Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Chronic Kidney Disease (CKD)


2.1.1 Definisi
CKD yang juga disebut chronic renal insufficiency, progressive kidney
disease, atau nefropati didefinisikan dengan adanya kerusakan ginjal atau
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) selama tiga bulan atau lebih. Secara
umum, CKD adalah penurunan progresif fungsi ginjal (penurunan sejumlah fungsi
nefron) yang terjadi lebih dari beberapa bulan sampai beberapa tahun. Penurunan
fungsi ginjal pada CKD seringkali ireversibel (Brenner& Lazarus, 1995).
Klasifikasi CKD menurut NKF-DOQI adalah sebagai berikut (Joy et al.,
2008) :
Stage Glomerular Filtration Rate (mL/menit/1,73 m2)
1 Lebih dari atau sama dengan 90
2 60-89
3 30-59
4 15-29
5 Kurang dari 15 (termasuk pasien dengan dialisis)

2.1.2 Patofisiologi
1. Perubahan filtrasi glomerulus
Filtrasi glomerulus bergantung pada penjumlahan gaya-gaya yang
mendorong filtrasi plasma menembus glomerulus dan gaya-gaya yang
mendorong reabsorpsi filtrat kembali ke dalam glomerulus. Gaya-gaya yang
mendorong filtrasi adalah tekanan kapiler dan tekanan osmotik koloid cairan
interstisium (Corwin, 2000).
Tekanan kapiler bergantung pada tekanan arteri rerata. Peningkatan tekanan
arteri rerata meningkatkan tekanan kapiler sehingga cenderung terjadi
peningkatan filtrasi glomerulus. Penurunan tekanan arteri rerata
menurunkan tekanan tekanan kapiler dan cenderung mengurangi filtrasi
glomerulus. Tekanan osmotik koloid cairan intertisium rendah karena hanya
sedikit protein plasma atau sel darah merah dapat menembus glomerulus.
Pada cedera glomerulus atau kapiler peritubulus, tekanan osmotik koloid
cairan intertisium dapat meningkat. Apabila meningkat, maka cairan akan
tertarik keluar glomerulus dan kapiler peritubulus sehingga terjadi
pembengkakan dan edema di ruang Bowman dan intertisium yang
mengelilingi tubulus. Pembengkakan tersebut dapat mengganggu filtrasi
glomerulus dan reabsorpsi tubulus lebih lanjut dengan meningkatkan
tekanan cairan interstisium (Corwin, 2000).
2. Obstruksi tubulus
Peningkatan tekanan cairan interstisium sering disebabkan oleh obstruksi
tubulus. Obstruksi menyebabkan penimbunan cairan di nefron yang
mengalir kembali ke kapsula dan ruang Bowman. Obstruksi tubulus yang
tidak diatasi dapat menyebabkan kolapsnya nefron dan kapiler sehingga
terjadi kerusakan ginjal yang ireversibel terutama di papila yang merupakan
tempat akhir pemekatan urin. Penyebab obstruksi antara lain adalah batu
ginjal dan pembentukkan jaringan parut akibat infeksi ginjal (Corwin,
2000).
3. Iskemia korteks ginjal
Iskemia terjadi karena kerusakan tubulus sel endotel dan adanya sumbatan
intrarenal sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Iskemia umumnya
merupakan kejadian awal yang dapat merusak tubulus atau glomerulus
sehingga dapat menurunkan aliran darah. Nekrosis tubular akut
mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya,
yang kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus.
Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya
obstruksi dan memperberat iskemia (Wilson, 1999).
2.1.3 Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala klinis CKD sering tersamar dan tidak spesifik
walaupun hasil pemeriksaan biokimiawi serum selalu menunjukkan
ketidaknormalan. Gambaran klinis dapat meliputi :
1. Perubahan volume urin (oliguria, poliuria)
2. Kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental)
3. Gangguan pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor)
4. Tanda pada kardiopulmoner (sesak, pericarditis) dan gejala pada saluran
cerna (mual, nafsu makan menurun, muntah) (Kenward and Tan, 2003).
Oliguria (penurunan pengeluaran urin), terutama apabila kegagalan
disebabkan oleh iskemia atau obstruksi. Oliguria dapat terjadi karena penurunan
laju filtrasi glomerulus. Azotemia (peningkatan senyawa-senyawa bernitrogen
dalam darah), hiperkalemia (peningkatan kalium dalam darah) dan asidosis.
Perubahan elektrolit dan pH yang dapat menyebabkan ensefalopati uremik
(Corwin, 2000).
