Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

A. Pengertian Penyalahgunaan Zat


Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah
terjadi masalah.

Penyalahgunaan NAPZA adalah suatu penyimpangan perilaku yang disebabkan oleh


penggunaan yang terus menerus sampai terjadi masalah.

Syndrome putus obat adalah suatu kondisi dimana individu yang menggunakan Napza
menurunkan atau menghentikan penggunaan Napza yang biasa digunakannya, akan
menimbulkan gejala kebutuhan biologic terhadap napza.

Jadi penyalah gunaan penggunaan zat NAPZA adalah suatu kondisi penyimpangan individu yang
menggunakan NAPZA secara terus menerus sampai mngakibatkan suatu masalah pada
pengguna.

B. Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat
menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan
perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus
menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin,
dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:


1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa perlu
adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung
dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh
digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh narkotika
alami yaitu seperti ganja dan daun koka.

1
2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis
untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya
yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.
Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:
a. Depresan= membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b. Stimulant= membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa badan
lebih segar.
c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan
serta pikiran.

3) Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan
lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat,
baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat
yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat
syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan
stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering
disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah
halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu.
Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan stimulan
yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan
psikologis bila digunakan dalam waktu lama.

3. Zat Adiktif Lainnya


Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun
campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak
langsung yang mempunyai
sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan- bahan berbahaya ini adalah
zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh
dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang
termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman
keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras
golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman
keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat

2
dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai
0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10%
(Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.

C. Beberapa Faktor Pendukung Terjadinya Gangguan Penggunaan NAPZA

1. Faktor biologis
 Genetik (tendensi keturunan)
 Metabolik : etil alkohol bila di metabolisme lebih lama lebih efisien untuk mengurangi
individu menjadi ketergantungan.
 Infeksi pada organ otak: intelegensi menjadi rendah (retardasi mental, misalnya
ensefhalitis, meningitis)
 Penyakit kronis : kanker, asma bronchial, penyakit menahun lainnya.

2. Faktor Psikologis
 Tipe kepribadian (dependen , asnsieta, depresi,antisocial)
 Harga diri yang rendah : depresi terutama karna kondisi sosial ekonomi , pada
penyalahgunaan alcohol,sedative hipnotik yang mencapai tingkat ketergantungan
diikuti rasa bersalah.
 Disfungsi keluarga : kondisi keluarga yang tidak stabil , role model ( keteladanaan)
yang negative,tidsak terbina saling percaya antara anggota keluarga, keluarga tidak
mampu memberikan pendidikan yang sehat pada anggota, orang tua dengan
gangguan penggunaan zat adiktif, perceraian.
 Individu yang mempunyai perasaan tidak aman
 Cara pemecahan masalah individu yang menyimpang
 Individu yang mengalami krisis identitas dan kecenderungan untuk mempraktikkan
homoseksual, krisis identitas.
 Rasa bermusuhan dengan keluarga atau dengan orang tua.

3. Faktor sosial Cultural


 Masyarakat yang ambivalensi tentang penggunaan zat seperti tembakau, nikotin,
ganja, dan alkohol.
 Norma kebudayaan pada suku bangsa tertentu, menggunakan halusinogen atau
alkohol untuk upacara adat dan keagamaan.
 Lingkungan tempat tinggal, sekolah, teman sebaya banyak mengedarkan dan
menggunakan zat adiktif.
 Persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap penggunaan zat adiktif

3
 Remaja yang lari dari rumah
 Penyimpangan seksual pada usia dini
 Perilaku tindak kriminal pada usia dini, misalnya mencuri, merampok dalam komunitas.

Kehidupan beragama yang kurang

D. Stessor Pencetus Gangguan Penggunaan Zat Adiktif


Stressor dalam kehidupan merupakan kondisi pencetus terjadinya gangguan
penggunaan zat adiktif bagi seseorang atau remaja, menggunakan zat merupakan cara untuk
mengatasi stress yang di alami dalam kehidupannya.

