Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Perintah al-Qur’an untuk mencari ilmu dapat dipahami dari dua aspek, yaitu
1. Al-Qur’an Menyuruh Manusia Menggunakan Akal
Akal merupakan salah satu perangkat anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Allah SWT berfirman;
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan
iut mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di
dalam dada.” (QS. 22: 46)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tandan bagi orang-orang yang berakal.” (QS. 3: 190)
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bimi dan segala sesuatu yang
diciptakan Allah dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita
manakah lagi mereka akan beriman sesudah al-Qur’an itu?.” (QS. 7: 185)
2. Al-Qur’an Menyuruh Manusia Meneliti Alam Semesta
Alam semesta merupakan realitas yang dihadapi manusia yang sampai kini baru sebagian
kecil yang dapat diketahui dan diungkap oleh manusia. Bagian terbesar masih merupakan suatu
misteri yang tidak dikenal oleh manusia betapapun kemajuan yang telah mereka capai dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tetapi manusia tidak akan berhenti untuk mencari, meneliti dan mempelajari rahasia-
rahasia yang terkandung di dalam alam semesta itu.
Semakin giat manusia meneliti alam semesta ini semakin banyak kabut rahasia yang
tersingkap darinya. Sejalan dengan itu, manusia pun semakin maju dalam segala bidang
penghidupannya.
Bagi seorang ilmuan yang mengetahui betapa luasnya alam semesta ini akan menyadari
bahwa manusia diciptakan bukanlah untuk menaklukan seluruh alam semesta. Betapapun
hebatnya manusia, ia tidak akan mampu mengetahui segala realitas yang ada di alam ini. Bahkan
seorang ilmuan yang beriman akan menyadari bahwa setiap ilmu bertambah atau setiap dia
menemukan hal-hal baru, ia akan semakin bertambah sadar bahwa yang telah diketahuinya
barulah setitik dari alam semesta yang begitu luas.
Al-Qur’an menyuruh manusia meneliti alam semesta ini adalah agar manusia mengetahui
tanda-tanda kekuasaan Allah dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya demi kepentingan
manusia sendiri. Sebab tanpa meneliti dan mengkaji alam itu manusia tidak akan memperoleh
kemajuan dalam hidupnya. Kebutuhan manusia di dunia ini semakin lama semakin bertambah
banyak. Apalagi mansuia semakin berkembang biak memadati bumi sehingga mereka harus
berjuang untuk mengatasi berbagai problema yang diakibatkan oleh pertumbuhannya itu sendiri.
Salah sati dari akibat itu adalah berkurangnya sumber-sumber kehidupan di alam semesta yang
sudah diketahui manusia. Oleh karenyanya, manusia berupaya dengan sekeras-kerasnya untuk
menemukan sumber-sumber baru buat kelanjutan hidup mereka.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka al-Qur’an banyak menganjurkan kepada manusia
untuk meneliti alam semesta, mengkaji realitas-realitas yang ada di dalamnya agar manusia
menemukan dan menyikap tabir-tabir rahasia kehidupan yang dapat mengangkat derajat dan
mutu kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan yang diberikan wewenang penuh untuk mengatur
dunia ini.
Di antara ayat-ayat yang menyuruh untuk meneliti alam semesta ini adalah firman Allah
SWT:
“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat
tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak
beriman.” (QS. 10: 101)
“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke
dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan
masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan dan sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 31: 29)
“dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-
bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahaminya.” (QS. 16: 12)
Kalau demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan manusia bukanlah teknologi,
walaupun secara umum alat-alat tersebut sering diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telah
dipergunakan oleh manusia sejak berabad yang lalu, namun abad tersebut belum dinamakan era
teknologi.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam Al Qur’an dan alam raya dipadukan melalui
mukjizat Al Qur’an (yang lebih dahulu daripada temuan ilmiah) dengan mukjizat alam raya yang
menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan mukjizat yang
lain agar keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mempunyai akal dan hati bersih
atau orang yang mau mendengar. Beberapa dalil kuat telah membuktikan bahwa Al Qur’an tidak
mungkin datang, kecuali dari Allah. Buktinya tidak adanya pertentangan diantara ayat-ayatnya,
bahkan sistem yang rapi dan cermat yang terdapat di alam raya ini juga tidak mungkin terjadi,
kecuali dengan kehendak Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan cermat.
