Pendahuluan
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang dapat
menyebabkan adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau garis pada tulang
tengkorak dan disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.1 Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama
kematian dan kecacatan akibat trauma pada kelompok usia produktif di banyak negara
berkembang dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita.2 Menurut
Irawan, angka kejadian cedera kepala di Indonesia sebesar 27% dari total cedera yang dialami
akibat kecelakaan lalu lintas.3
Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia dini. 1,2 Pada penderita
korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, sirkulasi dan kesadaran.
Tingkat keparahan cedera kepala juga harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah
Sakit.4
BAB II
Tujuan Pembahasan :
Trauma kepala masih merupakan penyebab dari setengah kematian yang terjadi dan sebagian
besar menyerang kolompok usia produktif.5 Menurut Brain Injury Association of America
cedera kepala adalah cedera pada otak yang tidak diturunkan, bawaan, degenerative, atau
disebabkan trauma lahir, dimana cedera mengakibatkan perubahan aktivitas saraf otak yang
mempengaruhi integritas fisik, aktivitas metabolisme, atau kemampuan fungsional sel saraf di
otak.6
Anatomi
Scalp
Karena suplai darah yang melimpah di kulit kepala, laserasi kulit kepala dapat menyebabkan
kehilangan banyak darah, syok hemoragik, dan bahkan kematian. Pasien yang mengalami
waktu transportasi yang lama berada pada risiko tertentu untuk komplikasi ini.
Tengkorak
Dasar tengkorak tidak beraturan, dan permukaannya dapat berkontribusi pada cedera saat
otak bergerak di dalam tengkorak selama percepatan dan perlambatan itu terjadi selama
peristiwa traumatis. Fossa anterior menampung lobus frontal, fossa tengah menampung lobus
temporal, dan fossa posterior berisi batang otak bawah dan serebelum.
Meninges
Meninges menutupi otak dan terdiri dari tiga lapisan: duramater, arachnoid mater, dan
piamater. Duramater merupakan lapisan fibrosa yang keras dan melekat pada bagian
permukaan dalam dari tulang tengkorak. Pada tempat spesifik duramater akan terbagi
menjadi 2 yang membukus sinus vena besar yang menyediakan drainase vena utama dari
otak. Laserasi dari sinus venosus ini dapat menyebabkan perdarahan massif. Lapisan kedua
yaitu arachnoid mater, merupakan lapisan tipis dan transparan. Karena dura tidak melekat
pada arachnoid, maka terdapat ruang potensial yang disebut ruang subdural dimana
perdarahan dapat terjadi. Lapisan ketiga yaiut pia mater yang melekat erat pada permukaan
otak. CSF (cairan serebrospinal) mengisi ruang antara arachnoid dan piamater (ruang
subarachnoid), bantalan otak, dan sumsum tulang belakang.
Otak
Otak terdiri dari serebrum, batang otak, dan otak kecil. Cerebrum terdiri dari bagian kanan
dan hemisfer kiri, yang dipisahkan oleh falx cerebri. Belahan kiri berisi pusat bahasa di
hampir semua orang yang tidak kidal dan di lebih dari 85% orang kidal. Lobus frontal
mengontrol fungsi eksekutif, emosi, fungsi motorik, dan, di sisi dominan, ekspresi bicara
(area bicara motorik). Lobus parietal mengarahkan fungsi sensorik dan orientasi spasial,
lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu, dan lobus oksipitalis bertanggung jawab
atas penglihatan. Batang otak terdiri dari otak tengah, pons, dan medula. Otak tengah dan
pons atas mengandung: sistem pengaktifan retikuler, yang bertanggung jawab untuk status
kewaspadaan. Pusat vital kardiorespirasi berada di medula, yang memanjang ke bawah untuk
terhubung dengan sumsum tulang belakang. Bahkan lesi kecil di batang otak dapat dikaitkan
dengan defisit neurologis yang parah. Cerebellum, bertanggung jawab terutama untuk
koordinasi dan keseimbangan, memproyeksikan posterior di posterior fossa dan terhubung ke
sumsum tulang belakang, batang otak, dan belahan otak.
