Anda di halaman 1dari 10

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Hak dan kewajiban memiliki kaitan erat yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya. Maka Pemerintahan Daerah Kabupaten Kuningan pun memiliki hak
dan kewajiban yang melekat terhadap keduanya berupa pelimpahan tugas dan
wewenang melalui otonomi daerah. Tugas dan wewenang ini ditemukan dalam
UUD 1945, UU Pemda, dan peraturan perundangan lainnya. Hal ini telah
membuktikan bahwa Indonesia memang negara hukum karena sifat legalitasnya
tersebut. Namun selain memenuhi sifat legalitas, untuk menjadi sebuah negara
hukum yang utuh seharusnya dipenuhi unsur lain dari sebuah ciri negara hukum
berupa penegakan HAM. Salah satu bentuk penegakan HAM tersebut adalah
dengan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat yang ada di
daerah dengan memperhatikan terpenuhinya hak tradisional berupa hak
komunal serta spiritual yang dimilikinya.

Berikut kesimpulan jawaban dari rumusan permasalahan yang terjadi pada


Masyarakat Adat Sunda Wiwitan:
5.1.1 Kewenangan dan tanggung jawab Pemerintahan Daerah Kabupaten
Kuningan dalam memberikan perlindungan hukum terahadap hutan adat
leuweung leutik Masyarakat Sunda Wiwitan dapat melalui perlindungan
yang diberikan secara preventif maupun represin dengan mendasar dari
teori Hukum HAM yang memaparkan mengenai primary dan secondary
rules pemerintahan dalam menjalankan kewajibannya. Namun
Pemerintahan Daerah Kabupaten Kuningan hanya menyatakan
perlindungan yang direncanakan untuk Masyarakat Adat Sunda
Wiwitan atas hak terhadap leuweung leutik hanya berupa melakukan
dengar pendapat, mediasi dan fungsi budgeting oleh DPRD.

5.1.2 Implementasi perlindungan hukum yang diberikan oleh Pemerintahan


Kabupaten Kuningan terhadap perubahan fungsi yang dialami oleh

106
leuweung leutik pun tidak terlihat secara nyata oleh karena ketidak
adaan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintahan daerah Kabupaten
Kuningan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.

5.1.3 Begitupun dengan implementasi perlindungan hukum yang semestinya


diberikan oleh pemerintahan daerah kabupaten Kuningan terhadap
permasalahan privatisasi yang menimpa leuweung leutik dikarenakan
oleh keserakahan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan
mempedulikan nasib dan keberlangsungan hidup dari Masyarakat Adat
Sunda Wiwitan Cigugur. Implementasi dari kewenangan dan tanggung
jawab Pemerintahan hanya berupa perencanaan tanpa ada tindakan
nyata yang semestinya, karena sejauh ini tindakan nyata yang baru
dilakukan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Kuningan baru sampai
pada melakukan dengan pendapat dengan beberapa perwakilan dari
Masyarakat Adat Sunda Wiwitan.

5.2 Saran
5.2.1 Untuk Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Cigugur
Suatu kesatuan masyarakat hukum adat itu tentu sangat penting
kedudukannya bagi kekhasan suatu daerah, kearifan lokal dari
masyarakat adat tersebut lah yang menjadi ciri yang dikenal dari suatu
wilayah tertentu. Maka hal ini pun juga berpengaruh dari usaha dan
kesetiaan masyarakat adatnya sendiri dalam melakukan pelestarian
terhadap adatnya sendiri dari dalam. Jikalau sebuah kesatuan
masyarakat adat lengah dalam hal menjaga dan mempertahankan salah
satu saja dari berbagai hak-hak tradisional yang dimilikinya, maka hal
itu akan menjadi buruk bagi keberlangsungan masyarakat tersebut.

Karenanya, terkhusus bagi Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Cigugur,


disarankan untuk berupaya menjaga dan mempertahankan haknya
secara seimbang, antara hak trdisional spiritualnya, maupun hak
tradisional komunalnya, termasuk hak kebendaan dalam komunal

107
tersebut, mengingat kini adanya Putusan MK mengenai
diperbolehkannya penulisan status penghayat kepercayaan dalam kolom
agama pada Kartu Tanda Penduduk, maka mendasar dari hal tersebut,
bisa menjadi kekuatan penyokong sementara masyarakat untuk
mendapatkan dan mempertahankan haknya secara seimbang.

