Anda di halaman 1dari 53

PROGRAM NASIONAL BAGI ANAK INDONESIA

KELOMPOK PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ABUSE, KEKERASAN,


EKSPLOITASI DAN DISKRIMINASI.

I. LATAR BELAKANG

Setelah 12 tahun Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, tepatnya


pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keppres R.I. No. 36 tahun 1990, Indonesia
belum mempunyai kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak Anak. Baru pada
tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-undang No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang
dalam Konvensi Hak-hak Anak. Perjuangan melahirkan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang memihak kepada kepentingan terbaik anak cukup panjang,
seiring dengan pasang surut berbagai kepentingan dan situasi multi krisis
berkepanjangan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
sejak lima tahun terakhir.
Berbagai konflik komunal di sebagian wilayah Indonesia disertai instabilitas
di bidang politik dan pemerintahan telah memperberat upaya-upaya peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Keadaan yang serba krisis dan
kritis ini, telah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan banyak prioritas-prioritas
lain seperti politik, pemulihan ekonomi dan keamanan, ketimbang upaya-upaya
meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Akibatnya, berbagai
permasalahan anak muncul ke permukaan karena jaminan negara terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan
perlindungan anak tidak maksimal. Hal ini, juga terlihat pada alokasi anggaran untuk
sektor pendidikan rata-rata hanya 6 persen, kesehatan hanya 3,9 persen dan berapa
besarnya anggaran teralokasi untuk kebutuhan perlindungan anak tidak diketahui
secara jelas. Akibatnya, sistem pelayanan pendidikan dan kesehatan selama ini belum
dapat menggunakan sistem akses universal (Education for All dan Health for All),
melainkan berdasarkan sistem target sesuai anggaran yang tersedia (narrow
targeting).
Kondisi tersebut di atas, juga menyebabkan pembangunan kesejahteraan dan
perlindungan anak terdesak dari rumusan GBHN tahun 1999, yang sebelumnya
tercantum dalam rumusan bidang tersendiri pada GBHN tahun 1997. Padahal upaya–
upaya kesejahteraan dan perlindungan anak menghendaki komitmen bangsa dan
negara serta tindakan politik pada tingkat yang paling tinggi untuk memberikan
prioritas dalam alokasi sumber daya pembangunan.
Tugas ini, menghendaki upaya yang terus menerus dilakukan bersama
dengan semua pihak melalui tindakan nasional dan kerjasama internasional.
Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama
pembangunan dan diarahkan pada investasi sumberdaya manusia (human investment).
Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan masa depan bangsa, akan
mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang dilakukan
oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat

1
akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak,
demi kepentingan terbaik anak Indonesia.
Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya penyalah
gunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif dan mengalami berbagai tindakan
kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak.
Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia,
karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan–Nya. Dari
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus perjuangan
bangsa dan penentu masa depan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, diperlukan
upaya-upaya yang akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak
Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut, ke dalam suatu Program Nasional
Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak yang
melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “.

II. PENGERTIAN

Pengertian anak yang mengalami abuse, kekerasan (fisik dan/atau mental),


eksploitasi (ekonomi, seksual) dan diskriminasi dalam tulisan ini selanjutnya disebut
anak yang mengalami berbagai perlakuan salah. Kondisi dan situasi anak yang sulit
tersebut tergolong ke dalam anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Pasal 59 Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan bahwa perlindungan khusus diberikan kepada :
 anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan,anak korban
bencana alam, anak dalam situasi konflik bersenjata)
 anak yang berhadapan dengan hukum,
 anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
 anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
 anak yang diperdagangkan,
 anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, akohol, psikotropika dan
zat adiktif lainnya (napza),
 anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan,
 anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
 anak korban perlakuan salah,
 penelantaran
 anak yang menyandang cacat
Selain itu, dimasukkan pula kelompok anak rentan lainnya yakni anak
jalanan dan anak tanpa akta kelahiran. Dengan demikian terdapat berbagai jenis
kondisi dan situasi anak yang memerlukan perlindungan khusus dari perlakuan
salah.yang dapat dilakukan oleh orang perorang, keluarga, masyarakat bahkan oleh
negara sekalipun.
Untuk menyamakan pemahaman, diperlukan kesamaan pengertian tentang :
 Penyalah gunaan anak (abuse) adalah perlakuan kejam berupa tindakan
atau perbuatan zalim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada
anak.

2
 Kekerasan adalah perlakuan penganiayaan berupa mencederai anak
dan tidak semata-mata fisik tetapi juga mental dan sosial
 Eksploitasi adalah tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan
atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau
golongan.
 Diskriminasi adalah perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental.
 Perdagangan (trafiking) anak adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan antar daerah dan/atau antar negara, pemindah tanganan,
penerimaan dan penampungan dari anak dengan cara ancaman, penggunaan
kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan,
pemerdayaan, penyalahgunaan kekuasaan atau ketergantungan atau dengan
pemberian atau penerimaan pembayaran atau imbalan lain dalam memperoleh
persetujuan dari seeorang yang memiliki kendali atas orang lainnya untuk tujuan
eksploitasi.
 Eksploitasi Seksual Komersial Anak adalah penggunaan anak untuk
tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak,
pembeli jasa seks, perantara atau agen dan pihak lain yang memperoleh
keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut. Ada tiga bentuk yaitu
prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.
 Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah segala bentuk
perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, penghambaan atau melakukan
pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dapat membahayakan
kesehatan dan keselamatan serta moral anak.

I. ANALISIS SITUASI

Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap


perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 B (2)
menyatakan bahwa - “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang,
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” - kemudian Undang-
undang Hak Asasi Manusia pasal 33 (1) menyatakan bahwa – “Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusian”, - sedangkan pasal 29 (1) menyatakan
bahwa – “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan hak miliknya”. Undang-undang Perlindungan Anak pasal 13 (1)
menyatakan – “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan
dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya”.
Pasal 59 menyatakan bahwa – “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan

3
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang
menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Namun kenyataannya, cita-cita ideal tersebut masih jauh dari harapan,
berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering terjadi yang tercermin pada
masih adanya anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi, seperti tergambar pada analisis situasi dan kondisi anak Indonesia di
bawah ini.
Populasi Anak
Berdasarkan laporan hasil Sensus Penduduk 2000 (SP 2000) dan Indikator
Kesejahteran Anak 2000, penduduk Indonesia berjumlah 206.264.595 jiwa terdiri dari
103.417.180 penduduk laki-laki dan 102.847.415 penduduk perempuan dengan
pertumbuhan penduduk per tahun antara tahun 1990-2000 sebesar 1,35 persen.
Sebanyak 61.250.199 jiwa adalah anak berumur (0-14 tahun) atau sekitar 30 persen
lebih dari total penduduk. Data SUSENAS 2001 memperlihatkan bahwa sebagian
besar (96,01 persen) dari anak umur (10-14 tahun) masih memiliki ayah dan ibu,
yatim (ayahnya telah meninggal) sebanyak 2,42 persen, piatu (ibunya telah
meninggal) sebanyak 1,17 persen dan yatim piatu sebanyak 0,30 persen sedangkan
0,10 persen anak yang tidak mengetahui keberadaan orang tuanya. Berdasarkan
tempat tinggal secara keseluruhan anak yang yatim, piatu, yatim piatu dan tidak
diketahui keberadaan orang tuanya di perdesaan lebih banyak (4,40 persen)
dibandingkan di perkotaan (3,37 persen). Selain itu, anak umur (10-14 tahun) yang
tinggal bersama orang tuanya hanya 87,56 persen lebih rendah dibandingkan
persentase anak yang ayah dan ibu kandungnya masih hidup (96,01 persen),
kemungkinannya karena orang tua meninggal, bercerai, bekerja di tempat lain atau
dititipkan pada kakek dan neneknya.
Prioritas masalah anak
Jenis-jenis kondisi dan situasi anak yang sangat menonjol untuk ditangani
segera di Indonesia, sejalan dengan sasaran/target dari World Fit For Children
maupun Millenium Development Goals adalah:
a. Pekerja anak
Pekerja anak di Indonesia sudah dijumpai sejak dulu, karena secara tradisi anak
diharapkan membantu orang tua di ladang atau usaha keluarga lainnya.
Munculnya pekerja anak merupakan permasalahan sosial yang cukup
memperihatinkan. Berdasarkan data BPS tahun 2000 jumlah anak umur 10-14
tahun sebanyak 20,86 juta jiwa dan jumlah angkatan kerjanya meliputi anak
yang sedang bekerja dan yang mencari pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa.
Persentase angkatan kerja anak umur 10-14 tahun terhadap jumlah anak umur
10-14 tahun sebesar 5,96 persen. Jika dilihat lebih jauh, persentase anak yang
bekerja lebih tinggi daripada yang mencari pekerjaan. Pada tahun 2000
persentase anak yang bekerja 5,60 persen dan yang mencari pekerjaan hanya
0,36 persen dari jumlah anak umur 10-14 tahun. Sebenarnya pada dekade
terakhir, anak umur 10-14 tahun yang bekerja telah mengalami penurunan,
namun pada tahun 1998/1999 mengalami peningkatan dibandingkan 4 tahun
sebelumnya, sebagai konsekwensi kondisi krisis yang menimpa Indonesia.
Persentase pekerja anak umur 10-14 tahun yang memiliki jam kerja normal
dalam 1 minggu (35 jam/minggu) sekitar 16,89 persen. Kebanyakan dari mereka
bekerja lebih dari 35 jam/minggu, bahkan kenyataannya ada yang bekerja lebih

4
dari 40 jam/minggu. Pada dekade ke depan, diharapkan jumlah anak umur 10-14
tahun yang bekerja menurun dan proporsi pekerja anak umur 10-14 tahun
dengan jam kerja 35 jam/minggu atau jam kerja kurang dari 4-5jam/hari
semakin berkurang. Berbagai jenis pekerjaan antara lain di bidang pertanian
(72,01 persen), industri manufaktur (11,62 persen), jasa (16,37 persen).
Data terakhir Susenas 2001 memperlihatkan tentang anak umur 5-14 tahun yang
termasuk kategori bekerja pada tabel berikut :
Persentase Penduduk umur 5-14 tahun yang bekerja
menurut tipe daerah, jenis kelamin dan status pekerjaan
Bekerja
Persentase Usaha Bekerja pada
pada
Penduduk Usaha rumah orang/pihak
Daerah tempat orang/pihak
(5-14 tahun) sendiri tangga lain tidak
tinggal/Jenis kelamin lain dengan
yang bekerja (%) sendiri dibayar
dibayar
(%) (%) (%)
(%)
Perkotaan
Laki-laki 2,05 14,91 61,90 22,38 4,28
Perempuan 2,15 6,89 66,09 24,81 4,28
Laki-laki + Perempuan 2,10 10,89 64,00 23,59 4,28
Perdesaan
Laki-laki 6,40 8,29 81,51 9,00 4,29
Perempuan 4,31 7,08 82,03 9,23 4,34
Laki-laki + Perempuan 5,39 7,83 81,71 9,08 4,31
Perkotaan +
Perdesaan 4,69 9,43 78,14 11,29 4,29
Laki-laki 3,45 7,04 78,06 13,10 4,32
Perempuan 4,09 8,45 78,11 12,03 4,30
Laki-laki + Perempuan

Dilihat dari jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak umur 5-14 tahun dapat
dilihat pada tabel berikut :

5
Persentase penduduk umur 5-14 tahun yang bekerja selama seminggu yang lalu
menurut tipe daerah, jenis kelamin dan jenis pekerjaan utama 2001
Sektor
Pedagang Sektor
Daerah tempat industri Sektor Sektor Sektor jasa Lain-lain
Asongan di tempat Memulung industri
tinggal/jenis kelamin besar/ pertanian angkutan
tetap kecil/RT
sedang
Perkotaan
7,94
Laki-laki 8,45 25,58 0,36 13,09 0,74 26,04 1,13 16,66
12,96
Perempuan 4,59 37,62 0,17 15,78 5,13 9,66 0,12 13,96
10,46
Laki-laki+Perempuan 6,52 31,62 0,27 14,44 2,94 17,83 0,62 15,31
Perdesaan
Laki-laki 2,33 7,51 0,41 4,24 0,61 70,54 0,57 1,96 11,83
Perempuan 2,95 14,92 0,37 8,78 1,15 54,40 0,05 2,20 15,17
Laki-laki+Perempuan 2,57 10,37 0,39 5,99 0,82 64,31 0,37 2,05 13,12
Perkotaan+Perdesaan
2,98
Laki-laki 3,38 10,61 0,40 5,76 0,63 62,90 0,66 12,66
4,88
Perempuan 3,36 20,56 0,32 10,52 2,14 43,27 0,07 14,87
3,76
Laki-laki+Perempuan 3,37 14,69 0,37 7,71 1,25 54,86 0,42 13,57
Sumber: Susenas 2001,BPS.

6
Walau bagaimanapun, berbagai jenis pekerjaan tersebut, dapat mengganggu
pendidikan dan wajib belajar anak serta dapat mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental dan sosial anak. Padahal anak umur (10-14 tahun) adalah
umur yang seharusnya belum pantas untuk bekerja. Idealnya pada umur tersebut,
mereka sekolah dan tidak terbebani dengan pekerjaan mencari nafkah. Kondisi
ini, antara lain disebabkan faktor ekonomi keluarga yang tidak mencukupi,
orang tua menganggur dan kemiskinan yang akhirnya mendorong anak terpaksa
bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Namun tidak jarang, di antara
anak-anak tersebut menjadi pekerja anak karena keadaannya terlantar dan
terpaksa harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Keadaan ini,
mengakibatkan semakin meningkatnya pelibatan anak pada berbagai jenis
pekerjaan termasuk bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti
pelacuran anak, bekerja di pertambangan, jermal (perikanan), pabrik sepatu,
garmen, rotan, konstruksi, penyelam mutiara, pengemis, pemulung, perdagangan
anak untuk tujuan ekonomi atau seksual, produksi dan perdagangan obat-obat
terlarang (napza), pornografi dan pornoaksi, anak jalanan, PRT dan pelibatan
dalam konflik bersenjata. Meskipun belum memiliki gambaran yang jelas
mengenai besarnya permasalahan anak yang bekerja pada bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk tersebut, namun diyakini bahwa keberadaan pekerja anak
dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk akan berdampak negatif bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, mental dan sosial serta akan
memperpanjang rantai kemiskinan saja. Selain itu, upah yang mereka terima
sangat rendah dan sangat eksploitatif karena majikan menganggap pekerja
anak/buruh anak adalah pekerja tanpa ketrampilan tinggi dan penurut.
Berbagai penyebab terjadinya pekerja anak antara lain :
 adanya persepsi orang tua dan masyarakat bahwa anak bekerja tidak buruk
dan merupakan bagian dari sosialisasi dan tanggung jawab anak untuk
membantu pendapatan keluarga.
 Kemiskinan, gaya hidup konsumerisme, tekanan kelompok sebaya serta drop
out sekolah mendorong anak untuk mencari keuntungan material dengan
terpaksa bekerja.
 kondisi krisis ekonomi juga mendorong anak untuk terjun bekerja bersaing
dengan orang dewasa.
 lemahnya penegakan hukum di bidang pengawasan umur minimum untuk
bekerja dan kondisi pekerjaan
(Indikator dan Profil KPA 2002).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 138 dengan Undang-undang No.
20 Tahun 1999 yang menetapkan tentang batas usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja, dalam undang-undang tersebut dilampirkan Deklarasi
Pemerintah Indonesia bahwa batas usia minimum untuk bekerja di Indonesia
adalah 15 tahun. Ratifikasi Konvensi ILO No. 182 dengan Undang-undang No.
1 tahun 2000 tentang larangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak. Data mengindikasikan bahwa ada 700 anak
bekerja pada industri alas kaki di Bandung, anak umur kurang 15 tahun
sebanyak 209.943 anak bekerja di pabrik, anak umur (10-19 tahun) sebanyak
3.815 anak bekerja pada penambangan emas (Depnakertrans, ILO/IPEC 2001).

