1. Latar belakang
Datangnya al-Maudhu’at al-Lughawiyyah (beberapa peletakan bahasa), merupakan
suatu nikmat atas ciptaan Allah SWT. Meskipun ada yang mengatakan bahwa peletakan
bahasa adalah selain Allah SWT, yakni para hamba sendiri, munculnya bahasa tetap
menjadi anugerah agung dari-Nya, karena Allah-lah yang menciptakan semua perbuatan
hamba-hamba-Nya. Setiap manusia membutuhkan bahasa sebagai pengungkap makna
dalam hati, untuk berinteraksi dengan sesama. Karena secara fitrah, manusia makhluk
sosial, tidak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Selain itu
bahasa adalah faidah dari pada isyarat yang lebih mudah dipahami.1 Selain bahasa
manusia memerlukan pemahaman hukum-hukum tentang Islam seperti ilmu ushul
fiqh.Para ulama’ ushul berupaya untuk menggali hukum atau meng-istimbath-kan
hukum dari Al-qur’an dan Hadits, sebagaimana usaha untuk memecahkan problem
dalam masyarakat. Salah satu cara untuk menggali hukum adalah melalui nash-nash Al-
qur’an dan Hadits. Ushul fiqh merupakan ilmu yang mempelajari dasar-dasar fikih.
2. Tujuan
Dengan mempelajari ushul fiqh kita mampu menerapkan kaedah-kaedah dan teori
pembahasan dalil-dalil secara terperinci dalam menghasilkan hukum syariat islam, yang
diambil dari dalil-dalil, guna untuk mendapat pemahaman dan pengertian dari agama
islam, dan juga untuk mempelajari hukum –hukum islam yang berhubungan dengan
kehidupan manusia.
3. Pembahasan
Secara bahasa, ushul fiqh berasal dari 2 kata yakni Al-ushuul dan Al-fiqh. Al-ushuul
merupakan kalimat jamak dari al-ashl yang berarti asas atau dasar. Sedangakan Al-fiqh
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum islam berdasarkan dalil-dalil yang
syar’i. Apabila digabungkan, maka ushul fiqih merupakan dasar yang digunakan untuk
merumuskan hukum islam dalam masyarakat. Atau singkat kata, ushul fiqih berarti asal-
usul ilmu fiqih.Para ulama sendiri menjelaskan ushul fiqh dengan bermacam-macam
definisi. Menurut Al-Baidlawi, ushul fiqh berarti ilmu yang mempelajari tentang dalil-
dalil fiqh secara global, kemudian bagaimana cara menggunakan dalil itu untuk
berijtihad, dan apa saja syarat untuk menjadi mujtahid.Sedangkan Abdul Wahab Khalaf
berpendapat bahwa ushul fiqh merupakan ilmu tentang kaidah-kaidah islam yang
digunakan untuk menentukan hukum syara’ amaliyah dengan didasarkan pada dalil-
dalil syar’i. Secara garis besar objek bahasan ushul fiqih adalah sumber hukum syara’
dengan semua seluk beluknya, Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode
penggalian hukum dari sumbernya, dan Persyaratan orang-orang yang berwenang
melakukan istinbath.
Secara rinci ushul fiqih berfungsi sebagai Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-
kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum, Menggambarkan
persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, Memberi bekal untuk menentukan
hukum-hukum yang baru, Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid,
sejalan dengan dalil yang mereka gunakan, dengan demikian kita bisa memilih pendapat
mereka.Peranan ushul fiqih terhadap pengemban fiqih Islam dapat dikatakan sebagai
kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembanganpemikiran fiqih
islam.Pada hakikatnya ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh itu telah ada pada saat yang
bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai suatu ilmu,
tetapi metode-metode yang telah digunakan pada saat itu untuk menetapkan suatu
hukum yaitu dengan cara teori ushul fiqh, seperti berdasarkan Al-Qur’an, sunah dan
ijtihad. Ilmu ushul fiqh dibukukan (kodifikasi) pada masa Imam Asy-Syafi’i. Hal
tersebut ditunjukkan dengan karyanya yang berjudul Al-Risalah (sepucuk surat). Setelah
masa imam Syafi’i banyak karya-karya di bidang ushul fiqh yang bermunculan, itu
menandakan bahwa perkembangan ilmu ushul fiqh sangat pesat pada masa itu.
Berikut ini beberapa manfaat mempelajari ushul fiqih yang paling utama.
a.Menjadi pondasi dalam berijtihad
Ilmu ushul fiqh merupakan dasar yang digunakan para ulama dalam berijtihad. Yakni
memutuskan hukum syara’ atau perkara-perkara yang tidak ada dalilnya dalam Al-quran
dan Al-hadist. Tentunya dalam berijtihad tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Sebab nantinya hasil ijtihad ini akan digunakan oleh masyarakat sebagai landasan
hukum.Seseorang yang ahli ushul fiqih biasanya memiliki wawasan luas tentang tafsir
Al-quran. Perbedaan hadist shahih, hasan dan dhaif, serta dalil-dalil yang benar menurut
agama. Dengan demikian, pembentukan hukum islam bisa lebih mendekati kebenaran.
b.Memperluas wawasan tentang islam
Manfaat mempelajari ilmu ushul fiqh yang pertama adalah untuk memperluas wawasan
tentang islam yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, apabila
ada perkara tertentu maka kita bisa mencari dalil-dalil yang benar.
c.Menerapkan kaidah islam secara benar
Pada dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan qiyas.
Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci tentunya ia akan
memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan demikian, ia pun dapat
menerapakankaidah islam secara benar.
d.Mengaplikasikan hukum sesuai syariat agama
Manfaat mempelajari ushul fiqh selanjutnya adalah untuk mengaplikasikan hukum yang
benar sesuai syariat agama. Seorang mukallaf dan Mufti tentunya harus menguasai ilmu
ushul fiqh agar bisa membuat fatwa yang tidak menyesatkan. Begitupun dengan hakim
dalam mengambil keputusan juga sebaiknya berpedoman pada ushul fiqh sehingga
keputusannya bisa dipertanggungjawabkan secara agama.
e.Memperkuat keyakinan terdapat hukum-hukum syara’
Hukum syara’ adalah hukum yang mengatur tentang kehidupan atau tingkah laku
manusia dengan berdasarkan pada ketetapan Allah Ta’ala. Beberapa hukum syara’ ada
yang tidak tertuang jelas pada Al-quran sehingga diperlukan ijtihad. Nah, apabila kita
mempelajari ilmu ushul fiqh maka kita bisa lebih memahami tentang hukum syara’.
