Anda di halaman 1dari 3

PENELANTARAN ANAK:

“Cermin Retak” Kesehatan Masyarakat Kita

M. Lutfi Mustofa

Beberapa hari terakhir ini hampir semua mass media menyajikan pemberitaan tentang kasus
penelantaran lima anak oleh kedua orang tua kandungnya sendiri di Cibubur, Jakarta. Ironisnya,
pelaku tindak kekerasan fisik maupun psikis tersebut notabeneh adalah seseorang yang telah
mengenyam pendidikan pasca sarjana dan mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Ibu
Kota. Sekalipun kasus penelantaran anak semacam itu bukan yang pertama kalinya terjadi di negeri
yang dikenal ramah dan religius ini, justru karena itu patut menjadi keprihatinan dan perhatian
semua komponen masyarakat. Bukan pula karena stasiun televisi, koran harian, hingga beragam
media sosial di internet sampai detik ini ramai memperbincangkannya, namun kejadian ini telah
menyentuh bukan saja masalah pengasuhan dalam rumah tangga, lebih dari itu sudah bertemali
dengan masalah publik, yakni kesehatan jiwa (keswa) masyarakat atau kesehatan sosial-psikologis.
Sebagaimana telah jamak disaksikan oleh masyarakat melalui media elektronik, bahwa pada
saat polisi melakukan pemerikasaan di TKP, ternyata ditemukan pula adanya bingkisan sabu dan alat
penghisap yang diduga sudah pernah dipakai oleh orang tua korban. Dari temuan ini, maka kasus
penelantaran anak tersebut menjadi tidak berdiri sendiri, karena adanya faktor penyerta lain, yakni
masalah penyalahgunaan narkotika. Dalam konteks yang terakhir ini, pelaku penelantaran pada saat
yang sama juga bisa berkedudukan sebagai “korban” dari peredaran gelap dan penyalahgunaan
napza, yang mengandaikan adanya pemberian tindakan rehabilitasi dari pemerintah. Sampai pada
titik ini masalahnya menjadi tidak sederhana lagi ketika harus menentukan tindakan yang tepat bagi
“pelaku”. Pendekatan hukum di sini tentu saja menjadi tidak cukup, karena penanganan terhadap
kasus yang bertemali dengan masalah kesehatan sosial-psikologis memerlukan tindakan serentak
dan menyeluruh.
Mengikhtiarkan kesehatan sosial-psikologis berbeda dengan mengupayakan kesehatan fisik-
personal seseorang, karena dimensi kesehatan yang pertama lebih kompleks indikatornya. Artinya,
gangguan proses mental dan perilaku seseorang di ranah--atau yang berdampak ke--publik itu tidak
selamanya berjalan searah, dari individu ke masyarakat. Sebaliknya, bisa jadi karena tatanan sosial
yang tidak sehat menyebabkan individu atau kelompok di dalam masyarakat mengalami hambatan-
hambatan psikologis, sehingga mendorong munculnya berbagai proses mental dan perilaku yang
merugikan secara personal maupun komunal. Pada aras sosial tersebut peran pemerintah lebih
dibutuhkan dan dinanti program-programnya untuk meningkatkan kesehatan jiwa masyarakatnya.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi pada rapat kabinet yang pertama berpesan agar para menteri dalam
“Kabinet Kerja” melepaskan ego sektoralnya masing-masing merupakan seruan yang tepat. Selama
ini, banyak kementerian bekerja sendiri-sendiri sehingga penanganan masalah yang berkembang di
masyarakat terkesan sporadis dan tidak menyentuh ke akarnya. Oleh karena itu, terkait dengan
penyelesaian kasus penelantaran anak tersebut secara kuratif, preventif, dan promotif ke depannya,
Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri
Pariwisata, Menteri Pertanian, serta Kepolisian RI perlu segera menjalin kolaborasi dan
meningkatkan koordinasi untuk mengangkat kesehatan sosial-psikologis masyarakat.
Johana E. Prawitasari, Pensiunan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada,
menyebutkan konsep sehat secara sosial-psikologis berjalinan erat dengan empat aspek dalam
kehidupan masyarakat. Pertama, kesempatan dan kemampuan setiap orang untuk belajar, baik
secara formal maupun informal. Disini, rasio antara orang yang terdidik dan terlatih dengan jumlah
penduduk bisa dijadikan sebagai indikatornya. Kedua, kesempatan dan kemampuan setiap orang
untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Indikatornya bisa dilihat dari rasio antara
mereka yang bekerja formal dengan jumlah penduduk; seberapa luas lapangan kerja yang tersedia;
jumlah orang-orang yang mampu menggerakkan pasar di sektor informal; rasio jumlah mereka yang
