Anda di halaman 1dari 20

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI OLAHRAGA

Oleh:

MUHAMMAD RAMLI BUHARI


NIM. 2005149005

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN


PROGRAM DOKTOR (S3)
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Membicarakan dunia olahraga memerlukan kejujuran dan keterbukaan.
Semangat nasionalisme sangat diperlukan untuk gagasan pembangunan bangsa.
Selain agama, olahraga adalah satu-satunya benang merah yang mengikat warga
masyarakat dan menumbuhkan semangat patriotisme, serta melawan primordialisme
dan desain jahat berbagai kekuatan separatis. Kita semua tentu masih ingat
pengalaman menonton liputan televisi Asian Games 2018 lalu. Ketika Jonathan
Christy misalnya, meraih satu emas dalam cabang bulutangkis tunggal putra, atau
pasangan ganda putri Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang meraih medali
olimpiade Tokyo 2021, kita spontan berseru “Ya, kita berhasil!” Pengalaman kecil
tersebut menunjukkan betapa ada hubungan emosional yang kuat di antara para
penggemar dengan olahraga.
Olahraga, apa pun jenis atau cabangnya, pada hakikatnya membantu
meningkatkan kualitas diri seperti disiplin, tekad, kerja tim, dan hasrat untuk
kebugaran dalam jiwa suatu bangsa. Tak dapat dipungkiri, setelah revolusi industry
4.0, hidup kita menjadi jauh lebih tidak aktif daripada pendahulu kita, berkat berbagai
kenyamanan yang dibawa oleh kemajuan teknologi. Banyak dari pencapaian ilmiah
yang kita terima begitu saja, telah membuat hidup kita jauh lebih mudah sehingga
mengurangi tingkat aktivitas fisik kita. Namun, begitu kita menyukai dan
menjalankan aktivitas berolahraga secara teratur, kebajikan-kebajikan seperti: kerja
tim, etika, komitmen, dan sportivitas menjadi kualitas yang melekat seumur hidup
dan olaraga mengajarkan itu.
Billie Jean King, mantan petenis nomor satu Amerika Serikat pernah berkata
begini, ‘Olahraga mengajari Anda karakter. Ia mengajari Anda bermain sesuai aturan.
Ia mengajari Anda untuk mengetahui bagaimana rasanya menang dan kalah. Singkat
kata, olahraga mengajari Anda tentang kehidupan.”
Masyarakat Indonesia mengenal dan mencintai begitu banyak cabang olahraga.
Cabang-cabang olahraga seperti sepakbola, bulutangkis, tinju dan pencak silat sangat
populer di masyarakat kita. Sekarang, tugas kita selanjutnya adalah bagaimana
menjadikan olahraga itu sebagai wahana untuk semakin memperkuat rasa
Muhammad Ramli Buhari 1
nasionalisme atau patriotisme, meningkatkan solidaritas sosial dan semangat inkusif
di masyarakat.
Lebih dari itu, kita dapat belajar dari pengalaman negara Nairobi, Afrika,
misalnya, Mathare Youth Sports Association (MYSA) telah menggunakan program
sepak bola remaja di daerah kumuh untuk membawa perubahan dan harapan dalam
kehidupan banyak anak miskin di daerah kumuh. MYSA juga memanfaatkan sepak
bola sebagai cara untuk mengatasi masalah seperti anak putus sekolah, dan maraknya
penyalahgunaan narkoba di daerah kumuh. Negara Nairobi, memanfaatkan olahraga
terutama atlet berprestasi, sebagai agen yang menginspirasi dan mempromosikan cara
hidup yang benar. Termasuk memotivasi kaum muda menghindari narkoba, dan
meyemangati anak-anak miskin untuk terus berlajar dan berjuang supaya keluar dari
masalah kemiskinan.
Dari pengalaman Nairobi, kita juga dapat mengambil hikmah. Artinya,
pemerintah dan seluruh elemen masyarakat mesti mulai bergerak untuk memilih
cabang-cabang olahraga tertentu sebagai pemikat anak-anak muda supaya semakin
mencintai sekolah dan pembelajaran. Upaya tersebut sangat bernilai strategis untuk
meningkatkan keunggulan bangsa. Sebab, bukan mustahil dengan menekuni cabang
olahraga tertentu, kaum muda Indonesia bisa mengukir prestasi yang mengharumkan
nama bangsa di ajang kompetisi internasional. Selain itu, ketika kaum muda
bertumbuh menjadi altet profesional, secara individual kaum muda Indonesia
berpeluang meraup penghasilan besar.
Lebih dari itu, dengan mencintai sekolah dan menjalani pendidikan akademis
yang lengkap, generasi muda Indonesia akan mendapat peluang lebih besar untuk
berkompetisi di dunia kerja, dan bisa mengembangkan wirausaha yang
menguntungkan. Jadi, tak dapat diragukan lagi, kita harus memajukan dunia olahraga
kita. Sebab, baik langsung maupun tak langsung, olahraga adalah alat yang sangat
efektif untuk membangun karakter dan keunggulan bangsa kita.

b. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus masalah dalam
makalah ini adalah:
1. Bagaimana membangun karakter bangsa melalui olahraga?
2. Bagaimana fenomena olahraga dalam lingkaran politik dan kekuasaan?
Muhammad Ramli Buhari 2
3. Bagaimana kontribusi olahraga pada pembangunan ekonomi?
4. Bagaimana fenomena sosial dan kultural dalam olahraga
c. Tujuan
Tulisan dalam makalah ini bertujuan untuk menelaah dan memberikan analisis
terkait:
1. Membangun karakter bangsa melalui olahraga
2. Fenomena olahraga dalam lingkaran politik dan kekuasaan
3. Kontribusi olahraga pada pembangunan ekonomi
4. Fenomena sosial dan kultural dalam olahraga

Muhammad Ramli Buhari 3


BAB II
KAJIAN TOERI

a. Konsep Karakter
Karakter menggambarkan etika atau suatu sistem personal dari nilai-nilai,
yang penting bagi eksistensi personal seseorang dan dalam hubungannya
dengan orang lain. Menurut Cole (2004), karakter terdiri atas dimensi intelektual
dan dimensi perilaku. Dalam konsep tersebut terdapat nilai inti dan sistem
kepercayaan, serta perilaku atau aksi yang menyokong sistem inti. Dimensi
intelektual dari karakter menyangkut etika, yaitu suatu sistem nilai (apa yang
penting atau kritis) dan moral (apa yang baik atau benar), yang berkaitan dengan
tanggungjawab pribadi dan sosial, sedangkan dimensi perilaku adalah suatu cara
pandang hidup yang memperlihatkan aksi yang konsisten dan terus menerus
dengan kualitas dimensi intelektual.
Menempatkan karakter sebagai bagian dari proses edukasi berarti
mengadopsi pembentukan karakter sebagai outcome proses belajar. Saat
karakter dijadikan outcome proses belajar, karakter menjadi suatu hasil atau
produk dari proses edukasi. Menurut Ngara (2001), beberapa outcome karakter
yang mungkin dicapai adalah kepekaan sosial, kepekaan terhadap identitas
kultural, apresiasi terhadap pandangan atau pendapat yang berbeda, semangat
melayani, dan nilai-nilai spiritual.
Meskipun selalu ada perdebataan mengenai apa nilai yang membentuk
karakter seseorang, tampaknya ada beberapa sifat yang universal. Institute for
Global Ethics tahun 1996 melakukan survei yang melibatkan 250 partisipan,
mewakili 40 negara dan dari agama yang berbeda-beda. Survei menemukan
bahwa kebenaran, tanggung jawab, kebebasan, dan penghormatan pada kehidupan
diperhatikan sebagai nilai-nilai yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks olahraga, pertandingan tidak akan bisa dimainkan jika tidak ada
ekspektasi mendasar bahwa partisipan akan mengikuti aturan-aturan dalam
olahraga tersebut.

Muhammad Ramli Buhari 4


Seseorang dengan karakter positif akan menampilkan perilaku yang
memperlihatkan respek dan integritas. Rest (1986) dalam Joseph (2006) tidak
percaya bahwa penilaian moral dan moralitas berkorelasi dengan karakter. Ia
percaya bahwa perilaku ditentukan oleh sejumlah faktor yang kompleks dan
bahwa pertimbangan dan penilaian moral hanya berperan kecil dalam menjelaskan
perilaku moral. Lickona (1991) dalam Joseph (2006)) berpendapat bahwa karakter
positif terbentuk sebagai hasil proses perasaan dan kognitif. Namun demikian,
dalam olahraga perilaku partisipan seringkali instingtif dan spontan.
Olahraga sangat bersifat emosional, secara fisik dan psikis penuh tekanan,
melibatkan situasi yang tidak pasti, dan seringkali agresif. Waktu untuk
pertimbangan moral dan proses kognitif seringkali tidak ada dalam olahraga. Atlet
sering hanya sekedar bertindak, sedangkan pertimbangan untuk perilaku mereka
sangat banyak. Namun saat mereka melakukan tindakan, perilaku tersebut adalah
refleksi seperti apa diri mereka. Skinner (1971) dalam Joseph (2006) percaya
bahwa seseorang bertanggung jawab untuk perilakunya karena mereka adalah
konsekuensi untuk perilaku baik dan buruk.
Individu dapat dan harus mengontrol diri mereka dalam membentuk
serangkaian nilai. Ada tingkatan yang bermakna dari tanggung jawab moral
untuk karakter seseorang, yang diperlihatkan dalam perilakunya. Jika perilaku
seseorang tidak merefleksikan karakternya, individu ini dikatakan lemah
karakternya. Sikap individual dan kepercayaan penting, tetapi tindakan lebih
penting. Perilaku individual adalah pilihannya dan seharusnya ia tidak mengubah
tanggung jawabnya di tempat lain. Dalam olahraga, hal ini berarti karakter-
karakter positif diterapkan baik di dalam pertandingan maupun di luar
pertandingan, karena hal tersebut merupakan karakternya.

