Anda di halaman 1dari 9

Kematian Kinasih

(Lintang Wibawati)
Suara ketukan pintu amat keras membuat konsentrasi Kinasih terganggu. Kinasih yang
sedang membersihkan dirinya sekaligus mengganti pakaiannya yang kotor akibat ulah Celine
hanya mempu mengusap dadanya. Beberapa detik kemudian suara ketukan tersebut berhenti
membuat Kinasih mampu bernapas lega. Namun tak lama kemudian suara ketukan tersebut
terganti menjadi suara tawa pelan yang tak asing di telinga Kinasih. Kinasih melihat ke arah
celah toilet yang terhubung dengan toilet di sebelahnya, betapa terkejutnya Ia saat melihat
sebuah ponsel sedang merekamnya. Dengan cepat gadis bertubuh tinggi tersebut mengambil
ponsel itu, namun ia tak berhasil. Ponsel tersebut dipegang oleh Celine melalui celah yang
terhubung dengan toilet di sebelahnya.
“Celine, ku mohon hapus video tersebut,” pinta Kinasih masih berdiri di dalam toilet.
“Anggap saja itu sebuah hukuman akibat kau tak mau mendengarkanku,” jawab Celine
disertai cekikikan oleh kedua temannya.
“Kalau aku tidak mengganti baju ku, Pak Bambang tidak akan memasukkanku ke dalam
kelas. Lagi pula apa untungnya jika aku masuk kelas dalam keadaan kotor dan bau?”
“Untungnya adalah Celine akan bahagia karena melihatmu tersiksa,” jawab Tiara.
Kinasih menyeka air matanya lalu beranjak keluar dari toilet memberanikan diri
melawan Celine. Namun belum apa-apa Kinasih merasa beruntung karena Bu Fatma tiba-tiba
saja masuk.
“Ada apa kalian ribut-ribut?” tanya Bu Fatma.
“Bu, tolong saya, mereka merekam saya saat sedang mengganti pakaian Bu,” adu
Kinasih.
Bu Fatma melihat ke arah Celine yang mengubah raut wajahnya seolah Ia lah yang
tersakiti, “jangan mengada-ada, Kinasih. Celine tidak mungkin seperti itu, kalau pun benar itu
hanya bercanda. Segeralah keluar, sebentar lagi masuk jam terakhir.” Bu Fatma beranjak dari
dalam toilet.
Celine, Tiara, dan Syakila tertawa penuh kemenangan. Di sisi lain Kinasih berusaha
menahan air matanya agar tak jatuh, setidaknya video tersebut belum tersebar jadi Kinasih
tidak perlu memikirkannya.

***
Kinasih melambaikan tangannya ke arah Amelia, menandakan mereka akan berpisah.
Amelia naik ke atas motor matik milik Kakaknya, sedangkan Kinasih berjalan kaki menuju
sebuah gedung kosong bekas pabrik gula. Menuliskan segala keluh kesahnya di gedung tersebut
sebelum pulang ke rumah menjadi rutinitas Kinasih sepulang Sekolah. Ia ingin sekali
menceritakan semua hal buruk yang terjadi di sekolah kepada Ibunya namun Kinasih selalu
merasa takut, berkali-kali Ia menceritakan pengalaman buruknya pada Amelia, namun Amelia
selalu membalasnya dengan kalimat, “aku mengalami perundungan yang lebih parah dari mu,
namun aku tidak secengeng dirimu.” Kinasih merasa tidak dapat bercerita pada Amelia, karena
mereka berdua mengalami hal yang sama.
Kinasih memegang lututnya sembari mengatur napasnya karena kelelahan menaiki
lantai tiga belas tepatnya di bagian rooftop. Kinasih mengambil secarik kertas lalu menuliskan
hal yang terjadi saat di Sekolah. Setelah merasa lega Kinasih meremas kertas yang berisi
curahan hatinya, dan membuangnya ke sembarang arah. Hanya itu yang dapat Ia lakukan untuk
mengurangi kesedihannya.