7
Harus diakui bahwa pola penanganan pekerja anak masih bersifat represif dan
kuratif. Program yang ada belum menyentuh aspek preventif dan belum
komprehensif. (Menakertrans pada pembukaan Pertemuan Konsultatif mengenai
Time Bound Programme). Untuk mengatasi berbagai permasalahan bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak pemerintah melalui Keppres. No. 12
tahun 2001 telah membentuk Komite Aksi Nasional dan Keppres No. 59 tahun
2002 ditetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak. Dalam rencana aksi tersebut, prioritas tahap pertama
dalam 5 tahun kedepan adalah penghapusan pekerjaaan yang banyak melibatkan
anak sebagai pekerja di anjungan lepas pantai (jermal), pelacuran anak,
perdagangan narkoba, pekerjaan di tambang, PRT dan industri alas kaki (sepatu)
melalui ketersedian model-model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk tersebut, membangun komitmen politis, meningkatkan kesadaran
masyarakat dan melakukan pemetaan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak. Tahap kedua dalam 10 tahun kedepan melakukan replikasi model,
pengembangan model yang ada, tersedianya dan terlaksananya
kebijaksanaan/perangkat pelaksanaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak. Tahap ketiga 20 tahun ke depan pelaksanaan program aksi
di berbagai daerah, adanya pelembagaan serta pengarus utamaan penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Selain itu, Keppres. tersebut telah
ditindak lanjuti oleh beberapa daerah dengan membentuk Komiite Aksi Propinsi
dan menyusun rencana aksi daerah. Di samping itu, telah dilakukan program
rintisan penghapusan pekerja anak di jermal bekerja sama dengan Pemerintah
Propinsi Sumatera Utara dan industri alas kaki bekerja sama dengan Pemerintah
Propinsi Jawa Barat. Dicanangkannya Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai
daerah bebas pekerja anak dan direncanakan pada tahun 2015 kabupaten
tersebut telah bebas\dari pekerja anak. Kondisi yang ingin dicapai yaitu anak
terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang secara wajar dan optimal baik fisik, mental, sosial maupun
intelektualnya.
Pada bulan Agustus 200 terjadi peningkatan, yang menurut BPS naik lagi
menjadi 2,3 juta. Jumlah ini belum mencakup anak-anak berumur di bawah 10
tahun. IPEC/ILO memperkirakan sekitar 8 juta pekerja anak di bawah usia 15
tahun. Sebagai perbandingan selama tahun 1995 s/d 1999 terdapat 11,7 juta anak
yang putus sekolah dan sebagian diantaranya kemudian memilih atau dipaksa
bekerja karena alasan ekonomi.

b. Anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial.


Pemetaan yang dilakukan oleh Hull et al (1997) dan Farid (1999)
mengindikasikan jumlah anak yang dilacurkan diperkirakan mencapai sekitar 30
persen dari total prostitusi yakni sekitar 40.000 - 70.000 atau bahkan lebih
adalah anak berumur di bawah 18 tahun. Mereka beresiko tinggi untuk tertular
PMS dan HIV/AIDS. Farid memperkirakan jumlah anak yang dilacurkan dan
berada di kompleks pelacuran, panti pijat dll. sekitar 21.000 anak. Angka
tersebut bisa mencapai 5-10 kali lebih besar jika ditambah pelacur anak yang
mangkal di jalan, café, plaza, bar, restoran dan hotel. Anak yang dilacurkan
dikorbankan oleh orang tua atau anggota keluarga atau oleh pekerja seks dewasa
dari desa yang sama dengan anak yang dilacurkan. Perekrutan anak untuk tujuan
seksual komersial biasanya terjadi dengan menggunakan penipuan atau alasan

8
palsu untuk bekerja di kota. Kebanyakan anak ditipu oleh para calo dan agen
atau dipaksa oleh keadaan menyerahkan diri pada seorang germo untuk
kemudian dipekerjakan sebagai pekerja seksual komersial. Irwanto et al (1997)
mengindikasikan ketika orang tua memperdagangkan anaknya, biasanya
didukung oleh peran tokoh formal dan informal setempat misalnya untuk
mendapatkan KTP dan memalsukan umur anak. Daerah-daerah pengirim anak
untuk tujuan seksual biasanya desa-desa miskin, kemudian daerah-daerah
penerima sebagian besar adalah kota-kota besar. Bahkan beberapa anak juga
diperdagangkan ke luar negeri untuk tujuan seksual komersial, karena kejahatan
ini dapat bersifat lintas batas negara (Farid 1999). Tidak jelas gambaran anak
laki-laki untuk tujuan seksual komersial, namun isu yang menonjol di Bali
adalah perdagangan anak laki-laki untuk tujuan eksploitasi seksual kaum
pedophilia. Banyak berbagai tujuan seksual komersial dikaitkan dengan wisata
dan Indonesia termasuk Bali serta daerah wisata lainnya tidak tertutup
kemungkinannya sebagai tujuan “wisata seks” kaum pedophilia dunia,
mengingat negara sekitar telah mempunyai peraturan perundangan yang ketat
tentang masalah ini. Demikian juga, anak jalanan terutama anak perempuan
sangat rentan terhadap beragam eksploitasi seksual, prostitusi, penganiyaan
seksual dan perkosaan.
Berbagai penyebab antara lain :
 Kemiskinan, urbanisasi, pendidikan rendah, tidak ada alternatif pekerjaan,
perkawinan umur muda dan perceraian, kekerasan seksual pada masa anak-
anak merupakan pendorong anak terjerumus pada seksual komersial.
 Faktor penariknya antara lain kesempatan kerja dan penghasilan tinggi di
kota, gaya hidup konsumtif dan kehidupan di kota.
 Bias gender menyebabkan anak perempuan drop out dari sekolah ketimbang
anak laki-laki mendorong anak perempuan memasuki pekerjaan seksual
komersial dan trafiking anak
 Persepsi masyakat tentang seksualitas dan status perempuan serta pelacuran
adalah perbuatan a-moral dan tidak selayaknya dibicarakan pada ruang
publik menyebabkan masalah ini tersembunyi, luput dari wacana publik.
Negara berkewajiban melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual dengan
mengambil langkah-langkah yang layak baik bilateral maupun multilateral untuk
mencegah dan menghapus kegiatan eksploitasi seksual anak untuk tujuan
komersial maupun eksploitasi anak dalam pertunjukan dan perbuatan yang
bersifat pornografi dan pornoaksi. Berbagai instrumen internasional dalam
memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial telah disetujui oleh
pemerintah dan dalam penyusunan rencana aksi nasional merujuk kepada
kesepakatan yang tertuang dalam instrumen internasional tersebut antara lain :
 Konvensi Hak-hak Anak telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres
No. 36 tahun 1990
 Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm tahun 1996
 Komitmen dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia Timur dan Pasifik
melawan Eksploitasi Seksual Komersial Anak tahun 2001
 Komitmen Global Yokohama tahun 2001

9
 Konvensi ILO No. 182 telah diratifikasi oleh Undang-undang No. 1 Tahun
2000 tentang pengesahan Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan
Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak
 Optional Protocol to the CRC on the Sale of Children, Child Prostitution
and Child Phornography ditanda tangani pada tanggal 24 September 2001
 Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children supplementing to the UN Convention against
Transnational Organized Crime ditandatangani pada tanggal 12 Desember
2002.
 Selain itu, berbagai instrumen hukum nasional yang menjadi dasar
penyusunan yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 39
tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Pemerintah melalui Keppres No. 87 Tahun 2002 telah menetapkan Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Gugus
Tugas untuk memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial anak
yakni kejahatan yang melanggar hak asasi anak, merendahkan harkat dan
martabat kemanusian serta merupakan salah satu bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak. Ada lima bidang yang akan digarap dalam memerangi dan
menghapus eksploitasi seksual komersial anak yaitu koordinasi dan kerjasama,
pencegahan, perlindungan, pemulihan dan reintegrasi serta partisipasi anak.
Kondisi yang ingin dicapai yakni memberikan perlindungan kepada setiap anak
dari eksploitasi seksual komersial, mengurangi jumlah anak yang rawan
terhadap eksploitasi seksual komersial serta mengembangkan lingkungan, sikap
dan praktek yang tanggap terhadap permasalahan eksploitasi seksual komersial
anak. (RAN-PESKA 2002, Indikator dan Profil KPA 2002, Departemen Sosial
2000).
Permasalahan pelacuran anak mencakup eksploitasi secara seksual terhadap 40–
70 ribu anak di bawah umut 18 tahun. Mereka sebagian juga diperdagangkan ke
luar negeri. Pada tahun 1997/1998, terdapat 75.106 tempat pekerja seks yang
terselubung ataupun yang terdaftar. Kira-kira 30 persen penghuni tempat-tempat
tersebut perempuan berusia 18 tahun. (laporan Situasi Anak dan Perempuan
2000).
c. Anak yang diperdagangkan (trafiking anak).
Fakta yang ada menunjukkan korban trafiking sering kali digunakan untuk
tujuan eksploitasi seksual, bekerja pada tempat-tempat kasar dengan gajih yang
rendah seperti di perkebunan, jermal, pembantu rumah tangga (PRT), pekerja
restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, pengemis jalanan, selain
sebagai pelacur. Dari penggunaan korban, dapat dilihat pola-pola perdagangan
atau trafiking anak di Indonesia. Dalam setiap perdagangan anak selalu
terkandung unsur perekrutan, pemindahan, penipuan, kekerasan,eksploitasi atau
pemberian hutang dengan jaminan anak. Pihak yang terlibat dalam perdagangan
anak merupakan sindikat yang melibatkan keluarga, teman sebagai supplier atau
penjual. Daerah pengirim biasanya daerah miskin sedangkan penerima biasanya
kota-kota besar industri atau pariwisata bahkan lintas batas negara seperti ke
Singapura, Malaysia, Hongkong, Arab Saudi dan Taiwan.

10
Perekrutan biasanya terjadi dengan menggunakan alasan palsu antara lain untuk
dijadikan pembantu rumah tangga (PRT) di dalam maupun di luar negeri atau
bekerja di kota dengan iming-iming upah yang tinggi. Tidak ada jumlah yang
pasti, namun dapat dijumpai jumlah pekerja yang direkrut cukup banyak.
Bekerja sebagai PRT merupakan kesempatan yang mudah bagi anak perempuan
di desa yang tidak berpengalaman dengan pendidikan dan ketrampilan yang
rendah, selain itu bekerja di kota merupakan daya tarik tersendiri bagi kalangan
anak-anak muda di perdesaan. Data BPS tahun 1999 menunjukkan ada sebanyak
1.341.712 PRT di Indonesia, dengan 310.378 PRT atau sebanyak (23 persen)
adalah anak umur 10-18 tahun dengan perempuan sebanyak (93 persen)
sedangkan laki-laki sebanyak (7 persen). Walaupun tidak semua PRT
bermasalah, dalam beberapa kasus kondisi kerja yang ada dapat dikategorikan
sebagai bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Meskipun data yang ada sangat
minim, namun laporan media massa sering menunjukan adanya kekerasan fisik
dan seksual yang dialami oleh PRT dan biasanya pelaku atau majikan tidak
tersentuh oleh hukum.
Perekrutan anak untuk bekerja di jermal merupakan jenis perdagangan anak
lainnya. Kebanyakan anak di jermal bekerja siang dan malam tanpa istirahat
untuk menurunkan dan mengangkat jala, memilih dan mengasinkan ikan serta
memperbaiki jala. Kajian oleh ILO/IPEC menunjukan ada 140 jermal dan 28
tangkul (mini jermal) dengan terdapat rata-rata 3 anak umur dibawah 18 tahun
pada setiap jermal. Jenis-jenis perekrutan lainnya yakni untuk dijadikan
pengemis, pemulung di tempat-tempat pembuangan sampah. Anak–anak
tersebut menghabiskan waktunya untuk bekerja di jalan dan tempat pembuangan
sampah dengan mengumpulkan bahan-bahan atau sampah yang dapat di daur
ulang. Melihat pola kerjanya tidak memungkinkan bagi anak-anak tersebut
untuk mengikuti pendidikan sebagai hak dasar mereka ataupun jika sempat
anak-anak tersebut telah kelelahan. Selain itu, akses kepada pelayanan kesehatan
dan kesejahteraan sosial lainnyapun sangat rendah.
Berbagai faktor yang berhubungan dengan trafiking anak yaitu :
 Kondisi keluarga karena pendidikan rendah, kemiskinan, keterbatasan
kesempatan dan gaya hidup konsumtif
 Nilai tradisional yang menganggap anak merupakan hak milik yang dapat
diperlakukan sekehendak orang tua selain adanya bias gender dan status
perempuan yang dianggap masih rendah di kalangan masyarakat.
 Jangkauan pencatatan akta kelahiran yang masih rendah yang
memungkinkan terjadinya pemalsuan umur dan identitas lainnya.
 Perkawinan usia muda beresiko tinggi bagi seorang perempuan, terlebih jika
diikuti dengan kehamilan dan perceraian. Data Supas 1995 menunjukkan
angka perceraian pada pernikahan umur 10-14 tahun sebesar 9,5 persen
ternyata 2 kali lebih banyak dibandingkan dengan pernikahan umur 15-19
tahun sebesar 4,9 persen. Ketika seorang anak perempuan bercerai maka ia
kehilangan status dan hak-hak anaknya, perawatan dan tanggung jawab
orang tuanya serta telah dianggap sebagai orang dewasa independen. Anak
perempuan tersebut akan mudah terjerumus pada kasus trafiking atau
perdagangan anak.

