Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Untuk Memenuhi Nilai Tugas PKK Keperawatan Jiwa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan
DISUSUN OLEH:
THYAS AGUSTINA HUTRIANINGRUM
17.156.01.11.038
4A KEPERAWATAN
STIKes MEDISTRA INDONESIA
2021
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. Masalah utama
Defisit perawatan diri
B. Peroses terjadi masalah
1. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya,kesehatan dan kesejateraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperatawan dirinya jika tidak dapat melakukan keperawatan
diri (Depkes, 2000).
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan
gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan
untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri terlihat
dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan minum
secara mandiri, berhias secara mandiri, toileting (BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012).
Keadaan seseorang yang mengalami kelainan dalam kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri
disebut dengan defisit perawatan diri. Tidak ada keinginan klien untuk mandi secara
teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan
tidak rapih. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada
klien gangguan jiwa. Klien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidakpedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif yang menyebabkan
klien dukucilkan, baik keluarga mapun masyarakat.(Sutejo, 2019).
2. Penyebab
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah
kelelahan fisik dan penurunan kesadaran. Menurut Depkes (2000), penyebab kurang
perawatan diri adalah:
a. Factor predisposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1) Body Image : Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu
tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik Sosial : Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status Sosial Ekonomi : Personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan : Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada
pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya : Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang : Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain -
lain.
7) Kondisi fisik atau psikis : Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya
Dampak yang sering timbul pada maslah personal hygine :
1) Dampak fisik : Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang
karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik,gangguan
fisik yang sering terjadi adalah: gangguan intleglitas kulit, gangguan
membrane mukosa mulut, infeksi mata dan telinga dan gangguan fisik
pada kuku
2) Dampak psikososial : Masalah sosial yang berhubungan dengan personal
hygine adalah gangguan kebutuhan aman nyaman , kebutuhan cinta
mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi
sosial (Damaiyanti, 2012)
3. Jenis
Menurut (Damaiyanti, 2012) jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri sendiri
b. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan ata menyelesaikan aktivitas berpakaian
dan berhias untuk diri sendiri.
c. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas sendiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas eliminasi
sendiri.
4. Rentang respon
Adaptif Maladaptif
A. Masalah utama
Perubahan persepsi sensori: halusinasi
B. Proses terjadinya masalah
1. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai
dengan prubahan sesnori oerseosi, merasakan sensasi palsu berupa suara,
pengelihatan, pengecapan, perbabaan atau pengciuman. Klien merasakan stimulus
yang sebernarnya tidak ada. ( Keliat dan Akemat, 2010).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dannsarngsangan eksternal(dunia uar). Klien
memberikan persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa objek atau
rangsangan yang nyata. (Farida,2010).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersiapkan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Sesatu penerapam panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Stau penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu. (Maramis,
2005).
Halusinasi adalah pengalaman sensorik tanpa rangsangan eksternal terjadi
pada keadaan kesadaran penuh yang menggambarkan hilangnya kemampuan
menilai realitas.(Sunaryo, 2004).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart,
2007).
Tanda gejala:
a. Bicara, senyum, tertawa semdiri
b. Mengatakan mendengarkan suara, melihat, mengecap, mengirup
(mencium), dan merasakan suatu yang tidak nyata
c. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungannya
d. Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata
e. Tidak dapat memusatkan perhatian atau konsentrasi
f. Sikap curiga dan saling bermusuhan
g. Pembicaraan kacau kadang tak masuk akal
h. Menarik diri menghindar dari orang lain
i. Sulit membuat keputusan
j. Ketakutan
k. Tidak mau melaksanakan asuhan mandiri: mandi, sikat gigi, ganti pakaian,
berhias yang rapih
l. Mudah tersinggung, jengkel, marah
m. Menyalahkan diri atau orang lain
n. Muka marah kadang pucat
o. Ekspresi wajah tegang
p. Tekanan darah meningkat
q. Nafas terengah-engah
r. Nadi cepat
s. Banyak keringat
2. Jenis Halusinasi
Menurut (Menurut Stuart, 2007), jenis halusinasi antara lain :
a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun danm atau panorama yang
luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
b. Halusinasi penglihatan (Visual) 20 %
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang-kadang terhidu bau
harum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
c. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang- kadang terhidu bau
harum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik datang dari tanah,
benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
f. Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
g. Halusinasi Kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
3. Fase halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bila berada intensitasnya dan keparahan
(Stuart membagi halusinasi klien mengendalikan dirinya semakin berat fase
halusinasinya). Klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan
halusinasinya lengkap tercantum dalam tabel.
