang signifikan, hal ini dapat Keberadaan ritel modern tidak berdampak
diketahui rata-rata jam buka usaha sebelum pada jumlah jam buka. Ini menunjukkan bahwa
maupun sesudah ada ritel modern sebanyak kebiasaan melakukan usaha bagi peritel
13,8 jam. Jumlah rata-rata jam buka sebelum tradisional tidak mengalami perubahan aktivitas.

Tabel 3
Omset Penjualan
Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Omset Penjualan Jumlah
Kriteria Per Bulan (Rp) Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Kecil 500.000- 300.000- 112 117 93 97
100.333.332 100.999.999
Sedang 100.333.333- 100.200.000- 5 2 4 2
200.166.666 200.099.999
Besar 200.166.667- 200.100.000- 3 1 3 1
300.000.000 300.000.000
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 4
Jumlah Jam Buka Usaha
Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Jumah jam Buka Usaha Jumlah
Kriteria (jam) Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Pendek 4-8 7-10 1 7 1 6
Sedang 9-13 11-14 36 74 30 62
Panjang 14-18 15-18 83 39 69 32
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

36
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

3. Perputaran Barang Dagangan perputaran yang semakin cepat dibandingkan


Perputaran barang dagangan secara rata-rata sebelum adanya ritel modern. Apabila ditelaah
sebelum dan sesudah ada ritel modern terjadi secara mendalam perputaran barang dangangan
perubahan. Penelitian ini mengungkapkan yang semakin cepat adalah baik. Namun
adanya perubahan yang terjadi pada perputaran demikian perlu dikaitkan dengan jumlah omset
barang dagangan, artinya perputaran barang penjualan yang semakin sedikit, maka dampak
semakin cepat dari 18 kali menjadi 17 kali. Hal ritel modern terhadap perputaran barang
ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya dagangan adalah negatif karena perputaran yang
penurunan omset penjualan. Omset yang cepat diakibatkan omset yang sedikit.
jumlahnya sedikit menunjukkan bahwa stok
barang dagangan juga sedikit sehingga 4. Biaya Usaha
perputarannya menjadi semakin cepat. Rata-rata biaya usaha mengalami perubahan
Tabel 5 menunjukkan perputaran barang dari Rp. 14.141.667,00 menjadi Rp.
dagangan yang dirinci menurut kriteria lambat, 12.692.083,00 atau turun sebesar 10,25%.
sedang serta cepat sebelum dan sesudah ada Dengan demikian ada penurunan biaya usaha
ritel modern. setelah ada ritel modern. Kondisi ini sebetulnya
Tabel 5 merupakan efek dari sirkulasi barang yang
Perputaran Barang Dagangan menurun kemudian turunnya omset sehingga
Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern pengeluaran terutama untuk pembelian barang
Perputaran Jumlah semakin menurun.
Kriteria Barang Dagangan Biaya usaha sebelum dan sesudah ada ritel
Orang %
(jam)
Sblm Sdh Sblm Sdh Sblm Sdh
modern dapat dilihat pada Tabel 6. Biaya usaha
Pendek 4-8 7-10 1 7 1 6 yang menurun merupakan dampak negatif dari
Sedang 9-13 11-14 36 74 30 62 keberadaan ritel modern. Hal ini dapat
Panjang 14-18 15-18 83 39 69 32 dijelaskan dari biaya yang dikeluarkan untuk
Total 120 120 100 100 membeli barang dagangan yang menurun sebagai
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
akibat omset penjualan yang menurun pula.
Ritel modern berdampak pada perputaran
barang dagangan, ini ditunjukkan dengan