Syeikh Abdul Majid Az-Zindani, mengulas tentang mukjizat ilmiah dalam Al Qur’an,
“…Yaitu ilmu uji kaji modern datang dan mendalami kajian-kajian yang luas di dalam pelbagai
bidang, dengan bantuan alat-alat yang canggih, dan setelah beberapa pengembaraan yang
menjabarkan berserta seangkatan pengkaji, terbentuklah satu bahagian di samping satu bahagian
(yang lain) dan apabila fakta tersebut telah siap sempurna, tiba-tiba didapati ianya telah pun
dinyatakan di dalam kitab Allah (Al-Quran) sebelum 1400 tahun [yang lalu]. Lalu orang ramai
pun mendapat tahu bahawa Al-Quran ini diturunkan dengan ilmu Allah, dan bukannya [datang]
dari sisi seorang utusan yang [berada] di zaman .. sebelum 1400 tahun di hari yang tidak ada
sebarang perkakas kajian saintifik atau peralatan kajian ..”
Ketika fakta tersebut telah muncul maka akan muncul pula sebuah pertanyaan:
1. Dapatkah hal ini mejadi sebuah kejadian yang kebetulan bahwa akhir-akhir ini penemuan
informasi secara ilmiah dari lapangan yang berbeda yang tersebutkan di dalam al-Quran
yang telah turun pada 14 abad yang lalu?
2. Dapatkah al-Quran ini ditulis atau dikarang Nabi Muhammad SAW atau manusia yang
lain?
Hal yang dapat kita jadikan i’tibar dalam mukjizat ilmiah pada Al Qur’an adalah
motivasi/dorongan yang kuat bagi manusia untuk selalu memperhatikan ayat-ayatNya
(tadabbur). Tentusaja memperhatikannya seiring dengan kemauan untuk memikirkannya
dan mengingat penciptanya.
Dari sini pula dengan mengkaji mukjizat ilmiah dalam Al Qur’an mampu menumbuhkan
keimanan dan rasa syukur pada Allah sebagaimana pernah disampaikan oleh Prof. Abdul Karim
Al Khathib, “Mukjizat Al Qur’an terletak pada kepioniran dalam menyatakan hal-hal yang baru
saja ditemukan oleh penilitian ilmiah”.
Kemudian Prof. Al Khathib menerangkan, “Maksud utama kami dalam menganalisis mukjizat
Qur’ani adalah menciptakan hubungan yang erat dengan kitab Allah dalam hati seorang muslim.
Kami ingin menanamkan iman terhadap Kitab Allah berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan
perasaan yang murni terhadap ayat-ayat dan kalimat-kalimatNya.
Meskipun demikian, kami menemukan isyarat-isyarat Al Qur’an yang bersifat ilmiah. Hal ini
mendapatkan perhatian yang sangat besar dari kalangan para peneliti Eropa. Karena, isyarat yang
dikandung Al Qur’an sejak lima belas abad yang lalu ditemukan dan dibenarkan oleh ilmu
pengetahuan modern sekarang.
Meskipun telah banyak bukti-bukti ilmiah tentang kebenaran Al Qur’an, para pemuja
materialisme, para sekuler dan para ateis, tentu saja masih terus membantah kebenaran-
kebenaran Al Qur’an karena ketakutan akan implikasi mengakui keberadaan Sang Pencipta.
Selain itu, mereka selalu melakukan pembenarannya atas bukti-bukti logika (baca: matematis,
empiris, biologis, sosiologis) sebagai dasar pijakan postulatnya.
