Anda di halaman 1dari 3

INDAHNYA KEMAJEMUKAN:

Menakar Kompetensi Hidup Bersama Orang Lain dalam Perbedaan


M. Lutfi Mustofa

Dalam sebuah pertemuan yang tiba-tiba, seorang dosen Perguruan Tinggi Islam Negeri
ternama di Kota Malang berbincang hangat dengan rekan kerjanya di sutau rumah
makan. Awalnya, kedua pendidik ini berbincang seputar isu-isu “konyol” broadcasting
para kolega mereka di salah satu media sosial yang lagi trendy, Watchsap. Mulai dari
membahas beraneka gambar wanita cantik, gurauan tentang poligami, menanyakan
perkembangan kesehatan salah seorang teman yang sedang rawat inap di Rumah Sakit
Aisyiah, hingga tema-tema serius yang bertemali dengan soal perbedaan kelompok dan
pentingnya sikap rukun atau harmoni di tengah kemajemukan (pluralitas). Lucunya,
entah mereka berdua menyadari atau tidak sebenarnya sedang menjadi bagian dari
perbedaan kelompok yang terbincangkan itu. Paling tidak, pada saat itu keduanya
sedang vis a vis sebagai dua pribadi dengan latar belakang sosio-kultur yang berbeda,
yaitu Bima dan Madura.

Sambil diiringi alunan musik klasik dengan vokalis cantik di rumah makan tersebut, yang
kebetulan sedang mendendangkan lagu “Burung Camar” dari Fina Panduwinata, mereka
semakin larut dalam diskusi yang mengasyikkan tentang “harmony in diversity”. Seperti
telah jamak dimengerti oleh para akademisi, bahwa pluralitas merupakan kenyataan—
yang dalam bahasa agamanya dikenal sebagai sunnatullah—yang tak bisa dihindari oleh
siapapun. Dalam al-Qur’an, bahkan Allah SWT menjadikannya sebagai instrumen untuk
saling mengenal di antara manusia dari berbagai suku dan bangsa. Tindakan saling
mengenal ini kemudian dijadikan sebagai salah satu indikator ketakwaan seseorang,
yang juga akan menentukan kemuliaannya di hadapan Rabbul ‘alamiin.

Pluralitas manakala disikapi dengan kedewasaan dan penghargaan, akan menawarkan


kenyamanan dan kesejahteraan mental, baik secara personal maupun sosial. Sebaliknya,
apabila dianggap sebagai ancaman justru akan menjadi faktor munculnya gangguan dan
hambatan psikologis dan kerawanan sosial. Itulah sebabnya, organ Persatuan Bangsa-
bangsa (PBB) yang menangani penyelenggaraan pendidikan (UNESCO) menjadikan
kemampuan seseorang untuk hidup bersama yang lain (how to live together) sebagai
puncak capaian outcome pendidikan. Lebih dari itu, bahkan agama Islam menempatkan
kompetensi tersebut sebagai puncak dari perilaku keberagamaan pemeluknya, setelah
Iman dan Islam, yaitu Ihsan. Dalam pengertiannya yang sederhana, ihsan adalah berbuat
baik terhadap semua makhluk (fi’l al-khairat li jami’ al-makhluqat). Pengertian ini,
bahkan, bukan sekedar mengajarkan kepada manusia untuk menghormati sesamanya,
tetapi juga pada lingkungan, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan keseluruhan entitas lain
yang ada di semesta raya ini.

Kalau kita melihat jauh ke dalam ajaran Islam, maka akan tampak disana bahwa hampir
semua ajaran tersebut memiliki dimensi kemanusiaan, baik secara personal maupun
sosial. Ajaran mengenai Shalat, misalnya, dengan gamblang tersirat dari ayat-ayat al-
Qur’an bahwa ia ditunaikan agar seseorang terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
Oleh karena itu, Allah SWT mengecam terhadap orang yang mendirikan shalat, tetapi ia
melupakan pesan-pesan kemanusiaannya, seperti menyantuni fakir miskin dan anak-
anak yatim. Begitu juga puasa, zakat, haji, dan bahkan ajaran mengenai iman senantiasa
disandingkan dengan perintah untuk berkata-kata yang baik, mencintai sesamanya
seperti mencintai dirinya sendiri, menghormati tetangganya, mengutamakan titik temu
di tengah perbedaan atau konflik, dan seterusnya.

Kaitannya dengan pesan untuk menjaga kesatuan dan keharmonisan di antara sesama
manusia dan unsur-unsur alam semesta yang lain di atas juga terungkap dalam sistem
etika Jawa. Bahwa, semua ucapan, tindakan, dan peristiwa yang dibuat oleh seseorang
di muka bumi ini akan senantiasa berhubungan dengan peristiwa di alam metafisis.
Hubungan antara perbuatan manusia dengan alam metafisik tersebut seperti kaitan
antara “luar” dan “dalam”. Artinya, apa yang terjadi di bagian “luar” memiliki korelasi
dan dampak terhadap sebelah “dalam”. Dalam berbagai situasi, masyarakat Jawa
mengajarkan agar manusia tidak bertindak gegabah yang bisa mengakibatkan mereka
saling bertabrakan, termasuk dengan unsur-unsur alam yang lain, seperti roh dan
kekuatan-kekuatan halus. Oleh karena itu, manusia perlu belajar dari pengalaman-
pengalaman hidup dirinya maupun masyarakatnya untuk mengetahui tindakan-tindakan
mana yang membawa “keselamatan” dan yang justru dapat membahayakan dirinya dan
orang lain. Secara sosiologis, pengalaman-pengalaman itu biasanya terkemas dengan
baik di dalam beragam tradisi dan norma-norma kearifan lokal masyarakat desa (adat-
istiadat). Apabila manusia berpegang pada adat-istiadatnya maka akan mendapatkan
rasa aman, dan begitu pula sebaliknya mereka yang menentangnya. Hal ini selaras
dengan kaidah ushul fiqh yang menegaskan, bahwa al-‘adah muhakkamah, artinya
adat-istiadat itu bisa dijadikan salah satu dasar hukum yang handal.

Dalam pengertiannya yang spesifik, agama yang dalam Bahasa Arab disebut dengan al-
din juga bisa bermakna tradisi atau adat-istiadat yang hidup di tengah masyarakat.
Dengan demikian, antara Islam dan adat-istiadat masyarakat sebenarnya memiliki
kesatuan dan keselarasan makna maupun pesan moralnya. Atas dasar itu, jika Islam
mengajarkan tentang pentingnya mempromosikan hormony in plurality atau unity in
diversity, seperti telah disinggung di atas, maka tindakan mengabaikannya adalah sama
halnya dengan menentang pengalaman hidup dan kearifan lokal masyarakatnya sendiri.
Jika hal itu terjadi, maka dalam perspektif Islam maupun etika Jawa di atas maknanya
adalah ketidakselamatan, na’udzu billahi min dzalik, semoga keluarga besar kampus UIN
Maulana Malik Ibrahim yang kita cintai bersama ini terhindar dari mafsadat ini...amiiiin.
Wallahu a’lam bis shawab.

Anda mungkin juga menyukai