Anda di halaman 1dari 21

Makalah Kajian Islam

KAJIAN – KAJIAN KEISLAMAN

A.    Kajian Keislaman dalam Sejarah


Ilmu-ilmu keislaman dirumuskan pada abad ke-2, 3 dan 4 Hijriyah atau abad 8, 9
dan 10 Masehi. Pada abad tersebut supremasi keilmuan memperoleh kemajuan
yang lauar biasa. Lahirnya sejumlah ahli-ahli dibidang ilmu-ilmu keislaman
memperlihatkan ramainya percaturan dan pembahasan ilmiah dibidang ini. Pada
periode ini telah muncul para mujtahid besar yang mungkin tidak dapat ditandingi
mujtahid periode manapun.
Dari pembahasan aspek metodologi inilah kemudian muncul ilmu-ilmu bantu yang
menjadi pedoman bagi para peneliti ilmu-ilmu keislaman seperti ulumul hadits,
ulumul Qur’an, ushul fikih, ilmu tajwid, ilmu lughah dan lain-lain.

B.   Klasifikasi Ilmu Keislaman

Kalau kita perhatikan perkembangan ajaran islam dalam sejarah di atas, ilmu-ilmu
keislaman itu dapat diklasifikasikan sebagai mana dirumuskan Harun Nasution
sebagai berikut:
       I.       Kelompok Dasar, meliputi tafsir, hadis, akidah/ilmu kalam, filsafat
Islam,                                      tasawuf, tarekat, perbandingan agama, serta
perkembangan modern dalam ilmu-ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, dan filsapat.

      II.       Kelompok Cabang

1.   Ajaran yang mengatur masyarakat, terdiri dari ushul fikih, fikih muamalah, fikih
siyasah, fikih ibadah, peradilan, dan perkembangan modern.
2.   Peradaban Islam.
2.1 Sejarah Islam, termasuk di dalamnya sejarah politik, ekonomi, administrasi,
kemiliteran, kepolisian, dsb.
2.2  Sejarah pemikiran Islam meliputi ilmu kalam, filsafat dan tasauf.
2.3  Sain Islam
2.4  Budaya Islam: arsitektur, kaligrafi, seni lukis, seni tari, musik dsb.
2.5  Studi kewilayahan Islam.
1
3.   Bahasa-bahasa dan sastra-sastra Islam terutama bahasa dan sastra Arab.
4.   Pengajaran Islam kepada anak didik, mencakup ilmu pendidikan Islam, filsafat
pendidikan Islam, sejarah pendidikan Islam, lembaga pendidikan Islam, dan
perkembangan modern dalam pendidikan Islam.
5.   Penyiaran Islam, mencakup sejarah dakwah, metode dakwah, materi dakwah,
perkembangan modern dalam dakwah Islam, dsb. 

         Ditinjau dari segi pembidangan atau klasifikasi, kelompok dasar dan cabang di
atas dapat dibagi menjadi bidang-bidang berikut:
1.    Sumber ajaran Islam, mencakup ilmu al-Qur’an, tafsir, hadis, dan pembaharuan
dalam bidang tersebut.
2.    Pemikiran dasar Islam, mencakup ilmu kalam, filsafat, tasawuf dan tarekat,
perbandingan agama, serta pembaharuan dalam bidang tersebut,
3.    Pranata sosial, mencakup ushul fikih ekonomi, dan pranata-pranata bidang sosial
lainnya, serta pembaharuan dalam bidang tersebut,
4.    Sejarah dan peradaban Islam, mencakup sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah
administrasi, sejarah kemiliteran, sejarah pemikiran Islam, budaya Islam dan studi
kewilayahan Islam, serta pembaharuan dalam bidang tersebut,
5.    Bahasa dan sastra Islam, mencakup bahasa dan sastra Arab serta pembaharuan
dibidang ini.
6.    Pendidikan Islam,
7.    Dakwah Islam,
8.    Perkembangan modern dalam Islam / pembaharuan dalam berbagai disiplin ilmu,
mencakup bidang-bidang sumber pemikiran dasar, pranata sosial, pendidikan,
dakwah, sejarah, peradaban, dan bahasa dan sastra.
     Jika dilihat dari pembagian fakultas yang ada di UIN setiap bidang ilmu itu
pengelolaannya dapat dibagi sebagai berikut:
1.    Fakultas Ushuluddin: bidang sumber dan pemikiran dasar
2.    Fakultas Syariah: bidang fikih dengan berbagai cabangnya
3.    Fakultas Adab: bidang sejarah, peradaban, bahasa dan sastra Islam dengan
berbagai cabangnya
4.    Fakultas Tarbiyah: bidang pendidikan Islam dengan berbagai cabangnya
5.    Fakultas Dakwah: bidang dakwah dengan berbagai cabangnya.
2
      Sedang bidang perkembangan modern atau pembaharuan Islam masuk dalam
semua fakultas.
Atho Muzhar berpendapat bahwa kajian tentang Islam dapat dibagi dua bentuk
kajian: pertama, kajian terhadap Islam sebagai wahyu: kedua, kajian tentang Islam
sebagai produk sejarah.
Kajian Islam menurut Jacques Waardenburg meliputi studi mengenai Islam sebagai
agama dan tentang aspek-aspek keislaman dari kebudayaan masyarakat muslim.
Selain itu Jacques berpendapat dalam meneliti Islam harus dibedakan antara Islam
normatif yang berupa norma-norma, dan nilai-nilaiyang termuat dalam petunjuk suci
dan Islam aktual, berupa semua bentuk gerakan, praktek, dan gagasan yang pada
kenyataannya eksis dalam masyarakat muslim dalam waktu dan tempat yang
berbeda-beda. Ia juga mengajukan tiga lingkup untuk mengkaji dalam studi Islam.
1.    Studi normatif, yang biasanya dikerjakan kaum muslim sendiri untuk menemukan
kebenaran relijius meliputi: tafsir, hadis, fikih, dan kalam
2.    Studi nonnormatif, yang umumnya dilakukan di universitas dan meliputi baik yang
dianggap kaum muslim sebagai Islam yang benar, maupun Islam yang hidup, yakni
ekspresi-ekspresi relijius kaum muslim faktual. Ini bisa dilakukan oleh muslim atau
non muslim.
3.    Studi nonnormatif terhadap aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat muslim
meliputi: telaah Islam dari sudut sejarah dan sastra atau antropologi budaya dan
sosiologi, serta tidak spesifik bertitik tolak dari sudut agama saja.