***
Kinasih berjalan menuju kelasnya. Kinasih mengerutkan keningnya saat orang-orang
menertawakannya. Kinasih memang sering menjadi bahan tertawaan namun menurutnya kali
ini sedikit aneh, Kinasih tak merasa memiliki kesalahaan apa pun sehingga wajar saja orang-
orang menertawakannya seperti biasanya.
“Masih punya muka untuk ke sekolah? Padahal video kamu tersebar,” ucap Syakila lalu
berlari menuju kelasnya.
Kinasih segera membuka ponselnya, dan melihat grup angkatan yang sedang ramai.
Kinasih membuka mulutnya lebar-lebar tak menyangka jika Amelia yang menyebarkan Video
tersebut. Kinasih mempercepat langkah kakinya menuju ke dalam kelas. Setelah menemukan
Amelia yang sedang tertawa bersama Celine, Kinasih langsung mendaratkan satu tamparan di
wajah Amelia.
“Kamu pengkhianat. Ku pikir kamu adalah teman ku,” ucapnya dengan emosi yang
menggebu.
Amelia menatap Kinasih dengan wajah iba, beberapa detik kemudian sudut kiri bibirnya
terangkat tersenyum sinis, “sampai kapan aku harus bertahan berteman dengan mu. Aku tidak
dihargai, dan mengalami perundungan seperti mu. Maaf jika kamu kecewa, tapi aku muak
dengan semua yang ku alami bersamamu.”
Kinasih berlari keluar kelas, rambut bergelombang hitamnya seolah menari tertiup
angin. Lagi-lagi gadis tersebut berhenti di depan sebuah gedung bekas pabrik gula. Matanya
menyapu gedung tersebut dari atas ke bawah lalu kembali berlari menuju lantai paling atas.
Kinasih mengambil buku tulisnya karena secarik kertas tidak akan muat untuk menulis
segala pengalaman indahnya bersama Amelia. Kinasih mulai menulis pengalamannya saat
pertama kali bertemu dengan Amelia di kantin Sekolah. Lalu dilanjutkan saat mereka saling
akrab dan bertukar cerita, dan hari ini Amelia menghancurkan segalanya. Mimpi Kinasih
mendapatkan teman yang mengerti perasaannya terkubur dalam-dalam akibat Amelia.
Kali ini Kinasih tidak membuang buku tersebut. Ia meletakkan buku tersebut di lantai
lalu berdiri. Kinasih menarik napasnya melihat kearah jalanan yang sepi, bahkan tidak ada satu
pun kendaraan yang lewat. Kinasih membelakangi pohon-pohon lalu menutup matanya yang
dipenuhi cairan bening secara perlahan, Ia kembali menarik napasnya dan menjatuhkan
tubuhnya ke jalanan yang sepi hingga bagian belakangnya menyentuh jalanan. Kinasih mentap
langit masih dengan air mata yang terus mengalir, beberapa detik kemudian Ia
menghembuskan napas terakhirnya.
***
SMA Trisakti berduka. Kegiatan apel pagi yang dilaksanakan dengan wajah berseri
mendadak hening akibat kematian Kinasih satu hari yang lalu. Kepala Sekolah yang berdiri di
atas mimbar menyampaikan bela sungkawa atas kematian Kinasih.
“Polisi berkata bahwa kematian Kinasih disebabkan karena bunuh diri. Asalkan kalian
mau bekerja sama seluruh guru, staf, dan siswa tidak akan diselidiki. Kita menjalankan kegiatan
belajar mengajar seperti biasa, biar Bapak yang akan menjawab pertanyaan polisi, dan
wartawan,” terang Kepala Sekolah SMA Trisakti lalu turun dari mimbar.
Amelia masih berdiri di barisannya dengan wajah pucat, Ia takut jika Polisi akan
menyelidikinya, dan Ia masuk penjara. Amelia menarik tangan Celine saat Celine beranjak
menuju kelasnya.
“Apakah kau tidak takut kita akan disalahkan atas kejadian ini?” tanya Amelia.
“Takut? Kau yang menyebarkan video tersebut, aku tidak bersalah,” jawabnya.
“Tapi kau yang merekamnya, kau juga selalu menyakiti Kinasih, kau yang bersalah,” ucap
Amelia tidak ingin disalahkan.
