Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

MORBUS HANSEN

Oleh :
Lutfi Karimah (11.2018.042)
Pembimbing :
Dr. SILVI SUHARDI, SPKK

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT HUSADA
PERIODE 03 AGUSTUS – 05 SEPTEMBER
PENDAHULUAN

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat..
Kusta biasa disebut juga lepra atau morbus Hansen1.
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah interupsi dengan
episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik, yang merupakan suatu
reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi
kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang disebabkan karena
meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II atau reaksi erythema nodosum
leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul
kemerahan, neuritis, gangguan saraf, dll.
Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x
0,5 Um, tahan asam dan alkohol, serta positif – Gram. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan
dalam media artifisial. Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan
dengan kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 2–5
tahun1.

Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus reaksi


kusta sudah diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum diketahui. Kemungkinan reaksi
ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadap antigen basil yang menimbulkan
gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %, tetapi anak
di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara
25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis
dan subtropik, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.
Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita kusta mengalami reaksi
kusta. Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak 1 kali dan penderita tipe MB
sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M Schreuder (1998), sebanyak 12 % penderita kusta
mengalami reaksi tipe I selama masa pengobatan dan 1,6 % terjadi setelah penderita RFT. 30
Penelitian R. Bwire dan H.J.S Kawuma (1993), menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi
sebelum pengobatan adalah 14,8 %, selama pengobatan 80,5 % dan setelah pengobatan 4,7
%.31. Studi dari Scollard D.M, et.al (1994), menyimpulkan bahwa frekuensi terjadinya reaksi
tipe I adalah 32 % dan frekuensi reaksi tipe II 37 %. Frekuensi kejadian reaksi kusta menurut
jenis kelamin adalah pada wanita 47 % dan laki-laki 26 %.32 Kajian dari Van Brakel W.H
(1994), menyebutkan bahwa prevalensi reaksi reversal adalah 28 % dan ENL adalah 5,7 %142.

PATOFISIOLOGI

Pada penderita kusta, Mycobacterium leprae dapat ditemukan di seluruh tubuh seperti
saraf, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Perubahan patologik dari saraf biasanya merupakan
respon dari ditemukannya Mycobacterium leprae dalam kulit yang memunculkan reaksi
imunologi pada penderita. Beberapa penderita mengalami perluasan lesi dan rekuren yang
berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga menjadi kronik. Kusta tipe
lepromatosa mempunyai dampak paling buruk, hal ini karena tidak adanya respon imun seluler
terhadap antigen Mycobacterium leprae.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terdapat pada sel makrofag di
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf.  Bila kuman
M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal
dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta tipe TT
kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan
kuman. Sayangnya, setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans.
Bila infeksi ini tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel Schwann merupakan sel target
untuk pertumbuhan M. leprae. Sel Schwann memiliki fungsi untuk demielinisasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif. Sedangkan pada kusta tipe LL, terjadi
kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan1.
Respon imun pada penyakit kusta meliputi respon imun humoral atau antibody mediated
immunity dan respon imun seluler atau cell mediated immunity (CMI). Pada respon imun
humoral, tubuh akan memproduksi antibodi untuk menghancurkan antigen yang masuk. Dengan
CMI, antigen akan memacu produksi sel pertahanan spesifik yang dapat dimobilisasi untuk
menghancurkan antigen dan akan memicu terjadinya reaksi kusta. Meskipun respon imun
berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap bakteri atau antigen, tetapi respon imun yang
berlebihan dapat menimbulkan reaksi kusta reversal maupun ENL. Pada kusta tipe lepromatosa
aktivasi limfosit Th2 mempengaruhi produksi IL - 4 dan IL -10, yang akan menstimulasi respon
imun humoral dan intensitas produksi antibody limfosit B2.
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan manifestasi
pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah3. Perlu ditegaskan bahwa pada
ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi
pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Diperkirakan
reaksi pada ENL ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi
peradangan terjadi pada tempat-tempat basil lepra berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya
terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama1.
Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara antigen
M.leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen  kompleks imun. Komplemen akan bergabung
dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk endapan kompleks imun dan
menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor.1 Itulah sebabnya penimbunan kompleks imun
pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik reaksi ENL5.
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa, (TNF-a)
pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah terapi MDT juga
menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi diduga akibat sel mononuklear pada darah tepi penderita
ENL yang dapat meningkatkan jumlah TNF. Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan
kerusakan langsung pada sel dan jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag
memproduksi IL-1 dan IL-6 dan memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC).
Konsentrasi antigen dari bakteri yang tinggi dalam jaringan akan meningkatkan level
antibodi IgM dan IgG pada penderita tipe lepromatosa. Formasi dan berkurangnya komplek
imun serta aktivasi sistem komplemen dengan meningkatnya mediator inflamasi, merupakan
mekanisme imunopatologi penting pada ENL. Selama reaksi ENL terjadi penurunan tingkat IgM
anti PGL -1 (phenol glukolipid) yang berasal dari dinding M. leprae. Sesudah penderita
mengalami pemulihan, memacu antibodi IgM membentuk komplek imun dengan konsentrasi
yang berlebihan dari PGL -1 dalam jaringan. Beratnya ENL disebabkan oleh meningkatnya
produksi sitokin oleh limfosit Th2 sebagai respon imun tubuh untuk mengatasi peradangan.
Reaksi reversal (RR) merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat yang dijumpai pada
kusta tipe borderline. Antigen Mycobacterium leprae muncul pada saraf dan kulit penderita
reaksi tipe ini. Infeksi Mycobacterium leprae akan meningkatkan ekspresi major
histocompatibility complex (MHC) pada permukaan sel makrofag dan memacu limfosit Th CD –
4 untuk menjadi aktif dalam membunuh Mycobacterium leprae2.