C.   Islam Normatif


Islam dari segi normatif memiliki pedoman yang jelas yakni wahyu berupa al-Qur’an
dan sabda Nabi berupa hadis, yang menjelaskan pesan-pesan al-Qur’an lebih detail
Kajian terhadap Islam sebagai wahyu Allah bukan bertujian mempertanyakan
kebenaran al-Qur’an dan ajaran-ajarannya, melainkan mempertanyakan bagaimana
mempelajari cara membaca al-Qur’an, bagaimana memahami ayat-ayat yang
diturunkan, apa hubungan ayat satu dengan lainnya atau surat satu dengan lainnya,
kenapa bahasa al-Qur’an memakai istilah ini bukan itu, dan lain sebagainya.

3
 Sudah jelas bagi kaum muslim bahwa Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.

D.   Islam Aktual


Islam aktual memahami ekspresi relijius para penganutnya dalam bentuk
pengamalan. Dari sudut pandang ini tampak corak dan ragam pengamalan yang
berbeda-beda di satu tempat dengan lainnya.. namun corak pengamalan itu terbatas
pada hal yang bukan prinsip melainkan menyangkut sesuatu yang biasa disebut
furu’
Terdapat lima gejala agama yang perlu diperhatikan apabila kita hendak
mempelajari suatu agama
1.    Scrifture atau naskah-naskah atau sumber-sumber ajaran agama tersebut.
2.    Para penganut, pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan
penghayatan agama para penganutnya.
3.    Lembaga-lambaga dan ibadat-ibadat seperti salat, haji, puasa, perkawinan dan
waris.
4.    Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci, sorban, dan semacamnya
5.    Organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan
berperan, seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis, Gerja Katolik, Gerja
Protestan, Syi’ah, dan lain-lain.

TABEL I
KLASIFIKASI ILMU-ILMU KEISLAMAN

Kelompok Dasar Kelompok Cabang

Tafsir Usul Fiqih


Hadis Fiqih Muamalah
Akidah/Ilmu Kalam Fikih Siyasah
Fisafat Islam Peradilan
Akhlak Perkembangan Modern
Perbandingan Agama Peradaban Islam
Bahasa dan Sastra Arab
Pendidikan Islam
Dakwah Islam

                                                                                
4
TABEL II
KLASIFIKASI DASAR DAN CABANG

Sumber Pemikiran Pranata


Sejarah
Ajaran Islam Islam Sosial

Ulumul Filsafat Ushul Fiqih Sejarah Politik


Qur’an Ilmu Kalam Fiqih Sejarah Ekonomi
Tafsir Tasauf Muamalah Sejarah Sosial
Hadis Tarekat Figih Siyasah Sejarah
Perban Fiqih Ibadah Kemiliteran
Agama Fikih Ekonomi Sejarah
Pendidikan

TABEL III
TABEL KERANGKA AJARAN ISLAM

Wahyu

Absolut  
 

           Normatif

Sunnah Nabi
Islam                                                  
Ekspresin Religius/pengamalan

Pemikiran

Penafsiran

Relatif
 
         Aktual                               Fakta Sejarah Ummat                       
Ilmu-ilmu yang telah dibakukan
Tafsir, Fiqih, Kalam, Tasauf, Fisapat
Lembaga-lembaga Keagamaan

5
E.    Memahami Islam Secara Konprehensif
Untuk memahami Islam secara utuh memang tidak dapat hanya dengan
mengandalkan satu pendekatan. Untuk memahami Islam secara benar dapat
ditempuh beberapa cara:
1.    Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah
2.    Islam harus dipelajari secara integral (menyeluruh), tidak parsial; artinya ia dipelajari
secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat. Memahami Islam secara
parsial akan membahayakan, akan menimbulkan sikap bimbang dan tidak pasti
3.    Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum
zua’ma  dan sarjana-sarjana Islam,
4.    Memahami Islam tidak boleh hanya dihampiri dari satu pendekatan, sebab akan
menimbulkan ketidakutuhan. Misalnya memandang Islam dari sudut tasaufnya saja;
hal ini akan menimbulkan konsekuensi bahwa segala sesuatu diluar itu kurang
dianggap penting.

PENUTUP

Setelah meninjau tentang kajian-kajian Islam dari berbagai aspek dapatlah kiranya
dipahami bahwa untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang Islam maka kita
harus melakukannya melalui berbagai pendekatan seperti pendekatan teks wahyu
dan hadis, sejarah, hukum, sistem norma, bahasa, konteks sosial, budaya, dan
pendekatan sains,
Dan semua aspek-aspek itu harus bersumber pada Kitab Suci Al-Qur’an dan Hadis-
hadis Nabi Muhammad sebagai pedoman kehidupan didunia dan akhirat.

6
PROGRAM PENINGKATAN KUALISIFIKASI AKADEMIK
Contoh Makalah Kajian Hadis Agama
Islam
Makalah Kajian Hadis Pendidikan Agama Islam – Sebagai upaya aktualisasi nilai-nilai
Islam dengan merujuk pada al-sunnah al-Nabawiyyah sebagai the second source of law
(sumber hukum ke-dua) oleh umat maka hadits dituntut untuk senantiasa memberikan
jawaban atas segala problematika kehidupan. Keadaan demikian menuntut pemikir-pemikir
(termasuk Muhadditsin) untuk bekerja ekstra agar hadits baik validitasnya secara sanad
maupun matan benar-benar terukur.

Nuruddin ‘Itr merupakan salah satu dari pemikir Muslim yang mencoba menyusun secara
sistematis ilmu-ilmu hadits yang terangkum dalam kitabnya ‫ منهج المقد في علوم الحديث‬sebagai
tawaran terhadap wacana keilmuan Islam khususnya dalam bidang hadits.

Melalui makalah ini, penulis mencoba membaca, memahami pemikiran Nuruddin tentng
hadits dengan harapan bisa memberikan kontribusi positif bagi para pengkaji hadits.

Hadits yang diterima dan yang ditolak menurut Nuruddin ‘Itr

1. Hadits yang diterima

Nuruddin membagi hadits yang diterima menjadi 5, yaitu hadits Shahih, hadits hasan, hadits
shahih Li ghairih dan hadits hasan li ghairih. Tidak jauh berbeda dengan ulama lainnya
Nuruddin mendefinisikan hadits shahih adalah hadits yang tidak memunculkan pertentangan
antara ahli hadits yang terhindar dari cacat. Secara definitif Nuruddin menyatakan tentang
hadits Shahih adalah sebagai berikut:

“Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung dengan rawi yang ‘adil dan dhabit
hingga akhir sanad serta tidak adanya syadz dan terkena ‘Illat.”