Kita bisa lebih yakin mana hukum wajib, sunnah, makruh atau mubah.
f.Mengetahui bagaimana para mujtahid membentuk hukum fiqih
Manfaat selanjutnya dari mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui bagaiamana
para mujtahid membentuk hukum fiqh di jaman dulu. Sehingga kita pun bisa menelaah
dan membedakan mana hukum yang benar dan mana yang masih dalam batas dalam
pertentangan.
g.Mencari kebenaran diantara madzab fiqh
Manfaat mempelajari ushul fiqh juga bisa membantu kita mencari kebenaran diantara
ahli madzhab fiqih. Kita bisa membandingkan pendapat madzhab satu dengan yang lain.
Lalu melakukan pembelajaran tentang masing-masing hukum, sehingga bisa ditemukan
mana hukum yang paling sesuai dengan syariat agama islam.
h. Sarana untuk membentuk hukum fiqih
Ilmu ushul fqih sangatlah luas. Mempelajari ushul fiqh berarti mempelajari Al-quran
dan Al-hadist secara menyeluruh hingga bagaimana cara menafsirkan dan
mengembangkannya. Apabila seseorang mampu memahami ushul fiqh secara
mendalam maka ilmunya bisa ia gunakan untuk menilai hukum fiqih yang telah ada,
ataupun merumuskan hukum yang belum ada secara benar dan sesuai syariat islam.
4. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kiranya kita ambil benang merah seputar sejarah
perkembangan ilmu ushul fiqh bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar, bagi kita yang
ingin maju dan menjaga kemurniaan ajaran Islam yang telah diusung oleh Rasulullah
Saw beserta para sahabat dan para ulama terdahulu.Sehingga pada zaman sekarang
adalah bagaimana ketentuan hukum atau aturan yang telah digariskan oleh Rasullah
Saw menjadi pedoman dalam melakukan aktivitas. Lebih luas lagi bahwa prinsip hukum
Islam adalah menekankan pada aspek etika kegiatan ber-ijtihad, yaitu bagaimana setiap
perilaku kita dalam kegiatan musyawarah dalam mencapai mufakat untuk menerapkan
seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk, dan
menetukan apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh seorang individu. Ushul
fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh
adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam
menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari
pada ilmu ushul fiqh.Ushul fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan
metode penggalian hukum-hukum syara mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil
yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah tentang hal-hal tersebut.
1. Latar belakang
Masalah pacaran tidak bisa lepas dari dunia remaja, karena salah satu ciri remaja yang
menonjol adalah rasa senang kepada lawan jenis disertai keinginan untuk memiliki.
Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai “naksir” lawan jenisnya. Dikalangan
remaja, pacaran menjadi identitas yang sangat dibanggakan. Biasanya seorang remaja
akan bangga dan percaya diri jika sudah memiliki pacar. Sebaliknya remaja yang belum
memiliki pacar dianggap kurang gaul. Karena itu, mencari pacar dikalangan remaja
tidak saja menjadi kebutuhan biologis tetapi juga menjadi kebutuhan sosiologis. Maka
tidak heran, mayoritas remaja saat ini sudah memiliki teman spesial yang disebut
“pacar”. Soal pacaran tampaknya menjadi gejala umum di kalangan remaja. Remaja
adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yaitu usia 10-19
tahun.Masa remaja adalah masa yang indah. Banyak hal yang terjadi pada masa transisi
remaja dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Satu proses masa yang semua anak
manusia sedang dan akan terjadi dalam sebuah proses tumbuh kembang remaja.
Dunia remaja memang unik, sejuta peristiwa terjadi dan sering diciptakan dengan ide-
ide cemerlang dan positif. Namun demikian tidak sedikit juga hal-hal negatif yang
terjadi.Salah satu hal yang menarik dan terjadi dalam dunia remaja adalah trend pacaran
yang digemari sebagian remaja walau tidak sedikit juga orang dewasa gemar
melakukannya. Bahkan ada rumor yang menarik, bahwasannya bila ada remaja yang
belum punya pacar berarti belum mempunyai identitas diri yang lengkap. Memang tidak
dapat dipungkiri bila pacaran merupakan fenomena tersendiri dikalangan remaja. Dan
kalaupun dicari satu definisi tersendiri pacaran maka akan sulit. Sebagian ada yang
mendifiniskan pacaran adalah ajang dari untuk mendapatkan kepuasan libido seksual,
atau pacaran hanya sebagai label “saya punya pacar dan mendogkrak percaya diri”.
Ataukah pacaran adalah suatu hal yang penting karena dengan pacaran kita punya
seseorang yang bisa membantu kita dalam mengatasi persoalan hidup untuk definisi
pacaran tentu akan ada banyak yang lainnya.
2. Tujuan
Mengetahui hukum berpacaran dalam agama islam,dan bagaimana islam mengatur
urusan hubungan antara laki-laki dan perempuan sesuai kaidah norma agama yang
berlaku di dalam islam.
3. Pembahasan
Pada zaman ini, seringkali kita jumpai anak-anak sekolah yang sering bergandengan
tangan dengan pacarnya. Akan berangkat sekolah, dijemput, pulang sekolahpun diantar,
malam minggu ngedate, makan bareng. Begitulah keadaan kebanyakan anak muda saat
ini, kecuali yang Allah jaga dengan rahmatNya.Hal ini tidak mengheran karena memang
wanita adalah ujian umat ini.
َّصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل الَ يَ ْخلُ َو َّن َر ُج ٌل بِا ْم َرَأ ٍة َوالَ تُ َسافِ َر َّن ا ْم َرَأةٌ ِإال َّ ِضي هللاُ َع ْنهُ َأنَّهُ َس ِم َع النَّب
َ ي ٍ َع ِن ا ْب ِن َعبَّا
ِ س َر
)َو َم َعهَا َمحْ َر ٌم ( رواه البخاري
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata:
Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali
beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali
beserta ada mahramnya” (muttafaq alaihi)
Rasulullah saw secara tidak langsung telah memberikan rambu-rambu kepada umatnya
mengenai model hubungan laki-laki dan perempuan yang terlarang. Pelarangan itu demi
menghindarkan seseorang terjerumus dalam perzinahan. Karena pada umumnya
perzinahan bermula dari situasi berduaan.Demikianlah dasar hukum dilarangnya
pacaran, jika yang dimaksud dengan pacaran itu adalah Pergaulan bebas antara laki-laki
dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka, sebagaimana
yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Purwodarminto.Akan tetapi
berbeda hukumnya jika yang dimaksud dengan pacaran adalah upaya saling mengenal
menjajaki kemungkinan untuk menjalin pernikahan dalam momentum khitbah melamar.
