Anda di halaman 1dari 40

1.

MANFAAT MEMPELAJARI SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL


FIQIH

1. Latar belakang
Datangnya al-Maudhu’at al-Lughawiyyah (beberapa peletakan bahasa), merupakan
suatu nikmat atas ciptaan Allah SWT. Meskipun ada yang mengatakan bahwa peletakan
bahasa adalah selain Allah SWT, yakni para hamba sendiri, munculnya bahasa tetap
menjadi anugerah agung dari-Nya, karena Allah-lah yang menciptakan semua perbuatan
hamba-hamba-Nya. Setiap manusia membutuhkan bahasa sebagai pengungkap makna
dalam hati, untuk berinteraksi dengan sesama. Karena secara fitrah, manusia makhluk
sosial, tidak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Selain itu
bahasa adalah faidah dari pada isyarat yang lebih mudah dipahami.1 Selain bahasa
manusia memerlukan pemahaman hukum-hukum tentang Islam seperti ilmu ushul
fiqh.Para ulama’ ushul berupaya untuk menggali hukum atau meng-istimbath-kan
hukum dari Al-qur’an dan Hadits, sebagaimana usaha untuk memecahkan problem
dalam masyarakat. Salah satu cara untuk menggali hukum adalah melalui nash-nash Al-
qur’an dan Hadits. Ushul fiqh merupakan ilmu yang mempelajari dasar-dasar fikih.
2. Tujuan
Dengan mempelajari ushul fiqh kita mampu menerapkan kaedah-kaedah dan teori
pembahasan dalil-dalil secara terperinci dalam menghasilkan hukum syariat islam, yang
diambil dari dalil-dalil, guna untuk mendapat pemahaman dan pengertian dari agama
islam, dan juga untuk mempelajari hukum –hukum islam yang berhubungan dengan
kehidupan manusia.

3. Pembahasan
Secara bahasa, ushul fiqh berasal dari 2 kata yakni Al-ushuul dan Al-fiqh. Al-ushuul
merupakan kalimat jamak dari al-ashl yang berarti asas atau dasar. Sedangakan Al-fiqh
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum islam berdasarkan dalil-dalil yang
syar’i. Apabila digabungkan, maka ushul fiqih merupakan dasar yang digunakan untuk
merumuskan hukum islam dalam masyarakat. Atau singkat kata, ushul fiqih berarti asal-
usul ilmu fiqih.Para ulama sendiri menjelaskan ushul fiqh dengan bermacam-macam
definisi. Menurut Al-Baidlawi, ushul fiqh berarti ilmu yang mempelajari tentang dalil-
dalil fiqh secara global, kemudian bagaimana cara menggunakan dalil itu untuk
berijtihad, dan apa saja syarat untuk menjadi mujtahid.Sedangkan Abdul Wahab Khalaf
berpendapat bahwa ushul fiqh merupakan ilmu tentang kaidah-kaidah islam yang
digunakan untuk menentukan hukum syara’ amaliyah dengan didasarkan pada dalil-
dalil syar’i. Secara garis besar objek bahasan ushul fiqih adalah sumber hukum syara’
dengan semua seluk beluknya, Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode
penggalian hukum dari sumbernya, dan Persyaratan orang-orang yang berwenang
melakukan istinbath.
Secara rinci ushul fiqih berfungsi sebagai Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-
kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum, Menggambarkan
persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, Memberi bekal untuk menentukan
hukum-hukum yang baru, Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid,
sejalan dengan dalil yang mereka gunakan, dengan demikian kita bisa memilih pendapat
mereka.Peranan ushul fiqih terhadap pengemban fiqih Islam dapat dikatakan sebagai
kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembanganpemikiran fiqih
islam.Pada hakikatnya ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh itu telah ada pada saat yang
bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai suatu ilmu,
tetapi metode-metode yang telah digunakan pada saat itu untuk menetapkan suatu
hukum yaitu dengan cara teori ushul fiqh, seperti berdasarkan Al-Qur’an, sunah dan
ijtihad. Ilmu ushul fiqh dibukukan (kodifikasi) pada masa Imam Asy-Syafi’i. Hal
tersebut ditunjukkan dengan karyanya yang berjudul Al-Risalah (sepucuk surat). Setelah
masa imam Syafi’i banyak karya-karya di bidang ushul fiqh yang bermunculan, itu
menandakan bahwa perkembangan ilmu ushul fiqh sangat pesat pada masa itu.
Berikut ini beberapa manfaat mempelajari ushul fiqih yang paling utama.
a.Menjadi pondasi dalam berijtihad
Ilmu ushul fiqh merupakan dasar yang digunakan para ulama dalam berijtihad. Yakni
memutuskan hukum syara’ atau perkara-perkara yang tidak ada dalilnya dalam Al-quran
dan Al-hadist. Tentunya dalam berijtihad tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Sebab nantinya hasil ijtihad ini akan digunakan oleh masyarakat sebagai landasan
hukum.Seseorang yang ahli ushul fiqih biasanya memiliki wawasan luas tentang tafsir
Al-quran. Perbedaan hadist shahih, hasan dan dhaif, serta dalil-dalil yang benar menurut
agama. Dengan demikian, pembentukan hukum islam bisa lebih mendekati kebenaran.
b.Memperluas wawasan tentang islam
Manfaat mempelajari ilmu ushul fiqh yang pertama adalah untuk memperluas wawasan
tentang islam yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, apabila
ada perkara tertentu maka kita bisa mencari dalil-dalil yang benar.
c.Menerapkan kaidah islam secara benar
Pada dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan qiyas.
Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci tentunya ia akan
memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan demikian, ia pun dapat
menerapakankaidah islam secara benar.
d.Mengaplikasikan hukum sesuai syariat agama
Manfaat mempelajari ushul fiqh selanjutnya adalah untuk mengaplikasikan hukum yang
benar sesuai syariat agama. Seorang mukallaf dan Mufti tentunya harus menguasai ilmu
ushul fiqh agar bisa membuat fatwa yang tidak menyesatkan. Begitupun dengan hakim
dalam mengambil keputusan juga sebaiknya berpedoman pada ushul fiqh sehingga
keputusannya bisa dipertanggungjawabkan secara agama.
e.Memperkuat keyakinan terdapat hukum-hukum syara’
Hukum syara’ adalah hukum yang mengatur tentang kehidupan atau tingkah laku
manusia dengan berdasarkan pada ketetapan Allah Ta’ala. Beberapa hukum syara’ ada
yang tidak tertuang jelas pada Al-quran sehingga diperlukan ijtihad. Nah, apabila kita
mempelajari ilmu ushul fiqh maka kita bisa lebih memahami tentang hukum syara’.
Kita bisa lebih yakin mana hukum wajib, sunnah, makruh atau mubah.
f.Mengetahui bagaimana para mujtahid membentuk hukum fiqih
Manfaat selanjutnya dari mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui bagaiamana
para mujtahid membentuk hukum fiqh di jaman dulu. Sehingga kita pun bisa menelaah
dan membedakan mana hukum yang benar dan mana yang masih dalam batas dalam
pertentangan.
g.Mencari kebenaran diantara madzab fiqh
Manfaat mempelajari ushul fiqh juga bisa membantu kita mencari kebenaran diantara
ahli madzhab fiqih. Kita bisa membandingkan pendapat madzhab satu dengan yang lain.
Lalu melakukan pembelajaran tentang masing-masing hukum, sehingga bisa ditemukan
mana hukum yang paling sesuai dengan syariat agama islam.
h. Sarana untuk membentuk hukum fiqih
Ilmu ushul fqih sangatlah luas. Mempelajari ushul fiqh berarti mempelajari Al-quran
dan Al-hadist secara menyeluruh hingga bagaimana cara menafsirkan dan
mengembangkannya. Apabila seseorang mampu memahami ushul fiqh secara
mendalam maka ilmunya bisa ia gunakan untuk menilai hukum fiqih yang telah ada,
ataupun merumuskan hukum yang belum ada secara benar dan sesuai syariat islam.
4. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kiranya kita ambil benang merah seputar sejarah
perkembangan ilmu ushul fiqh bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar, bagi kita yang
ingin maju dan menjaga kemurniaan ajaran Islam yang telah diusung oleh Rasulullah
Saw beserta para sahabat dan para ulama terdahulu.Sehingga pada zaman sekarang
adalah bagaimana ketentuan hukum atau aturan yang telah digariskan oleh Rasullah
Saw menjadi pedoman dalam melakukan aktivitas. Lebih luas lagi bahwa prinsip hukum
Islam adalah menekankan pada aspek etika kegiatan ber-ijtihad, yaitu bagaimana setiap
perilaku kita dalam kegiatan musyawarah dalam mencapai mufakat untuk menerapkan
seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk, dan
menetukan apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh seorang individu. Ushul
fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh
adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam
menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari
pada ilmu ushul fiqh.Ushul fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan
metode penggalian hukum-hukum syara mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil
yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah tentang hal-hal tersebut.

2 HUKUM SYARAK TERKAIT PACARAN DALAM ISLAM

1. Latar belakang
Masalah pacaran tidak bisa lepas dari dunia remaja, karena salah satu ciri remaja yang
menonjol adalah rasa senang kepada lawan jenis disertai keinginan untuk memiliki.
Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai “naksir” lawan jenisnya. Dikalangan
remaja, pacaran menjadi identitas yang sangat dibanggakan. Biasanya seorang remaja
akan bangga dan percaya diri jika sudah memiliki pacar. Sebaliknya remaja yang belum
memiliki pacar dianggap kurang gaul. Karena itu, mencari pacar dikalangan remaja
tidak saja menjadi kebutuhan biologis tetapi juga menjadi kebutuhan sosiologis. Maka
tidak heran, mayoritas remaja saat ini sudah memiliki teman spesial yang disebut
“pacar”. Soal pacaran tampaknya menjadi gejala umum di kalangan remaja. Remaja
adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yaitu usia 10-19
tahun.Masa remaja adalah masa yang indah. Banyak hal yang terjadi pada masa transisi
remaja dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Satu proses masa yang semua anak
manusia sedang dan akan terjadi dalam sebuah proses tumbuh kembang remaja.
Dunia remaja memang unik, sejuta peristiwa terjadi dan sering diciptakan dengan ide-
ide cemerlang dan positif. Namun demikian tidak sedikit juga hal-hal negatif yang
terjadi.Salah satu hal yang menarik dan terjadi dalam dunia remaja adalah trend pacaran
yang digemari sebagian remaja walau tidak sedikit juga orang dewasa gemar
melakukannya. Bahkan ada rumor yang menarik, bahwasannya bila ada remaja yang
belum punya pacar berarti belum mempunyai identitas diri yang lengkap. Memang tidak
dapat dipungkiri bila pacaran merupakan fenomena tersendiri dikalangan remaja. Dan
kalaupun dicari satu definisi tersendiri pacaran maka akan sulit. Sebagian ada yang
mendifiniskan pacaran adalah ajang dari untuk mendapatkan kepuasan libido seksual,
atau pacaran hanya sebagai label “saya punya pacar dan mendogkrak percaya diri”.
Ataukah pacaran adalah suatu hal yang penting karena dengan pacaran kita punya
seseorang yang bisa membantu kita dalam mengatasi persoalan hidup untuk definisi
pacaran tentu akan ada banyak yang lainnya.
2. Tujuan
Mengetahui hukum berpacaran dalam agama islam,dan bagaimana islam mengatur
urusan hubungan antara laki-laki dan perempuan sesuai kaidah norma agama yang
berlaku di dalam islam.
3. Pembahasan
Pada zaman ini, seringkali kita jumpai anak-anak sekolah yang sering bergandengan
tangan dengan pacarnya. Akan berangkat sekolah, dijemput, pulang sekolahpun diantar,
malam minggu ngedate, makan bareng. Begitulah keadaan kebanyakan anak muda saat
ini, kecuali yang Allah jaga dengan rahmatNya.Hal ini tidak mengheran karena memang
wanita adalah ujian umat ini.