GEJALA KLINIS

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada multiplikasi dan diseminasi kuman M.
leprae, respons imun penderita terhadap kuman M. leprae, komplikasi yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf perifer6.
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS). SIS baik akan tampak
gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah akan memberikan gambaran
lepromatosa. Tipe I atau indeterminate tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil sehingga tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar merupakan lepromatosa 100% yang
stabil. Sedangkan tipe antara Li dan Ti disebut tipe borderline atau campuran, campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50% tuberkuloid dan
50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak
lepromatosanya. Tipe-tipe ini merupakan tipe yang labil, sehingga bisa bebas beralih tipe kearah
TT atau LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table dibawah
ini1:

Klasifikasi Zona spektrum kusta


Ridley & Jopling TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL
Madrid Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa
WHO Pausibasilar, Multibasilar
Puskesmas Pausibasilar, Multibasilar
Tabel 1. zona spektrum kusta

Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam


tabel berikut:

Tabel 2. Gejala klinis menurut WHO

Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar1:


Tabel 3. Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.

Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar1:

Gejala-gejala kerusakan saraf:


1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah,
tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari
kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung
(wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis
6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal)
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
A. Reaksi kusta tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading)
Reaksi kusta tipe I terjadi pada penderita kusta tipe PB dan MB, terutama pada fase 6
bulan pertama pengobatan. Reaksi tipe I yang terjadi selama pengobatan diduga disebabkan
oleh meningkatnya respon imun seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf
penderita. Penderita dengan jumlah lesi yang banyak dan hasil kerokan kulit positip akan
menaikkan risiko terjadinya reaksi tipe I. Reaksi tipe I merupakan masalah besar pada
penyakit kusta karena dapat berpotensi potensi untuk menyebabkan kerusakan saraf dan
hilangnya fungsi saraf. Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua
bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk
yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala yang terjadi pada reaksi tipe I berupa adanya perubahan lesi kulit (lesi
hipopigmentasu menjadi eritema, lesi macula menjadi infiltrate) maupun saraf akibat
peradangan yang terjadi, onset nya mendadak. Manifestasi lesi pada kulit dapat berupa
warna kemerahan, bengkak, nyeri dan panas, sering muncul lesi kulit yang baru dengan
waktu yang relative singkat. Pada saraf dapat terjadi neuritis dan gangguan fungsi saraf.
Kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum penderita (demam). Hampir tidak terjadi
peradangan pada organ lain. Reaksi kusta tipe I dapat berlangsung 6-12 minggu atau lebih2.

Gambar 1. Reaksi reversa


Menurut beratnya reaksi Beratnya reaksi tipe I dapat dibedakan menjadi reaksi
ringan dan berat. Adapun perbedaan antara reaksi kusta tipe I ringan dan berat dapat dilihat
pada pada tabel berikut2 :

