Anda di halaman 1dari 76

Rangkuman ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis

Prodi Akuntansi

Kepada Dosen Hukum Bisnis:


M. FATHA PERMANA, S.E, S.H, S.Ak, M.Ak, M.H, C.A, CPA.

Merangkum Buku Hukum Bisnis Zaeni Asyhadie, S.H., M.Hum.


Disusun Oleh:
1. Nadhiva Jihan Putri Nugroho (2018320157)
2. Fikri Amrullah Achmad (2018320163)
3. Muhammad Shoffan Shidqi (2018320174)
4. Luthfi Azhari Indrasto (2018320152)
5. Asree Daoh (2018320215)
6. Salsabila Faraswati (2018320162)
7. Arfan Rahmatillah (2018320149)
8. Muhammad Al Fattah Gemilang Putra (2018320147)
9. Vicky Alvionita (2018327015)
10. Ranialda Hendri (2018320159)
11. Rosy Ayu Mawarni (2018320151)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
Daftar Isi

BAB I - Mengenal Hukum dan Hukum Bisnis........................................................3


BAB II - Badan Usaha dalam Kegiatan Bisnis dan Para Pembantunya..................6
BAB III - Legalitas Perusahaan (Badan Usaha) dalam Kegiatan Bisnis................14
BAB IV - Lembaga Pembiayaan Dalam Kegiatan Bisnis......................................19
BAB V - Bentuk-bentuk Kerja Sama dalam Kegiatan Bisnis................................25
BAB VI - Pengangkutan Laut dalam Kegiatan Bisnis...........................................32
BAB VII - Perlindungan Konsumen......................................................................39
BAB IX - Aspek Pajak Dalam Kegiatan Bisnis.......................................................50
BAB X - Alternative Dispute Resolution dalam Sengketa Bisnis.........................57
BAB XI - Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang..................72

2
BAB I - Mengenal Hukum dan Hukum Bisnis
Disusun Oleh : Fikri Amrullah Achmad (2018320163)

A. Hukum dan Masyarakat


Norma/kaidah sosial adalah suatu pedoman atau peraturan hidup yang
menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat agar
tidak merugikan orang lain.
i. Kaidah Agama/Kepercayaan
ii. Kaidah Kesusilaan
iii. Kaidah Sopan Santun
iv. Kaidah Hukum

1. Pengertian Hukum
“Hukum adalah keseluruhan norma, yang oleh penguasa negara atau penguasa
masyarakat yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap
sebaagi peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat
dengan tujuan untuk mengadakan suatu tatanan yang dikehendaki oleh penguasa
tersebut.” (HMN. Poerwosutjipto, 1998:1)
2. Sumber Hukum dan Klasifikasi Hukum
Sumber hukum adalah “segala apa saja yang dapat menimbulkan aturan-aturan
yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata” (CST. Kansil, 1984:46)
Sumber-sumber hukum sebagai berikut.
I. Undang-undang
II. Yurisprudensi
III. Kebiasaan
IV. Perjanjian
V. Perjanjian Internasional
VI. Doktrin/Pendapat para ahli

Hukum dapat diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya campur tangan


pemerintah , terdiri dari Hukum Privat dan Hukum Publik. Hukum Privat adalah
hukum yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang
lainnya dalam hubungan keluarga dan masyarakat tanpa adanya campur tangan
pemerintah. Sementara itu, Hukum Publik adalah hukum yang mengatur dan
menentukan kepentingan perorangan dan mengaturhubungan pemerintah dengan
warganya.

3
B. Sistematika Hukum Perdata
Sistematika Hukum Perdata terdiri atas sistematika menurut ilmu pengetahuan
(hukum) dan sistematika menurut KUH Perdata itu sendiri. Berikut akan diuraikan
secara singkat sistematika menurut KUH Perdata.
1) Hukum Perorangan
Di dalam hukum, perkataan perorangan atau orang berarti pembawa hak atau
subjek dalam hukum. Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari dia
dilahirkan sampai dia meninggal dunia, bahkan dalam hal tertentu (perihal warisan)
dapat dihitung berlaku surut sejak yang bersangkutan masih dalam kandungan.
2) Hukum Benda
Hukum Benda dalam KUH Perdata pada prinsipnya mengatur tentang :
a. Macam-macam Benda
Pembagian benda yang paling penting yaitu pembagian benda atas benda
bergerak dan benda tidak bergerak. Hal ini penting disebabkan karena masing-
masing benda tersebut mempunyai akibat-akibat penting pula dalam hukum
(khususnya hukum bisnis) , terutama yang berkaitan dengan cara penyerahannya.
b. Hak-hak Kebendaan
Hak kebendaan adalah sesuatu hak yang memberikan keuasaan langsung
atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Ada
beberapa macam hak kebendaan, yaitu Hak Milik , Hak kedudukan berkuasa,
dan hak kebendaan yang memberikan jaminan.

3) Hukum Perikatan
Suatu perikatan adalah : “Suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek
hukum; sehubungan dengan itu, seorang atau beberapa orang daripadanya
mengikatkan dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap pihak
lain.” (R. Setiawan, 1987: 2)
Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian tertentu, para pihak harus
melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian yang sah harus
memenuhi empat syarat yaitu (Pasal 1320 KUH Perdata):
I. Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri;
II. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
III. Suatu hal tertentu;
IV. Suatu sebab yang halal, artinya tidak terlarang.

4
a. Jenis-jenis Perjanjian
Secara teoretis ada dua jenis perjanjian, yaitu perjanjian nominatif dan
perjanjian innominatif. Perjanjian nominatif adalah jenis- jenis perjanjian yang
telah diatur oleh undang-undang (KUH Perdata), sedangkan perjanjian
innominatif adalah jenis perjanjian yang tidak diatur dalam dalam undang-undang
(KUH Perdata) tetapi lahir dengan sendirinya karena adanya asas kebebasan
berkontrak

b. Beberapa Asas Perjanjian


 Asas kepribadian
 Asas konsensual/kesepakatan
 Perjanjian batal demi hukum
 Keadaan memaksa (overmacht)
 Asas canseling

C. Istilah dan Pengertian Hukum Bisnis


Secara luas kegiatan bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan
oleh orang atau badan usaha secara teratur dan terus-menerus, yaitu berupa
kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk
diperjualbelikan, atau disewakan dengan tujuan untuk mendapat keuntungan.
Kegiatan usaha ini dapat dibedakan menjadi tiga bidang berikut.
1. Usaha dalam arti kegiatan perdagangan
2. Usaha dalam arti kegiatan industri
3. Usaha dalam arti kegiatan melaksanakan jasa-jasa
Kesimpulan yang didapat, Hukum bisnis adalah “Serangkaian peraturan yang
berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan urusan-urusan
perusahaan dalam menjalankan roda perekonomian.”

5
BAB II - Badan Usaha dalam Kegiatan Bisnis dan Para Pembantunya
Oleh : Vicky Alvionita Iskandar Putri (2018327015)

Dalam tatanan hukum bisnis di Indonesia, ada tiga jenis badan usaha yang
ikut serta dalam kegiatan bisnis. Tiga jenis badan usaha tersebut adalah Badan
Usaha Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Koperasi yang selanjutnya akan
diuraikan sebagai berikut.
A. Perusahaan (Badan Usaha)
Perusahaan merupakan suau istilah perekonomian yang dikenal dalam
KUHD dan peraturan lainnya di luar KUHD. Ada dua unsur pokok yang
terkandung dalam suatu perusahaan, yaitu:
1. Bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha, baik berupa
suatu persekutuan atau badan usaha yang didirikan, bekerja, dan
berkedudukan di Indonesia
2. Jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidan bisnis, yang dijalankan
secara terus-menerus untuk mencari keuntungan
Dengan demikian, suatu perusahaan harus mempunyai unsur-unsur antara
lain:
1. Terus-menerus atau tidak terputus-putus
2. Secara terang-terangan
3. Dalam kualitas tertentu
4. Mengadakan perjanjian perdagangan
5. Harus bermaksud memperoleh laba

1. Persekutuan Perdata
Menurut RT.Sutandya R.Hadikusuman dan Sumantoro (1991;13), yang
dimaksud denga persekutuan perdata adalah:
“suatu persekutuan yang dibentuk atas suatu perjanjian, dimana dua orang
atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesutau (inbreng) ke dalam
persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan.”
Berdasarkan pengertia di atas, persekutuan perdata pada intinya
mengandung unsur-unsur:
a. Adanya pemasukan sesuatu (inbreng) ke dalam perusahaan, yang dapat
berupa:
1) Uang
2) Barang atau benda atau apa saja yang layak bagi pemasukan (misal:
rumah/gedung, perlengkapan kantor, mobil, dan sebagainya)
3) Tenaga, baik fisik atau pikiran
b. Adanya pembagian keuntungan/kemanfaatan
1) Pembagian harus dilakukan menurut harga atau nilai dari pemasukan
masing-masing sekutu
2) Semua sekutu yang hanya memasukkan tenaganya saja, hanya akan
mendapatkan keuntungan yang sama rata, kecuali ditentukan lain
3) Bagi sekutu yang hanya memasukkan tenaganya saja, keuntungannya
dipersamakan dengan sekutu yang memasukkan uang atau barang
terkecil lainnya

6
2. Persekutuan Firma
Firma adalah suatu jenis persekutuan perdata yang khusus didirikan
untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama. Dalam Pasal 16
sampai dengan Pasal 35 KUHD dan mengandung unsur-unsur berikut ini.
a. Menjalankan usaha bersama
Menjalankan usaha bersama atau menjalankan perusahaan merupakan
unsur mutlak dari suatu firma. Misalnya ketentuan yang mewajibkan untuk
mengadakan pembukuan
b. Dengan nama bersama atau firma
Nama bersama ini mengandung makna bahwa nama dari persekutuan
perdata tersebut adalah nama atau nama-nama dari mereka yyang ikut
serta dalam firma atay yang disebut sekutu. Contoh : Menggunakan nama
seorang sekutu dengan tambahan yang menunjukan anggota dari
sekutunya, misalnya Fa. Haldun dan Brothers (disingkat Fa. Haldun &
Bros), artinya persekutuan ini beranggotakan Haldun dan keluarganya
c. Tanggung jawab sekutu secara pribadi atau keseluruhan
Maksudnya adalah harta kekayaan pribadi masing-masing pendiri juga
dapat dipergunakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban firma terhadap
pihak ketiga.

Tata cara pendirian suau Firma pada prinsipnya terdiri atas tiga prosedur:
a. Pendirian/pembentukan
Harus dilakukansecara autentik dengan mebuat suatu perjanjian secara
tertulis yang menunjukankesepakatan di antara para pendirinya untuk
mendirikan suatu badan usaha yang berbantuk firma
b. Pendaftaran
Hal-hal yang perlu didaftarkan adalah:
a) Akta pendirian
b) Ikhtisar dari akta pendirian tersebut
c. Pengumuman
Kewajiban mengumumkan ini disertai dengan sanksi apabila para pendiri
melalaikan kewajiban tersebut, firma yang didirikan akan dianggap sebaagai
persekutuan perdata biasa yang bersifat umum.

3. Persekutuan Komanditer
Persekutuan komanditer mempunyai dua macam sekutu, yaitu:
a. Sekutu komplementer, yaitu sekutu yang ikut aktif dalam mengurus
persekutuan
b. Sekutu komanditer, yaitu sekutu yang pasif, tidak ikut dalam mengurus
persekutuan

Dengan pembuatan suatu akta pendirian yang disahkan oleh notaris,


kemudian didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dan di
umumkan dalam Tambahan Berita Negara. Di dalam akta pendiriannya itu
harus dimuat anggaran dasar yang menentukan tentang:
a. Nama yang dipergunakan dan tempat kedudukannya
b. Maksud dan tujuan didirikannya persekutuan
c. Tanggal berdiri dan berakhirnya persekutuan
d. Modal persekutuan
e. Siapa sekutu koplementer dan sekutu komanditer

7
f. Hak dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing sekutu
g. Pembagian untuk dan rugi persekutuan

4. Perseroan Terbatas
Perseroan terbatas adalah suatu bentuk usaha yang berbadan hukum,
yang pada awalnya dikenal dengan nama Naamloze Vennootschap (NV).
Istilah “Terbatas” di dalam perseroan terbatas tertuju pada tanggung jawab
pemegang saham yang hanya terbatas pada nilai noinal dari semua saham
yang dimilikinya.
Dapat diuraikan bahwa perseroan terbatas harus memenuhi unsur
sebagai berikut:
a. Badan Hukum, artinya badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai
pendukung hak dan kewajiban, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri
yang terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurusnya
b. Didirikan Berdasarkan Perjanjian, artinya harus dilakukan oleh minimal
dua orang atau lebih sebagai pemegang saham, yang sepakat mendirikan
suatu perseroan terbatas yang dibuktikan secara tertulis, tersusun dalam
bentuk anggaran dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian yang
dibuat di depan notaris, dan setiap pendiri wajib mengambil bagian saham
pada saat perseroan terbatas didirikan oleh satu orang pemegang saham
dan tanpa akta notaris.
c. Melakukan Kegiatan Usaha, yaitu kegiatan dalan bidang bisnis yang
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan atau laba.
d. Modal Dasar, merupakan harta kekayaan perseroan teratas (badan
hukum) yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ
perseroan, atau pemegang saham
e. Memenuhi Persyaratan Undang-undang, persyaratan yang wajib
dipenuhi mulai dari pendirinya, beroperasinya, dan berakhirnya. Syarat
mutlak yang wajib dipenuhi adalah adanya akta pendirian harus dibuat di
depan notaris dan harus memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum
dan HAM
a. Persyaratan dan Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas
1) Persyaratan pendirian
a. Perjanjian antara dua orang atau lebih
b. Dibuat dengan akta autentik di muka notaris
c. Modal dasar
d. Pengambilan saham saat perseroan didirikan
2) Prosedur Pendirian
a. Pembuatan Perjanjian Tertulis
b. Pembuatan Akta Pendirian di Depan Notaris
c. Pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM
d. Pendaftara Perseroan
e. Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara
b. Anggaran Dasar Perseroan
Menurut Pasal 15 Undang-undang Perseroan Terbatas, anggaran
dasar sekurang-kurangnya harus memuat hal-hal antara lain:
1) Nama dan tempat kedudukan perseroan
2) Maksud dan tujuanserta kegiatan usaha perseroan
3) Jangka waktu berdirinya

8
4) Besarnya jumlah modal dasar, modal yang ditempatkan, modal yang
disetor
5) Jumlah saham, klarifikasi saham, hak-hak yang melekat pada saham dan
nilai nominal setiap saham
6) Susunan, jumlah, dan nama anggota direksi dan komisaris
7) Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS
8) Tata cara pemilihan, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian
anggota direksi dan komisaris
9) Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen
10)Ketentuan-ketentuan lain menuru undang-undang ini
c. Permodalan dan Saham Perseroan
Dalam UU No.40 Tahun 2007, khusu yang berkaitan dengan modal,
ditentukan sebagai berikut:
1) Besar modal paling sedikit RP 50.000.000,00
2) Modal yang ditempatkan paling sedikit 25% dari modal dasar. Modal yang
disetor paling sedikit 23% dari modal yang ditempatkan
3) Undang-undang mengatur klarifikasi saham dapat lebih dari satu
4) Undang-undang Perseroan Terbatas mengatur pecahan nilai nominal
saham
5) Perlindungan kepada pemegang saham minoritas diatar dalam beberapa
pasal yang tersebar, antara lain:
a) hak pemegang saham untuk mengajukan gugatan apabila pemegang
saham dirugikan oleh tindakan perseroan
b) hak pemegang saham untuk meminta pada perseroan agar membeli
sahamnya dengan harga yang wajar
c) hak pemegang saham untuk dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk memperoleh data jika adanya dugaan perbuatan
melawan hukum
d) dalam penentuan kuorum untuk perubahan anggaran dasar,
pembubaran, penggabungan, ditentukan berdasarkan suara terbanyak
e) harus ditentukan secara tegas bahwa perbuatan tersebut telah
memerhatikan kepentingan pemegang sahamminoritas
f) perseroan terbatas dierikan kemungkinan kepada karyawan untuk
memiliki saham
d. keunggulan Perseroan Terbatas
perseroan terbatasmerupakan subjek hukum, yang mempunyai nilai
lebih dibandingkan dengan badan usaha lainnya, baik dari aspek
perekonomian maupun aspek hukum.
Dari segi hukum, perseroan terbatas memberikan rambu-rambu serta
mengatur keseimbangan kepentingan semua pihak yang diterapkan dengan
sebaik-baiknya dalamrangka mengjalankan segiatan ekonomi. Perseroan
terbatas dari segi ekonomi telah diatur sedemikian sempurna oleh hukum
sehingga dapat berfungsi sebagai badan usaha yang sempurna. Perseroan
terbatas mempunya arti penting dalam kegiatan perekonomian karena:
1) pengerahan dana masyarakat untuk pengemangan perusahaan elalui
pemilikan saham perseroan
2) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut sera dalam kegiatan
ekonomi yang dapat memberi keuntungan
3) perseroan secara langsungg berada di bawah kontrol masyarakar melalui
pemegang saham dan mekanisme pasar modal

9
e. Go Public Perseroan Terbatas
1) Tata cara dan prosedur Go Public
Proses ektern ini meliputi beberapa rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perseroan, yaitu:
a) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Hanya bisa dilakukan apabila para pemegang saham bersepakat untuk
menjulan sahamnya ke masyarakat umum
b) Penunjukan Penjamin Emisi (Underwriter)
Dalam konsep pembelanjaan, arus dana yang akan masuk harus
mudah dan pasti. Dana tersebut akan diperoleh perseroan dengan
tidak tergantung pada laku tidaknya saham yang dijual (misalnya untuk
ekspansi, pembayaran utang, peningkatan modal kerja, divestasi)
c) Laporan keungan yang diaudit oleh akuntan public dalam dua tahun
terakhir
d) Hubungan dengan badan Koordinasi Penanaman Modal dan intansi
teknis
e) Perubahan Anggaran Dasar
f) Masalah-masalah lain yang perlu ditangani
Melakukan merger atau penggabungan. Dalam hal ini, perseroan
harus lebih dahulu memperoleh izin dari Badan Koordinasi Pasar
Modal
g) Pengajuan pernyataan kehendak (Letterof Intent) kepada Bapepam
2) Konsekuensi Perseroan yang Go Public
Konsekuensi lain dari perseroan yang go public adalah dengan
melakukan go public perseroan akan memperoleh keuntungan/
kemanfaatan karena terjadi hal-hal berikut:
a) Masuknya dan segar (fresh money) yang melimpah
b) Net work perseroan akan lebih baik sehingga alternatif perolehan dana
selanjutnya akan lebih banyak, misalnya lewat right issue
c) Memungkinkan ekspansi perseroan lewat akuisisi tanpa harus
membayar cash, tetapi melalui pengisuan saham
d) Perseroan akan lebih terkenal dengan pretise yang tinggi sehingga
operasi bisnisnya lebih baik dan marketnya akan lebih meluas
e) Likuiditas perseroan dan saham akan lebih baik karena setiap saat
perseroan/pemegang saham dapat mempejualbelikan sahamnya