‫ال ِمنَ النِّ َسا ِء‬ َ ‫ت بَ ْع ِدي فِ ْتنَةً َأ‬


َ ‫ض َّر َعلَى الر‬
ِ ‫ِّج‬ ُ ‫َما تَ َر ْك‬
“Cobaan yang paling berbahaya terhadap para lelaki sepeninggalanku adalah wanita.”
(HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740, 2741)
Pada masa belakangan ini, media yang ada, baik televisi, internet, media sosial dan
gawai (gadget) telah memupuk dan menggiring anak muda untuk melakukan hal
terlarang ini. Anak-anak yang tidak berpacaran, mereka anggap kuper. Nas–alullaah
salamah.Namun yang perlu diketahui bersama, hukum pacaran dalam islam merupakan
hal terlarang dan haram. Karena Allah telah melarang untuk mendekati zina. Mau tidak
mau, pacaran adalah pintu yang sangat dekat dengan perzinaan. Efek dari pacaran ini
pun telah banyak diketahui banyak orang, bahkan sering ada pernikahan yang terjadi
karena ‘kecelakaan’, hamil di luar nikah. Kemudian Seorang yang berpacaran
berpotensi besar untuk berdua-duaan. Bahkan itulah yang dicari oleh mereka. Padahal
berdua-duaan tanpa mahram merupakan hal yang tidak diperbolehkan.
‫الَ يَ ْخلُ َو َّن َر ُج ٌل بِا ْم َرَأ ٍة ِإالَّ َو َم َعهَا ُذو َمحْ َرم‬
“Dilarang keras! laki-laki dan perempuan berduaan tanpa mahram.” (HR. Al-Bukhari
no. 5233 dan Muslim no. 1341)
Apalagi kalo sudah saling pegangan. Hal ini sangat terlarang. Nabi juga menyatakan,
orang yang ditusuk kepalanya dengan jarum besi lebih baik dari pada bersentuhan
dengan lawan jenis non mahram.
‫ألن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة ال تحل له‬
“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum besi, itu lebih baik, dari pada ia menyentuh
seorang wanita yang bukan mahramnya.” (Shahih Al-Jami’ no. 5045)
Jika kita perhatikan pernyataan-pernyataan diatas, maka pacaran merupakan hal yang
terlarang, haram untuk dilakukan.Pada dasarnya segala macam muamalah dibolehkan
kecuali ada dalil yang melarangnya. ‫ األصل فى األشياء اإلباحة إال ماحرمه الشرع‬Begitu pula
dengan pacaran.Pada dasarnya pacaran sebagai sebuah bentuk sosialisasi dibolehkan
selama tidak menjurus pada tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh syara’. Yaitu
pacaran yang dapat mendekatkan para pelakunya pada perzinahan. Demikaian surat al-
Isra’ ayat 32 menerangkan:
ِّ ‫َوالَ تَ ْق َربُوا‬
ً‫الزنَا ِإنَّهُ َكانَ فَا ِح َشةً َو َسا َء َسبِيال‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”
Hal ini sangat singkron dengan hadits Rasulullah saw yang seolah menjelaskan model
tindakan yang dapat mendekatkan seseorang dalam perzinahan

َّ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل الَ يَ ْخلُ َو َّن َر ُج ٌل بِا ْم َرَأ ٍة َوالَ تُ َسافِ َر َّن ا ْم َرَأةٌ ِإال‬ َّ ِ‫ضي هللاُ َع ْنهُ َأنَّهُ َس ِم َع النَّب‬
َ ‫ي‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬
)‫َو َم َعهَا َمحْ َر ٌم ( رواه البخاري‬
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata:
Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali
beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali
beserta ada mahramnya” (muttafaq alaihi)
Rasulullah saw secara tidak langsung telah memberikan rambu-rambu kepada umatnya
mengenai model hubungan laki-laki dan perempuan yang terlarang. Pelarangan itu demi
menghindarkan seseorang terjerumus dalam perzinahan. Karena pada umumnya
perzinahan bermula dari situasi berduaan.Demikianlah dasar hukum dilarangnya
pacaran, jika yang dimaksud dengan pacaran itu adalah Pergaulan bebas antara laki-laki
dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka, sebagaimana
yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Purwodarminto.Akan tetapi
berbeda hukumnya jika yang dimaksud dengan pacaran adalah upaya saling mengenal
menjajaki kemungkinan untuk menjalin pernikahan dalam momentum khitbah melamar.
Karena sesungguhnya hal itu sama seperti mendukung anjuran Rasulullah saw terhadap
generasi muda muslim untuk menikah, sebagai solusi menghindarkan diri dari
perzinahan.
4. Kesimpulan
Pada dasarnya berpacaran saat remaja merupakan hal yang tidak baik karena secara usia
dan psikologi seorang remaja belum siap, tetapi apabila hanya untuk mengenal satu-
sama lain dan dalam batas sewajarnya hal tersebut tidak apa-apa dilakukan terutama
untuk meningkatkan prestasi belajar mereka sendiri selain itu peran orang tua dan guru
sangat penting agar mereka tidak terjerumus dalam prilaku-prilaku tidak baik yang
ditimbulkan.cara menyelamatkan diri dari pacaran adalah dengan memperbanyak doa,
dan memohon perlindungan kepada Allah dari fitnah wanita,Menjaga pandangan dan
tidak mengumbarnyaWanita saat keluar rumah, hendaknya menggunakan pakaian yang
syar’i. Tidak sempit apalagi membentuk aurat.Menjauhi hal-hal yang membangkitkan
syahwat.

3.HUKUM SYARA' YANG MENGATUR TENTANG SHOLAT


1. Latar Belakang
Sholat merupakan salah satu tiang bangunan islam. Begitu pentingnya arti sebuah tiang
dalam suatu bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin untuk
ditinggalkan.
Makna bathin juga dapat ditemukan dalam sholat yaitu: kehadiran hati,
tafahhum(Kefahaman terhadap ma’na pembicaraan), ta’dzim (Rasa hormat), mahabbah,
raja’(harap) dan haya (rasa malu), yang keseluruhannya itu ditujukan kepada Allah
sebagai Ilaah.
Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta’lim yang
sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan
bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan
suci.Shalat merupakan tathbiq ‘amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik
dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal yang membuka atap
masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan itu
terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan orang-orang yang
beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.

2. Tujuan
Dengan mempelajari ini agar mengetahui bagaimana islam mengatur tata cara sholat
sesuai hukum syara' dan bagaimana hukum taklifi menetapkannya.
3. Pembahasan
Pada masa sekarang ini banyak orang yang sering melalaikan sholat
dikarnakankesibukannya dalam urusan duniawi. Manusia sering lupa bahwa sholat
adalah simbol syukur atas segala nikmat dan karunia dari sang maha khalik, menurut
hemat saya orang yang melalaikan bahakan meninggalkan Sholat mereka tidak paham
betul bagaimana Sholat itu sebenarnya dan bagaimana islam mengatur dan
menetapkannya.
Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad telah memberikan peringatan keras kepada
orang yang suka meninggalkan salat wajib, mereka akan dihukumi menjadi kafir[2] dan
mereka yang meninggalkan salat maka pada hari kiamat akan disandingkan bersama
dengan orang-orang, seperti Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay bin Khalaf.[3]
Hukum salat dapat dikategorisasikan sebagai berikut:
a.Fardu, Salat fardhu ialah salat yang diwajibkan untuk mengerjakannya. Salat fardhu
terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
b.Fardu ain adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukalaf langsung berkaitan
dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain,
seperti salat lima waktu, dan salat Jumat (fardhu 'ain untuk pria).
c.Fardu kifayah adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukalaf tidak langsung
berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah ada sebagian orang
yang mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang mengerjakannya maka kita
wajib mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak dikerjakan, seperti salat jenazah.
Salat yang mula-mula diwajibkan bagi Nabi Muhammad dan para pengikutnya adalah
salat malam, yaitu sejak diturunkannya Surat al-Muzzammil (73) ayat 1-19. Setelah
beberapa lama kemudian, turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat 20:

"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang


dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula)
segolongan dari orang-orang yang bersama kamu, dan Allah menetapkan ukuran malam
dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-
batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah
apa yang mudah (bagimu) dari Alquran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara
kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik, dan
kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar
pahalanya, dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."

— Al-Muzzammil 73:20
Dengan turunnya ayat ini, hukum salat malam hukumnya menjadi sunnah. Ibnu Abbas,
Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya berkata mengenai ayat 20
ini, "Sesungguhnya ayat ini menghapus kewajiban salat malam yang mula-mula Allah
wajibkan bagi umat Islam.
Berikut ini adalah ayat-ayat yang membahas tentang salat di dalam Al-Quran, kitab suci
agama Islam.
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: Hendaklah mereka
mendirikan salat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka
secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari
itu tidak ada jual beli dan persahabatan (Ibrahim 14:31).
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji (zina) dan mungkar,
dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-‘Ankabut 29:45).
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan (Maryam
19:59).
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali
orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya (al-
Ma’arij 70:19-23).
Dalam situasi dan kondisi tertentu kewajiban melakukan salat diberi keringanan
tertentu. Misalkan saat seseorang sakit dan saat berada dalam perjalanan (safar).
Bila seseorang dalam kondisi sakit hingga tidak bisa berdiri maka ia dibolehkan
melakukan salat dengan posisi duduk, sedangkan bila ia tidak mampu untuk duduk
maka ia diperbolehkan salat dengan berbaring, bila dengan berbaring ia tidak mampu
melakukan gerakan tertentu ia dapat melakukannya dengan isyarat.
Sedangkan bila seseorang sedang dalam perjalanan, ia diperkenankan menggabungkan
(jamak) atau meringkas (qashar) salatnya. Menjamak salat berarti menggabungkan dua
salat pada satu waktu yakni salat zuhur dengan salat asar atau salat magrib dengan salat
isya. Mengqasar salat berarti meringkas salat yang tadinya 4 rakaat (zuhur, asar, isya)
menjadi 2 rakaat.
4. Kesimpulan
Sholat adalah kewajiban setiap manusia yang beragama islam, sholat menjadi tiang
utama dalam agama, sholat juga merupakan suatu ungkapan syukur manusia terhadap
sang khalik. Hukum taklifi menetapkan sholat sebagai hukum wajib untuk dilaksanakan,
apabila dikerjakan mendapat pahala apabila d tinggalkan mendapat dosa. Allah juga
menerangkan perintah mengenai sholat di dalam al qur'an namun jika kita berkendala
dalam melaksanakan sholat seperti sakit, allah akan memberikan keringan untuk
melaksanakannya dengan membolehkan sholat duduk ketika tidak mampu berdiri, tidur
jika tak mampu berdiri dan duduk.