System ventricular
Ventrikel adalah sistem ruang berisi CSF dan saluran air di dalam otak. CSF terus diproduksi
di dalam ventrikel dan diserap di atas permukaan otak. Kehadiran darah di CSF dapat
mengganggu reabsorpsinya, menghasilkan peningkatan intracranial tekanan. Edema dan lesi
massa (misalnya, hematoma) dapat menyebabkan penipisan atau pergeseran normal ventrikel
simetris, yang dapat dengan mudah diidentifikasi pada CT scan otak.
Epidemiologi
Presentase pasti kematian yang melibatkan cedera otak tidak diketahui secara pasti, tetapi
data dari Olmsted County dan San Diego County California menunjukkan bahwa sekitar 50%
kematian disebabkan oleh trauma pada otak. Pada tahun 2001, 157.078 orang meninggal
karena cedera traumatis akut (65%) dari semua kasus kematian di AS (Centers for Disease
Control and Prevention 2002). Survei Wawancara Kesehatan Nasional (NHIS) melaporkan
bahwa sekitar 1,5 juta cedera kepala terjadi per tahun termasuk gegar otak, patah tulang
tengkorak, serta campuran berbagai jenis cedera intracranial yang memerlukan perawatan
medis. Banyaknya kasus cedera otak traumatis (TBI) disebabkan oleh aktivitas fisik dan
olahraga. Semua studi tentang kejadian cedera otak di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
setidaknya dua kelompok usia berisiko tinggi yaitu 15-24 tahun dan mereka yang lebih tua
dari 64 tahun. Distribusi risiko terkait usia mencerminkan perbedaan paparan terutama pada
kecelakaan kendaraan bermotor. Semua laporan menunjukkan bahwa cedera otak jauh lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita dengan rasio 1,6-2,8. Hubungan positif antara
konsentrasi alcohol dalam darah (blood alcohol concentration) dan risiko cedera telah
ditetapkan dengan baik termasuk kecelakaan bermotor, penerbangan umum, tenggelam dan
kekerasan.7
Trauma kepala dibagi menjadi dua yaitu cedera primer dan sekunder. Cedera primer terkait
dengan perubahan struktural yang dihasilkan dari kekuatan mekanik saat cedera. Kekuatan ini
dapat menyebabkan distorsi jaringan dan cedera vascular. Cedera sekunder merupakan
perubahan sistemik atau local yang meningkatkan kerusakan jaringan yang terjadi karena
cedera primer. Mekanisme cedera sekunder antara lain generasi radikal bebas, excitotoxicity,
gangguan homeostatis ionic, gangguan sawar darah otak, generasi oksida nitrat, lipid
peroksidasi, peradangan, perdarahan sekunder, kematian sel, dan iskemia.8
Secara umum terdapat 2 mekanisme cedera otak yaitu kontak dan akselerasi/deselerasi. Lesi
otak karena kontak, diakibatkan oleh benda yang lansung membentur kepala atau kontak
antara otak dan tengkorak. Cedera otak akibat akselerasi dan deselerasi terjadi akibat gerakan
kepala yang tidak terbatas yang menyebabkan regangan geser, Tarik dan tekan, konsekuensi
structural utama merupakan hematoma subdural akut (SDH) akibat robeknya vena
penghubung dan kerusakan luas pada akson atau pembuluh darah. Klasifikasi lain bahwa
kerusakan otak structural setelah trauma dapat dikategorikan sebagai fokal atau difus
(mutifokal). Patologi fokal cenderung dipertahankan sebagai akibat jatuh sedangkan patologi
difus sering dikaitkan dengan akselerasi/deselerasi setelah kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian.7
Klasifikasi klinis penting untuk memandu keputusan pengobatan. Dibagi menjadi 3 yaitu TBI
ringan (MTBI) dengan score GCS 13-15 dimana sebagian besar pasien dengan trauma kranial
masuk kedalam kelompok ini. Pasien terjaga, mungkin bingung namun dapat berkomunikasi
dan mengikuti perintah. TBI sedang dengan GCS score 9-12 dimana pasien umumnya