2.1.4 Faktor Resiko
Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD antara lain
(Wilson, 1999):
1. Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di
keluarga
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah
3. Anak-anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksia perinatal atau
serangan akut lainnya pada ginjal
4. Hipoplasia atau displasia ginjal
5. Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif
6. Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih
berulang dan parut di ginjal
7. Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut
8. Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik
9. Diabetes Melitus
10. Lupus Eritermatosus Sistemik
11. Riwayat menderita hipertensi
12. Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid
2.1.5 Diagnosis
Penghitungan GFR merupakan pemeriksaan terbaik dalam menentukan
fungsi ginjal. Dalam praktek klinis, GFR umumnya dihitung dengan
menggunakan klirens kreatinin atau konsenstrasi kreatinin serum. Namun
pengukuran klirens kreatinin seringkali sulit dilakukan dan seringkali tidak akurat
karena membutuhkan sampel urin 24 jam. Kreatinin serum dipengaruhi oleh
faktor lain selain GFR, terutama produksi kreatinin, yang berhubungan dengan
ukuran tubuh, khususnya massa otot. Pada banyak pasien GFR harus turun sampai
setengah dari nilai normal, sebelum kreatinin serum meningkat di atas nilai
normal sehingga sangat sulit untuk menilai tingkat fungsi ginjal dengan tepat atau
untuk mendeteksi CKD pada stadium awal (Wilson, 1999).
2.1.6 Penatalaksanaan Terapi
Obat-obat yang biasanya digunakan pada pasien chronic kidney disease
antara lain (Dipiro, 2008):
1. Antihiperlipidemia
Pasien CKD dengan dislipidemia umumnya menggunakan 3 –hydroxy – 3-
methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reductase inhibitors dan
gemfibrozil sebagai lipid lowering agent. Tujuan utama dari obat ini adalah
untuk menurunkan lemak sehingga menurunkan progresivitas
atherosklerosis dan tujuan yang lain adalah untuk mengurangi proteinuria
dan mengurangi penurunan fungsi ginjal. HMG-CoA reductase inhibitors
mempunyai beberapa keuntungan yaitu penurunan lemak, proliferasi sel
mesangial, inflamasi tubulointerstitial dan fibrosis.
2. Antihipertensi
Pengendalian tekanan darah pasien chronic kidney disease dengan
hipertensi cukup sulit dimana antihipertensi yang digunakan biasanya terdiri
dari 2 macam atau lebih antihipertensi. Antihipertensi pada pasien chronic
kidney disease yang direkomendasikan oleh JNC 7 adalah ACEI dan ARBs.
3. Anemia
Terjadinya anemia menunjukkan adanya progresivitas chronic kidney
disease. Terapi standar untuk anemia pada chronic kidney disease adalah
terapi eritropoitin dan suplemen besi. Tranfusi red blood cell (RBC) dan
terapi androgen merupakan third-line terapi untuk anemia pada chronic
kidney disease. L-karnitin dapat digunakan jika pasien chronic kidney
disease tidak merespon eritropoitin dan suplemen besi.
4. Hiperkalemia
Untuk hiperkalemia, terapi yang biasa digunakan adalah intravena (i.v)
kalsium glukonas, insulin dan glukosa, albuterol dan Na polistiren sulfonat.
Terapi hiperkalemia pada pasien end stage kidney disease (ESKD) adalah
hemodialisis. Diuretik kuat yang merupakan standar terapi hiperkalemia
tetapi tidak efektif pada chronic kidney disease stadium akhir.
5. Hiperparatiroid dan osteodistrofi ginjal
Pengaturan keseimbangan hormon paratiroid, fosfor, kalsium menjadi
sangat penting dalam mencegah terjadinya hiperparatiroid dan progresifitas
osteodistrofi ginjal. Terapi yang diberikan dapat berupa senyawa pengikat
fosfat, vitamin D dan kalsimimetik. Senyawa pengikat fosfat merupakan
senyawa yang terdiri dari kalsium, aluminium atau magnesium dan
sevelamer. Kalsitriol adalah bentuk vitamin D yang aktif dan tersedia dalam
bentuk oral dan i.v. Adapun analog vitamin D yaitu perikalsitol,
doxerkalsiferol dan alfakalsidol. Cinacalcet HCl merupakan senyawa
kalsimimetik yang digunakan untuk terapi hiperparatiroid pada pasien
ESKD dan hiperkalsemia pada pasien kanker paratiroid.
6. Asidosis metabolik
Pada pasien chronic kidney disease stadium ≥ 3, digunakan natrium
bikarbonat atau asam sitrat untuk mengatasi penurunan bikarbonat tubuh.