4.PEMBAGIAN HUKUM SYARA’ DALAM BENTUK HUKUM TAKLIFI


1. Latar Belakang
Hukum taklifi menurut kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan
menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan
hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf
(baligh dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menurut seorang
mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti.
Pembahasan hukum taklifi adalah salah satu dari beberapa kajian Ushul Fiqh,
bahkan salah satu tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan
hukun taklifi dari sumber-sumbernya.
2. Tujuan
Artikel ini memuat tujuan untuk mengetahui pengertian hukum taklifi dan
syarat-syaratnya, mengetahui macam-macam hukum taklifi, dan untuk mengetahui
aliyah wujud dan aliyah ada’ dan hal-hal yang mempengaruhinya serata ketentuan-
ketentuan apa yang aa padanya.
3.Pembahasan
a.Wajib
Secara etimologis wajib berarti harus dan mesti. Adapun wajib secara
terminologis menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu sesuatu yang dituntut oleh syar’i
(Allah dan Rasul-nya) untuk dikerjakan oleh seorang mukallaf dengan tuntutan yang
harus/mesti.
b.Sunnah
Secara etimologis sunnah berarti yang disuruh, atau sesuatu yang diizinkan
dengannya. Sedangkan secara terminologis menurut Abdul Wahab Khallaf sunnah yaitu
tuntutan kepada seorang mukallaf untuk mengerjakan sesuatu secar tidak pasti.
c.Haram
Secara etimologis haram berarti sesuatu yang dilarang. Secara terminologis
haram berarti tuntutan syar’i (allah dan rasulnya) kepada seorang mukallaf untuk
meninggalkannya secara pasti, (dengan arti yang ditentukan harus meninggalkan-nya).
d.Makruh/karahah
Secara etimologis makruh berarti yang dimurkai atau yang dibenci. Sedangkan
secara terminologis makruh menurut Abdul Wahab Khallaf yaitu, tuntutan syar’i (allah
dan rasulnya) kepada seorang mukallaf untuk meninggalkan atau larangan secara tidak
pasti.
e.Mubah/ibahah/takhyir (boleh memilih)
Secara etimologis mubah berarti yang diumumkan dan diizinkan dengannya,
sedangkan secara terminologis, mubah adalah titah syar’i (allah dan rasulnya) kepada
seorang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.
Ahliyah al-wujub dan ahliyah ada’ dan hal-hal yang mempengaruhinya
a.Ahliyah al-wujub
Ahliyah al-wujub atau kecakapan berhak, yaitu kecakapan seseorang untuk
mendukung hak-hak yang diperuntukan bagi dirinya dan untuk mendukung hak-hak
yang dibebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban terpenuhinya hak-hak
orang lain atas dirinya.
b.Ahliyah al-ada
Ahliyah al-ada atau kecakapan bertindak, adalah kecakapan seseorang untuk
melakukan perbuatan yang dipandang sah menurut syara’. Contohnya dalam beribadah,
maka telah dipandang sah apabila ia melakukan shalat, puasa, haji, dan amalan-amalan
ibadah yang lain. Dasar dari adanya ahliyah al-ada ialah kemampuan akal seseorang.
Jadi seseorang yang tidak mempunyai kemampuan akal seperti orang yang belum
mumayyiz dan seperti orang gila tidak memiliki ahliyah al-ada.

c.Ahliyah al-ada dibagi dua yaitu:


1.Ahliyah al-ada al-naaqishah atau kecakapan bertimdak secara tak sempurna, yaitu
kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu saja. Dengan demikian, maka
orang yang memiliki ahliyah al-ada al-naaqishah tidak semua perbuatannya dipandang
sah oleh syara’. Kecakapan seperti ini, dimiliki oleh seseorang selagi kemampuan
akalnyabelum sempurna, yaitu selagi seseorang masih dalam periode tamyyiz.
2.Ahliyah al-ada al-kamilah atau kecakapan bertindak secara sempurna, yaitu
kecakapan seseorang untuk melakukan berbagai macam perbuatan. Dengan demikian,
orang yang telah memiliki kecakapan bertindak secara sempurna, semua perbuatannya
telah dipandang sah oleh syara’. Adapun orang yang memiliki kecakapan bertindak
secara sempurna ini ialah orang yang telah memiliki kemampuan akal secara sempurna,
yaitu mereka yang telah baligh. Jika seseorang yang telah baligh tetapi tidak
mempunyai sifat rasyid, maka ia ditaruh di bawah pengampuan, sebagaiman orang-
orang yang kurang sempurna kemampuan akalnya ditaruh dibawah perwalian. Dengan
demikian, kecakapan bertindak yang menyangkut harta kekayaan menjadi berkurang,
sama kedudukannya dengan orang yang mumayyiz.

4. Kesimpulan
Hukum taklifi adalah hukum yang berisi perintah, larangan atau pilihan antara
berbuat atau tidak berbuat. Hukum taklifi herat kaitannya dengan maqaashid syariah
yang lima yaitu: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Masing-masing dari
kelimanya memiliki pembagian yang ditinjau dari beberapa segi.
Ahliyah al-wujub atau kecakapan berhak, yaitu kecakapan seseorang untuk
mendukung hak-hak yang diperuntukan bagi dirinya dan untuk mendukung hak-hak
yang dibebankan kepadanya yakni untuk menunaikan kewajiban terpenuhinya hak-hak
orang lain atas dirinya. Ahliyah al-wujub terbagi dua yaitu: Ahliyah al-wujub al-
naqishah dan Ahliyah al-wujub al-kamilah. Ahliyah al-ada atau kecakapan bertindak,
adalah kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan yang dipandang sah menurut
syara’. Ahliyah al-ada terbagi dua yaitu: Ahliyah al-ada al-naaqishah dan Ahliyah al-ada
al-kamilah.

5.METODOLOGI FORMULASI HUKUM ISLAM


1. Latar Belakang
Al Qur’an dan sunnah, keduanya merupakan sumber dan dalil pokok hukum
Islam, Sumber hukum baik yang primer maupun sekunder adalah lafadz yang berbahasa
Arab. karena pada waktu itu nabi yang menerima dan yang menjelaskan Al-Qur’an itu
menggunakan bahasa Arab. Untuk itu usaha untuk memahami dan menggali hukum dari
teks kedua sumber tersebut sangat tergantung pada kemampuan memahami bahasa
Arab. Dan diantaranya harus mengetahui lafadz yang telah terang artinya atau
dalalahnya.Untuk itu Para ahli ushul menetapkan bahwa pemahaman teks dan
penggalian hukum harus berdasarkan aqidah.
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz dari segi kejelasan artinya terbagi
kepada dua macam, yaitu lafaz yang terang artinya dan lafaz yang tidak terang artinya.
Dimaksud dengan lafaz yang terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya
terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi
dalam empat tingkatan, yaitu zhâhir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan yang
dimaksud lafaz yang tidak terang artinya adalah yang belum jelas penunjukannya
terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu.
2. Tujuan
Ada pun tujuan penulisan artikel ini adalah sebagai kaidah dalam memahami
teks al-quran dan sunnah, Mengetahui pendapat hanafiyah mengenai lafadz yang jelas,
Mengetahui lafadz yang jelas menurut mutakallimin.
3. Pembahasan
Dalam ilmu ushul fiqh hukum mempunyai arti “Apa yang dikehendaki oleh Syari’
(pembuat hukum)” dalam hal ini Syari’ adalah Allah. Kehendak Syari’ tersebut dapat
ditemukan dalam Al-Qur’an dan penjelasannya dalam Sunnah. Usaha pemahaman,
penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut di kalangan ulama’
disebut Istinbath.
Pada dasarnya sumber hukum islam ada dua macam:
a.Sumber “tekstual” disebut nushush, yaitu langsung berdasarkan teks Al-Qur’an dan
sunnah Nabi. Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya metode pemahaman hukum
Islam yang berangkat melalui pemahaman secara langsung dari teks disebut metode
lafdziyyah.

b.Sumber “non tekstual” disebut ghoiru nushush, seperti istichsan dan qiyas. Meskipun
sumber hukum yang kedua ini tidak langsung mengambil dari teks Al-Qur’an dan
Sunnah, tetapi pada hakikatnya digali berdasarkan dan bersandar pada Al-Qur’an dan
Sunnah. Dan pemahaman yang digali secara tidak langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah
disebut metode ma’nawiyah.

Teks Al-Qur’an dan Sunnah keduanya merupakan sumber dan dalil pokok
hukum Islam, yakni keduanya menggunakan bahasa Arab. Karena Nabi yang menerima
dan menjelaskan Al-Qur’an itu menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu setiap usaha
memahami dan menggali hukum dari kedua hukum tersebut sangat tergantung pada
kemampuan memahami bahasa Arab. Untuk itu para ahli ushul menetapkan bahwa
pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan kaidah tersebut. Dalam hal
ini ahli ushul berpegang pada dua hal, yakni:
Pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Pada petunjuk Nabi dalam memahami hukum-hukum Al-Qur’an dan penjelasan sunnah
atas hukum-hukum Qur’ani itu. Dalam hal ini lafadz ‘Arabi dipahami dalam ruang
lingkup hukum syara’.
Empat Segi Pokok Pemahaman Teks Al- Qur’an dan Sunnah
a.Pemahaman lafadz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya terhadap maksud
kehendak Allah dalam lafadz itu.
b.Pemahaman lafadz dari segi penunjukannya terhadap hukum.
c.Pemahaman lafadz dari segi kandungannya terhadap satuan pengertian (afrad) dalam
lafadz itu.
c.Pemahaman lafadz dari segi gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan
tuntutan hukum (taklif).

Lafadz Dari Segi Kejelasan Artinya


Secara garis besar, lafadz dari kejelasan artinya terbagi dalam dua macam, yakni:
a.Lafadz yang telah terang artinya dan jelas penunjukannya terhadap makna yang
dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat diterapkan tanpa
memerlukan penjelasan dari luar.
b.Lafadz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna
yang dimaksud, kecuali dengan penjelasan dari luar lafadz itu.
Lafadz dzahir menurut madzhab mutakallimin adalah lafadz yang menunjukkan pada
makna secara elastis (dzanni). Hal ini disebabkan lafadz-lafadz dzahir menurut madzhab
ini adalah lafadz yang memberi peluang untuk ditakwil maknanya. Dengan demikian
lafadz dzahir menurut madzhab Mutakallimin merupakan bagian dari lafadz nash dari
madzhab Ahnaf (Hanafiah). Sebab, kedua pengertiannya mempunyai kemungkinan
maksud dan arah yang sama.
Lafadz nash menurut madzhab Mutakallimin adalah lafadz yang menunjukkan pada
makna secara tegas (qath’i), ini sama dengan pengertian mufassar dalam madzhab
Ahnaf. Sedangkan lafadz mufassar sendiri dalam madzhab Mutakallimin tidak populer
penggunaannya.
Lafadz muhkan dalam terminologi madzhab Ahnaf tidak dikenal dalam madzhab
Mutakallimin. Namun demikian, Imam as-Subki dari kalangan madzhab Mutakallimin
berkata bahwa lafadz muhkam adalah salah satu jenis dar lafadz nash dan dzahir.
Dengan demikian, lafadz muhkam yang dikenal dalam madzhab Ahnaf sesungguhnya
telah termasuk dalam kandungan lafadz nash dan dzahir dalam madzhab Mutakallimin.
Pembagian madzhab Mutakallimin pada lafadz dzahir dan nash dapat mencakup secara
makna pada keempat lafadz dalam pembagian madzhab Ahnaf, yakni lafadz nash,
dzahir, mufassar, dan muhkam.

4. Kesimpulan
Sebagimana diuraikan diatas, bahwa pembagianmadzhab Mutakallimin pada dua lafadz
yaitu dzahir dan nash tidak berbeda kandungan dan cakupannyadengan pembagian
madzhab Ahnaf kepada empat lafadz yaitu dzahir, nash, mufassar, dan muhkam.
Damundemikian, apa yang dapat diketengahkan di sini bahwa pembagian yang
dilakukan oleh madzhab Ahnaf tampaknya lebih utama dibanding pembagian yang
dilakukan oleh madzhab Mutakallimin. Pembagian Ahnaf lebih luas kandungannya
pada makna-makna yang dihasilkan oleh penunjukan masing-masing lafadz. Batasannya
lebih jelas antara jenis lafadz yang satu dengan lainnya. Serta penunjukan lafadz pada
makna yang dimaksud lebih jelas dalam pembagian Ahnaf, mengingat batasan nash
yang dibuat contoh dalam setiap pembagian lafadz lebih tepat dan akurat.

6.LAFAZ HAKIKAT DAN MAJAZ


1. Latar Belakang
Dalam hal metode penemuan hukum islam, para ahli merumuskan 3 metode,
yaitu: metode interpretasi linguistik, metode kaukasi dan metode teleologis. Penyebutan
metode penemuan hukum jenis pertama sebagai penalaran bayani maksudnya bahwa
pembahasan lebih tertuju tentang teks, dalam hal ini teksnya adalah berbahasa Arab.
Metode ini merupakan metode penemuan hukum dengan melakukan interpretasi atau
penafsiran terhadap teks-teks hukum islam yang ada yaitu nass al-Qur’an dan hadis.
Dalam konteks ini, penguasaan bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya
merupakan hal yang mutlak, sebab al-Qur’an dan hadis sebagai sumber material hukum
islam menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu setiap usaha memahami dan menggali
hukum dari teks kedua sumber hukum tersebut sangat tergantung kepada kemampuan
memahami bahasa Arab. Para ahli ushul fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan
penggalian hukum harus berdasarkan aqidah.
2. Tujuan
Mampu memahami tentang lafads mana yang hakikat dan mana yang majaz, dengan
mengetahui pengertian ini dan ruanglingkupnya, sehingga mampu membedakan mana
yang hakikat yang penjelasannya sudah jelas, dan mana lafaz yang majas yang makna
perlu pemahaman tentang ilmu alat dan bahasa arab yang baik.