mengantuk sampai pingsan tetapi tidak koma. Mereka dapat membuka mata dan melokalisasi
rangsangan yang menyakitkan. Memiliki risiko tinggi mengalmai perburukan klinis sehingga
harus dipantau hati-hati. TBI berat dengan GCS score 3-8, pasien ini koma, mereka tidak
mengikuti perintah dan mungkin menunjukkan postur deserebrasi atau dekortikasi. Memiliki
disfungsi otak structural dan metabolic siknifikan dan berada pada risiko tinggi cedera otak
sekunder.8
Cedera Fokal
Lesi pada kulit kepala, tengkorak dan dura sering memberikan petunjuk lokasi dan sifat
cedera dan mengingat klinisi akan potensi komplikasi. Misalnya memar di bagian belakang
kulit kepala sering dikatitakan dengan memar parah pada lobus frontal, sedangkan memar
pada prosesus mastoid dapat dikaitkan dnegna perdarahan subaraknoid traumatis. Memar
dipelipis mungkin berhubungan dengan fraktur dan perkembangan hematoma ekstradural
selanjutnya. Dalam banyak kasus, laserasi kulit kepala tidak terlalu signifikan tetapi jika
terjadi perdarahan yang hebat maka pasien dapat menjadi hipotensi sehingga menambah
kerusakan sekunder pada otak yang sudah rusak. Jika terdapat fraktur terbuka dan tertekan
pada tengkorak, laserasi pada kulit kepala dapat menjadi jalur potensial untuk infeksi
intracranial. Secara umum, semakin parah cedera otak, semakin besar frekuensi fraktur
tengkorak. Mayoritas fraktur tengkorak adalah linear, mempengaruhi kubah tengkorak pada
62% kasus, dengan ekstensi ke dasar tengkoran pada 17%. Fraktur tengkorak tidak selalu
berhubungan dengan kerusakan otak yang mendasarinya. Misalnya cedera akibat benturan
dapat mengakibatkan patah tulang tengkorak yang luas dengan sedikit kerusakan otak yang
mendasari, dengan pasien sering tetap sadar. Cedera yang terlokalisasi seperti cedera benda
tumpul dapat menyebabkan kerusakan otak teratas pada tempat benturan. Fraktur mungkin
tertekan tetapi fungsi otak tetep utuh hanya ada kehilangan kesadaran yang singkat atau
terbatas. Tidak adanya patah tulang tengkorak tidak berarti bahwa otak tidak mengalami
cedera. Patah tulang tengkorak memang tidak menyertai pada 20% kasus fatal. Hal ini
terumatam benar pada anak-anak karena memiliki kapasitas tengkorak untuk menekuk
sehingga dapat mencegah perkembangan fraktur tetapi berhubungan besar terhadap
kerusakan structural otak yang mendasarinya. Ada hubungan kuat antara adanya fraktur
tengkorak dan perkembangan hematoma intracranial terutama pasien yang mengalami
penurunan tingkat kesadaran setelah cedera. Lokasi fraktur juga penting karena jika mengenai
bagian skuamosa dari tulang temporal, ada kemungkinan terjadi hematoma ekstradural.7
3. Perdarahan Intrakranial
Hematoma intracranial adalah penyebab paling umum dari perburukan klinis dan kematian
pada pasien yang mengalami lucid interval. Perdarahan dapat terjadi segera saat cedera atau
3-4 jam kemudian. Jika cedera ringan, maka kehilangan kesadaran mungkin terbatas
beberapa menit. Hematoma intracranial traumati diklasifikasikan menurut kompartmen
anatomi tempat perkembangannya yaitu hematoma ekstradural (epidural) dan hematoma
intradural.7
Subdural Hematoma
Sejumlah kecil perdarahan dalam ruang subdural sering terjadi pada cedera
otak yang fatal. Karena darah ini dapat menyebar dengan bebas ke seluruh
ruang subdural, darah ini cenderung menutupi seluruh hemisfer, sehingga
SDH biasanya lebih besar daripada ekstradural hematoma. Sebagian besar
SDH disebabkan oleh rupture vena yang menjembatani ruang subdural dimana
mereka menghubungkan permukaan atas hemisfer serebri ke sinus sagittal.