Beberapa stressor pencetus adalah:


1. Pernyataan dan tuntutan untuk mandiri dan membutuhkan teman sebaya sebagai pengakuan.
2. Reaksi sebagai cara untuk mencari kesenangan, individu berupaya untuk menghindari rasa
sakit dan mencari kesenangan, rilek agarlebih menikmati hubungan interpersonal.
3. Kehilangan orang atau sesuatu yang berarti seperti pacar, orang tua, saudara,drop out dari
sekolah atau pekerjaan.
4. Diasingka oleh lingkungan, rumah, sekolah, kelompok teman sebya, sehingga tidak
mempunyai teman.
5. Kompleksitas danketegangan dari kehidupan modern.
6. Tersedianya zat adiktif dilingkungan dimana seseorang berada kususnya pada individu yang
mengalami pengalaman kecanduan zat adiktif.
7. Pengaruh dan tekanan teman sebaya (diajak,dibujuk, diancam).
8. Kemudahan mendapatkan zat adiktif dan harganya terjangkau.
9. Pengaruh film dn iklan tentang zat adiktif seperti alcohol dan nikotin.
10. Pesan dari masyarakat bahwa penggunaan zat adiktif dapat menyelesaikan masalah.

E. Dampak Penyalahgunaan NAPZA


Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang
sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta
masyarakat, bangsa, dan negara.
Bagi diri sendiri. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi
otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat
menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan,
gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah
ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para
pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba

4
yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin, 2) Downer
yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba itu
jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti
rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat
racunnya dibandingkan dengan kegunaan media.
Bagi keluarga. Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana
nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena
memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres
keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian
narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di
rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.
Bagi pendidikan atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat
tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan
perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang
sekolah dan meningkatkan perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan
terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap
perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan
narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya
negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta
sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

F. Penanggulangan Masalah NAPZA


Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai
pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA
b) Deteksi dini perubahan perilaku
c) Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan Tidak pada narkoba”

2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah
upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a) Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang
mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat

5
tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti
sendiri.
b) Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein,
ufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol
dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah
dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama
pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau
sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.

3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita
sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.
Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan (Depkes, 2001).

Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi


(detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program
pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat
melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).

Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung
ada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang
tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan
selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama
2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi,
dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan
parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak
terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruangdetoksifikasi.

Jenis Program Rehabilitasi


a. Rehabilitasi psikososial

6
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat
(reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan
keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat
rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi
dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.

b. Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku
maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial
dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun
personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi
detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan
NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan
depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan
ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih
dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat
adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi
kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara
kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi)
memang tidak cukup; oleh karena itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan
(program rehabilitasi). Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat
bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah
psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama
keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa
konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek
kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.

c. Rehabilitas Komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat.
Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah
mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di
sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam
kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi
atau nagih (craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam
proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak
membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,

7
penghargaan bagi yang berperilaku positif an hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur
oleh mereka sendiri.

d. Rehabilitasi keagamaan.
Masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan
klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing.
Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat
menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan
risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan
rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah
risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko
kekambuhan mencapai 71,6%.

G. Manifestasi Klinis
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma putus
zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan.
Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.

Alkohol Ganja Opioida Ectasy Halusinogen


Bicara cadel, Konjungtiva Pupil menyempit, perilaku diulang, panic, pusing,gangguan
gerakan tidak merah, nafsu bicara cadel, paranoid (selalu curiga), persepsi,dipersonalisasi,
terkoordinir, makan euporia, apatis, denyut jantung cepat, derealisasi, halusinasi,
nistagmus, bertambah, gerakan lambat, pupil melebar, tekanan ilusi, sinestesi, depresi,
kesadaran mulut kering, mengantuk, darah naik, banyak kecemasan, takut gila,
menurun, denyut jantung gangguan keringat, mulut kering, mengantuk, merasa
apatis, cepat, gerakan mengingat, menggigil, mual menjadi pusat perhatian,
somnolens, tidak gangguan muntah, agresi bingung, muntah mual, ataksia,
Intoksikas sopor, koma, terkoordinir, perhatian, tegang, euporia, cemas, daya nilai terganggu.
i vertigo, euporia, miosis,konstipasi, marah-marah, BB
dilatasi pupil, cemas, tingkat menurun, kejang,
jalan waham, daya kesadaran diskinesia,distonia,taha
sempoyongan. nilai terganggu, menurun, n tidak tidur.
relaksasi hipotensi,
mengantuk, orthostatic,
dipersonalisasi
, gangguan
proses kognitif,
hipotensi
orthostatik.
Gelisah, Kejang perut, Lelah, mimpi buruk,
Berkeringat, Rasa tak enak, insomnia, nafsu makan
Denyut mual muntah, bertambah, gerakan
jantung cepat, nyeri otot sendi lambat, agitatif murung,
tremor di dan tulang, tindakan bunuh diri,
tangan, mual, lakrimasi, iritabilitas, depresi berat,