Tabel 6
Biaya Usaha Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Biaya Usaha Jumlah
Kriteria Per Bulan (Rp) Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Kecil 100.000-96.733.332 50.000-96.699.999 118 118 98 98
Sedang 96.733.333-193.366.666 96.700.000-193.349.999 1 1 1 1
Besar 193.366.667-290.000.000 193.350.000-290.000.000 1 1 1 1
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 7
Laba Bersih Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Laba Bersih Jumlah
Kriteria Per Bulan (Rp) Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Kecil 200.000-25.333.332 0-4.999.999 119 116 99 97
Sedang 25.133.333-50.066.666 5.000.000-9.999.999 0 3 0 3
Besar 50.066.667-75.000.000 10.000.000-15.000.000 1 1 1 1
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010

Tabel 8
Laba Kotor Sebelum dan Sesudah ada Ritel Modern
Laba Kotor Jumlah
Kriteria Per Bulan (Rp) Orang %
Sebelum Sesudah Sblm Sdh Sblm Sdh
Kecil 300.000-16.866.666 0-9.999.999 115 113 96 95
Sedang 16.866.667-33.433.332 10.000.000-19.999.999 3 4 2 3
Besar 33.433.333-50.000.000 20.000.000-30.000.000 2 3 2 2
Total 120 120 100 100
Sumber: Data primer yang sudah diolah, 2010
37
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

5. Laba Bersih ritel modern laba kotor minimal Rp 0,00.


Penelitian ini mengungkapkan terjadinya Sedangkan laba kotor maksimal Rp.
penurunan rata-rata laba bersih dari Rp. 50.000.000,00 sebelum ada ritel modern dan
2.575.833,00 sebelum ada ritel modern menjadi turun menjadi Rp.30.000.000,00 setelah ada
Rp. 1.683.083,00 setelah ada ritel modern. ritel modern. Tabel 8 menunjukkan laba kotor
Besarnya penurunan tersebut adalah 34,66%. sebelum dan sesudah ada ritel modern yang
Perincian menurut kriteria laba bersih kecil, dirinci menurut kriteria laba kotor kecil, sedang
sedang dan besar dapat dilihat pada Tabel 7. dan besar.
Penurunan laba bersih ini bukan merupakan Penurunan laba usaha merupakan dampak
dampak dari adanya ritel modern. Penurunan negatif dari adanya ritel modern. Hal ini sesuai
laba bersih tersebut diakibatkan karena dengan pendapatan dari omset penjualan yang
pendapatan yang berasal dari omset penjualan menurun.
yang menurun diikuti dengan penurunan biaya
yang tidak sebanding dengan penurunan C. Analisis Statistik dengan Uji Beda
pendapatan. Penurunan omset penjualan lebih 1. Jumlah Omzet Penjualan
tinggi dari pada penurunan biaya usaha. Secara deskriptif omset penjualan mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan sebelum
6. Laba Kotor ada ritel modrn. Ini mengindikasikan bahwa
Laba kotor rata-rata juga mengalami konsumen lebih suka berbelanja di peritel
penurunan dari Rp. 4.999.166,00 sebelum ada modern. Untuk mengetahui apakah jumlah
ritel modern menjadi Rp. 3.553.333,00 sesudah omset penjualan usaha retail tradisional
ada ritel modern atau turun Rp. 1.445.833,00 sebelum dan sesudah adanya usaha retail
(40,69%). Penurunan tersebut, tentunya lebih modern berbeda nyata atau tidak, maka
dikarenakan persaingan usaha. Hal ini juga dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata
tampak pada saat sebelum ada ritel modern laba berpasangan dan didapat hasilnya seperti
kotor minimal Rp. 300.000,00 dan sesudah ada tertera pada Tabel 9.