Menurut Muhammad Kamil Abdush Shamad, tujuan dari kajian mukjizat ilmiah Al Qur’an
adalah untuk meluaskan cakupan hakikat dari ayat-ayat Al Qur’an, kemudian memperdalam
makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga mengakar dalam jiwa dan pemikiran
manusia dengan cara mengambil hikmah dari eksplorasi keilmuan kotemporer yang tercakup
dalam makna-maknanya. Sedangkan menurut Ibrahim Muhammad Sirsin, bertujuan
memperdalam makna-makna melalui proses analisis terhadap variabel-variabel yang detail. Juga
melalui perbandingan mendalam terhadap kritikan para pakar yang profesional di bidangnya
serta para peneliti alam dan kehidupan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Kita juga tidak boleh memasukkan dan memaksakan asumsi dan hipotesis ilmiah yang masih
berupa bahan perdebatan dan masih diuji diantara para pakar. Karenanya, tidak pantas orang
yang mengadopsi asumsi-asumsi ini berusaha memaksakan Al-Qur’an untuk menguatkan
teorinya. Sebab, bisa jadi asumsi dan teori mentah itu nanti terbukti tidak benar, lalu akhirnya
mengkambinghitamkan Al-Qur’an. Namun hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka bahwa:
Tidak ada kontradiksi antara hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Al Qur’an karena berasal
dari satu sumber.
Tafsir ilmu tidak akan mempengaruhi originalitas karena nash tidak mengalami perubahan sesuai
teks aslinya. Tafsiran yang diberikan yang akan disalahkan
Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi dalam kitab Mu’jizah Al Qur’an,
dikarenakan Al Qur’an adalah mukjizat maka nashnya harus tetap dan tidak berubah-ubah, kalau
tidak maka hilanglah mukjizatnya.
Oleh karena itu, kalau nash tidak secara tegas menunjukkan pada salah satu teori ilmu sains,
maka tidak selayaknya bagi kita untuk memaksakannya, baik untuk menetapkan maupun untuk
menafikkan. Karena itu kita harus mencari ilmu dari jalannya masing-masing, ilmu astronomi
didapatkan dari penelitian, ilmu kedokteran didapat dari hipotesis dan uji coba. Dengan
demikian, niscaya Al Qur’an akan selalu terjaga, tidak dipergunakan untuk memperdebatkan
teori ini, yang mana semua teori ini bisa diterima juga bisa ditolak serta bisa pula diganti,
sebagaimana juga tidak layak bagi seseorang yang tidak mengetahui hakikat ilmu tertentu untuk
menolak mentah-mentah selagi tidak secara tegas bertentangan dengan nash yang shohih.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan pada manusia dalam menulis kitab bisa saja
terjadi, seperti apa yang telah dikatakan oleh Al Qodhi Al Fadhil Abdur Rahim bin Ali Al
Baisani, “ Saya melihat bahwasanya tidak ada seorangpun yang menulis sebuah kitab kecuali
besoknya dia akan berkata : ‘Seandainya tempat ini diubah niscaya akan lebih baik, seandainya
ditambah dengan begini maka akan lebih bagus, seandainya ini dikedepankan niscaya akan lebih
utama, dan seandainya yang ini dibuang niscaya akan lebih indah.’ Ini semua adalah dasar yang
paling kuat bahwa manusia adalah makhluk yang serba kurang.”
Dari sisi lain bahwa pemahaman baru terhadap ayat itu tidak boleh membatalkan pemahaman
lama. Dengan ungkapan lain, kita tidak layak menuduh umat sejak jaman sahabat, bahkan sejak
jaman Nabi saw, salah dalam memahami satu ayat, kemudian mengklaim bahwa yang benar
adalah pemahaman yang dimiliki si penafsir baru itu. Selayaknya dikatakan, makna baru ini
merupakan tambahan yang digabungkan dengan pemahaman lama, dan bukan membatalkannya.
Sebab diantara keistimewaan Al-Qur’an, keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis tergali.
Kemukjizatan ilmu pada Al Qur’an memang tidak memposisikan Al Qur’an sebagai kitab sains.