Lafaz yang Hakikat atau Yang jelas maknanya


Dalam lafaz yang jelas maknanya sendiri terdapat 2 pendapat, yang pertama
yaitu pendapat dari jumhur ulama atau mutakallimun menjelaskan bahwa lafaz yang
jelas maknanya terbagi dari 3 tingkatan, yaitu nash, zahir dan mujmal. Sedangkan
pendapatlain, yaitu pendapat dari kalangan hanafiyah. Lafaz yang jelas menurut
kalangan hanafiyah ada 4 macam,yaitu zahir, nash, mufassar dan muhkam. Urutan ini
menurut kalangan hanafiyah menggambarkan tingkatan kejelasan makna yang
dimaksudkan sebuah lafaz dari tingkat kejelasan dengan kualitas terendah hingga yang
tertinggi.
Menurut metode Hanafiyah, lafaz yang jelas dikategorikan menjadi empat macam, yaitu
zhahir, nash, mufassar dan muhkam. Urutan ini menggambarkan tingkatan kejelasan
makna yang dimaksudkan sebuah lafaz dari tingkat kejelasan dengan kualitas terendah
hingga yang tertinggi.
Zhahir
Adalah lafaz yang menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan
penjelasan dari luar, namun bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari
pengucapannya, karena terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak
yang mengucapkannya. Makna yang terbentuk dalam persepsi pendengar bukan
merupakan maksud dasar pelafazan.
Lafaz Nash
Adalah lafal yang menunjukkan pengertiannya secara jelas dan memang pengertian
itulah yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh konteksnya. Lafaz nash merupakan
bentuk lafaz yang lebih jelas dari lafaz zhahir yang dijelaskan oleh lafaz itu sendiri
dengan adanya petunjuk yang terkait dengan maksud pembicara.
Mufassar
adalah lafaz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki atau lafal yang
menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan perinci tanpa ada kemungkinan untuk
dipalingkan kepada pengertian lain.Penunjukkan lafaz mufassar terhadap maknanya
lebih jelas daripada lafaz zhahir maupun lafaz nash. Lafaz mufassar dapat dibagi dua :
Lafaz yang maknanya jelas dan terperinci dari semula tanpa memerlukan penjelasan.
Lafaz yang pada mulanya adalah mujmal atau dalam bentuk global kemudian dari
pembuat syariat sendiri datang penjelasan yang memerincinya sampai jelas bisa
diamalkan. Contoh bentuk lafaz mufassar ini adalah ayat-ayat perintah salat, zakat dan
haji dalam Al-Qur’an adalah kata-kata mujmal atau global, tanpa terperinci cara-cara
pelaksanaanya
Lafaz Muhkam
Adalah lafaz yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup
kemungkinan untuk di ta’wil dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula
kemungkinan pernah dibatalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain lafaz ini
tidak menerima ta’wil maupun nasakh ( pembatalan), sebab menurut sifat yang
dikandungnya tertutup kemungkinan untuk dibatalkan.
Lafaz yang Tidak Jelas Maknanya
Dalam pandangan ulama Hanafiyah lafaz yang tidak terang artinya itu disebut:
ghairu wudhuh al-ma’na yang rincian dan urut peringkatnya adalah:
Lafaz khafi
Adalah bentuk lafaz yang padadasarnya memunculkan makna yang jelas. Namun
kejelasan makna tersebut menjadi sama ketika makna tersebut diterapkan pada kasus
tertentu yang sejenis. Ketidakjelasan muncul karena bentuk kasus itu tidak persis sama
dengan kasus yang ditunjukkan oleh lafaz tersebut. Sehingga terlihat adanya kontradiksi
antara kasus yang terterda dalam lafaz dengan kasus turunan yang merupakan bagian
dari kasus utama pada lafaz tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan penalaran yang
mendalam untuk menghilangkan kesamaran makna tersebut.
Musykil
Adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan oleh lafal
itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui
pengertian mana yang dimaksud dalam suatu redaksi memerlukan indikasi atau dalil
dari luar, seperti dalam lafal musytarak (lafal yang diciptakan untuk beberapa
pengertian yang berbeda hakikatnya).
Lafaz mujmal
Dalam pengertian sederhana adalah Lafaz yang maknanya mengandung beberapa
keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya. Mujmal menurut Hanafiyah
adalah lafal yang mengandung makna secara global di mana kejelasan maksud dan
perinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri, seperti istilah-istilah
khusus dalam pemakaian syara’. Misalnya lafal shalat, zakat, haji, dan lain-lain lagi
lafal yang bukan dimaksud semata-mata pengertiannya secara bahasa tetapi pengertian
khusus syara’.
Mutasyabih
Mutasyabih merupakan bentuk lafaz yang memiliki kesamaran makna yang berasal dari
lafaz itu sendiri dan terputus semua upaya untuk mengetahui. Lafaz mutasyabih, secara
bahasa (arti kata), adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung
beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafaz mutasyabih adalah lafaz yang samar
artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.

4. Kesimpulan
Lafaz yang jelas adalah lafaz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang
dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar, lafaz yang tidak jelas adalah lafaz
yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan
penjelasan dari luar lafaz itu. Lafaz yang tidak jelas terdiri dari 4 tingkatan,yaitu : khafi,
musykil, mujmal dan mutasyabih.

7.Pengertian lafaz Shareh, Kinayah, dan takwil,


1.Latar belakang
Untuk menginterpretasikan Al-Qur’an dan sunah dalam upaya mendeduksi
ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk-petunjuk yang diberikannya. Bahasa
AlQur’an dan Sunah harus dipahami secara benar agar dapat menggunakan
sumbersumber ini mujtahid harus mengetahui kata-kata nash dan implikasi-implikasi
secara
tepat. Untuk tujuan ini para ulama’ ushul fiqh memasukkan klasifikasi kata-kata dan
pemakaian-pemakaiannya kedalam metodelogi Ushul Al Fiqh.
Biasanya mujtahid tidak akan melakukan interpretasi jika nash itu sendiri sudah
merupakan dalil yang jelas. Tetapi sejauh ini, fiqh sebagian besar memuat
ketentuanketentuan yang dirumuskan melalui interpretasi dari ijtihad, sebagaimana
nanti akan
didiskusikan.
Dari sudut pemakaian yang sesungguhnya, seperti apakah suatu kata digunakan
dalam makna utamanya, makna harfiyah, makna teknis, ataukah maknanya yang lazim,
kata-kata juga diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama : harfiyah (haqiqi) dan
metamorfosis (majazi). Disini kita akan membahas tentang apa itu sharih, kinayah, dan
ta’wil.
2.Tujuan
Agar bisa membedakan kalimat yang disampaikan dalam alquran dan hadis serta dalil-
dalil yang disampaikan dalam kitab dan tulisan lainnya mana kalimat yang perlu
penafsiran yang lebih dalam dan mana kalimat yang sudah jelas maknanya yang tidak
perlu pengertian yang lain.
3. Pembahasan
1.Saya akan memaparkan pengertian shareh terlebih dahulu.
a.Shareh menurut bahasa berasal dari kata sharaha yang berupa fiil madi
yang artinya adalah terang,
Sedangkan Shareh menurut istilah shareh adalah
‫كل لفظ مكشوف المعنى والمراد حقيقة كان‬
‫أومجزا‬
“Setiap lafazd yang terbuka makna dan maksudnya baik ia dalam bentuk haqiqat
maupun dalam bentuk majas”
b.Kinayah secara etimologi berarti mengatakan sesuatu untuk
menunjukkan arti lain. Sedangkan secara terminologi, pengertian
kinayah adalah :
‫مايكون المراد باللفظ مستورا إلى أن يتبين¡ بالد ليل‬

“Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai


dijelaskan oleh dalil”.
c.Pengertian takwil secara kebahasaan atau etimologi berasal dari kata alaya’ulu-aulan
yang berarti kembali, yakni pengembalian sesuatu yang
dapat dikembalikan kepada penyebab awalnya. Kata takwil juga diambil
dari kata ma’al, artinya kesudahan. Maksudnya, segala sesuatu ketika
dipahami menjadikannya berbeda dari asalnya.

Sedangkan secara terminologi, takwil adalah mengembalikan makna teks


atau makna harfiahnya kepada makna yang dikenal secara umum. Ia
dipahami juga dengan mengungkapkan makna tersembunyi. Shihab
menegaskan bahwa takwil adalah mengalihkan makna atau kalimat dari
maknanya yang terlintas pertama kali dalam benak ke makna lain, karena
adanya indikator kuat yang bisa mengalihkannya. Takwil yang tercela
adalah yang indikatornya lemah.
2. Penunjukan hukum terhadap kinayah dan sharih
a.Penunjukan hukum terhadap kinayah Ketentuan yang berlaku terhadap
lafaz kinayah ialah bahwa untuk terjadi dan sahnya apa yang diinginkan
dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam hati;
contohnya jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Pulanglah kamu
ke rumah orang tuamu.” Lafaz ini dapat digunakan untuk cerai bila ia
meniatkan untuk bercerai.
b.Penunjukan hukum terhadap sharih, lafaz sharih dalam ucapan ialah
berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya, tanpa
memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula
menggunakan ungkapan yang resmi untuk itu. Contohnya lafaz cerai
yang di ucapkan suami kepada istri, seperti “ Aku jatuhkan tolak mu”
maka jatuh lah tolak istrinya tersebut.
3. Mengetahui sarat-sarat Takwil
Lafadz itu dapat menerima ta’wil lafaz zhahir dan lafaz nash serta tidak
berlaku untuk mukham dan mufassar.
Lafadz itu mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan karena lafaz
tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di
ta’wil, serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.
Ada hal-hal yang mendorong ta’wil seperti :
Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan
diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dalil yang
lebih tinggi dari dalil itu.
Contohnya : suatu hadist menyalahi maksud hadist yang lain,
sedangkan hadist itu ada kemungkinan untuk dita’wilkan, maka
hadist itu akan dita’wil kan saja ketimbang ditolak sama sekali.
Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya.
Contoh : suatu lafaz dalam bentuk zhahir diperuntukkan untuk
suatu objek, tetapi ada makna lain yang menyalahinya dalam
bentuk nash.
Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz
lain yang mufassar.
Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak
bertentangan dengan dalil yang
4. Bentuk-Bentuk takwil
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil.
Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya dari segi diterima
atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil, yaitu :
Ta’wil maqbul atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang telah
memenuhi persyaratan diatas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima
keberadaannya oleh ulama Ushul.
Ta’wil ghair al-maqbul atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang hanya
didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat
yang ditentukan.
Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wil dari makna
zhahirnya, ta’wil dibagi kepada dua bentuk :
Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahir-nya,
sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.
Ta’wil qarib ini termasuk ke dalam bentuk ta’wil yang maqbul seperti
diuraikan di atas.
Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang sebegitu
jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
4. Kesimpulan.
Sesuai dengan arti kata shareh yang artinya terang, ia menjelaskan apa yang ada dalam
hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin yang tidak
memerlukan penjelasan dan ia adalah sebuah kalimat yang langsung dapat dipahami
apabila diucapkan dan tidak mengandung makna lain.Kinayah adalah perkataan yang
memerlukan penjelasan lebih mendalam untuk mendapatkan pengertian dari sebuah
perkataan atau ungkapan.Dan takwil adalah sinonim atau kata lain dari makna tafsir yitu
memalingan suatu kalimat kepada makna yang luas dengan tidak merubah tujuan dari
kalimat atau dalil.