Halusinasi Karakteristik Perilaku klien
FASE I Klien mengelami perasaan Tersenyum dan tertawa
Comforting seperti ansietas, kesepian, rasa tidak sesuai mengerakan
Ansietas sebagai bersalah dan takut mencoba bibir danpa suara
halusinasi utnuk berfokus pada pikiran menggerkan mata yang
menyenangkan menyenangkan untuk cepat dan respon verbal
merendahkan ansietas yang lambat jika sedang
individu mengenal bahwa asik sendiri meningkat
pikiran-pikiran dan tanda-tanda serta
pengalaman sensor berada otonomi
dalam kondisi keasadraan jika
ansietas dapat dilindungu
psikotik.
FASE II Pengalaman sensasi Ansietas
Complementing menjijikan dan sepertipeningkatan
Ansietas berat menakutkan,klien mulai lepas denyut jantung
halusinasi kendali dan mungkin pernafasan dan tekanan
memberatkan mencoba untuk mengambil darah, rentang perhatian
jaraknya dengan sumber yang menyempit asik dengan
dipersepsikan klien mungkin penglaman sensori dan
mengalami pengamalan kehilangan kemampuan
sensori dan menarik diri dari membedakan halusinasi
orang lain, psikotik ringan. dan realita.
FASE III Klien berhenti menghentikan Kemampuan
Controling perlawanan terhadap dikendalikan halusinasi
Ansietas berat halusinasi dan menyerah pada akan lebih ditakuti,
pengalamn sensorsi halusnasinya menjadi kerusakan berhubungan
menjadi berkuasa menarik, klien mengalami dengan orang lain,
pengalaman kesepian jika rentang perhatian hanya
sensori halusinasinya berhenti beberapa detik / menit
psikotik adanya tanda-tanda fisik
ansietas berat
berkeringat, tremor,
tidak mampu memahami
peraturan.
FASE IV Pengalaman sensori menjadi Perilaku tremor akibat
Conquering panik mengancam jika klien panik, potensi kuat
Ansietas panik mengikuti perintah halusinasi suicida / nomicide
pengalaman berakhir dari beberapa jam / aktifitas merefleksikan
sensori hari jika intervensi terapeutif halusinasi perilaku isi,
menaklukan psikoti berat. seperti kekerasan, agitas
menarik diri katafonici,
tidak mampu merespon
terhadap pemerintah,
yang komplek tidak
mampu berespon lebih
dari satu orang
4. Penyebab
Yang menjadi penyebab atau sebagai triger munculnya halusinasi antara lain
klien menarik diri dan harga diri rendah. Akibat rendah diri dan kurangnya
keterampilan berhubungan sosial klien menjadi menarik diri dari lingkungan.
Dampak selanjutnya klien akan lebih terfokus pada dirinya. Stimulus internal
menjadi lebih dominan dibandingkan stimulus eksternal. Klien lama kelamaan
kehilangan kemampuan membedakan stimulus internal dengan stumulus
eksternal. Kondisi ini memicu terjadinya halusinasi.
Tanda dan gejala:
a. Aspek fisik
• Makan dan minum kurang
• Tidur kurang atau terganggu
• Penampilan diri kurang
• Keberanian kurang
b. Aspek emosi
• Bicara tidak jelas, merengek, menangis seperti anak kecil
• Merasa malu, bersalah
• Mudah panik dan tiba-tiba marah
c. Aspek sosial
• Duduk menyendiri
• Selalu tunduk
• Tampak melamun
• Tidak peduli lingkungan
• Menghindar dari orang lain
• Tergantung dari orang lain
d. Aspek intelektual
• Putus asa
• Merasa sendiri, tidak ada sokongan
• Kurang percaya diri
5. Akibat
Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko mencederai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006). Menurut Townsend, M.C
suatu keadaan dimana seseorang melakukan sesuatu tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik pada diri sendiri maupuan orang lain.
Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada diri
sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku :
Tanda dan gejala:
a) Muka merah
b) Pandangan tajam
c) Otot tegang
d) Nada suara tinggi
e) Berdebat
f) Memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak
senang
C. Pohon masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan Akibat
Core Problem
C. Poohon masalah
Isolasi Sosial
Core Problem Harga Diri Rendah Kronis
D. Psikodinamika
1. Etiologi
Gangguan harga diri rendah dapat terjadi secara situasional dan kronik
dikatakan situasional yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya dioperasi,
kecelakaam, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan
malukerena terjadi sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dan dipenjara secara
tiba-tiba). Dan dikatakan kronik yaitu perasaan negative terhadap diri telah
berlangsung lama. Klien ini mempunyai perasaan negative. Kejadian sakit atau
dirawat akan menambah persepsi negative terhadap dirinya.
2. Proses terjadinya masalah
Harga diri terjadi karena perasaan dicintai dan mendapatkan pujian dari orang
lain. Harga diri akan menjadi rendah ketika tidak ada lagi cinta dan ketika adanya
kegagalan, tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain, merasa tidak berharga,
gangguan citra tubuh akibat suatu penyakit sehingga akan menimbulkan suatu
gambaran individu yang berperasaan negative terhadap diri sendiri.
3. Komplikasi
Individu mengalami gangguan konsep diri: harga diri rendah pertama kali
akan merasa cemas dan takut. Individu akan takut ditolak, takut gagal, dan takut
dipermalukan. Akhirnya cenderung untuk menarik diri, akan mengisolasi diri,
yang pada akhirnya individu akan mengalami gangguan realita. Komplikasi yang
berbahaya individu mempunyai keinginan untuk meciderai dirinya.
E. Rentang respon konsep diri
1. Respom adaptif
Adalah pernyataan dimana klien jika menghadapi suatu masalah akan
dapat memecahkan masalah tersebut.
a. Aktualisasi diri : Adalah pernyataan tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman yang sukses dan dapat diterima.
b. Konsep diri positf : Adalah apabila individu mempunyai pengalaman
yang positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif
maupun yang negative dari dirinya
2. Respon maladaptif
Adalah keadaan klien dalam menghadapi suatu masalah tidak dapat
memecahkan masalah tersebut.
a. Harga Diri Rendah : Adalah individu cenderung untuk menilai dirinya
negative dan merasa lebih rendah dari orang lain
b. Identitas Kacau : Adalah kegagalan individu untuk mengintegritas
aspek-aspek idintitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek
psikososial keperibadian masa dewasa yang harmonis.
c. Depersonallisasi : Adalah perasaan yang tidak realistis dan asing
terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan
serta tidak membedakan dirinya dengan orang lain. Menurut Suliswati
Dkk komponen konsep diri ada lima yaitu terdiri dari:
1) Citra tubuh : Adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik
disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau
sekarang mengenai ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan
potensi tubuh.
2) Ideal diri : Adalah persepsi individu tentang bagaimana
seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar peribadi.
3) Harga diri : Adalah penilaian peribadi terhadap hasil yang
dicapai dengan menganalisa berapa banyak kesesuaian tingkah
laku dengan ideal dirinya.
4) Peran : Adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan
yang diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi
idividu di dalam kelompok sosialnya.