Namun dapat memberikan isyarat atau petunjuk untuk melakukan kajian lebih jauh terhadap
pengembangan sains.
Isyarat ilmiah dalam Al Qur’an mengandung prinsip-prinsip/kaidah-kaidah dasar ilmu
pengetahuan di setiap jaman dan kebudayaan.
Ayat yang memberikan isyarat tidak harus terperinci, sehingga para ilmuwan bisa
mengkajinya atau memperinci dengan melakukan penelitian.
Mukjizat ilmiah Al Qur’an tidak hanya untuk waktu tertentu saja yaitu ketika terjadi
penentangan, namun berlaku juga ke masa yang akan datang.
Pada satu masa beberapa mukjizat dirasa kurang masuk akal atau bertentangan dengan
nalar dan logika. Tetapi kapasitas nalar dan intelektual yang dimiliki tidaklah sama,
tergantung pada daya pikir seseorang.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS.
Al-‘Alaq: 1-5)
Menurut seorang pakar tafsir kontemmporer asal Indonesia, Prof. Dr. Quraisy Syihab, ‘iqra’
terambil dari kata menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun
tidak. Dalam ayat yang lain, Allah SWT memuji kepada hambanya yang memikirkan penciptaan
langit dan bumi. Bahkan banyak pula ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk
meneliti dan memperhatikan alam semesta.
Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda
kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak
beriman. ” (QS Yunus : 101)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan perintah Nya kepada rasul Nya agar dia menyuruh kaumnya
untuk memperhatikan dengan mata kepala mereka dan dengan akal budi mereka segala yang ada
di langit dan di bumi. Mereka diperintahkan agar merenungkan keajaiban langit yang penuh
dengan bintang-bintang, matahari dan bulan, keindahan pergantian malam dan siang, air hujan
yang turun ke bumi, menghidupkan bumi yang mati, menumbuhkan tanam-tanaman, dan pohon-
pohonan dengan buah-buahan yang beraneka warna dan rasa. Hewan-hewan dengan bentuk dan
warna yang bermacam-macam hidup diatas bumi, memberi manfaat yang tidak sedikit kepada
manusia. Demikian pula keadaan bumi itu sendiri yang terdiri dari gurun pasir, lembah yang
terjal, dataran yang luas, samudera yang penuh dengan berbagai ikan yang semuanya itu terdapat
tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah SWT bagi orang-orang yang berfikir dan yakin kepada
penciptanya.
Akan tetapi mereka yang tidak percaya adanya pencipta alam ini, membuat semua tanda-tanda
keesaan dan kekuasaan Allah di alam ini tidak akan bermanfaat baginya.
Penundukan tersebut secara potensial terlaksana melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan
Allah dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Al-Quran menjelaskan
sebagian dari ciri tersebut, antara lain:
(a) Segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri dan hukum-hukumnya.
هللا يعلم ما تحمل كل انثي وما تغيض االرحام وما تزداد وكل شيء عنده بمقدار
Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga rumput yang hijau subur atau
layu dan kering, semuanya telah ditetapkan oleh Allah sesuai ukuran dan hukum-hukumnya.
Demikian antara lain dijelaskan oleh Al-Quran surat Ya Sin ayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3
(c) Benda-benda alam apalagi yang tidak bernyawa tidak diberi kemampuan memilih, tetapi
sepenuhnya tunduk kepada
Allah melalui hukum-hukum-Nya.
ثم استوي الي السماء وهي دخان فقال لها و لالرض ائتيا طوعا او كرها قا لتا اتينا طائعين
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit yang ketika itu masih merupakan
asap, lalu Dia (Allah) berkata kepada-Nya, “Datanglah (Tunduklah) kamu berdua (langit dan
bumi) menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!” Mereka berdua berkata, “Kami datang dengan
suka hati” (QS Fushshilat: ll).
Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciri dan hukum-hukum yang
berkaitan dengan alam raya, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-
Baqarah ayat 31 “Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya”
Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri,dan hukum sesuatu. Ini berarti
manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan
alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan
dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu
mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.