11
 Migrasi terutama pekerja migran menurut KOPBUMI (Konsorsium Pembela
Buruh Migran Indonesia) pada tahun 2001 penempatan buruh migran ke luar
negeri setidaknya sebanyak 74.616 orang telah menjadi korban dari proses
trafiking.
 Kekerasan terhadap perempuan dan anak mengakibatkan mereka
meninggalkan rumah kemudian menjadi korban trafiking dan bekerja di
tempat-tempat yang beresiko tinggi.
 Konflik sosial dan perang yang terjadi dalam 5 tahun terakhir di Indonesia,
diperkirakan turut menyumbang terjadinya kasus-kasus perdagangan anak.
Berdasarkan laporan Trafficking in Persons Report (Juli 2001) yang diterbitkan
oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bekerja sama dengan ESCAP
(Economy Social Commission on Asia Pacific) telah menempatkan Indonesia
pada peringkat Tier III. Negara yang dikategorikan Tier III adalah negara yang
memiliki korban perdagangan orang dalam jumlah besar, sebagai wilayah
pengirim perdagangan orang, pemerintahnya belum menerapkan standar
minimum dan melakukan usaha-usaha yang berarti dalam mencegah dan
menanggulangi trafiking.
Pemerintah Indonesia telah menyetujui berbagai kesepakatan dan instrumen
internasional di bidang trafiking seperti yang telah diuraikan pada perdagangan
anak untuk tujuan seksual komersial, kemudian pada tahun 1998 Indonesia
menyepakati Bangkok Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in
Women and the Asian Regional Initiative Against Trafficking (ARIAT) yang
merupakan rencana aksi regional dalam memerangi dan mencegah trafiking
perempuan dan anak.
Selain itu, amanat TAP MPR No. X/MPR/2001 menugaskan kepada eksekutif
untuk meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1949 tentang Larangan
Perdagangan Perempuan (Convention for the Suppression of the Traffic in
Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others) dan membentuk
badan/lembaga atau gugus tugas untuk memberantas perdagangan perempuan
dan anak.
Pemerintah melalui Keppres No. 88 tahun 2002 telah menetapkan Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak serta menetapkan
Gugus Tugas untuk memerangi dan menghapus kejahatan trafiking. Bidang
garapan yang akan diimplementasikan yakni perlindungan dengan mewujudkan
norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku trafiking, pencegahan segala
bentuk trafiking, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi korban trafiking serta
mewujudkan kerjasama dan koordinasi dalam penanggulangan trafiking. Salah
satu upaya di bidang perlindungan yaitu penyusunan naskah akademis untuk
dasar penyusunan Rancangan Undang-undang Anti Trafiking Perempuan dan
Anak yang akan diajukan kepada DPR-RI dalam tahun 2003 ini. Pada dekade
yang akan datang diharapkan pola dan kasus trafiking anak di Indonesia
berkurang jumlahnya, terlindungi oleh peraturan perundang-undangan disertai
penegakan hukum (prosekusi) bagi pelaku trafiking dengan sanksi hukum dan
adanya pelayanan rehabilitasi serta reintegrasi bagi korban trafiking (RAN-
Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak 2002, Indikator dan Profil Anak
2002, Irwanto Ph.D).

12
Modus Perdagangan anak dilakukan untuk tujuan penyediaan pembantu rumah
tangga, pelacuran, mengemis jalanan, mengedarkan narkotika, eksploitasi di
tempat-tempat kerja berbahaya seperti jermal, pertambangan, perkebunan, dsb.
Masalah ini telah dikenal lama dan saat ini dikenal pula perekrutan anak untuk
perang (konflik) dan modus-modus perdagangan anak lainnya.
d. Pengungsi anak dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
Latar belakang pengungsi anak di Indonesia beragam sekali, dari jenis
pengungsi internal (internally dislaced) sampai kepada pengungsi lintas batas
negara (refugee). Ada yang disebabkan oleh International Armed Conflict
(Timor Timur), Konflik Komunal dan Sosial (Maluku, Kalbar, Poso), konflik
separatis ( Nanggroe Aceh Darusalam, Papua) serta migrasi lintas batas (TKI).
Data yang dikumpulkan oleh Kantor Bakornas Penanggulangan Bencara dan
Penanganan Pengungsi (PBP) (Mei 2002) menunjukkan terdapat sebanyak
1.245.874 jiwa pengungsi di seluruh Indonesia, diperkirakan 38-43 persen
pengungsi adalah anak-anak. Data Departemen Sosial 2001 menunjukkan
korban konflik komunal/sosial sekitar 400.000 adalah anak-anak tersebar di 24
propinsi di Indonesia. Kondisi dan situasi anak yang berada di kamp-kamp
pengungsian cukup memperihatinkan. Selain kekurangan pangan dan gizi,
mereka juga menderita penyakit, putus sekolah dan bahkan meninggal dunia.
Banyak anak-anak terpisah dari orang tuanya, menjadi yatim-piatu dan
perempuan menjadi janda akibat suaminya tewas dalam konflik tersebut.
Indikasi menunjukkan bahwa terdapat anak-anak di bawah 18 tahun terlibat aktif
dalam konflik bersenjata di Nanggroe Aceh Darusalam dan Timor Timur
sebelum referendum. Berbagai upaya kemanusiaan telah dilakukan untuk
mengatasi pengungsi anak (Internaly Displaced Children) dibawah koordinasi
Bakornas PBP. bersama-sama Pemerintah Daerah, PMI, LSM, para relawan dan
lembaga-lembaga donor internasional meliputi upaya-upaya pencegahan,
tanggap darurat/penyelamatan, penampungan, pemulangan, pemberdayaan dan
pemukiman kembali ke daerah asal, relokasi atau bertransmigrasi ke wilayah
lain. Permasalahan yang dijumpai dalam penanganan pengungsi, di samping
terbatasnya tenaga lapangan, juga dikarenakan lemahnya koordinasi dan
kerjasama antara instansi terkait dengan pemerintah daerah yang telah otonom,
lembaga non pemerintah dan lembaga donor internasional. Sementara itu, anak
yang terpisah dari orang tua pasca referendum Timor Timur sebanyak 394 anak
tersebar di beberapa propinsi (Juli 2002), sedangkan jumlah permintaan
reunifikasi sebanyak 57 anak yang akan diusahakan melalui kerjasama tripartite
antara pemerintah Indonesia, Timor Leste dan UNHCR demi kepentingan
terbaik bagi anak. Indonesia sebagai negara yang menyetujui International
Humanitarian Law berusaha untuk memenuhi instrumen standar tersebut,
namun belum efektif karena adanya berbagai kendala. Antara lain belum
diratifikasi berbagai konvensi atau protocol yang berkaitan dengan status
pengungsi, termasuk belum ada aturan baku untuk perlindungan bagi pengungsi
internal. Indonesia sebagai wilayah rawan bencana alam dan konflik
sosial/komunal yang melahirkan pengungsian sudah sepatutnya meratifikasi
berbagai konvensi dan protokol yang berkaitan dengan status pengungsi sebagai
instrumen standar dalam penanganan pengungsi (Bakornas PBP & UNHCR).
Pengungsi anak, menurut Bakornas PBP berjumlah 40 persen dari seluruh
jumlah pengungsi. Sampai 1 Maret 2001, jumlah pengungsi adalah 1.081.341

13
jiwa atau 240.840 KK yang tersebar di 20 propinsi. Khusus pengungsi Aceh per
29 Juli 2003, Departemen Sosial mencatat sebanyak 30.814 jiwa, dan 30 persen
diantaranya adalah anak-anak.
e. Anak tanpa akta kelahiran.
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah
memberikan pengakuan legal terhadap hak anak atas suatu nama, status
kewarganegaraan, mengetahui dan sejauh mungkin diasuh oleh kedua orang
tuanya. Selain itu, Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyatakan bahwa identitas anak yang menyangkut nama, jenis kelamin,
tanggal lahir, hubungan orang tua, kewarganegaraan harus diberikan sejak lahir
dan dituangkan dalam akta kelahiran. Pembuatannya menjadi tanggung jawab
pemerintah dan harus diberikan paling lambat 30 hari sejak diajukan
permohonan. Pengakuan legal atas jati diri seseorang sangat penting karena
pengakuan tersebut dikaitkan dengan pelayanan dan perlindungan yang
disediakan oleh negara bagi setiap warganya. Tanpa pengakuan tersebut,
seseorang akan kehilangan hak-hak dasarnya yang sangat vital bagi
kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, akta kelahiran atau pencatatan
kelahiran merupakan hak dasar pertama yang penting, diperkirakan
jangkauannya hanya sekitar 50-69 persen anak tercatat saat lahir dari sekitar 78
juta anak umur (0-18 tahun) ( Unicef, Progress of Nations, 1998).
Hasil kajian menunjukkan sangat besar variasi jangkauan antara desa dan kota
yaitu sekitar 20-30 persen. Pencatatan kelahiran yang rendah kemudian
jangkauan pelayanan yang terbatas menjadikan kendala bagi pencatatan
kelahiran oleh orang tua, tidak membudaya di kalangan masyarakat terutama di
daerah terpencil, selain faktor biaya, jarak dan ketidak tahuan manfaat serta
kegunaan akta kelahiran. Kajian yang dilakukan oleh Plan Internasional (1998)
terhadap anak asuhnya sebanyak 400 anak umur (0-18 tahun) mengindikasikan
sebagai berikut :
 dari 368 dari 400 responden hanya 28 persen yang tercatat sedangkan 72
persen tidak tercatat kelahirannya
 dari yang tercatat hanya 80 persen yang dapat menunjukkan akta kelahiran, 2
persen akta kelahiran berada atau disimpan di tempat lain
 tingkat pencatatan kelahiran di kota (43 persen) lebih baik dibandingkan di
desa (36 persen)
 hanya 29 persen yang melakukan pencatatan kelahiran dalam tempo 60 hari
sisanya 71 persen di atas tempo 60 hari kerja.
 di antara yang tidak tercatat kelahirannya karena ketidak tahuan bahwa akta
kelahiran dibutuhkan (37 persen), mahal (26 persen), tidak tahu prosedur (14
persen), sisanya alasan lain-lain.
 dari 10 persen responden pada saat validasi hanya 21 persen saudara
kandungnya yang tercatat kelahirannya, sementara itu 12 persen di antara
ibunya dan 11 persen diantara ayahnya yang tercatat kelahirannya.
Data terakhir tentang kepemilikan akta kelahiran ditunjukkan oleh
SUSENAS 2001 seperti tabel berikut :

14
Persentase anak umur 0-4 tahun menurut kepemilikan akta kelahiran
dan daerah tempat tinggal 2001.
Kepemilikan akta Perkotaan Perdesaan Perkotaan +
kelahiran (%) (%) Perdesaan (%)
Punya, dapat 39,86 14,67 25,07
ditunjukkan
Punya,tidak dapat 18,30 11,84 14,50
ditunjukkan
Tidak punya 41,18 72,04 59,30
Tidak tahu 0,66 1,45 1,13
Total 100,00 100,00 100,00
Sumber: Susenas, 2001, BPS.
Pada hal, akta kelahiran merupakan :
 pengakuan pertama negara atas keberadaan dan status hukum seorang anak
 alat dan data dasar bagi pemerintah untuk perencanaan menyusun anggaran
nasional dalam memenuhi hak-hak anak di bidang pendidikan, kesehatan,
dan kebutuhan dasar lainnya bagi anak.
 fasilitas dalam memasuki pendidikan dasar 9 tahun untuk mendukung
pelaksanaan umur minimum mengikuti sekolah
 mencegah pemalsuan umur dan lebih lanjut mencegah perkawinan di bawah
umur 16 tahun, kekerasan seksual dan trafiking anak
 perlindungan anak dari pelanggaran yang terjadi pada sistem peradilan anak
Oleh karena itu, akta kelahiran memegang peranan yang sangat penting didalam
memberikan perlindungan kepada anak. Diperlukan upaya-upaya mendasar
dengan melakukan perubahan mendasar pada hukum perdata yang berlaku
dengan tidak membagi-bagi penduduk berdasarkan golongan, etnik,
agama,gender, kelas ekonomi, kelompok minoritas, anak diluar nikah dan anak
jalanan yang semuanya bersifat sangat diskriminatif. Dasar hukum bagi
pencatatan kelahiran masih menggunakan Ordonansi yang diberlakukan sejak
penjajahan Belanda yang mengelompokan penduduk atas dasar ras dan agama.
Ordonansi tersebut masih berlaku hingga kini dengan beberapa amandemen
yang mengubah ketentuan-ketentuan utama dalam sistim pencatatan kelahiran
dalam bentuk keppres dan instruksi menteri. Dasar-dasar hukum sistim
pencatatan kelahiran ini perlu dilakukan reformasi hukum dan harmonisasi
dengan instrumen hukum nasional yang ada dan instrumen hukum internasional
yang telah disetujui pemerintah Indonesia.
Farid (1999) menganalisis faktor di balik rendahnya pencatatan kelahiran di
Indonesia antara lain adanya :
 Hambatan struktural berupa sistim pencatatan territorial dalam bentuk KSK
dan KTP versus sistim pencatatan kelahiran dalam bentuk Akta Kelahiran,
ternyata manfaat KTP yang ekstensif dibandingkan Akta Kelahiran membuat
penduduk tidak menyadari arti penting pecatatan kelahiran, sebaliknya
semua orang menyatakan KTP sangat diperlukan.
 Surat Keterangan Kenal Lahir dan Surat Kelahiran Desa/Kelurahan. Dahulu
SKKL dikeluarkan sebagai pengganti Akta Kelahiran sedangkan Surat
Kelahiran Desa/Kelurahan dikeluarkan sebagai syarat untuk melakukan
pencatatan kelahiran, namun ternyata dapat dipakai sebagai pengganti Akta