b. Pendidikan Karakter dalam Olahraga


Menurut Avis (2003), pendidikan karakter adalah usaha-usaha yang
sengaja dilakukan untuk memelihara nilai-nilai universal yang melintasi batas
ras, agama, sosial, dan budaya, serta merupakan usaha untuk menciptakan suatu
komunitas yang ditandai dengan kualitas, seperti tanggungjawab, keadilan,
empati, dan disiplin diri. Nilai-nilai karakter dalam olahraga meliputi nilai sosial
dan moral. Nilai-nilai karakter sosial termasuk loyalitas, dedikasi, pengorbanan,
Muhammad Ramli Buhari 5
dan kerjasama tim, sedangkan nilai- nilai moral yaitu kejujuran, keadilan,
sportivitas, kebenaran, dan tanggungjawab (Beller, 2002). Karena olahraga
mampu membantu perkembangan nilai-nilai sosial, maka perkembangan karakter
melalui olahraga seharusnya mampu membantu atlet belajar untuk
mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan moral dan kemudian bertindak
berdasarkan nilai-nilai moral tersebut.
Pengembangan karakter moral adalah kombinasi proses pembelajaran
sepanjang kehidupan, baik formal maupun informal dengan tiga dimensi, yaitu
mengetahui, menilai, dan mengerjakan hal yang benar, dengan hasil menjadi
karakter moral. Proses informal pengembangan karakter moral sangat dipengaruhi
lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan luar seperti televisi,
media, film, dan lain-lain. Mulanya individu-individu belajar dari keluarga,
tradisi, teman, kelompok agama. Saat mereka memasuki dunia olahraga, mereka
cenderung dipengaruhi oleh nilai-nilai dan perbuatan teman-teman sepermainan.
Norma, nilai, dan praktik sosial secara umum dan di dalam olahraga juga
membentuk lingkungan tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh media melalui
TV, film, dan media cetak.
Dalam rangka mempengaruhi karakter secara positif, nuansa program
pendidikan karakter dapat dibuat dengan membentuk kelompok yang mampu
mempengaruhi pola pikir dan perilaku atlet, untuk mendorong aksi moral atlet
sehingga mereka mampu menghargai orang lain. Contoh program yang dapat
dilakukan yaitu dengan memberikan penghargaan kepada pemain yang
memperlihatkan perilaku yang baik selama pertandingan.
Proses formal pendidikan karakter secara langsung bertujuan
mempengaruhi perkembangan karakter. Individu-individu ditantang untuk
merefleksikan nilai-nilai dan prinsip moral dalam berhubungan dengan
masyarakat atau orang lain, kemudian merefleksikan pada aksi moral yang baik.
Proses itu melibatkan pengetahuan dan penilaian hal yang benar yang akan
membimbing ke arah kebenaran moral.
Pengetahuan meliputi kesadaran moral, nilai-nilai moral, pengambilan
perspektif, prtimbangan moral, dan pengambilan keputusan. Penilaian moral
meliputi kepercayaan diri, empati, mencintai Tuhan, kontrol diri, dan kerendahan

Muhammad Ramli Buhari 6


hati. Tindakan moral meliputi kompetensi, kemauan, dan kebiasaan. Ketiga
proses ini bekerja secara harmoni, yaitu saat atlet dan pelatih tahu dan mampu
menyadari perilakunya dan perilaku mereka mempengaruhi apa yang mereka tahu
dan rasakan. Pendidikan karakter formal dilakukan melalui membaca, menulis,
diskusi, dan refleksi pada isu-isu kejujuran, sportivitas, tanggungjawab, dan
bersikap baik kepada orang lain. Tujuannya adalah mengembangkan konsistensi
dan kejujuran moral dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter seharusnya
mampu membawa seseorang ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan
nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata.

c. Partisipasi dalam Olahraga dan Pembentukan Karakter


Karakter dapat dipelajari dan dibentuk dalam setting olahraga.
Pengalaman yang diperoleh melalui olahraga dapat membentuk karakter, tetapi
hal ini hanya dapat terjadi apabila lingkungan olahraga diciptakan dan ditujukan
untuk mengembangkan karakter. Lingkungan di sini termasuk pelatih,
administrator, orang tua, dan partisipan olahraga. Coakley (2001) dalam Joseph
(2006) merekomendasikan suatu setting olahraga, yang memberikan penghargaan
lebih kepada partisipan yang bermain dengan baik dan bersikap sportif daripada
sekedar mementingkan menang atau kalah. Dengan demikian, diharapkan
karakter-karakter positif dapat dan harus dipelajari melalui olahraga atau aktivitas
fisik. Program olahraga dalam semua level dapat didesain untuk mengembangkan
gaya hidup aktif dan karakter positif.
Bredemeier & Shield (1995) dalam Joseph (2006) menyatakan bahwa
dengan metode pengajaran dan pelatihan yang tepat, serta usaha-usaha
mengembangkan kualitas, olahraga dan aktivitas fisik dapat menjadi sarana yang
tepat untuk pembentukan karakter. Olahraga pada level apapun sangat potensial
untuk mengembangkan karakter positif.
Namun demikian, pembentukan karakter positif ternyata tidak otomatis
melekat dengan partisipasi dalam olahraga. Atlet, khususnya pada olahraga beregu
cenderung mempunyai nilai lebih rendah dalam tes karakter. Sebagian riset
melaporkan bahwa ada hubungan negatif antara partisipasi dalam olahraga dan
pengembangan karakter. Hal ini tentu saja berlawanan dengan harapan bahwa
dengan berpartisipasi dalam olahraga akan diperoleh karakter positif bagi pelaku-
Muhammad Ramli Buhari 7
pelakunya.
Studi longitudinal yang dilakukan Krause & Priest (1993) dalam Joseph
(2006) di akademi militer USA menemukan perbedaan yang bermakna antara atlet
olahraga nomor individual dibandingkan nomor beregu dalam hal perilaku moral.
Studi tersebut memperlihatkan penurunan nilai etika, khususnya pada atlet nomor
beregu. Temuan ini sejalan dengan pengamatan Miller & Jarman (1988) dalam
Joseph (2006) bahwa olahraga beregu dan individual mempunyai nuansa etika
yang berbeda.
Dalam studi di sekolah menengah atas memperlihatkan bahwa siswa yang
bukan atlet mempunyai pendekatan yang lebih baik dalam menghadapi dilema-
dilema moral dalam olahraga dibandingkan dengan siswa yang menjadi atlet. Ada
masalah dalam pendidikan jasmani di sekolah. Guru, pelatih, atau orang tua
mengajarkan respek dan fair play, namun hasilnya menunjukkan hasil
sebaliknya. Jika guru, pelatih, atau orang tua menggunakan olahraga sebagai
sarana mengembangkan karakter positif pada siswa dan kemudian yang terjadi
sebaliknya, mungkin ada yang salah dengan pengajarannya atau mereka
menampilkan perilaku yang salah yang kemudian ditiru oleh siswa atau karena
memang siswa-siswa tersebut tidak berusaha belajar (Beller & Stoll, 1995 dalam
Joseph, 2006).
Bredemeier & Shileds (1985) dalam Joseph (2006) mewawancarai 120
siswa SMA dan Perguruan Tinggi, baik atlet maupun bukan, untuk mengetahui
apakah ada perbedaan perilaku moral antara di dalam dengan di luar
pertandingan. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar responden
menyatakan ada perbedaan antara yang mereka lakukan di pertandingan dengan
kehidupan sehari-hari. Perilaku yang mungkin tidak bisa diterima dalam
kehidupan sehari-hari dianggap dapat diterapkan di pertandingan. Penelitian Dunn
(1999) pada atlet Hoki menemukan bahwa mereka sangat terfokus pada hasil
akhir pertandingan dan pertimbangan moral mereka dalam mencapai hasil akhir
menjadi berkurang. Atlet digambarkan menjadi pribadi yang egosentris, terfokus
pada dirinya atau kelompoknya, dan terfokus pada hasil akhir. Hasil tersebut
menyiratkan bahwa orientasi ego yang tinggi mungkin mempunyai efek
merugikan pada pertimbangan moral atlet dalam olahraga jika atlet