Karena sesungguhnya hal itu sama seperti mendukung anjuran Rasulullah saw terhadap
generasi muda muslim untuk menikah, sebagai solusi menghindarkan diri dari
perzinahan.
4. Kesimpulan
Pada dasarnya berpacaran saat remaja merupakan hal yang tidak baik karena secara usia
dan psikologi seorang remaja belum siap, tetapi apabila hanya untuk mengenal satu-
sama lain dan dalam batas sewajarnya hal tersebut tidak apa-apa dilakukan terutama
untuk meningkatkan prestasi belajar mereka sendiri selain itu peran orang tua dan guru
sangat penting agar mereka tidak terjerumus dalam prilaku-prilaku tidak baik yang
ditimbulkan.cara menyelamatkan diri dari pacaran adalah dengan memperbanyak doa,
dan memohon perlindungan kepada Allah dari fitnah wanita,Menjaga pandangan dan
tidak mengumbarnyaWanita saat keluar rumah, hendaknya menggunakan pakaian yang
syar’i. Tidak sempit apalagi membentuk aurat.Menjauhi hal-hal yang membangkitkan
syahwat.
2. Tujuan
Dengan mempelajari ini agar mengetahui bagaimana islam mengatur tata cara sholat
sesuai hukum syara' dan bagaimana hukum taklifi menetapkannya.
3. Pembahasan
Pada masa sekarang ini banyak orang yang sering melalaikan sholat
dikarnakankesibukannya dalam urusan duniawi. Manusia sering lupa bahwa sholat
adalah simbol syukur atas segala nikmat dan karunia dari sang maha khalik, menurut
hemat saya orang yang melalaikan bahakan meninggalkan Sholat mereka tidak paham
betul bagaimana Sholat itu sebenarnya dan bagaimana islam mengatur dan
menetapkannya.
Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad telah memberikan peringatan keras kepada
orang yang suka meninggalkan salat wajib, mereka akan dihukumi menjadi kafir[2] dan
mereka yang meninggalkan salat maka pada hari kiamat akan disandingkan bersama
dengan orang-orang, seperti Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay bin Khalaf.[3]
Hukum salat dapat dikategorisasikan sebagai berikut:
a.Fardu, Salat fardhu ialah salat yang diwajibkan untuk mengerjakannya. Salat fardhu
terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
b.Fardu ain adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukalaf langsung berkaitan
dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain,
seperti salat lima waktu, dan salat Jumat (fardhu 'ain untuk pria).
c.Fardu kifayah adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukalaf tidak langsung
berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah ada sebagian orang
yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang mengerjakannya maka kita
wajib mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak dikerjakan, seperti salat jenazah.
Salat yang mula-mula diwajibkan bagi Nabi Muhammad dan para pengikutnya adalah
salat malam, yaitu sejak diturunkannya Surat al-Muzzammil (73) ayat 1-19. Setelah
beberapa lama kemudian, turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat 20:
— Al-Muzzammil 73:20
Dengan turunnya ayat ini, hukum salat malam hukumnya menjadi sunnah. Ibnu Abbas,
Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya berkata mengenai ayat 20
ini, "Sesungguhnya ayat ini menghapus kewajiban salat malam yang mula-mula Allah
wajibkan bagi umat Islam.
Berikut ini adalah ayat-ayat yang membahas tentang salat di dalam Al-Quran, kitab suci
agama Islam.
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: Hendaklah mereka
mendirikan salat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka
secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari
itu tidak ada jual beli dan persahabatan (Ibrahim 14:31).
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji (zina) dan mungkar,
dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-‘Ankabut 29:45).
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan (Maryam
19:59).
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali
orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya (al-
Ma’arij 70:19-23).
Dalam situasi dan kondisi tertentu kewajiban melakukan salat diberi keringanan
tertentu. Misalkan saat seseorang sakit dan saat berada dalam perjalanan (safar).
Bila seseorang dalam kondisi sakit hingga tidak bisa berdiri maka ia dibolehkan
melakukan salat dengan posisi duduk, sedangkan bila ia tidak mampu untuk duduk
maka ia diperbolehkan salat dengan berbaring, bila dengan berbaring ia tidak mampu
melakukan gerakan tertentu ia dapat melakukannya dengan isyarat.
Sedangkan bila seseorang sedang dalam perjalanan, ia diperkenankan menggabungkan
(jamak) atau meringkas (qashar) salatnya. Menjamak salat berarti menggabungkan dua
salat pada satu waktu yakni salat zuhur dengan salat asar atau salat magrib dengan salat
isya. Mengqasar salat berarti meringkas salat yang tadinya 4 rakaat (zuhur, asar, isya)
menjadi 2 rakaat.
4. Kesimpulan
Sholat adalah kewajiban setiap manusia yang beragama islam, sholat menjadi tiang
utama dalam agama, sholat juga merupakan suatu ungkapan syukur manusia terhadap
sang khalik. Hukum taklifi menetapkan sholat sebagai hukum wajib untuk dilaksanakan,
apabila dikerjakan mendapat pahala apabila d tinggalkan mendapat dosa. Allah juga
menerangkan perintah mengenai sholat di dalam al qur'an namun jika kita berkendala
dalam melaksanakan sholat seperti sakit, allah akan memberikan keringan untuk
melaksanakannya dengan membolehkan sholat duduk ketika tidak mampu berdiri, tidur
jika tak mampu berdiri dan duduk.
4. Kesimpulan
Hukum taklifi adalah hukum yang berisi perintah, larangan atau pilihan antara
berbuat atau tidak berbuat. Hukum taklifi herat kaitannya dengan maqaashid syariah
yang lima yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Masing-masing dari
kelimanya memiliki pembagian yang ditinjau dari beberapa segi.
Ahliyah al-wujub atau kecakapan berhak, yaitu kecakapan seseorang untuk
mendukung hak-hak yang diperuntukan bagi dirinya dan untuk mendukung hak-hak
yang dibebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban terpenuhinya hak-hak
orang lain atas dirinya. Ahliyah al-wujub terbagi dua yaitu: Ahliyah al-wujub al-
naqishah dan Ahliyah al-wujub al-kamilah. Ahliyah al-ada atau kecakapan bertindak,
adalah kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah menurut
syara’. Ahliyah al-ada terbagi dua yaitu: Ahliyah al-ada al-naaqishah dan Ahliyah al-ada
al-kamilah.
b.Sumber “non tekstual” disebut ghoiru nushush, seperti istichsan dan qiyas. Meskipun
sumber hukum yang kedua ini tidak langsung mengambil dari teks Al-Qur’an dan
Sunnah, tetapi pada hakikatnya digali berdasarkan dan bersandar pada Al-Qur’an dan
Sunnah. Dan pemahaman yang digali secara tidak langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah
disebut metode ma’nawiyah.