Tabel 9
Jumlah Omset Penjualan
No Uraian N Rata-rata Jumlah Omset t df Sig
Penjualan/ bulan (Rp) hitung (2-tailed)
1. Jumlah Omset Penjualan usaha retail 120 28.672.917,00
tradisional sebelum ada usaha ritel modern
2. Jumlah Omset Penjualan usaha retail 120 21.505.000,00
tradisional sesudah ada usaha ritel modern 3,943 119 .000

Tabel 10
Perputaran Barang Dagangan
No Uraian N Rata-rata Perputaran t df Sig
barang dagangan hitung (2-tailed)
1. Perputaran barang dagangan usaha retail 120 18,20
tradisional sebelum ada usaha ritel modern
2. Perputaran barang dagangan usaha retail 120 17,29
tradisional sesudah ada usaha ritel modern 3.285 119 .001

Tabel 11
Jumlah Jam Buka
No Uraian N Rata-rata t df Sig
Jumlah Jam Buka hitung (2-tailed)
1. Jumlah jam buka usaha retail tradisional 120 13.80
sebelum ada usaha ritel modern
2. Perputaran barang dagangan usaha retail 120 13.78 .159 119 0.874
tradisional sesudah ada usaha ritel modern

Pada tabel 9 tersebut terlihat bahwa nilai Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan
signifikansi jumlah omset penjualan usaha retail pengujian t hitung. Dari Tabel 9 diperoleh nilai
tradisional sebelum ada usaha retail modern t-hitung sebesar 3,943 yang lebih besar dari
dan sesuhah ada retail modern sebesar .000. Ini tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang demikaian dapat disimpulkan terdapat
signifikan antara jumlah omset penjualan usaha perbedaan antara jumlah omset penjualan usaha
retail tradisional sesudah dan sebelum adanya retail tradisional sebelum dan sesudah adanya
retail modern, karena nilai signifikansi < 0,05.

*) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Semarang


Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel adanya usaha retail modern berbeda nyata atau
(3,943>1.980) tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda
rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya
2. Perputaran Barang Dagangan seperti tertera pada Tabel 11.
Perhitungan uji beda terkait dengan Pada Tabel 11 terlihat bahwa nilai
perputaran barang dagangan didapatkan hasil signifikansi jumlah jam buka retail tradisional
seperti pada Tabel 10. sebelum ada usaha retail modern dan sesuhah
Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai ada retail modern sebesar .874. Ini
signifikansi perputaran barang dagangan usaha menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
retail tradisional sebelum ada usaha retail yang signifikan antara jumlah jam buka usaha
modern dan sesuhah ada retail modern sebesar retail tradisional sesudah dan sebelum adanya
.001. Ini menunjukkan bahwa terdapat retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05.
perbedaan yang signifikan antara perputaran Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan
barang dagangan usaha retail tradisional sesudah pengujian t hitung. Dari Tabel 11 diperoleh nilai
dan sebelum adanya retail modern, karena nilai t-hitung sebesar .159 yang lebih kecil dari tabel
signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian
dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan
tabel 18 diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,285 antara jumlah jam buka usaha retail tradisional
yang lebih besar dari tabel distribusi t sebesar = sebelum dan sesudah adanya usaha retail
1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan modern, kareta t-hitung<t-tabel (.159<1.980).
terdapat perbedaan antara perputaran barang
dagangan usaha retail tradisional sebelum dan 5. Laba Bersih
sesudah adanya usaha retail modern, kareta t- Berdasarkan perhitungan uji beda terkait
hitung>t-tabel (3,285>1.980) dengan laba bersih didapatkan hasil sebagai
berikut:
3. Jumlah Jam Buka
Untuk mengetahui apakah jumlah jam buka
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah
Tabel 12
Laba Bersih
No Uraian N Rata-rata Laba t df Sig
Bersih/ bulan (Rp) hitung (2-tailed)
1. Laba bersih usaha retail tradisional 120 2.575.833,00
sebelum ada usaha ritel modern
2. Laba bersih usaha retail tradisional 120 1.683.083,00 1.452 119 .149
sesudah ada usaha ritel modern

Tabel 13
Laba Kotor
No Uraian N Rata-rata Laba t df Sig
Kotor/ bulan (Rp) hitung (2-tailed)
1. Laba kotor usaha retail tradisional 120 4.999.166,00
sebelum ada usaha ritel modern
2. Laba kotor usaha retail tradisional 120 3.553.333,00 4.157 119 .000
sesudah ada usaha ritel modern