15
Kelahiran. Meskipun SKKL telah berkurang, namun kedua surat keterangan
tersebut ikut menurunkan permintaan Akta Kelahiran dan rendahnya tingkat
pencatatan kelahiran.
 Faktor-faktor supply seperti kehilangan manfaat, kepedulian negara, kendala
anggaran dan birokrasi yang tidak bersahabat serta hambatan struktural
lainnya.
 Faktor sosio-budaya seperti suku asli, budaya khusus, dll.
 Faktor-faktor demand seperti tidak mengetahui manfaat, tingkat
pengetahuan, hambatan geografis, biaya dan administratif .
Hal ini, dapat dilihat pada tabel berikut :
Persentase anak umur 0-4 tahun yang tidak mempunyai akte kelahiran
menurut alasan tidak memiliki dan daerah tempat tinggal
Perkotaan +
Alasan Perkotaan (%) Perdesaan (%) Perdesaan
(%)
Biaya mahal/tidak ada 28,42 22,18 23,97
biaya
Perjalanan jauh 3,44 9,82 7,99
Tidak tahu kalau harus 12,52 17,83 16,31
dicatat
Tidak tahu cara 14,16 22,82 20,34
mengurus
Tidak merasa perlu 14,16 22,82 20,34
Lainnya 40,29 26,92 30,74
Tidak tahu 4,73 7,98 7,05
Sumber: Susenas 2001, BPS.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memperluas jangkauan
pencatatan kelahiran adalah:
 perlunya legislasi di tingkat nasional yang mencerminkan semangat serta
prinsip HAM dan hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Undang-undang
No. 39 tahun 1999 dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Dalam hal ini perlu perubahan paradigma bahwa
pancatatan kelahiran adalah hak bukan kewajiban dimana setiap orang harus
tunduk memenuhinya, tetapi juga bukan previlese dimana setiap orang
harus memohon-mohon kepada pemerintah (Farid 1999).
 mengkaji ulang dan mengamandemen Undang-undang yang relevan dengan
masalah pencatatan kelahiran seperti misalnya Undang-undang No. 62 tahun
1958 tentang Kewarganegaraan dan No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
 mengurangi kendala struktural, administratif, politis, dan anggaran
 memperluas jangkauan pelayanan dengan melibatkan RS, Klinik Bersalin
dan para dokter serta bidan agar mendorong para orang tua untuk segera
mencatatkan kelahiran anak mereka dan meminta RS, Klinik Bersalin,
dokter dan bidan menyediakan pelayanan pengurusan pencatatan kelahiran
sebagai bagian dari pelayanan persalinan yang mereka lakukan.
 selain itu perlu kampanye publik dan sosialisasi tentang arti dan manfaat
pencatatan kelahiran yang dituangkan ke dalam akta kelahiran kepada
masyarakat secara luas,

16
 menggalang kerjasama dan bantuan lembaga-lembaga internasional agar
segera tercapai Universal Birth Registration di Indonesia.
f. Anak korban kekerasan (fisik dan/mental) dan perlakuan salah (child
abuse).
Belum ada data yang akurat karena masalah ini dianggap masalah domestik
keluarga yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Laporan Komnas-PA
mencatat sekitar 871 anak yang mengalami tindak kekerasan dan 80 persen
menimpa anak di bawah umur 15 tahun. YKAI antara tahun 1994-1997
mencatat dari pemberitaan 3 media massa terdapat 538 kasus perlakuan salah
secara seksual, 80 kasus perlakuan salah secara fisik, 63 kasus penelantaran, 5
kasus perlakuan salah secara psiko-emosional. Pelaku child abuse adalah orang
yang dikenal anak (66 persen), termasuk orang tuanya (7,2 persen). Sebanyak
476 kasus kekerasan anak terjadi di rumah, sekolah dan tempat-tempat umum,
berbentuk kekerasan fisik, mental dan seksual. Untuk kekerasan seksual
sebanyak 289 kasus pada tahun 1996, pelaku ayah (19 kasus) dan guru (118
kasus). Data dari Korps Reserse POLRI (Pusat Korwas PPNS) yang
dikumpulkan dari seluruh Polda di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut :
Rekapitulasi Korban Kekerasan dari RPK
di wilayah hukum POLDA seluruh Indonesia ( 1999-2002 )
Wilayah Hukum Jumlah
No. Jenis kekerasan
Polda korban
1. Aceh - -
2. Sumut Perkosaan, perbuatan cabul, tarfiking, melarikan anak perempuan 8
3. Riau - -
4. Sumbar - -
5. Sumsel - -
6. Lampung Perkosaan, perbuatan cabul, melarikan anak 22
7. Bengkulu Perkosaan, perzinahan, melarikan anak perempuan, bigamy, 90
penganiyaan, pengeroyokan, pembunuhan, pencurian
8. Jambi - -
9. Metro Jaya - -
10. Jabar - -
11. Jateng Perkosaan, perbuatan cabul, melarikan anak perempuan, 159
pelecehan, perzinahan, penganiyaan, pembunuhan
12. Jatim - -
13. Bali - -
15. NTB Perkosaan, aborsi, penganiyaan, pelecehan nama baik 6
16. NTT Perkosaan, pencabulan, perzinahan, penganiyaan, penghinaan 277
17. Kalbar Perkosaan, perzinahan, penganiyaan 26
18. Kaltim Perkosaan, perbuatan cabul, perzinahan, melarikan anak 114
perempuan, penganiyaan, bigamy, pencurian, penipuan
19. Kalteng Perkosaan, perzinahan, pencabulan, melarikan anak perempuan, 6
penganiyaaan
20. Kalsel Perkosaan, perzinahan, pencabulan, melarikan anak perempuan, 86
penganiyaaan
21. Sulsel - -
22. Sultra - -
23. Sulut Penganiyaan 1
24. Sulteng - -
25. Maluku - -
26. Papua Perkosaan, perzinahan, pencabulan, melarikan anak perempuan, 15
penganiyaaan, psikotropika
Total 810

17
Sumber: Korps Reserse POLRI (Pusat Korwas PPNS), 2002.
Ruang Pemeriksaan Khusus dibentuk di jajaran kepolisian untuk bisa
memberikan pelayanan khususnya kepada perempuan dan anak yang menjadi
korban kekerasan (fisik dan/atau mental), agar korban dapat melaporkannya
dalam ruang tertutup, nyaman dan aman kepada Polwan yang bertugas secara
empatik, penuh pengertian dan professional. Selain itu, telah dibentuk pula Pusat
Krisis Terpadu (PKT) berbasis rumah sakit yang dimotori oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan
Kepolisian RI untuk menangani masalah kekerasan pada perempuan dan anak
secara terintegrasi.
Anak jalanan sangat rentan terhadap tindakan kekerasan baik fisik, mental dan
seksual. Umumnya anak jalanan mengalami eksploitasi di tempat-tempat umum,
perkosaan, kehamilan tanpa ayah, ditolak masyarakat dan hampir tidak ada
akses kepada pelayanan kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial dan
informasi penting lainnya.
Bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak Indonesia ini meliputi fisik,
emosional, sosial dan seksual. Banyak kasus tidak terpublikasikan, sehingga
belum ada data lengkap tentang hal ini. Namun berdasarkan pemantauan
terhadap 13 media cetak selama tahun 1994 s/d 1997, YKAI melaporkan 538
kasus perlakuan salah secara seksual, 80 kasus perlakuan salah secara fisik, 63
kasus penelantaran, dan 5 kasus perlakukan salah secara emosional. Pelaku child
abuse ini adalah orang yang dikenal anak (66 persen), termasuk orangtuanya
sendiri (7,2 persen).
g. Anak korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika
dan zat adiktif lainnya (napza).
Kondisinya cenderung meningkat dan semakin parah, data Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati, Jakarta sampai akhir tahun 2000
memberikan gambaran tersebut. Penderita berobat jalan menjadi 6.196 orang
(2000) meningkat dari 4.432 orang (1999). Data ini tidak menggambarkan
jumlah korban pemakaian napza yang sebenarnya dan diperkirakan jumlahnya
lebih besar lagi. Anak korban penyalahgunaan napza banyak di dominasi
kelompok umur remaja bahkan kelompok umur yang amat muda yaitu di bawah
15 tahun. Hal ini, dilatar belakangi kondisi kepribadian yang masih labil dan
pengaruh lingkungan dimana remaja tinggal dan bersosialisasi. Pada tahun
1995-1996 rawat inap kelompok umur ini mecapai 2 persen dan 3 persen sedang
rawat jalan berturut-turut sebanyak 8,8 persen dan 12,6 persen. Kelompok umur
lainnya yaitu umur (15-19 tahun) dan (20-24 tahun), namun sampai akhir tahun
2000 kelompok umur (20-24 tahun) semakin dominan (Indikator dan Profil
KPA 2002). YKAI mengestimasi pecandu napza di Indonesia telah mencapai
1,5 juta orang dan di Jakarta saja diperkirakan sekitar 130.000 orang, sebagian
besar pecandu berumur di bawah 18 tahun. Angka sebenarnya diperkirakan
mendekat 3 juta dengan jumlah pecandu anak di bawah 18 tahun mendekati
500.000-1.500.000 anak.
Penggunaan narkoba suntikanpun saat ini, cenderung meningkat dan beresiko
menularkan berbagai penyakit melalui jarum suntik yang digunakan secara
bersama-sama seperti Hepatitis dengan prevalensi sekitar 60-80 persen dan HIV
dengan prevalensi sekitar 40-60 persen. Penelitian yang dilakukan di sebuah

18
klinik ketergantungan obat di Jakarta menunjukkan 543 (75 persen) pecandu
adalah pengguna narkoba suntikan dan 71 persen diantaranya telah menyuntik
selama 1-4 tahun. Survei lain di dua kelurahan di Jakarta tahun 1990
menunjukkan bahwa 60-70 persen dari remaja (di bawah 18 tahun) merupakan
pengguna nakoba dan 60 persen dari pengguna tersebut adalah pengguna
narkoba suntikan (Syamsurizal Jauzi,1999).
Pemerintah melalui Keppres No. 17 tahun 2002 telah membentuk Badan
Narkotika Nasional (BNN) yang bertugas melaksanakan koordinasi dengan
instansi pemerintah terkait dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaaan dan peredaran gelap napza. Kemudian melalui
Inpres No. 3 tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif lainnya
telah memerintahkan kepada instansi terkait untuk mengambil langkah-langkah
yang diperlukan dalam rangka penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran
narkotika gelap dengan melakukan koordinasi dengan Badan Narkotika
Nasional di tingkat nasional maupun daerah. Dari sisi legislasi yaitu Undang-
undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, kurang memberikan
perlindungan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.
Anak yang menggunakan dan mengedarkan narkotika dan psikotropika dapat
dikenai sanksi sebagai offenders.
Kelihatannya masalah penyalah gunaan napza sudah tidak dapat diselesaikan
dengan pendekatan formalistik hukum, kecaman sosial ataupun agama,
melainkan diperlukan penegakan hukum dan sanksi hukum yang tegas dan berat
bagi para produsen, pengedar dan pelaku (traffickers).
h. Anak jalanan.
Krisis ekonomi telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin meningkat yang
menyebabkan peningkatan jumlah kelompok rentan termasuk anak telantar dan
anak jalanan. Fenomena sosial anak jalanan terutama terlihat nyata di kota-kota
besar setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia. Hasil kajian Departemen Sosial
tahun 1998 di 12 kota besar, melaporkan jumlah anak jalanan sebanyak 39.861
anak dan sekitar 48 persen adalah anak-anak yang baru turun ke jalan sejak
tahun 1998. Secara nasional diperkirakan sebanyak 60.000-75.000 anak jalanan
dan 60 persen putus sekolah serta 80 persen masih ada hubungan dengan
keluarganya, serta sebanyak 18 persen adalah anak jalanan perempuan yang
beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kahamilan diluar nikah
dan terinfeksi PMS serta HIV/AIDS. Umumnya anak jalanan hampir tidak
mempunyai akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan dan perlindungan,
keberadaan mereka ditolak oleh masyarakat dan sering mengalami penggarukan
(sweeping) oleh pemerintah kota setempat.
Penanganan anak jalanan telah dilakukan oleh pemerintah sejak terjadinya krisis
ekonomi berlangsung melalui rumah singgah dalam skema jaring pengaman
sosial (Social Safety Net). Pelayanan yang diberikan melalui rumah singgah
antara lain upaya penyelamatan anak jalanan, pelayanan dasar seperti pemberian
makanan tambahan (PMT), beasiswa, registrasi, tutorial, latihan ketrampilan,
reunifikasi keluarga, bimbingan kewirausahaan dan penyuluhan sosial.
Penanganan anak jalanan perlu dilanjutkan mengingat anak jalanan sangat
rawan, hak-haknya tidak tidak terpenuhi, sangat rentan terhadap eksploitasi,
diperlakukan salah, ditelantarkan dan mengalami diskriminatif. Anak jalanan

19
berada dalam situasi yang buruk untuk kelangsungan hidup dan tumbuh
kembangnya. Dalam kondisi yang sudah parah anak jalanan cenderung
melakukan tindak kriminal dan mendorong terjadinya gangguan keamanan dan
instabilitas sosial, karena anak jalanan sering berada dalam lingkungan pelaku
kejahatan kota.
Dari kajian dampak pelayanan program jaring perlindungan sosial di 4 kota
besar (Yashinta 2001) terungkap bahwa alasan anak bekerja di jalan karena
membantu pekerjaan orang tua (71 persen), dipaksa membantu orang tua (6
persen), menambah biaya sekolah (15 persen) sedangkan alasan jajan, ingin
hidup bebas, dapat teman dll. (11 persen). Alasan ekonomi keluarga
kelihatannya pendorong utama anak bekerja di jalan, akibat kondisi anak
demikian, maka 13 persen anak jalanan mengalami putus sekolah. Anak dalam
usia sekolah, seharusnya tidak dibebani pekerjaan, selain untuk menimba ilmu
pengetahuan di sekolah. Bagi anak yang turun ke jalan untuk membantu orang
tua, pada umumnya seluruh penghasilan diberikan kepada orang tuanya. Anak
tersebut menjadi aset ekonomi keluarga dan ketergantungan ekonomi keluarga
yang akan mempersulit upaya-upaya menarik anak dari jalanan dan
mengembalikan mereka ke dunia anak-anak.
Kajian juga memperlihatkan, berbagai manfaat yang diterima anak jalanan dan
orang tuanya selama pelaksanaan program tersebut (1998-2000) terungkap
bahwa populasi anak jalanan berkurang (16 persen), kelangsungan pendidikan
anak terpelihara (68 persen), adanya altenatif pekerjaan selain di jalan (8
persen), berkembangnya usaha ekonomi orang tua anak jalanan (52 persen) dan
anak terhindar dari perlakuan kekerasan, eksploitasi, tindakan/perlakuan salah
dan penelantaran serta penurunan tindak kejahatan (94 persen).
Nampaknya program penanganan anak jalanan melalui Rumah Singgah masih
diperlukan dengan penekanan pada efisiensi dan efektifitas yang tinggi yang
menurut hasil kajian baru sekitar 14 persen dari 22 responden rumah singgah.
Pada dekade ke depan diperlukan kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan
perlindungan dan akses pelayanan publik serta upaya-upaya menekan jumlah
anak jalanan di Indonesia.
i. Anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, tercatat jumlah “anak
didik” di LAPAS Anak sebanyak 3.722 anak (Departemen Kehakiman dan
HAM, Agustus 2002). Di Indonesia anak mempunyai tanggung jawab hukum
pada umur 8 tahun sedangkan Beijing Rules menetapkan 12 tahun. Statistik
kriminal BPS memperlihatkan jumlah narapidana anak dari tahun 1995 sampai
dengan 1997 secara berturut-turut sebagai berikut 5.234 anak, 4.479 anak dan
4.079 anak, terlihat terdapat penurunan jumlah narapidana anak antara tahun
1995 hingga 1997, apakah karena efektivitas diberlakukannya Undang-undang
No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tentunya masih memerlukan kajian
lebih jauh, sementara peraturan pemerintah untuk pelaksanaan undang-undang
tersebut belum terformulasi. Kasus terbanyak dari anak-anak yang berhadapan
dengan hukum adalah pencurian (60 persen) dan perkelahian (13 persen). Anak
yang berhadapan dengan hukum selain dilihat sebagai subyek harus pula
diperhatikan adanya anak-anak yang merupakan korban dari tindakan hukum
orang dewasa seperti kasus-kasus ESKA, trafiking, anak yang mengalami abuse
dan anak jalanan di mana pelaku yang harus dikriminalisasi bukan anak-anak.

