Anda di halaman 1dari 4

MENAKAR KEMBALI IDEALISME PENDIDIKAN NASIONAL

M. Lutfi Mustofa

Dalam bahasa agama (Islam), terdapat adagium Ilahiah yang bisa dipakai untuk
memulai tulisan ini, bahwa “Dialah Allah yang telah menciptakan hidup dan mati sebagai ujian
bagi manusia, agar dapat diketahui siapa di antara mereka yang paling baik perilakunya”.
Artinya, konsep dasar kehidupan manusia secara personal maupun komunal adalah
mengandaikan adanya sejumlah item persoalan atau masalah yang seharusnya mereka jawab
secara cepat, tepat, dan benar sepanjang masa hayat (life span). Dengan kata lain, tidak satu
individu, komunitas (lembaga, organisasi, maupun institusi), masyarakat, atau bahkan sebuah
bangsa yang paling besar sekalipun bebas dari permasalahan kehidupan. Di antara mereka,
ada yang sanggup menyelesaikan permasalahan dengan baik, namun tidak sedikit yang
ceroboh dan akhirnya gagal. Pada titik inilah, misalnya, sebagai sebuah bangsa kita bisa
mengkatakan, bahwa bukan jumlah penduduk dan bukan pula kekayaan alam yang menjadi
kekuatan. Akan tetapi, lebih pada seberapa besar kemampuan masyarakat dan pemerintah
untuk menyelesaikan segenap persoalan atau permasalahan dalam berbagai segi kehidupan
bangsa ini. Bagaimana kemampuan dan cara-cara kita menyelesaikan korupsi,
penyalahgunaan dan peredaran narkoba, kekerasan terhadap perempuan dan anak,
rendahnya produktivitas masyarakat, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, defisit
perdagangan, hiruk pikuk ekspor-impor, fluktuasi nilai tukar Rupiah, kerusakan lingkungan,
kesulitan swasembada pangan, serta kesadaran mutu masyarakat di bidang industri, politik,
sosial, maupun keagamaan. Bahkan, pendidikan Nasional sebagai komponen paling penting
yang mendapatkan amanah langsung UUD 1945 untuk menghasilkan dan menyediakan
generasi bangsa yang cerdas-berbudi pekerti luhur rupanya juga masih tertatih-tatih untuk
memenuhi kebutuhan menjawab semua persoalan dalam negeri sendiri, baik secara kuantitas
maupun kualitas.
Membawa permasalahan-permasalah di atas pada alam penalaran logis sekedar untuk
mencoba memahami keadaan kita sebagai sebuah bangsa saja sudah cukup menyesakkan
nafas. Bagaimana jadinya nanti manakala arus barang, jasa, investasi, modal, dan bahkan
pekerja profesional semakin bergerak bebas, keluar-masuk dari dan ke berbagai negara di
ASEAN. Kalau sampai saat ini para pecinta sepak bola sering menangis histeris, karena
Indonesia kalah bertanding dengan Malaysia di piala AFF hingga ASEAN Games, maka sangat
besar kemungkinan pada saatnya akan lebih banyak lagi masyarakat yang “pingsan” karena
dihantam oleh besarnya arus pasar regional dalam beraneka segi kehidupan di atas. Dinamika
global juga bukan saja akan menghapus berbagai rintangan ekonomi (economic barriers)
antarnegara di seluruh dunia sehingga arus barang dan jasa akan semakin besar, lebih dari itu
ancaman terjadinya abrasi budaya, tradisi, ideologi, dan bahkan praktek keagamaan secara
Nasional akan lebih menuntut kewaspadaan, kehati-hatian, komitmen masyarakat dan
pemerintah yang lebih bulat.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita memahami pendidikan Nasional sebagai salah satu
alat utama yang bisa diandalkan menciptakan generasi bangsa yang kuat dan bermartabat.
Dalam hal ini, pemerintah memang telah menyusun Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) sebagai referensi mutu yang baik dalam pengeloaan lembaga pendidikan dasar,
menengah, dan tinggi. Bahkan, pemerintah juga telah menyediakan semua piranti hukumnya,
misalnya, Undang-Undang SISDIKNAS, Undang-Undang Guru dan Dosen, Standar Nasional
Perguruan Tinggi (SNPT), hingga piranti pendukungnya seperti, Sistem Pengendalian Mutu
Internal dan Eksternal (SPMI/E) yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal maupun Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Piranti-piranti hukum atau regulasi tersebut memang sudah selazimnya disusun oleh
pemerintah sebagai perwujudan fungsi regulator dan kontrol terhadap pelaksanaan
pendidikan secara Nasional. Akan tetapi, mengharapkan mutu dan mewujudkan idealisme
pendidikan Nasional melalui penyediaan regulasi tentu saja sangat tidak memadai jika tidak