8
muntah, rhinorhoes, pupil cemas.
Putus Zat kejang otot, melebar,
cemas, berkeringat,
agresig, diarhoea,
halusinasi, menguap,
ilusi, tinnitus, demam,
delirium, insomnia,
insomnia, gelisah.
sakit kepala,
lemah.

H. Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA


Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan
sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA.

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Eksperimental Rekreasional Situasional Penyalahgunaan Ketergantungan

Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja.
Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari pengalaman
yang baru atau sering dikatakan

Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya
pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan
rekreasi bersama teman- temannya.

Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya
sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah
yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah,
stres, dan frustasi.

Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara
rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam
peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu
kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu
menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan

9
kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu
kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan
yang biasa diinginkannya.

I. Psikodinamik
Beberapa macam NAPZA secara alamiah ada di dalam tubuh individu. Zat ini berguna
bagi tubuh untuk kehidupan hidup sehari-hari, seperti melakukan aktivitas fisik, meditasi, kadar
Napza ini selalu dalam keadaan seimbang di dalam tubuh individu. Apabila individu
mengkonsumsi Napza seperti: Tembakau, alcohol, obat0obatan yang legal, obat terlarang
dengan penggunaan jarang, maka akan terjadi peningkatan kadar Napza tersebut di dalam
tubuh. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan kimia tubuhsehingga
menyebabkan terjadinya perubahan perilaku yang lazim disebut: klien dalam keadaan
“intoksikasi”. Kondisi yang lebih lanjut bila individu menggunakan Napza sering kali, tidak mampu
dikontrol lagi, mengakibatkan ketergantungan fisik: sindroma putus zat dan toleransi.

J. Asuhan Keperawatan pada Klien NAPZA
1. PENGKAJIAN
a). Fisik
Data fisik yang mungkin ditemukan pada klien dengan penggunaan NAPZA pada
saat pengkajian adalah sebagai berikut: Nyeri, gangguan pola tidur, menurunnya selera
makan, konstipasi, diare, perilaku seks melanggar normal, kemunduran dalam
kebersihan diri, potensi komplikasi, jantung, hati, dan sebagainya, infeksius paru-paru.
Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk teratur dalam
pola hidupnya.

b) Emosional
Perasaan gelisah (takut kalau diketahui), tidak percaya diri, curiga dan tidak
berdaya. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk mengontrol dan
mengendalikan dirinya sendiri.

c). Sosial
Lingkungan sosial yang biasa akrab dengan klien biasanya adalah teman
pengguna zat, anggota keluarga lain pengguna zat lingkungan sekolah atau kampus
yang digunakan oleh para pengedar.

10
d). Intelektual
Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adiktif, perasaan ragu untuk berhenti,
aktivitas sekolah atau kuliah menurun sampai berhenti, pekerjaan terhenti. Sasaran
yang ingin dicapai adalah klien mampu untuk berkonsentrasi dan meningkatkan daya
fikir ke hal-hal yang positif.

e). Spiritual
Kegiatan keagamaan tidak ada, nilai-nilai kebaikan ditinggalkan Karena
perubahan perilaku (tidak jujur, mencuri, mengancam dan lain-lain). Sasaran yang ingin
dicapai adalah mampu meningkatkan ibadah, pelaksanaan nilai-nilai kebaikan.

f). Keluarga
Ketakutan akan perilaku klien, malu pada masyarakat, penghamburan dan
pengurasan ecara ekonomi oleh klien, komunikasi dan pola asuhan tidak efektif,
didukung moril terhadap klien tidak terpenuhi. Sasaran yang henak dicapai adalah
keluarga mampu merawat klien yang pada akhirnya mencapai tujuan utama yaitu
mengantisipasi terjadinya kekambuhan.