Muhammad Ramli Buhari 8


merasa superioritas dibandingkan lawan tanding menjadi lebih penting daripada
permainan itu sendiri.

BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

a. Olahraga dan Pembangunan Karakter Bangsa


Di tengah carut marutnya kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini,
tentunya sangat dibutuhkan orang-orang yang dalam setiap sepak terjangnya
menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusian. Untuk mewujudkan semua itu
diperlukan individu-individu yang berkarakter dan memegang teguh nilai-nilai
kebangsaan. Dalam konteks inilah olahraga menjadi bagian penting sebagai
sebuah instrumen pembentukan nilai dan karakter bangsa.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat
istiadat. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang
dibuatnya.
Olahraga pada hakikatnya adalah miniatur kehidupan. Pernyataan ini
mengandung maksud bahwa esensi-esensi dasar dari kehidupan manusia
dalam keseharian dapat dijumpai pula dalam olahraga. Olahraga mengajarkan
kedisiplinan, jiwa sportif, tidak mudah menyerah, jiwa kompetitif yang tinggi,
semangat bekerjasama, mengerti akan aturan dan berani mengambil keputusan
kepada seseorang.
United Nations (suatu organisasi non-pemerintah terakreditasi (LSM) di
PBB) (2003) juga menyatakan bahwa olahraga merupakan instrumen yang
efektif untuk mendidik kaum muda terutama dalam nilai-nilai. Menurut United
Nations sejumlah nilai yang ada dan dapat dipelajari melalui aktivitas olahraga
meliputi: cooperation (kerjasama), communication (komunikasi), respect for the

Muhammad Ramli Buhari 9


rules (menghargai peraturan), problem-solving (memecahkan masalah),
understanding (pengertian), connection with others (menjalin hubungan
dengan orang lain), leadership (kepemimpinan), respect for others (menghargai
orang lain), value of effort (kerja keras), how to win (strategi untuk menang) , how
to lose (strategi jika kalah), how to manage competition (cara mengatur
pertandingan), fairplay (bermain jujur), sharing (berbagi), self-esteem
(penghargaan diri), trust (kepercayaan), honesty (kejujuran), self-respect
(menghargai diri sendiri), tolerance (toleransi), resilience (kegembiraan dan
keuletan), team-work (kerjasama sekelompok), discipline (disiplin) dan confident
(percaya diri).
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh aktivitasa
olahraga terhadap dimensi pribadi, seperti konsep diri, stress, penyimpangan
perilaku dan integrasi sosial. Hasil studi beberapa ahli menunjukkan bahwa:
1. Remaja yang aktif dalam olahraga, penyimpangan perilakunya lebih kecil
dibandingkan remaja yang tidak berpartisipasi dalam olahraga.
2. Remaja yang terlibat dalam aktivitas fisik lebih memiliki ketahanan dan
mampu mengatasi stressor dari lingkungannya.
3. Remaja pada umumnya membutuhkan dukungan sosial, tidak saja dari
kelompoknya melainkan juga dari kelompok dan institusi lainnya.
4. Remaja yang terlibat aktif dalam kegiatan olahraga menunjukkan tingkat
kepercayaan dirinya (self confidence) lebih tinggi daripada remaja yang tidak
aktif terlibat dalam kegiatan olahraga.
Pada akhirnya betapapun baik dan mulianya nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam olahraga yang sejatinya juga merupakan nilai-nilai yang ada
dalam kehidupan sehari-hari, tidak akan mempunyai makna apa pun jika tidak
diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Oleh sebab itu yang penting adalah kemauan dari setiap individu untuk
memulai hidup dengan baik yang dilandasi oleh nilai-nilai keutamaan dan
didukung oleh keteladanan para pemimpin seperti orangtua, guru, pemuka
masyarakat dan kepala pemerintahan dari tingkat yang terendah sampai tertinggi.
Para pemimpin harus memberikan teladan yang baik, apa yang diucapkan harus
berbanding lurus dengan apa yang dilakukan.