Teks Al-Qur’an dan Sunnah keduanya merupakan sumber dan dalil pokok
hukum Islam, yakni keduanya menggunakan bahasa Arab. Karena Nabi yang menerima
dan menjelaskan Al-Qur’an itu menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu setiap usaha
memahami dan menggali hukum dari kedua hukum tersebut sangat tergantung pada
kemampuan memahami bahasa Arab. Untuk itu para ahli ushul menetapkan bahwa
pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan kaidah tersebut. Dalam hal
ini ahli ushul berpegang pada dua hal, yakni:
Pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Pada petunjuk Nabi dalam memahami hukum-hukum Al-Qur’an dan penjelasan sunnah
atas hukum-hukum Qur’ani itu. Dalam hal ini lafadz ‘Arabi dipahami dalam ruang
lingkup hukum syara’.
Empat Segi Pokok Pemahaman Teks Al- Qur’an dan Sunnah
a.Pemahaman lafadz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya terhadap maksud
kehendak Allah dalam lafadz itu.
b.Pemahaman lafadz dari segi penunjukannya terhadap hukum.
c.Pemahaman lafadz dari segi kandungannya terhadap satuan pengertian (afrad) dalam
lafadz itu.
c.Pemahaman lafadz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan
tuntutan hukum (taklif).
4. Kesimpulan
Sebagimana diuraikan diatas, bahwa pembagianmadzhab Mutakallimin pada dua lafadz
yaitu dzahir dan nash tidak berbeda kandungan dan cakupannyadengan pembagian
madzhab Ahnaf kepada empat lafadz yaitu dzahir, nash, mufassar, dan muhkam.
Damundemikian, apa yang dapat diketengahkan di sini bahwa pembagian yang
dilakukan oleh madzhab Ahnaf tampaknya lebih utama dibanding pembagian yang
dilakukan oleh madzhab Mutakallimin. Pembagian Ahnaf lebih luas kandungannya
pada makna-makna yang dihasilkan oleh penunjukan masing-masing lafadz. Batasannya
lebih jelas antara jenis lafadz yang satu dengan lainnya. Serta penunjukan lafadz pada
makna yang dimaksud lebih jelas dalam pembagian Ahnaf, mengingat batasan nash
yang dibuat contoh dalam setiap pembagian lafadz lebih tepat dan akurat.
4. Kesimpulan
Lafaz yang jelas adalah lafaz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang
dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar, lafaz yang tidak jelas adalah lafaz
yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan
penjelasan dari luar lafaz itu. Lafaz yang tidak jelas terdiri dari 4 tingkatan,yaitu : khafi,
musykil, mujmal dan mutasyabih.
8.Lafadz Am
1. Latar Belakang
Al Quran merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW dengan menggunakan Bahasa Arab. Sebagai bahasa Al Quran, Bahasa Arab
memiliki berbagai macam dialek (lahjah), sehingga tidak sedikit dijumpai lafaz
yang kadang kala bisa memiliki berbagai macam arti. Dalam Al Quran banyak
dijumpai istilah yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna tertentu, seperti
lafaz ‘am, khas, mutlak, muqayyad, dan lain sebagainya.
Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa Al Quran tersebut, para
ulama, baik ulama ushul fiqh, ulama tafsir, ulama lughah, dan lain sebagainya, telah
mengadakan penelitian yang serius terhadap beberapa lafaz, khususnya yang
terkait dengan uslub atau gaya bahasa arab.
Hasil penelitian dari para ulama tersebut kemudian disusun menjadi beberapa
kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan untuk memahami
nash-nash Al Qur’an secara baik dan benar. Kaidah-kaidah tersebut bisa berupa
kaidah yang terkait dengan masalah kebahasaan, hukum, ilmu-ilmu Al Qur’an, dan
lain sebagainya. Dalam makalah ini kami akan mencoba untuk membahas kaidahkaidah
kebahasaan dalam Al Quran, khususnya dalam hal lafadz ‘am
2. Tujuan
Agar mampu memahami suatu lafads itu dengan berbagai pengertian dengan
mengetahui hal-hal yang membuatnya menjadi lafaz am, dan mengetahui pembagian am
itu sendiri.
3. Pembahasan
a.Pengertian Am menurut bahasa ialah cakupan sesuatu baik lafaz atau
selainnya.
Sedangkan menurut istilah ialah lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan
satuan yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku. Adapun
yang dimaksud dengan satu makna yang berlaku yaitu lafaz yang tidak mengandung arti
lain yang bisa menggantikan makna tersebut (bukan musytarak). Lafaz ‘âm tersebut
menunjukkan arti banyak dengan menggunakan satu ungkapan dan dalam keadaan yang
sama. ‘Am menurut istilah Ushul Fiqh ialah: “Lafaz yang mencakup semua apa saja
yang masuk padanya dengan satu
ketetapan dan sekaligus.
b. Ruang Lingkup Am
Setiap lafaz(kata)mengandung dua lingkup pembahasan,yaitu :
Lafaz itu sendiri,yang tersusun dari huruf-huruf.
Makna atau arti yang terkandung dalam lafaz itu.
Para Ulama ushul membahas persoalan tentang
lafaz ‘am,khushush,mutlaq dan muqayyad dalam konteks :”apakah berada
dalam lingkup lafaz atau lingkup makna”
1.Jumhur Ulama berpendapat bahwa ‘am itu pada hakikatnya berada
dalam lingkup lafaz,karena ia menunjukkan pengertian-pengertian
yang terkandung didalamnya.kalau kita berbicara tentang ‘am,berarti kita bicara tentang
lafaz,bukan tentang makna.Hal ini berlaku pula
pada lafaz khushush,mutlaq dan muqayyad.
2. Sebagaian kecil Ulama berpendapat bahwa ‘am itu juga menyangkut
makna.