Terkadang juga berasal dari arteri. Kerusakan otak yang cukup besar
mengakibatkan mortalitas dan morbiditas pada perdarahan subdural daripada
hematoma ekstradural. Klasifikasi dari SDH yaitu akut jika terdiri dari bekuan
darah dan darah (biasnaya dalam 48 jam pertama setelah cedera), subakut
ketika ada campuran darah beku dan cairan (bekembang antar 2-14 hari
setelah cedera) dan kronis bila hematoma berupa cairan (berkembang lebih
dari 14 hari setelah cedera). SDH kronis terjadi beberapa minggu atau bulan
setelah cedera kepala yang dianggap sepele.7
Hematoma subdural akut diidentifikasi pada CT kepala sebagai perdarahan
hiperdens ke dalam ruang subdural, yang berada di antara arachnoid dan pia
mater. Hematoma subdural paling sering disebabkan oleh cedera pada struktur
vena profunda yang berjalan ke dura mater, dan hematoma subdural
cenderung tidak disertai dengan fraktur tengkorak. Dibandingkan dengan
hematoma epidural, hematoma subdural cenderung tidak bergejala akut karena
laju pertumbuhan lebih lambat , yang disebabkan oleh cedera vena dan
perluasan lateral yang lebih besar yang diizinkan oleh ruang subdural. Namun,
hematoma subdural besar dapat menyebabkan efek massa yang signifikan
pada jaringan yang berdekatan, herniasi otak dan garis tengah atau
transtentorial yang mungkin memerlukan evakuasi darurat.13
Cedera Difus
Kebanyakan orang akan sembuh total pada cedera jenis ini. Namun ada beberapa yang
mengalami masalah ingatan, konsentrasi, dan perhatian. Sulit untuk memecahkan masalah
dan mengambil keputusan. Pasien juga sering merasakan sakit kepala yang berkelanjutan,
telinga berdenging, pusing dan kesulitan mengendalikan amarah mereka. Nama lain dari
cedera ini adalah gegar otak. Pemulihan dapat berlangsung beberapa jam hingga minggu.9
Dengan TBI berat, konsekuensi jangka panjang dapat mencakup semua hal diatas disertai
dengan deficit motoric dan sensorik, kognitif, bicara, keseimbangan dan kesulitan suasana
hati, serta kejang.9
Pemeriksaan pada pasien dengan cedera kepala meliputi pemeriksaan neurokognitif, EEG,
pemeriksaan biomarker dalam darah, CT scan dan MRI ( terutama susceptibility-weighted
imaging dan diffusion-tensor imaging ).10
a. Foto rontgen
Foto rotgen kepala tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis kelainan
intracranial. Namun dapat digunakan untuk mendiagnosis fraktur tulang tengkorak.
Fraktur memberikan gambaran garis hitam bertepi tajam dan biasanya berbentuk
lurus. Fraktur yang muncul pada area meningea media dapat berkaitan dengan
hematoma epidural. Pada fraktur depresi, garis fraktur yang lusen dapat memberi
gambaran stelata atau semisirkular.10
b. Computed Tomography (CT scan)
CT scan tanpa kontras menjadi pilihan pertama pemeriksaan pada cedera kepala.
Pemeriksaan ini bahkan lebih unggul dari MRI jika dilakukan dalam beberapa hari
setelah trauma. Pemeriksaan CT scan pada unit gawat darurat difokuskan untuk
menentukan efek massa dan perdarahan. Efek massa dapat ditentukan oleh adanya
pergeseran atau kompresi struktur intracranial dari posisi normalnya dengan
menganalisis lokasi dan bentuk ventrikel, Sistema basalis dan sulkus. Darah biasanya
memberikan gmbaran hiperdens dan biasanya terdapat Sistema basalis, fisura sylvii
dan interhemisfer, ventrikel, ruang subdural atau epidural, atau di parenkim otak
(intraserebral). Indikasi untuk semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Jika
ringan, dilakukan jika nilai GCS kurang dari 15 dalam 2 jam setelah kejadian, pasien
dengan kecurigaan fraktur kranium terbuka atau depresi, adanya tanda-tanda fraktur
basis cranii, muntah lebih dari 2 kali, atau usia di atas 65 tahun. CT scan dapat
dipertimbangkan pula pada pasien yang mengalami pingsan lebih dari 5 menit,
