Paper Hukum Tata Ruang
Paper Hukum Tata Ruang
A. Latar Belakang
Konsep ruang dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang diartikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk juga di dalamnya bumi sebagai satu-kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, secara yuridis konsep ruang diartikan
sebagai hal yang sangat luas, dengan tujuan untuk menciptakan tata ruang yang
terintegrasi satu sama lain.
Dalam sejarahnya, penataan ruang di Indonesia mendapatkan perhatian khusus
untuk pertama kali pada Tahun 1992, melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 1992
Tentang Penataan Ruang. Namun pasca reformasi, UU No. 24/1992 diganti dengan
UU No. 26 Tahun 2007 yang berbicara tentang sesuatu yang sama (ruang), namun
memiliki pembahasan dan penataan akan ruang yang lebih rinci. UU No. 24/1992
dinilai sudah tidak memiliki relevansi dengan perkembangan tata kelola Pemerintahan
Indonesia pasca reformasi. Oleh karenanya, penataan tentang Ruang melalui Undang-
Undang yang baru, dinilai memberikan daya dukung lebih konkret tentang penataan
ruang di Indonesia. Perubahan undang-undang terebut secara umum memiliki tiga
perbedaan yang sangat mendasar, yaitu: Kewenangan Pemerintah Daerah, Partisipasi
masyarakat, dan sanksi administratif dan pidana (Hananto Widodo, 2020, pp. 8-9).
Meskipun Penataan Ruang seluas-luasnya telah di limpahkan kewenangannya
dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tidak serta-merta menciptakan penataan
ruang yang lebih partisipatif dan akuntable, seperti yang terjadi di Kab. Kebumen,
Jawa Tengah. Penataan Ruang di Kab. Kebumen diatur melalui Perda No. 23 Tahun
2012, dan memiliki sejumlah persoalan terkait politik hukum tata ruang. Dalam hal
ini, penelitian ini melihat bahwa aturan tata ruang di Kab. Kebumen bersifat
“fasilitator” terhadap upaya TNI/AD dalam melakukan bisnis tambang pasir besi.
Bagaimana tidak, dalam Perda No. 23/2012 Kab. Kebumen, Pasal 34 ayat (2),
Hakim, R. M., 2021. Paper Hukum Tata Ruang, FH UJB: UAS Hukum Tata Ruang
1
Sebelum terbutnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, aturan tentang penataan
ruang di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (sebelum
akhirnya diganti dengan undang-undang yang baru. Pengaturan tentang penataan ruang di undang-undang
yang lama, tidak melibatkan Pemerintah Daerah untuk melakukan penataan, melainkan terpusat di
Pemerintah Pusat.
Hakim, R. M., 2021. Paper Hukum Tata Ruang, FH UJB: UAS Hukum Tata Ruang
sangat politis, dalam arti aturan tata ruang menjadi alat bagi pihak “yang
berkepentingan” (TNI/AD dan PT. MNC) untuk menguasai lahan dan berbisnis.
Fenomena tentang militer seperti TNI/AD melakukan bisnis, sebetulnya bukan
pembahasan baru di Indonesia, atau di negara berkembang lainnya secara luas.
Laporan Cahmbers Dkk. (2017) memberikan fakta bahwa militer Indonesia pasca
reformasi, mengalami perubahan praktik aktivitas ekonomi politik dalam bentuk
penguasaan lahan produktif atau dengan menempatkan purnawirawan militer di
jabatan sipil strategis. Sebelum runtuhnya Orde Baru, militer Indonesia memiliki
fungsi ganda, yaitu fungsi pertahanan-keamanan dan fungsi ekonomi dan politik.
Dua fungsi militer tersebut kemudian dikenal dengan istilah Dwi Fungsi ABRI.
Hal tersebut kemudian memungkinkan militer Indonesia untuk terlibat dalam
aktivitas ekonomi-bisnis ataupun politik praktis. Namun semenjak berlakunya
Undang-Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia, militer Indonesia secara fungsi dikembalikan pada fungsi utamanya,
yaitu pertahanan negara. Namun demikian, seperti laporan Chambers diatas,
militer Indonesia tidak berhenti dalam melakukan bisnis dan aktivitas politik. Hal
tersebut dapat ditemukan dalam kasus yang terjadi di Pesisir Pantai Kab.