20
Sebagian besar dari narapidana anak dijatuhi hukuman kurang dari 1 tahun
dengan prosentase berturut-turut sebagai berikut 90 persen (1995), 87,6 persen
(1996), 88,5 persen (1997). Tidak ada narapidana anak yang dihukum seumur
hidup dan sebagian hakim lebih memilih memberikan putusan hukuman penjara
dari pada hukuman kurungan pengganti denda. Beijing rules menetapkan bahwa
hukuman penjara sebagai upaya terakhir. Kondisi di atas, tidak berarti materi
hukum, prosedur hukum dan aparat hukum yang ada telah harmonis dengan
berbagai instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan anak seperti
Konvensi Hak-hak Anak pasal 37 & 40, UN Guidelines for the Prevention of
Juvenile Deliquency (Ryardh Guidelines), UN Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) dan UN Rules for the
Protection of Juveniles Deprived their Liberty, dimana Indonesia turut
menyetujui.
Sesuai data yang ada pada Departemen Kehakiman dan HAM, bahwa jumlah
anak yang bermasalah dengan hukum yang terdapat dalam Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara seluruh Indonesia sampai bulan
Mei 2003 sebagaimana rincian sebagai berikut:

Jenis anak dalam Lapas


No. Jumlah Total Ket.
dan Rutan
1. Anak di Lapas L P
a. Napi Anak 1.874 95 1.969
b. Anak Negara 101 2 103
c. Anak sipil 3 - 3
Jumlah anak di Lapas 1.978 97 2.075

2. Anak di Rutan 894 35 929

TOTAL 2.872 132 3.004


Sumber: Dep. Kehakiman dan HAM (Mei, 2003)
Yang menjadi permasalahan dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak
anak yang bermasalah dengan hukum di Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan
adalah:
1. Tidak semua propinsi memiliki Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan anak.
2. Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan Anak belum mempunyai sarana dan
prasarana yang memadai sebagai tempat pembinaan dalam upaya
pemenuhan dan perlindungan hak anak.
3. Dengan adanya over kapasitas penghuni LP dan Rutan dewasa, khusus pada
kota-kota kadang-kadang terjadi penghuni LP dewasa dititipkan pada LP
anak.
Anak yang berkonflik dengan hokum, menurut BPS, setiap tahunya terdapat
lebih dari 4.000 perkara pelanggaran hokum yang dilakukan anak-anak di bawah
uis 16 tahun. Tahun 1994 terdapat 9.442 perkara, menurun pada tahun 1995
(4.724 perkara). Dari seluruh anak yang ditangkap sekitar separuhnya diajukan
ke pengadilan dan 83 persen dari mereka kemudia dipenjarakan. Anak yang
berkonflik dengan hukum meliputi juga Anak Nakal, yang menurut pengertian

21
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu anak yang
melakukan tindak pidana; atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hokum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Jumlah Anak Nakal yang dikatagorikan sebagai penyandang
masalah kesejahteraan sosial sebanyak 193.155 (Departemen Sosial, 2002).
Sesungguhnya anak yang berkonflik dengan hukum merupakan bagian dari anak
yang membutuhkan perlindungan khusus
j. Situasi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Sementara itu anak-anak yang menyandang cacat pada tahun 2002 jumlahnya
367.520 orang, sebagian besar belum tersentuh oleh program rehabilitasi.
Permasalahan anak-anak cacat pada umumnya karena keterbatasan kemampuan
dalam mengakses pelayanan dasar yang disebabkan kondisi orang tua yang
miskin. Selain itu permasalahan mendasar yang dialami penyandang cacat di
Indonesia adalah penyediaan aksesibilitas umum yang belum merata, baik
aksesibilitas fisik maupun non fisik.
Upaya ke arah pemberian perlindungan terhadap anak yang memerlukan
perlindungan khusus telah dimulai ketika pada tanggal 23 Juli 1997 bertepatan
dengan Hari Anak Nasional Presiden RI mencanangkan Gerakan Nasional
Perlindungan Anak (GNPA). Anak yang memerlukan perlindungan khusus
jumlahnya mencapai 6.686.936 anak.
Implementasi dari gerakan tersebut pada tahun itu juga telah diundangkan
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Pembentukan
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Pusat dan pada tingkat propinsi di
Indonesia. Undang-undang tentang Pengadilan Anak merupakan bentuk
komitmen Pemerintah untuk memberi perlindungan terhadap anak yang
mengalami konflik dengan hukum, sementara LPA dimaksudkan sebagai
lembaga Non Pemerintah yang memberikan advokasi, perlindungan dan solusi
terhadap permasalahan yang dihadapi anak. Dengan nomenklatur yang berbeda-
beda saat ini telah terbentuk LPA/institusi Perlindungan Anak di seluruh
Propinsi di Indonesia.
Upaya lain yang sudah dilakukan adalah membangun rumah/panti perlindungan,
trauma center, RPK, Lembaga Pemasyarakatan Anak, Panti Rehabilitasi Sosial
dan sebagainya.
k. Anak yang membutuhkan orang tua pengganti.
Mereka adalah anak yang berusia di bawah 5 tahun, dan hingga bulan Agustus
2003, Departemen Sosial mencatat 1115 anak, baik yang diadopsi melalui
prosedur domestic adoption (863), maupun inter-country adoption (252).
Namun demikian diperkirakan masih terdapat pengangkatan anak yang tidak
sesuai dengan ketentuan, yang di antaranya sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983, yang selanjutnya melahirkan
praktrek-praktek adopsi ilegal.
l. Anak dari kelompok minoritas.
Anak-anak dari kelompok minoritas baik suku bangsa, agama, bahasa atau
orang-orang asli berhak bermasyarakat dengan anggota lain dari kelompoknya
serta dijamin haknya untuk menikmati kebudayaannya, melaksanakan

22
agamannya dan menggunakan bahasanya sendiri. Berdasarkan Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial (Departemen Sosial, 1996) populasi komunitas
adat terpencil anak-anak di bawah 18 tahun. Pada umumnya anak-anak tersebut
belum tersentuh pelayanan pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dan
pelayanan kesejahteraan sosial lainnya. Tingkat kesejahteraan komunitas adat
terpencil umumnya termasuk kategori sangat miskin. Pemerintah melalui
berbagai kebijakan dan program berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial masyarakat terasing antara lain dilaksanakan oleh Departemen Sosial juga
oleh lembaga non pemerintah.
Bagi anak-anak di daerah terpencil kepada orang tua mereka dibangunkan
pemukiman baru dengan fasilitas sosial yang memadai sehingga dapat lebih
menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak. Di pemukiman ini anak-anak dapat
mengikuti pendidikan, pelayanan kesehatan, akses informasi/hiburan dan
transportasi umum. Sampai dengan tahun 2002, anak-anak dari Komunitas Adat
Terpencil yang telah memperoleh pelayanan sosial di pemukiman baru sebanyak
120.000 anak. Anak Komunitas Adat Terpencil, sebanyak 233.858 KK atau
939.432 orang dan 30 persen atau sekitar 282.000 di antaranya adalah anak-anak
(Departemen Sosial, 2002).
m. Anak penyandang cacat.
Data menunjukkan bahwa anak penyandang cacat sebanyak 358.738 anak
(Departemen Sosial, 2002). Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap deteksi
dini kecacatan dan kehamilan yang tidak diinginkan merupakan permasalahan
yang kerap muncul pada anak penyandang cacat. Penyandang cacat anak umur
(0-4 tahun) sebanyak 0,01 persen atau sekitar 57-58 anak umur (0-4 tahun) dari
setiap 10.000 penduduk. Penyebab kecacatan dibawa sejak lahir sebanyak 34,9
persen dan akibat kecelakaan dan bencana alam sebanyak 15,2 persen. Jenis
kecacatan yang banyak terjadi yaitu cacat tubuh (35,8 persen), cacat netra (17
persen), cacat rungu (14,27 persen), cacat mental (12,15 persen) dan lain-lain
kurang dari 7 persen (RIP KPA 2001). Kebijakan dan pelayanan bagi mereka
meliputi upaya-upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasi melibatkan
berbagai sektor terkait antara lain kesehatan, sosial, dan pendidikan.
Dari analisis situasi dan kondisi anak yang dicerminkan dari berbagai perlakuan
salah seperti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:
a. Perlakuan salah terhadap anak dapat dilakukan oleh orang perorang,
keluarga, masyarakat bahkan oleh negara sekalipun, selalu terdapat unsur-
unsur penyalahgunaan anak (abuse), kekerasan (fisik dan/atau mental),
eksploitasi (ekonomi, seksual), dan diskriminasi.
b. Perlunya penyadaran masyarakat dan para penyelenggara negara tentang
permasalahan tersebut
c. Diperlukan adanya kebijakan nasional yang komprehensif dan integral
sebagai payung dalam penanganan
d. Adanya reformasi hukum, peningkatan dan penegakan hukum dalam
memberikan perlindungan
e. Akses pelayanan publik yang terjangkau secara adil dan merata bagi anak-
anak tersebut baik yang bersifat pencegahan, remedial maupun pemulihan
dan reintegrasi sosial/keluarga

23
f. Perlu adanya struktur dan infra struktur dengan leading sector yang jelas
untuk penanganan
g. Mobilisasi sumber daya baik nasional, daerah, dan masyarakat
h. Koordinasi dan kerjasama baik lokal, nasional, regional dan internasional
i. Adanya sistem informasi yang menjangkau hasil-hasil survei atau laporan
kasus yang akurat untuk mendukung mekanisme penanganan
j. Partisipasi anak sebagai subjek diperlukan pada setiap langkah penanganan
melalui pemberdayaan anak yang bersifat bottom-up.
Penyebab masalah
Penyebab masalah anak yang memerlukan perlindungan dari perlakuan salah pada
umumnya dapat dibagi ke dalam :
a. Penyebab makro
Penyebab yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang pembangunan
sosio-ekonomi yang kurang tepat menyebabkan adanya kesenjangan
pembangunann antar wilayah, antar sektor, antar kelompok masyarakat dsb.
dengan akibat terjadi kesenjangan kesejahteraan dan kekayaan antar wilayah dan
kelompok masyarakat serta terjadi kemiskinan struktural, rendahnya kebijakan
peduli anak dari sektor di tiap tingkatan, tidak adanya sinkronisasi dan
harmonisasi peraturan perundangan-undangan tentang anak, penegakan hukum,
pengawasan dan bimbingan yang berkaitan dengan pelaksanaan program, dan
pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak yang lemah.
b. Penyebab meso
Penyebab yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan sosio-budaya masyarakat
seperti belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender pada masyarakat
patrilineal dan feodal, nilai sosio-budaya perkawinan dini, anak dipandang
sebagai aset orangtua untuk peningkatan ekonomi keluarga dsb.
c. Penyebab mikro
Penyebab yang berkaitan dengan diri anak dan keluarganya seperti anak lari dari
keluarga, anak ingin berpetualang, gaya hidup konsumerisme, kesulitan
berhubungan dengan keluarga dan tetangga, rendahnya pendidikan dan
keterampilan, degradasi moral, buta huruf, disfungsi keluarga, penelantaran,
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar anak, ditolak orang tua, salah
pengasuhan, kekerasan di rumah, terpisah dari orang tua dan keterbatasan
kemampuan orang tua merawat anak.
Faktor-faktor pengaruh
a. Politik
Dari sudut pandang politis kadangkala persoalan anak masih dianggap ringan
dan sering dibicarakan secara musiman. Di kalangan politisi persoalan anak
tidak masuk agenda politik barangkali karena dianggap anak tidak dapat
dijadikan pendukung politik dan bukan merupakan isu politik yang dapat dijual
pada saat kampanye Pemilu.
b. Ekonomi