amnesia sebelum kejadian lebih dari 30 menit, dan mekanisme cedera yang berbahaya
(seperti pejalan kaki tertabrak oleh kendaraan bermotor, penumpang terlempar dari
kendaraan bermotor, jatuh dari lebih dari 5 anak tangga.10
c. MRI
MRI merupakan pilihan utama untuk mendeteksi kelainan intracranial karena lebih
sensitive dibandingkan dengan CT scan. MRI berperan untuk mendeteksi adanya
diffuse axonal injury (DAI) yang merupakan kerusakan akson menyeluruh yang
menyebabkan kehilangna kesaran mendadak dan koma selama lebih dari 6 jam.10
Tatalaksana
Tujuan paling penting adalah untuk menxegah cedera otak sekunder. Hal ini dapat dicapai
dengan hal-hal berikut, pertahankan jalan napas dan ventilasi, pertahankan tekanan perfusi
serebral, mencegah cedera sekunder (dengan mengenali dan mengobati hipoksia, hiperkapnia,
atau hipoperfusi), evaluasi dan Kelola peningkatan ICP, dapatkan konsultasi bedah saraf
untuk masa lesi intracranial, identifikasi dan obati cedera atau kondisi lain yang mengancam
jiwa (jika ada).11
Gunakan pendekatan sistematin berdasarkan ABCDE untuk menilai dan merawat pasien
cedera akut dengan tujuan mengelola kondisi yang mengancam jiwa dan mengidentifikasi
masalah yang muncul terutama pada pasien neurotrauma yang mungkin datang dengan
cedera multisystem lainnya.12
Primary Survey :
a. Jalan napas dengan pelindung tulang belakang servikal
Kaji stabilitas jalan napas dengan mengumpulkann respon dari pasien. Cari tanda-
tanda obstruksi jalan napas ( penggunaan otot aksesori, gerak dada paradoks,
pernapasan see-saw). Denganrkan setiap suara saluran napas atas, suara napas.
Apakah tidak ada, berkurang atau berisik. Ventilasi yang bising menunjukkan
obstruksi jalan napas parsial oleh lidah atau benda asing. Perdarahan, muntah dan
pembengkakn akibat trauma wajah adalah penyebab umum osbstruksi jalan napas
pada pasien dengan TBI sehingga harus di hilangkan dengan cara dihisap. Cobalah
beberapa manuver jalan napas sederhana jika diperlukan dengan cara membuka jalan
napas menggunakan chin-lift dan jaw thrust, hisap jalan napas jika ditemukan sekret
berlebihan atay pasien tidak mampu membersihkan jalan napas secara mandiri
(penyedotan yang lama dapat menyebabkan peningkatan TIK jadi perhatikan
durasinya), masukkan jalan napas orofaringeal (OPA) jika diperlukan. Jika jalan
napas terhambat, manuver pembukaan jalan napas sederhana harus dilakukan. NPA
(nasopharyngeal airway) tidak boleh dipasang pada pasien dnegna cedera kepala yang
memiliki fraktur tengkorak basal. Amankan jalan napas jika perlu (perlakukan
obstruksi jalan napas sebagai keadaan darurat medis) dengan mempertimbangkan
intubasi dini jika ada tanda-tanda penurunan tingkat kesadaran GCS <9 (TBI berat),
jalan napas tidak terlindungi, pasien tidak kooperatif. Hipoventilasi, hipoksia atau
obstruksi jalan napas yang tertunda seperti adanya stridor, suara serak. Bantu ventilasi
dengan bbag dan mask saat penyedia menyedikan intubasi. Sangat penting bahwa
intubasi dilakukan oleh orang ahli dalam manajemen jalan napas. Intubasi dapat
meningkatkan TIK sementara yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder.
Pertahanka Tindakan pencegahan tulang belakang yang diduga cedera tulang
belakang pada pasien polytrauma, terutama dimana TBI terlibat. Pastikan cervical
collar, head blocks atau imobilisasi dipertahankan selama perawatan pasien.12
b. Pernapasan dan ventilasi
Menilai upaya ventilasi yang memadai sangat penting pada tahap awal TBI. Berikan
O2 100% aliran tinggi sesuai kebutuhan, untuk mempertahankan saturasi diatas 90%.
Jika pasien tidak berventilasi : 15 L/mnt 100% O2 melalui masker non re-breather
mask harus diberikan unutk mengurangi kemungkinan hiposia dan cedera otak lebih
lanjut. Jika berventilasi maka selama resusitasi awal 100% oksigen harus diberikan.