“Ayah ku merupakan seorang pejabat tinggi yang berkontribusi banyak untuk sekolah
ini, jadi aku tidak akan bersalah. Ayah ku punya banyak uang untuk menyelesaikan penyelidikan
ini, dan aku tidak akan ikut dalam urusan ini,” jawabnya enteng lalu pergi meninggalkan
barisan.
***
Satu minggu telah berlalu, kasus kematian Kinasih telah ditutup. Berdasarkan
pemeriksaan, dan barang bukti yang ditemukan Kinasih dinyatakan sengaja mengakhiri
hidupnya, dan dari kasus tersebut tidak ada yang dinyatakan bersalah.
Gadis dengan rambut yang terikat bak ekor kuda berjalan melewati koridor, mengikuti
Bu Fatma yang berjalan di depannya. Gadis tersebut berhenti tepat di depan kelas Sebelas A.
Celine mengerutkan keningnya saat melhat gadis tersebut terus menatapnya sejak awal
memasuki kelas.
“Baik anak-anak, perkenalkan ini teman baru kalian,” ucap Bu Fatma.
“Perkenalkan nama ku Rianti, jadi di mana aku akan duduk?” tanya Rianti tanpa
berbasa-basi.
“Silakan duduk di kursi paling ujung bersama Amelia,” Jawab Bu Fatma lalu
meninggalkan kelas.
Celine berjalan mengikuti Rianti. Rianti meletakkan tas nya lalu memainkan ponselnya
tak peduli dengan Celine yang sejak tadi mencari perhatian. “Kamu pindahan dari mana?” tanya
Celine dengan wajah ketusnya.
Rianti masih memainkan ponselnya tak peduli dengan kehadiran gadis berambut pirang
yang sejak tadi berdiri di depan mejanya. “Apa kau tuli? Kau pindahan dari mana gadis aneh?”
bentak Celine.
Rianti mendongak melihat wajah Celine berwarna merah padam persis seperti iblis,
“owh, ada orang rupanya, ku pikir tadi bisikan iblis,” ledek Rianti lalu kembali memainkan
ponselnya.
Celine merebut ponsel milik Rianti lalu melemparnya ke sembarang arah, “apa kau tidak
tau aku siapa?” tanya Celine masih dengan amarahnya.
Rianti berdiri masih dengan ekspresi datar, “aku tau, kau seorang pembunuh yang masih
mendapat tempat istimewa. Miris sekali hidup ini, seorang pembunuh masih dibiarkan untuk
berlalu lalang.” Rianti menatap ruangan kelasnya dari ujung ke ujung, “Hey teman-teman, apa
kalian tidak takut akan dibunuh juga oleh gadis arogan ini?” Seisi kelas mendadak hening, “ups,
aku lupa kalau perilaku kalian semua hampir sama,” gumamnya.
***
Rianti beranjak dari tempat duduknya menuju ke Toilet. Entah mengapa Ia merasa
seseorang sedang menunggunya, dan benar saja Celine, Tiara, dan Syakila sedang menunggu
kedatangannya.
“Sudah ku duga kalian menunggu kedatangan ku. Ingin bertanya?” tanya Rianti.
Celine maju satu langkah mendekat pada Rianti, “Dapat berita dari mana kau sehingga
menjuluki ku sebagai pembunuh?”
“Jadi kau memang seorang pembunuh?” Bukannya menjawab Rianti justru kembali
melontarkan pertanyaan.
“Aku bukan pembunuh!” Celine menekan ucapannya.
“Oh ya? Lalu, mendorong orang lain hingga terjatuh, melemparkan sampah ke kepala
orang lain, menyiram orang lain dengan saos, merekam video saat orang lain berganti baju
hingga orang itu bunuh diri bukan merupakan tindak pembunuhan?” bentak Rianti. “Aku
bingung mengapa spesies bodoh, dan kejam seperti mu masih bisa hidup dengan tenang.”
“Dari mana kau tau semua itu?” tanya Syakila.
“Kau penguntit?” tanya Tiara.
Rianti tak menjawab. Gadis dengan bola mata hitam pekat tersebut pergi meninggalkan
tiga gadis tak berperasaan tersebut. “Bagaiman jika murid baru tersebut melaporkan kita ke
polisi?” tanya Syakila mulai khawatir.