Pertama, Hadits shahih mengharuskan adanya al-Talaqqiy antara periwayat hadits . jika tidak
tersambungnya sanad maka hadits tidak dapat dikatakan shahih karena tidak adanya
perantara. Yang kedua, yang seharusnya ada pada hadits yang shahih adalah al-‘Adalah al-
Ruwah (keadilan periwayat) hal ini menjadi bagian penting suatu riwayat dapat diterima.
Rawi dalam meriwayatkan hadits shahih tentu orang yang bertaqwa kepada Allah dan
menghindarkan dirinya dari muru’ah. Yang ketiga, Dhabit adalah orang yang menjaga hadits
melalui hafalan (Dhabt al-Shadr) dan menjaga hadits melalui tulisan (Dhabt al-Kitabah).
Selain itu periwayat ang meriwayatkan hadits shahih tidak memudakan (Tasahhul) pada saat
tahammul wa al-Ada. Yang keempat, tidak mengandung syadz, yaitru penyimpanagn yang
dilakukan oleh perawi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya. Yang kelima, tidak ada
‘illat yang mencacatkannya seperti memursalkan yang maushul,memuttashilkan yang
munqathi’ ataupun yang memarfu’kan yang mauquf.[1]

Contoh hadits shahih yang memenuhi syarat menurut Nuruddin ‘Itr:

‫ جاء‬:‫حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا جرير عن عمارة بن القعقاع بن شبرمة عن أبي زرعة عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫ قال ثم من ؟‬. ) ‫رجل إلى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم فقال يا رسول هللا من أحق الناس بحسن صحابتي ؟ قال ( أمك‬
]2[) ‫ قال ثم من ؟ قال ( ثم أبوك‬. ) ‫ قال ثم من ؟ قال ( ثم أمك‬. ) ‫قال ( ثم أمك‬
Hadits ini jika diteliti melalui jalur sanadnya adalah shahih dengan rawi yang adil, dan dhabit,
hal ini ditandai dengan dua Imam yang tersohor yaitu Bukhari dan Muslim, kedua guru beliau
ini adalah ibn Qutaybah bin sa’id yang dikategorikan tsiqah dan Jarir ibn Abd al-Hamid yang
dikategorikan tsiqah Shahih al-Kitab, dan ‘amarah bin al-Qa’qa yang juga tsiqah,begitu pula
Abu Zar’ah.[3] Jadi, Rijal al-Sanad pada hadits ini semuanya adalah tsiqah. Jadi menurut
Nuruddin hadits ini adalah Shahih li dzatihi ditandai dengan rawi-rawi yang dikenal menurut
muhadditsin begitu pula matan yang juga disepakati.[4]

Nuruddin berpendapat dengan menyandarkan kepada Ulama’, Fuqaha, Ushuliyyun bahwa


hadits Shahih wajib untuk diamalkan. Lebih lanjut tulis Nuruddin mengenai hadits ahad
tentang wajib atau tidaknya untuk diamalkan. Sebenarnya mengenai masalah kewajiban
pengamalan terhadap hadits ahad ulama berbeda pendapat lebih-lebih jika dihadapkan pada
masalah akidah, hukum mengenai halal dan haram. Dengan merujuk kepada kebanyakan
‘ulama Nuruddin ‘Itr berpendapat bahwa tidak mutlaq kewajiban kecuali dengan dalil yang
pasti yakni al-Qur’an dan hadits mutawattir.[5]

2. Hadits yang Tertolak

Salah satu hadits yang tertolak menurut Nuruddin ‘Itr adalah hadits dha’if. Tidak berbeda
dengan ulama pada umumnya Nuruddin mendefinisikan hadits dha’if adalah sebagai berikut:

“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits yang diterima (maqbul).”[6]

Dengan apa yang telah Nuruddin tulis dalam kitabnya juga mneyertakan mengenai hukum
pengamalan mengenai hadits dha’if dengan merujuk kepada beberapa pendapat ulama.

Mengenai pengamalan hadits dha’if, ulama tentang ini berbeda pendapat, antara lain yaitu:

1. Pengamalan secara mutlak hadits dha’if baik mengenai masalah halal dan haram dengan
syarat tidak ada yang lainnya. Sebagian ulama yang berpendapat demikian adalah Imam
Ahmad dan Abu Dawud, keduanya berpendapat bahwa hadits dha’if lebih kuat daripada
ra’yu seseorang.[7]

2. Hadits dha’if bisa di amalkan dalam rangka fadha’il, pendapat ini menurut jumhur ulama
dari kalangan muhadditsin, Fuqaha. Disepakati pula oleh Imam al-Nawawi dan Syaikh ali-al-
Qari dan ibn Hajar al-Haytami.

3. Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak karena meskipun dalam rangka fadha’il
A’mal. Hal ini berdasarkan pendapat al-Qadhi abu Bakar, ibn ‘Arabi.

Sifat Periwayatan dan Syarat Penyampaian Hadits

Penyampaian hadits (ada’ al-hadits) adalah menyampaikan dan mengajarkan hadits kepada
pencari hadits dengan salah satu cara penyampaiannya. Menurut Nuruddin orang yang telah
menerima hadits dengan cara apapun berhak menyampaikannya dengan cara apapun juga,
dan tidak disyari’atkan ia menyampaikannya dengan cara yang sama ketika ia menerimanya.
[8]
Sehubungan dengan masalah ini para ulama mengemukakan beberapa cabang pembahasan
yang semuanya kembali kepada suatu prinsip yang mendasar dalam periwayatan, yaitu unsur
penyampaian hadits.[9]

Penyampaian hadits ada akalanya berdasarkan hafalan periwayatnya dan ada kalanya
berdasarkan dengan tulisannya. Tentang hal ini para muhadditsin sangat berhati-hati dengan
kedua bentuk itu. Mereka tidak memperbolehkan seorang rawi meriwayatkan kecuali jika
telah terbukti kebenarannya. Maka bila yang terjadi adalah hal-hal sebaliknya atau
meragukan suatu hadits, maka ia tidak boleh meriwayatkan kecuali hadits yang telah diteliti.
Dan jika ia ragu berarti meriwayatkan sesuatu yang tidak dapat dipastikan keasliannya dari
Nabi saw dan dikhawatirkan telah terjadi perubahan padanya, sehingga ia termasuk orang
yang terkena ancaman Nabi saw yaitu orang-orang yang berdusta dalam meriwayatkan
hadits. Lalu hadits yang diriwayatkan itu termasuk prasangka, dan prasangka itu adalah
perkataan yang paling dusta. Dengan merujuk kepada pendapat Ibn al-Shalah, beliau
mengatakn bahwa sedikitnya periwayatan hadits sedang kan kelompok lain
memperlonggarnya sehingga berlebih-lebihan dalam meriwayatkan hadits.[10]

Beliau-Nuruddin ‘Itr- dalam hal ini berpegang terhadap pendirian jumhur yakni mengambil
jalan tengah antara yang terlampau sedikit dan berlebihan dalam periwayatan.