Tabel 14
Biaya Usaha
No Uraian N Rata-rata Biaya t df Sig
Usaha/ bulan (Rp) hitung (2-tailed)
1. Biaya usaha retail tradisional 120 14.141.667,00
sebelum ada usaha ritel modern
2. Biaya usaha retail tradisional 120 12.692.083,00 4.194 119 .000
sesudah ada usaha ritel modern

Untuk mengetahui apakah laba bersih usaha retail modern dan sesudah ada retail
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah modern sebesar .149. Ini menunjukkan bahwa
adanya usaha retail modern berbeda nyata atau tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
tidak, maka dilakukan pengujian dengan uji beda laba bersih usaha retail tradisional sesudah dan
rata-rata berpasangan dan didapat hasilnya sebelum adanya retail modern, karena nilai
seperti tertera pada tabel 20. Pada tabel signifikansi > 0,05. Hal tersebut dapat
tersebut terlihat bahwa nilai signifikansi laba dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Dari
bersih usaha retail tradisional sebelum ada Tabel 12 diperoleh nilai t-hitung sebesar 1,452

39
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar = III. Penutup


1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan A. Kesimpulan
tidak terdapat perbedaan antara laba bersih 1. Karakteristik, Posisi dan Potensi Usaha
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah Ritel Tradisional
adanya usaha retail modern, kareta t-hitung<t- a. Karakteristik Responden
tabel (1,452<1.980) Sebagian besar responden adalah
perempuan. Untuk usia responden, baik laki-laki
6. Laba Kotor maupun perempuan semuanya berada dalam
Untuk mengetahui apakah laba kotor usaha usia produktif. Jenis usaha yang dijalankan dan
retail tradisional sebelum dan sesudah adanya digeluti oleh semua pengusaha ritel masih
usaha retail modern berbeda nyata atau tidak, terfokus pada jenis usaha kelontong (kebutuhan
maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata- sehari-hari). Semua responden beragama Islam.
rata berpasangan dan didapat hasilnya seperti Sebagian besar responden, baik laki-laki
tertera pada Tabel 13. maupun perempuan lahir di Kota Semarang.
Pada tabel tersebut terlihat bahwa nilai Tingkat pendidikan peritel tradisional sebagian
signifikansi laba kotor usaha retail tradisional besar rendah. Jarak tempat usaha peritel
sebelum ada usaha retail modern dan sesudah modern dengan tradisional rata-rata adalah
ada retail modern sebesar .000. Ini 194m.
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara laba kotor usaha retail b. Posisi dan Potensi Usaha Ritel
tradisional sesudah dan sebelum adanya retail Tradisional
modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal Sebagian besar peritel tradisional tidak
tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian memiliki ijin usaha. Jenis dagangan yang dijual
t hitung. Dari Tabel 13 diperoleh nilai t-hitung oleh pengusaha ritel tradisional adalah
sebesar 4.157 yang lebih besar dari tabel kelontong dan merupakan pedagang eceran.
distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian Rata-rata luas tempat usaha pengusaha ritel
dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara tradisional adalah 24 m². Sebagian besar status
laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan tempat usaha adalah milik sendiri.
sesudah adanya usaha retail modern, kareta t- Lama usaha yang telah dijalani oleh
hitung > t-tabel (4,157>1.980) pengusaha ritel tradisional rata-rata 11,8 tahun.
Bila dibandingkan antara modal awal usaha
7. Biaya Usaha dengan modal sekarang terjadi kenaikan yang
Berdasarkan perhitungan uji beda terkait sangat tinggi. Rata-rata modal awal usaha yang
dengan biaya usaha didapatkan hasil seperti dikeluarkan pengusaha ritel tradisional adalah
pada Tabel 14. Rp. 7.378.000,00 dan untuk saat ini rata-rata
Biaya usaha retail tradisional sebelum dan modal yang dikeluarkan adalah Rp
sesudah adanya usaha retail modern berbeda 23.200.000,00.
nyata atau tidak dapat diketahui dengan Sebagian besar responden tidak menjalin
melakukan pengujian dengan uji beda rata-rata kerjasama dengan pihak lain. Sebagian kecil
berpasangan dan hasilnya diperoleh seperti melakukan kemitraan yang meliputi: pemasaran,
tertera pada Tabel 14. Pada tabel tersebut pasokan barang maupun dengan pihak
terlihat bahwa nilai signifikansi biaya usaha retail perbankan yang terkait dengan penambahan
tradisional sebelum ada usaha retail modern modal usaha.
dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini Untuk asal barang dagangan sebagian besar
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang responden membeli langsung barang dagangan
signifikan antara biaya usaha retail tradisional ke pasar/tempat grosir karena barang yang
sesudah dan sebelum adanya retail modern, dibeli biasanya tidak banyak dan kecenderungan
karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. konsumen dalam partai kecil, selain itu juga
Dari Tabel 14 diperoleh nilai t-hitung sebesar dipengaruhi oleh modal usaha yang terbatas
4.194 yang lebih besar dari tabel distribusi t (kecil). Selain itu ada juga sebagian kecil yang
sebesar = 1.980. Dengan demikaian dapat hanya mengambil barang dari pemasok saja.
disimpulkan terdapat perbedaan antara biaya Untuk penggunaan tenaga kerja sebagian
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah besar responden tidak menggunakan tenaga
adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t- kerja dan hanya sebagian kecil menggunakan
tabel (4.194>1.980) tenaga kerja karena merasa usahanya semakin
maju dan tidak memungkinkan untuk dikerjakan
sendiri. Tenaga kerja yang direkrutpun sebagian
besar berasal dari luar lingkungan usaha karena
kebanyakan masyarakat sekitar lebih memilih