3. Jumhur Ulama juga berpendapat bahwa lafaz ‘am dapat juga
digunakan untuk makna,namun penggunaan untuk makna itu hanya
secara majazi,bukan dalam penggunaan yang sebenarnya,sebab kalau
ia hakikatnya untuk makna,tentu akan berlaku untuk setiap makna.
c. Shigot Am
Sighat ‘am ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum.Adapun sighatsighat
tersebut adalah sebagai berikut :
1.lafadz (كل الذي التي ايsyarat istifmah atau mausul). ( متيuntuk waktu dalam bentuk
istifham ataupun syarat) ( اين حيثماUntuk tempat dalam bentuk syarat) ( منUntuk
istifham syarat dan mausul) dan lafadz: جمع
d. Kriteria lafaz yang bermakna ‘Am
Dalam tradisi Bahasa Arab , terdapat sejumlah lafal yang diungkapkan untuk
menunjukkan makna ‘am, yaitu:
• Lafal Mufrad (kata tunggal) yang dilekati partikel (Alif Lam alIstigraqiyyah) yang
bermakna pernyataan seluruh atau semua.
• Lafal jama’ (Kata jamak) yang dilekati oleh partikel yang bermakna
seluruh atau semua.
• Lafal yang termasuk ism al-jins, yakni lafal yang tidak mempunnyai
satuan tunggalLafal yang disandarkan kepada ism ma’rifah (al-mudâf ilâ
al-ma’rifah) .
• Ism syart,
• Ism mausul
e. Macam macam lafads Am
Abdul Wahab Khalaf menyimpulkan bahwa menurut hasil penelitiannya
terhadap beberapa nash, telah ditetapkan bahwa al-‘am itu ada tiga bagian
• Am yang tetap dalam keumumannya (Al-‘am al-baqi ala umumih)
Seperti ‘Am dalam firman Allah SWT “dan tidak ada satu binatang
melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rizkinya.” (QS.
Hud : 6)
• . (Al-‘am al-murad bihi al-khusus) Yaitu ‘am yang dibarengi dengan
qorinah yang dapat meniadakan ketetapan al-‘am kepada keumumannya,
dan dapat menjelaskan bahwa yang dimaksud daripadanya ialah sebagian
satuannya. Seperti firman Allah”Mengerjakan haji ke baitullah adalah
kewajiban manusia terhadap Allah” (QS. Ali Imron:97):
• Amm yang di khususkan (Al-‘am al-makhsus) Yaitu‘am al-Muthlaqyang
dibarengi dengan qorinah yang dapat meniadakan kemungkinan
mentakhsisnya, dan tidak pula merupakan qorinah yang dapat
meniadakan dalalahnya atas umum. Seperti kebanyakan nash yang di
dalamnya terdapat sighot umum, adalah digeneralkan dari qorinahqorinah berupa akal
atau lafadz, atau urf (kebiasaan) yang dapat
menentukan umum atau khusus.
f.Penunjukan lafdz Am terhadap Hukum
Abû Zahrah mendefinisikan al- ‘âmm sebagai berikut: suatu lafaz yang
الدستغرق فى داللتو لجميعما يصلو لو وضع واحدmencakup keseluruhan
makna yang dikandungnya melalui satu ketetapan bahasa.
Dalam definisi ini tidak termasuk keumuman kandungan atau makna suatu
lafaz. Definisi ini juga membedakan antara hal yang mutlak dengan hal yang
umum.
Hal ini karena hal yang umum mencakup seluruh lafaz yang tidak terbatas, tanpa
ditujukan kepada suatu lafaz pun, sedangkan lafaz yang mutlak ditujukan kepada
suatu lafaz, baik makna tunggal maupun lafaz jamak.
Apabila ada satu lafadz disatu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat yang
lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya.
1. Persaman sebab dan hukumnya
Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya
harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz mutlaq tadi
jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada muqayyad, dan harus
diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafadz tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya
namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan
penjelasan yang mutlaq. Contoh lafadz:
فصيام ثالثة أيام
Artinya: Berpuasa tiga hari, merupakan bentuk contoh mutlaq, menurut bacaan
mutawatir. Tetapi menurut bacaan syadzah lafadz tersebut bentuknya muqayyad (bacan
Ubbaid bin Ka’abdan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi :
فصيام ثالثة أيام متتابعات
Artinya : berpuasalah tiga hari berturut -turut .
Jadi lafadz di atas dibatasi dengan kata - kata berturut - turut (mutatabiat).
Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hokumnya, maka qirat mutawatir di atas
diikutkan (disesuaikan) dengan qiraat syadzah. Jadi cara mengartikannya disamakan
dengan qiraat syadzah. Hendaklah berpuasa tiga hari berturut -turut. Jadi, karena
keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat
sumpah. Lebih jelasnya, walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan lafadz
mutatebiatin tetapi cara mengartikannya haruslah berpuasa tiga hari berturut turut
dengan memakai qaid mutatabiat.
5. Adakalanya salah satu di antara keduanya ( mutlaq dan muqayyad), dalam bentuk
itsbat (membenarkan) dan naïf (membantah). Contohnya, seorang berkata,
Merdekakanlah hamba sahaya. Lalu berkata lagi, jangan memerdekakan hanba sahaya
yang kafir. Atau ia berkata ,Memedai memerdekakan hamba sahaya muslim. Dan
berkata lagi, Tidak memadai memerdekakan hamba sahaya. Lafadz mutlaq dalam
contoh tersebut diberi qayid dengan kebalikan atau lawan dari qayid pada lafadz yang
miqayyad. Dalam contoh pertama kata hamba sahaya diberi qayid dengan muslim dan
contoh kedua hamba sahaya diberi qayid dengan kata muslim
6. Bila dalam keduanya (mutlaq dan muqayyad) dalm benuk naïf atau dalam bentuk
mrlarang , atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang satu lagi dalam bentuk melarang,
maka lafadz mutlaq diberi qaid dengan sifat yang terdapat dalam lafadz muqayyad.
4.Kesimpilan
Mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa
pembatasan yang dapat mempersempit keluasan.Sedangkan muqayyad adalah
suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan
yang memperesmpit keluasan.
Para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya,
selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya.Begitu juga hukum lafazh
muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya.
Sedangkan hubungan antara mtlaq dan muqayyad diantaranya :
· Persamaan sebab dan hukum
· Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
· Perbedaan hukum dan sebab
· Perbedaan hukumnya saja
Dan dalam masalah ini masih banyak para ulama ushul fiqih berbeda pendapa
2. Tujuan
Agar kita bisa memahami penunjukan lafadz nash menurut madzhab Hanafi dan
agar kita bisa memahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil
hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha
menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan
tepat.
3. Pembahasan
Secara bahasa kata “”داللـةadalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “-دل
”يـدلyang berarti menunjukan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau
penunjukkan. Dengan kata lain, dilalah itu ialah penunjukan suatu lafadz nash
kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita
dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.