5) Identitas diri :Adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat
diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap
dirinya, menyadari bahawa dirinya berbeda dengan orang lain
F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Factor prediposisi
1) Factor predisposisi citra tubuh
a) Kehilangan atau kerusakan organ tubuh (anatomi dan fungsi)
b) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh
c) Proses patalogik penyakit dan dampaknya terhadap struktur
maupun fungsi tubuh
d) Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterapi dan
transpantasi
2) Factor predisposisi harga diri
a) Penolakan dari orang lain
b) Kurang penghargaan
c) Pola asuh yang salah yaitu terlalu dilarang , terlalu dikontrol,
terlalu diturut, terlalu dituntut dan tidak konsisten
3) Faktor predisposisi peran
a) Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan,
perubahan situai dan sehat-sakit
b) Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan
yang bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi.
c) Keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuannya
tentang harapan peran yang spesifik dan bingung tentang
tingkah laku yang sesuai
d) Peran yang terlalu banyak
4) Factor predisposisi identitas diri
a) Ketidak percayaan orang tua dan anak
b) Tekanan dari teman sebaya
c) Perubahan dari struktur sosial
b. Factor Presipitasi
1. Trauma
Masalah spesifik sehubungan dengan konsep diri situasi yang membuat
individu sulit menyesuaikan diri atau tidak dat menerima khususnya
trauma emosi seperti penganiayaan fisik, seksual, dan psikologis pada
masa anak-anak atau merasa terancam kehidupannya atau menyaksikan
kejadian berupa tindakan kejahatan.
2. Ketegangan peran
Pada perjalanan hidup individu sering menghadapi Transisi peran yang
beragam, transisi peran yang sering terjadi adalah perkembangan, situasi,
dan sehat sakit.
c. Manifestasi klinis
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri
3) Merendahkan martabat
4) Gangguan hubungan social
5) Percaya diri kurang
6) Mencederai diri
d. Mekanisme koping
1) Koping jangka pendek
a) Aktivitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari
krisis, misalnya menonton TV, dan olah raga.
b) Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara,
misalnya ikut kegiatan social politik dan agama.
c) Aktivitas yang memberikan kekuatan atau dukungan sementara
terhadap konsep diri, misalnya aktivitas yang berkompetensi yaitu
pencapaian akademik atau olah raga.
d) Aktivitas yang mewakili jarak pendek untuk membuat masalah
identitas menjadi kurng berarti dalam kehidupan, misalnya
penyalahgunaan zat.
2) Koping jangka panjang
a) Penutupan identitas
Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang yang
penting bagi individu tampa memperhatikan keinginan aspirasi dan
potensi individu.
b) Identitas negative
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat di terima oleh nilai-
nilai dan harapan masyarkat.
e. Test diagnostic
1) Test psikologik: test keperibadian
2) EEG: ganguan jiwa yang disebabkan oleh neorologis
3) Pemeriksaan sinar X: mengetahui kelainan anatomi
4) Pemeriksaan laboratorim kromosom: ginetik
f. Penatalaksanaan medis
1) Psikofarmaka
2) Elektro convulsive therapy
3) Psikoterapy
4) Therapy okupasi
5) Therapy modalitas
Terapi keluarga
Terapi lingkungan
Terapi perilaku
Terapi kognitif
Terapi aktivitas kelompok
g. Pohon masalah
Isolasi Social : Menarik Diri
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah.
3. Rencana tindakan keperawatan
a. Diganosa
Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
Tujuan umum
Klien memiliki konsep diri yang positif
1. Tujuan khusus 1
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
a. Kirteria hasil
Klien menunjukkan ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa
senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebut nama,
mau menjawab salam, klien mau duduk berdampingan dengan
perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
b. Rencana tindakan
a) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
b) Perkenalkan diri dengan sopan.
c) Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien
d) Jelaskan tujuan pertemuan
e) Jujur dan menepati janji
f) Tunjukkan sifat empati dan menerima klien apa adanya.
g) Beri perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar klien
2. Tujuan khusus 2
Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
a. Kriteria hasil
Dengan menggunakan komunikasi therapeutik diharapkan klien
dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Rencana tindakan
a) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki (tubuh,
intelektual, dan keluarga) oleh klien diluar perubahan yang
terjadi.
b) Beri pujian atas aspek positif dan kemampuan yang masih
dimiliki klien.