40
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

bekerja di pabrik atau sektor swasta lain yang semakin cepat adalah baik. Namun
daripada harus bekerja di toko. demikian perlu dikaitkan dengan jumlah omset
Terkait dengan adanya pembinaan bagi penjualan yang semakin sedikit, maka dampak
pengusaha ritel tradisional sebagian besar ritel modern terhadap perputaran barang
responden menyatakan belum pernah dagangan adalah negatif karena perputaran yang
mendapatkan pembinaan usaha sedangkan cepat diakibatkan omset yang sedikit.
sebagian kecil mendapatkan pembinaan baik dari
perbankan, swasta, Perguruan Tinggi (UNNES) d. Biaya Usaha
maupun dari pihak keluarga. Rata-rata biaya usaha mengalami
perubahan yaitu ada penurunan biaya usaha
2. Kondisi Sebelum dan Sesudah Ada setelah ada ritel modern. Kondisi ini sebetulnya
Ritel Modern merupakan efek dari sirkulasi barang yang
a. Omzet Penjualan menurun kemudian turunnya omset sehingga
Penurunan omset penjualan karena pengeluaran terutama untuk pembelian barang
kehadiran ritel modern menunjukkan pengaruh semakin menurun. Biaya usaha yang menurun
negatif dari adanya usaha ritel modern terhadap merupakan dampak negatif dari keberadaan ritel
usaha ritel tradisional. Sebelum adanya ritel modern. Hal ini dapat dijelaskan dari biaya yang
modern, omset penjualan ritel tradisional paling dikeluarkan untuk membeli barang dagangan
kecil Rp. 500.000,00 per bulan dan sesudah yang menurun sebagai akibat omset penjualan
adanya ritel tradisional paling kecil Rp. yang menurun pula.
300.000,00 per bulan. Ini menunjukkan bawha e. Laba Bersih
setelah adanya ritel modern omset penjualan Penelitian ini mengungkapkan terjadinya
mengalami penurunan. Hal ini juga dikuatkan penurunan rata-rata laba bersih. Walaupun
oleh adanya informasi bahwa usaha ritel terjadi penurunan laba bersih, ini bukan
tradisional yang memiliki omset penjualan kecil, merupakan dampak dari adanya ritel modern.
jumlahnya meningkat dari 112 sebelum adanya Penurunan laba bersih tersebut diakibatkan
ritel modern menjadi 117 sesudah adanya ritel karena pendapatan yang berasal dari omset
modern. Sebaliknya diperoleh informasi bahwa penjualan yang menurun diikuti dengan
yang memiliki omset besar mengalami penurunan biaya yang tidak sebanding dengan
penurunan dari sejumlah 3 orang sebelum ada penurunan pendapatan. Penurunan omset
ritel modern menjadi 1 orang sesudah ada ritel penjualan lebih tinggi dari pada penurunan biaya
modern. usaha.