2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Menurut NANDA (The American Nursing Diagnosis Assosiation) , diagnosis keperawatan
adalah sebagai berikut :
1) Koping individu tidak efektif sehubungan dengan tidak mampu mengatasi
keinginan menggunakan zat.
2) Intoleransi aktivitas sehubungan dengan kurangnya motivasi untuk sembuh.
3) Gangguan pemusatan perhatian sehubungan dengan dampak penggunan zat
adiktif.

3. Prinsip Penatalaksanaan Keperawatan


a). Prinsip Biopsikososiospiritual (Stuart Sundeen)
Biologis

11
Tindakan biologis dikenal dengan detoksifikasi yang bertujuan untuk:
1). Memberikan asuhan yang aman dalam “withdrawl” (proses penghentian) bagi
kilen pengguna NAPZA.
2). Memberikan asuhan yang humanistic dan memelihara martabat klien.
3). Memberikan terapi yang sesuai.
Setelah detoksifikasi tercapai, mempertahankan kondisi bebas dari zat adiktif,
dimana terapi farmakologis harus ditunjang oleh terapi yang lain.

Psikologis:
Bersama klien mengevaluasi pengalaman yang lalu dan mengidentifikasi aspek
positifnya untuk dipakai mengatasi kegagalan.

Sosial:
 Konseling keluarga:
Keluarga sering frustasi menghadapi klien dan tidak mengerti sifat dan proses
adiksi sehingga seringkali melakukan hal yang tidak terapetik terhadap klien.
Keluarga sering melindungi klien dari dampak adiksi, meminta anggota keluarga
lain untuk memaafkan klien. Menyalahkan diri sendiri, menghindari konfrontasi
yang semuanya menyebabkan klien meneruskan pemakaian zat adiktif. Masalah
yang dihadapi klien menimbulkan dampak bagi keluarga seperti rasa tidak aman,
malu, rasa bersalah, masalah keuangan, takut, dan merasa diisolasi. Oleh karena
itu perawat perlu mendorong keluarga untuk mengikuti pendidikan kesehatan
tentang proses penggunaan dan ketergantungan, gejala putus zat, gejala relapse,
tindakan keperawatan, lingkungan terapetik, dan semua hal yang terkait dengan
pencegahan relapse di rumah.
 Terapi kelompok
Terdiri dari 7-10 orang yang difasilitasi oleh therapist, kegiatan yang dilakukan
adalah tiap anggota bebas mencyampaikan riwayat sampai terjadinya adiksi,
upaya yang dilakukan untuk berhenti memakai zat, kesulitan yang dihadapi dalam
melakukan program perawatan, therapist dan anggota kelompok memberikan
umpan balik dengan jujur dan dapat menambah pengalaman masing-masing.

12
 Self Help group
Self Help group adalah kelompok yang anggotanya terdiri dari klien yang
berkeinginan bebas dari zat adiktif,dukungan antar anggota akan memberi
kekuatan dan motivasi untuk bebas dari zat adiktif.

b). Prinsip community Theurapetik (Ana Keliat)


Pada tempat ini klien dilatih untuk merubah perilaku kearah yang positif,
sehingga mampu menyesuaikan dengan kehidupan di masyarakat. Hal ini dapat
dilakukan bila klien diberi kesempatan mengungkapkan masalah pribadi dan
lingkungan. Community teurapetik (Ana Keliat)
Pada tempat ini klien dilatih untuk merubah perilaku kea rah yang positif,
dilakukanbila klien diberi kesempatan mengungkapkan masalah pribadi dan
lingkungan. Community terapetik melakukan intervensi untuk mengatasinya.
Beberapa metoda yang dilakukan:
 Slogan yang berisi norma atau nilai kea rah positif.
 Pertemuan pagi (morning Meeting) yang diikuti oleh seluruh staf dank lien
untuk membahas masalah individu, interaksi antar klien dan kelompok.
 “Talking to”: Metoda yang digunakan untuk saling memperingatkan dengan
cara yang ramah sampai yang keras.
 Learning experience yaitu pemberian tugas yang bersifat membangun untuk
merubah perilaku negative
 Pertemuan kelompok
 Pertemuan umum ( general meeting )

4. PERENCANAAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam memberikan tindakan keperawatan pada pasien
dengan gangguan penggunaan zat adiktif adalah :
 Agar tidak terjadi ancaman terhadap kehidupan
 Tidak memburuknya keadaan kesadaran pasien
 Aman dari kecelakaan terutama pada kondisi intosikasi atau setelah masa
detoksifikasi
 Termotivasi untuk mengikuti program terapy jangka panjang.