Muhammad Ramli Buhari 10


Sungguh bukan pekerjaan yang mudah, namun dengan adanya komitmen
(political will dan political action) dari semua pihak tidak ada barang yang tidak
mungkin di dunia ini. Dengan didukung oleh semua pihak dan disertai dengan
visi dan misi yang sama, mudah-mudahan tekad untuk menjadikan olahraga
sebagai instrumen untuk membangun nilai dan karakter bangsa dapat menjadi
kenyataan.
b. Fenomena olahraga dalam lingkaran politik dan kekuasaan
Di tahun politik sekarang ini yang acap kali memecah belah masyarakat
Indonesia, pelaksanaan Asian Games di Jakarta-Palembang merupakan pengikat
hubungan penting yang menyatukan banyak pihak, baik itu antar negara di Benua
Asia maupun di dalam negeri sendiri. Asian Games yang kali ini bertema ‘Indonesia
Emas’ menawarkan kesempatan bagi banyak pihak yang terbelah karena afiliasi
politik dan interpretasi religius untuk memenuhi stadion atau lapangan pertandingan
untuk menyemangati tim dan pemain andalannya, untuk bersenang-senang
sekaligus membangun kebersamaan.
Seperti pada acara seremoni pembukaan yang spektakuler 18 Agustus 2018
di Gelora Bung Karno, yang oleh media luar dinyatakan setara dengan olimpiade.
Kita melihat bagaimana luar biasanya kekuatan olahraga mempersatukan atlet dari
Korea Utara dan Korea Selatan berjalan bersama di bawah bendera Semenanjung
Korea. Kedua negara bersatu, berjuang, berusaha merebut medali dalam olahraga
basket, kano, dan dayung. Selain itu, sholawat dan doa juga mengalir demi
mendoakan Jonatan Christie meraih emas di tunggal putra bulutangkis yang
merupakan salah satu cabang bergengsi. Puncaknya adalah ketika Hanifan Yudani,
salah satu peraih emas olahraga pencak silat berhasil menyatukan Joko Widodo dan
Prabowo Subianto, dua kandidat pemilihan presiden dalam sebuah pelukan. Begitu
banyak hal yang menyentuh kita dan menunjukkan bagaimana olahraga menjadi
jembatan yang menghubungkan perbedaan yang akhir-akhir ini bergulat dalam
friksi-friksi kebhinekaannya.
Dunia memang merupakan tempat yang terpecah-pecah. Selalu ada konflik
antarnegara satu dengan negara lainnya, sebagaimana internal kita sendiri yang
hidup dengan berbagai keyakinan dan nilai. Namun, sepanjang sejarah juga
memperlihatkan bagaimana manusia dengan sedikit kesamaan yang dimilikinya

Muhammad Ramli Buhari 11


dapat berkumpul bersama sebagai fans dan sebagai pemain, serta
mengenyampingkan perbedaan demi meraih medali untuk kemenangan bangsa.
Peran olahraga dalam meredakan konflik dapat ditelusuri ke belakang saat
pertama kali olimpiade dilaksanakan. Pada abad ke-9 SM, Oracle dari Delphi
menyatakan kepada Iphitos, raja dari Elis untuk melaksanakan kompetisi olahraga
damai untuk mengakhiri konflik bersenjata yang melanda Yunani pada masa itu.
Iphitos kemudian mengumpulkan dukungan dari raja-raja lainnya dan memulai
tradisi olimpiade gencatan senjata, di mana semua konflik regional akan berhenti
selama tujuh hari sebelum dan sesudah pertandingan setiap empat tahun sekali
sehingga para atlet, keluarganya, dan masyarakat lainnya dapat bepergian ke dan
dari olimpiade dengan damai. Olimpiade gencatan senjata tersebut diperkenalkan
kembali pada tahun 1994 dalam bentuk pertandingan yang lebih modern dan tetap
merupakan gerakan olimpiade sebagaimana harusnya dengan keluarnya resolusi
PBB terkait isu kemanusiaan tertentu setiap dua tahun sekali sebelum pelaksanaan
tiap olimpiade.
Seiring waktu, para pemimpin dunia terus memanfaatkan olahraga sebagai
sarana untuk membuka kembali dialog diplomatik dan membuat gerakan
perdamaian internasional. Salah satu contoh yang cukup dikenal adalah Diplomasi
Ping-Pong negara Tiongkok yang mengundang para pemain Amerika Serikat ke
pertandingan persahabatan di negara mereka pada April 1971. Peristiwa ini
menandai pertama kali warga negara Amerika diperbolehkan memasuki Tiongkok
sejak 1949. Kurang dari setahun kemudian, Presiden Nixon melakukan kunjungan
persahabatan ke Tiongkok yang mengakhiri 25 tahun putusnya komunikasi dan
hubungan diplomatik antarnegara tersebut, dan mengarah pada pembentukan
kembali hubungan diplomatik mereka pada tahun 1979.
Nelson Mandela juga mengakui kekuatan olahraga untuk memulihkan dan
menyatukan Afrika Selatan yang terpecah akibat politik Apartheid. Pada saat
memuncaknya ketegangan akibat pengangkatan Mandela sebagai presiden kulit
hitam pertama di negara tersebut, ia muncul di lapangan setelah Springboks
memenangkan Piala Dunia Rugbi pada 1995 dengan memakai jersey dan topi hijau
tim nasional negara tersebut. Stadion Johannesburg yang sebagian besar dipenuhi
oleh warga kulit putih awal mulanya terpana, tetapi kemudian menggemakan kata