8.Lafadz Am
1. Latar Belakang
Al Quran merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW dengan menggunakan Bahasa Arab. Sebagai bahasa Al Quran, Bahasa Arab
memiliki berbagai macam dialek (lahjah), sehingga tidak sedikit dijumpai lafaz
yang kadang kala bisa memiliki berbagai macam arti. Dalam Al Quran banyak
dijumpai istilah yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna tertentu, seperti
lafaz ‘am, khas, mutlak, muqayyad, dan lain sebagainya.
Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa Al Quran tersebut, para
ulama, baik ulama ushul fiqh, ulama tafsir, ulama lughah, dan lain sebagainya, telah
mengadakan penelitian yang serius terhadap beberapa lafaz, khususnya yang
terkait dengan uslub atau gaya bahasa arab.
Hasil penelitian dari para ulama tersebut kemudian disusun menjadi beberapa
kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan untuk memahami
nash-nash Al Qur’an secara baik dan benar. Kaidah-kaidah tersebut bisa berupa
kaidah yang terkait dengan masalah kebahasaan, hukum, ilmu-ilmu Al Qur’an, dan
lain sebagainya. Dalam makalah ini kami akan mencoba untuk membahas kaidahkaidah
kebahasaan dalam Al Quran, khususnya dalam hal lafadz ‘am
2. Tujuan
Agar mampu memahami suatu lafads itu dengan berbagai pengertian dengan
mengetahui hal-hal yang membuatnya menjadi lafaz am, dan mengetahui pembagian am
itu sendiri.
3. Pembahasan
a.Pengertian Am menurut bahasa ialah cakupan sesuatu baik lafaz atau
selainnya.
Sedangkan menurut istilah ialah lafaz yang menunjukkan pada jumlah yang banyak dan
satuan yang termasuk dalam pengertiannya dalam satu makna yang berlaku. Adapun
yang dimaksud dengan satu makna yang berlaku yaitu lafaz yang tidak mengandung arti
lain yang bisa menggantikan makna tersebut (bukan musytarak). Lafaz ‘âm tersebut
menunjukkan arti banyak dengan menggunakan satu ungkapan dan dalam keadaan yang
sama. ‘Am menurut istilah Ushul Fiqh ialah: “Lafaz yang mencakup semua apa saja
yang masuk padanya dengan satu
ketetapan dan sekaligus.
b. Ruang Lingkup Am
Setiap lafaz(kata)mengandung dua lingkup pembahasan,yaitu :
Lafaz itu sendiri,yang tersusun dari huruf-huruf.
Makna atau arti yang terkandung dalam lafaz itu.
Para Ulama ushul membahas persoalan tentang
lafaz ‘am,khushush,mutlaq dan muqayyad dalam konteks :”apakah berada
dalam lingkup lafaz atau lingkup makna”
1.Jumhur Ulama berpendapat bahwa ‘am itu pada hakikatnya berada
dalam lingkup lafaz,karena ia menunjukkan pengertian-pengertian
yang terkandung didalamnya.kalau kita berbicara tentang ‘am,berarti kita bicara tentang
lafaz,bukan tentang makna.Hal ini berlaku pula
pada lafaz khushush,mutlaq dan muqayyad.
2. Sebagaian kecil Ulama berpendapat bahwa ‘am itu juga menyangkut
makna.
3. Jumhur Ulama juga berpendapat bahwa lafaz ‘am dapat juga
digunakan untuk makna,namun penggunaan untuk makna itu hanya
secara majazi,bukan dalam penggunaan yang sebenarnya,sebab kalau
ia hakikatnya untuk makna,tentu akan berlaku untuk setiap makna.
c. Shigot Am
Sighat ‘am ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum.Adapun sighatsighat
tersebut adalah sebagai berikut :
1.lafadz ‫(كل الذي التي اي‬syarat istifmah atau mausul). ‫( متي‬untuk waktu dalam bentuk
istifham ataupun syarat) ‫( اين حيثما‬Untuk tempat dalam bentuk syarat) ‫( من‬Untuk
istifham syarat dan mausul) dan lafadz: ‫جمع‬
d. Kriteria lafaz yang bermakna ‘Am
Dalam tradisi Bahasa Arab , terdapat sejumlah lafal yang diungkapkan untuk
menunjukkan makna ‘am, yaitu:
• Lafal Mufrad (kata tunggal) yang dilekati partikel (Alif Lam alIstigraqiyyah) yang
bermakna pernyataan seluruh atau semua.
• Lafal jama’ (Kata jamak) yang dilekati oleh partikel yang bermakna
seluruh atau semua.
• Lafal yang termasuk ism al-jins, yakni lafal yang tidak mempunnyai
satuan tunggalLafal yang disandarkan kepada ism ma’rifah (al-mudâf ilâ
al-ma’rifah) .
• Ism syart,
• Ism mausul
e. Macam macam lafads Am
Abdul Wahab Khalaf menyimpulkan bahwa menurut hasil penelitiannya
terhadap beberapa nash, telah ditetapkan bahwa al-‘am itu ada tiga bagian
• Am yang tetap dalam keumumannya (Al-‘am al-baqi ala umumih)
Seperti ‘Am dalam firman Allah SWT “dan tidak ada satu binatang
melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rizkinya.” (QS.
Hud : 6)
• . (Al-‘am al-murad bihi al-khusus) Yaitu ‘am yang dibarengi dengan
qorinah yang dapat meniadakan ketetapan al-‘am kepada keumumannya,
dan dapat menjelaskan bahwa yang dimaksud daripadanya ialah sebagian
satuannya. Seperti firman Allah”Mengerjakan haji ke baitullah adalah
kewajiban manusia terhadap Allah” (QS. Ali Imron:97):
• Amm yang di khususkan (Al-‘am al-makhsus) Yaitu‘am al-Muthlaqyang
dibarengi dengan qorinah yang dapat meniadakan kemungkinan
mentakhsisnya, dan tidak pula merupakan qorinah yang dapat
meniadakan dalalahnya atas umum. Seperti kebanyakan nash yang di
dalamnya terdapat sighot umum, adalah digeneralkan dari qorinahqorinah berupa akal
atau lafadz, atau urf (kebiasaan) yang dapat
menentukan umum atau khusus.
f.Penunjukan lafdz Am terhadap Hukum
Abû Zahrah mendefinisikan al- ‘âmm sebagai berikut: suatu lafaz yang
‫ الدستغرق فى داللتو لجميعما يصلو لو وضع واحد‬mencakup keseluruhan
makna yang dikandungnya melalui satu ketetapan bahasa.
Dalam definisi ini tidak termasuk keumuman kandungan atau makna suatu
lafaz. Definisi ini juga membedakan antara hal yang mutlak dengan hal yang
umum.
Hal ini karena hal yang umum mencakup seluruh lafaz yang tidak terbatas, tanpa
ditujukan kepada suatu lafaz pun, sedangkan lafaz yang mutlak ditujukan kepada
suatu lafaz, baik makna tunggal maupun lafaz jamak.

9.Lafadz Khas dan Takhsis


1. Latar Belakang Sebagaimana telah diketahui sumber ajaran islam, baikAl-Qur ’ an
maupun sunnah dalam sumber ajaran yang berbahasa arab.Oleh karena itu, untuk
memahami hukum hukum yang bersumber dari Al-Qur ’ an dan sunnah harus
benarbenar memahami gaya bahasa(uslub) yang ada dalam bahasa arab dan cara
penunjukkan nash kepada artinya. Para ulama ahli ushul fiqh mengarahkan
perhatian mereka kepada penelitian terhadap uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa
arab yang lazim digunakan untuk memahami nash-nash syariat secaravbenar sesuai
pemahaman orang arab sendirivk yang nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.
Oleh karena itu,maka diperlukan adanya pembelajaran yang dapat pemahaman
tentang uslub-uslub bahasa arab untuk memahami sumber hukum islam dengan
benar. Para ushuliyyi nmenetapkan bahwa,perhubungan lafadz dengan makna
mempunyai beberapa segi yang harus dibahas.Mereka membagi lafadz dalam
hubungannya kepada beberapa bagian,yang diantaraanya yaitu pembagian tentang
kandungan prngrtiannya; yang dal “ lafadz dari segi am makalah ini akan membahas
tentang khas dan takhsis.
2. Tujuan
3. Pembahasan
Pengerian khas: yaitu perkataan atau susunan yang mengandung artian
yang tertentu dan bukan umum, khas sendiri merupakan lawan dari am
yang dibahas pada artikel kedelapan atau sebelumnya, khas adalah suatu
lafas yang diperuntukkan untuk menunjuk barang, orang, ataupun hal,
seperti lafas ‫رجل‬upaya pengeluaran dari satuan orang banyak
Pengertian takhsis: Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang
umum atau mengeluarkan satuan-satuan materi dari yang
umum,sedangkan satuan lainnya belum atau tidak disebutkan.Dengan
demikian, keumumannya masih berlaku bagi satuan yang tersisa.
Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannya
satuan dari yang umum. Kaitannya dengan khas, takhsis,dan mukhassis
Ketentuan-ketentuan dari lafadz khas dan takhsis.
Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), ia
menunjukan artinya yang khas secara qath’ I al-dalalah (penunjuk yang
pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu.Hukum
yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i.
Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu
kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang
dikehendaki oleh dalil itu.Mengetahui Macam-macam Takhsis dan
Contohnya.
Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan di temukan pula
hukum yang khusus dalam kasus lain,maka lafaz khas itu membatasi
pemberlakuan hukum‘amm itu.
Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dan dalil amm, terdapat
perbedaan
pendapat, yaitu diantaranya:
a.Menurut ulama Hanafiah, seandainya dalil itu bersamaan masanya,
maka dalil yang khas mentakhsiskan yang amm, karena tersedianya
persyaratan untuk takhsish.
b.Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya pembenturan antara
dalil‘amm dengan dalil khushush karena keduanya bila datang dalam
waktu bersaman maka yang kahas memberi penjelasan terhadap yang
amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk zhahir yang tetap
berkemungkinan untukmenerima penjelasan disamping untuk diamalkan
menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalilk has. Lafaz khas
itulah yang menjelaskan lafaz amm.
Macam-macam Takhsis dan contohnya
Adapun macam-macam takhsish terbagi kepada 5(lima) bagian, yaitu:
1.Takhsish Al-Qur’an dengan Al-Qur’an Ada 2 (dua) pendapat
tentang takhsish Al-Qur’an dengan Al-Quran. Ada yang
membolehkan ada juga yang tidak,namun hanya sedikit ulama
yang tidak membolehkan takhsish ini. Contohnya dalam qur an
suroh (Albaqaroh ayat 221) yang artinya Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Dan
kemudian ditakhsis oleh Al-quran dalam Qs, Al-Maidah ayat 5,
yang artinya Dan dihalalkan mengawini orang-orang beriman
dan diantara orang-orang yang menjaga kehormatannya di
antara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu.
2. Takhsish Al-Quran dengan Sunah Untuk sunah yang
mutawatir, para ulama tidak ada memiliki perbedaan pendapat
bolehnya sunah itu mentakhsish Al-Quran, tetapi untuk sunah
yang ahad, para ulama
berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mentakhsish AlQuran. Contohnya dalam Qs.
Annisa ayat 11 yang artinya Allah
mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Kemudian ditakahsiskan dalam
sabda rosululloh saw yang artinya Orang Islam tidak
diperbolehkan mewarisi (hartanya)
orang kafir, dan orang kafir tidak pula diperbolehkan
mewarisi orang Islam.
3. Takhsish Sunah dengan Al-Quran
Seperti halnya dalam takhsish Al-Quran dengan sunah yang
telah dijelaskan diatas
Yang melahirkan perbedaan pendapat,demikian pula dalam hal
takhsish sunah dengan
Al-Quran disini. Contohya dalam sabda Rosululloh Saw yang
artinua “Tidaklah diterima shalat kalian apabila dalam keadaan
hadats sehingga (kamu mengambil air untuk)
berwudlu‟. Kemudian ditakhsis dalan ayat Qs. Annisa ayat 43.
Yang artinya Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau kembali dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang suci.
4. Takhsish Sunah dengan Sunah Dalam hal kemungkinan
takhsish sunah dengan sunah terdapat pula perbedaan
Pendapat dikalangan para ulama, Contohnya sabda Rosululloh
Saw yang artiny “terhadap apa-apa yang dihasilkan oleh siraman
air hujan, maka (zakatnya) diambil seper sepuluh”. Kemudian
ditakhsiskan oleh sabda Rosululloh yang lain yang artinya Abu
„Abdillah berkata: ini adalah penafsiran
pertama ketika Nabi bersabda” tidak (wajib) shadaqah
apabila kurang dari lima ausuq (takar).
5. Takhsish dengan Ijma’
Menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya ushul fiqh jilid 2, ia
berpendapat bahwa
takhsish dengan ijma’ ialah mengetahui maksud suatu dengan
lafaz‘am melalui ijma’
ulama yang menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sebagian
dari apa yang
dikehendaki lafaz‘am tersebut.