b. Jumlah Jam Buka Usaha f. Laba Kotor


Terkait dengan jumlah jam buka tidak ada Laba kotor rata-rata juga mengalami
perubahan yang signifikan, hal ini dapat penurunan sesudah ada ritel modern.
diketahui rata-rata jam buka usaha sebelum Penurunan tersebut, tentunya lebih dikarenakan
maupun sesudah ada ritel modern sebanyak persaingan usaha. Penurunan laba usaha
13,8 jam. Keberadaan ritel modern tidak merupakan dampak negatif dari adanya ritel
berdampak pada jumlah jam buka. Ini modern. Hal ini sesuai dengan pendapatan dari
menunjukkan bahwa kebiasaan melakukan usaha omset penjualan yang menurun.
bagi peritel tradisional tidak mengalami
perubahan aktivitas. 3. Analisis Statistik dengan Uji Beda
a. Jumlah Omzet Penjualan
c. Perputaran Barang Dagangan Nilai signifikansi jumlah omset penjualan
Perputaran barang dagangan secara rata-rata usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail
sebelum dan sesudah ada ritel modern terjadi modern dan sesudah ada retail modern sebesar
perubahan. Penelitian ini mengungkapkan .000. Ini menunjukkan bahwa terdapat
adanya perubahan yang terjadi pada perputaran perbedaan yang signifikan antara jumlah omset
barang dagangan, artinya perputaran barang penjualan usaha retail tradisional sesudah dan
semakin cepat dari 18 kali menjadi 17 kali. Hal sebelum adanya retail modern, karena nilai
ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat
penurunan omset penjualan. Omset yang dibuktikan pula dengan pengujian t hitung. Nilai
jumlahnya sedikit menunjukkan bahwa stok t-hitung sebesar 3,943 yang lebih besar dari
barang dagangan juga sedikit sehingga tabel distribusi t sebesar = 1.980. Dengan
perputarannya menjadi semakin cepat. demikaian dapat disimpulkan terdapat
Ritel modern berdampak pada perputaran perbedaan antara jumlah omset penjualan usaha
barang dagangan, ini ditunjukkan dengan retail tradisional sebelum dan sesudah adanya
perputaran yang semakin cepat dibandingkan usaha retail modern, kareta t-hitung>t-tabel
sebelum adanya ritel modern. Apabila ditelaah (3,943>1.980)
secara mendalam perputaran barang dangangan
41
Analisis Dampak Usaha Ritel Modern
Terhadap Usaha Ritel Tradisional (Wyati Saddewisasi, dkk)