Muhammad Ramli Buhari 12


“Nelson! Nelson!”. Sebuah momen yang digambarkan sangat apik dalam film
‘Invictus’ tahun 2009 lalu melalui akting Morgan Freeman dan Matt Damon.
Sebuah contoh luar biasa lainnya guna mengenang bagaimana kekuatan olahraga
menyatukan perbedaan yang ada. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mandela “Sport
has the power to change the world. It has the power to inspire. It has the power to
unite people in a way that little else does. It speaks to youth in a language they
understand. Sport can create hope where there was only despair.”
Dalam momen Asian Games 2018 Jakarta dan Palembang yang bertepatan
dengan tahun politik di Indonesia, kita melihat para atlet wakil negara ini berjalan
bersama di bawah satu bendera ‘Indonesia’. Perwakilan bangsa dari Timur sampai
Barat; berkulit hitam, cokelat dan berkulit kuning; dari Novery Aqilla yang berusia
9 tahun sampai Bambang Hartono yang berusia 78 tahun yang merupakan bos PT
Djarum berjuang bersama dengan dukungan suporter seluruh negeri yang terus
mendengungkan “Siapa kita?? Indonesia!!” dalam setiap kesempatan. Olahraga
sekali lagi terbukti merupakan mekanisme efektif memecah kebuntuan dan
menyatukan dua kubu ‘kampret’ dan ‘kecebong’ demi sebuah harga diri bangsa.
Kita tentunya berharap pelukan mesra Jokowi dan Prabowo di ajang pencak silat
kemarin akan terus berlanjut ke pendukungnya bahkan setelah Asian Games
berakhir.
Setiap pembahasan mengenai kekuatan olahraga pada akhirnya
menunjukkan pentingnya dukungan dan kebersamaan yang harus terus-menerus
diajarkan pada kita semua. Pelajaran tentang arti kata kepemimpinan, kerja sama,
fair play, kemandirian dan juga perbaikan yang terus-menerus. Olahraga merupakan
aktivitas penting bagi semua orang, baik itu laki-laki maupun perempuan; yang
muda bahkan yang lanjut usia. Olahraga bukan hanya sekadar penting karena dapat
kita mainkan sepanjang hidup kita, tetapi juga karena pelajaran yang dapat kita
ambil untuk kehidupan sehari-hari.
Saat ini, kita semua merasakan adanya harapan akan kembalinya kedamaian,
ketenangan, dan kebersamaan bangsa ini ketika melihat banyaknya lantunan
sholawat dan doa sepanjang pertandingan Jonatan Christie, seruan haleluya
mengiringi kemenangan Aries Susanti Rahayu sang spiderwoman, dan pelukan
hangat Hanifan Yudani dengan Jokowi dan Prabowo. Mari jangan kita biarkan

Muhammad Ramli Buhari 13


momen ini berlalu! tidak hanya di stadion atau lapangan pertandingan Asian Games,
tetapi di seluruh Indonesia. Mari kita biarkan rangkulan semangat olahraga
menyatukan kita semua, meredakan ketegangan dan membantu kita menyadari
bahwa kita berbagi jauh lebih banyak daripada hal-hal yang membedakan kita
semua. INDONESIA EMAS!!
Logika olahraga dan logika politik memiliki perbedaan habitat, namun
keduanya sering bersinggungan dalam wadah yang kadang jelas tapi sering
tersamar. Terdapat titik singgung yang menjadi pintu masuk interaksi logika
olahraga dan logika politik. Pertama, olahraga seksi secara politis karena menjadi
media untuk mewujudkan kebersamaan hidup nondiskiminatif. Kedua, olahraga
memiliki nilai-nilai universal dalam tata pergaulan antarbangsa berkriteria global
berbasis daya saing, keunggulan, dan kejayaan. Ketiga, daya akomodasi olahraga
sangat strategis dalam menggeliatkan akselerasi sektor lain dalam proses
pembangunan. Titik singgung adagium olahraga dan politik akan menimbulkan
varian sikap kolektif.
Setidaknya ada dua genre hasil persinggungan. Pertama, politik melalui
olahraga, yakni menempatkan olahraga sebagai media atau instrumen untuk tujuan-
tujuan politik. Keseksian olahraga dijadikan sebagai kendaraan indah berkapasitas
besar untuk tujuan politis berspektrum luas.
Politik memang ilmu dan seni meraih kekuasaan. Olahraga bisa ditempatkan
sebagai sentral magnetik oleh para “ilmuwan dan seniman” politik. Inilah yang
disebut dengan fenomena politisasi dalam olahraga.  Kedua, politik untuk olahraga,
yakni usaha menggalang kekuatan warga negara untuk membesarkan nilai kebaikan
olahraga untuk khalayak.
Skenario politik digunakan untuk menarik dan mendorong  olahraga menjadi
leading sector kejayaan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Sport as means to
promote education, health, development, and peace (United Nations Resolution
58/5 paragraph 7th, 2003). Terdapat banyak pelajaran penting tatkala aspek logika
olahraga dan logika politik disandingkan dalam membaca gambaran besar
pertumbuhan kehidupan bangsa. Semoga bangunan politis dan bangunan olahraga
menjadi sehat, bugar, kuat, dan lebih sportif, bukan sebaliknya.