Dari pernyataannya tentang periwayatan hadits ini-menurut penulis- dapat dipastikan bahwa
beliau adalah salah ahli hadits yang bersikap moderat dalam mengkaji hadits.

Sanggahan Nuruddin terhadap keraguan Otentisitas Hadits Nabi

Keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak
awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat
berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak
masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang
merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian
terhadap hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadits secara resmi baru dilakukan pada
masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun
99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah
memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas hadits. Beberapa penulis dari
kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya
yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas hadits. Goldziher misalnya, dalam
karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya
pemeliharaan hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Sebuah pertanyaan
yang diajukan, benarkah bahwa otentisitas hadits patut diragukan mengingat kodifikasi hadits
baru dilakukan pada akhir abad pertama hijriyah.

Baca Juga Artikel Hadis Lainnya:

Makalah Memahami Hadis Nabi dengan Al-Qur’an


Makalah Pengertian dan Ruang Lingkup Ulumul Quran
Makalah Metode dan Langkah-langkah Menilai Keshahihan Hadis dari segi Matan

Tentang Penulisan hadits yang merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran
sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat
pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah
saw. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah hadits. Dari sinilah kebanyakan
para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan hadits secara lengkap tentu sulit,
karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai
Rasulullah. Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu
mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka
alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka
terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan
tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam
dalam bentuk hafalan. Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran
untuk menghafalkan hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya
“semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu
menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain)”, Mungkin saja orang yang
membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula
orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih.[11]

Melalui makalah ini, penulis mencoba membaca, memahami pemikiran Nuruddin tentng
hadits dengan harapan bisa memberikan kontribusi positif bagi para pengkaji hadits.

Hadits yang diterima dan yang ditolak menurut Nuruddin ‘Itr

1. Hadits yang diterima

Nuruddin membagi hadits yang diterima menjadi 5, yaitu hadits Shahih, hadits hasan, hadits
shahih Li ghairih dan hadits hasan li ghairih. Tidak jauh berbeda dengan ulama lainnya
Nuruddin mendefinisikan hadits shahih adalah hadits yang tidak memunculkan pertentangan
antara ahli hadits yang terhindar dari cacat. Secara definitif Nuruddin menyatakan tentang
hadits Shahih adalah sebagai berikut:

“Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung dengan rawi yang ‘adil dan dhabit
hingga akhir sanad serta tidak adanya syadz dan terkena ‘Illat.”

Pertama, Hadits shahih mengharuskan adanya al-Talaqqiy antara periwayat hadits . jika tidak
tersambungnya sanad maka hadits tidak dapat dikatakan shahih karena tidak adanya
perantara. Yang kedua, yang seharusnya ada pada hadits yang shahih adalah al-‘Adalah al-
Ruwah (keadilan periwayat) hal ini menjadi bagian penting suatu riwayat dapat diterima.
Rawi dalam meriwayatkan hadits shahih tentu orang yang bertaqwa kepada Allah dan
menghindarkan dirinya dari muru’ah. Yang ketiga, Dhabit adalah orang yang menjaga hadits
melalui hafalan (Dhabt al-Shadr) dan menjaga hadits melalui tulisan (Dhabt al-Kitabah).
Selain itu periwayat ang meriwayatkan hadits shahih tidak memudakan (Tasahhul) pada saat
tahammul wa al-Ada. Yang keempat, tidak mengandung syadz, yaitru penyimpanagn yang
dilakukan oleh perawi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya. Yang kelima, tidak ada
‘illat yang mencacatkannya seperti memursalkan yang maushul,memuttashilkan yang
munqathi’ ataupun yang memarfu’kan yang mauquf.[1]

Contoh hadits shahih yang memenuhi syarat menurut Nuruddin ‘Itr:


‫ جاء‬:‫حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا جرير عن عمارة بن القعقاع بن شبرمة عن أبي زرعة عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫ قال ثم من ؟‬. ) ‫رجل إلى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم فقال يا رسول هللا من أحق الناس بحسن صحابتي ؟ قال ( أمك‬
]2[) ‫ قال ثم من ؟ قال ( ثم أبوك‬. ) ‫ قال ثم من ؟ قال ( ثم أمك‬. ) ‫قال ( ثم أمك‬

Hadits ini jika diteliti melalui jalur sanadnya adalah shahih dengan rawi yang adil, dan dhabit,
hal ini ditandai dengan dua Imam yang tersohor yaitu Bukhari dan Muslim, kedua guru beliau
ini adalah ibn Qutaybah bin sa’id yang dikategorikan tsiqah dan Jarir ibn Abd al-Hamid yang
dikategorikan tsiqah Shahih al-Kitab, dan ‘amarah bin al-Qa’qa yang juga tsiqah,begitu pula
Abu Zar’ah.[3] Jadi, Rijal al-Sanad pada hadits ini semuanya adalah tsiqah. Jadi menurut
Nuruddin hadits ini adalah Shahih li dzatihi ditandai dengan rawi-rawi yang dikenal menurut
muhadditsin begitu pula matan yang juga disepakati.[4]

Nuruddin berpendapat dengan menyandarkan kepada Ulama’, Fuqaha, Ushuliyyun bahwa


hadits Shahih wajib untuk diamalkan. Lebih lanjut tulis Nuruddin mengenai hadits ahad
tentang wajib atau tidaknya untuk diamalkan. Sebenarnya mengenai masalah kewajiban
pengamalan terhadap hadits ahad ulama berbeda pendapat lebih-lebih jika dihadapkan pada
masalah akidah, hukum mengenai halal dan haram. Dengan merujuk kepada kebanyakan
‘ulama Nuruddin ‘Itr berpendapat bahwa tidak mutlaq kewajiban kecuali dengan dalil yang
pasti yakni al-Qur’an dan hadits mutawattir.[5]

2. Hadits yang Tertolak

Salah satu hadits yang tertolak menurut Nuruddin ‘Itr adalah hadits dha’if. Tidak berbeda
dengan ulama pada umumnya Nuruddin mendefinisikan hadits dha’if adalah sebagai berikut:

“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits yang diterima (maqbul).”[6]

Dengan apa yang telah Nuruddin tulis dalam kitabnya juga mneyertakan mengenai hukum
pengamalan mengenai hadits dha’if dengan merujuk kepada beberapa pendapat ulama.