Keberhasilan memanfatkan alam itu merupakan buah teknologi.
Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab. Ciri mereka antara lain
disebutkan dalam surat Ali-’Imran (3) 190-191:
الذين يذكرون هللا قياما وقعودا و علي جنوبهم و. ان في خلق السموت واال رض والختالف الليل والنهار اليت اللي االلباب
…يتفكرون في خلق السموات واالرض..
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau
duduk atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi …[11]
Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab, yaitu tafakkur dan dzikir.
Kemudian keduanya menghasilkan natijah yang diuraikan pada ayat 195:
…… فاستجاب لهم ربهم اني ال اضيع عمل عامل منكم من ذكر او انثي.
Natijah bukanlah sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak, melainkan melampauinya
sampai kepada pengamalan danpemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad
Quthb dalam bukunya Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah mengomentari ayat Ali ‘Imran tadi
sebagai berikut:
Maksudnya adalah bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metode yang sempurna bagi
penalaran dan pengamatan Islam terhadap alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia
kepada fungsi pertama di antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan
yang tersaji di alam raya ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan
amal
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa “Khalq As-samawat wal Ardh” di samping berarti
membuka tabir sejarah penciptaan langit dan bumi, juga bermakna “memikirkan tentang sistem
tata kerja alam semesta”. Karena kata khalq selain berarti “penciptaan”, juga berarti
“pengaturan dan pengukuran yang cermat”. Pengetahuan tentang hal terakhir ini
mengantarkan ilmuwan kepada rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan
kepada penciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi umat manusia.
Jadi, dapatkah dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Al-Quran?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua catatan yang perlu diperhatikan.
Pertama, ketika Al-Quran berbicara tentang alam raya dan fenomenanya, terlihat secara jelas
bahwa pembicaraannya selalu dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah Swt.
Perhatikan misalnya uraian Al-Quran tentang kejadian alam: (QS Al-Anbiya’: 30).
اولم ير الذين كفروا ان السموت واالرض كا نتا رتقا ففتقناهما وجعانا من الماء كل شئ حي افال يؤمنون
Ayat ini dipahami oleh banyak ulama kontemporer sebagai isyarat tentang teori Big Bang
(Ledakan Besar), yang mengawali terciptanya langit dan bumi. Para pakar boleh saja berbeda
pendapat tentang makna ayat tersebut, atau mengenai proses terjadinya pemisahan langit dan
bumi. Yang pasti, ketika Al-Quran berbicara tentang hal itu, dikaitkannya dengan
kekuasaan dan kebesaran Allah; serta keharusan beriman pada-Nya. Pada saat
mengisyaratkan pergeseran gunung-gunung dari posisinya, sebagaimana kemudian
dibuktikan para ilmuwan informasi itu dikaitkan dengan Kemahahebatan Allah Swt. (QS Al-
Naml [27]: 88).
و تري الجبا ل تحسبها جامدة وهي تمر مر السحاب صنع هللا الذي اتقن كل شئ انه خبير بما تفعلون
Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu mengingatkan manusia terhadap
Kehadiran dan Kemahakuasaan Allah Swt., selain juga harus memberi manfaat bagi
kemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi Rabbik.
Kedua, Al-Quran sejak dini memperkenalkan istilah sakhkhara yang maknanya bermuara
kepada “kemampuan meraih dengan mudah dan sebanyak yang dibutuhkan segala sesuatu
yang dapat dimanfaatkan dari alam raya melalui keahlian di bidang teknik”.
Ketika Al-Quran memilih kata sakhhara yang arti harfiahnya menundukkan atau
merendahkan, maksudnya adalah agar alam raya dengan segala manfaat yang dapat diraih
darinya harus tunduk dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah manusia.
Bukankah manusia diciptakcan oleh Allah sebagai khalifah? Tidaklah wajar seorang
khalifah tunduk dan merendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allah
kepadanya. Jika khalifah tunduk atau ditundukkan oleh alam. maka ketundukan itu tidak
sejalan dengan maksud Allah Swt.