Sediaan dapat berupa tablet natrium bikarbonat, shohl’s solution dan bicitra
(kombinasi natrium sitrat dan asam sitrat) serta policitra (kalium sitrat).
Oleh karena sediaan mengandung natrium maka keseimbangan cairan harus
dimonitor. Larutan yang mengandung sitrat tidak boleh dikombinasi dengan
senyawa yang mengandung aluminium karena aluminium tersebut akan
diabsorpsi menyebabkan terjadinya keracunan aluminium. Pasien dengan
asidosis yang berat (bikarbonat serum < 8 mEq/L; pH < 7,2) dapat diberikan
terapi i.v. Asidosis metabolik pada pasien yang mengalami dialisis dapat
diatur menggunakan konsentrasi tinggi yaitu > 38 mEq/L bikarbonat atau
asetat pada dialisatnya.
2.1.7 Komplikasi
Pada pasien chronic kidney disease dapat terjadi berbagai macam
komplikasi yaitu:
1. Gangguan cairan, elektrolit dan asam-basa
Gangguan cairan, elektrolit dan asam-basa yang meliputi homeostasis
natrium dan volume, hiperkalemia, asidosis metabolik, hipokalsemia,
hiperurisemia dan hipermagnesia. Pada pasien chronic kidney disease yang
stabil, kandungan air dan ion Na+ total dalam tubuh sedikit meningkat
meskipun perluasan volume cairan ekstraseluler tidak terlihat jelas.
Hipernatremi relatif tidak sering ditemukan pada chronic kidney disease.
Hipokalsemia dan hiperfosfatemia akan merangsang peningkatan produksi
hormon paratiroid. Pada pasien chronic kidney disease, keseimbangan
kalium diatur dengan peningkatan sekresi tubulus distal agar konsentrasi
kalium serum normal hingga terjadi hiperkalemia pada pasien chronic
kidney disease stadium lima. Asidosis metabolik disebabkan oleh
menurunnya ekskresi asam oleh ginjal. Selain itu, dapat terjadi hipokalsemia
pada chronic kidney disease yang disebabkan karena penurunan sintesis
1,25-dihidroksivitamin D yang merupakan metabolit vitamin D yang aktif.
Kadar metabolit yang rendah ini menyebabkan absorpsi kalsium dalam usus
terganggu. Retensi asam urat adalah ciri umum gambaran chronic kidney
disease tetapi jarang menyebabkan pirai yang simtomatik. Pada chronic
kidney disease , kadar magnesium serum cenderung meningkat (Brenner
and Lazarus, 1995).
2. Kelainan kardiovaskular dan paru
Kelainan kardiovaskular dan paru, dimana hipertensi merupakan komplikasi
paling umum dari tahap akhir penyakit ginjal. Selain itu, dapat timbul
perikarditis yang disebabkan oleh adanya infeksi virus pada pasien yang
didialisis dengan baik.
3. Kelainan hematologik
Kelainan hematologik ditunjukkan dengan menurunnya eritropoiesis
(anemia) akibat efek toksin pada sumsum tulang yang tertahan maupun
akibat biosintesis eritropoitin yang berkurang dari ginjal atau karena adanya
inhibitor eritropoitin. Selain itu, fungsi leukosit pada pasien chronic kidney
disease terganggu disebabkan oleh asidosis yang terjadi bersamaan
hiperkalemia, malnutrisi kalori-protein, juga hiperosmolaritas jaringan dan
serum (disebabkan karena azotemia).
4. Kelainan neuromuskuler
Kelainan neuromuskuler meliputi cegukan, kejang, fasikulasi serta kedutan
otot. Selain itu, manifestasi sistem saraf pusat pada uremia meliputi
ketidakmampuan berkonsentrasi, mengantuk, insomnia. Jika pasien tidak
diobati maka neuropati perifer dapat menyebabkan restless legs syndrome.
5. Kelainan gastrointestinal
Kelainan gastrointestinal meliputi anoreksia, cegukan, mual dan muntah.
Kebanyakan gejala gastrointestinal kecuali gejala yang berhubungan dengan
penyakit ulkus peptikum akan membaik dengan dialisis.
6. Gangguan endokrin-metabolik
Gangguan endokrin-metabolik meliputi hiperparatiroid, rendahnya kadar
estrogen, amenore, impotensi, oligospermi, juga ketidaknormalan kadar
kortisol, aldosteron dan hormon pertumbuhan.