4.Penunjukkan diam menyatakan madud (suatu yang dibilang) hal tersebut sudah
biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.
Ayat diatas memiliki makna asli yaitu adanya perbedaan antara jual beli dengan riba.
Karena ayat tersebut turun untuk membantah orang- orang jahiliyah yahudi yang
mengatakan bahwa jual beli seperti riba, namun ayat tersebut juga memiliki maksud
lain yaitu makna mengikuti (taban), yaitu bolehnya jual beli dan haramnya riba.
B.Isyarah al- Nash ialah penunjukkan lafadz atas suatu ketentuan hukum yang tidak
disebutkan langsung oleh lafadz nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang
diucapkan diungkapkan untuk itu Defenisi lainnya, Yaitu penunjukan lafadz pada selain
dari maksud asli (asolatan) ataupun maksud mengikuti (taban). akan tetapi dia memiliki
suatu makna yang mana hubungan kalimatnya memiliki arti. Hal mana, maksud dari
suatu lafadz dapat diambil faidahnya lewat isyarah bukan lewat ibarah
C.Dilalah al- Nash ialah petunjuk lafadz atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan
Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut anhu), karena antara
kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan illat, dimana
pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa
kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan
daya nalar.
D.Iqtidho al- Nash adalah penunjukan lafazh terhadap segala perkara makna yang tidak
dapat berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang lain. Dalalah iqtidha
terbagi kepada tiga macam:
1. Sesuatu yang wajib di takdirkan ( dimunculkan ) kebenaran suatu ucapan.
Contohnya sabda Rasul:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
Artinya: “Dicabut dari umatku kesalahan dan lupa”
Ibarah hadits ini mengandung makna bahwa kesalahan dan lupa telah dicabut sehingga
tidak ada lagi lupa dan kesalahan yang terjadi pada umat Muhammad Shallallahu alihi
wa sallam, namun kenyataan yang ada bertentangan dengan hadits tersebut, karena kita
masih mendapatkan kejadian itu di masyarakat. Maka sebenarnya kesalahan dan lupa itu
tidak bisa dicabut dari manusia. Oleh karena itu hadits tersebut wajid ditakdirkan
dengan itsmu (dosa ). Maksudnya itsmu al-khatā’ wa al-nisyān ( dosa kesalahan dan
lupa ), agar kalimat tersebut jadi benar.
2.Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ungkapan atau
kalimat secara akal. Contohnya, firman Allah ta’ala:
ََوا ْسَأ ِل ْالقَرْ يَة
Artinya: “Dan tanyalah (penduduk) negeri.”(Qs. Yusuf: 82).
Menurut zahir lafadz ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena tidak mungkin
bertanya kepada kampung yang bukan makhluk hidup. Karena itu perlu dimunculkan
suatu kata sehingga ungkapan itu menjadi benar dan selaras maknanya. Adapun kata
yang layak dimunculkan adalah penduduk sebelum kata kampung, karena penduduk
kampunglah yang ditanya dan dapat memberi jawaban.
b.Manthuq ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukannya timbul dari
wadhiyah iltizhamiyah Manthuq ghairu sharik terbagi ke dalam dua macam yaitu
penunjukannya itu dimaksud oleh pembicaraan dan penunjukannya tidak
ditunjukkan oleh pembicara hanya terbatas pada suatu bentuk dilalah isyarah yang
dalam pandangan Hanafiyah juga disebut dengan dilalah isyarah atau isyarah nash.
a. Mafhum Muwafaqah adalah mafhum yang lafadznya bahwa hukum yang tidak
disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafadz. Dari segi kekuatan
berlakunya pada apa yang tidak disebutkan maka mafhum Muwafaqah terbagi dua
yaitu: Mafhum Aulawi. Yaitu berlakunya hukum pada suatu peristiwa yang tidaklah
disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya
hukum yang diberlakukan pada lafadz. Kekuatan itu ditinjau dari segi alasan
berlakunya hukum pada manthuqnya sebagaimana yang disebutkan dalam surat al isra
ayat 23 dan Mafhum musawi yaitu berlakunya hukum pada suatu peristiwa yang
tidak disebutkan dalam manthuq
b.Mafhum Mukhalafah Yaitu mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum
yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.
4.Kesimpulan
dalam pandangan ulama Syafi’iyah, dilalah terbagi menjadi dua macam,yaitu dilalah
mantuq adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya dan dalam
ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan dilalah mafhum adalah petunjuk hukum yang
terdapat dalam susunan lafadznya tetapi tidak disebutkan dalam ucapan (lahir)
lafadznya
2.Tujuan
Pemahaman akan konteks yang terkandung dalam al qur’an, kita membutuhkan
pemahaman dari segi kebahasaan, salah satunya ialah amr. Perlu kita ketahui apa itu
amr, macam-macam amr, sighat amr, serta kaidah-kaidah amr. Agar dalam pengambilan
hukum dalam al qur’an tidak ditemukan kerancuan dan kekeliruan, yang berakibat pada
hukum yang bertele-tele.
3.Pembahasan
Pengertian Amr (perintah) merupakan suatu lafal yang didalamnya menunjukkan
tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dari atasan kepada bawahan.(Ahmad,1997)
Sehingga dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa amr tidak hanya ditunjukan
pada lafal yang memakai shigat amr saja, namun jika dilihat dari segi kebahasaan
mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan kata majaz. Point
penting dari definisi amr ini adalah bahwa didalam kata amr terkandung unsur tuntutan
untuk mengerjakan. Sighat amr bisa berbentuk fi‟il amr/ perintah langsung. Misalnya,
firman Allah: “Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang
yang rukuk.” (al baqarah: 43). Bisa juga berbentuk mudhari’ yang didahului oleh lam
amr. Misalnya, firman Allah: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran
(yang ada di badan) mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan
thawaf sekeliling rumah tua (Baitullah).” (al hajj: 29). Atau dengan menggunakan isim
fi’il amr, seperti: “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang
yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk.
Hanya kepada Allah kamu semuaakan kembali, kemudian Dia akan Menerangkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (al maidah: 105). Atau dengan menggunakan
isim mashdar pengganti fi‟il, misalnya: “Dan (ingatlah) ketika Kami Mengambil janji
dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada
kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.” (al baqarah: 83).
Terkadang menggunakan kalimat berita (kabar), misalnya; “Dan para istri yang
diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū.” (al baqarah: 228).