Mengenai pengamalan hadits dha’if, ulama tentang ini berbeda pendapat, antara lain yaitu:

1. Pengamalan secara mutlak hadits dha’if baik mengenai masalah halal dan haram dengan
syarat tidak ada yang lainnya. Sebagian ulama yang berpendapat demikian adalah Imam
Ahmad dan Abu Dawud, keduanya berpendapat bahwa hadits dha’if lebih kuat daripada
ra’yu seseorang.[7]

2. Hadits dha’if bisa di amalkan dalam rangka fadha’il, pendapat ini menurut jumhur ulama
dari kalangan muhadditsin, Fuqaha. Disepakati pula oleh Imam al-Nawawi dan Syaikh ali-al-
Qari dan ibn Hajar al-Haytami.

3. Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak karena meskipun dalam rangka fadha’il
A’mal. Hal ini berdasarkan pendapat al-Qadhi abu Bakar, ibn ‘Arabi.

Sifat Periwayatan dan Syarat Penyampaian Hadits

Penyampaian hadits (ada’ al-hadits) adalah menyampaikan dan mengajarkan hadits kepada
pencari hadits dengan salah satu cara penyampaiannya. Menurut Nuruddin orang yang telah
menerima hadits dengan cara apapun berhak menyampaikannya dengan cara apapun juga,
dan tidak disyari’atkan ia menyampaikannya dengan cara yang sama ketika ia menerimanya.
[8]

Sehubungan dengan masalah ini para ulama mengemukakan beberapa cabang pembahasan
yang semuanya kembali kepada suatu prinsip yang mendasar dalam periwayatan, yaitu unsur
penyampaian hadits.[9]

Penyampaian hadits ada akalanya berdasarkan hafalan periwayatnya dan ada kalanya
berdasarkan dengan tulisannya. Tentang hal ini para muhadditsin sangat berhati-hati dengan
kedua bentuk itu. Mereka tidak memperbolehkan seorang rawi meriwayatkan kecuali jika
telah terbukti kebenarannya. Maka bila yang terjadi adalah hal-hal sebaliknya atau
meragukan suatu hadits, maka ia tidak boleh meriwayatkan kecuali hadits yang telah diteliti.
Dan jika ia ragu berarti meriwayatkan sesuatu yang tidak dapat dipastikan keasliannya dari
Nabi saw dan dikhawatirkan telah terjadi perubahan padanya, sehingga ia termasuk orang
yang terkena ancaman Nabi saw yaitu orang-orang yang berdusta dalam meriwayatkan
hadits. Lalu hadits yang diriwayatkan itu termasuk prasangka, dan prasangka itu adalah
perkataan yang paling dusta. Dengan merujuk kepada pendapat Ibn al-Shalah, beliau
mengatakn bahwa sedikitnya periwayatan hadits sedang kan kelompok lain
memperlonggarnya sehingga berlebih-lebihan dalam meriwayatkan hadits.[10]

Beliau-Nuruddin ‘Itr- dalam hal ini berpegang terhadap pendirian jumhur yakni mengambil
jalan tengah antara yang terlampau sedikit dan berlebihan dalam periwayatan.

Dari pernyataannya tentang periwayatan hadits ini-menurut penulis- dapat dipastikan bahwa
beliau adalah salah ahli hadits yang bersikap moderat dalam mengkaji hadits.

Sanggahan Nuruddin terhadap keraguan Otentisitas Hadits Nabi

Keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak
awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat
berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak
masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang
merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian
terhadap hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadits secara resmi baru dilakukan pada
masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun
99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah
memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas hadits. Beberapa penulis dari
kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya
yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas hadits. Goldziher misalnya, dalam
karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya
pemeliharaan hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Sebuah pertanyaan
yang diajukan, benarkah bahwa otentisitas hadits patut diragukan mengingat kodifikasi hadits
baru dilakukan pada akhir abad pertama hijriyah.

Baca Juga Artikel Hadis Lainnya:

Makalah Memahami Hadis Nabi dengan Al-Qur’an


Makalah Pengertian dan Ruang Lingkup Ulumul Quran
Makalah Metode dan Langkah-langkah Menilai Keshahihan Hadis dari segi Matan
Tentang Penulisan hadits yang merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran
sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat
pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah
saw. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah hadits. Dari sinilah kebanyakan
para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan hadits secara lengkap tentu sulit,
karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai
Rasulullah. Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu
mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka
alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka
terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan
tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam
dalam bentuk hafalan. Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran
untuk menghafalkan hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya
“semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu
menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain)”, Mungkin saja orang yang
membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula
orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih.[11]

Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat
Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan
dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat.
Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai
berikut: “Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih
banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya
dia mencatat hadits sedangkan aku tidak”.[12] Tentang penulisan hadits oleh Abdullah bin
Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau menulis hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw,
bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: “Dari
Abdullah bin Amr beliau berkata: ?Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw
untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; ?apakah kamu
menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw
adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang
dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada
Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, ?Tulislah! Demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang
hak”[13]

Catatan hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-
Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: “Tidak ada yang
lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-
Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw.”[14]

Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-


shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain Shahifah Ali bin
Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm,
demikian juga shahifah Sa’ad bin Ubaddah. Sekitar Larangan Penulisan hadits Sebagaimana
telah disebutkan, adanya kegiatan penulisan hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah
saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr menulis
hadits atas restu dari Rasulullah sendiri.
Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis
hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: Bersabda Rasulullah saw: “tulislah (khutbahku)
untuk Abu Syah.”[15]

Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan
hadits sebagaimana hadits dari Abu Sa’id al Khudri dari Abu Sa’id Al-Khudri, sesungguhnya
Rasulullah saw bersabda “Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis
dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya”[16]

Adanya larangan penulisan hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan hadits
dan perintah penulisan hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda
pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan
telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah
khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fath al-Makkah, (b) larangan bersifat
umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten
menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummiy atau kurang mampu menulis
sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa
larangan bersifat khusus yaitu menulis hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat
menimbulkan kerancuan.