13
 Mengenal hal-hal positif pada dirinya
 Menggunakan koping yang sehat dalam mengatasi masalah
 Keluarga bekerja sam dalam program terapi pasien
 Mempunyai pengetahuan untuk merawat pasien setelah di rumah

5. PELAKSANAAN
Usaha pencegahan supaya tidak terjadinya gangguan penggunaan zat dan tindakan
keperawatan pada kondisi intoksikasi, sindroma putus zat dan setelah detoksifikasi.

DIAGNOSA I:

Koping individu tidak efektif sehubungan dengan tidak mampu mengatasi keinginan
menggunakan zat.
Tujuan: Klien mampu untuk mengatasi keinginan menggunakan zat adiktif.
Tindakan Keperawatan :
 Identifikasi situasi yang menyebabkan timbulnya sugesti.
 Identifikasi perilaku ketika sugesti datang
 Diskusikan cara mengalihkan pikiran dari sugesti ingin menggunakan zat dengan
menciptakansugesti yang lebih positif.
 Latihan menggunakan kata-kata “ingin hidup sehat”, “masa depan penting”, “masih
ada harapan”.
 Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya.

DIAGNOSA II
Intoleransi aktivitas sehubungan dengan kurangnya motivasi untuk sembuh.
Tujuan: Klien mampu meningkatkan aktivitas terutama mengisi waktu luang.
Tindakan Keperawatan:
 Identifikasi potensi/ hobi/ aktivitas yang menyenangkan.
 Diskusikan manfaat aktifitas
 Bantu merencanakan aktivitas (susun jadwal)
 Motivasi untuk melakukan aktivitas secara teratur.
 Motivasi untuk mengatasi bosan dengan selingan istirahat saat beraktivitas.
 Kompensasikan dengan membaca

14
DIAGNOSA III
Gangguan pemusatan perhatian sehubungan dengan dampak penggunan zat adiktif

Tujuan: Klien mampu memusatkan perhatiannya

Tindakan keperawatan:

 Mengkaji dan mengevaluasi dengan melakukan psikotes tingkat intelegensi pasien.


 Mengkaji sosial ekonomi dan tingkat pendidikan pasien.
 Memberikan kegiatan secara bertahap sesuai kebutuhan pasien.
 Memberikan reinforcement prestasi yang dicapai pasien.
 Mengikutsertakan dan membuat jadwal pada jam-jam tertentu.

6. EVALUASI
 Pasien dapat mencapai kebutuhan fisik dan harga diri secara alamiah
 Tingkah laku pasien dapat direfleksikan melalui tingkat pengertian tentang adanya
hubungan antara stress dengan kebutuhan untuk menggunakan zat.
 Sumber koping pasien adekuat
 Pasien mengenal kecemasan dan sadar akan kesadarannya
 Pasien menggunakan sumber koping yang adaptif
 Pasien mempunyai alternative untuk mengatasi stress atau cemas
 Pasien mampu secara periodic tetap tidak menggunakan zat adiktif
 Pasien berpartisifasi dalam program perawatan yang diberikan.

15
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KOPING INDIVIDU TIDAK EFEKTIF

Tg Diagnosa Perencanaan
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI RASIONAL
l
1 2 3 4 5 6
Koping Pasien Setelah…..melakuk SP 1 (tgl….)
individu mampu an pasien mampu  Identifikasi situasi  Mengetahui situasi yang
tidak mengatasi mengatasi yang menyebabkan menyebabkan timbulnya
efektif keinginan keinginan timbulnya sugesti sugesti
menggunakan menggunakan zat  Identifikasi perilaku  Mengetahui perilaku
zat adiktif adiktif ketika sugesti datang pasien ketika sugesti
datang

 Membantu pasien untuk


 Diskusikan cara
mengalihkan pikirannya
mengalihkan pikiran
dari sugestinya ke yang
dari sugesti yang lebih
lebih positif
positif

 Latihan menggunakan
 Membantu pasien untuk
kata-kata “ ingin hidup
membangkitkan semangat
sehat “ , “masa depan
pasien
penting”, “ masih ada
harapan “
 Bantu pasien untuk
 Mengetahui perasaan
mengekspresikan
pasien saat ini.
perasaannya.

16

Anda mungkin juga menyukai