Di atas telah dikemukakan bahwa penundukan Allah terhadap alam raya bersama potensi yang
dimiliki manusia bila digunakan secara baik akan membuahkan teknologi.
Dari kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa teknologi dan hasil-
hasilnya disamping harus mengingatkan manusia kepada Allah, juga harus mengingatkan
bahwa manusia adalah khalifah yang kepadanya tunduk segala yang berada di alam raya ini.
Kalaulah alat atau mesin dijadikan sebagai gambaran konkret teknologi, dapat dikatakan
bahwa pada mulanya teknologi merupakan perpanjangan organ manusia. Ketika manusia
menciptakan pisau sebagai alat pemotong, alat ini menjadi perpanjangan tangannya. Alat
tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepada
si Pemakai, melebihi tunduknya budak belian. Kemudian teknologi berkembang, dengan
memadukan sekian banyak alat sehingga menjadi mesin. Kereta, mesin giling, dan sebagainya,
semuanya berkembang, khususnya ketika mesin tidak lagi menggunakan sumber energi
manusia atau binatang, melainkan air, uap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara, misalnya,
adalah mesin.
Kini, pesawat udara tidak lagi menjadi Perpanjangan organ manusia, tetapi perluasan atau
penciptaan organ dan manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yang
memungkinkannya mampu terbang? Tetapi dengan pesawat, ia bagaikan memiliki sayap.
Alat atau mesin tidak lagi menjadi budak, tetapi telah menjadi kawan manusia.
Dari hari ke hari tercipta mesin-mesin semakin canggih. Mesin-mesin tersebut melalui daya
akal manusia digabung-gabungkan dengan yang lainnya, sehingga semakin kompleks, serta
tidak bisa lagi dikendalikan oleh seorang. Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang
dulu mesti dilakukan oleh banyak orang. Pada tahap ini, mesin telah menjadi semacam
“seteru” manusia, atau lawan yang harus disiasati agar mau mengikuti kehendak manusia.
Dewasa ini telah lahir teknologi khususnya dibidang rekayasa genetika yang dikhawatirkan
dapat menjadikan alat sebagai majikan. Bahkan mampu menciptakan bakal-bakal
“majikan” yang akan diperbudak dan ditundukkan oleh alat. Jika begitu, ini jelas bertentangan
dengan kedua catatan yang disebutkan di terdahulu. Berdasarkan petunjuk kitab sucinya,
seorang Muslim dapat menerima hasil-hasil teknologi yang sumbernya netral, dan tidak
menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi manusia, baik mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan unsur “debu tanah” manusia maupun unsur “ruh Ilahi” manusia.
Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan seseorang dari zikir dan tafakur,
serta mengantarkannya kepada keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukan
hasil teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harus memperingatkan dan
mengarahkan manusia yang menggunakan teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula
diduga dapat mengalihkan manusia darl jati diri dari tujuan penciptaan, sejak dini pula
kehadirannya ditolak oleh Islam. Karena itu, menjadi suatu persoalan besar bagi martabat
manusia mengenai cara memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi,
dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana mengarahkan teknologi yang
dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukan
pikir dan zikir, ilmu dan iman?
Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta.
Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan teknologi dengan
memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Karena itu, laju teknologi
memang tidak dapat dibendung. Hanya saja manusia dapat berusaha mengarahkan diri agar
tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta dan ilmu/teknologi yang dapat
membahayakan dinnya. Agar ia tidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan
dirinya sendiri karena kepandaiannya.
Al-Quran menegaskan:
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan
dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada
yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya dan penghuni-penghuninya telah menduga
bahwa mereka mampu menguasainya (melakukan segala sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya
azab kami di waktu malam atau siang, maka kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana
tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah
kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus
[10]: 24).