B. Reaksi kusta tipe II (Erythema Nodosum Leprosum / ENL)


Reaksi kusta tipe II sering terjadi pada penderita kusta tipe MB dan merupakan
respon imun humoral karena tingginya respons imun humoral penderita. Pada kusta tipe
MB, reaksi kusta banyak terjadi setelah pengobatan. Kompleks imun dapat beredar dalam
sirkulasi darah dan mengendap pada organ kulit, saraf, limfonodus dan testis. Diagnosis
ENL diperoleh dengan pemeriksaan klinik maupun histologi. Secara mikroskopis spesimen
ENL digolongkan menjadi 3 bagian mengikuti lokasi peradangan utama yaitu : klasikal
(subkutis), kulit dalam, dan permukaan.
Gejala ENL bisa dilihat pada perubahan lesi kulit berupa nodul kemerahan yang
multiple, mengkilap, tampak berupa nodul atau plakat, ukurannya pada umumnya kecil,
terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan dan
paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi
dan ulserasi juga disertai gejala sistematik seperti demam, malaise, nyeri sendi, nyeri otot
dan mata, neuritis, gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ
tubuh lainnya. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan
adanya proteinuria. Ia juga dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara
imunologik pula. Lama perjalanan ENL dapat berlangsung 3 minggu atau lebih, kadang lebih
lama2.

Gambar. 2 contoh-contoh reaksi ENL

Menurut beratnya reaksi Beratnya reaksi tipe II dapat dibedakan menjadi reaksi
ringan dan berat Perbedaan reaksi tipe II ringan dan berat dapat dilihat pada tabel berikut :2

Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand  atau drop foot.11 Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian– bagian mata lainnya. Secara sendirian atau
bersama – sama akan menyebabkan kebutaan2.
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrate difus, berwarna
merah muda, bentuk tidah teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstermitas, kemudian
meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpur, bula
kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan
akhirnya terbentuk jaringan parut1.
Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrate
polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan imunofluorensi tampak deposit
imonoglobulin dan komplemen didalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krigobulin sangat tinggi pada semua penderita2.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn
sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain
yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif).
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga
kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di
dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak
mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan
jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).
Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada
BTA dalam 100 lapang pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA
dalam 10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1
LP, 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat
sediaan1.
2. Pemeriksaan histopatologik
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan sistem
imunitas selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak
ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jarinagnnya tidak patologik1.
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein
16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yamg juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam
pemeriksaan serologik kusta ialah:
 Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)
 Uji ELISA
 ML dipstick (M. leprae dipstick)

Cara memeriksa gangguan fungsi saraf dan kelemahan otot adalah dengan teknik
voluntary muscle test (VMT) atau tes kekuatan otot dan untuk memeriksa berkurangnya rasa raba
dilakukan sensitivity test (ST) atau tes rasa raba. Untuk membantu diagnosis ENL dapat
dilakukan penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut:
 Konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat terperangkap
(segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang, berkurangnya (sensorik atau
motorik) velositas konduksi saraf.
 Berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle action
potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitudo rendah dari potensial sensoris.
 Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris, peroneal, median,
dan saraf-saraf tibial.7

Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan


pemeriksaan histopatologi
 Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah merah
dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun pada
glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan leukositosis PMN,
trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom dan peninggian kadar
gammaglobulin
 Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan infiltrat
pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL 7. Selain itu, akan tampak
peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian atas dan pada
dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear yang lokalisasinya
disekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh darah.3 Terdapat
pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteri-artei kecil pada lasi
ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh darah. Kerusakan dinding
vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.3

PENATALAKSANAAN

Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan
ketidaktaatan penderita1.
Obat obat dalam rejimen MDT-WHO
1. Dapson
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim
dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi
kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai
6 bulan.
Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan
untuk anak-anak.
Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut
jarang dijumpai pada dosis lazim.
2. Rifampisin
Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan
merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat
enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya
mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi.
Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-
kira 99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.
3. Klofazimin
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya
diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek
anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari.
Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe
I dan 2.
Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri
abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).
4. Etionamid dan Protionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada
pengobatan kusta. Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari. Obat ini bekerja
bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta
hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan
kusta.

Obat Kusta Baru


Pada pelaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu : adanya
resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada kusta MB. Pada
penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan
dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai MDT. Maka diperlukan
obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : Bersifat bakterisidal kuat terhadap M. leprae,
tidak anatagonis terhadap obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat
diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah
terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin.
A. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap
M. leprae, dibandingkan dengan siprofloksaisn dan pefloksasin. Dosis optimal harian 400
mg, dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis. Kerjanya melalui hambatan pada enzim
girase DNA mikobakterium. Efek sampingnya adalah mual, daire dan gangguan saluran
cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, dizziness,
nervousness, dan halusinasi. Walau demikian jarang ditemukan dan biasanya tidak
membutuhkan penghentian pemakaian obat. Bisa juga digunakan levofloxacin 500 mg
lebih efektif.