b. Perputaran Barang Dagangan modern, karena nilai signifikansi < 0,05. Hal
Nilai signifikansi perputaran barang dagangan tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian
usaha retail tradisional sebelum ada usaha retail t hitung. Dari tabel 5.21 diperoleh nilai t-hitung
modern dan sesuhah ada retail modern sebesar sebesar 4.157 yang lebih besar dari tabel
.001. Ini menunjukkan bahwa terdapat distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian
perbedaan yang signifikan antara perputaran dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara
barang dagangan usaha retail tradisional sesudah laba kotor usaha retail tradisional sebelum dan
dan sebelum adanya retail modern, karena nilai sesudah adanya usaha retail modern, karena t-
signifikansi < 0,05. Hal tersebut dapat hitung > t-tabel (4,157>1.980)
dibuktikan pula dengan pengujian t hitung.
Diperoleh nilai t-hitung sebesar 3,285 yang lebih f. Biaya Usaha
besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980. Nilai signifikansi biaya usaha retail tradisional
Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat sebelum ada usaha retail modern dan sesudah
perbedaan antara perputaran barang dagangan ada retail modern sebesar .000. Ini
usaha retail tradisional sebelum dan sesudah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
adanya usaha retail modern, kareta t-hitung>t- signifikan antara biaya usaha retail tradisional
tabel (3,285>1.980) sesudah dan sebelum adanya retail modern,
karena nilai signifikansi < 0,05. Hal tersebut
c. Jumlah Jam Buka dapat dibuktikan pula dengan pengujian t hitung.
Nilai signifikansi jumlah jam buka retail Diperoleh nilai t-hitung sebesar 4.194 yang lebih
tradisional sebelum ada usaha retail modern besar dari tabel distribusi t sebesar = 1.980.
dan sesudah ada retail modern sebesar .874. Ini Dengan demikaian dapat disimpulkan terdapat
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perbedaan antara biaya usaha retail tradisional
yang signifikan antara jumlah jam buka usaha sebelum dan sesudah adanya usaha retail
retail tradisional sesudah dan sebelum adanya modern, kareta t-hitung>t-tabel (4.194>1.980).
retail modern, karena nilai signifikansi > 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan
Hal tersebut dapat dibuktikan pula dengan terdapat empat variabel penelitian yaitu jumlah
pengujian t hitung. Nilai t-hitung sebesar .159 omset penjualan, perputaran barang dagangan,
yang lebih kecil dari tabel distribusi t sebesar = laba kotor usaha, dan biaya usaha yang
1.980. Dengan demikaian dapat disimpulkan mempunyai perbedaan yang nyata antara
tidak terdapat perbedaan antara jumlah jam sebelum dan sesudah adanya peritel modern.
buka usaha retail tradisional sebelum dan Keberadaan ritel modern berpengaruh negatif
sesudah adanya usaha retail modern, kareta t- terhadap jumlah omset penjualan, perputaran
hitung<t-tabel (.159<1.980). barang dagangan, dan laba kotor usaha.
Sedangkan terhadap biaya usaha pengaruhnya
d. Laba Bersih positif.
Nilai signifikansi laba bersih usaha retail
tradisional sebelum ada usaha retail modern B. Rekomendasi
dan sesudah ada retail modern sebesar .149. Ini 1. Pemerintah
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan a. Menyusun Perda bagi pendirian ritel modern
yang signifikan antara laba bersih usaha retail yang mencakup antara lain :
tradisional sesudah dan sebelum adanya retail  pembatasan jumlah ritel modern dalam
modern, karena nilai signifikansi > 0,05. Hal satu wilayah (misalnya : dalam satu
tersebut dapat dibuktikan pula dengan pengujian kecamatan hanya diperbolehkan 1
t hitung. Dari tabel 5.20 diperoleh nilai t-hitung sampai dengan 2 ritel modern),
sebesar 1,452 yang lebih kecil dari tabel  jarak antara ritel modern dan tradisional,
distribusi t sebesar = 1.980. Dengan demikaian  pola kemitraan antara peritel tradisional
dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan dan modern misalnya dalam hal pasokan
antara laba bersih usaha retail tradisional barang dagangan.
sebelum dan sesudah adanya usaha retail b. Pengembangan ritel tradisional melalui
modern, kareta t-hitung<t-tabel (1,452<1.980). pelatihan dan pembinaan manajemen usaha
yang meliputi antara lain :
 manajemen keuangan
e. Laba Kotor  pemasaran (meliputi marketing mix,
Nilai signifikansi laba kotor usaha retail space management/ display barang
tradisional sebelum ada usaha retail modern dagangan),
dan sesudah ada retail modern sebesar .000. Ini  manajemen persediaan barang dagangan,
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
 dan manajemen sumberdaya manusia.
signifikan antara laba kotor usaha retail
tradisional sesudah dan sebelum adanya retail