7. Kelainan dermatologi
Kelainan dermatologi seperti pucat (akibat anemia), ekimosis dan hematom
(akibat hemostasis yang kurang baik), pruritus dan ekskoriasi (akibat
endapan kalsium dan hiperparatiroidisme sekunder), turgor kulit yang jelek
dan membran mukosa yang kering (akibat dehidrasi) (Brenner and Lazarus,
1995).
2. 2 Systemic Lupus Erythrmatosus (SLE)
2.2.1 Definisi
Systemic Lupus Erythrmatosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Penyakit ini
menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa
reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1 (Isbagio et al, 2009).
2.2.2 Patofisiologi.
Patofisiologi dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,
faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik
memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat
pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur
sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang
mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan
sitokin.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan
HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC
(Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik.
Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti
C2, C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi
kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal
membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan
respon imun (Mok CC dan Lau CS, 2003).
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi
terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu
amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi
pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan
apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius
terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
Faktor lain yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormonestrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien SLE. Autoantibodi
pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-
DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit,
trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks
imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi
pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal (Manson et al, 2003).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan
akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit SLE
ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama
beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya
keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE.
1. Manifestasi Konstitusional.
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini
agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan
kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktivitas penyakit SLE, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan
ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional SLE sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya
bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak
disertai menggigil (Isbagio et al, 2009).
2. Manifestasi Muskuloskeletal.
Pada penderita SLE, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan
poliartritis, biasanya simetris dengan artralgia pada 90% kasus. Pada 50%
kasus dapat ditemukan kaku di pagi hari, tendonitis juga sering terjadi
dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat
ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan
biasanya berhubungan dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi
miositis timbul pada penderita SLE< 5% kasus. Miopati juga dapat
ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin.
Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit
dan penggunaan steroid.
3. Manifestasi Kulit.
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada SLE adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan
tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis,
ulkus jari, gangren.
4. Manifestasi Kardiovaskular.
Kelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia,
aritmia, kardiomegali sampai gagal jantung. Wanita dengan SLE memiliki
risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita
normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat
sampai 50%.
5. Manifestasi Paru-paru.
Kelainan paru-paru pada SLE seringkali bersifat subklinik sehingga foto
toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien SLE dengan batuk, sesak
nafas atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat
ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus,
tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial,
vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi
secara klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung
kongestif. Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan
sindrom antifosfolipid. Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi
pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom antifosfolipid
dan emboli paru.
6. Manifestasi Ginjal.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien SLE harus dilakukan dengan
menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens
kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas.
Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan
penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7. Manifestasi Hemopoetik.
Pada SLE terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan
dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan
limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai
kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada SLE ditemukan pada 20%
kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran trombositopenia
idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi SLE.
8. Manifestasi Susunan Saraf.
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik
dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak
kelainan serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe
sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik
juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali
tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan
gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.
9. Manifestasi Gastrointestinal.
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan
juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan
hepatitis autoimun (D’Cruz et al, 2010).
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997.
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan (Hochberg Mc, 1997).

Kriteria Diagnosis SLE


Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.
Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
Pleuritis 1. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
Perikarditis 2. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan 1. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
renal dilakukan pemeriksaan kuantitatif
atau
2. Silinder seluler: - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
Gangguan 1. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
neurologi gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit), atau
2. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan 1. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
hematologic 2. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
3. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
4. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan absorpsi antibodi treponema.
Gangguan 1. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
imunologik abnormal, atau
2. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
3. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
a. kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG
atau IgM,
b. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
c. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi
Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
antinuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada
positif setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat
(ANA) yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat.
2.2.4 Penatalaksanaan Terapi
Hasil pengobatan yang diinginkan untuk pasien dengan SLE adalah dua hal
yaitu (1) mengelola gejala dan menginduksi remisi selama terjadinya lonjakan
penyakit dan (2) pemeliharaan remisi selama mungkin diantara lonjakan penyakit.
Karena banyaknya variasi dalam presentasi klinis dari penyakit, pengobatan akan
berbeda-beda dan harus sangat individual.
1. Terapi Non-Farmakologi
Beberapa langkah nonfarmakologi dapat digunakan untuk mengelola gejala
dan membantu mengelola remisi. Kelelahan merupakan gejala umum pada
pasien dengan SLE. Keseimbangan dalam istirahat dan berolahraga, sambil
menghindari kelelahan. Menghindari merokok mungkin sangat penting
karena hidrazin dalam asap tembakau mungkin menjadi pemicu SLE. Tidak
ada diet khusus yang diketahui mempengaruhi perjalanan SLE. Namun,
turunan minyak ikan mungkin mencegah keguguran pada wanita hamil
dengan antibodi antifosfolipid, tetapi kecambah alfalfa (alfalfa sprouts)
harus dihindari karena mengandung asam amino L-canavanine yang diduga
mengubah respon sel T dan B dan dapat memperburuk SLE. Banyak pasien
dengan SLE akan perlu untuk membatasi paparan sinar matahari dan
menggunakan tabir surya untuk memblok efek buruk sinar ultraviolet.