Contoh Makalah Pendidikan Agama Islam Kajian Keotentikan Hadis Nabi

Menurut Nurudin ‘Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah di-
mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya
larangan penulisan hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi
sahabat yang enggan menulis hadits sesudah wafat Rasulullah saw.

Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat
yang enggan menulis hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk
membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan hadits pada
dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan hadits tidak lain karena adanya illat
khusus. Ketika ‘illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang
dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup
dengan apa yang mereka tulis.

Untuk memperkuat argumen ini Nurudin ‘Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab
sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: “Sesungguhnya saya pernah
berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum
sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu
dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah
dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya.”

Proses kodifikasi hadits adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh
pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan hadits,
karena kegiatan penulisan hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah
saw masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa hadits sebagai sumber
yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak
beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan
penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan hadits
bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau
menyibukkan diri dalam penulisan hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.[17]

Faktor Eksternal dalam Periwayatan Hadits menurut Nuruddin ‘Itr[18]

Selain aspek internal aspek eksternal[19] menurut Nuruddin ‘Itr menjadi bagian yang sangat
penting dalam ha-ihwal periwayatan Hadits hal ini ditandai dengan kriteria yang sangat ketat
perihal periwayat hadits.

‫الرواية عند المحدثين حمل الحديث و نقله و اسناده الي من عزي اليه بصيغة من صيغ األداء‬

Periwayatan (hadits) menurut para muhadditsin adalah membawa dan menyampaikan hadits
dengan menyandarkan kepada orang yang menjadi sandarannya, dengan menggunakan salah
satu bentuk kalimat periwayatan.[20]

Periwayatan hadits, seperti tahammul wa al-ada (menurut Nuruddin ‘Itr) merupakan bagian
yang sangat penting dalam cabang ilmu hadits karena ilmu mengenai periwayatan merupakan
petunjuk yang membantu kepada kajian yang lebih sistematis dan terperinci sebagaimana
yang telah dilakukan oleh para ulama ketika menerima dan menyampaikan hadits.

Bagian penting lainnya adalah tentang pengkaji meliputi kecakapan, keikhlasan, ketepatan,
kesungguhan dalam menyebarkan hadits denagn penuh rasa tanggung jawab, merupakan
aspek penting yang harus ada pada pengkaji hadits. Beliau (Nuruddin itr) tentang rawi dan
periwayatan dalam hadits, sebagai berikut.

1. Etika mengkaji Hadits

Hal-hal yang berbeda dari apa yang di tulis oleh Nuruddin ‘Itr adalah faktor eksternal
pengkaji hadits. Jika selama ini kajian terhadap hadits lebih terfokus kepada metode dalam
memahami hadits maka dalam mengkaji hadits menurut beliau adalah perlunya etika untuk
memahami hadits.

Bagi pengakaji hadits, keikhlasan adalah sifat pertama yang yang seharusnya dimiliki. Oleh
karena itu seorang pengkaji hadits seharusnya menempatkan seluruh usahanya dalam
mengkaji hadits adalah semata-mata untuk mendapat ridha Allah swt.[21] Para pencari ilmu
lebih-lebih para pencari hadits, hendaklah berhati-hati dalam mengkaji dan mencari hadits.
Beliau sangat menekankan bagi pengkaji hadits untuk tidak menjadikan pekerjaan ini sebagai
batu loncatan untuk hal-hal duniawi.[22]

Ibn al-Shalah berkata, “salah satu cara yang paling mudah ditempuh untuk memperbaiki niat
dalam mencari hadits adalah seperti cara yang ditunjukkan oleh riwayat Abu ‘Amr Ismail bin
Nujayd bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Ja’far Ahmad bin Hamdan – kedua orang
terakhir ini adalah hamba yang shaleh. “Dengan niat yang bagaimana aku menulis hadits?”
Abu Ja’far berkata, “bukankah telah kamu riwayatkan bahwa menyebut orang-orang shaleh
dapat menurunkan rahmat?” Abu Amr berkata, “ betul!” lalu Abu Ja’far berkata, “Rasulullah
saw. adalah pemuka orang-orang shaleh.[23]

Para pencari hadits mesti meningkatkan kesungguhandan ketekunannya dalam mempelajari


hadits dari orang-orang yang masyhur ilmunya, agama dan wara’-nya, meskipun mereka
berada di luar institusi ilmiahnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi peneliti untuk
bersungguh-sungguh dalam mengkaji hadits.[24] Waki’ bin al-Jarrah, guru Imam Syafi’I
berkata, “ bila kamu ingin menghafalkan hadits, maka amalkanlah ia.”[25]

Para pencari hadits harus menghormati guru-guru dan setiap orang yang menjadi sumber
hadits mereka. Hal ini harus dilakukan untuk mengagungkan hadits dan ilmu. Selain itu,
mereka harus menjaga nama baik para guru.

Bagi para pengkaji hadits juga, sudah seharusnya tidak mengabaikan ilmu Musthalah al-
Hadits agar dapat mengetahui pokok dan cabang-cabang hadits untuk dapat menguraikan
istilah-istilah penting yang yang digunakan oleh para ahli hadits.