5. Koperasi
Koperasi sebagai suatu organisasi atau badan usaha di bidang bisnis
yang berdasarkan atas asas kekeluargaan/gotong royong memiliki fungsi dan
peran di antaranya:
1) Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi
anggota pada khususnya dan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi dan sosialnya
2) Berperan secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan
masnusia dan masyarakat
3) Memperkokoh perekonomian rakyat
4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian
nasional
10
a. Tata Cara Pendirian Koperasi
1) Rapat Pembentukan
2) Permohonan Pengesahan
b. Perangkat Organisasi Koperasi
1) Rapat Anggota
Yang mempunyai kewenangan menetap:
a) Anggaran dasar
b) Lebijaksanaan umum di bidang organisasi, manajemen, dan usaha
koperasi
c) Pemilihan, pengangkatan, pemberhentian pengurus, dan pengawas
d) Rencana kerja, rencana anggaran dan pendapatan dan belanja
koperasi, serta laporan pengesahan keuangan
e) Pengesahan, pertanggungjawaban pengurus dalam pelaksanaan
tugasnya
f) Pembagian sisa hasil usaha
g) Penggabungan, peleburan, pembagian dan pembubaran koperasi
(Pasal 23 UU No. 25 Tahun 1992)
2) Pengurus Koperasi
Pengurus koperasi bertugas:
a) Mengelola koperasi dan usahanya
b) Mengajukan rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja
koperasi
c) Menyelenggarakan rapat anggota
d) Mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban
pelaksaan tugas
e) Memelihara daftar buku anggota dan pengurus
3) Pengawas
Dengan tugas-tugas antara lain;
a) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan
pengelolahan koperasi
b) Membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasan
c. Modal dan Sisa Hasil Usahan Koperasi
Modal koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman. Modal
sendiri dapat berasal dari: Simpanan pokok, Simpanan wajib, Dana
cadangan, dan Hibah. Sementara modal pinjaman dapat berasal dari :
anggota, koperasi lainnya atau anggotaya, bang dan lembaga
keuangan, penerbitan obligasi dan surat utang, dan sumber lain yang
sah

6. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)


Badan Usaha Milik Negera adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian beasar modalnya dimiliki oleh negara melalui pemyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 huruf
1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara)
Dalam melaksanakantugasnya harus mematuhi anggara dasar BUMN
dan peraturan perundangan-undangan serta wajib melaksanakan prisip-
prinsip good corperate governance yang meliputi sebagai berikut:

11
a. Transparansi, keterbukaan dalammelaksanakan proses pengambilan
keputusan danketerbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan
relevan mengenai perusahaan
b. Kemandirian, dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak mana pun
c. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana
secara efektif
d. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi
yang sehat
e. Kewajaran, kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan

a. Perusahaan Perseroan (Persero)


1) Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dasar
pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri
Keuangan
2) Maksud dan tujuan pendirian Persero menurut Pasal 12 UU No. 19 Tahun
2003 adalah:
a) Menyediakan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing
kuat
b) Mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan
3) Organ Persero adalam Rapat Umum Pemegang Saham , Direksi dan
Komisaris
a) RUPS pihak yang bertindak selaku RUPS adalah menteri, namun
menteri dapat memberi kuasa dengan hak subtitusi kepada
perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS.
b) Direksi dilakukan oleh RUPS melalui uji kelayakan dan kepatutan
dengan mempertimbangkan keahlian, integritas, kepemimpinan, jujur,
perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan
mengembangkan persero.
c) Komosari dilakukan oleh RUPS dengan mempertimbangkan
integristas, dedikasi, emahami masalah0masalah manajemen
perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen

b. Perusahaan Umum (Perum)


1) Pendirian Perum diusulkan oleh menteri kepada Presiden disertai dasar
pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri
Keuangan
2) Perum yang didirikan langsung memperoleh status Badan Hukum sejak
diundangkannya peraturan pemerintah tentang pendiriannya
3) Maksud dan tujuan perum adalah menyelenggarakan usaha yang
bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang atau jasa
yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat
4) Oragan perum adalah menteri, direktur, dana dewan pengawas

12
B. Pengusaha dan Para Pembantunya
Adapun pembantu perusahaan ini ada dua jenis, yaitu:
1) Pembantu-pembantu dalam perusahaan, misalnya pelayan toko, pekerja
keliling, pengurus filial, pemegang prokurasi, dan pimpinan perusahaan
2) Pembantu-oembantu di luar perusahaan, misalnya agen perusahaan,
pengacara, notaris, makelar, dan komisioner

Secara yurudis, dikenal ada dua jenis hubungan hukum antara pengusaha
dengan para pembantunya. Jenis hubungan hukum itu adalah sebagai
berikut:
1. Hubungan jerha, yaitu suatu hubungan antara pekerja dan pengusaha,
terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha,
dimana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada
pengusaha dengan menirima upah dan dimana pengusaha
menyatakan kesangguapannya untuk mempekerjakan buruh dengan
membayar upah
2. Hubungan pemberi kuasa, yaitu hubungan hukum yang diatus da;am
Pasa; 1792 KUH Perdata. Dalam hal ini pengusaha memberikan kuasa
kepada para pembantunya untuk menjalankan suatu kegiatan bisnis.

13
BAB III - Legalitas Perusahaan (Badan Usaha) dalam Kegiatan Bisnis
Oleh : Nadhiva Jihan Putri Nugroho (2018320157)

Legalitas suatu perusahaan atau badan usaha adalah merupakan unsur yang
terpenting, karena legalitas adalah jatidiri yang melegalkan atau mengesahkan suatu
badan usaha sehingga diakui oleh masyarakat.
Ada beberapa jenis jatidiri yang melegalkan badan usaha, yaitu :
A. Nama Perusahaan
Nama perusahaan adalah jatidiri yang dipakai oleh perusahaan untuk
menjalankan usahanya. Nama perusahaan ini melekat pada bentuk badan usaha
atau perusahaan tersebut, dan dapat membedakan perusahaan itu dengan
perusahaan lain.
1. Nama pribadi pengusaha. Kalau menggunakan nama seseorang, maka
nama perusahaan tidak boleh memberikan kesan seolah-olah perusahaan
itu milik orang lain yang sama namanya.
2. Jenis usaha yang dilakukan.
3. Tujuan didirikannya. Misalnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat, namanya : CV Beras.
Dalam hal nama perusahaan, dilarang memakai nama perusahaan yang
sudah ada dan dipakai duluan, walaupun sedikit ada perbedaan.
Di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
nama perusahaan, namun dalam pelaksanaannya diakui bahwa nama perusahaan
sebagai hak objektif. Hak objektif adalah hak yang melekat pada harta kekayaan.
Dengan demikian, siapa yang melanggar hak atas nama perusahaan yang sudah
dimiliki dan dipergunakan oleh pengusaha lain diancam dengan sanksi hukum
karena melakukan kecurangan atau melanggar hak orang lain. Pemberantasannya
dapat dilakukan melalui Pasal 1365 KUH Perdata (perbuatan melawan hukum) dan
Pasal 393 KUHP (perbuatan curang).
Setiap nama perusahaan harus disahkan. Pengesahan itu dapat dikatakan
dimulai sejak dibuatnya akta pendirian di depan notaris, diumumkan dalam Berita
Negara dan didaftarkan dalam daftar perusahaan. Apabila tidak ada pihak lain yang
menyangkal atau keberatan atas pemakaian nama perusahaan tersebut, maka itu
berarti sudah ada pengakuan dan nama tersebut menjadi legal atau sah untuk
dipergunakan oleh perusahaan yang mendaftarkannya.
Sebaliknya apabila ada pihak yang menyangkal, membantah atau tidak
mengakui nama perusahaan yang didaftarkan, pihak tersebut dapat mengajukan
keberatan secara tertulis kepada Menteri Perdagangan mengenai nama yang
didaftarkan dengan menyebut alasannya. Keberatan ini diberitahukan kepada
pengusaha yang bersangkutan dan kantor tempat pendaftaran perusahaan. Menteri
akan memberikan putusan setelah mendengar para pihak yang berkepentingan. Jika
ternyata beralasan, maka Menteri akan membatalkan pendaftaran, yang berarti tidak

14
mengesahkan nama perusahaan tersebut. (Pasal 27 UU No. 3 Tahun 1982 tentang
Wajib Daftar Perusahaan)
B. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) adalah jatidiri yang dipakai oleh
perusahaan atau badan usaha untuk menjalankan usahanya secara sah.
Dalam rangka membicarakan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dilihat
dari segi besar modalnya ada beberapa jenis perusahaan, yaitu :
1. Perusahaan kecil, adalah perusahaan yang mempunyai modal atau
kekayaan bersih kurang dari 25 (dua puluh lima) juta rupiah.
Selain dari segi modal ada beberapa ketentuan untuk mengategorikan suatu
perusahaan yang tergolong kecil:
a. tidak berbadan hukum dan umumnya dilakukan oleh perorangan;
b. diurus dan dijalankan sendiri oleh pemiliknya; dan
c. keuntungannya semata-mata untuk menambah biaya hidup.
Badan usaha yang dibebaskan dari Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
adalah :
a. Cabang/perwakilan badan usaha yang dalam menjalankan kegiatan
bisnisnya mempergukan SIUP Kantor Pusat.
b. Badan usaha yang telah mendapatkan izin dari departemen eknis terkait
dengan badan usahanya, berdasarkan peraturan perundang-undangan
lain yang berlaku dan tidak melakukan perdagangan.
c. Perusahaan/badan usaha yang berkaitan dengan Penanaman Modal
Dalam Negeri.
d. Badan Usaha Milik Negara, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan
Perusahaan Umum (Perum)
2. Perusahaan Menengah, adalah perusahaan yang mempunyai modal atau
kekayaan bersih berkisar antara 25 (dua puluh lima) juta rupiah sampai
dengan 100 (seratus) juta rupiah.
Perusahaan menengah diharuskan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP) dengan harus mengajukan permohonan ke Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kabupaten. Jangka waktu SIUP untuk perusahaan menengah
adalah tidak terbatas, dalam arti SIUP-nya berlaku sampai masa berdirinya
perusahaan menengah tersebut.
3. Perusahaan Besar, adalah perusahaan yang mempunyai modal atau
kekayaan bersih di atas 100 (seratus) juta rupiah. Perusahaan besar
diharuskan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang harus
dimohonkan ke Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi. Jangka
waktu SIUP untuk perusahaan jenis ini adalah 5 tahun, dan dapat
diperpanjang.

1. Tata Cara dan Prosedur Mengajukan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)

15
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) harus diajukan oleh pendiri badan
usaha atau penanggung jawab ke pihak yang berwenang dengan tata cara dan
prosedur sebagai berikut:
a. Si pemohon harus mengisi dan menandatangani surat permohonan izin
dengan melampirkan dokumen.
b. Permohonan dan dokumen yang dilampirkan akan diteliti kebenaran
pengisiannya dan kelengkapan syarat-syarat oleh pejabat yang berwenang di
bidang perizinan atau pejabat yang ditunjukkan oleh departemen yang
bersangkutan.
c. Apabila pengisian surat permohonan izin sudah benar dan memenuhi syarat-
syarat, maka untuk selanjutnya akan dikeluarkan surat perintah untuk
membayar uang jaminan perusahaan dan biaya administrasi perusahaan untuk
disetorkan pada bank yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Berkas permohonan izin usaha perdagangan untuk perusahaan besar yang
telah memenuhi syarat-syarat akan diteruskan kepada Departemen
Perdagangan dan Perindustrian Provinsi untuk diterbitkan Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP).
e. Apabila Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) perusahaan besar sudah
ditandatangani oleh Kepala kantor Dinas Perdagangan dan Perindustrian
Provinsi atas nama Menteri Perdagangan, atau pejabat yang mewakilinya, dan
diberi nomor, kemudian segera dikirimkan dengan surat pengantar Kepala
Kantor Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten di tempat kedudukan
perusahaan untuk disampaikan kepada pemilik/penanggung jawab perusahaan
yang mengajukan permohonan. Untuk perusahaan menengah Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Dinas
Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten atas nama Menteri Perdagangan
atau pejabat yang ditunjuk mewakili berdasarkan bentuk dan tempat
kedudukan perusahaan di wilayah kerjanya.
f. Penyerahan SIUP dilakukan kepada pemilik atau penanggung jawab
perusahaan yang mengajukan permohonan di Kantor Dinas Perdagangan dan
Perindustrian setempat atau dikirim melalui Pos dengan disertai tanda terima.
Proses penerbitan SIUP dalam jangka waktu 7 hari terhitung sejak pejabat
yang berwenang menerbitkan SIUP membutuhkan tanggal persetujuannya
pada surat permohonan izin.

2. Pembekuan dan Pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)


SIUP suatu perusahaan dibekukan apabila yang bersangkutan sedang
diperiksa di Pengadilan karena disangka telah melakukan tindak pidana di bidang
ekonomi, atau perbuatan yang berkaitan dengan kegiatan bisnisnya yang
didasarkan atas adanya bukti pemeriksaan di Pengadilan. Pembekuan dapat juga
dilakukan apabila telah mendapatkan peringatan tertulis sebanyak 3 kali dari
Pejabat yang berwenang menerbitkan SIUP.
Pembekuan SIUP dilakukan oleh pajak yang berwenang menerbitkannya atau
yang mewakili, dengan menerbitkan suatu keputusan.
Sedangkan apabila suatu pendiri badan usaha telah dijatuhi hukuman oleh
Pengadilan, dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

16
maka SIUP perusahaan tersebut dapat dicabut. Dapat pula dicabut apabila
perusahaan yang memiliki SIUP tersebut tidak memenuhi syarat untuk
melaksanakan kegiatan bisnis.
C. Wajib Daftar Perusahaan
Wajib Daftar Perusahaan telah diatur dalam UU No. 3 Tahun 1982.
Wajib daftar perusahaan tidak hanya bermanfaat bagi Pelaku
Usaha/Pengusaha, tapi juga bermanfaat bagi Pemerintah dan bagi masyarakat
banyak.
Daftar perusahaan bersifat terbuka untuk semua pihak, dan bertujuan
mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan
dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yan berkepentingan
mengenai identitas, data, serta keterangan pihak lainnya tentang perusahaan yang
tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam jangka menjamin kepastian berusaha.
1. Kewajiban Pendaftaran
Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan, khususnya
perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara
Republik Indonesia menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk di dalamnya kantor cabang, kantor pembantu, anak perusahaan
serta agen dan perwakilan dari perusahaan itu yang mempunyai wewenang untuk
mengadakan perjanjian, baik perusahaan berbentuk Persekutuan, Perorangan,
Badan Hukum (termasuk Koperasi) atau perusahaan lainnya.
Tidak semua bentuk badan usaha diwajibkan untuk melakukan daftar
perusahaan, karena ada perusahaan yang dikecualikan dari wajib daftar, yaitu:
a. Setiap Badan Usaha Milik Negara.
b. Setiap Perusahaan Kecil Perorangan yang dijalankan oleh pribadi
pengusahanya sendiri atau dengan mempekerjakan hanya anggota keluarganya
sendiriyang terdekat serta tidak memerlukan izin usaha dan tidak merupakan
suatu badan hukum atau suatu persekutuan.
Perusahaan Kecil Perorangan adalah perusahaan yang melakukan kegiatan
dan/atau memperoleh keuntungan dan/atau laba yang benar-benar hanya
sekedar untuk memenuhi keperluan nafkah sehari-hari.

2. Tempat Pendaftaran dan Hal-hal yang Wajib Didaftarkan


Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang
ditetapkan oleh Menteri pada tempat kantor pendaftaran perusahaan.
Pendaftaran wajib dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah perusahaan
mulai menjalankan usahanya.
Sedangkan hal-hal yang wajib didaftarkan tergantung dari jenis dan bentuk
perusahannya.
3. Penyelenggaraan Daftar Perusahaan

17
Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan dan perindustrian
berwenang dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Daftar Perusahaan.
Telah ditentukan bahwa bagi perusahaan yang telah disahkan pendaftarannya
dalam Daftar Perusahaan diberikan Tanda Daftar Perusahaan yang berlaku untuk
jangka waktu 5 tahun sejak tanggal dikeluarkannya dan yang wajib diperbaharui
sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum tanggal berlakunya berakhir.
Apabila Tanda Daftar Perusahaan hilang, pengusaha berkewajiban untuk
mengajukan permintaan tertulis kepada kantor pendaftaran perusahaan untuk
memperoleh penggantinya dalam waktu selambat-lambatnya 3 bulan setelah
kehilangan itu.
4. Perubahan dan Penghapusan
Dalam hal terjadinya perubahan terhadap hal-hal yang telah didaftarkan setiap
perusahaan diwajibkan untuk melaporkan perubahan tersebut pada kantor tempat
pendaftaran perusahaan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan
dengan menyebutkan alasan perubahan disertai tanggal perubahan dalam waktu 3
bulan setelah terjadi perubahan itu.
Hal-hal yang menyebabkan hapusnya Daftar Perusahaan wajib dilaporkan oleh
pemilik atau pengurus perusahaan dengan menyerahkan salinan dokumen-dokumen
yang bersangkutan dengan penyebab terhapusnya daftar perusahaan yang
disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
5. Perselisihan dan Penyelesaian Masalah Pendaftaran Perusahaan
Pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada
menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang
berwenang atas didaftarkannya suatu perusahaan dalam Daftar Perusahaan.
Keberatan hanya bisa dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan alasan-
alasannya.
Pengajuan keberatan oleh pihak ketiga tersebut akan diberitahukan kepada
pengusaha atau pihak yang mendaftarkan dan kepada kantor pendaftaran
perusahaan untuk diproses lebih lanjut.
Terhadap keputusan menteri yang menolak keberatan atas pembatalan
pendaftaran perusahaan, pengusaha dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Negeri setempat. Dan selajutnya Pengadilan Negeri akan memeriksa
permohonan keberatan pengusaha sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

18
BAB IV - Lembaga Pembiayaan Dalam Kegiatan Bisnis
OLEH : ROSY AYU MAWARNI (2018320151)

Lembaga pembiayaan diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun


1988 tanggal 20 Desember 1988, dan dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 junc to
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK.017/1995 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988, yang
dimaksudkan dengan Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan
tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.
Jenis jenis lembaga pembiayaan yang dikenal adalah sebagai berikut.