Jumlah pembatasan paparan sinar matahari bersifat individual (Dipiro et al.,
2008).
2. Terapi Farmakologis
Terapi untuk penyangkit SLE ini dilakukan dengan meningkatkan
kekebalan tubuh dan menekan peradangan.
Obat anti inflamasi nonsteroid
Gejala seperti demam, arthritis, dan serositis adalah yang paling
umum terjadi pada pasien dengan penyakit SLE. Oleh karena itu,
pengobatan pasien dengan gejala awal bisa diobati dengan anti-inflamasi.
Dosis yang digunakan untuk terapi ini harus diatur sedemikian rupa agar
dapat memberikan efek anti-inflamasi. Akan tetapi obat anti inflamasi dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal apabila digunakan berlebihan hal ini
karena obat anti inflamasi dapat menurunkan aliran darah ginjal dan besar
filtrasi di glomerulus (Dipiro etal., 2008).
Obat antimalaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hydroxychloroquine telah
digunakan dengan sukses dalam pengelolaan lupus diskoid dan SLE. Secara
umum, manifestasi dari SLE yang dapat diobati dengan antimalaria adalah
artralgia,pleuritis, peradangan ringan, kelelahan dan leukopenia. Karena
obat ini tidak efektif dengan segera, maka paling baik digunakan dalam
jangka panjang. Response terhadap klorokuin adalah 1 sampai 3 bulan,
sedangkan efek maksimal hydroxychloroquine mungkin akan terjadi setelah
3 sampai 6 bulan. Dosis dan durasi terapi tergantung pada respon pasien.
Saat ini direkomendasikan dosis antimalaria pada SLE adalah
hydroxychloroquine 200-400 mg / hari dan klorokuin 250-500 mg / hari.
Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, gugup, insomnia, dermatitis,
pigmen perubahan pada kulit dan rambut, gangguan pencernaan , dan
toksisitas okular (Dipiro et al., 2008).
Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid telah dilakukan pada pasien dengan nefritis
lupus parah. Tujuan pengobatan kortikosteroid pada SLE adalah untuk
menekan penyakit dengan menggunakan dosis obat serendah mungkin. Pada
pasien dengan penyakit ringan, terapi dengan dosis rendah menggunakan
prednison 10-20 mg / hari. Untuk pasien dengan penyakit yang lebih berat
(anemia hemolitik yang parah atau keterlibatan jantung) memerlukan dosis
obat yang lebih tinggi yaitu 1-2 mg/kg prednison per hari (Dipiro et al.,
2008).
Obat sitotoksik
Siklofosfamid dan azatioprin biasanya digunakan sebagai
imunosupresan bila dikombinasikan dengan kortikosteroid. Meskipun
keduanya dikenal untuk menekan dan menstabilkan aktivitas penyakit
extrarenal, banyak evaluasi bahwa agen ini telah difokuskan untuk
mengobati nefritis lupus. Berdasarkan percobaan terkontrol, kombinasi
prednison dan siklofosfamid telah menjadi standar pengobatan untuk lupus
nefritis fokal dan difus proliferatif.
Siklofosfamid ditambah kortikosteroid akan mempertahankan fungsi
ginjal dan mengurangi risiko gagal ginjal. Ketika digunakan dengan
kortikosteroid dosis siklofosfamid adalah 1-3 mg/kg untuk terapi oral dan
0,5-1,0 g/m2 dari luas permukaan tubuh untuk terapi intravena. Rute yang
paling umum digunakan adalah siklofosfamis intravena, meskipun ada
sedikit bukti bahwa intravena lebih baik dari pemberian oral. Sedangkan
azathioprine diberikan secara oral dengan dosis 1 sampai 3 mg/kg per hari,
dan sering dikombinasikan dengan kortikosteroid untuk penyakit yang
parah. Laporan penggunaan obat sitotoksik lain untuk lupus dalam bebrapa
tahun terakhir adalah methotrexate, mofetil mycophenolate,
mechlorethamine, klorambusil dan siklosporin (Dipiro et al., 2008).

Anda mungkin juga menyukai