10.Lafaz Mutlak dan Muqayyad


1. Latar Belakang
Di dalam pembahasan tentang mutlak dan muqayyad merupakan hal yang paling
terpenting untuk dijelaskan karena seseorang yang tidak mengerti akan perbedaan dari
masing-masing keduanya sehingga seseorang yang belajar ilmu fiqh dia tidak akan
mengerti perbedaan dari mutlak dan muqayyad dan akan terjadi kesalah pahaman dalam
mengartikan sebuah ayat atau kitab lainnya dan didalam pembahasan ushul fiqh yang
banyak terjadi kesalah pahaman itu terletak pada pembahasan mutlak dan muqayyad.
Memang pembahasan tersebut sangat sulit sehingga seseorang dalam memahami ayat
tidak cukup memahami secara zhahir saja. akan tetapi harus mengetahui tentang mutlak
dan muqayyad atau memahami tafsiran ayat tersebut.
2. Tujuan
Guna mengetahui mutlak dan muqayyad ini agar mampu membawa kita kearah yang
lebih baik dalam perkembangan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan pemahaman
dari teks AlQuran yang senantiasa memberi jalan keluar dari setiap masalah yang kita
hadapi dalam dunia ini, karena tiada satupun masalah yang ada didunia ini tanpa tersirat
dalam kalam Tuhan yang Maha Agung dan Maha Suci.
3.Pembahasan
Mutlaq dan Muqayyad  ﴾ ‫اﻠﻤﻄﻠﻖ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺍﻠﻤﻗﻳﺩ‬ ﴿ adalah lafaz  yang menunjukkan suatu hakikat
tanpa sesuatu qayid  (pembatas). Jadi ia hanya menunjuk kepada satu individu tidak
tertentu dari hakikat tersebut. Para ulama ushul fiqh berbeda-beda dalam memberikan
pengertian mutlaq, namun semuanya beretemu pada suatu pengertian bahwa yang
dimaksud dengan mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa
pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya Menurut Muhammad al-
Khudhari Beik mutlaq ialah lafazh yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa
satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzi.
Sedangkan pengertian muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat
sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang memperesmpit keluasan artinya.
Misalnya, kata ‫ َرقَبَ ٍة‬disifati dengan kata ‫ ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬pada firman Allah SWT.
(۹۲ ꞉ ‫ُّمْؤ ِمنَ ٍة َرقَبَ ٍة فَتَحْ ِري ُر ۖ )ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ‬
Artinya: “Maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.

Hubungan antara lafazh mutlaq dan muqayyad :

Apabila ada satu lafadz disatu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat yang
lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya.
1. Persaman sebab dan hukumnya
Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya
harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz mutlaq tadi
jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada muqayyad, dan harus
diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafadz tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya
namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan
penjelasan yang mutlaq. Contoh lafadz:
‫فصيام ثالثة أيام‬
Artinya: Berpuasa tiga hari, merupakan bentuk contoh mutlaq, menurut bacaan
mutawatir. Tetapi menurut bacaan syadzah lafadz tersebut bentuknya muqayyad (bacan
Ubbaid bin Ka’abdan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi :
‫فصيام ثالثة أيام متتابعات‬
Artinya : berpuasalah tiga hari berturut -turut .

Jadi lafadz di atas dibatasi dengan kata - kata berturut - turut (mutatabiat).
Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hokumnya, maka qirat mutawatir di atas
diikutkan (disesuaikan) dengan qiraat syadzah. Jadi cara mengartikannya disamakan
dengan qiraat syadzah. Hendaklah berpuasa tiga hari berturut -turut. Jadi, karena
keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat
sumpah. Lebih jelasnya, walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan lafadz
mutatebiatin tetapi cara mengartikannya haruslah berpuasa tiga hari berturut turut
dengan memakai qaid mutatabiat.

2. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama


Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama dalam hokum, maka bagian ini
diperselisikan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus
diikutkan kepada yang muqayyad, sadang Ulama yang lain mengatakan bahwa yang
mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
3. Perbedaan hukum dan sebab
Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan
kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal
membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan
hokum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad) dan yang lainnya, diharuskan
memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satu soal pembunuhan,
maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu, tidak boleh diikutkan satu kepada yang
lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil sebagai mana dalam hal saksi.

4. Perbedaan dalam hukummya saja


Apabila terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan antara
ulama ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.

5. Adakalanya salah satu di antara keduanya ( mutlaq dan muqayyad), dalam bentuk
itsbat (membenarkan) dan naïf (membantah). Contohnya, seorang berkata,
Merdekakanlah hamba sahaya. Lalu berkata lagi, jangan memerdekakan hanba sahaya
yang kafir. Atau ia berkata ,Memedai memerdekakan hamba sahaya muslim. Dan
berkata lagi, Tidak memadai memerdekakan hamba sahaya. Lafadz mutlaq dalam
contoh tersebut diberi qayid dengan kebalikan atau lawan dari qayid pada lafadz yang
miqayyad. Dalam contoh pertama kata hamba sahaya diberi qayid dengan muslim dan
contoh kedua hamba sahaya diberi qayid dengan kata muslim

6. Bila dalam keduanya (mutlaq dan muqayyad) dalm benuk naïf atau dalam bentuk
mrlarang , atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang satu lagi dalam bentuk melarang,
maka lafadz mutlaq diberi qaid dengan sifat yang terdapat dalam lafadz muqayyad.
4.Kesimpilan
Mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa
pembatasan yang dapat mempersempit keluasan.Sedangkan muqayyad adalah
suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan
yang memperesmpit keluasan.
  Para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya,
selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya.Begitu juga hukum lafazh
muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya.
Sedangkan hubungan antara mtlaq dan muqayyad diantaranya :
· Persamaan sebab dan hukum
· Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
· Perbedaan hukum dan sebab
· Perbedaan hukumnya saja
Dan dalam masalah ini masih banyak para ulama ushul fiqih berbeda pendapa

11. Lafaz Dilalah Menurut Ulama Hanafiyah


1. Latar Belakang
Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa
faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan
tersebut, secara internal, adalah perbedaan metode ulama Usul dalam memahami
makna nas, al-Quran dan Hadis.Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang
lafaz tersebut juga dikenal sebagai dua aliran besar dalam Usul al-Fiqh yaitu, Metode
Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki rumusan
tersendiri.Dengan demikian, perbedaan persepsi dalam penemuan hukum, seperti telah
diungkapkan, terkesan wajar dan dianggap lumrah. Menurut ulama Hanafiah, metode
dalam penunjukan nash terbagi menjadi 4 yaitu ibarah al-nas, isyarah al-nash, dalalah
al-nash, dan iqtida al-nash.

2. Tujuan
Agar kita bisa memahami penunjukan lafadz nash menurut madzhab Hanafi dan
agar kita bisa memahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil
hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha
menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan
tepat.

3. Pembahasan
Secara bahasa kata “‫”داللـة‬adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “-‫دل‬
‫”يـدل‬yang berarti menunjukan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau
penunjukkan. Dengan kata lain, dilalah itu ialah penunjukan suatu lafadz nash
kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita
dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.

Bentuk-Bentuk dilalah ghairu lafzhiyah dan Kekuatan Penunjukannya terhadap


Hukum
1.Kemestian berlakunya suatu hukum pada suatu lafaz juga berlaku untuk maskutnya
(diamnya).Bila dalam suatu ungkapan disebutkan hukum secara tersurat, maka
dibalik yang tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam
lafaz.
2.Keadaan diamnya seseorang berfungsi sebagai penjelasan secara muthlaq.Seseorang
yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu namun ia dalam
keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula
seseorang yang diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia
menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang,namun ia diam saja. Diamnya
itu memberi petunjuk atas suatu hukum.

3.Sikap diamnya seseorang menandakan bahwa diam itu sebagai petunjuk


berbicaranya. pada yang ketiga ini sekedar diam belum berarti apa-apa, karena
dalam hal ini diperlukan bicaranya. Meskipun di sini hanya diam, tetapi yang
demikian sudah dapat dianggap berbicara.

4.Penunjukkan diam menyatakan madud (suatu yang dibilang) hal tersebut sudah
biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.

Penunjukan Lafadz Dilalah lafzhiyah


A.Ibarah al-Nash adalah penunjukan lafadz atas makna yang diinginkan, yaitu suatu
makna yang langsung bisa dipahami, baik itu makna asli ataupun makna tabiI
(mengikuti). Setiap nash- nash syari menunjukkan pada makna masing- masing, ada
makna yang langsung diinginkan dari lafadznya langsung, yaitu disebut dengan makna
asli, tapi ada juga lafadz yang tidak asli yaitu lafadz tabii.
Allah taala berfirman:
‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Qs. Al-
Baqarah: 275)

Ayat diatas memiliki makna asli yaitu adanya perbedaan antara jual beli dengan riba.
Karena ayat tersebut turun untuk membantah orang- orang jahiliyah yahudi yang
mengatakan bahwa jual beli seperti riba, namun ayat tersebut juga memiliki maksud
lain yaitu makna mengikuti (taban), yaitu bolehnya jual beli dan haramnya riba.

B.Isyarah al- Nash ialah penunjukkan lafadz atas suatu ketentuan hukum yang tidak
disebutkan langsung oleh lafadz nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang
diucapkan diungkapkan untuk itu Defenisi lainnya, Yaitu penunjukan lafadz pada selain
dari maksud asli (asolatan) ataupun maksud mengikuti (taban). akan tetapi dia memiliki
suatu makna yang mana hubungan kalimatnya memiliki arti. Hal mana, maksud dari
suatu lafadz dapat diambil faidahnya lewat isyarah bukan lewat ibarah
C.Dilalah al- Nash ialah petunjuk lafadz atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan
Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut anhu), karena antara
kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan illat, dimana
pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa
kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan
daya nalar.
D.Iqtidho al- Nash adalah penunjukan lafazh terhadap segala perkara makna yang tidak
dapat berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang lain. Dalalah iqtidha
terbagi kepada tiga macam:
1. Sesuatu yang wajib di takdirkan ( dimunculkan ) kebenaran suatu ucapan.
Contohnya sabda Rasul:
‫رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه‬
Artinya: “Dicabut dari umatku kesalahan dan lupa”

Ibarah hadits ini mengandung makna bahwa kesalahan dan lupa telah dicabut sehingga
tidak ada lagi lupa dan kesalahan yang terjadi pada umat Muhammad Shallallahu alihi
wa sallam, namun kenyataan yang ada bertentangan dengan hadits tersebut, karena kita
masih mendapatkan kejadian itu di masyarakat. Maka sebenarnya kesalahan dan lupa itu
tidak bisa dicabut dari manusia. Oleh karena itu hadits tersebut wajid ditakdirkan
dengan itsmu (dosa ). Maksudnya itsmu al-khatā’ wa al-nisyān ( dosa kesalahan dan
lupa ), agar kalimat tersebut jadi benar.

2.Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan) untuk kebenaran suatu ungkapan atau
kalimat secara akal. Contohnya, firman Allah ta’ala:
َ‫َوا ْسَأ ِل ْالقَرْ يَة‬
Artinya: “Dan tanyalah (penduduk) negeri.”(Qs. Yusuf: 82).
Menurut zahir lafadz ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena tidak mungkin
bertanya kepada kampung yang bukan makhluk hidup. Karena itu perlu dimunculkan
suatu kata sehingga ungkapan itu menjadi benar dan selaras maknanya. Adapun kata
yang layak dimunculkan adalah penduduk sebelum kata kampung, karena penduduk
kampunglah yang ditanya dan dapat memberi jawaban.