2. Etika Muhaddits

Muhaddits menjadi bagian integral dari hadits, sehingga kajian hadits sangatlah tergantung
kepada muhaddits dalam mentransformasikan pemikirannya kepada muridnya. Dirasa urgen

karena hadits bermuara pada aktualisasi di masyarakat yang diyakini merupakan ajaran
sekaligus sumber hukum dalam Islam. Masalahusnya bagi p ini tak luput dari perhatian
Nuruddin ‘Itr. Menurut beliau, pertama sekali yang harus dimilik oleh Muhaddits adalah
Ikhlas dan niat yang benar dalam megkaji hadits.[26] Menurut beliau, yang paling alim
tentang hadits sudah seharusnya jauh dari sifat riya’ dan cinta dunia agar ia mendapat
percikan kenabian dari Hadits Rasulullah saw.[27]

Menurut beliau ilmu-ilmu syari’ah adalah ilmu-ilmu yang mulia yang selaras dengan akhlak
mulia dan perangai yang baik. Ilmu-ilmu ini menuntut bagi para pencari atau pengkajinya
untuk memiliki sifat istiqamah dan perilaku yang baik. Sepatutnya bagi seorang muhaddits
melebihi orang lain dalam hal inisebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama hadits
terdahulu, agar ia pantas menyandang penisbatan itu.[28]

Memelihara kecakapan mengajarkan hadits menjadi hal penting bagi para pengkaji hadits.
Arti menjaga kecakapan disini adalah bahwa seorang muhaddits seharusnya tidak mau
menghadiri suatu majlis untuk mengajarkan hadits kecuali bila ia benar-benar siap untuk itu.
Mengenai kecakapan ibn al-Shalah berkata: “apabila hadits yang ia kuasai itu dibutuhkan,
maka ia dengan senang dan siap untuk meriwayatkan dan menyebarkannya, pada usia
berapapun.[29]

Dengan merujuk pada ulama terdahulu, beliau menekankan terhadap para muhadditsin untuk
mengakhiri aktivitasnya ketika usia 80 tahun, karena pada umumnya orang yang telah
mencapai usia ini daya ingatnya tidak lagi normal, aktivitas dan kreativitasnya menurun, serta
pola pikirnya berubah. Bila khawatir terjatuh kedalam kesalahan meskipun belum mencapai
usia tersebut maka hendaklah ia menghentikan kegiatannya.[30]

Merupakan bagian dari kesempurnaan akhlak para ulama. Mereka menghindari untuk tidak
mendahului orang-orang yang lebih banyak memiliki keutamaan daripada mereka, baik
karena usianya yang lebih tua maupun ilmunya yang lebih tinggi.[31]

Menurut beliau, sudah seharusnya jika seorang yang alim ditanya tentang sesuatu dan pada
saat yang sama ia mengetahui ada orang alim lain yang lebih tua dan lebih utama untuk
menjawabnya, maka ia hendaknya menunjukkan kepada yang bersangkutan untuk bertanya
kepada ulama lain, karena agama adalah kejujuran dan kesetiaan.[32]
Hadits sebagai ucapan Rasulullah saw, maka sudah seharusnya bagi pengkaji hadits tertanam
rasa hormat kepada hadits Rasulullah. Bentuknya adalah dengan mendatangi majelis-majelis
pengkajian hadits dengan penuh kesiagaan, termasuk hal yang berhubungan dengan pakaian.
Hal yang tak penting adalah bahwa bagi setiap muhadditsin untuk menelaah beberapa karya
ilmiah yang lain, dengan mempersiapkan serta meragamkan metodepengajaran untuk
menyampaikan setiap materi secara sistematis. Dengan merujuk kepada Hubayb bin Abi
Tsabit beliau menegaskan bahwa setiap pengajar majelis ilmiah: “ di antara hal yang perlu
dilembagakan adalah bahwa jika seseorang berbicara kepada kaumnya, hendaklah ia
menghadap kepada mereka.”

Seorang muhaddits harus menggunakan sarana dan metode yang mempermudah peahaman
dan memberikan kesan yang dalam, sebagaimana yang ditempuh Rasulullah saw. Dalam
menyampaikan hadits kepada sahabat.[33]

Yang terakhir dari penegasan beliau adalah bahwa medan segala ilmu terhampar luas di
depan matanya tanpa ia duga sebelumnya, mengingat bahwa setiap kurun menuntut metode,
tema dan pola pikir sejalan dengan perkembangan pemikiran, etika dan ilmu manusia.
Sungguh telah mengingkari perkataan orang yang berkata , “para pendahulu tidak
menyisakan sesuatu apapun bagi orang yang datang kemudian.”

Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa seorang muhadditsin memberikan sesuatu yang baru,
baik dengan mengemukakan ide yang berdasarkan ijtihadnya denganmengubah sistematika
yang telah usang, dengan memecahkan masalah dan menjelaskan kesulitannya, maupun
dengan memperbaharui metode penyajian ilmu dengan metode yang sesuai dengan tuntutan
zaman. Hendaknya tidak menulis apa yang tidak atau kurang ia kuasai karena jika ia
melakukan ini maka ia telah menemui beberapa kegagalan dan berniat karena Allah agar apa
yang telah ia tulis sebagai amal yang ikhlas dan diterima di sisi Allah dan bermanfaat bagi
yang lainnya.[34]

Kesimpulan dan Penutup

Dari uraian yang telah penulis tuliskan diatas, penulis berkesimpulan bahwa beliau
meriupakan salah satu ulama hadits yang telah berhasil menyusun kitab mengenai ilmu-ilmu
hadits secara sistematis. Menurut penulis dengan melihat kecenderungan beliau untuk
menetapkan pendapatnya dengan berpegang kepada jumhur ‘ulama beliau termasuk pemikir
hadits yang moderat. Yang paling menarik dari pemikirannya adalah bahwa beliau selain
banyak memperbincangkan tentang metodologi mengenai ilmu hadits beliau juga tidak lupa
membahas masalah person (pengkaji hadits) seperti apa yang telah beliau tulis dalam bab
etika atau adab pencari/ pengkaji hadits.

Demikianlah sedikit-banyak uraian yang dapat disampaikan penyusun sehubungan dengan


Nuruddin ‘Itr dan pemikirannya tentang hadis. Layaknya manusia biasa, kekurangan tak bisa
dihindari. Untuk itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah yang selanjutnya. Terima kasih!

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim.

‘Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadits. Dar al-Fikr al-Mu’ashirah, Beirut, 1997.
‘Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,terj. Endang Soetari dan Mulyo, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, Tt.

Ajaj al-Khatib, Muhammad. Ushul al-Hadits. Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Gaya
Media Pratama, Jakarta, 2007.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka


Progressif.1984.

Kitab Sahih Bukhari. DVD-Rom, al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software, 1991-
1997.

Kitab Sahih Muslim. DVD-Rom, al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software, 1991-
1997.

www.kampusislam.com

Catatan Kaki

[1] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulul al-Hadits, (Beirut, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997),
hlm. 243. Lihat juga Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terj. Nur Ahmad Musafiq,
(Jakarta, Yofa Mulia offset, 2007), hlm.277.

[2] Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, No. 5626, Bab Man Ahaq al-Nas bi Husn, Juz 5, hlm.
2227, (DVD-Rom, al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software).