“Ayah ku dapat menyewa pengacara. Lagi pula ini bukan kesalahan kita sepenuhnya,
seluruh siswa juga meledek Kinasih saat Video itu tersebar, dan yang menyebarkan Video
tersebut juga Amelia, bukan kita,” jawab Celine.
“Tapi bukan kah kau yang menyuruh Amelia?” tanya Tiara.
“Aku tidak menyuruhnya, aku hanya menawari jika Ia berani menyebarkan video
tersebut Ia layak mendapatkan posisi di antara kita bertiga,” jawabnya lalu meninggalkan Toilet.
***
Rianti memasuki kamarnya yang didominasi dengan warna pink. Di dinding atas meja
belajarnya terdapat sebuah foto yang memperlihatkan dua orang gadis kecil yang berusia lima
tahun, Rianti menatap foto tersebut beberapa detik sambil memperlihatkan senyum
terindahnya, namun seketika senyumnya sirna saat Seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul di
ambang pintu.
“Anak tidak tau di untung, seenaknya sekali kamu pindah Sekolah. Biaya Sekolah lama
mu jauh lebih mahal, dan terkenal, apa alasan mu pindah?” tanya Pak Tirta dengan wajah
penuh emosi.
“Ayah tidak akan mengerti,” jawab Rianti.
“Selalu saja jawaban itu yang kamu lontarkan. Asal kamu tau Ayah selalu mengerti
perasaan mu, dan yang terbaik untuk mu, Ayah memasukkan mu ke dalam sekolah yang mahal,
dan bergengsi, apa lagi yang kurang? Seharusnya kamu bersyukur,” jelas Pak Tirta.
“Ayah bertanya apa yang kurang? Seharusnya Ayah mengerti bahwa aku ingin ikut
dengan Ibu, bukan dengan Ayah yang selalu bergonta-ganti pasangan. Aku ingin bersama Ibu.
Seharusnya Ayah mengerti itu!” bentak Rianti.
Pak Tirta menampar wajah Rianti dengan keras, membuat pipi bagian kanan Rianti
nyaris berwarna merah, “Kalau begitu, cari Ibu mu yang miskin itu!”
***
Hari kedua bersekolah di SMA Trisakti Rianti harus berhadapan dengan Kepala Sekolah,
dan Bu Fatma. Pagi ini Rianti telah duduk di Sofa bahkan sebelum Pak Kepala Sekolah, dan Bu
Fatma datang. Tak lama kemudian pintu ruang Kepala Sekolah terbuka, Rianti refleks menoleh.
“Pagi sekali kamu datang?” tegur Pak Kepala Sekolah sambil duduk di kursinya.
“Bapak menyuruhku datang jam tujuh pagi, dan sekarang sudah jam setengah delapan,
tebak siapa yang tidak disiplin?” sinis Rianti.
“Baiklah langsung saja Pak,” ucap Bu Fatma tak ingin memperpanjang masalah.
“Bapak harap kamu tidak ikut campur dengan urusan kematian Kinasih, masalah
tersebut telah selesai jadi kamu tidak perlu repot-repot ikut campur,” jelasnya tanpa basa-basi.
“Aku tidak ikut campur, aku hanya ingin agar orang-orang mendapatkan apa yang
seharusnya mereka dapatkan,” balas Rianti.
“Apa pun itu, berhenti untuk bertingkah layaknya pahlawan. Dunia tidak selamanya adil,
itu yang harus kamu terima,” sanggah Pak Kepala Sekolah
***
Rianti berdiri di lantai paling atas sebuah Gedung kosong bekas pabrik gula. Gadis
tersebut meneteskan air mata saat kembali membaca surat-surat yang selama ini Kinasih buang
di gedung tersebut, Ia kembali mengingat masa indahnya sebelas tahun silam tepatnya saat Ia
masih berusia lima tahun.
Dua gadis kecil berusia lima tahun tersebut bermain lari-larian melewati tangga agar
mencapai puncak gedung tersebut. Deretan gigi putih menjadi pemandangan indah bagi
keduanya, keduanya tersenyum senang saat berhasil mencapai rooftop gedung tersebut.