3. Tujuan khusus 3
Klien dapat Klien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk
dilaksanakan.
a. Kriteria hasil
Klien menyebutkan kemampuan yang dapat dilaksanakan
b. Rencana tindakan
a) Diskusikan dengan klien kemampuan yang dapat
dilaksanakan dan digunakan selama sakit
b) Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilanjutkan
pelaksanaannya setelah klien pulang dengan kondisinya saat
ini
4. Tujuan khusus 4
Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.
a. Kriteria hasil
Dengan menggunakan komunikasi theraupetik diharapkan klien
dapat menyusun rencana kegiatan harian
b. Rencana tindakan
a) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan
setiap hari sesuai kemampuan klien.
b) Tingkatkan kegiatan sesuai kondisi klien.
c) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien
lakukan.
5. Tujuan khusus 5
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuat.
a. Kriteria hasil
Dengan menggunakan komunikasi theraupetik diharapkan klien
dapat melakukan kegiatan sesuai jadwal yang dibuat.
b. Rencana tindakan
a) Anjurkan klien untuk melaksanakan kegiatan yang telah
direncanakn
b) Pantau kegiatan yang dilaksanakan klien.
c) Beri pujian atas usaha yang dilakukan klien.
d) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan kegiatan setelah
pulang.
6. Tujuan kusus 6
Klien dapat memanfaatkan sitem pendukung
a. Kriteria hasil
Klien mampu memand=faatkan sistem pendukung yang ada di
keluarga
b. Rencana tindakan
a) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara
merawat klien dengan harga diri rendah.
b) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
c) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan dirumah.
4. Evaluasi
Adapun hal – hal yang dievaluasikan pada klien dengan gangguan
konsep diri : harga diri rendah adalah :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2) Klien dapat mengindentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang dapat dilakukan dirumah sakit.
4) Klien dapat membuat jadwal kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai dengan kondisi sakit dan
kemampuannya.
6) Klien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Wong L. Donna, 1993, “Essentials of Pediatric Nursing”, 4th, Mosby Year Book,
Toronto.
Effendy, Nasrul, Drs., 1995 “Perawatan Kesehatan Masyarakat”, EGC, Jakarta.
Keliat, A.B, 1991, “Tingkah Laku Bunuh Dirí, Arcan, Jakarta.
Schultz dan Videback. (1998). Manual Psychiatric Nursing Care Plan. 5th edition.
Lippincott- Raven Publisher: philadelphia
Townsend. (1995). Nursing Diagnosis in Psychiatric Nursing a Pocket Guide for Care
Plan Construction. Edisi 3.Jakarta : EGC
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA
PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL (MENARIK DIRI)
A. Masalah Utama
Isolasi sosial : Menarik diri
B. Proses terjadi masalah
1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana sesorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sana sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.
Isolasi sosial merupakan keadaan ketika individu atau kelompok memiliki
kebutuhan atau hasrat untuk memiliki keterlibatan kontak dengan orang lain,
tetapi tidak mampu membuat kontak tersebut. Gangguan isolasi sosial dapat
terjadi karena individu merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
memina hubungan yang berarti dengan orang lain.(Sutejo, 2019).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).
Menurut Carpenito (2001), Menarik diri adalah suatu usaha untuk
menghindari interaksi dengan orang lain dan kemudian menghindari berhubungan,
ini merupakan pertahanan terhadap stresor dan ansietas yang berhubungan dengan
suatu stresor atau ancaman.
Terjadinya perilaku menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
faktor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor
predisposisi terjadinya perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu, takut
salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari
orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Keadaan
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar
dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari hampir
terabaikan.
2. Penyebab terjadinya isolasi sosial
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri
adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa
jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan
diri, merasa gagal mencapai keinginan.
