Kasus 1
Cababa adalah seorang anak tunggal keturunan bangsawan kaya raya dengan total kekayaan
sebesar 10 triliun rupiah, saat ayahnya meninggal dunia diketahui ternyata ayahnya memiliki
seorang istri siri dengan dikaruniai 2 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Tidak
hanya itu, diwakili oleh pengacaranya, yang berdasarkan surat wasiat diketahui ayah cababa
telah mewakafkan 30% hartanya untuk pembangunan rumah ibadah dan panti asuhan. serta
menghibahkan 15% dari harta yang dia miliki kepada anak perempuannya dari hasil nikah siri.
Dari kejadian ini cababa tidak terima dan menempuh jalur hukum untuk masalah ini. Hingga
berita ini turun masih sementara dilakukan upaya mediasi oleh pengadilan di peradilan agama.
1. Siapa saja yang masuk dalam kategori ahli waris berdasar kajian hukum yang berlaku.
2. Berapa jumlah yang seharusnya diterima masing-masing dari ahli waris yang ada dalam
kasus tersebut?
Jawaban :
1. Anak sah dan anak dari pernikahan sirih. Pewarisan terhadap anak dari hasil perkawinan
siri sangat berbeda dalam dua sudut hukum. Meskipun sama-sama dapat mewaris sebagai
anak sah, tetapi bagian warisnya berbeda. Dalam hukum perdata, bagian warisnya dibagi
rata. Sedangkan dalam hukum Islam, anak hasil perkawinan siri dihitung sebagai anak
sah. Bagian anak perempuan adalah ⁄ apabila ia anak satu-satunya, dan ⁄ apabila ada lebih
dari satu anak perempuan. Sedangkan bagian anak laki-laki adalah seluruh sisa harta
warisan yang telah dibagi dengan ahli waris lainnya. Apabila anak laki-laki mewaris
bersama anak perempuan, maka bagian anak lakilaki tersebut adalah dua kali anak
perempuan. Pada dasarnya anak dari hasil perkawinan siri dapat dikategorikan dalam
anak yang disahkan karena ayah biologisnya menikahi ibu biologisnya secara agama
sehingga seharusnya bagian warisnya pun disamakan dengan anak dari perkawinan yang
sah. Pembagian warisan anak sah adalah sama rata, yaitu satu banding satu. Anak sah
merupakan golongan I dan memiliki sifat menutup golongan yang lebih jauh. Kedudukan
anak dari perkawinan siri ini sebagai anak yang disahkan dipatahkan dengan adanya
keharusan mencatatkan pernikahan baru dia bisa diakui Negara sebagai anak sah
sebagaimana diatur dalam undangundang nomor 1 tahun 1974, sehingga berlakulah asas
lex specialis derogate legi generalis. Meskipun anak hasil perkawinan siri diakui secara
sah dalam hukum Islam dan mendapat bagian yang sama dengan anak sah, tetapi hal ini
tidak berlaku di Indonesia. Hukum Islam yang diberlakukan di Indonesia tetap tidak
mengakui adanya perkawinan siri, sehingga anak tersebut hanya bisa mewarisi harta
ibunya, bukan ayahnya. Apabila ia tetap ingin mewarisi harta ayahnya, bisa tetap dibagi
berdasar acauan pembagian yang ada, tetapi apabila ada sengketa hanya bisa diselesaikan
melalui jalur kekeluragaan karena anak hasil perkawinan siri juga tidak memiliki
kedudukan apapun dalam hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Cabaca ½ dari harta ayahnya sebagai anak sah dari ayahnya
Anak perempuan dari istri siri 1/3 dari bagianya dan anak laki-laki siri 2/3 dari bagiannya
Kasus 2
Hermawan diketahui memperoleh hibah dari laki-laki bernama ahmad. Diketahui bahwa ahmad
hidup sebatangkara dan di rawat oleh hermawan. Sebelum meninggal, ahmad melalui
pengacaranya membuat akta dengan menghibahkan tanahnya seluas 5.000 m2 serta mewakafkan
7000 m2 dari total 20.000 m2 luas tanah yang dimilikinya kerpada hermawan. Sepeninggal
ahmad ternyata diketahui bahwa dia memiliki ahli waris yakni 2 orang anak laki-laki yang
melayangkan gugatan ke pengadilan agama makassar terkait hibah dan wakaf yang dibuat ahmad
mengingat mereka ahli waris hanya mendapatkan kurang dari ½ bagian dari total tanah warisan
peninggalan orangtuanya. Setelah gugatan diterima langsung dilakukan proses acara peradilan
dengan putusan memenangkan gugatan tergugat. Namun belakangan ternyata putusannya
dinyatakan batal demi hukum.
Silahkan analisis kasus di atas, kemudian kemukakan pendapat terkait peristiwa yang ada
berdasar asas serta dasar hukum yang relevan?
Hibah merupakan kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan kepada siapa saja yang
ia kehendaki. Namun kebebasan selalu dibatasi dengan hak pihak lain. Di dalam harta pemberi
hibah, terdapat hak bagian mutlak (legitieme portie) anak sebagai ahli warisnya dan hak ini
dilindungi undang-undang. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang lain
juga dibatasi maksimum hanya sebesar 1/3 harta. Jadi, jika memang hibah melanggar hak anak,
maka anak dapat menggugat pemberian hibah. Namun jika anak tidak mempermasalahkan, maka
hibah tetap bisa dilaksanakan.
Untuk mencegah terjadinya tuntutan di kemudian hari, dalam praktik selalu disyaratkan adalah
Surat Persetujuan dari anak(-anak) kandung Pemberi Hibah. Dengan demikian, pemberian hibah
harus memperhatikan persetujuan dari para ahli waris dan jangan melanggar hak mutlak mereka.
Hak mutlak adalah bagian warisan yang telah di tetapkan oleh undang-undang untuk masing-
masing ahli waris (lihat Pasal 913 BW).
Ketidaksetujuan anak bisa jadi karena ada kekhawatiran berkurangnya harta warisan yang akan
mereka dapatkan atau bisa jadi karena anak-anak tidak senang kepada penerima hibah, segala hal
bisa saja menjadi alasan pembenar. Jadi, pemberi hibah bertindak secara aktif menyerahkan
kepemilikan hartanya kepada penerima hibah. jika dapat dibuktikan bahwa pemberian hibah
tersebut tidak melebihi 1/3 harta peninggalan pewaris (dalam sistem kewarisan Islam) atau tidak
melanggar legitieme portie dari ahli waris (dalam sistem kewarisan perdata Barat), maka hibah
terhadap anak angkat tetap dapat dilaksanakan.