Ini bisa dititrasi berdasarkan gas darah setelah pasien stabil. Hitung frekuensi
pernapasan pasien dan catat kedalaman dan kecukupan pernapasannya. Auskultasi
dada untuk suara napas dan kaji adanya mengi, stridor atau penurunan udara masuk.
Ingat bahwa kemungkinan cedera dada mungkin terjadi. Catat saturasi oksigen
(SpO2). Oksigenasi yang memadai ke otak merupakan elemen penting dalam
menghindari cedera otak sekunder. Pantau SpO2 dan pertahankan diatas 90%.
Kegagalan untuk menjaga saturasi diatas ini dikaitkan dengan hasil yang buruk.12
c. Sirkulasi dengan control perdarahan
Kaji sirkulasi dan perfusi dengan memeriksa detak jantung dan tekanan darah.
Pertahankan SBP (systolic blood pressure) lebih dari 90 mmHg untuk
mempertahankan perfusi serebral dan mencegah cedera otak lebih lanjut. Denyut nadi
yang lambat dan kuat dapat mengindikasikan hipertensi intracranial dan herniasi
periksa tanda-tanda perdarahan dan berikan tekanan langsung pada setiap luka.
Pertimbangkan potensi perdarahan internal yang signifikan terkait dengan mekanisme
cedera, yang dapat menyebabkan tanda dan gejala syok. Masukkan 2 kanula IV
perifer dengan lubang besar. Jika akses sulit, pertimbangkan penyisipan intraosseous
jika peralatan/keterampilan tersedia, mulai resusitasi cairan sesuai indikasi. Jika ada
tanda-tanda syok, tentukan penyebab nya dan obati secara agresif dengan cairan IV
untuk meningkatkan tekanan darah dan perfusi serebral. Hipotensi umumnya tidak
berhubungan dengan cedera kepala terisolasi, jika ada hipotensi, identifikasi
penyebabnya.12
d. Disabilitas : status neurologis
Kaji tingkat kesadaran dengan menilai AVPU (alert, responds to voice, responds to
pain, unresponsive) yang harus dilengkapi dengan pemeriksaan respon pupil dan
ukurannya. Penilaian neurologis yang lebih rinci dengan menggunakan GCS akan
dilakukan dalam secondary survey. Tes kadar gula darah dengan memastikan bahwa
setiap perubahan tingkat kesadaran pasien tidak berhubungan dengan penyebab
metabolic. Paparan/control lingkungan dengan melepaskan semua pakaian dari pasien
dan pastikan tidak ada cedera lain yang jelas dan mengancam jiwa. Pertahankan
pasien normotermik melalui pemanasan ulang pasif dengan selimut dan lingkungan
yang hangat.12
Secondary Survey
Survei sekunder hanya akan dimulai jika survei primer telah selesai dan setiap cedera yang
mengancam nyawa sudah diobati. Jika selama pemeriksaan terdeteksi kerusakan, maka kita
harus Kembali dan menilai survei utama. X-ray tulang belakang, dada, dan panggul dapat
dilakukan sebagai bagian dari penilaian awal pada pasien trauma mayor jika tersedia dan
kondisi pasien memungkinkan.12
Mendapat riwayat yang memadai dari pasien, pengamat, atau personil darurat seputar
peristiwa cedera dapat membantuk memprediksi kerusakan lain yang mungkin terjadi. Catat
riwayat obat-obatan atau alcohol sebelum dan saat cedera. Gunakan akronim AMPLE untuk
membantu mengumpulkan informasi terkait. Allergies, Medication (tertama antikoagulan,
agen antiplatelet), Past medical history (tetanus), Last meal, Events leading (peristiwa yang
menyebabkan cedera).12
Pemeriksaan head-to-toe dimana setiap cedera yang terdeteksi harus terdokumentasi secara
akurat dan perawatan yang diperlukan harus dilakukan seperti menutup luka, mengelola
perdarahan dan splinting fracture yang tidak mengancam jiwa
Penilaian neurologis yaitu dengna mengkaji kesadaran pasien dengan GCS unutk menilai
status neurologis pasien secara akurat. Ini merupakan baku emas secara universal untuk
menilai ganggaun kesadaran pada pasien di tingkat populasi dewasa. Pembukaan mata
terbaik, respon verbal, dan motoric diambil dan diberi skor 15.