3. Faktor prediposisi
Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku menarik diri
yaitu :
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa bayi
sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseoarang sehingga
mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga yang
terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri. Organisasi
anggota keluarga bekerja sama dengan tenaga profisional untuk
mengembangkan gambaran yang lebih tepat tentang hubungan antara
kelainan jiwa dan stress keluarga. Pendekatan kolaburatif sewajarnya
dapat mengurangi masalah respon social menarik diri.
b. Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptive.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Kelainan
struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan
volume otak serta perubahan limbik diduga dapat menyebabkan
skizofrenia.
c. Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap
orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak
produktif, seperti lansia, orang cacat dan berpenyakit kronik. Isolasi dapat
terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan system nilai yang berbeda
dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang tidak realitis terhadap
hubungan merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini,
(Stuart and sudden, 1998).
4. Faktor Persipitasi
Ada beberapa faktor persipitasi yang dapat menyebabkan seseorang menarik
diri. Faktor- faktor tersebut dapat berasal dari berbagai stressor antara lain:
a. Stressor sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam
membina hubungan dengan orang lain, misalnya menurunya stabilitas unit
keluarga, berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupanya, misalnya
karena dirawat di rumah sakit.
b. Stressor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang
terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhanya hal ini
dapat menimbulkan ansietas tinggi bahkan dapat menimbulkan seseorang
mengalami gangguan hubungan (menarik diri), (Stuart & Sundeen, 1998).
c. Stressor intelektual
1) Kurangnya pemahaman diri dalam ketidak mampuan untuk
berbagai pikiran dan perasaan yang mengganggu pengembangan
hubungan dengan orang lain.
2) Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan
kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit
berkomunikasi dengan orang lain.
3) ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan dengan
orang lain akan persepsi yang menyimpang dan akan berakibat
pada gangguan berhubungan dengan orang lain
d. Stressor fisik
1) Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang
menarik diri dari orang lain
2) Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu
sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang lain (Rawlins,
Heacock,1993)
5. Tanda dan genjala dari isolasi sosial
Menurut Budi Anna Keliat (1998), tanda dan gejala Isolasi Sosial: MD adalah
sebagai berikut :
a. Apatis
b. ekspresi sedih
c. afek tumpul
d. Menghindar dari orang lain (menyendiri)
e. Komunikasi kurang/tidak ada.
f. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat.
g. Tidak ada kontak mata
h. klien sering menunduk.
i. Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas.
j. Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan
atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
k. Tidak melakukan kegiatan sehari
l. Sering tidur, posisi tidur klien seperti posisi tidur janin.
m. Sedangkan Tanda & Gejala menurut Townsend,1998 :
n. Sedih, afek tumpul
o. Menjadi tidak komunikatif
p. Asyik dengan fikirannya sendiri
q. Meminta untuk sendirian
r. Mengekspresikan perasaan kesendirian/penolakan
s. Disfungsi interaksi dengan teman sebaya,keluarga,orang lain
6. Akibat dari isolasi sosial
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya resiko
perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu
orientasi realitas yang maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien
terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien
menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
C. Pohon masalah
Akibat : Gangguan persepsi sensori: halusinasi
E. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi
2. Gangguan Isolasi Sosial : Menarik Diri
3. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
F. Rencana tinkana keperawatan klien dengan isolasi sosial
No Dx Keperawatan SP Pasien SP Keluarga
1 Isolasi sosial SP I p SP I k
1. Membina hubungan saling percaya 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
2. Mengidentifikasi penyebab isolasi keluarga dalam marawat pasien
sosial pasien 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
3. Mendiskusikan dengan pasien tentang isolasi sosial yang dialami pasien beserta
keuntungan berinteraksi dengan orang proses terjadinya
lain 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien
4. Mendiskusikan dengan pasien isolasi sosial
kerugian tidak berinteraksi dengan
orang lain
5. Mengajarkan pasien cara berkenalan
dengan satu orang
6. Menganjurkan pasien memasukkan
kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam jadwal
kegiatan harian
SP II k
SP II p
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
pasien merawat pasien dengan isolasi sosial
2. Memberikan kesempatan kepada 2. Melatih keluarga melakukan cara
pasien mempraktekkan cara merawat langsung keluarganya yang
berkenalan dengan satu orang mengalami isolasi sosial
3. Membantu pasien memasukkan
kegiatan berbincang-bincang dengan
satu orang ke dalam jadwal kegiatan
harian
SP III k
SP III p
1. Membantu keluarga membuat jadwal
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
aktifitas di rumah termasuk minum obat
pasien
(discharge planning)
2. Memberikan kesempatan kepada
2. Menjelaskan follow up pasien setelah
pasien mempraktekkan cara
pulang
berkenalan dengan dua orang atau
lebih
3. Menganjurkanpasien memasukkan ke
dalam jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Eko, Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Farida, Kusumawati & Yudi, Hartono.(2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta Salemba
Medika.