3.Sesuatu yang wajib ditaqdirkan (dimunculkan)untuk sahnya suatu ungkapan secara


hukum. Contohnya, seperti perkataanmu bagi orang yang memilki hamba, kamu
merdekakanlah hambamu dariku dengan seribu rupiah, maka sesungguhnya ini
menunjukkan atas kepemilikannya terhadap hamba itu, seolah-olah engkau mengatakan
jadikanlah dia milikku dengan seribu rupiah, kemudian kamu merdekakan dia dariku,
sebab tidak sah memerdekakan hamba itu kecuali setelah memilikinya.
4. Kesimpulan.
bahwa Ulama Hanafiyah membagi dilalah menjadi dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah
Ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. dan dilalah ghairu lafzhiyah
Ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya.Kedua dilalah ini pun
dibagi menjadi empat seperti yang dijelaskan diatas.

12.Lafaz Dilalah Menurut Ulama Syafiiyyah


1. Latar Belakang
Dalam pandangan ulama Syafiiyah, dilalah terbagi menjadi dua macam, yaitu
dilalah mantuq dan dilalah mafhum. Dilalah mantuq adalah petunjuk hukum yang
terdapat dalam susunan lafadznya dan dalam ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan
dilalah mafhum adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya tetapi
tidak disebutkan dalam ucapan (lahir) lafadznya. Secara garis besar, dilalah mantuq
terbagi menjadi dua, yaitu mantuq sharih dan mantuq gairu sharih. Sedangkan dilalah
mafhum juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.untuk lebih tau ricinnya dijelakan lagi :

A.Dilalah Manthuq (‫ )المنطوق‬dalam pandangan ulama syafi’iyah adalah:


‫داللة اللفظ في محل النطق على حكم المذكور‬
“Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut yang disebut
dalam lafaz itu.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami sesuatu hukum dari apa
yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman secara manthuq.

Dilalah manthuq terbagi menjadi dua, yaitu :


a.Manthuq sharikh ialah manthuq yang penunjukkannya itu timbul dari wadhiyah
muthabiqiyah dan wadhiiyah tadhamminiyahManthuq sharikh dalam istilah ulama
Syafiiyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian
ulama Hanafiyah.

b.Manthuq ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukannya timbul dari
wadhiyah iltizhamiyah Manthuq ghairu sharik terbagi ke dalam dua macam yaitu
penunjukannya itu dimaksud oleh pembicaraan dan penunjukannya tidak
ditunjukkan oleh pembicara hanya terbatas pada suatu bentuk dilalah isyarah yang
dalam pandangan Hanafiyah juga disebut dengan dilalah isyarah atau isyarah nash.

B.Dilalah Mafhum (‫ )المفهوم‬adalah


‫داللة اللفظ في محل النطق على ثبوت حكم ماذكر لما سكت عنه او على نقيء الحكم عنه‬
“Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau
tidak berlakunya hukum yang disebutkan”.

Dari pengertian diatas maka mafhum dapat dibagi dua yaitu:

a. Mafhum Muwafaqah adalah mafhum yang lafadznya bahwa hukum yang tidak
disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafadz. Dari segi kekuatan
berlakunya pada apa yang tidak disebutkan maka mafhum Muwafaqah terbagi dua
yaitu: Mafhum Aulawi. Yaitu berlakunya hukum pada suatu peristiwa yang tidaklah
disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya
hukum yang diberlakukan pada lafadz. Kekuatan itu ditinjau dari segi alasan
berlakunya hukum pada manthuqnya sebagaimana yang disebutkan dalam surat al isra
ayat 23 dan Mafhum musawi yaitu berlakunya hukum pada suatu peristiwa yang
tidak disebutkan dalam manthuq
b.Mafhum Mukhalafah Yaitu mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum
yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.

C.Mafhum mukhalafah terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu :

1. Mafhum al Washfi ( pemahaman dengan sifat )


Contoh, firman Allah dalam surat an-nisa : 23 :
‫َو َحالَ ِئ ُل َأ ْبنَا ِئ ُك ُم الَّ ِذ ْينَ ِم ْن َأصْ الَ بِ ُك ْم‬
“( dan diharamkan bagimu ) istri-istri anak kandungmu (menantu)”
Mafhum sifatnya adalah istri anak-anak yang bukan kandung, seperti cucu sesusuan.

2.Mafhum Ghayah (pemahaman dengan batas akhir)


Contoh, firman Allah dalam surat al-baqarah : 230 :\
ُ‫فَِإ ْن طَلَّقَهَا فَالَ تَ ِحلُّ لَهُ ِم ْن بَ ْع ُد َحتَّى تَ ْن ِك َح زَ وْ جًا َغي َْر ه‬
“jika si suami mentalak istrinya (talak tiga), tidak halal bekas istri itu untuknya hingga
bekas istri itu mengawini laki-laki lain.”
Mafhum Ghayahnya adalah jika istri tertalak tiga itu kawin dengan selain suami yang
telah mentalaknya.

3.Mafhum Syarat ( pemahaman dengan syarat )


Contoh, firman Allah dalam surat al-thalaq : 6 :
ِ َ‫وَِأ ْن ُك َّن ُأوْ ال‬
َ َ‫ت َح ْم ٍل فََأ ْنفِقُوا َعلَ ْي ِه َّن َحتَّى ي‬
‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن‬
“Jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah mereka nafkah
sampai mereka melahirkan anak.”
Mafhum syaratnya yaitu jika istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil.

4. Mafhum ‘adad (pemahaman dengan bilangan)


Contoh,firman Allah dalam surat an-nur : 2 :
‫ا ل َّزا نِيَةُ َوا ل َّزا نِي فَا جْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ِما َئةَ َج ْل َد ٍة‬
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki pukullah masing-masing sebanyak 100 kali.”
Manthuq ayat tersebut adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina laki-laki dan
perempuan. Mafhum ‘adadnya adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila
pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang ditentukan.

5. Mafhum al-laqab (pemahaman dengan julukan)


Contohnya firman Allah SWT
ِ‫ُم َح َّم ُد َرسُو ُل ا هلل‬
“Muhammad utusan Allah”
Manthuq dari ucapan itu adalah menetapkan kerasulan untuk seseorang yang bernama
Muhammad bin Abdullah. Mafhum laqabnya adalah tidak berlakunya kerasulan bagi
orang selain Muhammad bin Abdullah.

4.Kesimpulan
dalam pandangan ulama Syafi’iyah, dilalah terbagi menjadi dua macam,yaitu dilalah
mantuq adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya dan dalam
ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan dilalah mafhum adalah petunjuk hukum yang
terdapat dalam susunan lafadznya tetapi tidak disebutkan dalam ucapan (lahir)
lafadznya

13.Pengaruh pemahaman kebahasaan dalam amr sebagai penentu


peletakan hukum
1.Latarbelakang Masalah
Al qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw telah
melahirkan komunitas pembaca. Mereka berusaha memahami dan mengartikulasikan
nilai al qur’an dalam kancah kehidupan, hingga akhirnya terbentuk fakta Islam. Hal ini
tidak bisa dihindarkan dari adanya kegiatan penafsiran, pemahaman dan perenungan
akan makna yang dikandung al qur’an. Kegiatan pemahaman/ penafsiran al qur’an
diperlukan adanya suatu kaidah-kaidah agar terhindar dari adanya pemaknaan yang
keliru, karena didalam al qur’an banyak kita jumpai kemu’jizatan al qur’an diantaranya
adalah tentang kebahasaan. Bahasa al qur’an yang berbeda dari bahasa undang-undang
modern, karena legislasi al qur’an tidak terbatas pada perintah, larangan dan sebab-
akibat saja, tetapi sering dirangkaikan dengan seruan moral untuk menggugah kesadaran
individual. Seruan ini bisa berbentuk persuasi, atau ibarat tentang keuntungan dan
kerugian yang bisa diperoleh karena melaksanakan atau meninggalkan suatu perintah
atau ancaman balasan/hukuman diakhirat. Hukum-hukum modern seringkali tanpa
memuat seruan seperti itu, karena biasanya terbatas pada suatu penjelasan tentang
ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan akibat hukumnya yang tidak nyata.
Perintah dalam al qur’an terdapat berbagai bentuk, perintah biasanya diungkapkan
dengan gaya bahasa imperatif, tetapi ada kesempatan lain digunakan kalimat lampau
sebagai pengganti. Memahami Amr sangatlah penting begitu juga dengan kaidah-kaidah
yang menyertainya, kerana wahyu pertama turun dimulai dengan perintah sebagaimana
terdapat dalam Al Qur’an surat al-‘Alaq (96): 1-5. Dua dari lima ayat surat al-Alaq itu
berisi amr, kedua amr itu adalah ‫ إقراء‬masing-masing pada ayat satu dan tiga. Beberapa
lama kemudian setelah wahyu pertama turun itu, turun pulalah wahyu kedua ayat 1-10
al-mudatsir, lima dari 10 ayat itu masih berisi amr Tuhan kepada Muhammad saw.

2.Tujuan
Pemahaman akan konteks yang terkandung dalam al qur’an, kita membutuhkan
pemahaman dari segi kebahasaan, salah satunya ialah amr. Perlu kita ketahui apa itu
amr, macam-macam amr, sighat amr, serta kaidah-kaidah amr. Agar dalam pengambilan
hukum dalam al qur’an tidak ditemukan kerancuan dan kekeliruan, yang berakibat pada
hukum yang bertele-tele.