B. Minosiklin
Minosiklin merupakan turunan tetrasiklin yang bersifat lipofilik sehingga mampu
menembus dinding M. leprae. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis protein
melakui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang lain. Dosis harian yang
diberikan 500 mg. efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
C. Klaritromisin
Klaritromisin merupakan golongan makrolid yang mempunyai aktivitas bakterisidal
dengan menghambat suntesis protein melalui mekanisme yang lain dari minosiklin.
Penghentian obat lazim disebut release from treatment (RFT). Setlah RFT dilanjutkan
dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama minimal 5 tahun. Jika bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru
maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut release from control (RFC).
MDT untuk pausibasiler (I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS 100
mg tiap hari, keduanya diberikan 6-9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan,
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.
Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.
Kalau tidak ada keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, dinyatakna RFC
Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah mengontrol neuritis akut dalam
rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur, serta menghentikan kerusakan pada mata
dan mencegah kebutaan.9 Prinsip pengobatan reaksi kusta : 1). Istirahat / imobilisasi 2).
Pemberian analgesik / sedatif 3). Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat 4). MDT
diteruskan dengan dosis tidak berubah.
Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya
penyakit.
1. Reaksi ringan
Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik seperti Aspirin
atau Asetaminofen, berobat jalan dan istirahat di rumah, reaksi kusta ringan yang
tidak membaik setelah pengobatan 6 minggu harus diobati sebagai reaksi kusta berat.

2. Reaksi berat
Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema nodosum
leprosum (ENL) berat.
Prinsip umum:
1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi dalam
manifestasinya.
2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat rujukan.
3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan oleh dokter
sesuai dengan kebutuhan pasien individu.
4. Pemberian prednisone dengan cara bertahap atau ”tappering off ” selama 12
minggu. Setiap 2 minggu pemberian prednison harus dilakukan pemeriksaan
untuk pencegahan cacat.
5. Pemberian analgetik, bila perlu sedative
6. Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan clofazimin
7. Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit

Manajemen dengan kortikosteroid:


1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB dengan
total durasi pemberian 12 minggu.
Minggu Dosis harian
1-2 40 mg
3-4 30 mg
5-6 20 mg
7-8 15 mg
9-10 10 mg
11-12 5 mg

Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:


Indikasinya pada kasus ENL berat yang tidak berespon dengan pengobatan
kortikosteroid atau dimana risiko toksisitas dengan kortikosteroid yang tinggi.
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB.
4. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.
5. Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian klofazimin
seperti di bawah ini.
Manajemen dengan klofazimin saja:
Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi penggunaan
kortikosteroid.
1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
3. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.
4. Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu dan
kemudian 100mg 1 x sehari selama 12-24 minggu.
Minggu Dosis harian
1-4 40 mg
5-8 30 mg
9-12 20 mg
13-16 15 mg
17-20 10 mg
21-24 5 mg

Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline saja atau
dalam kombinasi dengan klofazimin/ prednisolone. Karena alasan efek samping teratogenik,
WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk manajemen reaksi ENL pada
kusta.nPengobatan reaksi kusta tipe II berulang selain prednison, perlu ditambahkan clofazimin
dengan dosis dewasa sebagai berikut : Selama 2 bulan 3 X 100 mg / hari , Selama 2 bulan 2 X
100 mg / hari Selama 2 bulan 1 X 100 mg / hari2.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih, A, Wisnu,M, Sjamsoe,E, dkk. Kusta. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI, edisi kelima. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm.73-
88.
2. Prawoto. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi (Studi di
wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Brebes). Available at:
http://eprints.undip.ac.id/17745/2/PRAWOTO.pdf. Access on : 13 Aguustus 2020.
3. Amirudin MD. Eritema Nodosum Leprosum. Ilmu Penyakit Kusta. 2003. Makassar :
Hassanudin University Press. Hlm. 83-99.
4. Dermatology Online Journal [Online]. 2001. Available at:
url:http://dermatology.cdlib.org/121/case_presentations/leprosy2/chauhan.html. Access on: Agustus 13 2020.
5. Freedbeg IM, Eizen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 6th ed. 2003, New York: McGraw Hill. Hlm. 1962-1971.
6. World Health Organization. WHO Expert Committee on Leprosy Six Report. World
Health Organization, Geneva. 1988.
7. Sridharan R. Lorenzo NZ Neuropathy of leprosy. 2007. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview
8. Lockwood DNJ, Bryceson ADM. Leprosy. In : Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM,
editor . Rook. Wilkinson/ Ebling Textbook of Dermatology. 7th ed. London: Blackwel science; 1998. P29
9. Menaldi, S. Respiratory reaksi kusta. Dept I. K. Kulit dan Kelamin RSUP dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta
2010.

Anda mungkin juga menyukai