24
Krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda Indonesia selain meningkatkan
permasalahan anak juga telah menurunkan kemampuan pemerintah dalam
penyediaan anggaran pembangunan untuk pengembangan sumberdaya manusia
yang di dalamnya terkait permasalahan anak yaitu pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah selama periode 1992-2000 mengalokasikan anggaran untuk sektor
pendidikan rata-rata hanya 6 persen dan kesehatan 3,9 persen, berapa yang
teralokasi untuk perlindungan anak belum diketahui secara pasti (bandingkan
dengan anggaran sektor pendidikan negara lain: Malaysia, Singapura di atas 10
persen, Rusia, China 25 persen). Dengan demikian, terlihat bahwa prioritas
terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak masih sangat kurang.
c. Hukum
Peraturan perundang-undangan tentang anak di Indonesia sebenarnya telah
banyak yang di buat oleh pemerintah bersama legislatif. Melalui ratifikasi
Konvensi Hak-hak Anak dengan Keppres No. 36 Tahun 1990, merupakan titik
tolak pengakuan hak-hak anak mengingat implikasi dari ratifikasi tersebut, maka
Indonesia berkewajiban memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
Konvensi Hak-hak Anak tersebut, melalui berbagai kebijakan nasional dan
peraturan perundangan. Namun secara faktual berbagai peraturan perundangan
tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya karena banyak Undang-undang
tersebut belum mempunyai Peraturan Pemerintah untuk menjalankannya. Di
samping itu, masih ada Undang-undang yang perlu diharmonisasi dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi Hak-hak Anak dan instrumen hukum
internasional lainnya.
d. Sosio-budaya
Faktor sosio-budaya seperti perkawinan dini usia (di bawah 16 tahun) masih
cukup dominan baik di daerah rural maupun urban di Indonesia, meskipun usia
perkawinan diantara anak perempuan telah meningkat pada periode terakhir ini.
Lima propinsi yang masih cukup tinggi perkawinan dini usia (Susenas 1997)
berturut-turut yaitu Jawa Timur (28 persen), Jawa Barat (27,2 persen),
Kalimantan Selatan (27 persen), Jambi (23 persen), dan Sulawesi Tengah (20,8
persen). Persentase perempuan umur (15-19 tahun) yang pernah kawin di daerah
rural (5 persen), tiga kali lebih banyak dibandingkan daerah urban (15,6 persen).
Hal ini, mencerminkan karena akses sekolah dan pelayanan kesehatan yang
lebih baik di daerah urban, adanya kesempatan/peluang kerja dan kurangnya
tekanan nilai sosio-budaya untuk segera kawin setelah haid pertama. Pekawinan
dini usia, jelas mempengaruhi hak anak untuk memperoleh pendidikan,
perkembangan kematangan kepribadian anak dan meningkatnya peceraian yang
mendorong anak terjerumus kepada perdagangan anak dan eksploitasi seksual
komersial anak/pelacuran yang beresiko tinggi tertular PMS/HIV/AIDS. Selai
itu, ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam masyarakat yang masih
patrineal dan feodal turut menentukan peranan dan kedudukan anak perempuan
yang tidak setara dan adil dengan anak laki-laki terutama dalam keluarga
miskin.
e. Sektor/struktural
Kultur birokrasi di Indonesia masih belum berpihak kepada anak, bahkan
permasalahan anak masih dilihat secara sektoral belum dilihat secara
menyeluruh dan terpadu. Kebijakan peduli anak atau menjadikan kesejahteraan

25
dan perlindungan anak sebagai arus utama pembangunan sektor dan daerah
masih belum seperti yang diharapkan. Masih ada persepsi yang salah dari
sebagian sektor dan pemerintah daerah bahwa pembangunan kesejahteraan dan
perlindungan anak masih dianggap konsumtif dan tanpa memberikan kontribusi
bagi pendapatan daerah.

II. TUJUAN
Tujuan yang dirumuskan tidak terlepas dari tujuan pembangunan nasional
yang telah dirumuskan dalam GBHN 1999-2004 dan PROPENAS yaitu pembangunan
sumberdaya manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak
mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Pembangunan sumber daya manusia tersebut, harus dimulai sejak dini dari
masa dalam kandungan sampai anak usia 18 tahun yang mencakup di dalamnya :
a. hak hidup dan kelangsungan hidup, hak tumbuh kembang dan hak perlindungan
khusus dari perlakuan/tindakan salah
b. pelaksanaan dan penegakan hukum dari semua Undang-undang yang berkaitan
dengan perlindungan anak,
c. pelaksanaan Rencana Aksi Nasional yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Tujuan yang dirumuskan akan sejalan dengan tujuan dari World Fit For
Children (WFFC), Milleneum Development Goals (MDG), berbagai instrumen
internasional lainnya yang telah disetujui pemerintah Indonesia dalam menentang
trafiking anak, ESKA, anak yang berhadapan dengan hukum dan Universal Birth
Registration.
Untuk itu, dirumuskan tujuan sebagai berikut :
Tujuan umum: Anak Indonesia terlindungi dari berbagai bentuk perlakuan/
tindakan salah.

III. OBJEKTIF/SASARAN :
Meningkatnya upaya-upaya perlindungan anak Indonesia dari berbagai
bentuk perlakuan/tindakan salah melalui berbagai bidang kegiatan yang akan dibagi
ke dalam:
a. Pencegahan
b. Perlindungan hukum
c. Pemulihan anak dan reintegrasi sosial / keluarga
d. Peningkatan koordinasi dan kerjasama baik tingkat lokal,nasional,regional
dan internasional.
e. Peningkatan partisipasi anak

Objektif dari masing-masing kegiatan dapat dilihat di dalam matriks berikut.

26
IV. KEBIJAKAN DAN STRATEGI
Kebijakan :
a. peningkatan kesadaran bagi penyelenggara negara dan masyarakat
tentang perlindungan anak
b. pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan perlindungan anak
terutama anak-anak yang berada dalam keadaan darurat / sulit.
c. reformasi hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak meliputi
aspek substansi, prosedur, prasarana/sarana, aparat dan budaya
hukum.
d. membangun jejaring kerja diantara pihak-pihak terkait baik di tingkat
lokal, nasional, regional dan internasional.

Strategi :
a. perlindungan anak dilakukan secara terpadu dan menyeluruh (tidak
hanya sektor perlindungan anak tetapi juga pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan perempuan, hukum & HAM, agama dsb.) dengan
melibatkan seluruh penyelenggara negara lainnya dan masyarakat
dalam jejaring kerja yang efisien, efektif dan kondusif.
b. prioritas diberikan kepada anak yang berada dalam keadaan darurat /
sulit beserta keluarganya, khususnya anak dari keluarga miskin agar
terjamin dan terpenuhi hak-haknya serta mengintegrasikannya ke
masyarakat.
c. penegakan hukum di bidang perlindungan anak secara konsisten dan
konsekuen dengan mengkriminalisasi pelaku kejahatan sedangkan
anak adalah korban dari kejahatan tersebut.
d. Pendayagunaan kelembagaan berbasis masyarakat sebagai pemantau
perlindungan anak di lini terdepan
e. perlindungan anak dilaksanakan melalui pendekatan partisipasi anak
mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi.

27
KEGIATAN UTAMA PERLINDUNGAN ANAK DARI BERBAGAI
PERLAKUAN SALAH TERMASUK KEKERASAN (FISIK DAN/ATAU
MENTAL), EKSPLOITASI (EKONOMI, SEKSUAL) DAN DISKRIMINASI
TAHUN 2003 S/D 2015

BIDANG:
i. PENCEGAHAN

OBJEKTIF :
a. Adanya model dan peta permasalahan untuk menentukan penyebab dan faktor
perlakuan salah terhadap anak
b. Diseminasi informasi tentang perlakuan salah terhadap anak serta upaya-upaya
pencegahannya ke seluruh lapisan masyarakat
c. Peningkatan upaya-upaya penyadaran masyarakat dan para penyelenggara
negara tentang anak-anak yang diperlakukan salah melalui berbagai media
massa
d. Perluasan akses pelayanan publik kepada anak-anak yang diperlakukan salah
secara adil dan merata

28
Keluaran Kegiatan Jadual Penanggungjawab Indikator Mitra
a. Kajian untuk  melakukan kajian: Mulai 2004  KPP  Kajian dilaksanakan  Departemen/
menentukan penyebab - secara regional  Bappenas secara regional Kementerian terkait
dan faktor perlakuan tentang perlakuan  Pemprop  Tersedianya model &  Perguruan Tinggi
salah terhadap anak salah terhadap anak  Pemkab/kota peta permasalahan  Pakar anak
- tentang pelaku dan anak yang
jaringan kerjanya diperlakukan salah
- case study dari anak
korban
- sumber daya
 seminar secara regional
dengan pakar anak
 membuat model/peta
permasalahan

a. S  Melakukan kampanye publik Mulai 2003  Menko Kesra,  Terlaksananya  LSM/ORMAS


osialisasi Undang- secara ekstensif melalui  KPP, kampanye publik melalui  Kelompok/
undang Perlindungan berbagai media cetak dan  Bappenas, berbagai media termasuk organisasi anak
Anak dan undang- elektronik misal iklan  Depsos, media cetak & elektronik  Sekolah-sekolah
undang lain yang layanan masyarakat tentang  Meninfokom,  Laporan kampanye  Depdiknas
berkaitan dengan anak, undang-undang dan hak-hak  Pemprop, secara berkala  Depsos
serta berbagai RAN dan anak atas per-lindungan dari Pemkab/kota  Depag
Hak-hak anak atas berbagai perlakuan salah  Media massa
perlindungan dari ber-
bagai tindakan salah
ke seluruh lapisan
masyarakat

29
Keluaran Kegiatan Jadual Penanggungjawab Indikator Mitra
 mengintegrasikan 2003-2015  Depdiknas,  Tersedianya modul  LSM/ORMAS
pendidikan hak-hak anak  Depag, pendidikan hak-hak anak  Kelompok/
dan pencegahan dari  KPP, dan pencegah-an yang organisasi anak
berbagai perlaku-an salah  Pemprop, diintegrasi-kan ke dalam  Sekolah /madrasah
kedalam kurikulum SD, Pemkab/kota kuri-kulum SD,SLTP,
SLTP, SMU/madrasah SMU/madrasah
b. P  Menyediakan akses bagi 2003-2015  Depdiknas,  Meningkatnya Angka  Departemen/
erluasaan jangkau- pemenuhan:  Bappenas, Partisipasi Sekolah Kementerian terkait
an /akses pelayanan: - pendidikan dasar 9 tahun  Depag, Murni  LSM/ORMAS
- Pendidikan dasar kepada anak-anak usia  Depkes,  Drop-out sekolah
(BEFA) sekolah  Pempprop, turun/rendah
- jaminan sosial / - jaminan sosial / beasiswa Pemkab /kota  Tersedianya jaminan
beasiswa bagi anak tak mampu sosial / beasiswa
- pelayanan - pelayanan kesehatan berbasis program dan
kesehatan masyarakat
 Cakupan pelayan-an
kesehatan bagi anak-
anak meningkat.
c. Peningkatan  Melakukan kampanye Mulai 2003  BKKBN,  Usia kawin pertama  Departemen/
kesadaran masyarakat penundaan usia perkawian  Depkes, meningkat Kementerian terkait
tentang penundaan  Sosialisasi Kesehatan  Depag,  Masalah kesehatan  LSM/ORMAS
usia perkawinan dan Reproduksi anak dan  Depsos, reproduksi anak dan  Org. Profesi
masalah kesehatan remaja.  KPP, remaja menurun.
reproduksi anak dan  Pemprop,
remaja. Pemkab/Kota

30
Keluaran Kegiatan Jadual Penanggungjawab Indikator Mitra
6. Peningkat  Melakukan sosialisasi dan 2003-2015  Kementerian  Terlaksananya Program  Departemen/
an peran dan kampanye di lingkungan Kebudayaan dan kampanye di Kementerian terkait
tanggung jawab industri pariwisata guna Pariwisata, lingkungan industri  Pelaku Industri
pelaku industri menolak dan mencegah  Meninfokom, pariwisata Pariwisata
pariwisata dalam ESKA, PMS/HIV/AIDS  Depkes,  Menurunnya kasus  LSM/ORMAS
pencegahan ESKA,  Pemprop, Pemkab/ ESKA, PMS/ HIV /  Komisi
PMS/HIV/AIDS Kota AIDS Perlindungan Anak
Indonesia
 Kelompok/ org.
anak
7. Berkemba  Menggalang komitmen guna 2004-2010  Depkeh & HAM, Terumuskannya:  Balegnas
ngnya sistim hukum memperkuat hukum pidana  BPHN,  Program pengua-tan  PT
yang kuat sebagai dan perdata nasinal yang  Kejaksaan Agung, hukum pidana dan  LSM/ORMAS
faktor deteren untuk lebih berorientasi pada  Polri, perdata  DPR
mencegah terjadinya perlindungan terhdap  Bappenas,  Amandemen hukum
berbagai perlakuan berbagai perlakuan salah  KPP. pidana dan perdata yag
salah terhadap anak terhadap anak berorientasi pada
perlindungan terhadap
perlakuan salah
8. Perluasan  Reformasi peraturan 2004-2010 Depdagri  Tersedianya peraturan  Departemen/
jangkauan perundang-undangan yang Menko KESRA, perundang-undang-an Kementerian terkait
pencatatan kelahiran. berkaitan dengan Pemprop catatan sipil  Balegnas
pencatatan kelahiran Pemkab/Kota  Tersedianya pelayanan  PT.
 Sosialisasi tentang manfaat sampai di tingkat  LSM/ORMAS
pencatatan kelahiran desa/kelurahan  DPR
 Memperluas jangkauan  Peningkatan kepemilikan  Meninfokom
pelayanan pencatatan akte kelahiran di seluruh
kelahiran wilayah
9. Peningkat  Seminar/workshop tentang Mulai 2003  Depdiknas,  Terselenggaranya  Department/
an pengetahuan, pencegahan dan  Depag, workshop, seminar, studi Instansi terkait,

31
Keluaran Kegiatan Jadual Penanggungjawab Indikator Mitra
peran dan partisipasi perlindungan anak dari  Depkes, banding, dan  PT/Lembaga
pembuat kebijakan, berbagai perlakuan salah  KPP, pendidikan/latihan Pendidikan
tenaga profesional  Studi banding tentang  Depsos.  Tersedianya bahan  LSM/ORMAS
dan relawan dalam materi terkait materi pelatihan
pencegahan dan  Pendidikan dan pelatihan
perlindungn anak dari bagi pembuat kebijakan,
berbagai perlakuan tenaga profesional dan
salah relawan.
10. Peningkat  Memasukkan materi-materi 2003-2015  Meninfokom,  Terselenggaranya  Department/Instansi
an peran dan abuse/  KPP, pemberitaan dan terkait,
kepedulian media kekerasan/eksploitasi di  Depsos tayangan media massa  PT/Lembaga
dalam sosialisasi dalam pemberitaan dan tentang perlindungan Pendidikan
masalah tayangan media massa. anak dari berbagai  LSM/ORMAS
perlindungan anak  Membuat self help internet perlakuan salah secara  Pakar/narasumber
dari berbagai site yang memberikan berkesinambungan  Organisasi profesi
perlakuan salah petunjuk pada para
penggunanya

32
BIDANG :
ii. PERLINDUNGAN HUKUM

OBJEKTIF :

a. Jaminan perlindungan hukum dengan melakukan reformasi hukum dan


peraturan pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan
perlakuan/tindakan salah terhadap anak (pekerja anak, trafiking anak, ESKA,
KUHP, pencatatan kelahiran)
b. Jaminan penegakan hukum yang konsisten dan konsekwen terhadap pelaku dan
memberikan perlindungan terhadap anak-anak korban
c. Kepedulian masyarakat dan penegak hukum terhadap tayangan pornografi anak
melalui internet dan media massa lainnya
d. Capacity building aparat penegak hukum
e. Peningkatan komitmen dalam Integrated Criminal Justice System (ICJS) di
antara institusi dan para penegak hukum