3.Pembahasan
Pengertian Amr (perintah) merupakan suatu lafal yang didalamnya menunjukkan
tuntutan untuk mengerjakan suatu pekerjaan dari atasan kepada bawahan.(Ahmad,1997)
Sehingga dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa amr tidak hanya ditunjukan
pada lafal yang memakai shigat amr saja, namun jika dilihat dari segi kebahasaan
mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan kata majaz. Point
penting dari definisi amr ini adalah bahwa didalam kata amr terkandung unsur tuntutan
untuk mengerjakan. Sighat amr bisa berbentuk fi‟il amr/ perintah langsung. Misalnya,
firman Allah: “Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang
yang rukuk.” (al baqarah: 43). Bisa juga berbentuk mudhari’ yang didahului oleh lam
amr. Misalnya, firman Allah: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran
(yang ada di badan) mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan
thawaf sekeliling rumah tua (Baitullah).” (al hajj: 29). Atau dengan menggunakan isim
fi’il amr, seperti: “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang
yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk.
Hanya kepada Allah kamu semuaakan kembali, kemudian Dia akan Menerangkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (al maidah: 105). Atau dengan menggunakan
isim mashdar pengganti fi‟il, misalnya: “Dan (ingatlah) ketika Kami Mengambil janji
dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada
kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.” (al baqarah: 83).
Terkadang menggunakan kalimat berita (kabar), misalnya; “Dan para istri yang
diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū.” (al baqarah: 228).
Namun tidak jarang berbentuk lafal yang searti dengan amar, misalnya: Lafal kutiba,
pada surah Al-Baqarah 183; “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa”. Lafal faradla, bisa juga sebagai sighat amr seperti pada surah an-nisa’ 24:
“Berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban.”
Dalam ketata bahasaan, perintah itu banyak model dan macamnya, tak mesti hanya
menggunakan kata perintah saja namun terkadang kita menemukan perintah dalam
bentuk majaz/ sesuatu yang merujuk akan perintah tersebut.
Seberapa pengaruh amr dalam pengambilan hukum dari nash?? Jawabannya sangat
berpengaruh, jika seorang mujtahid tidak memahami akan tata bahasa, bisa jadi ia
menerapkan hukum tidak sesuai dengan makna atau tujuan dari nash tersebut.
Penerapan hukum dari amr dan nahi tidak menutup kemungkinan akan tertukar
posisinya, yang amr bisa jadi nahi, sebaliknya yang nahi bisa di kategorikan amr dalam
ketentuan hukumnya. Contohnya, ; “Dan para istri yang diceraikan menahan diri
mereka tiga kali qurū.” (al baqarah: 228). Pada ayat ini tidak di temukan amr secara
lansung, yang jika seorang mujtahid tidak mengerti akan hal ini, maka ia akan
menggolongkan hukum yang ada pada ayat ini menjadi sunnah. Atau bisa juga pada
pengambilan hukum ini mujtahid menggolongkan pada mubah, dengan kesimpilan jika
tdk sanggup menahan tiga kali qurū boleh saja melakukan pernikahan pada masa qurū
ini. Pemahaman akan amr ini sangat urgen, terlebih dalam menetapkan hukum
keharusan dan tidak boleh, karna hal ini akan menimbulkan kecacatan beramal dalam
keseharian kita sebagai muslim.
Amr timbul dari kefasihan para ulama terdahulu dalam menilik suatu nash yang
dalam penerjemahan akan hukumnya tidak dituliskan secara lansung oleh nash. Amr
terkadang akan berubah maknanya jika disusupi oleh qarinah, yang mana qarinah ini
akan sangat berpebgaruh dalam pengambilan hukum dari amr itu sendiri. Sekarang
muncul pertanyaan, sejauh mana pangaruh qarinah dalam amar, para pakar memiliki
pendapat yang berbeda akan hal ini menurut Ibn Hazm dan kelompok al-Dhahiry,
semua amar menunjukkan arti wajib, sekalipun diikuti qarinah, kecuali ditemukan
adanya nash lain atau ijma’ yang dapat mengalihkan pengertian amr dari wajib. Namun
Jumhur Ulama, berbeda pendapat dengan kelompok Ibn Hazm dan kelompok al-
Dhahiry, bahwa kata amr yang tanpa ada qarinah tetap menunjukkan wajib. Jika ada
qarinah ini maka dianggap sudah cukup bisa dipakai untuk mengubah hakikat arti yang
terkandung didalam amr. Contoh: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar.” (al-Baqarah: 282).
Ayat ini ditemukan adanya kasus tentang hukum pencatatan dan persaksian dalam kasus
utang-piutang, yang kemudian para ahli ushul berbeda pendapat akan hal ini kelompok
al-Dhahiry, berpendapat bahwa hukum yang terdapat didalam perintah pencatatan dan
penulisan dalam hutang-piutang adalah wajib, sebab bentuk amar menunjukkan wajib.
Arti ini tidak bisa menyimpang dari arti amar secara lahiriyah, kecuali ada nash atau
ijma’ yang mengalihkannya dari wajib. Namun disisi lain jumhur ulama, berpendapat
bahwa hukum yang dapat diambil dari kata amar adalah nadb, sebab kebanyakan
masyarakat muslim dalam melakukan transaksi kontrak jual-beli yang dilakukan dengan
tidak kontan, tidak dilakukan oleh mereka dengan percatatan dan penulisan, sehingga
ijma’ kaum muslimin tersebut dianggap sebagai indikasi (qarinah) yang menunjukkan
bahwa amar tersebut tidak menunjukkan hukum wajib.

4.Kesimpulan
Sumbangsih ulama dalam beberapa kaidah tentang pemahaman tentang kebahasaan
tidak bisa dilupakan begitu saja, termasuk dalam hal amr. Secara bahasa kita bisa
memahami bahwa amr adalah suatu larangan/ perintah, terkadang berubah maknanya
sesuai dengan qarinah yang ada, karena amr mempunyai makna hakiki dan majazi.
Memahami amr sangat penting karena didalamnya banyak ditemukun konsekwensi
hukum yang berbeda dan akan dipakai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi walau
bagaimana perbedaan yang dibingkai oleh tirai ketulusan dalam membentangkan syariat
yang elastis akan menciptakan kemajuan signifikansi dalam tatanan kejayaan Islam.

14.Nahy Merupakan Hal yang Urgen dalam Menemukan Hukum

1.Latar Belakang
Syariat Islam merupakan suatu kesatuan yang utuh. Hukum-hukum yang
ditetapkan di dalamnya tidak lain merupakan batas terakhir dari syari’at itu sendiri.
Setiap istinbat atau pengambilan hukum dalam syariat islam harus berpijak pada al
quran dan sunnah Nabi saw. Syari’ dalam menetapkan syariatnya tidak begitu saja,
melainkan mempunyai arah. tujuan dari penetapan syariat untuk mendapatkan sebuah
realisasi daripada kemaslahatan, memberikan manfaat dan menghindarkan dari
kemafsadatan/ kerusakan. Tujuan syariat ini harus diselami oleh para mujtahid untuk
mengembangkan pemikiran hukum islam sekaligus menjawab persoalan kontemporer
yang tidak dijumpai secara eksplisit dalam al quran dan sunnah. Amir Syarifuddin
menyatakan bahwa aturan Allah swt, dapat dipahami melalui isyarat lafal al quran
menurut yang disebutkan secara harfiah, isyarat atau petunjuk dari lafal al quran, dan
petunjuk yang terdapat dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah swt dalam
menetapkan syariat. Untuk memahami makna yang terkandung dari nash, diperlukan
suatu metodologi yang dikenal dengan ushul fiqh. Obyek utama yang akan dibahas
dalam ushul fuquh adalah al-aqur’an dan sunnah rasul, sedangkan untuk memahami
teks-teks dan sumber yang berbahasa arab tersebut para ulama telah menyusun senacam
tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih bahasa arab menyampaikan
suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Para ahli telah
membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantara yang sangat penting, antara lain
Al-Amr, Al-Nahy, Al-Ibahah. Syariat islam yang dibawa oleh rasulullah saw tersebut
dapat dipahami melalui ilmu ushul fiqhi dan bahasa Arab. Ulama ushul fiqh
mengajukan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaedah-kaedah kebahasaan dan
melalui pendekatan maqashid al- syari’ah. Di dalam al quran dan Sunnah terdapat
lafadz-lafadz yang tegas dan yang mengandung pengertian bukan tegas. Ada kata yang
mengandung lebih dari satu makna dan ada pula yang mujmal (M.A
Bayununi,1986:36). Melihat kenyataan seperti itu, para ulama harus menyikapi dengan
membedah secara mendalam sebelum menetapkan kaidah hukum sebagai acuan dalam
memahami teks secara tepat. Ulama ushul memandang segenap firman Allah yang
berkenaan dengan perbuatan (orang yang mukalaf), baik dalam bentuk tuntutan, pilihan,
maupun dalam bentuk wadh’iy (hubungan antara satu perbuatan dengan perbuatan lain).
Firman Allah dalam bentuk larangan digolongkan dalam makna hukum haram atau
makruh. Dengan upaya ini, maka ulama ushul berhasil menetapkan hukum yang
terkandung dalam al quran dan sunnah rasulullah saw dengan baik dan penuh kehati-
hatian.
2.Tujuan
Supaya kita lebih memahami mengenai hukum dari syari’at sesuai dengan apa yang
dianjurkan dalam al qur’an maupun hadist yang menjadi landasan islam
3.Pembahasan
Nahi merupakan suatu lafal yang menunjukkan suatu tuntutan untuk
meninggalkan sesuatu yang dikerjakan dari atasan kepada bawahannya, atau nahi juga
bisa diartikan sebagai ungkapan yang meminta agar sesuatu perbuatan dijauhi. Larangan
ini layaknya seperti perintah, membawa berbagai variasi makna. Meskipun makna dasar
dari nahi merupakan keharaman, atau tahrim akan tetapi nahi juga digunakan untuk
sekedar menyatakan ketercelaan (karohiyah) tuntutan (irsyad) ataupun kesopanan
(ta’dib) serta permohonanan (do’a). Oleh karena itu, maka para ulama’ berbeda
pendapat tentang manakah diantara makna-makna ini yang merupakan makna pokok
(hakiki) dari nahi itu sendiri. Hasbi menyebutkan bahwa al-nahy merupakan suatu
pekerjaan yang menghentikan kita menyuruh yang lafazh ( ‫لفظ یدل على عن فعل على جھة‬
‫ )اإلستعالل‬yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita). Apabila ada kata
yang yang mengandung larangan yang tidak sesuai dengan qarinah, maka tentu secara
logika kita dapat memahami bahwa keharusan yang diminta adalah suatu larangan.
Nazar Bakri membagi nahi kepada beberapa pengertian hukum, seperti: (Nazar Bakri,
1993: 185-188)
Haram, menunjukkan bahwa pada dasarnya, setiap masalah yang sunyi/ tidak disertai
dengan qarinah menunjukkan pada arti hakikinya, yaitu haram, seperti dalam Q.S. al-
Isra’ (17) : 32, yaitu : ‫وال تقربوا الزنا‬. Sebaliknya apabila kalimat mempunyai qarinah,
tidak menunjukkan hakekat larangan seperti dalam Q.S. 4 : 43, yaitu : ‫یاأیھا الذین أمنوا‬
‫التقربوا الصالة وأنتم سكارى‬.
Larangan sesuatu, suruhan bagi larangan. (‫ )بضده أمر شیئ عن النھي‬dilarang dari sesuatu,
disuruh dengan lawannya). Jadi, jika dilarang dari sesuatu, maka itu berarti suruhan
dengan salah satu dari lawannya. Misalnya dilarang duduk di taman, maka tidak duduk
di tempat lain, selain di taman.
Larangan yang mutlak, menghendaki mutlak yang larangan ( ‫النھي المطلق یقتضى الدوام جمیع‬
‫ )األزمنة‬berkekalan dalam sepanjang masa). Larangan seperti ini, baik membawa
kebinasaan maupun menjauhinya, baru mencapai hasil yang sempurna apabila dijauhi
yang dirasakan itu selama-lamanya. Misalnya : larangan mendekati anjing gila untuk
menjauhkan diri dari kebinasaan.
Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadat, dilarang yang
kebinasaan menunjukkan larangan (‫ )النھي یدل على الفساد المنھي عنھ‬dalam beribadat). Untuk
mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan ibadah, harus
mengerjakan perintah dan menjauhi yang dilarang.
Dalam urusan muamalat, rusaknya menunjukkan yang larangan ( ‫النھي یدل على فساد المنھي‬
‫ )عنھ فى العقود‬perbuatan yang dilarang dalam berakad). Apabila larangan itu kembali
kepada aqad itu sendiri bukan kepada yang lain, sebagai mana dilarang menjual anak
hewan yang masih berada dalam kandungan induknya.
Aturan di atas menjadi dasar penetapan dari suatu hukum yang berbentuk larangan.
Dalam kaitan ini T.M.Ash-Shiddieqy mengemukakan beberapa makna dengan al-nahy,
yaitu : (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1981: 71-73)
Untuk mengetahui kemakruhan;
Untuk doa;
Untuk isyarat (petunjuk);
Untuk kekekalan;
Untuk menerangkan akibat;
Untuk menerangkan bahwa yang demikian tak mungkin dicapai (diperoleh);
Untuk menyenangkan hati;
Untuk mengharap sesuatu yang tidak mungkin diperoleh;
Untuk memperlakukan;
Untuk mengancap;
Untuk mengharap sebagian.
4.Kesimpulan
Larangan/ nahy merupakan suatu lafal yang dipergunakan oleh yang lebih
tinggi kedudukanaya/ tingkatanya ditujukan kepada yang kedudukannya lebih rendah
tinkatanya, lafal itu selanjutnya dikatakan bahwa di dalam Alquran banyak ditemukan
ayat yang menggunakan huruf nahy, tetapi dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada yang
menggunakan la nahiyah dan ada pula dalam bentuk yang lain tetapi terdapat indikasi
nahy. Kata tuntutan meninggalkan menunjukkan bahwa nahy itu menghendaki untuk
meninggalkan suatu perbuatan atau suruhan untuk tidak berbuat apa-apa namun, dalam
pengertian lain walaupun yang dikehendaki adalah untuk berbuat tapi menggunakan
kata yang didahului larangan sehingga tetap dinamakan nahi. Secra umum nahi
merupakan dalil kulli yang dibawahnya termasuk seluruh bentuk yang disampaikan
dalam bentuk nahi ( larangan). Para ahli ushul menyatakan bahwa larangan itu bisa
digunakan untuk mengharamkan dan bisa untuk memakruhkan.

Anda mungkin juga menyukai