A. Leasing ( Sewa Guna Usaha )

1. Pengertian Leasing
Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan atau menyewakan barang-barang modal untuk digunakan oleh
perusahaan lain dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan dengan kriteria
tertentu.

2. Pihak yang terkait dalam leasing :


a. Lesse, yaitu perusahaan pengguna barang.
b. Lessor, yaitu perusahaan lembaga pembiayaan atau penyandang dana.
c. Supplier, yaitu perusahaan penyedia barang.
d. Perusahaan asuransi.

3. Kelebihan Leasing
a. Proses pengadaan peralatan modal relatif lebih cepat dan tidak memerlukan
jaminan kebendaan, prosedurnya sederhana dan tidak ada keharusan
melakukan studi kelayakan.
b. Pengadaan kebutuhan modal dan alat-alat berat dan mahal dengan teknologi
tinggi.
c. Posisi cashflow perusahaan akan lebih baik dan biaya-biaya modal menjadi
lebih mudah dan menarik.
d. Perencanaan keuanngan perusahaan lebih mudah dan sederhana.

4. Ciri-ciri leasing
a. Biasanya ada hubungan jangka waktu lease dan masa kegunaan benda yang di
lease tersebut
b. Hak milik benda yang di lease ada pada lessor
c. Benda yang menjadi objek leasing adalah benda-benda yang digunakan dalam
suatu perusahaan

19
5. Bentuk perjanjian leasing
Dari ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988,
dapat disimpulkan bahwa bentuk perjanjian leasing harus dilakukan secara tertulis
dan wajib dibuat dalam bahasa Indonesia, tanpa ketentuan harus berbentuk akta
autentik atau akta di bawah tangan.

6. Perbedaan leasing dengan jenis perjanjian lain


a. Perbedaan dengan sewa menyewa
 Jangka waktu
Leasing : Merupakan fokus utama karena dengan berakhirnya jangka waktu, lesse
diberikan opsi
Sewa menyewa : Bukan fokus utama sehingga pihak penyewa dapat saja menyewa
barang dalam jangka waktu yang tidak dibatasi
 Jenis perjanjian
Leasing : Innominatif, yaitu salah satu lembaga pembiayaan badan usaha
Sewa menyewa : Nominatif, yaitu suatu jenis perjanjian yang sudah diatur dalam
KUH Perdata
 Para pihak dalam leasing adalah badan usaha, sedangkan dalam sewa menyewa
para pihaknya bisa perorangan
 Pada leasing biasanya dibutuhkan jaminan-jaminan tertentu, sedangkan pada
sewa menyewa tidak diperlukan jaminan
 Pada leasing disertai dengan hak opsi, sedangkan pada sewa menyewa hak opsi
tidak diperlukan

b. Perbedaan dengan sewa beli


 Peralihan hak milik
Sewa beli : Terjadi setelah berakhir masa sewa
Leasing : Terjadi jika lesse mempergunakan hak opsinya
 Leasing merupakan salah satu jenis lembaga pembiayaan, sedangkan sewa beli
merupakan suatu jenis perjanjian innominatif yang tidak termasuk lembaga
pembiayaan
 Dalam leasing ada 3 pihak yang terlibat, sedangkan pada sewabeli hanya ada 2
pihak

B. Factoring ( Anjak Piutang )


1. Pengertian Factoring
Factoring atau anjak piutang menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988
adalah usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta
pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi
perdagangan dalam dan luar negeri.

2. Pihak yang terkait dalam factoring :


a. Perusahaan factoring
b. Perusahaan penjual piutang atau disebut klien (client)
c. Nasabah (customer)

20
3. Fungsi dan manfaat factoring
a. Fungsi
Factor berfungsi menangani masalah atau mengambil alih piutang tersebut, dan
menagih pembayarannya pada debitur setelah piutang jatuh tempo
b. Manfaat
 Pembayaran piutang lebih cepat dari jatuh tempo
 Menambah dana segar perusahaan
 Dapat membantu peningkatan keuntungan atau laba
 Merupakan sarana peralihan resiko tagihan yang tidak bisa dicairkan

4. Jenis jenis factoring


a. Dari segi pemberitahuan kepada pihak customer
 Disclosed Factoring, yaitu customer diberitahu bahwa tagihan telah dialihkan
kepada lembaga factoring dan pembayaran dilakukan langsung kepada lembaga
tersebut
 Undisclosed Factoring, yaitu customer tidak dibertahu tentang peralihan piutang
sampai terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan resiko kepada factor. Factoring
dalam bentuk ini bisa disebut juga dengan istilah Confidential Factoring
b. Dari segi keterlibatan klien
 Resource factoring, dimana pihak klien ikut serta memikul resiko yang mungkin
timbul atas tagihan yang dialihkannya
 Non resource factoring, dimana perusahaan factoring yang memikul beban
tagihan beserta seluruh resiko terhadap tagihan yang tidak terbayar
c. Dari segi tempat kedudukan para pihak
 Domestic factoring, dimana semua pihak yang terlibaf dalam factoring berada
dalam satu negara
 International factoring, dimana pihak customer berada di luar negeri
d. Dari segi banyaknya piutang yang dialihkan
 Facultative factoring, yaitu suatu jenis factoring dimana dalam perjanjiannya pihak
factor diberikan hak opsi untuk menentukan, apakah piutang diterima dengan
transaksi factoring atau tidak
 Whole Turn Over Factoring, dimana perjanjian factoring dilakukan atas seluruh
turn over dari perusahaan klien, atas piutang yang ada atau yang akan ada

C. Modal Ventura
1. Pengertian modal ventura
Modal ventura adalah suatu badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan usaha yang
ingin mengembangkan usahanya namun tidak mempunyai kemampuan untuk
memperoleh pembiayaannya, baik dari bank maupun pasar modal (melalui go
public) untuk jangka waktu tertentu.

2. Ciri ciri modal ventura


 Pemberian bantuan tidak hanya berupa modal, tetapi juga perusahaan modal
ventura ikut terlibat dalam manajemen perusahaan yang dibantu PPU

21
 Pemberian bantuan yang dilakukan tidak permanen, tetapi bersifat sementara,
paling tidak 5-10 tahun
 Motif pemberian bantuan adalah bersifat bisnis karena perusahaan modal ventura
mengharapkan keuntungan atau bagi hasil
 Pemberian bantuan tanpa jaminan

3. Keunggulan dan kerugian modal ventura


a. Keunggulan
 Dapat menjadi sumber dana bagi perusahaan yang belum memenuhi syarat untuk
mengajukan kredit bank
 Adanya bantuan manajemen yang dapat menambah kemajuan jalannya
perusahaan penerima bantuan
 Perusahaan yang dibantu dapat memperluas jaringan
b. Kerugian
 Kepemilikan pemegang saham pendiri perusahaan yang bersangkutan akan
berkurang dengan adanya investor modal ventura
 Dengan adanya investor tersebut, pemegang saham pendiri tidak lagi memliki
pengendalian mutlak terhadap perusahaan
 Laju pertumbuhan usaha dapat terganggu jika suatu sata timbul perbedaan
pendapat antara investor baru dengan pemegang saham pendiri

4. Jenis jenis modal ventura


Menurut Richard Burton Simatupang, 1995:137, jenis jenis modal ventura yaitu :
a. Conventional loan, yaitu pinjaman yang diberikan tanpa jaminan dan bisa pula
disertai jaminan
b. Conditional loan, yaitu perusahaan modal ventura turut menikmati laba, bila
proyek yang dibiayai menanggung keuntungan dan turut pula menanggung rugi
seandainya perusahaan yang dibiayai mengalami kerugian
c. Equity Investment, yaitu modal ventura yang menyertakan saham untuk
mendukung kegiatan perusahaan yang baru berdiri dan antara perusahaan modal
ventura dengan perusahaan yang dibiayai terjalin kerja sama di bidang manajemen

D. Pembiayaan Konsumen
1. Pengertian lembaga pembiayaan konsumen
Lembaga pembiayaan konsumen adalah suatu lembaga atau badan usaha yang
berbentuk perseroan terbatas yang dalam melakukan pembiayaan pengadaan
barang untuk kebutuhan konsumen dilakukan dengan sistem pembayaran secara
angsuran atau berkala.

2. Unsur unsur dalam pembiayaan konsumen


a. Subjek, yaitu pihak yang terkait, contohnya :
 Perusahaan Pembiayaan Konsumen
 Debitur (Konsumen), yaitu pihak pembeli barang dari penyedia barang (pemasok)
atas pembiayaan pihak ketiga (PPK)
 dan Penyedia Barang, yaitu pihak penjual barang pada konsumen atas
pembayaran yang dilakukan Perusahaan Pembiayaan Konsumen

22
b. Objek, yaitu barang-barang bergerak keperluan debitur yang akan dipakai untuk
keperluan hidup atau keperluan rumah tangga
c. Unsur perjanjian
 Perjanjian pembiayaan konsumen, yaitu perjanjian yang dibuat antara PPK
dengan konsumen
 Perjanjian jual beli, yaitu perjanian yang dibuat oleh penyedia barang (pemasok)
dengan konsumen
d. Unsur jaminan
Jaminan dari pembiayaan konsumen hanyala berupa kepercayaan terhadap
konsumen (debitur)

E. Kartu Kredit
1. Pengertian Kartu Kredir
Menurut Kartono Muhammad, kartu kredit adalah alat pembayaran melalui jasa bank
atau perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang atau jasa, atau alat
menarik uang tunai di bank.
Sedangkan menurut Johannes Ibrahim (2004:11) kartu kredit adalah uang plastik
yang diterbitkan oleh suatu instansi yang memungkinkan pemegang kartu untuk
memperoleh kredit atas transaksi yang dilakukannya dan pembayarannya dapat
dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga (finance charge)
atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan.

2. Kartu kredit diterbitkan oleh suatu badan usaha (umumnya oleh bank) untuk
dipergunakan oleh pemegangnya (cardholder) sebagai alat pembayaran pengganti
uang tunai kepada usaha lainnya yang ditunjuk (bisa dengan kerja sama) oleh
penerbit kartu kredit.

3. Prosedur untuk penerbitan kartu kredit adalah sbb :


a. Nasabah melakukan permohonan sebagai pemegang kartu dengan memenuhi
persyaratan yang tercantum dalam aplikasi atau formulir permohonan yang memuat
 Data pribadi
 Data pekerjaan
 Data penghasilan dan Referensi Bank
 Data lainnya
 Pernyataan pemohon
b. Bank menganalisis permohonan dari nasabah berdasarkan data yang diajukan
c. Permohonan yang dinilai layak akan ditindaklanjuti oleh pihak bank dengan
menerbitkan kartu kredit atas nama pemohon

4. Pihak dalam pembuatan kartu kredit


a. Bank penerbit kartu kredit
b. Penjual barang (merchant), adalah perseorangan (pertokoan) atau perusahaan
yang melakukan kerja sama dengan bank penerbit kartu kredit untuk menerima kartu
kredit sebagai alat pembayaran atas transaksi barang atau jasa yang dijualnya

23
c. Pemegang kartu kredit (cardholder), adalah orang yang telah diberikan
kepercayaan oleh bank penerbit untuk menggunakan kartu kredit dalam melakukan
transaksi dengan merchant

5. Kewajiban para pihak terkait


a. Kewajiban Bank Penerbit
 Memberikan kartu kredit kepada pemegang berserta hak dan kewajibannya
 Memberikan jumlah tagihan pembelian kepada pemegang kartu kredit
 Menagih dan menerima daftar jumlah pembelian barang/jasa dari pemegang kartu
b. Kewajiban Penjual Barang (Merchant(
 Menerima pemegang kartu kredit sebagai pembeli
 Menyodorkan surat tanpa pembelian kepada pemegang kartu kredit untuk
ditandatangani
 Menjual barang tidak melebihi harga penjualan tunai
c. Kewajiban Pemegang Kartu Kredit
 Mematuhi batas maksimum jumlah yang bisa dibayar dengan kartu kredit
 Menandatangani surat tanda pembelian barang
 Membayar kembali harga pembelian sesuai jumlah tagihan bank penerbit.

24
BAB V - Bentuk-bentuk Kerja Sama dalam Kegiatan Bisnis
OLEH: SALSABILA FARASWATI (2018320162)
Dalam melakukan suatu kegiatan bisnis kadangkala suatu badan usaha kurang
mampu menjalankannya sendiri tanpa mengadakan kerja sama dengan badan usaha
lainnya. Ada beberapa motif yang sering kali disebutkan sebagai dasar kerja sama ini,
yaitu mengatasi masalah pajak, persaingan, kemajuan teknologi dan sebagainya.
Namun secara umum dapat dikatakan bahwa tujuannya adalah:
1. Memperbesar perusahaan
2. Meningkatkan efisiensi
3. Menghilangkan / mengurangi risiko persaingan
4. Menjamin tersedia pasokan atau penjualan dan distribusi
5. Diversifikasi produk dan pelayanan
6. Upaya defensif terhadap kemungkinan take over
7. Penyaluran modal yang tidak digunakan
Dengan tujuan tersebut, ada beberapa bentuk kerja sama yang selama ini dikenal.
Satu
per satu bentuk kerja sama tersebut akan diuraikan secara ringkas.
A. Merger
Merger atau fusi adalah suatu penggabungan satu atau beberapa badan usaha
sehingga dari sudut ekonomi merupakan satu kesatuan, tanpa melebur badan usaha
yang bergabung. Dipandang dari segi ekonomi, ada dua jenis merger, yaitu merger
horizontal dan merger vertikal.
Merger horizontal adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan yang
masing-masing kegiatan bisnis (produksinya) berbeda satu sama lain sehingga yang
satu dengan yang lainnya merupakan kelanjutan dari masing-masing produk.
Merger vertikal adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan yang
masing-masing kegiatan bisnis berbeda satu sama lain, namun tidak saling
mendukung dalam penggunaan produk.

Pihak-pihak yang terkait dalam mergernya suatu perusahaan yaitu:


1. Pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Keuangan, Menteri yang bertanggung
jawab di bidang hukum, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
a. Menteri Keuangan terkait dalam rangka memberikan pertimbangan dari segi
teknis, khususnya mengenai permodalan dan tingkat kesehatan perbankan yang
akan melakukan merger.
b. Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum, terkait dalam rangka:
 Meneliti apakah prosedur merger telah dilaksanakan.
 Memberikan persetujuan atas pengesahan perubahan anggaran dasar
perusahaan.
c. Badan Koordinasi Penanaman Modal terkait apabila yang akan merger adalah
perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri.
2. Akuntan Publik, terkait karena sebelum merger badan usaha yang bersangkutan
memerlukan jasa akuntan publik untuk menyusun laporan keuangan yang terdiri
dari neraca dan perhitungan rugi laba.
3. Konsultan, yang umumnya terdiri dari : konsultan hukum, konsultan keuangan,
konsultan manajemen, dan konsultan pajak.
a. Konsultan Hukum diperlukan untuk memberikan pendapat tentang:
 Keabsahan anggaran dasar perusahaan yang merger

25
 Keabsahan izin-izin yang diperlukan
 Keabsahan hak milik perusahaan
 Akibat hukum dari merger
b. Konsultan Keuangan bertugas untuk memberikan saran kepada perusahaan
penerima penggabungan mengenai cara-cara pembiayaan untuk merger.
c. Konsultan Manajemen akan bertugas memberikan saran-saran bagi perusahaan
penerima penggabungan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih
perusahaan yang akan digabungkan.
d. Konsultan Pajak, terkait untuk meneliti seberapa besar kewajiban badan usaha
yang telah merger untuk membayar pajak.
B. Konsolidasi
Antara konsolidasi dan merger sering kali dipersamakan sehingga dalam praktik,
kedua istilah
Ini sering dipertukarkan dan dianggap sama artinya, namun sebenarnya terdapat
perbedaan pengertian antara konsolidasi dan merger.
Dalam merger penggabungan antara dua atau lebih badan usaha tidak membuat
badan usaha
Yang bergabung menjadi “lenyap”, sedangkan konsolidasi adalah penggabungan
antara dua atau lebih badan usaha yang menggabungkan diri saling melebur menjadi
satu dan membentuk satu badan usaha yang baru. Oleh karena itu, konsolidasi ini
sering kali disebut dengan peleburan.
Kerja sama badan usaha dengan bentuk merger dan konsolidasi ini, dalam praktik,
sering kali
Bertujuan untuk “menyehatkan” badan usaha yang bersangkutan. Usaha untuk
“menyehatkan”, ini dalam hukum bisnis sering disebut restrukturasi.
Restrukturasi badan usaha berarti melakukan perombakan secara mendasar seluruh
mata rantai
Bisnis yang bertujuan untuk mencapai daya saing dan kompetisi, yang berarti bahwa
tidak semata-mata menjadikan badan usaha tetap eksis, namun juga tetap memenuhi
tuntutan pasar.
Soewito (1998: 2-3) menyatakan bahwa restrukturasi badan usaha pada umumnya
meliputi beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.
1. Restrukturisasi bisnis, yaitu suatu jenis restrukturasi yang bertujuan melakukan
penataan terhadap seluruh mata rantai perusahaan guna meningkatkan daya saing
dan kompetisi.
2. Restrukturasi keuangan untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan.
3. Restrukturasi manajemen, yaitu suatu upaya penataan sistem manajemen
perusahaan untuk meningkatkan daya saing.
4. Restrukturasi organisasi, yang meliputi usaha pembenahan antara lain:
a. Memperbaiki proses pengambilan keputusan
b. Kebutuhan pegawai yang optimal
c. Menumbuhkan pendelegasian yang lebih banyak
d. Penggabungan beberapa fungsi.