33
Keluaran Kegiatan Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
a. Kebijakan nasional dan  Menindak lanjuti ratifikasi 2003-2010  Depkeh & HAM, DraftRUU berdasarkan  Departemen/
peraturan perundang- instrumen internasional  Deplu, ratifikasi konvensi instansterkait
undangan yang yang berkaitan dengan  Menko Kesra, internasional:  Komnas HAM
memberikan perlindungan anak dan  KPP,  Komisi Perlindung-an
- Opt.prot. to the CRC
perlindungan yang lebih telah disetujui pemerintah  BPHN. Anak Indonesia
Sale of Children,
memadai bagi anak dari R.I. dalam bentuk undang-  LSM/ORMAS
Child Prostitution
berbagai tindakan salah undang  Perguruan Tinggi
and Child
Pornography;  Pakar pemerhati anak
- Conv. On Trans  Balegnas
Oganized Crime;  DPR
Prot. to the TOC;  Pemprop,
Intr.Conv.for the pemkab/kota
Suppr.of the Traffic
in Persons and of
the Expl.of the
Prost.of Others
 Melakukan 2004-2015  Depkeh & HAM, Penerapan perundang-  Departemen/instansi
harmonisasi/penelaahan  BPHN, undangan yang harmonis terkait
atas peraturan perundang-  KPP dan konsisten  Komnas HAM
undangan nasional  Komisi Perlindungan
dengan standar yang Anak Indonesia
ditetapkan secara  Perguruan Tinggi
internasional yang  Pakar anak
berkaitan dengan  LSM /ORMAS
perlindungan anak dari  Pemprop,
berbagai perlakuan salah pemkab/kota
 Kajian untuk melakukan 2005-2015  Depkeh & HAM,  Draft usulan  Departemen/instansi
penyerasian kebijakan  BPHN, penyerasian hukum terkait
hukum nasional (material  Deplu nasional di bidang  Komnas HAM

34
Keluaran Kegiatan Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
dan prosedural) sesuai pekerja anak, trafiking  Komisi Perlindungan
dengan standar anak, ESKA, Anak Indonesia
internasional, terutama di pencatatan kelahiran  Perguruan Tinggi
wilayah hukum pidana dan  Ketentuan-ketentuan  Pakar hukum anak
hukum perdata berkaitan dalam perundangan  Balegnas
dengan perlindungan nasional diamendir dan  DPR
kepada anak korban. dilaksanakan secara  Badan intelegensia
 Membuat legislasi konsekwen dan internasional
ekstrateritorial untuk konsisten
kasus-kasus perlakuan  Berlakunya ketentuan
salah terhadap anak. legislasi ekstrateritorial
 Membuat perjanjian  Berlakunya ketentuan
ekstradisi untuk kasus- perjanjian ekstradisi
kasus perlakuan salah
terhadap anak baik secara
bilateral maupun
multilateral.
b. Penguatan kelemba-gaan,  Meningkatan mekanisme 2004-2010  Depkeh & HAM,  Disain pengembangan  Perguruan Tinggi
mekanisme dan prosedur yang ramah anak  BPHN, perangkat & prosedur  Pakar hukum anak
kemampuan aparat dalam penanganan kasus-  POLRI yang ramah anak  Komnas HAM
penegak hukum dalam kasus korban berbagai  Kejaksaan Agung  Program latihan  KPAI
menentang berbagai perlakuan salah bagi aparat  Dept/Instansi terkait,
perlakuan salah terhadap penegak hukum  Praktisi Hukum
anak

35
Keluaran Kegiatan Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
 Penerapan Law 2003-2010  Depkeh & HAM,  Usulan amandemen  Balegnas
enforcement secara  BPHN, KUHP  DPR
konsisten terhadap pelaku  Kejaksaan Agung,  Penanganan kasus  Komnas HAM
POLRI. meningkat  KPAI
 Sanksi hukum berjalan  Perguruan Tinggi
 Pakar Hukum Anak
 LSM /ORMAS
 Melaksanakan sosialisasi 2003-2010  Depkeh &HAM,  Disain program  KPAI
dan advokasi kepada  Menko Kesra  Kasus menurun  Pemprop
masyarakat tentang  KPP,  Jumlah anak korban  Pemkab/Kota
perlindungan dan  Depsos, menurun  LSM/ORMAS
penanganan anak yang  Depnaker,
beresiko dan menjadi  Menbudpar.
korban berbagai
perlakuan salah
 Merancang mekanisme 2004-2010  Depkeh & HAM  Terselenggaranya  LSM/ORMAS
sistem hukum sistem hukum terpadu
 POLRI  Komnas HAM
terpadu /Integrated
Criminal Justice System  Kejaksaan Agung  KPAI
dalam penanganan kasus  Dept /Instansi terkait

c. Pengembangan kultur  Melakukan kampanye 2004-2010  Depkeh & HAM  Rencana kampanye  LSM/ORMAS
hukum dan sosial yang publik melalui media  POLRI publik  Kelompok/ organisasi
mendukung upaya massa untuk  Kejaksaan Agung  Kampanye dilakukan di anak
menentang berbagai mendestigmatisasi  BPHN tingkat nasional &  Komnas Ham
tindakan salah korban, dan daerah  KPAI
mengkriminalisasi pelaku  Laporan kampanye  Dept/Instansi terkait
 Pemprop,

36
Keluaran Kegiatan Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
 Pemkab/Kota
 Sosialisasi dan 2004-2010  Depkeh &HAM  Rencana sosialisasi  Dept/Instansi terkait
memberikan peringatan  BPHN  Sistem peringatan dini  LSM/ORMAS
dini (early-warning)  POLRI, diterapkan di tingkat  Kelompok/ organisasi
tentang modus, pola,  Kejaksaan komunitas anak
jaringan, pelaku sindikat  KPAI
perlakuan salah terhadap
anak kepada instansi
terkait, masyarakat, dan
keluarga.
d. Peningkata  Melakukan sosialisasi dan Mulai 2004  Meninfokom  Adanya MoU  Dept/Instansi terkait
n peran dan tanggung advokasi peningkatan  Menko Kesra  Pedoman-pedoman  Assosiasi TV
jawab para providers peran dan tanggung jawab  Depag  Tindakan hukum  Assosiasi Providers
internet utk mengadopsi provider Internet untuk  POLRI  Menurunnya tayangan Internet
peraturan perundangan memerangi  Kejaksaan Agung internet yang  PWI
di bidang penyiaran dan perlakuan/tindakan salah  Depkeh &HAM berpengaruh negatif  Komite/kelompok anak
informasi terhadap anak pada anak  KPP
 melakukan kerjasama
antara lembaga
perlindungan anak dan
organisasi informasi sistim
 pembentukan komitmen di
kalangan providers
internet untuk
mengidentifikasi dan
memfilter tayangan
Internet yang berpengaruh
buruk terhadap anak

37
BIDANG :
iii. PEMULIHAN ANAK DAN REINTEGRASI SOSIAL /
KELUARGA

OBJEKTIF :

a. Pengembangan model pelayanan pemulihan dan reintegrasi sosial dan keluarga


b. Perluasan akses pelayanan pemulihan dan reintegrasi sosial dan keluarga bagi
anak korban dan keluarganya
c. Pemberdayaan anak korban, keluarga, dan masyarakat untuk memerangi
perlakuan/tindakan salah terhadap anak
d. Peranserta para volunteer/relawan, dan media massa di bidang pemulihan dan
reintegrasi

38
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
a. Perubahan sikap dan  Sosialisasi dan advokasi 2005-2010  Depsos  Terselenggaranya  Dept/Instansi terkait
perilaku masyarakat kepada masyarakat dan  Depag sosialisasi dan advokasi di  LSM/ORMAS
dan keluarga keada keluarga tentang  DIKNAS setiap wilayah  Perguruan Tinggi
anak korban dalam pemulihan anak dan  KPP  Terbukanya kesempatan  Organisasi Bantuan
rangka pemulihan dan reintegrasi sosial anak  Pemprop yang sama bagi anak Hukum
reintergrasi sosial korban  Pemkab/Kota korban  Komnas HAM
 Sosialisasi tentang  KPAI
destigmatisasi anak
korban
 Pelatihan bagi tenaga 2004-2010  Depsos  Rencana/modul latihan  Organisasi pengacara
bantuan/asistensi hukum  Depkeh & HAM  Terselenggara pelatihan  Organisasi bantuan
tentang hak-hak anak  KPP  Tenaga bantuan/ asistensi hukum
dan penanganan kasus hukum terlatih  LSM/ORMAS
yang sensitif anak  Komnas HAM
 KPAI
 Memfasilitasi dan 2005-2010  Menko Kesra Jumlah anak korban yang  Dept/Instansi terkait
membantu pengembalian  Depsos kembali kepada keluarganya  LSM/ORMAS
anak korban kepada  KPP menigkat  Pemprop/Pemkab
keluarganya /Pemkota
 Memfasilitasi dan 2005-2010  Menko Kesra Jumlah anak korban yang  Dept/Instansi terait
membantu pengembalian  Depdiknas kembali ke bangku sekolah  LSM/ORMAS
anak korban kebangku  Depag menigkat  Pemprop/Pemkab
pendidikan formal untuk  Depsos /Pemkot
memenuhi ketentuan  KPP
BEFA
b. Penyediaan layanan  Membentuk dan/atau 2004-2010  Depsos  Tersedianya  LSM/ORMAS
pemulihan berkualitas memfasilitasi  KPP PKT/RPK/Shelter / hotline  Lembaga
dan pengembangan pembentukan pelayanan  Depkes dan helpline di semua Perlindungan Anak

39
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
sumber pendapatan hotline dan helpline di  POLRI wilayah (Komnas PA dan
alternatif bagi korban berbagai wilayah rawan  Pemprop/  LPA)
dan keluarga  Membentuk dan/atau Pemkab / Pemkot  KPAI
memfasilitasi  Org.profesi
pembentukan PKT
berbasis RS atau
masyarakat,
 Membentuk dan/atau
memfasilitasi
pembentukan RPK di
kepolisian wilayah
 Menyediakan shelter
untuk anak-anak korban
 Pelatihan bagi petugas 2004-2010  Depsos  Modul dan rencana latihan  Dept/Instansi terkait
pemulihan dan guru  KPP bagi petugas & guru  LSM/ORMAS
sekolah tentang hak-hak  Depdiknas  Laporan penyelenggaraan  Org.profesi
anak yang sensitif gender  Pemprop/Pemkab/ latihan  Sekolah-sekolah/
dan HAM Kota Madrasah

 Mengembangkan sistim 2004-2010  Depkes  Sistem Rujukan Medis  Departemen/ Instansi


rujukan medis kepada  Depsos dikembangkan & terkait
korban diimplementasikan  LSM/ORMAS
 Komnas PA dan LPA
 KPAI
 Org.Profesi
 Menyediakan program 2004-2010  Menko Kesra  Rencana & disain program  Dept/Instansi terkait
prioritas untuk  Depsos  Implementasi program  Lembaga Keuangan
peningkatan pendapatan  KPP  Peningkatan pendapatan Mikro
keluarga korban dalam  Depdiknas keluarga korban  LSM/ORMAS

40
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
skema pengentasan  Menkop & UKM  Peningkatan Peluang Kerja
kemiskinan melalui kredit  Deptan dan sumber penghasilan
mikro  BKKBN alternatif bagi anak korban
 Kampanye alternatif  Depnakertrans dan kelurganya
employment  Pemprop/Pemkab/
 Pendidian kerampilan Kota
bagi anak korban sekolah
 Fasilitasi bagi SDM yang
telah dipulihkan
c. Pengembangan  Melakukan kajian untuk 2004-2010  Menko Kesra  Rekomendasi kebijakan  Dept/Instansi terkait
Kebijakan Nasional pengembangan kebijakan  Depsos nasional  BUMN
dalam Pemulihan dan nasional  Dep.Nakertrans  Peningkatan eks korban ke  PT
Reintegrasi  Pemantauan terhadap  Dep. Diknas sekolah  Pakar Anak
sosial/keluarga perkembangan anak  KPP  Peningkatan jumlah anak  LSM/ORMAS
korban yang eks korban yang bekerja  Peprop/Pemkab/ Kota
diselamatkan/ dipulihkan secara layak
dan diintegrasikan
kembali ke kehidupan
keluarga dan masyarakat
 Melakukan evaluasi atas Mulai 2004  Menko Kesra  Instrument evaluasi  Dept/Instnsi terkait
efektifitas program  KPP  Terselenggaranya kegiatan  PT
pemulihan dan  Depsos evaluasi  LSM/Ormas
reintegrasi  Depnakertrans  Input /Rekomendasi untuk
sosial/keluarga  Depdiknas Perencanaan
 Dep KUKM
 BKKBN

41
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
 Seminar/Workshop/ Mulai 2005  Menko Kesra  Rumusan rekomendasi  Dept/Instnsi terkait
Penyusunan  KPP tentang cara-cara  PT
rekomendasi bagi  Depsos pemulihan dan reintegrasi  LSM/Ormas
penyempurnaan program  Depnakertrans korban yang efektif
pemulihan  Depdiknas
 Dep KUKM
 BKKBN
d. Komitmen yang tingi  Melakukan FGD Mulai 2004  Depsos  Terbentuknya gugus tugas  Dept/Instansi terkait
di antara stakeholders masalah-masalah  Depnakertrans di setiap wilayah  Pakar Anak
dalam rangka perlakuan salah terhadap  KPP  Peningkatan jumlah  PT
pemulihan /reintegrasi anak secara berkala  Pemprop/Pemkab/ kelompok relawan yang  LSM/ORMAS
sosial/keluarga  Pendidikan dan Pelatihan Kota berperan dalam penaganan  KPAI
tentang pemulihan dan perlakuan salah terhadap
reintegrasi anak.
sosial/keluarga secara
berkala bagi relawan.

