Anda di halaman 1dari 2

Hallo sahabat energi....

bertemu kembali setelah sekian lama istirahat sejenak dari


perkuliahan. Bagaimana liburannya ? pasti seru yakan,  ada kabar yang tidak kalah
serunya ni tentang dunia energi di Indonesia yaitu berlakunya sistem baru yang
dinamakan Gross Split. Apa itu Gross Split ?
Sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 38 tahun 2015 tentang
Percepatan Pengusahaan Migas Non Konvensional memperkenalkan dua skema
kontrak baru di industri minyak dan gas bumi (migas) nasional, khusus untuk
pengembangan wilayah kerja non konvensional. Dua skema tersebut adalah kontrak
bagi hasil sliding scaledan kontrak bagi hasil gross split.
Berdasarakan Permen tersebut maka dapat diarikana bahwa sliding scale adalah
bentuk kontrak dalam kegiatan usaha hulu yang bagi hasilnya progresif, dihitung
berdasarkan kumulatif produksi setiap tahun dengan mekanisme pengembalian biaya
operasi. Apabila kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) menyetujui menggunakan
skema tersebut, maka hasil penjualan produksi migasnya dibagi dengan jatah
pemerintah berdasarkan kontrak kerjasama tanpa memperhitungkan terlebih
dahulu  first tranche petroleum dan pengembalian biaya operasi (cost
recovery). Sedangkan gross split sliding scale didefinisikan sebagai suatu bentuk
kontrak bagi hasil berdasarkan prinsip pembagian gross produksi secara progresif
sesuai dengan kumulatif produksi setiap tahun tanpa mekanisme pengembalian cost
recovery.
Kontrak Kerja Sama minyak dan gas bumi (migas) di tanah air dengan skema gross
split sejalan dengan upaya mewujudkan kedaulatan negara pada kegiatan operasi hulu
migas. Kedaulatan negara pada skema gross split diwujudkan dalam penentuan wilayah
kerja, kapasitas produksi dan lifting, termasuk aspek komersial dan pembagian hasil.
Penerapan skema ini akan menghasilkan penerimaan negara lebih pasti Besarnya bagian
kontraktor dalam skema gross split berdasarkan variable dan perhitungan yang detail,
antara lain harga minyak, kondisi cadangan minyak dan Tingkat Komponen Dalam
Negeri (TKDN). Skema ini rencananya akan diterapkan seiring dengan berakhirnya
Kontrak Kerjasama (PSC) yang masih berlaku saat ini.

Menteri ESDM, Ignasius Jonan, menyatakan kontrak bagi hasil (Production


Sharing Contract/PSC) dengan skema gross split tidak membuat minyak dan gas
bagian negara jadi turun. Bagi hasil minyak dengan skema cost recovery memang 855
untuk negara. Tapi setelah dikurangi oleh cost recovery, bagian negara berkurang,
bisa saja di bawah 40%. Sebagai gambaran, misalkan produksi minyak di sebuah blok
100.000 barel per hari (bph). Biaya operasi yang harus diganti oleh negara kepada
kontraktor setara dengan 45.000 bph. Maka bagian negara adalah 85% dari 55.000
bph atau 46.750 bph. Maka sebetulnya negara hanya mendapatkan 46,7% dan
kontraktor mendapat 53,3% dari bagian 15% plus cost recovery.
Sekarang dengan skema gross split, bagian negara bersih, tidak ada lagi
potongan cost recovery. Misalnya produksi 100.000 bph dengan bagi hasil negara dan
kontraktor 50:50, maka negara mendapat 50.000 bph atau 50%. Biaya operasi
dipotong dari bagian kontraktor. “Bagi hasil untuk pemerintah tidak turun. Kalau dulu
85 persen itu kan setelah dikurangi biaya. Kalau sekarang saya ambil di atas, biaya
operasinya terserah kontraktor,” kata Jonan saat ditemui di STEM Akamigas, Blora,
Jumat (20/1/2017).

Gross split memang tidak menjamin bagian negara jadi naik. Tapi skema ini
lebih adil bagi negara maupun perusahaan migas yang menjadi kontraktor kontrak
kerja sama (KKKS). Pemerintah juga tidak perlu menanggung biaya operasional
sebagaimana dalam kontrak kerjasama dalam skema cost recovery. Penggunaan
skema gross split akan memudahkan kontraktor, bebas menentukan sendiri biaya
operasinya, tanpa direpotkan ketentuan pengadaan barang dan jasa, tak perlu minta
persetujuan untuk pengeluaran biaya operasi. Serta mendorong efisiensi biaya
produksi migas.

Anda mungkin juga menyukai