berjualan dengan jumlah penduduk; dan seberapa banyak tenaga kerja yang telah terserap di sektor
formal maupun informal. Ketiga, kesempatan dan ketersediaan waktu dan tempat bagi setiap orang
untuk bermain secara nyaman dan aman. Dalam hal ini, derajat kesehatan jiwa masyarakat dapat
diukur dari seberapa banyak tempat dan tinggi intesitas yang dimiliki masyarakat untuk bermain
bersama orang lain tanpa adanya rasa takut. Keempat, kesempatan dan kemampuan setiap orang
untuk bercinta, dalam arti menggunakan cinta-kasihnya guna menumbuhkan perdamaian di antara
sesamanya. Banyaknya pertengkaran, pembunuhan, perkelahian, dan peperangan dapat dijadikan
indikator rendahnya kesehatan jiwa masyarakat. Begitu pula banyaknya jumlah pasangan hidup
dalam masyarakat yang saling mengembangkan pengertian dan pemahaman; jumlah anggota
masyarakat yang memiliki sahabat sejati; dan jumlah individu yang melaporkan memiliki teman
dekat dan memperoleh dukungan sosial yang memadai, semuanya itu merupakan indikator
kesehatan sosial-psikologis.
Hidup di tengah masyarakat yang secara sosial-psikologis tidak sehat, berpotensi mendorong
setiap orang berada dalam situasi yang beresiko, baik sebagai pelaku maupun korban dari tindakan
yang merugikan hingga membahayakan diri sendiri dan orang lain. Data World Health Organization
(WHO) yang dipresentasikan oleh Dirjen Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI tahun
2015 menunjukkan, bahwa 24% warga negara Indonesia yang menjadi pasien di pelayanan primer
memiliki diagnosis gangguan jiwa, mulai dari depresi, ansietas, dan penggunaan napza. Data lain
menunjukkan, bahwa di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kesenjangan
pengobatan (treatment gap) pada masalah gangguan jiwa masih sangat besar, yakni dapat mencapai
>90%. Hal ini berarti, bahwa <10% orang dengan gangguan jiwa yang telah mandapatkan bantuan
terapi di fasilitas kesehatan.
Ibarat berkaca pada “cermin retak”, fenomena penelantaran anak tersebut adalah satu di
antara sejumlah serpihan gambar lainnya, seperti korupsi, prostitusi, peredaran dan penyalahgunaan
narkoba, kemiskinan, perempuan maupuan anak-anak dalam situasi beresiko, dan seterusnya yang
tidak lain merupakan refleksi dari terpuruknya kesehatan masyarakat kita. Untuk merapatkan
kembali retakan cermin tersebut, sehingga tidak tampak kesenjangan antara kesehatan sosial-
psikologis dengan indikatornya--melanjutkan gagasan guru besar psikologi di atas--diperlukan
adanya gerakan massif yang disebut dengan psikologi komunitas.
Dasar dari gagasan psikologi komunitas adalah pengakuan dan penghargaan terhadap
kemajemukan atau pluralitas, serta menjadikannya sebagai social capital masyarakat. Keragaman
agama, bahasa, ras, suku, dan tradisi-tradisi lokal dengan segenap kearifan di dalamnya merupakan
sumber kekayaan yang sangat berharga bagi pengembangan atau pemberdayaan komunitas.
Pendekatan psikologi komunitas untuk menangani penelantaran anak, penyalahgunaan narkoba,
kemiskinan, dan masalah-masalah psikologis yang lain dirancang untuk menciptakan perubahan-
perubahan dalam lingkungan harian kelompok sasaran (klien), menurunkan tingkat penyimpangan
atau gangguan perilaku, dan mempromosikan gaya hidup yang lebih sehat.
Psikologi komunitas menyajikan segenap program dan panduan mendasar terhadap individu
maupun kelompok di dalam masyarakat, yang memusatkan perhatian pada skills berkomunikasi,
penyelesaian masalah, strategi menghindar atau menolak berbagai pengaruh buruk lingkungan, dan
memenuhi berbagai kebutuhan kelompok sasaran sebagai bagian dari komunitas. Kombinasi antara
langkah-langkah praktis di dalam ilmu psikologi dengan kekayaan pengetahuan dan kearifan lokal
yang digali dari tradisi komunitas, pendekatan ini menawarkan perlakuan-perlakuan baru terhadap
semua bentuk dukungan dan tindakan yang selama ini dilakukan dalam mengatasi masalah dan
gangguan psikologis di masyarakat. Inilah saatnya para akademisi dan ilmuwan psikologi di berbagai
perguruan tinggi mengambil bagian terpenting dan tanggung jawab terbesar untuk menyiapkan
tatanan masyarakat yang sehat. Berbagai masalah negeri yang gencar ditayangkan di media
elektronik, selama semuanya masih berhubungan dengan perilaku manusia, maka di sana kontribusi
dan jasa psikologi sedang dinanti-nantikan.

Anda mungkin juga menyukai