Namun tidak jarang berbentuk lafal yang searti dengan amar, misalnya: Lafal kutiba,
pada surah Al-Baqarah 183; “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa”. Lafal faradla, bisa juga sebagai sighat amr seperti pada surah an-nisa’ 24:
“Berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban.”
Dalam ketata bahasaan, perintah itu banyak model dan macamnya, tak mesti hanya
menggunakan kata perintah saja namun terkadang kita menemukan perintah dalam
bentuk majaz/ sesuatu yang merujuk akan perintah tersebut.
Seberapa pengaruh amr dalam pengambilan hukum dari nash?? Jawabannya sangat
berpengaruh, jika seorang mujtahid tidak memahami akan tata bahasa, bisa jadi ia
menerapkan hukum tidak sesuai dengan makna atau tujuan dari nash tersebut.
Penerapan hukum dari amr dan nahi tidak menutup kemungkinan akan tertukar
posisinya, yang amr bisa jadi nahi, sebaliknya yang nahi bisa di kategorikan amr dalam
ketentuan hukumnya. Contohnya, ; “Dan para istri yang diceraikan menahan diri
mereka tiga kali qurū.” (al baqarah: 228). Pada ayat ini tidak di temukan amr secara
lansung, yang jika seorang mujtahid tidak mengerti akan hal ini, maka ia akan
menggolongkan hukum yang ada pada ayat ini menjadi sunnah. Atau bisa juga pada
pengambilan hukum ini mujtahid menggolongkan pada mubah, dengan kesimpilan jika
tdk sanggup menahan tiga kali qurū boleh saja melakukan pernikahan pada masa qurū
ini. Pemahaman akan amr ini sangat urgen, terlebih dalam menetapkan hukum
keharusan dan tidak boleh, karna hal ini akan menimbulkan kecacatan beramal dalam
keseharian kita sebagai muslim.
Amr timbul dari kefasihan para ulama terdahulu dalam menilik suatu nash yang
dalam penerjemahan akan hukumnya tidak dituliskan secara lansung oleh nash. Amr
terkadang akan berubah maknanya jika disusupi oleh qarinah, yang mana qarinah ini
akan sangat berpebgaruh dalam pengambilan hukum dari amr itu sendiri. Sekarang
muncul pertanyaan, sejauh mana pangaruh qarinah dalam amar, para pakar memiliki
pendapat yang berbeda akan hal ini menurut Ibn Hazm dan kelompok al-Dhahiry,
semua amar menunjukkan arti wajib, sekalipun diikuti qarinah, kecuali ditemukan
adanya nash lain atau ijma’ yang dapat mengalihkan pengertian amr dari wajib. Namun
Jumhur Ulama, berbeda pendapat dengan kelompok Ibn Hazm dan kelompok al-
Dhahiry, bahwa kata amr yang tanpa ada qarinah tetap menunjukkan wajib. Jika ada
qarinah ini maka dianggap sudah cukup bisa dipakai untuk mengubah hakikat arti yang
terkandung didalam amr. Contoh: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar.” (al-Baqarah: 282).
Ayat ini ditemukan adanya kasus tentang hukum pencatatan dan persaksian dalam kasus
utang-piutang, yang kemudian para ahli ushul berbeda pendapat akan hal ini kelompok
al-Dhahiry, berpendapat bahwa hukum yang terdapat didalam perintah pencatatan dan
penulisan dalam hutang-piutang adalah wajib, sebab bentuk amar menunjukkan wajib.
Arti ini tidak bisa menyimpang dari arti amar secara lahiriyah, kecuali ada nash atau
ijma’ yang mengalihkannya dari wajib. Namun disisi lain jumhur ulama, berpendapat
bahwa hukum yang dapat diambil dari kata amar adalah nadb, sebab kebanyakan
masyarakat muslim dalam melakukan transaksi kontrak jual-beli yang dilakukan dengan
tidak kontan, tidak dilakukan oleh mereka dengan percatatan dan penulisan, sehingga
ijma’ kaum muslimin tersebut dianggap sebagai indikasi (qarinah) yang menunjukkan
bahwa amar tersebut tidak menunjukkan hukum wajib.
4.Kesimpulan
Sumbangsih ulama dalam beberapa kaidah tentang pemahaman tentang kebahasaan
tidak bisa dilupakan begitu saja, termasuk dalam hal amr. Secara bahasa kita bisa
memahami bahwa amr adalah suatu larangan/ perintah, terkadang berubah maknanya
sesuai dengan qarinah yang ada, karena amr mempunyai makna hakiki dan majazi.
Memahami amr sangat penting karena didalamnya banyak ditemukun konsekwensi
hukum yang berbeda dan akan dipakai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi walau
bagaimana perbedaan yang dibingkai oleh tirai ketulusan dalam membentangkan syariat
yang elastis akan menciptakan kemajuan signifikansi dalam tatanan kejayaan Islam.
1.Latar Belakang
Syariat Islam merupakan suatu kesatuan yang utuh. Hukum-hukum yang
ditetapkan di dalamnya tidak lain merupakan batas terakhir dari syari’at itu sendiri.
Setiap istinbat atau pengambilan hukum dalam syariat islam harus berpijak pada al
quran dan sunnah Nabi saw. Syari’ dalam menetapkan syariatnya tidak begitu saja,
melainkan mempunyai arah. tujuan dari penetapan syariat untuk mendapatkan sebuah
realisasi daripada kemaslahatan, memberikan manfaat dan menghindarkan dari
kemafsadatan/ kerusakan. Tujuan syariat ini harus diselami oleh para mujtahid untuk
mengembangkan pemikiran hukum islam sekaligus menjawab persoalan kontemporer
yang tidak dijumpai secara eksplisit dalam al quran dan sunnah. Amir Syarifuddin
menyatakan bahwa aturan Allah swt, dapat dipahami melalui isyarat lafal al quran
menurut yang disebutkan secara harfiah, isyarat atau petunjuk dari lafal al quran, dan
petunjuk yang terdapat dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah swt dalam
menetapkan syariat. Untuk memahami makna yang terkandung dari nash, diperlukan
suatu metodologi yang dikenal dengan ushul fiqh. Obyek utama yang akan dibahas
dalam ushul fuquh adalah al-aqur’an dan sunnah rasul, sedangkan untuk memahami
teks-teks dan sumber yang berbahasa arab tersebut para ulama telah menyusun senacam
tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih bahasa arab menyampaikan
suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Para ahli telah
membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantara yang sangat penting, antara lain
Al-Amr, Al-Nahy, Al-Ibahah. Syariat islam yang dibawa oleh rasulullah saw tersebut
dapat dipahami melalui ilmu ushul fiqhi dan bahasa Arab. Ulama ushul fiqh
mengajukan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaedah-kaedah kebahasaan dan
melalui pendekatan maqashid al- syari’ah. Di dalam al quran dan Sunnah terdapat
lafadz-lafadz yang tegas dan yang mengandung pengertian bukan tegas. Ada kata yang
mengandung lebih dari satu makna dan ada pula yang mujmal (M.A
Bayununi,1986:36). Melihat kenyataan seperti itu, para ulama harus menyikapi dengan
membedah secara mendalam sebelum menetapkan kaidah hukum sebagai acuan dalam
memahami teks secara tepat. Ulama ushul memandang segenap firman Allah yang
berkenaan dengan perbuatan (orang yang mukalaf), baik dalam bentuk tuntutan, pilihan,
maupun dalam bentuk wadh’iy (hubungan antara satu perbuatan dengan perbuatan lain).