“Yey, kita berhasil,” teriak Rianti.
“Tapi aku takut ketinggian,” ucap Kinasih sambil menutup matanya.
“Buka mata mu, pemandangannya indah sekali.”
Perlahan Kinasih membuka matanya melihat langit cerah berwarna biru di dominasi
dengan awan yang berwarna putih. Rianti berdecak kagum, “Indah sekali, rasanya ingin
berlama-lama di sini.” Mereka kembali tertawa hingga tak terasa langit mulai berubah warna
menjadi jingga.
Rianti, dan Kinasih membuka mulutnya lebar-lebar saat Ibu Rianti menangis sambil
membawa kopernya diiringi dengan isakan tangis yang mampu menyayat hati dua gadis kecil
tersebut, “Ibu mau kemana?” tanya Rianti.
“Jadilah anak yang baik, Nak. Turuti kata Ayahmu,” ucap Bu Irene lalu pergi membawa
barang-barangnya. Rianti menangis berusaha mengejar ibunya namun tubuhnya di tahan oleh
Ibu Kinasih.
“Bu, kemana Tante Irene akan pergi?” tanya Kinasih.
“Entahlah. Kemasi barang-barang mu kita akan pergi. Ibu sudah tidak bekerja menjadi
asisten pribadi Bu Irene lagi,” ucap Bu Maya.
“Setelah ibu, kau juga akan meninggalkan ku, Kinasih?” tanya Rianti dengan penuh
emosi.
“Maafkan aku, tapi aku harus ikut dengan Ibu,” jawab Kinasih dengan wajah sedih.
“Aku membencimu, Kinasih. kenapa kau juga ikut meninggalkan ku?” Rianti kembali
terisak. Kini hanya Ayahnya yang berada di sampingnya, sosok Ayah yang selalu nampak
mengerikan bagi Rianti.
Hati Rianti teriris ketika mengingat kembali kejadian tersebut, air matanya terus
menetes. Ia selalu berpikir bahwa nasib Kinasih jauh lebih baik saat berpisah darinya, namun
kenyataannya salah, Rianti menemukan fakta bahwa Kinasih mengalami perundungan sejak
menduduki bangku SMP. Rianti mendapatkan bukti berupa surat yang selalu tercecer di
Rooftop gedung bekas pabrik gula tersebut.
Ia tau Kinasih selalu menunggunya di gedung tersebut namun rasanya Ia malu menemui
Kinasih setelah mengingat kembali kalimat terakhir yang Ia ucapkan sebelum Kinasih pergi dari
rumahnya, Ia hanya mampu mengumpulkan surat-surat yang dibuang oleh Kinasih.
Menemukan fakta bahwa Kinasih mengakhiri hidupnya membuat hati Rianti hancur berkeping-
keping, selama ini kehadiran Kinasih yang membuatnya bertahan. Meskipun hanya mampu
melihat Kinasih dari jauh.
“Maafkan aku. Aku tidak pernah membenci mu, Kinasih. Seharusnya dari awal aku
menemani mu, bukan hanya sekedar memunguti surat-surat yang kau buang,” Rianti menangis
tersedu-sedu. “Tapi tenang saja, aku akan balas dendam agar mereka merasakan hal yang
sama.”
***
Rianti tertawa keras saat melihat seluruh mangsanya duduk lemah di atas kursi. Bu
Fatma, Celine, Syakila, Tiara, dan Amelia berencana untuk memberikan racun di makanan Rianti
agar gadis tersebut tidak terus-terusan ikut campur. Namun Rianti telah tau rencana tersebut,
akhirnya Ia mengatur strategi.
Setelah Ia sampai di rumah lama milik ayah Celine, gadis bermata sipit tersebut telah
memberikan racun di nasi goreng milik Rianti, Rianti yang telah mengetahui bahwa
makanannya telah di beri racun membuang makanannya dan menggantinya dengan makanan
yang baru sedangkan di minuman lima orang tak berperasaan tersebut telah diberi obat tidur
agar mereka tak sadarkan diri.
Sekarang Bu Fatma, Celine, Tiara, Celine, dan Amelia telah sadarkan diri namun
tubuhnya masih terasa lemas.