c. Kontribusi Olahraga Dalam Pembangunan Ekonomi


Muhammad Ramli Buhari 14
Olahraga telah menjadi bagian hidup masyarakat dunia dan menjadi budaya,
serta profesi. Olahraga telah berubah dari kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan
primer. Populasi pelaku olahraga telah merambah kepada semua tingkatan usia.
Olahraga telah masuk ke ekonomi dan pariwisata.
Kondisi demikian tidak terlepas dari dampak perbaikan pendidikan dan
perbaikan ekonomi masyarakat. Peningkatan dan perluasan pendidikan, telah
membuka cakrawala berpikir masyarakat akan manfaat dan pentingnya olahraga
bagi individu dan masyarakat. Perbaikan ekonomi masyarakat, mengakibatkan daya
beli/daya bayar masyarakat terhadap pilihan dan kebutuhan perlatan olahraga
semakin meningkat. Peran media massa, terutama media elektronik, telah berperan
dalam memberikan akselerasi terhadap perkembangan tersebut. Media massa telah
menyebarluaskan dan memobilisasi berbagai informasi tentang olahraga.
Perkembangan olahraga sebagaimana yang dikemukakan di atas, telah
menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma terhadap pembangunan dan
pengembangan olahraga. Olahraga tidak lagi hanya merupakan aktifitas untuk
pemeliharaan kesehatan bahkan bagi negara maju olahraga menjadi salah satu
kekuatan ekonomi mereka. Amerika Serikat, Cina, Inggris, Perancis, Jerman, Korea
Selatan, merupakan beberapa negara yang telah mengubah paradigma pembangunan
dan pengembangan olahraga menuju suatu kekuatan ekonomi.
Olahraga profesional terus semakin berkembang merambah ke berbagai
cabang olahraga. potensi industrialisasi dan komersialisasi dalam dunia olahraga
melaju dengan pesat. Penyebabnya dapat ditinjau dari beberapa aspek:
1. Semakin Terbatasnya Sumber Daya Alam (SDA)
Akibat explorasi SDA selama ini, terutama negara-negara besar dan maju seperti
USA, Jerman, Prancis, Inggris, mengakibatkan mereka memiliki SDA yang
semakin terbatas. Oleh karenanya mereka harus mencari alternatif lain yang
dapat dijadikan suatu kekuatan perekonomian. Olahraga merupakan suatu aspek
yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi suatu tonggak kekuatan
perekonomian suatu negara, terutama bagi negara yang telah memiliki IPTEK
yang kuat.
2. Peluang Bisnis Yang Sangat Menjanjikan

Muhammad Ramli Buhari 15


Industrialisasi olahraga dilatarbelakangi oleh peluang bisnis yang sangat
menjanjikan, karena olahraga telah menjadi budaya dan kebutuhan penduduk
dunia. Ini berarti pelaku olahraga akan semakin meningkat dan kondisi yang
demikian berdampak terhadap peningkatan kebutuhan terhadap peralatan-
peralatan olahraga. Peningkatan tersebut akan terus berlanjut, bahkan mungkin
tanpa batas.
3. Meningkatnya Populasi Penduduk Dunia
Populasi penduduk dunia semakin bertambah secara signifikan. Hal ini
disebabkan antara lain: karena semakin menurunnya angka kematian bayi atau
balita, semakin meningkatnya usia harapan hidup akibat perbaikan pelayanan
kesehatan yang berakibat semakin bertambahnya populasi penduduk dunia. Ini
berarti pelaku olahraga akan semakin bertambah secara siginifikan. Semakin
bertambahnya pelaku olahraga, berarti semakin meningkatnya kebutuhan
fasilitas dan peralatan olahraga. Kondisi yang demikian, merupakan jaminan
yang pasti, bahwa pangsa pasar terahadap produk-produk industri olahraga akan
terus meningkat.
4. Perbaikan Ekonomi Masyarakat
Ekonomi masyarakat akan semakin membaik. Hal ini akan berdampak pada
peningkatan daya beli dan daya bayar masyarakat memenuhi kebutuhan mereka
dalam berolahraga. Perkembangan yang demikian menyebabkan pula semakin
meningkatnya kebutuhan terhadap produk-produk industri olahraga.
5. Industrialisasi Olahraga dan Peluang Kerja
Salah satu persoalan besar dihampir seluruh negara di dunia adalah masalah
pengangguran. Angka pengangguran terus meningkat. Modernisasi dan
profesionalisasi, merupakan salah satu faktor penyumbang meningkatnya angka
pengangguran. Kalau kita melihat di Singapore, Hongkong, Jepang, Korea, USA,
Inggris dan beberapa kota besar lainnya di dunia, pelabuhan lautnya memiliki
kesibukan yang luar biasa selama 24 jam dengan kapasitas kerja yang sangat
besar. Tetapi tidak banyak melibatkan tenaga manusia. Modernisasi seperti:
komputerisasi dan penggantian tenaga manusia dengan mesin, telah
mengakibatkan efisiensi, efektifitas dan peningkatan produktifitas secara
signifikan.