42
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 31 - 43

c. Peningkatan sarana prasarana usaha Hutabarat, Marthin Rapael. 2009. Dampak


d. Memfasilitasi kemudahan mendapatkan Kehadiran Pasar Modern Brastagi
kucuran dana untuk menambah modal Supermarket terhadap Pasar Tradisional
usaha. SEI Sikambing di Kota Medan. Skripsi.
2. Ritel Tradisional Departemen Agribisnis Fakultas
a. Meningkatkan ketrampilan dibidang Pertanian Universitas Sumatra Utara
manajemen usaha Medan.
b. Meningkatkan omset penjualan melalui
diversifikasi usaha Kasali, Rhenald.http://iswekon.wordpress.com
c. Membuat display barang dagangan yang
menarik serta nyaman bagi konsumen “Minimarket dan Ritel Modern Kian
d. Melakukan kemitraan dengan berbagai pihak Menakutkan”. http://www.poskota.co.id.
untuk mengembangkan usahanya
“Pasar Ritel Modern Bukan Pembunuh Pasar
3. Ritel Modern Tradisional”.
a. Mematuhi ketentuan yang diberlakukan di http://www.antaranews.com
lingkungan berdirinya usaha
b. Mengadakan kemitraan dengan usaha ritel Pemerintah Kota Semarang, Rencana
tradisional khususnya dalam hal pasokan Pembangunan Jangka Panjang Menengah
barang dagangan Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun
c. Memperhatikan jarak pendirian usaha titel 2005-2010.
modern dengan ritel tradisional, dalam hal
ini jangan terlalu dekat jaraknya dengan ritel “Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern
tradisional. (Supermarket dan Hypermarket)
d. Dalam satu lokasi jangan terdapat dua ritel Terhadap Usaha Ritel Koperasi/
tradisional yang posisinya berdekatan Waserda dan Pasar Tradisional”, Jurnal
Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1
4. Akademisi Tahun I, 2006.
a. Melakukan kajian lebih lanjut keberadaan
usaha ritel modern bagi pola belanja Penyempurnaan Perangkat Peraturan, Kebijakan
masyarakat di Kota Semarang Pelaksanaan Operasional dan Kajian
b. Kajian dari aspek sosial ekonomi untuk Pengembangan Pasar Percontohan.
mengetahui pola belanja masyarakat Kota Laporan Akhir.
Semarang.
c. Menganalisis dampak usaha ritel modern “Ritel Marak, Warung Kecil Gulung Tikar”,
terhadap usaha ritel tradisional dengan alat http://www.poskota.co.id
analisis selain uji beda
d. Berperan serta dalam usaha pengembangan “Ritel Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari
ritel tradisional melalui pengabdian kepada Toko Tradisional @ Mesin Kasir
masyarakat berupa pendampingan usaha
maupun pelatihan manajemen usaha dan
peningkatan jiwa kewirausahaan.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih disampaikan kepada
WaliKota Semarang dan Kepala Bappeda Kota
Semarang yang telah memberikan dana kegiatan
penelitian melalui Bidang Penelitian dan
Pengembangan Bappeda Kota Semarang tahun
2010.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Perdagangan RI dan PT Indef


Eramadani (INDEF). 2007. “Kajian
Dampak Ekonomi Keberadaan
Hypermarket Ritel/ Pasar, Kerjasama
antara Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perdagangan Dalam
Negeri (Ringkasan Eksekutif)”.
43

Anda mungkin juga menyukai