Komplikasi
Tingkat trombosis vena dalam lebih tinggi pada pasien trauma kepala
Defisit neurologis
kebocoran CSF
Hidrosefalus
Infeksi
Kejang
Edema serebral.11
Prognosis
Hasil setelah trauma kepala tergantung pada banyak faktor. Skor GCS awal memang
memberikan beberapa informasi tentang hasilnya; skor motorik paling prediktif dari hasil.
Pasien dengan GCS kurang dari 8 pada presentasi memiliki angka kematian yang tinggi. Usia
lanjut, komorbiditas, gangguan pernapasan, dan keadaan koma juga terkait dengan hasil yang
buruk.11
Kesimpulan
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah kondisi terjadinya kerusakan pada struktur
bagian kepala yang disebabkan oleh trauma dan berakibat disfungsi cerebral sementara
sampai disfungsi permanen. Berdasarkan beratnya gejala klinis, cedera kepala
diklasifikasikan menjadi cedera kepala ringan, sedang, dan berat. Pemeriksaan CT-scan
menjadi baku emas untuk melihat apakah terjadi fraktur, perdarahan, atau herniasi yang
menunjang diagnosis trauma kapitis. Tatalaksana terdiri dari tatalaksana medis dan
tatalaksana bedah pada beberapa kasus dengan indikasi pembedahan. Prognosis dari cedera
kepala tergantung pada tingkat keparahan cedera, lokasi cedera, dan usia dan status kesehatan
umum individu.
Daftar Pustaka
1. Ristanto R.. Indra M. R., Poeranto S., Setyorini I. Akurasi revised trauma score
sebagai prediktor mortality pasien cedera kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti;
Oct 2016: 4(2), p. 76-90.
2. Tjahjadi, M., Arifin, M. Z., Gill, A. S., Faried, A. Early mortality predictor of severe
traumatic brain injury: a single center study of prognostic variables based on
admission characteristics. The Indian Journal of Neurotrauma; 2013: 0(1), p. 3-8.
3. Irawan, H., Setiawan, F., Dewi, Dewanto G. Perbandingan glasgow coma scale dan
revised trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala di RS.
Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia; 2010: 60(10), p. 1-5.
4. Brain Injury Association of America. Definition of Brain injury. United State of
America: 2015. Diakses tanggal 2 Februari 2019 pukul 20.00: www.biausa.nih.gov
5. Laeke T, Tirsit A, Debebe F, et all. Profile of head injury : prehospital care,
diagnosis and severity in na ethiopian tertiary hospital. World neurosurgery; 2019 ,
p.186
https://sci-hub.se/https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/
S1878875019306709
6. Brain Injury overview. Brain injury association of américa, di akses tanggal 5 juli
2021 dari https://www.biausa.org/brain-injury/about-brain-injury/basics/overview
7. Silver JM, Thomas MD, Yudofsky SC. Textbook of traumatic brain injury. American
psychiatric publishing inc, Washington DC, London, England; 2005. p.3-34,27-8,29-
38
8. Zollman FS. Manual of traumatic brain injury management. Demos medical, New
York; 2011.p.3-5
https://dl.uswr.ac.ir/bitstream/Hannan/138342/1/9781936287017.pdf
9. Traumatic brain injury: understanding the journey for military personnel and their
families; diakses pada tanggal 5 juli 2021 dari
https://www.prismhealthadvocates.com/traumatic-brain-injury-military-personnel-
families/
10. Sylvani. Peran neuroimaging dalam diagnosis cedera kepala. Cermin dunia
kedokteran vol.44(2); 2017.p.97-101
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/817/573
11. Shaikh F, Waseem M. Head trauma. National center for biotechnology information:
U.S Stat Pearls publishing LLC. 2021
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430854/
12. Traumatic brain injury guideline. Trauma Victoria. Vol 1; 2014 diakses tanggal 5 juli
2021;p.1-11 pada
https://trauma.reach.vic.gov.au/sites/default/files/Traumatic%20Brain%20Injury
%20Guideline%20Guideline_Ver%201.0_250914_complete.pdf
13. Heit JJ, Wintermark M. Imaging od intracranial hemorrhage. Journal of stroke,
Korean stroke society;2017;19(1).p.11-4
https://sci-hub.se/https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5307932/