Mukhripah, Damaiyanti & Iskandar.(2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PTRefika
Aditama.
Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.
Sutejo (2019) Konsep dan Praktik Asuhan Kperawatan Kesehatan Jiwa: Gangguan Jiwa dan
Psikososial.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA
PASIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI
A. Masalah utama
Resiko bunuh diri
B. Proses terjadinya masalah
1. Pengertian
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal
dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah.
Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk
beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat
terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan
yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Menciderai diri
adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. (Budi Anna Kelihat, 2000).
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku “Keperawatan Jiwa” dinyatakan
sebagai suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana aktivitas ini dapat
mengarah pada kematian (2007).
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4
pengertian, antara lain:
a. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
b. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
c. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
d. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api
Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan
merupakan rentang adaptif maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku,
sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
budaya setempat. Respon maladaptif antara lain:
1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan
masalah, karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang
bermanfaat sudah tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping
yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan
merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
Kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan
merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir dengan
bunuh diri.
a) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai
dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat
individu ke luar dari keadaan depresi berat.
b) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Laraia, 2005).
C. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
a. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri
mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar
kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
b. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan
oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
a. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang
untuk bunuh diri.
b. Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
c. Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam
diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Impulsif
d. Menunjukan perilaku yang mencurigakan
e. Mendekati orang lain dengan ancaman
f. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
g. Latar belakang keluarga
L. Pohon masalah
A. Masalah utama
Resiko perilaku kekerasan
B. Proses terjadinya masalah
1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah
berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol
(Yosep, 2009).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan dimana hal tersebut untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart & Sundeen, 2005).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan (Fitria, 2010).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000).
2. Faktor prediposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan yaitu :
a. Faktor psikologis
Psychoanalytical theory: teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
anusia dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang di ekspresikan
dengan seksualitas dan kedua insting kematian yang di ekspresikan dengan
agresivitas.
Frustation-aggresion theory: teori yang dikembangkan oleh pengikut
freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai
suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang
pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai
orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang
melakukan tindakan agrresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau pengalaman hidup. Ini
menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping
yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
1) Kerusakan otak organik, retardasi mental sehingga tidak mampu untuk
menyelesaikan secara efektif.
2) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanak,atau seduction parental, yang mungkin telah merusak
hubungan saling percaya dan harga diri.
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse
atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk
pola pertahanan atau koping.
b. Faktor sosial budaya
Social-Learning Theory: teory yang dikembangkan oleh Bandura
(1977) dalam Yosep (2009) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda
dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap
kebangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pelajaran ini bisa internal atau eksternal.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima
atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk
mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agrsif
mempunyai dasar biologis.
Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian
stimulus elektris ringan pada hipotalamus bidatang ternyata menimbulkan
perilaku agresif. Rangsangan yang diberikan terutama pada nukleus
periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan
cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis dll. Jika kerusakan fungsi sistem
limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional)
dan lobus temporal.
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif:
serotonin, dopamin, norepineprine, acetilkolin dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
1) Masa kanak-kanak yang mendukung
2) Sering mengalami kegagalan
3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif
4) Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)
3. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap
4. Tanda dan gejala
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut :
a. Fisik
a) Muka merah dan tegang
b) Mata melotot/ pandangan tajam
c) Tangan mengepal
d) Rahang mengatup
e) Postur tubuh kaku
f) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
a) Bicara kasar
b) Suara tinggi, membentak atau berteriak
c) Mengancam secara verbal atau fisik
d) Mengumpat dengan kata-kata kotor
e) Suara keras
f) Ketus
c. Perilaku
a) Melempar atau memukul benda/orang lain
b) Menyerang orang lain
c) Melukai diri sendiri/orang lain
d) Merusak lingkungan
e) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
5. Rentang respon
Menurut Yosep ( 2007 ) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang
ekstrim dari marah atau ketakutan ( panik ).