[3] ibn Amru bin Jarir bin Abdullah al-Bajiliy.

[4] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulul al-Hadits, (Beirut, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997),
hlm. 244.

[5] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd … hlm. 246.

[6] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd … hlm.286

[7] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd … hlm. 291. Lihat juga: Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,
Ushul al-Hadits…hlm. 316.

[8] Dalam hal penerimaan hadits beliau berpendapat bahwa penerimaan hadits yang paling
tinggi tingkatannya adalah dengan cara sima’ah dengan berdasarkan kepada pendapat jumhur
ulama. Lihat: Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd … hlm.198.

[9] Unsur penyampaian hadits adalah meriwayatkan dan menyampaiakn hadits dengan satu
cara penyampaiannya yang disertai kalimat pengantar yang menunjukkan cara
penerimaannya.

[10] Berdasarkan riwayat dari Imam Malik dan Abu Hanifah r.a. bahwa salah satu aliran yang
keras mentakan bahwa tidak dapat dipakai hujjah kecuali hadits yang diriwayatkan
berdasarkan hafalan dan ingatan rawinya.
[11] Sunan Abi Dawud Juz III: hal 321

[12] Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32. hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-
Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39)

[13] Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162.

[14] Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127

[15] Shahih Bukhari Juz 1, hal 31

[16] Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21

[17] www.kampusislam.com, diakses pada tanggal 20 April 2009.

[18] Faktor eksternal yang penulis maksud adalah tentang kepribadian yang dimiliki oleh
rawi termasuk etika atau adab yang seharusnya di miliki oleh pengkaji hadits sebagaimana
yang telah ditulis oleh Nuruddin ‘Itr

[19] Aspek internal adalah aspek yang meliputi redaksi, kandungan matan hadits, sedangkan
aspek eksternal adalah meliputi perawi perihal kepribadiaanya.

[20] Dengan demikian maka orang yang tidak menyampaiakan hadits yang dikuasainya tidak
dapat disebut sebagai rawi. Demikian pula bila hadits yang diriwayatkannya tidak
disandarkannya kepada orang yang mengatakannya.

[21] Dalam hadits mutawattir disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ‫نضرهللا امرا‬
‫( سمع ممقالة فبلغه‬dikutip dari Kasyfu al-Khafa’), Sufyan al-Tsauri berkata, “tidak saya ketahui
perbuatan yang lebih mulia daripada mencari hadits bagi orang yang ikhlas mencari ridha
Allah.”lihat: Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-naqd fi Ulum al-Hadits, terj. Endang Soetari dan
Mulyo, (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, Tt), hlm. 171

[22] ُ‫ت ْال ِع ْل َم َوعَلّ ْمتُه‬ ُ ‫ تَ َعلّ ْم‬:‫ فَ َما َع ِم ْلتَ فِيهَا؟ قَا َل‬:‫ قَا َل‬.‫ فَ َع ّرفَهُ نِ َع َمهُ فَ َع َرفَهَا‬.‫ فَُأتِ َي بِ ِه‬. َ‫َو َر ُج ٌل تَ َعلّ َم ْال ِع ْل َم َوعَلّ َمهُ َوقَ َرَأ ْالقُرْ آن‬
َ ‫ ثُ ّم ُأ ِم َر بِ ِه فَس ُِح‬.‫يل‬ ‫ْأ‬ ُ ‫َوقَ َرْأ‬
‫ب‬ َ ِ‫ فَقَ ْد ق‬.‫ارٌئ‬ ِ َ‫ َوقَ َر تَ ْالقُرْ آنَ لِيُقَا َل هُ َو ق‬.‫ال عَالِ ٌم‬َ َ‫ك تَ َعلّ ْمتَ ْال ِع ْل َم لِيُق‬َ ّ‫ َك َذبْتَ َولَ ِكن‬:‫ قَا َل‬. َ‫ك ْالقُرْ آن‬ َ ‫ت فِي‬
‫ُأ‬
‫ رواه مسلم عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬.‫ار‬ ِ ّ‫ َعلَ َى َوجْ ِه ِه َحتّ َى ْلقِ َي فِي الن‬.

“…dan seorang yang belajar dan mengajarkan ilmu dan membaca al-Qur’an maka dia
dihadapkan kepada Allah yang Maha Adil. Lalu Allah menunjukkan kepadanya kenikmatan-
kenikmatan-Nya dan ia pun mengenalnya. Allah berkata , “apakah yang kamu kerjakan untuk
mendapatkannya? “ ia berkata, apakah yang kamu kerjakan untuk mendapatkannya ?” ia
berkata , “aku belajar dan mengajarkan ilmu, dan aku membaca al-Qur’an demi
engkau .”Allah berkata, “ bohong kamu! Kamu mempelajari ilmu supaya dijuluki sebagai
orang yang berilmu, dan kamu membaca al-Qur’an supaya kamu dijuluki sebagai qari’, dan
julukan itu telah kamu terima .” kemudian diperintahkan agar ia diseret dan dijerumuskan ke
dalam neraka.”(HR. Muslim), lihat: DVD-Rom al-Maktabah al-Syamilah, Fatawa al-Syabkah
al-Islamiyyah. Juz 11, hlm.195

[23] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,terj. Endang Soetari dan Mulyo,
(Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, Tt), hlm. 172.
[24] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd …. hlm. 172.

[25] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd …. hlm. 172.

[26]Keharusan bagi setiap pengkaji hadits untuk Ikhlas dengan mendasarkan pada al-Qur’an
ِ ِ‫“ َو َما ُأ ِمرُوا ِإال لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬Padahal mereka tidak
surah al-Bayyinah [98]: 5 ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء‬
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus.”

[27] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd …. hlm. 177.

[28] Seperti dikatakan oleh penyair ‫“ اهل الحديث هم اهل النبي و لمن لم يصحبوا انفسه انفسحوا صحبوا‬ahli
hadits adalah keluarga Nabi. Meskipun fisik mereka tidak bersama dengan beliau, namun
jiwa mereka bersama beliau”.

[29] Artinya adalah bahwa jika seseorang berhak memenuhi kriteria ini maka ia dianggap
berhak mengajarkan dan menyebarkan ilmu hadits sesuai kemampuannya.

[30] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd …. hlm. 178.

[31] Ketika Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi berkumpul maka Ibrahim tidak mau berbicara
sepatah kata apapun.

[32] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd …. hlm. 179.

[33] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd …. hlm. 180.

[34] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd …. hlm. 180

Anda mungkin juga menyukai