Untuk membantu masyarakat adat, khususnya terhadap perkara


Leuweung Leutik, dalam pencarian data wawancara, ditemukan bahwa
Ketua DPRD Kabupaten Kuningan menganggap Leuweung Leutik
sebagai hutan adat Masyarakat Sunda Wiwitan yang hak komunalnya
termasuk dalam wilayah Cagar Budaya Sunda Wiwitan Cigugur. Meski
memang tidak ada penegasan secara tertulis dalam hal ini, namun jika
memang benar begitu, bahwa leuweung leutik termasuk wilayah cagar
budaya seperti yang disebutkan oleh Ketua DPRD tersebut, maka untuk
dapat perhatian penuh dari Pemerintahan Daerah Kabupaten Kuningan
sendiri, masyarakat dapat menuntut hak pada Pemerintahan Daerah
Kabupaten Kuningan dengan mendasar pula pada Pasal 96 UU Nomor
11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya, yang menyebutkan
kewenangan pemerintahan daerah yang relevan dengan perkara
Leuweung Leutik, diantaranya untuk: menetapkan etika pelestarian
cagar budaya, mengoordinasikan pelestarian cagar budaya,
menghimpun pelestarian cagar budaya secara lintas sektor dan wilayah,
menghimpun data cagar budaya, membuat peraturan pengelolaan cagar
budaya, melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum,
memindahkan dan/ atau menyimpan cagar budaya untuk kepentingan
pengamanan, menetapkan batas situs dan kawasan, menghentikan
proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat
menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya cagar budaya.

5.2.2 Untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten Kuningan


Persoalan-persoalan yang tengah terjadi dan melindas hak komunal
Masyarakat Adat Sunda Wiwitan menunjukan bahwa terdapat

108
ketidakhadiran hukum dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap masyarakat tersebut. Maka dengan adanya ketidakhadiran
hukum atas pengakuan dan perlindungan baik terhadap Masyarakat adat
Sunda Wiwitan maupun Leuweung Leutik, diharapkan bahwa
Pemerintahan Daerah Kabupaten Kuningan dapat melakukan studi
ilmiah dan pengamatan lagi terhadap tugas dan kewenangan khususnya
dalam wilayah otonominya. Dengan pengamatan kembali ini,
Pemerintahan Daerah Kabupaten Kuningan dapat mengkaji kearifan
lokal dan memperhatikan karakteristik daerah yang terdapat dan hidup
di Kabupaten Kuningan, sehingga pemerintahan daerah dapat lebih
menghargai kearifan lokal tersebut dan menggunakan wewenang yang
dimilikinya dengan bijak dengan tujuan untuk mengembangkan
kekhasan yang dimiliki oleh daerah tersebut.

Namun bukan hanya pengamatan atau studi ilmiah semata,


Pemerintahan Daerah Kabupaten Kuningan juga disarankan untuk
segera merealisasikan apa yang dijanjikan DPRD pada Masyarakat
Sunda Wiwitan, salah satunya yang teresensial adalah membuat
pengaturan berupa Perda tentang pengakuan dan perlindungan terhadap
Masyarakat Sunda Wiwitan yang ada di Cigugur beserta semua hak-hak
tradisional yang seharusnya didapatkann oleh masyarakat tersebut,
bukan hanya memberi pengakuan secara lisan (de facto). Masyarakat
Sunda Wiwitan butuh pengakuan yang kuat secara hukum (de jure), hal
ini tentu bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan dan kepastian
hukum bagi Masyarakat Adat Sunda Wiwitan.

Dalam hal penyelesaian perkara Leuweung Leutik pun disarankan


kepada DPRD untuk meminimalisir penggunaan fungsi budgeting yang
dipaparkan sebelumnya, karena fungsi budgeting tersebut bukan solusi
instan yang baik untuk ditempuh. Ini bukan hanya tentang harga diri dari
masyarakat adat tersebut, tetapi juga merupakan bentuk pertahanan dari
masyarakat tersebut dengan menolak fungsi budgeting ini. Saran untuk

109
tidak menawarkan atau melakukan fungsi budgeting ini juga merupakan
penegasan pada DPRD bahwa kalau sampai fungsi budgeting terjadi
atau dilakukan, maka akan menjadi gerbang persepsi bahwa hak
komunal dari masyarakat adat dapat diprivatisasi oleh siapa saja. Maka
disarankan bagi Pemerintahan Daerah untuk mengambil langkah tegas
dan jelas dalam mencegah intervensi terhadap privatisasi suatu aset adat