Kebumen, dalam hal ini TNI/AD melakukan kerja sama bisnis terkait tambang
pasir besi2 dan dilegitimasi dalam bentuk peraturan yang sangat memungkinkan
TNI/AD melakukan bisnis.
Pembentukan aturan tentang penataan ruang di Kab. Kebumen dapat dilihat
sebagai alat legitimasi kepentingan bisnis. Fenomena kebijakan dari negara
sebagai fasilitas bisnis menunjukkan bahwa negara tidak berada dalam posisi yang
netral, melainkan berpihak kepada kepentingan bisnis (Harvey, 2003). Dalam hal
ini aktor bisnisnya berasal dari lembaga kekerasan negara, yaitu Tentara Nasional
Indonesia. Tentunya hal ini merupakan kemunduran perihal penataan ruang di
Indonesia pasca reformasi. Alih-alih otonomi daerah akan menghasilkan produk
hukum yang lebih berkualitas dan demokratis, justru otonomi daerah dalam
konteks penataan ruang di Kab. Kebumen menghasilkan produk hukum yang
mempertebal status quo. Dalam hal ini sangat berpotensi untuk menciptakan
2
Pada akhirnya PT. MNC memilih untuk tidak melakukan ekstraksi tambang pasir besi di Kab. Kebumen,
dengan alasan kualitas pasir besi di Kab. Kebumen tidak begitu tinggi. Disisi lain, terdapat penolakan yang
besar dari warga perihal berdirinya perusahaan tambang pasir besi di pesisir pantai Kab. Kebumen.
Hakim, R. M., 2021. Paper Hukum Tata Ruang, FH UJB: UAS Hukum Tata Ruang
kebangkitan Dwi Fungsi ABRI secara praktik dan rezim kekuasaan militer secara
umum.
D. Kesimpulan
Pembentukan Peraturan Daerah No. 23 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kab. Kebumen tidak dapat dilepaskan dari gejala kebangkitan Dwi Fungsi
ABRI di masa pasca reformasi. Hal tersebut dapat dilihat dari isi aturan tentang
penataan ruang di Kab. Kebumen, dimana kawasan Hankam dan Kawasan
Pertambangan Pasir Besi berada dalam satu kawasan yang sama, yaitu Pesisir Pantai
Selatan Kab. Kebumen. Tidak hanya di tataran aturan, bahkan TNI/AD pernah
melakukan kerja sama bisnis tambang pasir besi dengan PT. Mitra Niagatama
Cemerlang (MNC). Artinya, dengan adanya Perda Kab. Kebumen No. 23 Tahun 2012
TNI/AD mendapatkan legitimasi untuk melakukan bisnis. Dalam konteks legal policy
penataan ruang, tentunya hal tersebut merupakan kemunduran dalam penataan ruang
di Indonesia secara umum dan Kab. Kebumen secara khusus.
Hakim, R. M., 2021. Paper Hukum Tata Ruang, FH UJB: UAS Hukum Tata Ruang
E. Daftar Pustaka
Hananto Widodo, D. P. (2020). Hukum Tata Ruang. Surabaya: UNESA UNIVERSITY PRESS.
T. Nazaruddin, M. (2018). Rekonstruksi Politik Hukum Tata Ruang Kota Berkelanjutan
Berbasis Kearifan Lokal. Proceeding Seminar Nasional Politeknik Negeri
Lhokseumawe, Vol. 2 No. 1, B-31.
Cahyati, D. D. (2014). Konflik Agraria di Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik. Yogyakarta:
STPN Press.
Mahfud MD. (2014.). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Paul Chambers, N. W. (2017). KHAKI CAPITAL: The Political Economy of the Military in
Southeast Asia . Copenhagen: NIAS Press .
Harvey, D. (2003). New Imprealism. NewYork: OXFORD UNIVERSITY PRESS .