C. Pohon masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Resiko perilaku kekerasan Core problem
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP dan SP. Jakarta: Selemba
Medika
Said, S.2013. Laporan Pendahuluan Perilaku Kekerasan. Diunduh pada tanggal 19
April 2014 dari http://nandarnurse.blogspot.com/2013/11/laporan-
pendahuluan-askep perilaku.html#axzz2zLFTehEC
Sembiring, E.2011.Perilaku Kekerasan. Diunduh pada tanggal 19 April 2014 dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27602/4/Chapter%20II.pdf.
Sertiawan, L. B.2013.Keperawatan Jiwa : Perilaku Kekerasan. Diunduh pada
Tanggal 24 April 2014 dari
http://www.slideshare.net/setiwanlilikbudi/laporan-pendahuluan-perilaku-
kekerasan
Yosep. 2009. Keperawatan jiwa edisi refisi. Bandung: PT.Refika Aditama
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan
Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.
Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. cetakan kedua (edisi revisi). Bandung: PT
Refrika Aditama
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN
DENGAN PERUBAHAN PROSES PIKIR: WAHAM
A. Masalah utama
Perubahan proses pikir: Waham
B. Proses terjadinya masalah
1. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien (Aziz R, 2003).
Waham merupakan gejala spesifik pisikosis. Pisikosis sendiri merupaka
gangguan jiwa yang berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang dalam
menilai realita dan fantasi yang ada di dalam dirinya. Terlepas dari khayalan
mereka, orang-orang dengan gangguan waham mungkin terus bersosialisai,
bertindak secara normal, dan perilaku mereka tidak selalu tampak aneh. Waham
sering ditemui pada penderita gangguan jiwa berat. Selain itu, beberapa bentuk
waham yang spesifik, sering ditemukan pada penderita skizofernia. Akan tetapi,
gangguan waham berada dengan skizofrenia. Jika seseorang memiliki gangguan
waham fungsinya umumnya tidak terganggu dan perilaku tidak jelas aneh, kecuali
khayalan. Selain itu, waham ini bukan merupakan kondisi medis atau kondisi
akibat penyalahgunaan zat. (Sutejo, 2019).
C. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf
yang berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
b. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks
limbic
c. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan
glutamat.
d. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor Presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
c. Adanya gejala pemicu
D. Tanda dan gejala
1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakinninya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan
2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga
4. Bermusuhan
5. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
6. Takut dan sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersinggung
E. Masalah keperawatan yang sering muncul
1. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2. Kerusakan komunikasi : verbal
3. Perubahan isi pikir : waham
F. Akibat yang sering muncul
1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
3. Fungsi emosi
Afek datar, afek tidak sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen
4. Fungsi motorik
Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotopik gerakan yang
diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas,
katatonia.
5. Fungsi sosial : kesepian
6. Isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah.
G. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan dengan respon neurobiologist yang maladaptive meliputi: regresi
berhubungan dengan masalah proses informasi dengan upaya untuk mengatasi
ansietas, proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi, menarik diri,
pada keluarga: mengingkari.
H. Fase-fase
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-
orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan
selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan
dipandang sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn
diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya
pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya
penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah
melampaui kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang
kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi
serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal
yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari
aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system
semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang
sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap
penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan
klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya
menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan
alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma ( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan
menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting
sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
I. Jenis waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
1. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya
tambang emas.”
2. Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian
putih setiap hari.”
4. Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien
terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
5. Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
6. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
7. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang
tersebut
8. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh
kekuatan di luar dirinya.
J. Rentang respon
K. Pohon masalah