Selain itu, disarankan pada pemerintahan daerah khususnya lembaga


eksekutif, Bupati Kabupaten Kuningan dan jajarannnya untuk lebih
peduli terhadap kearifan lokal yang terdapat di Kuningan dan mengikuti
tugas dan kewenangan yang dimandatkan oleh UUD 1945. Jangan
sampai terjadi kesalahan seperti tindakan pemerintahan yang merugikan
masyarakat adat. Jangan hanya mengandalkan pemerintahan legislatif
dalam mengurusi hak-hak yang seharusnya didapat oleh masyarakat
adat, karena masyarakat adat adalah kekuatan sebuah ciri khas daerah,
maka jangan terlalu terfokus pada pembangunan sebuah wilayah daerah
tanpa mempedulikan masyarakat adat.

Disarankan juga untuk pemerintahan eksekutif dan legislatif Kabupaten


Kuningan untuk melakukan harmonisasi cara berpikir dalam
memandang Masyarakat Hukum adat Sunda Wiwitan Cigugur, agar
dapat memperbaiki keretakan antara pemeintahan daerah dengan
masyarakat adat tersebut. Harmonisasi ini juga dilakukan sehingga
Pemerintahan Daerah kabupaten Kuningan dapat menyediakan sarana
atau mekanisme yang berfungsi memberikan perlindungan hukum bagi
seluruh lapisan masyarakat, khususnya mekanisme sebagai jalan bagi
Masyarakat Adat Sunda Wiwitan untuk menuntut hak-hak
tradisionalnya apabila terdapat masalah terhadap hak-haknya tersebut.

5.2.3 Untuk (Hakim) Pengadilan di Seluruh Wilayah Negara Indonesia


Setiap wilayah daerah di Indonesia memiliki lembaga peradilan, yang
bertujuan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang terjadi dalam

110
rangka mewujudkan keadilan dan kepastian hukum itu sendiri. Maka
semestinya setiap pengadilan di Indonesia, cara berpikir hakimnya
disesuaikan dengan situasi masyarakat yang ada di wilayah tertentu,
dalam hal ini tidak terkecuali masyarakat hukum adat sebagai
masyarakat yang dimaksud.

Untuk menghindari hal yang sama terjadi pada masyarakat adat di


wilayah lainnya di seluruh Indonesia, yaitu dalam Pengadilan Negeri
Kuningan, seorang hakim pemimpin jalannya peradilan yang mengatasi
perkara mengenai Hak komunal Masyarakat Adat Sunda Wiwitan
Cigugur, menyatakan bahwa hakim tersebut tidak mengetahui
keberadaan masyarakat adat di wilayah Kabupaten Kuningan tersebut,
maka disarankan kepada khusunya seluruh hakim yang bertugas di
pengadilan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia untuk
sebelumnya mengenali terlebih dahulu kearifan lokal dan kebudayaan
yang terdapat di wilayah tersebut. Jangan sampai seorang hakim tidak
mengetahui tentang keberadaan dari suatu kesatuan masyarakat adat
yang hidup dan beradab di wilayah tersebut sehingga hakim tersebut
dalam menjalankan keputusan hanya berpaku pada hukum tertulis yang
ada. Para hakim harus mengingat bahwa selain hukum adopsi Belanda
yang menjadi hukum positif di Indonesia, hukum adat di setiap daerah
pun harus turut andil menjadi pertimbangan cara berpikir hakim dalam
mengambil suatu putusan atas perkara hukum yang terjadi.

111
DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU
Bratakusumah, dan Deddy Supriady. 2004. Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama

Ekadjati, Edi S.1995. Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah.


Jakarta: Pustaka Jaya.
Fuady, Munir. 2010. Dinamika Teori Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Haar, Ter. 1981. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Terjemahan dari
Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht oleh ahli Bahasa Soebakti
Poesponoto). Jakarta: Pradnya Paramita.

Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia.


Surabaya: Bina Ilmu.
Hairi, Wawan Muhwan. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka
Setia.

Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.

Muhammad, Bushar. 2000. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta :Pradnya


Paramitha.

Muhtaj, Majda E. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi,


Sosial, dan Budaya. Jakarta: Rajagrafindo.

Nurjaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam


Perspektif Antropologi Hukum. Jakarta : Prestasi Pustaka.

R, Ridwan. 2010. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:PT.Raja Grafindo


Persada.

Rato, Dominikus. 2016. Hukum Benda dan Kekayaan Adat.


Soemarjono, Maria. 2005. Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan
Implementasi. Jakarta: Kompas.

Sukanto, Soerjono, dan Sri Mamudji.2001. Penelitian Hukum normative.


Jakarta:Radja Grafindo Persada

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

140
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII Tahun 1998
tentang Hak Asasi Manusia Nomor IX Tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang


Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam;

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentan Kehutanan;

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup;

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya;

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

Perda Kabupaten Kuningan (Jawa Barat);

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012;

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

III. ARTIKEL ATAU MAJALAH


Soemardi.2007. Hukum dan Penegakan Hukum. ( artikel)

Stavenhagen, www.komnasham.go.id/artikel/hak/masyarakat adat.

Thontowi, Jawahir, dkk. 2012. AKTUALISASI MASYARAKAT


HUKUM ADAT (MHA): Perspektif Hukum dan Keadilan Terkait”,
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesi
Dengan Status MHA dan Hak-hak Konstitusionalnya. Jakarta.

IV. JURNAL / E-JURNAL


Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum. Lihat juga Teguh
Prasetyo, “Rule of Law dalam Dimensi negara Hukum Indonesia”,
Jurnal Ilmu Hukum REFLEKSI HUKUM, (Salatiga: Oktober 2010)

141
Harini, Sri. 2005. Diktat Hukum Agraria. Salatiga: FH UKSW
Hart, H. L. A. 2009. Konsep Hukum The Concept Of Law. Bandung: Nusa
Media
Langi, Fitri Meilany.2013. Ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat
(TAP MPR) dalam Perundang – Undangan di Indonesia, “Lex
Administratum”. E-journal Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013.
Raharjo, Satjipto.1993.Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang
Sedang Berubah. Jurnal Masalah Hukum..
Rawls, John. 1971. A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University
Press.

V. INTERNET
Aufa, Noor. www.hukumonline.com/alatbuktisuratperdata. diakses pada
tanggal 6 februari 2017.

Bakti,IrfanSanjaya.http://irfansanjayabakti.blogspot.co.id/2014/01/masyar
akat-hukum-adat.html. 2014 , Diakses pada tanggal 23 januari 2018

Firmansyah,Nurul.2015.http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5600f
0bbb9b64/menyoal-subjek-hak-komunal-brolehnurulfirmansyah-.
diunduh pada tanggal 23 November 2017, pukul 16:38 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat, diakses pada tanggal 19 Januari


2018, pukul 12.27 WIB.

http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-
05,id.html, diakses pada tanggal 10 Februari 2017, 14.21 WIB.

Irfan Teguh. https://tirto.id/mengenal-sunda-wiwitan-dan-agama-sunda-


yang-lain-cvhD, diunduh pada tanggal 22 Desember 2017, pukul
01:29 WIB.

Rahadi, Fernan.2017. Pancasila Terbukti Ampuh Bentengi NKRI.


NewsRepublica.http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/huku
m/13/11/13/nasional/umum/17/09/26/owvxih291-pancasila-
terbukti-ampuh-bentengi-nkri diakses pada tanggal 26 September
2017 pukul 22:09 WIB.

Rahman, Arief.2013. SEJARAH PENGATURAN HUTAN ADAT DI


INDONESIA.https://www.researchgate.net/publication/301348730
_SEJARAH_PENGATURAN_HUTAN_ADAT_DI_INDONESIA
, diakses pada 20 Desember 2017.

Warman, Kurnia. Peta Perundang-Undangan tentang Pengakuan Hak


Masyarakat Hukum Adat. diakses dari http://procurement-
notices.undp.org/view_file.cfm?doc_id=39284 diakses pada
tanggal 15 September pukul 23:42 WIB.

142
VI. SUMBER LAINNYA
Imam Mudrika, Filsafat Sunda Wiwitan: Niskala Purbajati yang disajikan
dalam bentuk puisi Sunda Kuna, ditafsirkan oleh Asep Salahudin,
kolumnis dan salah satu penerima Anugerah Budaya Kota Bandung
2016.
Kamus Besar Bahasa Indonesia

Perpustakaan Nasional RI

143

Anda mungkin juga menyukai