Firman Allah dalam bentuk larangan digolongkan dalam makna hukum haram atau
makruh. Dengan upaya ini, maka ulama ushul berhasil menetapkan hukum yang
terkandung dalam al quran dan sunnah rasulullah saw dengan baik dan penuh kehati-
hatian.
2.Tujuan
Supaya kita lebih memahami mengenai hukum dari syari’at sesuai dengan apa yang
dianjurkan dalam al qur’an maupun hadist yang menjadi landasan islam
3.Pembahasan
Nahi merupakan suatu lafal yang menunjukkan suatu tuntutan untuk
meninggalkan sesuatu yang dikerjakan dari atasan kepada bawahannya, atau nahi juga
bisa diartikan sebagai ungkapan yang meminta agar sesuatu perbuatan dijauhi. Larangan
ini layaknya seperti perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna dasar
dari nahi merupakan keharaman, atau tahrim akan tetapi nahi juga digunakan untuk
sekedar menyatakan ketercelaan (karohiyah) tuntutan (irsyad) ataupun kesopanan
(ta’dib) serta permohonanan (do’a). Oleh karena itu, maka para ulama’ berbeda
pendapat tentang manakah diantara makna-makna ini yang merupakan makna pokok
(hakiki) dari nahi itu sendiri. Hasbi menyebutkan bahwa al-nahy merupakan suatu
pekerjaan yang menghentikan kita menyuruh yang lafazh ( لفظ یدل على عن فعل على جھة
)اإلستعاللyang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita). Apabila ada kata
yang yang mengandung larangan yang tidak sesuai dengan qarinah, maka tentu secara
logika kita dapat memahami bahwa keharusan yang diminta adalah suatu larangan.
Nazar Bakri membagi nahi kepada beberapa pengertian hukum, seperti: (Nazar Bakri,
1993: 185-188)
Haram, menunjukkan bahwa pada dasarnya, setiap masalah yang sunyi/ tidak disertai
dengan qarinah menunjukkan pada arti hakikinya, yaitu haram, seperti dalam Q.S. al-
Isra’ (17) : 32, yaitu : وال تقربوا الزنا. Sebaliknya apabila kalimat mempunyai qarinah,
tidak menunjukkan hakekat larangan seperti dalam Q.S. 4 : 43, yaitu : یاأیھا الذین أمنوا
التقربوا الصالة وأنتم سكارى.
Larangan sesuatu, suruhan bagi larangan. ( )بضده أمر شیئ عن النھيdilarang dari sesuatu,
disuruh dengan lawannya). Jadi, jika dilarang dari sesuatu, maka itu berarti suruhan
dengan salah satu dari lawannya. Misalnya dilarang duduk di taman, maka tidak duduk
di tempat lain, selain di taman.
Larangan yang mutlak, menghendaki mutlak yang larangan ( النھي المطلق یقتضى الدوام جمیع
)األزمنةberkekalan dalam sepanjang masa). Larangan seperti ini, baik membawa
kebinasaan maupun menjauhinya, baru mencapai hasil yang sempurna apabila dijauhi
yang dirasakan itu selama-lamanya. Misalnya : larangan mendekati anjing gila untuk
menjauhkan diri dari kebinasaan.
Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadat, dilarang yang
kebinasaan menunjukkan larangan ( )النھي یدل على الفساد المنھي عنھdalam beribadat). Untuk
mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan ibadah, harus
mengerjakan perintah dan menjauhi yang dilarang.
Dalam urusan muamalat, rusaknya menunjukkan yang larangan ( النھي یدل على فساد المنھي
)عنھ فى العقودperbuatan yang dilarang dalam berakad). Apabila larangan itu kembali
kepada aqad itu sendiri bukan kepada yang lain, sebagai mana dilarang menjual anak
hewan yang masih berada dalam kandungan induknya.
Aturan di atas menjadi dasar penetapan dari suatu hukum yang berbentuk larangan.
Dalam kaitan ini T.M.Ash-Shiddieqy mengemukakan beberapa makna dengan al-nahy,
yaitu : (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1981: 71-73)
Untuk mengetahui kemakruhan;
Untuk doa;
Untuk isyarat (petunjuk);
Untuk kekekalan;
Untuk menerangkan akibat;
Untuk menerangkan bahwa yang demikian tak mungkin dicapai (diperoleh);
Untuk menyenangkan hati;
Untuk mengharap sesuatu yang tidak mungkin diperoleh;
Untuk memperlakukan;
Untuk mengancap;
Untuk mengharap sebagian.
4.Kesimpulan
Larangan/ nahy merupakan suatu lafal yang dipergunakan oleh yang lebih
tinggi kedudukanaya/ tingkatanya ditujukan kepada yang kedudukannya lebih rendah
tinkatanya, lafal itu selanjutnya dikatakan bahwa di dalam Alquran banyak ditemukan
ayat yang menggunakan huruf nahy, tetapi dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada yang
menggunakan la nahiyah dan ada pula dalam bentuk yang lain tetapi terdapat indikasi
nahy. Kata tuntutan meninggalkan menunjukkan bahwa nahy itu menghendaki untuk
meninggalkan suatu perbuatan atau suruhan untuk tidak berbuat apa-apa namun, dalam
pengertian lain walaupun yang dikehendaki adalah untuk berbuat tapi menggunakan
kata yang didahului larangan sehingga tetap dinamakan nahi. Secra umum nahi
merupakan dalil kulli yang dibawahnya termasuk seluruh bentuk yang disampaikan
dalam bentuk nahi ( larangan). Para ahli ushul menyatakan bahwa larangan itu bisa
digunakan untuk mengharamkan dan bisa untuk memakruhkan.