C. Pelaksanaan Merger Bagi Badan Usaha yang Berbentuk Perseroan Terbatas


(PT)

26
Pada dasarnya penggabungan (merger) suatu badan usaha yang berbentuk PT,
hanya dapat
dilakukan apabila rancangan penggabungan telah mendapat persetujuan Rapat Umum
Pemegang Saham masing-masing badan usaha yang terlibat. Dalam pasal 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 ditentukan sebagai berikut.
1. Penggabungan, peleburan dan penggabungan hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan RUPS.
2. Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan berdasarkan keputusan RUPS yang
dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾ bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾ bagian
dari jumlah suara tersebut.
3. Bagian badan usaha terbuka, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak dicapai, maka syarat kehadiran dan pengambilalihan ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Dalam ketentuan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas, dan
dipertegas lagi dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 yang
menyebutkan sebagai berikut.
1. Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan
memerhatikan:
a. Kepentingan badan usaha-usaha, pemegang saham minoritas dan karyawan badan
usaha yang bersangkutan.
b. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
2. Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan tidak mengurangi hak pemegang
saham minoritas untuk menjual sahamnya dalam harga yang wajar.
3. Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai
penggabungan, peleburan dan pengambilalihannya dapat menggunakan haknya agar
saham yang dimiliki dibeli dengan harfa yang wajar sesuai dengan ketentua Pasal 55
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.
4. Pelaksanaan hak sebagaimana tersebut diatas tidak menghentikan proses
pelaksanaan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
Menurut UU No. 1 Tahun 1995 dan PP No. 27 Tahun 1998,merger suatu PT dapat
dilakukan melalui tahapan berikut ini.
1. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan ini diatur dalam Pasa; 102 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995.
2. Persetujuan RUPS
Persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) masing-masing badan usaha
(Pasal 102 ayat [3]).
3. Pengumuman Rencana Penggabungan
Direksi wajib mengumumkan dalam dua surat kabar harian mengenai rencana
penggabungan badan usaha paling lambat empat belas hari sebelum pemanggilan
RUPS (Pasal 105 UUPT).
4. Pelaksanaan
Dalam hal telah dilaksanakannya proses pendahuluan yang harus dipenuhi,
penggabungan ini dapat dilakukan dengan tidak merugikan:
a. Kepentingan badan usaha pemegang saham minoritas, dan karyawan badan usaha;
dan

27
b. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha ini tidak mengurangi
hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar.
5. Pengumuman Hasil penggabungan
Direksi badan usaha hasil penggabungan atau peleburan, wajib mengumumkan hasil
penggabungan atau peleburan dalam dua surat kabar harian paling lambat tiga puluh
hari terhitung sejak penggabungan atau peleburan selesai dilakukan (Pasal 108 ayat (1)
UUPT).

D. Pelaksanaan Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bagi Badan Usaha Perbankan


Secara umum ketentuan dan tata cara merger perusahaan perbankan sama dengan
tata cara merger perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas. Tetapi karena
perusahaan perbankan akan lebih meyangkut kepentingan masyarakat banyak (nasabah)
maka diperlukan ketentuan khusus untuk perusahaan perbankan. Ketentuan
penggabungan suatu perbankan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999
tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank.
Dalam Pasal 1 dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999, yang dimaksudkan
dengan:
1. Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) bank atau lebih, dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya
tanpa melikuidasi terlebih dahulu.
2. Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) bank atau lebih, dengan cara mendirikan
bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu.
3. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank yanh mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap bank.
I. Merger Perbankan
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger,
Konsolidasi dan Akuisi Bank, proses merger suatu bank dapat dilakukan melalui
tahapan sebagai berikut.
Dalam tahap awal bank yang akan menggabungkan diri dan yang menerima
penggabungan masing-masing direksi harus menyusun usulan rencana merger.
Usulan yang dimaksud harus mendapat persetujuan dari Komisaris, dan sekurang-
kurangnya usulan tersebut memuat:
a. Nama dan tempat kedudukan bank yang akan melakukan merger.
b. Alasan serta penjelasan masing-masing Direksi Bank yang akan melakukan
merger dan persyaratan merger.
c. Tata cara konvensi saham dari masing-masing bank yang akan melakukan
merger terhadap saham bank hasil merger.
d. Rancangan perubahan anggaran dasar.
e. Nereca, perhitungan laba rugi yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari
semua bank yang akan melakukan merger.
f. Hal-hal yang perlu diketahui oleh pemegang sahammasing-masing bank.
II. Konsolidasi Perbankan
Tata cara konsolidasi bank sama dengan tata cara merger bank. Hanya saja jika
dalam merger harus dibuat akta merger, maka dalam konsolidasi harus dibuat akta
konsolidasi.
III. Akuisisi Perbankan
Telah dikemukakan akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank. Untuk itu, bank yang akan
mengakuisisi harus memberitahukan maksudnya kepada bank yang akan diakuisisi.

28
Kemudian Direksi Bank yang akan mengakuisisi dan Direksi Bank yang akan
diakuisisi masing-masing harus membuat / menyusun usulan rencana akuisisi.
Usulan rencana akuisisi ini harus mendapat persetujuan dari Komisaris masing-
masing bank, dan usulan tersebut paling sedikit harus memuat:
a. Nama dan tempat kedudukan bank serta badan hukum lain, atau identitas
perorangan yang melakukan akuisisi.
b. Alasan serta penjelasan masing-masing Direksi Bank pengurus badan hukum
atau perorangan yang melakukan akuisisi.
c. Necara, perhitungan laba rugi yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir, terutama
perhitungan tahunan tahun buku terakhir dari bank dan badan hukum lain yang
melakukan akuisisi.
d. Tata cara konversi saham dari masing-masing pihak yang melakukan akuisisi
apabila pembayaran akuisisi dilakukan dengan saham.
e. Rancangan perubahan anggaran dasar bank hasil akuisisi.
f. Jumlah saham yang akan diakuisisi.
g. Kesiapan pendanaan.
h. Cara penyelesaian hak-hak pemegang saham minoritas.
i. Cara penyelesaian status karyawan dari bank yang akan diakuisisi.
j. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan akuisisi.

E. Joint Venture
Joint Venture secara umum dapat diartikan sebagai suatu persetujuan di antara dua
pihak atau lebih, untuk melakukan kerja sama dalam suatu kegiatan.
Persetujuan yang dimaksudkan di sini adalah kesepakatan yang didasari atas suatu
perjanjian yang harus tetap berpedoman kepada syarat sahnya suatu perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut.
1. Para pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya.
2. Para pihak cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
3. Perbuatan hukum tersebut harus mengenai suatu hal tertentu.
4. Persetujuan tersebut harus mengenai sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan
hukum, kesusilaan dan ketertiban umum.
I. Keuntungan dan Motivasi Joint Venture
Dalam memutuskan untuk membuat suatu joint venture, perlu juga diperhatikan
beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan untung ruginya suatu kerja sama.
Dengan melihat segi-segi kepentingan dari masing-masing pihak, suatu joint venture
akan dapat memberikan manfaat, walaupun di samping itu juga ada kerugiannya.
II. Isi Perjanjian Joint Venture
Dalam berbagai literatur ada beberapa unsur pokok yang harus tercantum dalam
perjanjian joint venture. Unsur-unsur tersebut dapat dikemukakan secara ringkas
sebagai berikut.
a. Uraian tentang Para Pihak
Para pihak harus tercantum dengan jelas identitasnya dalam perjanjian joint
venture, termasuk apakah para pihak tersebut berasal dari suatu negara atau dari
beberapa negara.
b. Dasar Pertimbangan dan Tujuan Joint Venture
Pemikiran atau dasar pertimbangan para pihak dalam kerja sama atau joint
venture tersebut juga harus dicantumkan dalam perjanjian joint venture. Dasar
pertimbangan tersebut sedapat mungkin akan mengungkapkan tujuan para pihak
dalam joint venture.

29
c. Jangka waktu
Jangka waktu ini menyangkut berapa lama kerja sama (joint venture) tersebut akan
diadakan. Itu juga harus tercantum dalam perjanjian joint venture.
d. Pembiayaan
Pembiayaan merupakan hal yang terpenting yang harus dicantumkan dalam
perjanjian joint venture.
e. Ketentuan-ketentuan jika terjadi perselisihan
Di dalam perjanjian juga harus perlu diadakan klausul, bagaimana menyelesaikan
jika terjadi perselisihan di antara para pihak, apakah akan diselesaikan melalui
arbitrase, bada arbitrase yang dipilih, dan prosedur serta hukum yang akan
dipergunakan.

F. Waralaba
Waralaba yang dulu dikenal dengan istilah Franchise sekarang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (sebagai
pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba).
Penggantian Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dimaksudkan untuk
lebih memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi Pemberi
Waralaba dan Penerima Waralaba dalam memasarkan produknya.
Yang dimaksud dengan Waralaba adalah: “hak khusus yang dimiliki oleh orang
perserorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan / atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan /atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba”. (Pasal 1 angka 1 PP No. 42 Tahun 2007)
Syarat mutlak untuk adanya waralaba. Kriteria tersebut adalah:
1. Memiliki ciri khas usaha
2. Terbukti sudah memberikan keuntungan
3. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang
dibuat secara tertulis.
4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan, maksudnya usaha tersebut mudah
dilaksanakan sehingga Penerima Waralaba yang belum memiliki pengalaman.
5. Adanya dukungan yang berkesinambungan.
6. Hak kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.
I. Perjanjian Waralaba
Sistem bisnis dengan hak khusus yang disebut waralaba ini hanya dapat
dilakukan apabila telah ada perjanjian antara Pemberi Waralaba dan Penerima
Waralaba.
Pemberi Waralaba adalah:”orang perseorangan atau badan usaha yang
memberikan hak untuk menmanfaatkan dan /atau menggunakan waralaba yang
dimilikinya kepada Penerima Waralaba”.
Penerima Waralaba adalah: “orang perseorangan atau badan usaha yang
diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau
menggunakan waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba”.
II. Kewajiban Para Pihak yang Terkait dalam Waralaba
Antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2007 ditentukan kewajibannya sebagai berikut.
a. Kewajiban Pemberi Waralaba
 Memberikan segala informasi yang berkaitan dengan hak kekayaan
intelektual yang diwaralabakan.

30
 Memberikan bantuan pembinaan berkesinambungan kepada Penerima
Waralaba yang berupa bimbingan, pelatihan guna menjalankan usaha
yang diwaralabakan.
 Harus mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi
dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa
yang ditetapkan dalam perjanjian waralaba.
 Harus bekerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah
setempat sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau
jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam
perjanjian waralaba.
 Pemberi Waralaba juga berkewajiban untuk mendaftarkan prospektus
yang dibuat tertulis. Kewajiban ini dapat dilakukan oleh pihak lain dengan
surat kuasa.
b. Kewajiban Penerima Waralaba
 Melaksanakan seluruh instruksi Pemberi Waralaba
 Melakukan pendaftaran perjanjian waralaba
 Tidak melakukan kegiatan usaha yang bermaksud untuk menyaingi yang
diwaralabakan
 Memberikan royalti kepada Pemberi Waralaba
c. Kewajiban Pemerintah
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian waralaba.
Pembinaan tersebut antara lain berupa:
 Pendidikan dan pelatihan waralaba
 Rekomendasi untuk memanfaatkan sarana perpasaran
 Rekomendasi untuk mengikuti pameran waralaba baik di dalam negeri dan
luar negeri
 Bantuan konsultasi melalui klinik bisnis
 Penghargaan kepada Pemberi Waralaba lokal terbaik; dan/atau
 Bantuan perkuatan permodalan
III. Pendaftaran Perjanjian Waralaba
Perjanjian waralaba beserta keterangan tertulis (prospectus) wajib
didaftarkan oleh Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. Pendaftaran
perlu dilakukan dalam rangka pembinaan usaha dengan cara waralaba.
Permohonan pendaftaran perjanjian waralaba diajukan ke departemen yang
bertanggung jawab di bidang perdagangan, dengan melampirkan:
 Fotokopi legalitas usaha
 Fotokopi perjanjian waralaba
 Fotokopi prospektus penawaran waralaba
 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemilik atau pengurus perusahaan.

31
BAB VI - Pengangkutan Laut dalam Kegiatan Bisnis
Disusun oleh: Luthfi Azhari Indrasto (2018320152)
Dalam kegiatan bisnis, pengangkutan laut memeang peranan yang sangat
penting karena selain sebagai alat fisik yang memebawa barang barang dari
produsen ke konsumen, juga sebagai alat penentu harha dari barang barang
tersebut. Jika ditinjau dari beberapa segi, pengangkutan banyak manfaat berikut ini:
a. Dari kepentingan pengirim barang
b. Dari kepentingan pengangkutan barang
c. Dari kepentingan penerima barang
d. Dari kepentingan masyarakat luas

A. Pengertian Dan Pengaturan Tentang Pengangkutan Laut


Khusus mengenai pengankutan laut tidak dijumpai definisinya dalam KUHD.
Namun, dalam PP no. 17 tahun 1988, dijumpai pengertian pengangkutan laut, yaitu:
"setiap pelayaran dengan menggunakan kapal laut untuk mengangkut
penumpang, barang dan/atau hewan untuk satu perjalanan atau lebih daru
satu pelabuhan ke pelabuhan lain atau antara beberapa pelabuhan." (Pasal
1 Angka 1 PP No. 17 Tahun 1988)
Berkaitan dengan pengaturan pengankutan laut, pada awalnya hanya diatur
dalam KUHD buku II Bab V karena KUHD ini merupakan warisan dari Hindia
Belanda, namum keumdian diganti dan disempurnakan pada tangal 17 September
1992 dengan UU No. 21 Tahun 1992 tentang pelayaran.
Semua peraturan pelaksanaan mengenai pelayaran ditanyakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan UU
ini.

B. Jenis-jenis Usaha Pengankutan Laut

Ada empat macam penyelenggaraan pengangkutan lau, baik menurut PP 17


Tahun 1988 tentang Penyelenggaraan dan Pengankutan Laut maupun
menurut UU No. 21 Tahun 1992 tentang pelayaran. Keempat jenis tersebut
adalah:
1. Pelayaran Dalam Negeri
Menurut Pasal 73 UU No. 21 Tahun 1992 meyatakan bahwa
penyelanggaraan angkutan laut dalam negeri ini dilakukan dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang dioperasikan oleh
badan hukum Indonesia dalam keadaan tertentu dan memenuhu persyaratan
yang ditetapkan oleh pemerintah.

2. Pelayaran Rakyat

32
Menurut PP No. 17 Tahun 1988, pelayaran rakyat merupakan kegiatan
angkutan laut khusus barang atau hewan antarpelabuhan di Indonesia dengan
menggunakan kapal motor dengan persyaratan diantaranya:
a. Dilakukan oleh perusahaan dalam salah satu badan usaha, termasuk
koperasi;
b. Memiliki unit perahu layar atau kapal layar motor dengan ukuran sampai
dengan 850 m3 isi kotor atau kapal motor dengan ukuran sampai dengan
100 m3.
3. Pelayaran Perintis
Menurut Pasal 1 angka 8 UU No. 17 Tahun 2008 yang dimaksudkan dengan
pelayaran perintis adalah pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek
yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk melayani daerah atau wilayah yang
belum memberikan manfaat komersial. Pasal ini juga menyatakan bahwa
pelayaran perintis merupakan kegiatan angkutan laut yang dilakukan secara
tetap dan teratur.
4. Pelayaran Luar Negeri
Merupakan pelayaran samudera sebagai kegiatan angkutan laut ke tau dari
negeri yang dilakukan secara tetap dan teratur atau dengan pelayaran tidak tetap
dan tidak dengan menggunakan semua jenis kapal (pasal 9 ayat (5) PP No. 17
Tahun 1988)

C. Pihak-pihak dalam Pengangkutan Laut


1. Pengangkut
Mengenai definisi nya tidak ditemukan dalam KUHD, namun menurut HMN.
Purwosutjipto, pengankut adalah orang yang mengaitkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat.
2. Pengirim Barang
Mengenai definisi nya tidak ditemukan dalam KUHD, namun, secara ringkas
pengirim adalah orang yang mengaitkan diri untuk mengirim sesuatu barang
dengan membayar uang angkutan. Pengirim belum tentu adalah pemilik barang.
Sering kali dalam praktik, pengirim adalah ekspeditur atau perantara lain dalam
bidang pengangkutan. Pasal 86 ayat (1) KUHD menyatakan bahwa ekspoditur
adalah orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang-barang.
Ada dua perjanjian yang perlu dibuat oleh ekpeditur, yaiut:
a. Perjanjian yang dibuat antar ekspeditur dengan pengirim disebut dengan
perjanjian ekspedisi, yaitu timbal balik antara ekspediur dengan pengirim,
dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang
baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk
membatar provisi kepda ekspeditur.
b. Perjanjian antara ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut
disebut dengan perjanjian pengangkutan.

Dari dua jenis perjanjian tersebut, maka hubungan hukum, hak dan kewajiban
ekspeditur adalah sebagai berikut (HMN. Porwosutjipto, 1985: 14-15)

33
a. Sebagai Pemegang Kuasa
b. Sebagai Komisioner
c. Sebagai Penyimpan Barang
d. Sebagai Penyelenggara Urusan
Selain ekspeditur dalam pengangkutan laut, dikenal pula pihak-pihak yang terkait
lainnya yaitu sebagai berikut.
a. Pengatur Muatan
b. Per-Veem-An/Ekpedisi Muatan Laut

3. Penerima
Kedudukan penerima dalam pengangkutan barang adalah sebagai pihak yang
menerima barang-barang , yang tercantum dalam konosemen. Kedudukan ini timbul
karena sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa kewajiban pengangkut adalah
menyerahkan barang yang diangkut kepada pemerima. Dalam hal ini, mengenai
penerima ada dua kemungkinan yaitu sebagai berikut.
a. Penerima adalah juga pengirim barang.
b. Penerima adalah orang lain yang ditunjuk.
Sementara itu, kewajiban penerima adalah membayar uang angkutan. Kewajiban ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 491 KUHD “Setelah barang angkutan itu ditentukan
ditempat tujuan, maka si penerima wajib membayar uang angkutan dan semua yang
wajib dibayarnya menurut dokumen-dokumen atas dasar mana barang tersebut
diterima kepadanya.”