42
BIDANG :
iv. PENINGKATAN KOORDINASI DAN MEMBANGUN
KERJASAMA TINGKAT LOKAL, NASIONAL,
REGIONAL DAN INTERNASIONAL

OBJEKTIF :

a. Terwujudnya koordinasi dan kerjasama yang kuat di antara para stakeholders


secara efektif
b. Terwujudnya dukungan penjuru-penjuru/focal point di berbagai sector
pemerintah, pemerintah daerah dan LSM/ORMAS
c. Tersedianya alokasi sumberdaya yang memadai bagi implementasi perlindungan
anak
d. Terbentuknya mekanisme sistem informasi untuk mendukung data dan
informasi yang akurat
e. Terjalinnya kerjasama baik lokal, nasional, regional, dan internasional yang
mendukung upaya-upaya nasional dalam perlindungan anak

43
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra yang terlibat
a. Koordinasi dan  Penyusunan rencana Mulai 2003  Bappenas  Tersusunnya Rumusan  LSM /ORMAS
kerjasama antar kerja pemantauan dan  Menko Kesra Kerja  Departemen/
Komite, Panitia evaluasi atas jalannya  KPP  Terselenggaranya rapat- Kementerian terkait
Nasional,Gugus program perlindungan  Pemprop/ rapat koordinasi berkala  Depdagri
Tugas dan para anak dari berbagai Pemkab /Kota  Adanya mekanisme kerja  Depnakertrans
stakeholders dengan tindakan salah yang efektif  Depkes
peran pemantauan  Operasionalisasi semua  Rincian indikator  Depdiknas
dan evaluasi atas Komite, Panitia
implementasi Nasional, Gugus Tugas
program perlindungan yang berkaitan dengan
anak dari berbagai perlindungan anak.
tindakan salah.
 Penyusunan Mulai 2003  Bappenas  Rumusan mekanisme Dept. /Instansi terkait
mekanisme pegelolaan  Menko Kesra implementasi, pemantauan LSM/ORMAS
antara nasional dan  KPP dan evaluasi pelaksanaan KPAI
daerah dalam  Pemprop/Pemkab/ Kota program perlidungan anak Panitia Nasional
penanganan  Rincian indikator pemantauan Gugus tugas
perlindungan anak dari dan evaluasi.
perlakuan salah.
b. Mobilisasi  Mengalokasikan Mulai 2004  Bappenas  Rencana anggaran untuk  Departemen/Instansi
sumberdaya dan sumberdaya dan dana  Depkeu implementasi, pemantauan terkait
dana bagi sesuai kebutuhan dari  Pemprop/Pemkab/Kota dan evaluasi perlindungan  BALEGNAS
implementasi, anggaran masing- anak di sektor dan daerah  DPR
pemantauan dan masing sektor dan teralokasikan
evaluasi perlin- daerah.  Tersedia alokasi anggaran
dungan anak dari dari setiap Departemen/
berbagai tindakan Kementerian terkait dan
salah daerah untuk perlindungan
anak.

44
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra yang terlibat
 Menggalang komitmen 2005-2010  Bappenas  Risalah komunikasi resmi  Kementerian/
dengan sektor-sektor  Menko Kesra dengan Departemen/ Departemen terkait
relevan dan Pemerintah  Depkeu Kementerian terkait dan  Depdagri
Daerah agar  KPP pemerintah daerah  BALEGNAS
mengalokasi kan mengenai pengalokasian  DPR/DPRD
sumberdaya dn dana sumber daya dan dana.
berdasar potensi yang
ada.
 Membangun komitmen 2004-2010  Bappenas  Tersedianya dokumen  Dept/Instansi terkait
dengan donor  Depkeu kerjasama  Lembaga donor
internasional agar  KPP  MoU dengan donor internasional
mengalokasikan  DEPLU internasional
sebagian dana bantuan  Implementasi program
untuk program dukungan donor
perlindungan anak dari internasional
berbagai tindakan salah
 Mengembangkan Mulai 2004  Menko Kesra  Rumusan indikator  Departemen/ instansi
indikator-indikator  Bappenas keberhasilan implementasi terkait
keberhasilan.  KPP dan pencapaian  Komite,
perlindungan anak dari  Panitia Nasional,
tindakan salah  Gugus Tugas
 Evaluasi diselenggarakan  Pemprop/
secara berkala Pemkab/Kota
c. Sistem pendukung  Menyelenggarakan Mulai 2004  Bappenas  Terselenggaranya  Komite,Panitia
dan pemantauan pertemuan Koordinasi  Menko Kesra pertemuan Koordinasi Nasional,Gugus
yang efektif berkala dengan sektor-  KPP berkala di tingkat nasional Tugas
sektor penjuru dalam dan daerah  LSM/ORMAS
rangka pemantauan di
tingkat nasional dan

45
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra yang terlibat
daerah.
d. Sistim informasi yang  Mengembangkan dan Mulai 2004  BPS  Sistim database dinamis dan  Departemen/
memadai tentang mengaplikasikan sistim  Men Infokom dapat diakses di tingkat Kementerian terkait
perlindungan anak dari database tentang anak-  Menko Kesra nasional, propinsi dan  LSM/ORMAS
berbagai tindakan anak korban dan pelaku  KPP kabupaten/ kota  Perguruan Tinggi
salah kejahatan tindakan  Database tentang anak-anak
salah terhadap anak korban dan pelaku kejahatan
 Pemetaan nasional dan  Tersedianya data situasi
daerah tentang anak anak yang memerlukan
yang memerlukan perlindungan khusus
perlindungan dari  Terselenggaranya
berbagai tindakan pemutakhiran data
salah.
 Melakukan analisis 2005-2010  Menko Kesra  Publikasi Analisis situasi  Departemen/ Instansi
berkelanjutan tentang  BPS terkait
situasi korban dan  Men Infokom  LSM/ORMAS
pelaku kejahatan  KPP  Komite, Panitia
sebagai bahan  POLRI nasional, Gugus
pengembangan Tugas
kegiatan  Perguruan Tinggi
 Pakar anak

46
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra yang terlibat
e. Kerjasama bilateral,  Peran aktif Pemerintah 2005-2010  Setneg  Keterlibatan sedara aktif  Departemen/ Instansi
regional dan dalam berbagai  Bappenas dalam berbagai peristiwa terkait
internasional yang peristiwa regional/  Deplu regional/ internasional  LSM/ORMAS
mendukung upaya internasional mengenai perlindungan  Kelompok/ komite
nasional dibidang menyangkut anak anak
perlindungan anak implementasi  Adanya MOU
dari berbagai perlindungan anak dari  Kontribusi dalam rumusan
tindakan salah tindakan salah kesepakatan-kesepakatan
 Menjalin kerjasama internasional
dengan badan-badan
internasional.
f. Implementasi  Pembentukan komitmen Mulai 2003  Depdagri  Implementasi program  Departemen/ Instansi
program perlindungan di kalangan pemprop,  Pemprop/Pemkab /Kota perlindungan anak di daerah terkait
anak oleh Pemprop, pemkab/kota melalui  Keserasian program antara  LSM/ORMAS
pemkab/kota secara rapat koordinasi/ Pemprop/ Pemkab/Kota
konsisten konsultasi.

47
BIDANG :
v. PENINGKATAN PARTISIPASI ANAK

OBJEKTIF :
a. Terwujudnya persepsi bahwa anak adalah subyek yang perlu didengar
aspirasinya
b. Pemberdayaan partisipasi anak melalui kelompok-kelompok anak secara
bottom-up

48
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
a. Terbentuk jaringan kelompok  Memfasilitasi terbentuknya Mulai 2003  Menko Kesra  Jaringan antar  LSM/ORMAS
anak untuk perlindungan kelompok-kelompok anak  KPP kelompok anak  Sekolah-sekolah/
anak dari berbagai perlakuan dalam pemenuhan hak-hak  Depsos terbentuk madrasah
salah anak  Pemprop/  Terbentuk Komite  Kelompok-kelompok
Pemkab/Kota Anak Anak

 Mensosialisasikan Mulai 2003  Menko Kesra  Laporan kegiatan  LSM/ORMAS


perlindungan anak dari  KPP sosialisasi  Depart/Instansi
berbagai perlakuan salah  Depsos terkait
pada kelompok anak  Dep.Diknas  Sekolah-sekolah/
madrasah
 Kelompok-kelompok
Anak

 Meningkatkan kapasitas Mulai 2003  KPP  Peran serta  LSM/ORMAS


partisipasi anak baik dalam  Depsos kelompok-kelompok  Instansi/Departemen
mengartikulasikan  Dep. DIKNAS anak terkait
pendapat maupun sebagai  Komnas PA
pendamping sebaya (peer  LPA
educator) melalui program  Komite Anak
latihan, pertukaran dll.  Donor Agencies
 Dunia Swasta
b. Partisipasi kelompok/ forum  Melibatkan anak dalam Mulai 2003  KPP  Rumusan kajian  LSM/ORMAS
anak dalam studi dan kegiatan kajian tentang  Depsos yang melibatkan  Kelompok/ komite
program intervensi perlindungan anak dalam anak anak
perlindungan anak dari perspektif hak-hak anak  Jumlah kajian yang
berbagai tindakan salah melibatkan anak
 Memfasilitasi
pengembangan

49
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
pendekatan anak ke anak
dalam pencegah-an,
perlindungan, pemulihan
serta reintegrasi korban
melalui kelompok/forum
anak
c. Komitmen stakeholders  Mengalokasikan dana 2005-2010  Bappenas  Anggaran untuk  Instansi/
dalam memfasilitasi yang tersedia untuk  Depsos memfasilitasi Departemen terkait
keterlibatan kelompok-forum memfasilitasi partisipasi  KPP partisipasi anak di  LSM/ORMAS
anak dalam implementasi, anak di sektor terkait  Pemprop/ sektor terkait  Dunia Swasta
evaluasi dan rencana tindak Pemkab/Kota teralokasikan
lanjut perlindungan anak dari
berbagai pelakuan salah
 Memobilisasi sumber daya 2005-2010  Bappenas  Alokasi anggaran di  Instansi/Departemen
yang tersedia dunia  Depkeu APBN/APBD terkait
swasta, donor internasional  KPP  MoU dengan donor
dialokasi kan sebagian  Pemprop/ internasional
untuk pengembangan Pemkab/Kota mengenai
partisipasi anak pendanaan
partisipasi anak
d. Berperannya Komite Anak  Memfasilitasi pembentukan Mulai 2003  Menko Kesra  Komite anak  LSM/ORMAS
sebagai badan konsultatif komite anak/forum anak  KPP oprasional  Instansi/
independen untuk memberi  Depsos Departemen terkait
masukan kepada pemerintah  Pemprop/  Komnas PA
guna pengembangan Pemkab/Kota  LPA
legislasi, kebijakan dan  Kelompok-kelompok
program menyangkut Anak
perlindungan anak dari  DPR/DPRD
berbagai perlakuan salah.
 Memfasilitasi rekomendasi Mulai 2003  Menko Kesra  Rumusan  LSM/ORMAS
komite anak dalam setiap  KPP rekomedasi Komite  Instansi/Departemen

50
Keluaran Kegiatan Utama Jadual Penanggung-jawab Indikator Mitra
program pengembangan  Depsos Anak sebagai terkait
legislasi, kebijakan &  Pemprop/ bahan  Komnas PA
program menyangkut Pemkab/Kota pengembangan  LPA
perlindungan anak dari kebijakan  Kelompok-kelompok
berbagai perlakuan salah Anak
 DPR/DPRD

51
V. MONITORING DAN EVALUASI :

Pelaksanaan Program Nasional Bagi Anak Indonesia berada di bawah


koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang secara teknis dan
implementasinya di koordinasikan melalui penjuru-penjuru/focal point yang berada di
Departemen/Kementerian dan Pemerintah Daerah.
Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan Program Nasional Bagi Anak Indonesia berdasarkan :
a. Sistem dan Mekanisme pemantauan dan evaluasi yang telah ada
b. Keberhasilan program berdasarkan indicator kemajuan dan keluaran yang telah
ditetapkan
c. Adanya penerbitan berkala
d. Laporan tahunan berkala
e. Review program

VI. INDIKASI PENDANAAN :


Pendanaan untuk perlindungan anak dari perlakuan/salah termasuk
kekerasan (fisik, seksual, emosional) eksploitasi (fisik, ekonomi) dan diskriminasi
berasal dari APBN, APBD dan donor-donor internasional. Perkiraan dana APBN
yang dibutuhkan 7-8 persen PDB, sebanding dengan penyediaan anggaran untuk
kepentingan pendidikan dan kesehatan.

VII. KELEMBAGAAN
Kelembagaan yang terlibat meliputi :
f. lembaga pemerintah umumnya sektor yang terkait dengan perlindungan anak
yang terhimpun dalam Gugus Tugas atau Komite Aksi Nasional
g. lembaga legislatif
h. lembaga judigatif
i. lembaga non pemerintah termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

VIII. PENUTUP

IX. LAMPIRAN

52
DAFTAR RUJUKAN

2. Adimiharja, K. Prof.Dr.MA, Harry Hikmat, Ir. 2001, Modul Latihan PRA,


Humaniora Utama Press, Bandung.
3. A World Fit For Children, 2002, UNICEF, New York.
4. Bulletin Anak, 2002, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Jakarta.
5. Badan Pusat Statistik, 2001, Data SUSENAS, Jakarta.
6. Badan Pusat Statistik,2000, Indikator Kesejahteraan Anak, Jakarta.
7. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2002, Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Jakarta.
8. Farid,M. 1999, Pencatatan Kelahiran Upaya Meningkatkan Hak Pertama Anak -
Nama dan Kewarganegaraan - di Indonesia, Jakarta.
9. Hikmat Harry,Ir. Msi, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung.
10. --------------------------, 2001, Strategi Meningkatkan Investasi Bidang
Kesejahteraan Anak dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta.
11. --------------------------, 2001, Kewajiban Negara Dalam Pemenuhan Hak Anak,
Jakarta.
12. --------------------------, 2001, Dampak Pelayanan Program Jaring Perlindungan
Sosial melalui Rumah Singgah bagi Kehidupan Anak Jalanan, Jakarta.
13. Irwanto,Ph.D. M.Farid, Jeffry Anwar,1998, Ringkasan Analisa Situasi Anak
yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Jakarta.
14. Irwanto, Ph.D; Fentiny Nugroho; Johanna Debora Imelda, 2001, Perdagangan
Anak di Indonesia, ILO/IPEC Jakarta.
15. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Undang-undang Republik
Indonesia tentang Perlindungan Anak, Jakarta.
16. Badan Pusat Statistik, 2002, Indikator dan Profil Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak,Jakarta.
17. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2001, Rencana Induk Pembangunan
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (RIP-KPA),Jakarta.
18. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak, Jakarta.
19. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak,Jakarta.
20. Plan International, Terre des homes Netherands, 2000, Laporan Seminar
Pemberdayaan Anak dalam Situasi Khusus, Jakarta.
21. Sinar Grafika, 1997, Undang-undang R.I. No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, Jakarta.
22. Departemen Kehakimn dan HAM, 1999, Undang-undang R.I. No.39 tahun 1999
tentang HAM, Jakarta.

53

Anda mungkin juga menyukai