“Nyenyak sekali tidurnya, sekarang sudah larut malam,” ucap Rianti membawa pistol di
tangannya.
Bu Fatma seketika membelalakkan matanya saat melihat pistol di tangan Rianti,
kantuknya seketika hilang, “kau mau membunuh kami?”
Rianti kembali tertawa keras membuat seisi ruangan tersebut mendadak merinding,
“Tidak, Bu. Aku hanya bercanda,” ucapnya sarkas lalu mendekatkan wajahnya pada Bu Fatma,
“itu kan, yang kau ucapkan pada teman ku saat kau tahu Ia sedang disakiti?”
Tubuh Bu Fatma bergetar, jantungnya berdetak tak karuan, tubuhnya mendadak dingin
apalagi pistol tersebut semakin dekat dengannya, “jangan gila Rianti, ini guru mu,” ucapnya
bergetar.
“Aku hanya bercanda, seharusnya kalian tertawa. Apa kalian mau mati dalam
ketakutan? Ayo tertawa!” Rianti tertawa keras saat orang-orang di depannya ketakutan.
“Rianti, aku tidak ada sangkut pautnya dalam masalah ini,” tegas Amelia.
Kini mata Rianti tertuju pada Amelia, “bukan kah kau menyebar video tersebut agar mau
berteman dengan mereka?” Telunjuk Rianti tertuju pada Celine, Tiara, dan Syakila, “kau sudah
menyebarkan video tersebut, dan berteman lah dengan mereka. Mereka sudah mau mati, dan
kau juga harus mati karena mereka teman mu.”
“Aku minta maaf,” ucap kelima orang tersebut bersamaan.
Wajah Rianti berubah menjadi merah padam, “Kalian pikir teman ku akan hidup kembali
setelah kalian minta maaf?! Tidak ada balasan yang setimpal kecuali kalian juga ikut mati
bersama Kinasih.”
Door!!
Tubuh Bu Fatma penuh dengan darah, nyawanya telah hilang di tangan Rianti. Rianti
tertawa keras seolah telah berhasil menyelesaikan sebuah permainan. Kini tangannya tertuju
pada Celine.
Doorrr!!
Kini gadis berambut pirang tersebut juga telah kehilangan nyawanya. Rianti tertawa
begitu keras membuat tiga gadis tersebut semakin ketakutan.
“Kau tak punya hati,” hina Syakila.
“Lalu apa bedanya dengan mu!” bentak Rianti.
Door!
“Kini sisa kalian berdua, pilih siapa yah?” ledek Rianti.
Gadis tersebut membuka tas nya lalu mengambil sebuah pistol. Kini ada dua pistol di
genggamannya. Kedua pistol tersebut mengarah pada Tiara, dan Amelia. Dua gadis tersebut
menutup matanya, dan beberapa detik kemudian nyawanya juga ikut menghilang.
Rianti mengarahkan pistol di kepalanya, dan mengakhiri hidupnya dengan menembak
dirinya sendiri, nyawanya telah lama hilang bersamaan dengan kematian Kinasih. Ia mampu
bertahan sejauh ini hanya karena Kinasih, namun mengetahui kematian Kinasih, Rianti seolah
ikut kehilangan hidupnya, dan pada akhirnya Ia memilih mengakhiri hidupnya.

Catatan:
Jalan ceritanya sangat klise, mirip sinetron. Baik karakter, sifat dan lain-lain. Saya sangat
terganggu dengan tanda pemisah (****) di dalam cerita ini, di dalam cerita pendek paling
sedikit tiga yang ditemukan. Tapi berbeda dengan cerita ini, jadi jalan ceritanya agak
membingungkan.
Kemarin sudah disampaikan untuk menggunakan kelogisan dalam bercerita. Tapi di sini, masih
banyak yang tidak sesuai dengan nalar.
Lintang, kalau mau menggambarkan tokoh cerita, jangan pernah membayangkan karakter di
sinetron. Jangan pernah ambil karakter sinetron di ceritamu. Cobalah amati di sekelilingmu, dan
temukan karakter alami yang lebih realistis.
Silakan baca lagi cerpennya.
SEMANGAT!

Anda mungkin juga menyukai