D. Sarana Penunjang Pengangkutan Laut


1. Kapal
Menurut Pasal 1 sub 2 UU No. 21 Tahun 1992 tentang pelayaran, yang
dimaksud kapal adalah: “kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun yang
digerakan dengan tenaga mekanik, tenaga angina, atau tenaga kuda, termasuk
kendaraan yang berdaya-dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta
alat apung dan bangunan terapung yang tidak pindah-pindah.”
Kapal dapat dibedakan atas jenis jenis berikut.
a. Kapal Barang (Cargo Vessel)
b. Kapal Penumpang (Passenger Vessel)
c. Kapal Barang-Penumpang (Cargo-Passenger-Vessel)
d. Kapal yang mempunyai akomodasi penumpang terbatas (Cargo Vessel with
Limited Accomodation for Passenger)
2. Pelabuhan
Menurut Pasal 1 sub 4 UU No. 21 Tahun 1992 pelabuhan adalah:
“tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-
batas tertentu sebagai tempat pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang di
pergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun
penumpang dan/atau pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta
sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.”

34
Sedangkan mengenai jenis-jenis pelabuhan dibedakan dalam tiga jenis, yaitu:
a. Pelabuhan utama
b. Pelabuhan Pengumpul
c. Pelabuhan
Selain pelabuhan ada pun terminal sebagai penunjang pengankutan laut menurut
UU No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran. Terminal ini menurut undang-undang
pelayaran terdiri dari dua jenis, yaitu:
a. Terminal Khusus
b. Terminal untuk Kepntingan Pribadi

3. Prasarana Pelayaran
Dalam rangka menunjang kelancaran arus barang serta kelancaran dalam
pelaksanaan bongkar muat dari dan/atau ke kapal di pelabuhan diperlukan
adanya sarana pelabuhan seperti:
a. Perairan pelabuhan
b. Jembatan pendarat dan dermaga yang cukup kuat
c. Pelampung-pelampung untuk kapal-kapal tertambat
d. Gudang dan lapangan tempat barang-barang yang akan dimuat ke dalam
kapal dan dibongkar dalam kapal
e. Pandu-pandu (pilot) untuk memandu kapal dan menjaga keselamatannya
f. Kapal kapal tarik (tugboat)
g. Peralatan bongkar muat dipelabuhan
h. Pekerja/buruh yang cukup tersedia
i. Alat-alat telekomunikasi

E. Pengertian Pengangkutan Barang


Tercantum dalam Pasal 466 KUHD “barang siapa baik dengan suatu carter
menurut waktu atau carter menurut perjalanan, baik dengan suatu persetujuan
lain, mengikatkan diri unutk menyelenggarakan pengangkutan barang, yang
seluruhya atau sebagian melalui lautan”
Dalam perjanjian pengangkutan (barang), ada suatu dokumen ang disebut surat
muatan atau konosemen (biil of leading). Dokumen ini fungsinya sebagai alat bukti
adanya perjanjian adanya pengankutan antara pengankut dan pengirim. Dengan
demikian, konosemen mempunyai dua fungsi, yaitu:
1. Sebagai bukti penerimaan barang;
2. Sebagai dokumen angkutan.
Pejabat atau pihat yang berwenang meneribitkan konosemen adalah:
1. Pengangkut (Pasal 504 KUHD)
2. Nahkoda (Pasal 505 KUHD)
Bentuk konosemen pada perisnip nya berbentuk standar atau baku yang antara lain
berisi sebagai berikut:

35
1. Rute perjalanan dari kapal yang akan mengankut barang
2. Tempat pemuatan barang dalam kapal
3. Keterangan tentang muatan yang bersangkutan dengan merek-merek, jenis,
jumlah, ukuran/berat barang
4. Apakah pembongkaran barang ditempat tujuan akan dilakukan sendiri oleh
pengngkut atau penerima atau dengan bantuan pihak ketiga
5. Tentang penerima barang
Selain konosemen, dalam pengankutan laut juga harus ada dokumen sebagai
berikut:
1. Manifest
2. Surat Mualim (Mate’s Receipt)
3. Tanda Terima Gudang (Resi Gudang)
4. Peruntah Penyerahan (Delivery Order)
5. Pemberitahuan (Notice)
6. Perintah Mendaratkan (Landing Order)
Kemudian dari pihak pengirim barang, memerlukan dokumen sebagai berikut:
1. Faktur Penjualan (Commercial Invoice)
2. Daftar Pengemasan (Packing List)
3. Sertifikat Asal (Certificate of Origin)
4. Sertifikat Pemeriksaan (Certificate of Inspection)
5. Sertifikat Pemuatan (Certificate of Lading)
6. Polis Asuransi (Insurance Policy)

Selanjutnya, berkaitan dengan kelayakan kapal, dokumen ini harus dimiliki oleh dan
harus berada diatas kapal, yang akan menyatakan kesempurnaan kapal dalam
berbagai fungsi atau bidang-bidang tertentu. Dokumen yang termasuk dokumen
legalitas pelayaran kapal niaga adalah:

1. Surat Tanda Kebangsaan


2. Surat Ukur
3. Sertifikat Layak Laut
4. Sertifikat Lambung Timbul
5. aDaftar ABK
6. Petikan dari Daftar Kapal
7. Sertifikat Keamanan Radio
8. Sertifikat Keamanan
9. Sertifikat Kesehatan
10. Surat Tikus

F. Tanggung Jawab Pengangkut dalam Pengangkutan Laut


Sesuai dengan ketentuan Pasal 321 KUHD, nahkodan dan ABK ini hanya
bertanggung jawab kepada pemilik kapal selaku majikannya. Pasal 321 KUHD
yang berbunyi:

(1) Pengusaha kapal terikat oleh perbuata-perbuatan hukum yang dilakukan oleh
mereka yang dalam dinas tetap atau sementara dari kapal itu didalam
pekerjaannya dalam lingkungan kewenangannya.
36
(2) Ia bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimpangkan kepada pihak
ketiga karena perbuatan melawan hukum dari meraka yang dalam dinas tetp
atau sementara pada kapal karena jabatannya atau karena melaksanakan
kegiatan ada dikapal melakukan perkerjaan untuk kapal atau muatan.

1. Timbulnya dan Batas batas Tanggung Jawab Pengangkut

Sesuai ketentuan PAsal 468 (1) KUHD yang pada intinya menentukan bahwa
“Perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan
barang yang diangkut sejak saat penerimaan sampai saat penyerahannya”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab pengangkut


secara umum adalah melaksanakan pengangkutan barang dengan selamat
sampai tujuan. Suatu barang dikatakan “selamat” jiika barang tersebut tidak
menyangkut hal-hal berikut ini:

a. Barang-barang yang diangkut sampai ditujuan, namun ada yang rusak atau
musnah sehingga tidak dapat digunakan semestinya.
b. Barang-barang yang diangkut tidak ada, baik karena terbakar atau
tenggelam, atau dicuri atau dibuang kelaut.

Sebaliknya, jika barang yang diangkut atau barang yang tercantum dakam
konosemen mengalami kejadian diatas, dalam hal ini dikatakan “tidak selamat”,
dan itu menjadi tanggung jawab bagi pengangkut untuk mengganti rugi, kecuali
kerugian itu timbul karena alas an sebagai berikut:

a. Keadaan Memaksa
b. Cacat pada Barang itu Sendiri
c. Kesalahan atau Kelalaian Pengirim

2. Kewajiban Penggantian Kerugian

Pasal 1244 KUH Perdata menentukan bahwa pengangkut bila cukup alasan,
dapat dituntut unutk membayar kerugian, biaya dan bunga. Bila membuktikan
bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu peristiwa
yang dapat didiga terlebih dahulu serta pula tidak ada iktikad buruk padanya,
kerugian tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya.

Berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut, pasar 470 (1) KUHD melarang
pengangkut untuk memperjanjikan:

a. Dia sama sekali tidak bertanggung jawab; atau


b. Hanya mau memberikan ganti rugi terbatas suatu jumlah tertentu terhadap
kerugian yang disebabkan oleh:
(1) Kurang diusahakannya pemeliharaan, perlengkapan, atau kurang ABK
(2) Kurang diusahakannya kalaikan kapal pengangkutan
(3) salah memperlakukan atau kurangnya penjagaan barang yang diangkut
kapal.
3. Perlunya Ekspert dalam Pertanggungjawaban Pengankut

37
Ekspert adalah seorang yang memiliki keahlian dalam menilai barang-barang
yang diangkut. Jenis keahlian ekspert haruslah sesuai dengan jenis barang yang
diangkut.

Pemeriksaan ekspert dianggap tidak perlu jika

a. Nilai barang muatab yabg akan dimintakan pemeriksaan begitu kecil sehingga
tidak seimbang dengan biaya pemeriksaan
b. Pengangkut telah mengakui adanya kerusakan atau kekurangan barang yang
dilaporkan kepadanya dan siap mengganti kerugian sejumlah yang ditentukan
oleh pengadilan.

Tenggang waktu untuk memintan pemeriksaan ekspert adalah 2 x 24jam sejak


gugatan diajukan ke pengadilan. Jika dalam waktu yang sudah ditentukan
terlampaui, penerima masih diperkenankan untuk mengajukan pemeriksaan
ekspert dengan mengajukan alasan-alasan keterlambatan pengajuan
permohonan.

38
BAB VII - Perlindungan Konsumen

OLEH : MUHAMMAD SHOFFAN SHIDQI (2018320174)

Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk


melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual
diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada
konsumen.
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya
adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan
barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat
mengajukan perlindungan adalah:

 Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 ,
dan Pasal 33.
 Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
 Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
 Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif
Penyelesian Sengketa.
 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan
dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
 Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh
dinas Indag Prop/Kab/Kota.
 Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
 Lihat pula.

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen


Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan
konsumen adalah:
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan
dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan
dalam pembangunan nasional, yaitu:

39
1) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungankonsumen harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan;
2) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan
spiritual;
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan;
5) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi
pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang
berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya,
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:
1. asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan
konsumen;
2. asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
3. asas kepastian hukum.
Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga)
kelompok diatas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan,
kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum
disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan
asas efisien karena menurut Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa adalah
hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-
haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan”.
Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

40
3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan
nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan
perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai
dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila
dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk
mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara
tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan d,
serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum
terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan ini tidak berlaku mutlak, oleh
karena seperti yang dapat dilihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf
f terdapat tujuan yang harus dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perlindungan Konsumen


1. Konsumen
Konsumen secara umum adalah pihak yang mengkonsumsi suatu produk. Istilah
konsumen berasal dari bahasa asing, consumer (Inggris); dan consumenten
(Belanda). Menurut kamus hukum Dictionary of Law Complete Edition konsumen
merupakan pihak yang memakai atau menggunakan barang dan jasa, baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Az. Nasution
mengartikan konsumen adalah setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan
diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang atau
jasa lain atau memperdagangkannya kembali.
Arti konsumen di Indonesia sesuai dengan Pasal 1 angka (2) UUPK adalah:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 27 Unsur-unsur konsumen dalam
rumusan tersebut, ialah:
1) Setiap orang; Setiap orang adalah perseorangan dan tidak termasuk badan
hukum maupun pribadi hukum.

41
2) Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat; Barang dan/atau
jasa yang dimaksud dapat diperoleh di tempat umum, misalnya pasar, supermarket
dan toko.
3) Untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, atau mahluk hidup lain;
Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk keperluan
konsumen, keluarga konsumen atau orang lain.
4) Tidak untuk diperdagangkan. Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai,
dimanfaatkan tidak untuk keperluaan komersil. Ada unsur yang sangat penting dari
pengertian konsumen, yaitu tentang maksud atau tujuan dilakukan pembelian tidak
untuk dijual kembali, tetapi untuk kepentingan pribadi. Mengenai bentuk dan cara
dilakukannya perbuatan hukum atau transaksi konsumen tidak diharuskan dalam
bentuk tertentu, yang pokok adalah tujuan dilakukannya transaksi bukan untuk
bisnis, melainkan untuk kepentingan pribadi atau personal. Perolehan suatu produk
dapat dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk perbuatan. Seperti transaksi
pembelian, sewa-menyewa yang dapat dilakukan dengan cara dan bentuk yang
berbeda-beda, namun tidak untuk tujuan bisnis. Unsur tidak untuk dijual kembali,
sudah seharusnya tidak masuk dalam pengertian konsumen, karena kegiatan
pembelian untuk dijual kembali adalah kegiatan dagang atau perbuatan perniagaan.
Dalam penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK juga dikatakan, di dalam kepustakaan
ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen
akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan
konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai
bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-
undang ini adalah konsumen akhir. Jadi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan
konsumen itu hanyalah orang pemakai akhir dari suatu produk barang dan jasa.
Dalam pengertian bahwa produk yang dibelinya tersebut adalah untuk
dikonsumsinya sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan lagi. Di Amerika Serikat,
pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang bukan hanya meliputi
pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban
yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.
Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari Product Liabillity
Directive sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan hukum
Perlindungan Konsumen.
2. Pelaku Usaha
Pelaku usaha sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan
jasa. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir, leveransir dan
pengecer professional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan
barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Sifat profesional merupakan
syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggung jawaban dari produsen.
Pasal 1 ayat (3) UUPK, memberikan pengertian pelaku usaha sebagai berikut:
“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi”. Hubungan antara Konsumen dan Pelaku Usaha

42
Konsumen dan pelaku usaha merupakan subyek hukum dalam UUPK. Transaksi
antara kedua subyek hukum itu akan menentukan adanya hubungan hukum dan
menjadi syarat pokok untuk menentukan apakah suatu tuntutan atau gugatan dapat
diajukan berdasarkan UUPK atau tidak, sehingga dapat dikualifikasi sebagai
tuntutan konsumen. Sehubungan dengan hal itu, perlu dipelajari unsur-unsur dan
karakter kedua subyek hukum tersebut. Hubungan antara konsumen dan pelaku
usaha relevan dan memiliki arti penting dalam penyusunan gugatan konsumen.
Pelaku usaha akan banyak terdiri dari banyak pihak, antara lain:

 Produser(Produce )
 Importer;
 Agen (Agent )
 Kantor Cabang (Branch Office)
 Kantor Perwakilan (Representatives Office)
 Perantara (Broker)
 Pedagang (Trader)
 Dealer
 Penyalur (Distributor)
 Grosir (Wholeseller) & Pengecer (Reatiler).
sengketa konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak
memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Definisi
”sengketa konsumen” dijumpai pada Peraturan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan yaitu Surat Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10
Desember 2001, dimana yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah:
“sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi
barang atau memanfaatkan jasa.”
Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi–
pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah
satu pihak terganggu atau dilanggar.
b.      Pihak-Pihak Dalam Sengketa Konsumen
Dalam sengketa konsumen maka pihak-pihak yang bersengketa adalah konsumen
disatu pihak dan Developer (Pelaku usaha) di pihak lain. Dimana konsumen sebagai
pengguna/pemakain barang/jasa dan Developer (pelaku usaha) sebagai penyedia
barang atau jasa.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
menyediakan fasilitas penyelesaian sengketa konsumen melalui:
1)      Penyelesaian sengketa secara damai
Yang dimaksud penyelesaian secara damai adalah apabila para pihak yang
bersengketa dengan atau tanpa kuasa/pendamping memilih cara-cara damai untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Cara damai tersebut berupa perundingan secara
musyawarah dan atau mufakat antar para pihak yang bersangkutan. Biasanya
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia berperan sebagai ”mediator”. Dengan cara
penyelesaian sengketa secara damai ini, sesungguhnya ingin diusahakan bentuk
penyelesaian yang ”mudah, murah, dan (relatif) lebih cepat.”26 Dasar hukum
penyelesaian tersebut terdapat pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia (Buku Ke-III, Bab 18, pasal 1851- pasal 1858 tentang perdamaian/dading)

43
dan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor. 8 tahun 1999, pasal 45
ayat (2) jo. pasal 47.
2)      Penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang.
a)      Di luar Pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Penyelesaian di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita konsumen
(pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagaimana dimaksud pada pasal 47 ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
Konsumen yang ingin menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara di luar
pengadilan maka bisa melakukan alternative resolusi masalah ke Badab
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hal tersebut diatur dalam pasal 49 ayat
(1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 47 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen juga menegaskan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen. Dalam hal ini bentuk
jaminan yang dimaksud berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak
akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
b)      Di Pengadilan
Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan umum, apabila telah dipilih upaya penyelesaian
sengketa konsumen secara damai dan penyelesaian di luar pengadilan (melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), maka gugatan melalui pengadilan hanya
dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana di atur dalam
Undang-Undang.
Kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku di
lingkungan peradilan umum tersebut. Hal ini berarti tatacara pengajuan gugatan
dalam masalah perlindungan konsumen mengacu pada hukum acara perdata yang
berlaku.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan atau pelanggaran pelaku usaha
melalui pengadilan menurut Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen meliputi :
a)      Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b)      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c)      Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah 
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
d)     Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit.

44
Seorang konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi langsung
ke pengadilan atau diluar pengadilan melalui lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat, sedangkan gugatan yang dilakukan oleh sekelompok
konsumen, lembaga konsumen swadaya masyarakat maupun pemerintah atau
instansi yang terkait hanya dapat diajukan ke pengadilan.

KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU


APA ITU KLAUSULA BAKU ?
Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
KLAUSULA BAKU YANG DILARANG
Klausula baku yang dilarang adalah yang merugikan konsumen.Undang-undang
perlindungan konsumen menetapkan bahwa klausula baku yang dituangkan dalam
suatu dokumen/perjanjian adalah dilarang, apabila mengandung pernyataan sebagai
berikut :
1.Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
2.menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli konsumen.
3.Menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan konsumen.
4.Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk melakukan tindakan
sepihak atas barang yang dibeli secara angsuran.
5.Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli konsumen.
6.Konsumen memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
7.Konsumen tunduk kepada peraturan baru, lanjutan atau tambahan yang dibuat
secara sepihak oleh pelaku usaha.
8.Konsumen memberi kuasa kepada pelaku untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
CONTOH KLAUSA BAKU YANG MERUGIKAN KONSUMEN
Hampir 90 % dari setiap transaksi barang atau jasa memuat klausa baku.Contoh
klausa baku yang merugikan konsumen, antara lain :

a.Karcis parker
Barang yang hilang dalam kendaraan, rusaknya atau hilangnya kendaraan tidak
menjadi tanggung jawab pengelola parker.