Muhammad Ramli Buhari 16


6. Perkembangan Pariwisata
Banyak negara di dunia memajukan sektor pariwisata sebagai salah satu
kekuatan ekonomi negara mereka, terutama negara yang memiliki berbagai objek
wisata. Selain mereka memiliki objek wisata yang cukup banyak dan beragam,
mereka juga memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas. Wisata juga telah
menjadi komoditi masyarakat dunia. Kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi serta transfortasi dalam hal ini, merupakan ujung tombak semakin
meluas dan majunya industri pariwisata.

d. Fenomena Sosial dan Kultural Dalam Olahraga


Dalam dunia olahraga, perlu dikembangkan budaya sinergis berbagai unsur
yang berkarakter, antara lain sinergis dari lembaga pendidikan (perguruan tinggi),
lembaga pemerintahan, stake-holder, dan unsur lainnya. Pencapaian prestasi
merupakan salah satu perwujudan dari pilar olahraga prestasi. Tiga pilar atau
tripilar yang telah disebutkan diatas sebagai penyangga pencapaian prestasi,
kebugaran dan pendidikan anak bangsa yang berkarakter terdiri dari
pengembangan olahraga prestasi, olahraga rekreasi, dan olahraga pendidikan.
Filosofis Ilmu Padi merupakan salah satu perwujudan pembentukan karakter
olahraga dimana semakin tinggi prestasi yang diraih namun tetap menunduk dan
tidak sombong dan tetap santun.
Sebagai fenomena sosial dan kultural, olahraga tidak bisa melepaskan dari
ikatan moral kemodernan yang kompleks. Penerimaan eksistensinya secara
sosiologis dijamin oleh kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan pasar,
atau sebaliknya, pasar yang akan menjadikannya sebagai sasaran ekstensifikasinya.
Langkah stratgeis untuk pengembangan dan penanaman moral serta pembentukan
karakter melalui olahraga adalah dengan menjadikan aktivitas olahraga sebagai
“icon and character building”. Hal tersebut seiring dengan perkembangan dunia
yang semakin kompleks dan syarat akulturasi.
Plato menyebutkan bahwa pendidikan adalah alat pembentuk karakter bagi
seluruh warga negara. Sampai saat ini olahraga telah digunakan untuk
pembentukan karakter, namun impelementasi untuk hal tersebut masih sangat
perlu dioptimalkan pelaksanaannya. Apabila hal tersebut digarap dengan
professional maka karakter pelaku olahraga Indonesia akan muncul sampai ke
Muhammad Ramli Buhari 17
kehidupan sehari-harinya. Olahraga sebagai ikon sebuah negara dapat menjadi
mobil mewah untuk sosialisasi dan promosi serta meningkatkan prestise dan price
dari sebuah negara.

BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
Olahraga menyediakan lingkungan sosial, yang secara kultural
memungkinkan untuk memperoleh nilai-nilai dan perilaku positif. Hal ini
mengimplikasikan bahwa hal-hal positif yang dipelajari dalam olahraga dapat
ditransfer ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini olahraga menjadi agen
perkembangan sosial, yang memungkinkan pelaku-pelakunya menumbuhkan
sikap dan perilaku positif.

b. Rekomendasi
Pembentukan karakter merupakan proses yang panjang, holistik, yang
terutama dipengaruhi oleh variabel kontekstual sepanjang kehidupan seseorang.
Jika olahraga menjadi bagian dari kehidupan seseorang dan pengalaman dalam
olahraga akan mempengaruhi pembentukan karakternya, diharapkan yang muncul
adalah karakter positif.

Muhammad Ramli Buhari 18


DAFTAR PUSTAKA
Anifral Hendri. 2008. Ekskul Olahraga Upaya Membangun Karakter Siswa.
Jambi Pos, Sabtu 13 September 2008.
Avis E.Glaze. 2003. Character Education. A Vision Statement. Khawartha
Pine Ridge Distric School Board
Beller, 2002. Positive Character Development in School Sport Programs.
ERIC Digest. Diunduh tanggal 26 Oktober 2008. Dapat diakses di
www.ericdigest.org.
Bredemeier, 2006. Sports and Character Development. Research Digest, March
2006. Cole, Christy, 2004. Character Development as an Outcome.
Ohio Northern University
Dunn. 1999. Goal Orientations, Perceptions of Aggresion, & Sportspersonship in
Elite
Male Youth Ice Hockey Players. The Sport Psychologist, 13: 183-200.
George H. Sage. 1988. Sports Participation as a Builder of Character? The World
and I Magazine, Volume 3:629.
Irwan Prayitno. 2008. Refleksi Pembangunan Pemuda dan Olahraga Indonesia.
Joseph Doty, 2006. Sports Build Character?. Journal of College & Character,
volume VII, No.3: 7-10.
Koe Seema A. Doni. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo
Menpora. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional. Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga
Republik Indonesia.
Menpora. 2006. Industri Olahraga; Tantangan dan Peluang Industri Masa
Depan. Jakarta. Stefan Sikone. 2006. Pembentukan Karakter Dalam
sekolah. Pos Kupang, Kolom Opini. Jumat, 12 Mei 2006.

Muhammad Ramli Buhari 19

Anda mungkin juga menyukai