Ayat-ayat di atas adalah sebuah support yang Allah berikan kepada hambanya untuk terus
menggali dan memperhatikan apa-apa yang ada di alam semesta ini. Makanya seorang ahli sains
Barat, Maurice Bucaile, setelah ia melakukan penelitian terhadap al-Qur’an dan Bibel dari sudut
pandang sains modern. Ia mengatakan:
Jika sains dan teknologi ini ditelusuri kembali ke masa-masa pertumbuhannya, hal itu tidak lepas
dari sumbangsih para ilmuwan muslim. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa asal-usul sains
modern atau revolusi ilmiah berasal dari peradaban Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam
adalah pionir sains modern. Jikalau mereka tidak berperang di antara sesama mereka, dan jika
tentara kristen tidak mengusirnya dari Spanyol, dan jika orang-orang Mongol tidak menyerang
dan merusak bagian-bagian dari negeri-negeri Islam pada abad ke-13, mereka akan mampu
menciptakan seorang Descartes, seorang Gassendi, seorang Hume, seorang Cupernicus, dan
seorang Tycho Brahe, karena kita telah menemukan bibit-bibit filsafat mekanika, emperisisme,
elemen-elemen utama dalam heliosentrisme dan instrumen-instrumen Tycho Brahe dalam karya-
karya al-Ghazali, Ibn al-Shatir, para astronom pada observatorium margha dan karya-karya
Takiyudin.
Peradaban Islam pernah memiliki khazanah ilmu yang sangat luas dan menghasilkan para
ilmuwan yang begitu luar biasa. Ilmuwan-ilmuwan ini ternyata jika kita baca, mempunyai
keahlian dalam berbagai bidang. Sebut saja Ibnu Sina. Dalam umurnya yang sangat muda, dia
telah berhasil menguasai berbagai ilmu kedokteran. Mognum opusnya al-Qanun fi al-
Thib menjadi sumber rujukan primer di berbagai universitas Barat.
Selain Ibnu Sina, al-Ghazali juga bisa dibilang ilmuwan yang refresentatif untuk kita sebut
disini. Dia teolog, filosof, dan sufi. Selain itu, dia juga terkenal sebagai orang yang
menganjurkan ijtihad kepada orang yang mampu melakukan itu. Dia juga ahli fiqih. Al-
Mushtasfa adalah bukti keahliannya dalam bidang ushul fiqih. Tidak hanya itu, al-Ghazali juga
ternyata mempunyai paradigma yang begitu modern. Dia pernah mempunyai proyek untuk
menggabungkan, tidak mendikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Baginya, kedua jenis ilmu
tersebut sama-sama wajib dipelajari oleh umat Islam.
Selain para ilmuwan di atas, Ibnu Rusyd layak kita sebut di sini. Dia filosof ulung, teolog dan
menguasai kedokteran. Bahkan dia juga bisa disebut sebagai faqih. Kapabalitasnya dalam bidang
fiqih dibuktikan dengan karya tulisnya Bidayah al-Mujtahid. Filosof ini juga menjadi inspirasi
gerakan-gerakan di Barat. Tidak sedikit ideologinya yang diadopsi oleh orang Barat sehingga
bisa maju seperti sekarang.
Ilmuwan lainnya seperti Fakhruddin al-Razi, selain seorang teolog, filosof, ahli tafsir, dia juga
seorang yang menguasai kedokteran. Al-Khawarizmi, Matematikawan dan seorang ulama. Dan
masih banyak lagi para ulama sekaligus ilmuwan yang dihasilkan dari Peradaban Islam. Semua
itu menunjukkan, bahwa suatu peradaban bisa maju dan unggul, meskipun tetap dilandasi oleh
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan (Allah SWT).
Adapun kondisi umat Islam sekarang yang mengalami kemunduran dalam bidang teknologi
adalah disebabkan oleh berbagai hal. Teknologi adalah simbol kemodernan. Akan tetapi, tidak
hanya karena modern, kemudian kita mengabaikan agama sebagaimana yang terjadi di Barat
dengan ideologi sekularisme. Karena sains dan teknologi tidak akan pernah bertentangan dengan
ajaran Islam yang relevan di setiap zaman.