45
b.Jasa perbankan
Bank bebas dari tanggung jawab atas kesalahan atau kecacatan, tindakan atau
kelalaian, baik oleh bank, maupun oleh pegawainya, atas koresponden, sub agen
atau pegawai mereka.
c.Kwitansi sekolah
Uang yang telah disetor ke yayasan sekolah tidak dapat ditarik kembali dengan
alasan, cara atau bentuk apapun.
d.Kredit motor
Debitur yang menunggak selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, uang muka dan
angsuran sebelumnya menjadi hangus dan motor ditarik kembali.
BAGAIMANA PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU?
Pencantuman klausula baku, baik letak maupun bentuknya, harus jelas dan mudah
dibaca.Pencantuman klausula baku, yang pengungkapannya harus mudah di
mengerti.
PENGAWASAN ATAS KLAUSULA BAKU
Pengawasan atau pencantuman klausula baku, dilakukan oleh pemerintah, Badan
penyelesaian sengketa konsumen, Lembaga perlindungan konsumen, Lembaga
Perlindungan konsumen Swadaya masyarakat dan masyarakat serta hasil temuan
dapat dilaporkan kepada Direktorat perlindungan konsumen dan atau Direktorat
pengawasan barang beredar dan jasa, untuk dilakukan tindak lanjut sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
SANKSI ATAS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen,
diancam sanksi atau pidana denda paling banyak Rp.2 milyar dan dokumen tersebut
batal demi hukum.
Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap konsumen antara
lain berupa:
1. Contractual Liability, atau pertanggungjawaban kontraktual, yaitu tanggung jawab
perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha baik barang maupun
jasa atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengonsumsi barang yang
dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikan. Artinya dalam kontraktul ini
terdapat suatu perjanjian atau kontrak langsung antara pelaku usaha dengan
konsumen.
2. Product Liability, yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung
dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan
produk yang dihasilkan.Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada
Perbuatan Melawan Hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability
antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan
hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang
timbul.

46
Jadi, product liability dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of
contract) antara pelaku usaha dengan konsumen, tanggung jawab pelaku usaha
didasarkan pada product liability atau pertanggungjawaban produk. Ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
yang dihasilkan atau diperdagangkan.
3. Criminal Liability, yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai
hubungan antara pelaku usaha dengan negara.
Dalam hal pembuktian, yang dipakai adalah pembuktian terbalik seperti yang diatur
dalam Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa
pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
yaitu kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian yang dialami konsumen merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha, tanpa menutup kemungkinan dalam
melakukan pembuktian.
Jadi, kedudukan tanggung jawab perlu diperhatikan, karena mempersoalkan
kepentingan konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya
dibebani tanggung jawab dan sampai batas mana pertanggungjawaban itu
dibebankan kepadanya. Tanggung jawab atas suatu barang dan/atau jasa yang
diproduksi oleh perusahaan atau industri, dalam pengertian yuridis lazim disebut
sebagai product liability.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional
adalah adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan
perlindungan konsumen.
BPKN mempunyai tugas

 memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka


penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;
 melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
 melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
 mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
 menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen
dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
 menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau Pelaku Usaha; dan
Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen

Syarat umum menjadi anggota BPSK


a. warga negara Indonesia;
b. berbadan sehat;

47
c. berkelakuan baik;
d. tidak pemah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan
f. konsurnen;
g. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
h. 2. Syarat khusus
i. Diutamakan bertempat tinggal di daerah kotaikabupaten setempat;
j. Diutamakan berpendidikan serendah-rendahnya Strata I (satu) atau
k. sederajat dari lembaga pendidikan yang telah diakreditasi oleh
l. Departemen Pendidikan Nasional.
m. Berpengalaman atau berpengetahuan di bidang industri, perdagangan,
n. kesehatan, pertambangan, pertanian, perhubungan dan keuangan.
o. Anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah serendahrendahnya
berpangkat Pembina atau golongan IV/a dan;
p. Anggota BPSK dari unSUf konsurnen tidak berasal dari kantor cabang
q. atau perwakilan LPKSM.
r. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh
Menteri Perindustrian Republik Indonesia.
Pendanaan pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD), hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 90 Keputusan Presiden
Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


(PP) NOMOR 59 TAHUN 2001
TENTANG LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
BAB III
TUGAS LPKSM

Pasal 3
Tugas LPKSM meliputi kegiatan :
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa; memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan; melakukan kerja
sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan
atau pengaduan konsumen; melakukan pengawasan bersama pemerintah dan
masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Pasal 4

48
Penyebaran informasi yang dilakukan oleh LPKSM, meliputi penyebarluasan
berbagai pengetahuan mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen.
Pasal 5
Pemberian nasihat kepada konsumen yang memerlukan dilaksanakan oleh LPKSM
secara lisan atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.
Pasal 6
Pelaksanaan kerjasama LPKSM dengan instansi terkait meliputi pertukaran
informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau
jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen.
Pasal 7
Dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat
melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan
haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok.
Pasal 8
Pengawasan perlindungan konsumen oleh LPKSM bersama Pemerintah dan
masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara
penelitian, pengujian dan/atau survei.
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, LPKSM dapat
bekerjasama dengan organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional
maupun internasional.
LPKSM melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
setiap tahun.

49
BAB IX - Aspek Pajak Dalam Kegiatan Bisnis
Oleh : Arfan Rahmatillah (2018320149)

A. Gambaran Umum tentang pajak


Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke kantoe publik
berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat
imbalan (tegenpresratie) yang secara langsung dapat ditunjukan, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang digunakan sebagai alat
pendorong, penghambat atau mencegah untuk mencapai tujuan yang ada
diluar bidang keuangan negara (Rochmat Soemitro, 1992:1

Beberapa unsur yang ada dalam pajak, yaitu sebagai berikut


1. Pajak harus berdasarkan Undang-Undang
Ada beberapa teori yang umumnya sudah dikemukakan oleh para sarjana.
a. Teori Asuransi
b. Teori Kepentingan
c. Teori Gaya Pikul
d. Teori Bakti
e. Teori Asas Daya Beli
2. Pajak tidak mendapat imbalan langsung
3. Pajak mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai berikut.
a. Fungsi Budgeter
b. Fungsi Mengatur
1. Pengelompokan Pajak
a. Menurut golongannya
1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain
2. Pajak tidak langsung
b. Menurut sifatnya
1. Pajak subjektif , yaitu jenis pajak yang didasarkan pada subjeknya
atau wajib pajaknya.
2. Pajak Objektif , yaitu jenis pajak yang didasarkan pada objeknya,
tanpa memerhatikan subjeknya.
c. Menurut lembaga pemungutannya
1. Pajak pusat, Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
2. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
2. Sistem pemungutan pajak
a. Official Assesment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang
memeberikan wewenang kepada fiskus pajak (pemungut pajak) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang (yang harus dibayar) oleh
wajib pajak.
b. Self Assessment System, yaitu sistem yang memberikan wewenang
penuh kepada wajib pajak untuk menentukan atau menghitung sendiri
besarnya pajak yang akan dibayar.

50
c. With Holding System, yaitu sistem yang memberikan wewenang penuh
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan wajib pajak) untuk menentukan
atau menghitung besarnya pajak yang akan dibayar oleh wajib pajak

3. Tarif Pajak
Para sarjana di bidang perpajakan mengemukakan ada empat macam tarif
pajak, yaitu sebagai berikut.
a. a. Tarif Sepadan/Sebanding/Proporsional Tarif sebanding ini
maksudnya tarif yang ditetapkan kepada objek pajak bersifat tetap
terhadap berapa pun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya
pajak yang terutang sebanding terhadap besarnya nilai yang dikenai
pajak.
b. b. Tarif tetap, yaitu suatu tarif pajak yang besarnya tetap tidak
tergantung pada lapisan penghasilan kena pajak
c. c. Tarif Progresif Persentase tarif yang digunakan dengan tarif
progresif ini ada- lah suatu tarifakan semakin besar bila jumlah yang
dikenakan pajak semakin besar.
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif terdiri dari sebagai berikut.
1) Tanif progresif, yaitu jika kenaikan persentase semakin besar sebagaimana diatur
oleh Pasal 17 PPh di atas.
2) Tanif progresif tetap, yaitu kenaikan persentase tarif pa- jak naik dalam jumlah
tertentu untuk setiap kenaikan penghasilan kena pajak dalam jumlah tertentu
3) Tarif progresif degresif, yaitu jika kenaikan persentase pengenaan tarif pajak
menurun dalam jumlah tertentu untuk setiap kenaikan penghasilan kena pajak dalam
jumlah tertentu.
4)Tarif Degresif, presentase tarif pajak yang digunakan semakin kecil bila jumlah
lapisan penghasilan kena pajak semakin besa
B. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam UU 16 Tahun 2000
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam undang-undang ini, yang pertama perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan
dengan wajib pajak adalah orang pri- badi atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. (Pasal 1 huruf
1 UU No. 16 Tahun 2000)
Dengan demikian, ada dua jenis wajib pajak, yaitu :
1. Orang perorangan
2. Badan

51
1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpaiakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewaijitan
perpaiekan. Fungsi NPWP adalah
a sebagai sarana administrasi perpajakan
b sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak
c untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan.
Surat pemberitahuan yang dimaksudkan ada dua jenis, yaitu sebagai berikut
a. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat pemberitahuan untak suatu masa pajak
dengan batas penyampaian paline
b. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun
pajak atau bagian tahun pajak, dengan batas penyampaian paling lama tiga bulan
setelah akhir tahun pajak.
Dalam kaitannya dengan batas penyampaian surat pemberitahuan, maka
yang dimaksud dengan:
a. masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan
takwin atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Kepatusan Menteri Keuangan
paling lama tiga bulan takwin
b. tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwin, kecuali takwin; bila wajb
pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim
c. bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.
2. Surat Pemberitahuan
Setiap wajib pajak wajib mengisi surat pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan huruf latin, angka arab, satuan uang rupiah, dan menandatangani
serta menyampaikannya ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak
terdaftar atau dikukuhkan
3. Surat Setoran Pajak
Surat Setoran pajak adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untak
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang zerutang iz kar negara melalui
kantor pos atau bank badan usaha milik negara atau bank hadan usaha milik daerah
atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dengan demikian, Surat Setoran Pajak berfungsi sebagai: (a) sarana antuk
membayar pajak; dan (b) bukti dan laporan pembayaran pajak
Pajak yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak dapat dibayar oleh wajib
pajak pada tempat-tempat penyetoran pajak, yaitu:

52
a. kantor pos
b bank atau
c badan usaha milik negara;
d. bank badan usaha milik daerah; atau
e tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
4 Surat Ketetapan Pajak
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan
pajak kurang bayar atau surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan atau surat
ketetapan pajak lebih bayar atau surat ketetapan pajak
5 Surat Tagihan Pajak
Surat tagihan pajak adalah surat untuk melakukan kegiatan pajak atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/ atau denda
C. Pajak Penghasilan
Setelah mengalami perubahan, ketentuan Pajak Penghasilan sekarang diatur
dalam UU No. 17 Tahun 2000. Undang-undang ini tetap berpegang pada prinsip
perpajakan yang secara universal, yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi
dan produktivitas penerimaan negara dan tetap mempertahankan sistem self
assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang
Pajak Penghasilan adalah:
1. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak
2. lebih memberikan kemudahan kepada wajib pajak
3. menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi
langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal
dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang
mendapat prioritas
1. Subjek Pajak
Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000, yang menjadi
subjek pajak adalah:
A orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak;
b. badan
c. bentuk usaha tetap.
Subjek pajak tersebut terdiri dari:
a. subjek pajak dalam negeri; dan
b. subjek pajak luar negeri.

53
Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada
di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mem- punyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, meng- gantikan yang berhak.
2. Objek Pajak
Penghasilan, yang merupakan objek pajak, adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk:
a penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah tun- jangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan peng hargaan
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada persero- c. d. an, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pe- megang saham, sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuiditas, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
de- rajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3. Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Tarif Pajak Penghasilan
Dari objek pajak di atas ditentukan besarnya penghasilan yang tidak kena
pajak antara lain:
a. Rp2.880.000,00 untuk diri wajib pajak orang pribadi;
b. Rp1.440.000,00 tambahan untuk wajib pajak yang kawin;

54
c. Rp2.880.000,00 tambahan untuk seorang istri yang peng- hasilannya digabung
dengan penghasilan suami;
d. Rp1.440.000,00 tambahan untuk setiap anggota sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga.
D. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah
Jenis pajak yang kedua yang amat penting dalam dunia bisnis adalah Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Pen- jualan Atas Barang Mewah
Barang, dalam UU No. 18 Tahun 2000 tambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, adalah barang berwujud, yang menurut sifat
atau hukum- nya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan
barang tidak berwujud.
Sementara itu, jasa adalah setiap kegiatan pelayanan ber- dasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebab- kan suatu barang atau fasilitas
atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
jasa petunjuk dan pemesan.
Dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, dikenal ada dua jenis pajak yaitu sebagai berikut.
1. Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang se- harusnya sudah dibayar
oleh pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak dan atau
penerimaan jasa kena pajak dan/atau pemanfaatan barang kena pajak tidak
berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar
daerah pabean dan atau impor barang kena pajak
2. Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
olch pengusaha kena pajak yang me- lakukan penyerahan barang kena pajak,
penyerahan jasa kena pajak atau ekspor barang kena pajak
1. Objek Pajak
Objek pajak atau barang sesuatu yang dikenakan Pajak Per- tambahan Nilai,
adalah sebagai berikut
a Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha Hal-hal yang termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak
adalah
1) penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu peranjian janjian sewa beli
dan perjanjian leasing; rantara atau melalui juru lelang:
2) pengalihan barang kena pajak oleh karena suatu pe janjian sewa beli dan
perjanjian leasing; rantara atau melalui juru lelang:
3) penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru
lelang

55
4) pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas barang kena pajak
2. Tarif Pajak
Pasal 8 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2000 menentukan bahwa tarif Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10 % dan paling tinggi 75 %
E. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang selanjutnya disebut pajak.
(Pasal 1 huruf 1 UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan).
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh orang pribadi atau bangunan
Sementara itu, hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah,
termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UUNo.
16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
F. Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah suatu jenis pajak yang dikenakan atas
bumi (tanah) dan bangunan baik atas hak milik hak guna bangunan, hak pakai dan
hak-hak atas rumah susun. Oleh karena itu, kalangan pelaku bisnis Pajak Bumi dan
Bangunan ini sangat perlu mengetahui dan memantau ketentuan-ketentuan yang
mengatumya agar mereka dapat mengantisipasi terus kegia tan bisnisnya sehari-
hari.
Objek pajak yang dikenakan dan yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan
Bangunan adalah sama dengan objek pajak yang dikena Bangunan. kan dan yang
tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan.

56
BAB X - Alternative Dispute Resolution dalam Sengketa Bisnis
Oleh : Muhammad Al Fattah Gemilang Putra (2018320147)

Alternative dipute resolution yang di dalam bahasa indonesia disebut


penyelesaian sengketa alternatif terdiri dari tiga buah kata jadian, yaitu
“penyelesaian”, “sengketa” dan “alternatif”. kata perselisihan berasal dari kata dasar
“selisih” yang mendapatkan awalan “per” dan akhirab”an”. secara etimologis, kata
“selisih” berati “beda”, sedangkan “perselisihan” berati: pertentangan, perbantahan,
percekcokan. Istilah perselisihan sering juga disebut “perkara” atau “sengketa” atau
persengketaan yang juga berati “pertentangan” (Badudu Zain, 1994: 233).
Dalam bahasa inggris, kata-kata sengketa, percekcokan, pertentangan sama
dengan “conflict” atau “disagrement” atau “dispute” (John M. Echols dan Hasan
Shadily,1996: 138). kata conflict dalam bahsa Inggris tersebut kemudian diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”.
Ronny Hanitijo Soemitro (1990: 36), menulis bahwa yang dimaksudkan dengan
konflik adalah:
“situasi (keadaan) di mana dua orang atau lebih pihak-pihak memperjuangkan
tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan di mana
tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran
tujuannya sendiri masing-masing” (Schuyt,1983: 55)
Dari pengertian konflik di atas, maka dapat ditarik unsur dari konflik atau
perselisihan adalah sebagai berikut:
1. Adanya beberapa pihak (dua orang atau lebih);
2. Para pihak tersebut mempunyai tujuan yang tidak dapat di persatukan; dan
3. Masing-masing saling meyakinkan akan kebenaran tujuannya sendiri.
M, Huseiyn Umar (1996 : 1), pada dasarnya mengelompokkan penyelesaian
atau konflik itu ke dalam: (1) penyelesaian melalui pengadilan, dan (2) penyelesaian
tidak melalui pengadilan.
Penyelesaian yang tidak melalui pengadilan inilah yang oleh berbagai
kalangan/sarjan disebut sebagai “Alternative Dispute Resolution (ADR)” atau
penyelesaian sengketa alternatif. Cara penyelesaian melalui ADR akhir-akhir ini
mendapat perhatian berbagai kalangan terutama dalam dunia bisnis, sebagai cara
penyelesaian perselisihan yang perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan
melalui pengadilan.
Dasar hukum penyelesaian sengketa di Indonesia, pada tahun 1999 dikeluarkan
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-undang ini mencabut ketentua pasal 615 Reglement Acara Perdata
(Reglement of de Rechtsvodering, Stb. 1974 no.52), pasal 377 Reglement Indonesia
yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Stb. 1941 No.44) dan
pasal 705 reglement acara untuk luar Jawa dan Madura (Reglemen Buitengewesten,
Stb. 1927 No.227.