disertai dengan penegakan produk-produk hukum tersebut di lapangan. Apalagi, juga tidak
ditunjang oleh pembinaan dan pemberdayaan institusional pendidikan (institutional
empowerment of education), misalnya, melalui mekanisme penguatan kapasitas (capacity
building) para pemimpin, manajer, dan staf, baik di tingkat Kementerian, Lembaga, maupun
Institusi (K/L/I) di pusat maupun di daerah-daerah yang dilakukan secara konkrit, riil, terukur,
dan berkelanjutan. Gambaran tentang ketidakcukupan intervensi regulasi dalam penjaminan
mutu pendidikan Nasional tersebut terlihat pada sinyalemen BAN-PT bahwa hanya sekitar
10% dari sekitar 4300 perguruan tinggi yang mampu menyelenggarakan pendidikan bermutu,
terakreditasi (A), dan menyediakan lulusan yang akseptabel. Selain itu, secara Nasional,
jumlah lulusan perguruan tinggi (termasuk program D3 dan D4) hanya berkisar 7%. Statistik ini
masih tertinggal jauh apabila dibandingkan dengan Malaysia yang mampu menyediakan tiga
kali lipat lebih besar dari jumlah yang dihasilkan oleh pendidikan Nasional kita. Belum lagi,
apabila secara kualitatif diajukan pertanyaan, apakah perguruan tinggi yang memperoleh
akreditasi (A) itu artinya bermutu? Jika jawabnya tidak dengan sendirinya seperti itu, lantas
bagaimana dengan sekian banyak yang masih memperoleh nilai B aplagi C.
Menyaksikan ilustrasi tentang keadaan pendidikan tinggi tersebut, ada baiknya setiap
insan akademik menakar kembali idealismenya, baik secara personal maupun institusional.
Hal ini mendesak untuk segera dilakukan, karena hampir tidak mungkin perguruan tinggi
mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas manakala pemimpin institusi dan civitas
akademikanya nihil idealisme. Idealisme disini bukan sekedar dimaksudkan sebagai
pernyataan visi, misi, dan tujuan universitas di atas kertas, yang kerap hanya menjadi
dokumen-dokumen “bisu” di dalam almari besi. Idealisme yang dimaksudkan di sini,
meminjam pengertian Willy Susilo (20015), adalah suatu konsep perjuangan tiada henti
terhadap sesuatu yang dipandang bernilai untuk diperjuangkan agar menjadi kenyataan.
Setiap perjuangan pasti menuntut adanya sikap konsisten dan konsekuen untuk apa yang
sedang diperjuangkan, termasuk kesediaan untuk berkorban secara maksimal apabila
diperlukan, mulai dari harta, tenaga, pikiran, dan berbagai bentuk kepentingan pribadi.
Semangat ini justru berbeda dengan kebijakan remunerasi dan sertifikasi guru atau dosen
yang kerap menciptakan imajinasi material-finansial. Bukan motivasi berkorban untuk sebuah
idealisme yang timbul, sebaliknya tuntutan atas kenyamanan dan kelonggaran yang akhirnya
mengemuka.
Indonesia hari ini, secara psiko-sosial, kondisinya sama memprihatinkannya dengan
masa-masa sebelum kemerdekaan. Artinya, dalam kondisi menghadapi tekanan psikologis,
sosial, ekonomi, politik, dan budaya dari dalam maupun luar negeri seperti sekarang ini dunia
pendidikan tinggi diharapkan bisa menjadi contoh dalam hal menegakkan idealisme di atas.
Jika alam pendidikan Nasional, khususnya pendidikan tinggi tidak segera ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, dan tutwuri handayani dalam meningkatkan bobot
idealisme pendidikan Nasionalnya, maka jangan berharap bangsa ini akan segera keluar dari
kemelutnya yang ada. Regulasi dan sistem pengendalian mutu apapun yang diamanatkan oleh
pemerintah terhadap perguruan tinggi, selama tidak disertai dengan pemupukan idealisme,
maka yang akan terjadi hanyalah “abal-abalisme”. Penyelenggaraan kegiatan akademiknya
akan menjadi asal-asalan, karena tidak diciptakan sistem utama dan penunjangnya, para
dosennya jarang hadir mengajar apalagi untuk berkantor membantu aktivitas tata kelola
institusinya, dan kalaupun mereka hadir mengajar tidak kerkendali oleh sistem
administrasinya, rasio jumlah mahasiswa dan dosen terlalu jauh, sehingga dosen mengajar
terlalu banyak mata kuliah dan tidak sempat memberikan koreksi apalagi feedback terhadap
tugas mahasiswa. Jika kondisi perguruan tinggi semacam ini juga terjadi pada mereka yang
berstatus akreditasi (A), maka masih adakah harapan-harapan terhadap dunia pendidikan
Nasional di atas akan terpenuhi?. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Anda mungkin juga menyukai