57
Secara umum alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang dikehendaki para pihak, yakni dapat
dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan
arbitrase. (Pasal 1 huruf 1 UU No. 30 Tahun 1999)
1. Konsultasi
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak ditemukan rumusan atau
penjelasan mengenai arti dari konsultasi. Namun demikian, kondultsdi pada
prinsipnya merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak
tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan konsultan
yang memberikan pendapat kepada klien untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan
kliean tersebut. Tidak ada satu rumusan yang menyatakan sifat keterikatan atau
kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak
konsultan (Gunawan Widjaya, 2002: 86).
2. Negosiasi
Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian
sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Di sini
para pihak berhadapan langsung secara saksama dalam mendiskusikan
permasalahan yang mereka hadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka (Joni
Emerzon, 2000: 44).
3. Mediasi
Mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan
bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari bentuk penyelesaian yang
dapat disepakati para pihak (Supato Wijoyo, 1999: 99)
4. Konsiliasi
Sebenarnya antara konsiliasi dengan mediasi tidak ada perbedaan prinsip,
karena dalam kepustakaan konsiliasi pun didefinisikan sebagai upaya penyelesaian
sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga netral untuk
membantu para pihak yang bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk
penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Namun menurut Suparto Wijoyo
(1999: 104) perbedaan antara konsiliasi dengan mediasi bahwa pada konsiliasi
seorang konsiliator dalam proses konsiliasi hanyalah memainkan peran pasif,
sedangkan pada mediasi-mediator memainkan peran aktif dalam membantu
para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka.
5. Penilaian ahli
Penilaian ahli adalah salah satu pola yang dapat digunakan dalam
menyelesaikan sengketa perdata. Ahli adalah pihak ketiga yang memiliki
pengetahuan tentang ruang lingkup sengketa yang memiliki pengetahuan tentang
ruang lingkup sengketa yang dihadapi para pihak atau oleh salah satu pihak. Di sini
para pihak yang bersengketa atau salah satu pihak yang terlibat sengketa pada
umumnya mendatangi ahli untuk meminta pendapat, petunjuk dan pertimbangan
untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi.

58
6. Arbitrase
Pasal 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Umum, arbitase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Di samping penggolongan penyelesaian sengketa di atas, ada pula dua bentuk
alternatif penyelesaiannya yang mirip dengan arbitrase, sebagai berikut: (Sudiarto
dan Zaeni Asyhadie,2004 : 23)
1. Mini - Trial. Bentuk ini dalam bahasa Indonesia dapat di sebut “peradilan mini”
yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan dalam sengketa-sengketa besar.
Para pihak yang bersengketa mengadakan dan membentuk cara-cara hearing.
Sedangkan ahli-ahli hukum mengajukan argumen-argumen hukumnya pada suatu
panel yang khusus dalam rangka mini trial ini, yang keangotaannya terdiri dari
eksekutif-eksekutif bonafit dari pihak yang bersengketa dan diketuai oleh
seseorang yang netral.
2. Med - Arb. Bentuk ini merupakan kombinasi antara bentuk mediasi dan
arbitrase. Di sini seorang yang netral diberi wewenang untuk mengadakan
mediasi. Namun demikian, dia pun tidak mempunyai wewenang untuk memutus
setiap isu yang tidak diselesaikan oleh para pihak.
Namun demikian, yang menjadi bahan kajian selanjutnya akan terfokus kepada
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase, baik sebagai alternatif penyelesaian
sengketa umum maupun penyelesaian sengketa bisnis. Perbedaan antara
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 10.1
Perbedaan Antara
Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase

NEGOSIASI KONSILIASI MEDIASI ARBITRASE

Para pihak secara sukarela berkehendak menyelesaikan sengketa

Yang memutus sengketa para pihak Yang memutus


sengketa arbiter
yang disepakati
para pihak.

Tidak ada pihak Keterlibatan Keterlibatan Keterlibatan


ketiga pihak ketiga pihak ketiga pihak ketiga
dikehendaki oleh dikehendaki dikehendaki
para pihak sebagai sebagai pemutus
penengah karena masalah yang
keahliannya di dipilih memang
bidang yang ahli dalam bidang
diselenggarakan yang

59
bersangkutan

Aturan pembuktian tidak ada Ada aturan


pembuktian yang
sifatnya formal

A. Negosiasi
Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian
sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan untuk mencapai
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif (Joni
Emirzon, 2000: 44). Gary Goothaster (dalam Agnes M. Toar, 1995: 11), menyatakan
bahwa negosiasi merupakan proses konsensus yang digunakan para pihak untuk
memperoleh kesepakatan di antara mereka.
Munir Fuady (2003 : 43 - 44) mengemukakan ada dua macam negosiasi, yaitu
negosiasi kepentingan dan negosiasi hak.
1. Negosiasi Kepentingan (interes negotiation) merupakan negosiasi yang
sebelum bernegosiasi sama sekali para pihak tidak ada hak apapun dari satu
pihak kepada pihak lain. Akan tetapi, mereka bernegosiasi karena masing-
masing pihak ada kepentingan untuk melakukan negosiasi tersebut. Misalnya
negosiasi terhadap harga, waktu pembayaran, dan lain-lain.
2. Negosiasi Hak.
Sebaliknya dalam negosiasi hak (right nrgotiation), sebelum para pihak
bernegosiasi, antara para pihak sudah terlebih dahulu punya hubungan hukum
tertentu, sehingga antara para pihak tersebut timbul hak-hak tertentu yang dijamin
pemenuhannya oleh hukum. Kemudian para pihak bernegosiasi agar hak-hak
tersebut dapat dipenuhi olrh pihak lawan. Jadi bedanya dengan negosiasi
kepentingan, di mana negosiasi tersebut dimasksudkan untuk menciptakan
hubungan hukum tertentu, tetapi dalam nrgosiasi hak, hubungan hukum tersebut
justru sudah ada sebelum negosiasi dilakukan.
1. Tahap-tahap dalam Negosiasi
Dalam penyelesaian sengketa atau dalam hubungan hukum tertentu, untuk
melaksanakan negosiasi tentunya mempunyai tahap-tahap untuk tercapainya suatu
kesepakatan guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Howard Raiffia
(Dalam Suyud Margono, 2000: 52 - 54) dalam pengamatannya membagi tahap-
tahap negosiasi menjadi:
a. Tahap Persiapan
b. Tahap tawaran awal (opening gambit)
c. Tahap pemberian konsesi.
d. Tahap akhir permainan (End Play)

60
Keempat tahap negosiasi di atas akan diuraikan secara singkat sebagai berikut.
a. Tahap Persiapan
Dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang perlu dipersiapkan
adalah apa yang kita butuhkan atau inginkan. Dengan kata lain, kenali dulu
kepentingan kita sebelum mengenali kepentingan orang lain (lawan).
Tahap ini sering kali diistilahkan dengan know yourself. Dalam tahap persiapan
kita juga perlu menelusuri alternatif lainnya apabila alternatif terbaik atau maksimal
tidak tercapai.
Hal kedua adalah know your adversaries. Di sini kita perlu memperkirakan
tentang kepentingan dan kebutuhan mereka atau orang lain. Tindakan selanjutnya
adalah merencanakan hal yang berkaitan dengan negoting convention, seperti
strategi tentang seberapa terbukanya informasi yang dapat kita berikan dan
seberapa jauh kita harus memercayai “perunding” lawan. Dalam tahap persiapan
kita harus menentukan hal-hal yang bersifat logistik, seperti siapa yang harus
bertindak sebagai perunding, perlukah menyewa perunding yang memiliki
keterampilan khusus, dan di mana perundingan itu harus dilakukan. Apabila
perundingan bersifat internasional, bahasa apa yang akan digunakan serta siapa
yang harus bertanggung jawab menyediakan penerjemah.
b. Tahap Tawaran Awal (Opening Gambit)
Dalam tahap tawaran awal biasanya seorang perunding mempersiapkan strategi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pertanyaan: siapakah yang harus terlebih
dahulu menyampaikan tawaran. Apabila kita menyampaikan tawaran awal dan
perunding lawan tidak siap, terdapat kemungkinan tawaran pembuka kita
memengaruhi persepsi tentang reservation price dari perunding lawan. Dalam tahap
ini disarankan agar kita mengunci diri dan merasa “buntu” terhadap tawaran
perunding lawan yang sifatnya ekstrim. Strategi yang baik bila menghadapi tawaran
ekstrim adalah menghentikan negosiasi sampai mereka memodifikasi tawaran atau
segera melakukan kontra tawaran (counteroffer) dengan mengajukan tawaran yang
kita miliki.
Apabila terdapat dua tawaran yang diajukan dalam perundingan, biasanya
diperlukan “midpoint” (titik di antara dua tawaran) merupakan solusi atau
kesepakatan. Agar tercapai solusi yang memuaskan, sebelum midpoint dijadikan
kesepakatan hendaknya kita bandingkan dengan level aspiration kita.
c. Tahap Pemberian Konsesi
Kosesi yang harus dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi
yang diberikan oleh perunding lawan. Dalam tahap ini seorang perunding harus
dengan tepat melakukan kalkulasi tentang agresivitas serta harus bersikap
manipulatif. Agresivitas kita sangat tergantung atas berbagai faktor, seperti seberapa
jauh kita menjaga hubungan baik dengan perunding lawan, empati kita terhadap
kebutuhan lawan, dan fairness. dalam hal ini yang lebih penting adalah kemampuan
negosiator memainkan peran dalam konsesi dan menjaga penawaran sampai pada
tingkat yang diinginkan.
d. Tahap Akhir Permainan (End Play)

61
Tahap akhir permainan adalah pembuatan komitmen atau memberikan
komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya.
2. Teknik Negosiasi
Teknik negosiasi berikut ini merupakan jenis negosiasi yang dikenal dalam
masyarakat. (Suyud Margono, 2000: 49 - 51)
a. Teknik Negosiasi Kompetitif
Teknik negosiasi kompetitif diistilahkan sebagai negosiasi yang bersifat alot.
Unsur-unsur yang menjadi ciri negosiasi kompetitif adalah sebagai berikut:
1) Mengajukan permintaan awal yang tinggi di awal negosiasi.
2) Menjaga tuntutan agar tetap tinggi, sepanjang proses negosiasi
dilangsungkan.
3) Konsesi yang diberikan sangat langka atau terbatas.
4) Secara psikologis, perunding yang menggunakan teknik ini menganggap
perunding lain sebagai musuh atau lawan.
Jadi dalam teknik ini akan muncul tawar menawar yang ketat, proporsional,
kalah dan menang, sehingga akibatnya salah satu pihak akan mendapatkan
semuanya dan pihak lain akan kehilangan semuanya.
b. Tenik Negosiasi Kooperatif
Teknik negosiasi koopertif menganggap pihak negosiator lawan (opposing party)
bukan sebagai musuh, melainkan sebagai mitra kerja untuk mencari commond
ground. Para pihak berkomunikasi untuk mejajagi kepentingan, nilai-nilai bersama,
dan berkerha sama. Hal yang dituju oleh seorang negosiator adalah penyelesaian
sengketa yang adil berdasarkan analisis yang objektif dan atas fakta hukum yang
jelas.
c. Teknik Negosiasi Lunak - Keras
Teknik negosiasi lunak menempatkan pentingnya hubungan baik para pihak.
Teknik ini menekankan pada corak negosiasi yang mengandung risiko lahirnya
kesepakatan yang bersifat semu sehingga menghasilkan pola “menang-kalah”.
penggunaan teknik ini mengandung risiko jika perunding lunak menghadapi
seseorang yang menggunaka teknik keras (hard). perunding keras dalam
menghadapi perunding-perunding lunak akan bersifat sangat dominan. Perunding
keras satu pihak akanakan berusaha memberikan konsesi untuk sekadar mencegah
konfrontasi dan bersikeras untuk mencapai kesepakatan. Proses negosiasi seperti
ini akan menguntungkan perunding yang bersifat keras serta menghasilkan
kesepakatan yang berpola menang atau kalah.
Tabel 10.2
Perbedaan Antara
Teknik Negosiasi Lunak dan Keras

62
SOFT (LUNAK) HARD (KERAS)

1. Negosiator adalah teman 1. Negosiator dipandang


sebagai musuh atau
lawan
2. Tujuan perundingan adalah
2. Tujuan untuk kemenangan
kesepakatan
3. Memberi konsesi untuk
menjaga hubungan baik 3. Menuntut konsesi sebagai
prasyarat dari pembina
4. Memercayai perunding hubungan.
lawan.
4. Keras terhadap orang
5. Mudah mengubah posisi maupun masalah
5. Tidak percaya perundingan
6. Mengemukakan tawaran lawan dan memperkuat
posisi.
7. Mengalah untuk mencapai
kesepakatan 6. Membuat ancaman

8. Mencari satu jawaban yang 7. Menuntut perolehan sepihak


dapat diterima secara sebagai harga kesepakatan
menyenangkan oleh pihak (win-lose)
lawan
8. Mencari jawaban yang
9. Bersikeras terhadap harus di tentang oleh lawan
perlunya kesepakatan
10. Mencegah untuk berlomba 9. Bersikeras terhadap posisi
kehendak (contet of will)
11. Menerima untuk ditekan
10. Sedapat mungkin
memenangkan keinginan
11. Menerapkan tekanan

d. Teknik interest based negotiation


Sebagai tanggapan atas kategori keras lunak, Harvard Project mengembangkan
suatu teknik yang disebut interest based negotiaton. Teknik ini dipilih karena
pemilihan teknik keras lunak. Teknik ini dipilih karena pemilihan teknik keras
berpotensi menemui kebuntuan dalam negosiasi, terlebih apabila bertemu dengan
sesama perunding yang bersifat keras, sedangkan perunding lunak berpotensi
sebagai pecundang (loser). potensi risiko lain adalah kesepakatan yang dicapai (bila
ada) bersifat semu sehingga sangat mungkin salah satu pihak di kemudian hari
menyadari ketidakwajarandalam proses negiosiasi dan tiidak mau melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati.

63
3. Modal dan Model Negosiasi
a. Modal Negosiasi
Menurut para pakar di bidang ilmu sosial, seperti French dan Rove, Baldrige dan
Kanter (dalam Mufid A. Busyairi (1997) dikenal beberapa sumber kekuatan dalam
melakukan negosiasi, yaitu:
1) Otoritas
2) Informasi dan keahlian
3) Kontrol terhadap perhargaan
4) Kekuatan memaksa dengan kekerasan
5) Aliansi dan jaringan
6) Akses terhadap dan kontrol kepada agenda
7) Mengendalikan tujuan dan simbol
8) Kekuatan personal
Di samping modal atau sumber kekuatan di atas (sebelum menetapkan
perunding/negosiator, tempat dan waktu perndingan) pendekatan dan target
keberhasilan merupakan modal yang tak kalah perntngnya.
Strategi dan teknik negosiasi yang telah dirancang dengan baik memenuhi
prinsip bernegosiaso juga merupakan modal yang dapat menemtukan keberhasilan
negosiator. Strategi yang dimaksudkan adalah:
1) Negosiator harus tahu persis target yang ingin dicapai
2) Negosiator harus memiliki kewenangan untuk melakukan negosiasi
3) Negosiator harus mendalami masalah-masalah yang dirundingkan
dengan baik
4) Negosiator harus mengenal mitra rundingnya drngan baik
5) Negosiator harud memahami hal-hal yang prinsip dan mana yang tidak
prinsip
b. Model Pendekatan Negosiasi
Dari banyak kasus yang pernah terjadi menunjukkan adanya dua pendekatan
negosiasi, yaitu:

1) Model Pendekatan Kooperatif


Model pendekatan ini sering disebut sebagai model pemecahan masalh
secara bersama, yaitu “menang sama menang”. menurut Scoomaker yang
dikutip Mufid A. Busyairi (1997), negosiasi menang-menang layak dilakukan jika

64
masalah yang dinegosiasikan menyangkut kepentingan bersama
antarpihakyang melakukan negosiasi, dan terdapat hubungan yang saling
memercayai. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan dengan pendekatan
menang-menang adalah:
a) Memastikan bahwa pihak lain juga memilih model pendekatan menang-
menang (bukan mau menang sendiri).
b) Mengenai masalah yang dihadapi (dan tidak akan membahas pemecahan
masalah sebelum mengenal masalah).
c) Mengenai masalah yang berpotensi mempunyai pemecahan yang
menghasilkan menang-menang.
d) Saling membagi informasi.
e) Memberi tanda-tanda positif kepada pihak lain seperti memberi hadiah-
hadiah.
f) Menghinfari sikap bertahan dan memberikan persetujuan juka iklimnya
sesuai.
g) Menghindari sedapat mungkin pendekatan lagalistik.
Negosiasi menang-menang adalah merupakan model negosiasi yang lebih
besar peluang keberhasilannya bila dibandingkan dengan negosiasi menang-
kalah. Kemenangan yang diperoleh adalah kemenangan bersama yang tidak
berdasar pada posisi masing-masing pihak.
2) Model Pendekatan Komperatif (menang - kalah)
Untuk memenangkan model menang-kalah ditempuh empat langkah, yaitu :
a) Menjelaskan kommitmen kita secara tegas tentang apa yang diinginkan.
b) Menunjukkan akibat-akibat yang akan terjadi jika keinginan tersebut tidak
tercapai.
c) Menghadang lawan untuk mencapai keinginannya.
d) Menunjukkan jalan keluar yang bisa menyelamatkan “muka” lawan dengan
menawarkan konsesi penghibur.
B. Mediasi dan Konsiliasi
Antara mediasi dan konsiliasi sering kali dipersamakan,terutama menyangkut
prosedur dan tata cara penyelesaian sengketa meskipun pihak yang
menyelesaikannya berbeda antara satu yang lainnya. Yang memimpin mediasi
disebut mediator, sedangkan yang memimpin konsiliasi disebut konsiliator.
Sesungguhnya mediator adalah pihak luar yang tidak memihak, atau pihak yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, membantu para pihak untuk
menyelesaikan perselisihannya,dan dapat memberikan anjuran penyelesaian.

65
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang
tidak memihak (impartial) dan netral bekerja demgan pihak yang bersengketa untuk
membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.
Penyelesaian sengketa melalui sistem mediasi pada akhir-akhir ini banyak
diperbincangkan oleh orang yang ingin menyelesaikan sengketanya dengan cepat.
Hal ini disebabkan karena alasan-alasan berikut.
1. Proses penyelesaian sengketa relatif cepat (quick)
2. Biaya murah (inexpansive)
3. Bersifat rahasia (confidential)
4. Penyelesaian bersifat fair melalui kompromi
Penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara:
a. Informal
b. Fleksibel
c. Memberi kebebasan penuh kepada para pihak untuk mengajukan
proposal yang dikehendaki
5. Hubungan kooperatif
6. Sama-sama menang (win-win)
7. Tidak emosional

1. Penunjukan dan Pengangkatan Mediator dan Konsiliator


Penunjukan mediator ataupun konsiliator dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu:
a. Kehendak sendiri/mencalonkan diri
b. Ditunjuk oleh penguasa (misalnya oleh wakil dari para pihak yang
berselisih)
c. Diminta oleh para pihak
d. Terdorong keinginan membantu teman
e. Ada aturan yang menugaskannya Untuk memperoleh akreditasi, lembaga
tersebut harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Mengajukan permohonan kepada ketua mahkamah agung republik
indonesia;
b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki serifikat telah mengikuti
pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau
pelatihan mediasi;

66
c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi;
d. Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan
yang disahkan oleh mahkamah agung republik indonesia
Para pihak yang mengajukan perkara ke pengadilan negeri berhak memilih
mediator di antara pilihan-pilihan berikut:
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan
b. Advokat atau akademisi hukum
c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa
d. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau
gabungan antara butir c dan d.

2. Cara Kerja Mediator dan Konsiliator dalam Penyelesaian Sengketa


Bisnis
Ciri-ciri antara mediasi dan konsiliasi adalah merupakan cara penyelesaian
sengketa dimana para pihak secara sukarela mencari penyelesaian dengan jalan
merundingkan suatu kesepakatan tentang penyelesaian yeng mengikat dengan
bantuan pihak ketiga yang tidak berpihak.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No.01 Tahun 2008 tahap-tahap proses
mediasi adalah sebagai berikut:
a. Dalam waktu paling lama lima hari kerja setelah para pihak menunjuk
mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan
resume pekara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
b. Proses mediasi berlangsung paling lama empat puluh hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim.
c. Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan pernjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
d. Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu
pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-
turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan
mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak
menghadiri pertemuan mediasi tanpa setelah dipanggil secara patut.
e. Sebaliknya jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak
mediator.

67
f. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim
untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
g. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa
dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta
kekayaan atau kepentingan yang berkaitan dengan pihak lain (pihak
ketiga) yang tidak disebutkan dalam surat gugatan.
h. Dalam melaksanakan mediasi di pengadilan atau di luar pengadilan,
mediator berkewajiban:
1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi
kepada para pihak untuk dibahas dan di sepakati.
2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan
dalam proses mediasi.
3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus
4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang
terbaik bagi para pihak.
Sebaliknya jika mediator menghasilkan kesepakatan, maka para pihak dengan
bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang di tanda
tangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut harus memuat:
a. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
b. Nama lengkap dan tempat tinggal mediator;
c. Uraian singkat masalah yang di sengketakan;
d. Pendirian para pihak;
e. Pertimbangan dan kesimpulan dari mediator;
f. Pernyataan kesediaan untuk melaksanakan kesepakatan;
g. Pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak
bersedia menaggung semua biaya mediasi (bila mediator berasal dari
luar pengadilan);
h. Larangan pengungkapan dan atau pernyataan yang menyinggung atau
menyerang pribadi;
i. Kehadiran pengamat atau tenaga ahli (bila ada);
j. Larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan;
k. Tempat para pihak melaksanakan perundingan (kesepakatan);
l. Batas waktu pelaksanaan kesepakatan; dan
m. Klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara sudah selesai,

68
C. Arbitrase
Perkataan arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berati
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya
arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah pengertian tentang
arbitrase, karena dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu
majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan norma-
norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya pada
kebijaksanaan. Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau majelis tersebut juga
meneraplan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan.
1. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
Dalam dunia bisnis tentunya banyak pertimbangan yang mendasari mereka
untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau
mereka hadapi. Namun demikian, kadangkala pertimbangan mereka itu,berbeda jika
ditinjau secara teoretis, maupun dilihat secara empiris atau kenyataan di lapangan.
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Ketidakpercayaan para pihak pada pengadilan negeri
b. Prosesnya cepat
c. Dilakukan secara rahasia
d. Bebas memilih arbiter
e. Diselesaikan oleh ahlinya (expert)
f. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding)
g. Biaya lebih murah
h. Bebas memilih hukum yang diberlakukan
2. Lembaga Arbitrase
Ciri dari lembaga arbitrase intitusional yaitu:
a. Arbitrase intitusional sengaja didirikan untuk bersifat permanen/selamanya.
b. Arbitrase intitusional sudah ada
c. Karena bersifat permanen

Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional maupun internasional yang


dikenal adalah:
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).

69
c. The International Centre for Settlement of Invesment Disputes (ICSID).
d. The Court of Arbitrasetion if The International Chamber of Commerce
(ICC).
3. Ruang Lingkup Arbitrase
Ruang lingkup arbitrase menurut UU No.30 tahun 1999, kalau dilihat dari
pengertian arbitrase sebagaimana yang telah di kutip ternyata cukuplah luas, yaitu
semua jenis sengketa dalam bidang pendapatan
4. Dasar Hukum Arbitrase
Dasar hukumnya tesebut adalah:
a. UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Umum.
b. UU No.5 tahun 1969 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang
Penyelesaian Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara
Asing Mengenai Penanaman Modal
c. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang pengesahan
konvensi New York 1958.
d. Peraturan mahkamah agung nomor 1 tahun 1990 mengenasi
peraturan lebih lanjut pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing.
5. Perjanjian Arbitrase
Secara teoretis bentuk perjanjian arbitrase itu dikenal dengan istilah:
a. Akta Kompromitendo adalah suatu klausula dalam perjanjian pokok
dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan
perselisihannya kepada seorang atau majelis arbitrase
b. Akta Kompromis adalah merupakan perjanjian khusus yang dibuat
setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang
cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi itu kepada seorang
atau beberapa orang arbiter untuk diselesaikan.
6. Prosedur Arbitrase
a. Permohonan arbitrase
Dalam surat permohonan paling tidak harus memuat: (pasal 38 No. 39
Tahun 1999)
1) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak;
2) Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti; dan
3) Isi tuntutan yang jelas.
b. Para Pihak Tidak Menunjuk Arbiter

70
Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka oleh Ketua
lembaga arbitrase yang dipilih akan menunjuk (membentuk) suatu tim yang
terdiri dari atas tiga orang arbiter yang akan memeriksa dan memutus
sengketanya.
c. Proses Pemeriksaan dan Tenggang Waktu yang Diperlukan
Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999, para pihak dalam suatu
perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara (proses
pemeriksaan) arbitrase yang dipergunakan dalam persidangan sepanjang tidak
bertentangan dengan dengan UU No. 30 Tahun 1990 tersebut.
7. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
a. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional
1. Tahap pertama pendaftaran putusan arbitrase
2. Tahap kedua permohonan eksekusi
b. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Untuk keperluan pendaftaran ini maka dokumen yang di perlukan adalah
1) Lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrsase internasional,
sesuai ketentuan perihal otentifikasi/legalisasi dokumen asing, dan
naskah terjemahan resminya dalam bahasa indonesia;
2) Lembar asli atau salinan autentik perjanjian yang menjadi dasar
keputusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya
dalam bahasa Indonesia;
3) Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat
putusan arbitrase internasional tersebut di tetapkan, yang menyatakan bahwa
negara negara pemohon terikat dengan perjanjian, baik secara bilateral dan
multilateral dengan negara republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional.

71
BAB XI - Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
OLEH : RANIALDA HENDRI (2018320159)

Kepailitan dahulu diatur dalam Fallissement Verordening atau Undang-Undang


kepailtan. Sekarang dilakukan penyesuaian dengan peraturan pemerintah pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998, lalu diganti dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahung 1998 dan terakhir diganti dengan Undang-Undang nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
A. Kepailitan
Berasal dari kata pailit yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan
peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang debitur yang telah jatuh tempo.
Pihak yang tergolong debitur atau seseorang yang dapat dinyatakan pailit adalah:
(Zainal Asikin, 2001: 34)
1. Siapa saja/setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tidak menjalankan
perusahaan;
2. Badan hukum;
3. Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia;
4. Setiap wanita bersuami (si istri) yang dengan tenaga sendiri melakukan suatu
pekerjaan tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai kekayaan sendiri.
Seorang debitur hanya dapat dikatakan pailit apabila telah diputuskan oleh
pengadilan niaga. Pihak yang dapat mengajukan agar debitur dikatakan pailit adalah
sebagai berikut.
1. Debitur itu sendiri
2. Para kreditor
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum
Permohonan dapat diajukan kepada panitera pengadilan niaga pada pengadilan
negri.
1. Tata Cara Permohonan Kepailitan
Permohonan kepailitan diajukan secara terulis oleh seorang advokat. Surat
permohonan berisikan antara lain:
a. Nama, tempat kedudukan perusahaan yang dimohonkan;
b. Nama, tempat kedudukan pengurus perusahaan;
c. Nama, tempat kedudukan para kreditor;
d. Jumlah keseluruhan utang;
e. Alasan permohonan;
Selanjutanya, dalam pasal 6 UU No. 37 Tahun 2004 ditentukan bahwa panitera
pengadilan setelah menerima permohonan itu melakukan pendaftaran, dalam jangka
waktu tiga hari panitera menyampaikan permohan tersebut kepada ketua pengadilan
untuk dipelajari selama dua hari dan ditetapkan hari persidangan. Dalam
pemanggilan para pihak, terdapat pada pasal 8 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004.

72
Selama permohonan pailit belum ditetapkan pengadilan, setiap kreditor juga dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meletakan sita jaminan dan
menunjuk kurator. Setelah permohonan kepailitan diterima dan diputuskan, putusan
harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pengumuman kepailitan berisi:
a. Iktisan putusan kepailitan;
b. Identitas, pekerjaan, dan alamat debitur;
c. Identitas pekerjaan, dan alamat debitur;
d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor;
e. Identitas Hakim Pengawas.

a. Kurator Tetap
Kurator ditetapkan oleh hakim. Pihak yang ditujuk sebagai Kurator adalah Balai
Harta Peninggalan dan Kurator lainnya , adapun Tugas Kurator adalah:
a) Melakukan pengurusan atau pemberesan harta pailit (boedel pailit);
b) Melakukan perhitungan utang debitur;
c) Melakukan penyegelan terhadap harta pailit dengan seizin Hakim Pengawas.

b. Hakim Pengawas
Pihak yang ditunjuk sebagai Hakim Pengawas adalah Hakim Pengadilan yang
dianggap mampu menjalankan tugasnya. Tugas Hakim Pengawas adalah:
1) Memimpin rapat verifikasi;
2) Mengawasi pelaksanaan tuga Kurator;
3) Menyetujui atau menolak daftar tagihan-tagihan yang diajukan oleh para kreditor;
4) Meneruskan tagihan-tagihan yang tidak dapat diselesaikan dalam rapat verifikasi
kepada Hakim Pengadilan Niaga yang telah memutus perkara tersebut.;
5) Mendengar saksi-saksi dan para ahli atas segala hal yang berkaitan dengan
kepailitan.
6) Memberikan izin atau menolak permohonan si pailit untuk berpergian,
meninggalakan tempat kediamannya;
7) Menentukan hari perundingan pertama atau rapat verifikasi dengan para
Kreditor.

2. Upaya Hukum Terhadap Putusan Kepailitan


Bedasarkan UU No. 37 Tahun 2004, upaya hukum yang dapat dilakukan
berkenaan dengan adanya putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah
“kasasi” dan “peninjauan Kembali”.
Prosedur Kasasi:
a. Pemohon mengajukan permohonan kasasi.
b. Dalam waktu dua hari, panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi
beserta memori kasasi itu kepada termohon kasasi.
c. Termohon kasasi dalam waktu paling lambat tujuh hari wajib menyampaikan
kontra memori kasasinya kepada panitera.
d. Dalam waktu paling lambat empat belas hari panitera wajib menyampaikan
permohonan dan kontra kasasi ke Mahkamah Agung melalui Panitera
Mahkamah.

73
e. Mahkamah Agung paling lambat dua hari mempelajari permohonan tersebut
dan menetapkan hari siding.
f. Siding permohonan kasasi paling lambat tiga puluh hari sejak permohonan
diajukan.
g. Putusan permohonan kasasi diputuskan paling lambat tiga puluh hari sejak
permohonan kasasi didaftarkan.
h. Dalam waktu dua hari salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan
kepada Panitera Pengadilan Niaga, Kurator dan Hakim Pengawas.
Prosedur Peninjauan Kembali:
a. Permohonan peninjauan kembali harus diajukan oleh pemohon atau ahli waris
atau wakil khusus yang dikuasakan untuk itu.
b. Permohonan diajukan ke Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Niaga
yang memutus perkara tersebut.
c. Panitera memberikan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan.
d. Panitera menyampaikan permohonan peninjauan kembali ke panitera Mahkamah
Agung dalam jangka waktu satu hari terhitung sejak permohonan didaftarkan.

3. Akibat Hukum Putusan Kepailitan


Dalam bukunya, Zainal Asikin, menguraikan beberapa akibat hukum darp putusan
pailit ini. Hal yang utama adalah dengan telah dijatuhkannya putusan kepailitan, si
debitur (si pailit) kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas
harta bendanya. Namun demikian, tidak semua harta bendanya beralih
kekuasaanke Kurator. Dikecualikan dari hal ini adalah:
a. Benda, termasuk hewan, pelengkapan, alat-alat medis untuk kesehatan, tempat
tidur dan perlengkapannya yang dipakai debitur dan keluarganya, dan bahan
makanan untuk tiga puluh hari bagi debitur dan keluarganya;
b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaanya sendiri;
c. Uang diberikan kepada debutur untuk memenuhi kewajibannya memberi nafkah.
(Pasal 22 UU No. 37 Tahun 20040.
Si paiit masih boleh melakuakan perbuatan hukum apabila dapat menambah harta
kekayaanya. Tapi apabila ternyata perbuatan hukum debitur merugikan kekayaan
pailit, curator dapat mengadakan pembatalan perbuatan hukum tersebut. Pasal 36
UU No. 37 Tahun 2004 menentukan sebagai berikut:
a. Dalam hal pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang
belum atau sebagian dipenuhi.
b. Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan antara pihak tersebut dengan
kurator.
c. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan kurator menyatakan
kesanggupannya.
d. Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, telah
diperjanjikan untuk menyerahkan benda dagangan.
e. Dalam hal debitur telah menyewa suatu benda.
f. Pekerja/buruh yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan kerja.
g. Warisan atau hibah yang selama kepailitan jatuh kepada debitur pailit.
h. Pembayaran utang yang sudah jatuh tempo.

74
Hal terpenting dari akibat hukum dijatukannya kepailitan, adalah hal-ha sebagai
berikut:
a. penghibahan, diatur dalam Pasal 44 UU No.37 Tahun 2004.
b. pembayran utang yang belum dapat ditagih (belum jatuh tempo), diatur dalam
Pasal 45 UU No.37 Tahun 2004.
4. Berakhirnya Kepailitan
Suatu kepailitan dapat dikatakan berakhir apabila telah terjadi sebagai berikut.
a. Perdamaian
Debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor.
Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera
setelah selesainya pencocokan piutang. Keputusan rencana damai diterima apabila
disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari seperdua jumlah kreditor konkuren yang
hadir dalam rapat.
Pengadilan wajib menolak pengesahan perdamaian apabila:
1) Harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan
suatu benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;
2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
3) Perdamaian itu terjadi karena penipuan. (pasal 159 ayat (2) UU No. 37 Tahun
2004)

b. Insolvensi
Insovelsi merupakan fase adalah fase terakhir kepailitan. Insovelsi adalah kejadian
dimana harta kekayaan pailit harus dijual lelang dimuka umum, hasil penjualannya
akan dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan jumlah piutangnya yang
disahkan dalam akor.
Dengan adnya insolvensi tersebut, Zainal Asikin menulis bahwa kurator mulai
mengambil tindakan yang membereskan harta pailit, yaitu:
1. Melakukan pelelangan;
2. Melanjutkan pengelolaan perusahaan si pailit;
3. Membuat daftar pembagian yang berisi jumlah uang yang akan diterima dan
dikeluarkan elama kepailitan.
4. Melakukan pembagian atas seluruh harta pailit yang telah dilelangkan atau
diuangkan.
Bila insolvensi sudah selesai, debitur akan kembali seperti semula, dan tidak lagi
dibawah pengawasan kurator.
B. Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang
Debitur yang tidak dapat memperkirakan bahwa ia tidk dapat melanjutkan membayar
utang-utangnya yang sudah jatuh tempo, dapat memohon penundaan kewajiban
membayar hutang. Permohonan harus diajukan oleh debitur atau kreditor kepada
pengadilan dan oleh penasihat hukumnya.
Prosedur Permohonan Penundaan Pembayaran Utang, sebagai berikut:
75
1. Setelah pengadilan menerima permohonan penundaan kewajiban pembayran
utang, dalam jangka waktu tiga hari pengadilan harus mengabulkan permohonan
untu sementara dengan memberikan izin penundaan pembayran.
2. Pengurus wajib segera mengumumkan putusan penundaan kewajiban
pembayaran utang.
3. Hakim pengadilan paling lambat 45 hari melalui panitera harus memanggil para
kreditor, debitur, dan pengurus untuk diadakan sidang.
4. Dalam sidang tersebut akan diadakan pemungutan suara (jika perlu) untuk
memutuskan apakah penundaan dikabulkan atau ditolak.
5. Setelah pengadilan mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang,
panitera pengadilan wajib mengadakan daftar umum perkara penundaan
kewajiban pembayran utang dengan mencantumkan setiap penundaan kewajiban
pembayarn utang.
6. Dalam putusan hakim yang mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran
utang tetap tersebut, ditetapkan pula lamanya waktu penundaan paling lama 270
hari sejak penundaan kewajiban pembayaran utang sementara ditetapkan.
Penundaan kewajiban pembayran utang diakhir dengan alasan-alasan yang terdapat
dalam Pasal 255 UU No. 37 Tahun 2004. Dengan dicabutnya penundaan kewajiban
pembayranutang, hakim dapat menetapkan si debitur dalam keadaan pailit.
Debitur yang mengajukan penundaan kewajiban pembayaran piutang dapat
menyatakan perdamaian melalui pengadilan. Akibat hukum apabila akor
(perdamaian) penundaan kewajiban pembayaran utang ditolak adalah hakim dapat
langsung menyatakan debitur dal keadaan pailit, bila diterima berakhirlah penundaan
kewajiban pembayaran piutang.

76

Anda mungkin juga menyukai